EVALUASI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR: … · kesehatan manusia dan juga lingkungan hidup...

24
EVALUASI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR: 44/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG PENGADAAN, DISTRIBUSI, DAN PENGAWASAN BAHAN BERBAHAYA The Evaluation of Ministry of Trade Decree Number: 44/M-DAG/PER/9/2009 on the Procurement, Distribution, and Control of Hazardous Materials Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan - RI, Jl. M.I. Ridwan Rais No.5 Jakarta Pusat [email protected], [email protected] Naskah diterima: 27/1/2014, Direvisi:14/4/2014, Disetujui diterbitkan: 28/10/2014 Abstrak Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen dari penyalahgunaan yang dilakukan produsen, importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan sekaligus mengevaluasi Permendag tersebut. Dengan menggunakan metode Regulatory Impact Assesment (RIA), hasil penelitian menunjukkan bahwa Permendag tersebut belum komprehensif dan implementasinya belum efektif. Beberapa ketentuan dalam Permendag tersebut menunjukkan kontradiksi yang menimbulkan ketidakjelasan seperti pengaturan penunjukan Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) yang seharusnya hanya dapat ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) namun dapat juga ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2). Ketidakjelasan yang lain adalah aturan terkait Produsen (P-B2) yang dapat mengimpor B2, sementara dalam peraturan ini diatur bahwa P-B2 hanya memproduksi B2 saja. Kata kunci: Bahan Berbahaya, Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009, Regulatory Impact Assesment. Abstract Misuse of hazardous material may risk human health and the environment. In effort to protect consumer from the misconduct behavior of producers, importers, distributors, and other stakeholders along the distribution of goods and services, the Government issued Trade Minister Regulation Number 44/M-DAG/PER/9/2009 regarding Procurement, Distribution, and Surveilance of Hazardous Materials. This study aims to explore and evaluate the implementation of that regulation. Using Regulatory Impact Assesment (RIA) method, the study reveals that the Trade Minister Regulation is neither comphrehensively nor effectively implemented. Further, some clauses are found contradictory and poor clarity such as B2-Registered Retailers (PT-B2) that should be only appointed by the Registered Distributor (DT-B2) but in other article states that it can also be appointed by the Registered Importer (IT-B2) or Manufacturer (P-B2). The other poor clarity rules is on B2-Producers (P-B2) that is allowed to import B2, while other article sets that B2-Producers (P-B2) is only allowed to produce hazardous materials only. Keywords: Hazardous Materials, Trade Minister Regulation Number:44/M-DAG/PER/9/2009, Regulatory Impact Assesment. JEL Classification: D18, D40, H75

Transcript of EVALUASI PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR: … · kesehatan manusia dan juga lingkungan hidup...

291Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

EVALUASI PERATURAN MENTERI PERDAGANGANNOMOR: 44/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG PENGADAAN, DISTRIBUSI, DAN

PENGAWASAN BAHAN BERBAHAYA

The Evaluation of Ministry of Trade Decree Number: 44/M-DAG/PER/9/2009 onthe Procurement, Distribution, and Control of Hazardous Materials

Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, BP2KP, Kementerian Perdagangan - RI,Jl. M.I. Ridwan Rais No.5 Jakarta Pusat

[email protected], [email protected]

Naskah diterima: 27/1/2014, Direvisi:14/4/2014, Disetujui diterbitkan: 28/10/2014

Abstrak

Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen dari penyalahgunaan yang dilakukan produsen,importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa,pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Penelitian ini dilakukanuntuk mengetahui gambaran pelaksanaan sekaligus mengevaluasi Permendag tersebut.Dengan menggunakan metode Regulatory Impact Assesment (RIA), hasil penelitian menunjukkanbahwa Permendag tersebut belum komprehensif dan implementasinya belum efektif. Beberapaketentuan dalam Permendag tersebut menunjukkan kontradiksi yang menimbulkan ketidakjelasanseperti pengaturan penunjukan Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) yang seharusnya hanya dapatditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) namun dapat juga ditunjuk oleh Importir TerdaftarB2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2). Ketidakjelasan yang lain adalah aturan terkait Produsen(P-B2) yang dapat mengimpor B2, sementara dalam peraturan ini diatur bahwa P-B2 hanyamemproduksi B2 saja.

Kata kunci: Bahan Berbahaya, Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009, Regulatory ImpactAssesment.

Abstract

Misuse of hazardous material may risk human health and the environment. In effort to protectconsumer from the misconduct behavior of producers, importers, distributors, and otherstakeholders along the distribution of goods and services, the Government issued Trade MinisterRegulation Number 44/M-DAG/PER/9/2009 regarding Procurement, Distribution, and Surveilanceof Hazardous Materials. This study aims to explore and evaluate the implementation of thatregulation. Using Regulatory Impact Assesment (RIA) method, the study reveals that the TradeMinister Regulation is neither comphrehensively nor effectively implemented. Further, someclauses are found contradictory and poor clarity such as B2-Registered Retailers (PT-B2) thatshould be only appointed by the Registered Distributor (DT-B2) but in other article states thatit can also be appointed by the Registered Importer (IT-B2) or Manufacturer (P-B2). The otherpoor clarity rules is on B2-Producers (P-B2) that is allowed to import B2, while other article setsthat B2-Producers (P-B2) is only allowed to produce hazardous materials only.

Keywords: Hazardous Materials, Trade Minister Regulation Number:44/M-DAG/PER/9/2009,Regulatory Impact Assesment.

JEL Classification: D18, D40, H75

292 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

PENDAHULUANDalam era globalisasi ekonomi,

konsumen sebagai pengguna barang ataujasa sering menjadi objek aktivitas bisnisdari para pelaku usaha untuk memper-oleh keuntungan sebesar-besarnya dantidak jarang aktivitas bisnis tersebutdapat merugikan konsumen. Padahalseharusnya hak-hak konsumendilindungi dari penyalahgunaan atautindakan sewenang-wenang yangd i l akukan p rodusen , impo r t i r,distributor, dan setiap pihak yangberada dalam jalur perdaganganbarang atau jasa sebagaimana diaturdalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selain itu juga dalam peredaranbarang dan jasa di pasar, faktorkeamanan, keselamatan, kesehatan,dan lingkungan menjadi hal yang sangatpenting dalam perlindungan konsumentermasuk salah satunya adalah BahanBerbahaya (B2). Pada umumnya, produkB2 bermanfaat bagi kehidupanmanusia. Namun produk tersebutdapat menyebabkan resiko bagikeseha tan manus ia dan j ugal ingkungan hidup apabi la t idakdikelola dengan baik dan benar.

Hal-hal tersebut di atas men-dorong Pemerintah pada tahun 2006menetapkan Peraturan Menter iPerdagangan (Permendag) Nomor:04/M-DAG/PER/2/2006 TentangDistribusi dan Pengawasan BahanBerbahaya, dengan harapan dampak

penyalahgunaan B2 dapat dikurangi.Namun dalam perkembangannya, baikpengadaan, pendistribusian maupunpenggunaan B2 terus meningkat danbahkan mudah diperoleh di pasar. Olehkarena itu, untuk mencegah terjadinyapenyimpangan dan penyalahgunaan,Pemerintah mengeluarkan PermendagNomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentangPengadaan, Distribusi, dan PengawasanBahan Berbahaya. Dalam ketentuanini diatur pengadaan B2, baik yangberasal dari lokal maupun impormelalui pengaturan jenis, pengadaan,pendistribusian, perijinan, pelaporan,dan la rangannya . Se lan ju tnyaditindaklanjuti dengan PermendagNomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentangPerubahan Permendag Nomor :44/M-DAG/PER/9/2009. PermendagNomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 hanyamenambahkan penetapan pelabuhandan bandara yang dapat digunakanuntuk impor B2 dengan menetapkankewajiban verifikasi atau penelusuranteknis impor dalam upaya meningkat-k a n e f e k t i v i t a s p e n g a w a s a n ,sementara aturan yang ditetapkansebe lumnya da lam PermendagNomor: 44/M-DAG/ PER/9/2009 masihtetap berlaku.

Namun demikian pada saat ini masihbanyak ditemukan penggunaan B2 yangtidak tepat peruntukannya, sepertipenggunaan Formalin, Boraks, danRhodamin-B terutama pada produkpangan. Beberapa hasil penelitian

293Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

menunjukkan bahwa saat ini penyalah-gunaan B2 pada produk pangan semakinbanyak terjadi di masyarakat. Hasil ujisample Pangan Jajanan Anak Sekolah(PJAS) dari mobil laboratorium keliling diDKI Jakar ta pada tahun 2012menunjukkan bahwa 17% PJASmengandung B2, berupa boraks, formalindan rhodamin B. Kondisi tersebut diatasmembuktikan bahwa pengawasandistribusi B2 belum efektif. Untuk mem-permudah peredaran/pendistribusian/penjualan, B2 dikemas dalam ukurankecil dan dalam kemasan yang serupaantara bahan baku untuk produk pangandan non pangan (BPOM, 2012).

Penyalahgunaan B2 sebagai bahantambahan makanan ini tentunya sangatmemprihatinkan karena dapat mem-bahayakan kesehatan manusia. Salahsatu penyebab timbulnya penyalah-gunaan B2 diduga karena bahanberbahaya mudah diperoleh di pasar.Kemudahan mendapatkan B2 di pasarditengarai disebabkan oleh beberapahal d iantaranya karena adanyarembesan pada pengguna akhir,adanya pengalihan kode HarmonizedSystem (HS) dan penyelundupan. Haltersebut diindikasikan dengan adanyaperedaran produk B2 di dalam negeripadahal data produsen dan importasinyatidak ada. Faktor lainnya adalah karenaketidaktahuan dan ketidakpeduliansebagian masyarakat (produsen dankonsumen) bahwa penggunaan B2 untukpangan bisa membahayakan kesehatanmanusia. Jika kondisi ini tidak cepat

diantisipasi, maka akan berdampakkepada masyarakat terutama bagikesehatan, dan lebih lanjut dapatmengancam kualitas generasi muda.Penyalahgunaan peredaran B2 jugadapat mematikan potensi produsenyang jujur dan disisi lain t idakmendidik produsen pangan yang tidakbertanggung jawab.

Bertitik tolak dari fenomena di atas,maka analisis pengawasan distribusi B2penting untuk dilakukan guna menjawabbeberapa permasalahan terkait denganimplementasi kebijakan pengawasan B2di lapangan. Secara rinci, penelitian inibertujuan: (a) Mengetahui gambaranpelaksanaan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,Distribusi dan Pengawasan B2; dan (b)Mengevaluasi Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,distribusi dan Pengawasan B2.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Bahan Berbahaya

Menurut Permendag Nomor: 44/M-DAG/Per/9/2009 Tentang Pengadaan,Distribusi Dan Pengawasan BahanBerbahaya, B2 adalah zat, bahankimia dan biologi, baik dalam bentuktunggal maupun campuran yangdapat membahayakan kesehatandan l i ngkungan h idup seca ralangsung atau tidak langsung, yangmempunyai sifat racun (toksisitas),karsinogenik, teratogenik, mutagenik,korosif, dan iritasi.

294 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

Zat berbahaya, umum juga disebutdengan zat adiktif yaitu obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi olehorganisme hidup dapat menyebabkankerja biologi terhambat. Dalam hal ini,penggunaan zat tambahan dalam produkpangan pun menimbulkan beberapadampak yang mengganggu sistem kerjaorgan tubuh dalam proses metabolisme,sehingga zat tambahan tersebuttermasuk adiktif.

Aturan resmi awal yang dimilikipemerintah Indonesia terkait B2 tercatatdalam Staatblad Nomor 377 tahun 1949.Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwaB2 adalah obat-obat disinfeksi, obat-obatpembersihan atau obat-obat pemusnahan,serta bahan-bahan yang bersifat racundengan komposisi yang berbahayaterhadap kesehatan manusia. Lebihlanjut dijelaskan bahwa pembuatan,pengangkutan, persediaan, penjualan,penyerahan, penggunaan, danpemakaian sendir i bahan-bahanberbahaya tersebut dilarang, kecualidengan izin dari pihak yang berwenang.

Pada tahun 1985, diberlakukanPeraturan Menteri Kesehatan Nomor239/MENKES/PER/V/85 yang mengaturtentang zat pewarna tertentu yangdinyatakan sebagai B2 dan dilarangpenggunaannya dalam obat, makanan,dan kosmetik, karena dapat mem-bahayakan kesehatan konsumen. Dalamaturan tersebut disebutkan 30 zatpewarna yang dianggap sebagai B2, salahsatunya adalah Rhodamin-B.

Sebelumnya pada tahun 1979,Menteri Kesehatan RI juga mengeluarkanperaturan terkait bahan tambahanmakanan (Peraturan Menteri KesehatanNomor 235/MENKES/PER/VI/79),yang kemudian digant ikan olehPeraturan Menteri Kesehatan Nomor772/MENKES/PER/IX/88 tentang BahanTambahan Makanan. Dalam peraturantersebut dijelaskan mengenai bahantambahan makanan yang dilarangdan digolongkan sebagai B2. Aturanmengenai bahan tambahan makananyang digolongkan sebagai B2 inikemudian d iperbaharu i mela lu iPeraturan Menteri Kesehatan Nomor1168/MENKES/PER/X/1999 TentangPerubahan Atas Peraturan MenteriKesehatan Nomor 772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan TambahanMakanan. Dari sepuluh bahan tambahanmakanan yang digolongkan sebagai B2,dua diantaranya adalah Asam Borat(Borat Acid) beserta senyawanyadan Formalin (Formaldehyde).

Saat ini, aturan terkait B2 (berkaitandengan pengadaan, distribusi, danpengawasannya) mengacu padaPeraturan Menter i PerdaganganRepublik Indonesia Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009. Dalam aturan tersebut, B2didefinisikan sebagai zat bahan kimia danbiologi, baik dalam bentuk tunggalmaupun campuran yang dapatmembahayakan kesehatan danlingkungan hidup secara langsung atautidak langsung, yang mempunyai

295Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

sifat racun (toksisitas), karsinogenik,teratogenik, mutagenik, korosi f ,dan iritasi (Pasal 1 ayat 1)

Tingginya perhatian pemerintah jugadiimbangi dengan tingkat kesadaranmasyarakat akan keamanan pangan yangmereka konsumsi. Liu, Pieniak, danVerbeke (2014) mengidentifikasi segmenpersepsi konsumen terhadap bahayapangan yang meliputi khawatir dan tahu(worried and knowledgable), khawatirdan tidak peduli (worried and ignorant),dan cukup khawatir (moderately worried)dimana mayoritas responden berada padakategori “worried and knowledgeableconsumers”. Responden pada umumnyamengetahui jenis resiko isu bahanberbahaya pada pangan yang mencakupzat tambahan, residu, kualitas rendah,modifikasi genetik, kandungan gizi yangrusak/tidak berimbang, dan makananpalsu (counterfeit food). SementaraMohammed (2013) menilai bahwakesadaran akan keamanan pangan jugadipengaruhi unsur gender dimanaperempuan dapat memberikan peranpositif dalam peningkatan kesadarankeamanan pangan. Hal ini didasari padaperan perempuan dalam menentukankeputusan pembelian produk pangan dil ingkungan keluarga. Dari hasi lanalisisnya, kesadaran perempuan akankeamanan pangan semakin tumbuhseiring dengan peningkatan tingkatpendidikan dan usia. Kang (2010) jugamenilai bahwa pengetahuan akankeamanan pangan perlu dimulai sejak

dini dimana peran perempuan sangatpent ing. Tumbuhnya kesadaranmasyarakat akan keamanan pangan dandidukung dengan regulasi yang baikpada akhirnya akan memberikan surplusbagi semua pihak, termasuk produsen.

Bahan berbahaya dikenal jugadengan istilah hazardous materials(HAZMAT) atau hazardous substancesatau dangerous goods di kalanganinternasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United NationsEconomic and Social Council (ECOSOC)mengeluarkan suatu rekomendasiterkait praktek pengangkutan bahan-bahan berbahaya yang lebih dikenaldengan nama United Nation (UN)Recommendations on the Transport ofDangerous Goods (EPA, 2007)

Departemen Transportasi AmerikaSerikat yang berwenang untuk mengaturregulasi terkait pengangkutan bahanberbahaya di negara tersebut, mengacupada rekomendas i PBB da lammendefinisikan B2. Bahan berbahayaatau hazardous material adalah segalazat yang kemungkinan memiliki resikoberbahaya terhadap kesehatan dankeamanan personel operasional ataupersonel darurat, masyarakat umum,dan/atau lingkungan jika tidak dikontroldengan baik selama proses perlakuan,penyimpanan, manufacturing, pem-rosesan, pengemasan, penggunaan,pembuangan, atau pengangkutan. Dalamrangka melindungi konsumen (terutamakeluarga dan anak) dari banyaknya risiko

296 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

bahaya dan kecelakaan akibat produk-produk konsumen, pemerintah Amerikamengesahkan undang-undang terkaitbahan berbahaya yang dikenaldengan nama Federal Hazardous Actyang pertama kali disahkan padatahun 1960 (EPA, 2007).

Perhatian pemerintah dan konsumendalam pengendalian bahan berbahayapada pangan dalam kerangka keamananpangan (food safety) juga menunjuk-kan peningkatan yang signifikan.Pemerintah sebagai pembuat regulasidituntut untuk menjamin keamananpangan bagi masyarakat melalui regulasiyang ketat dan reliable. Bagumire et al(2010) menyebutkan pangan yangberedar di pasar Uni Eropa harusmemenuhi ketentuan higinitas (hygiene)dan keterlacakan (traceability) yangdiawasi oleh otoritas yang berwenang.Regulasi tersebut wajib dipatuhi olehprodusen yang menjual produknya dipasar Uni Eropa. Bahkan, beberapanegara sudah mengharmonisasikanregulasi keamanan pangan untukmejamin kesetaraan bagi masyarakat,seperti Australia dan New Zealand(Magnuson et al, 2013).

Penyalahgunaan Bahan BerbahayaSalah satu penyalahgunaan bahan

berbahaya yang umum terjadi danmenjadi sorotan berbagai pihak adalahpenggunaan B2 sebagai bahan tambahandalam produk pangan. Sejumlah bahanberbahaya dimanfaatkan oleh pelakuusaha untuk mengawetkan produk

pangan (Formal in dan Boraks),meningkatkan kualitas fisik (Boraksuntuk kekenyalan), dan juga sebagaipewarna (Rhodamin-B).

Formalin, Boraks, dan Rhodamin-Bdigolongkan sebagai bahan berbahayakarena berdampak negatif terhadapkesehatan bi la dikonsumsi olehkonsumen. Dampak negatif penggunaanFormalin dalam jangka panjang dapatmenyebabkan kanker, selain itu Formalinjuga dikaitkan dengan inflamasi dankeracunan pada saluran pencernaanpada jangka pendek (EPA, 2007).Sementara itu, penggunaan Boraksd a l a m j a n g k a p e n d e k d a p a tmenyebabkan gangguan, sepert idemam, sakit kepala, dan muntah.Sementara dalam penggunaan jangkapanjang, konsumsi Boraks dapatmenyebabkan gagal ginjal dan berujungpada kematian (CDC, 2010). Walaupunbelum ada penelitian yang cukupmendukung terkait konsumsi Rhodamin-B dengan kanker pada manusia, namunpenelitian pada hewan menunjukkanbahwa zat ini bersifat karsinogenik.

Dalam laporan kinerja kuartal I tahun2012, BPOM menyebutkan, dari 9.071sampel produk makanan yang diuji, sekitar854 diantaranya masuk dalam kategoritidak memenuhi syarat (TMS). Sekitar144 TMS formalin, 223 TMS boraks, dan290 TMS Rhodamin B (BPOM, 2012).

Anak-anak menjadi korban palingpotensial terkait praktek penyalah-gunaan B2 dalam makanan. Hasilpenelitian Andarwulan, Madanijah dan

297Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

Zulaikhah (2009) mengenai keamananjajanan anak sekolah di Indonesiamenunjukkan bahwa sekitar 12,9%jajanan yang diuji, positif mengandungFormalin dan 9,7% mengandung Boraks,sementara 2,2% makanan ringan yangdiuji, positif mengandung pewarnaRhodamin B. Sementara itu, penelitianPunvanti, Wulandari dan Rahayu (2009)di 12 sekolah di Surakarta menunjukkanbahwa sekitar 49% jajanan anaksekolah yang diuji mengandung formalin.

Penyalahgunaan B2 dalam produkmakanan t idak hanya ter jadi diIndonesia, tapi juga umum terjadi dinegara-negara berkembang. Sareen(2011) menyorot i permasalahankeamanan pangan di wilayah ASEAN.Salah satu isu yang paling mengemukaadalah masalah residual dan kontaminanpada makanan akibat pestisida, logamberat, dan zat kimia berbahaya. Setiapnegara memiliki faktor-faktor risikoutama berkaitan dengan keamananpangan, diantaranya penggunaanformalin pada produk tahu dan mie sertapewarna berbahaya pada jajananjalanan di Indonesia, penggunaanBoraks dan pewarna pada produk miedi Malaysia, dan penggunaan Borakspada produk daging dan olahannyaserta ikan di Kamboja.

Penggunaan formalin untuk produkperikanan juga menjadi fokus tersendiridi Bangladesh. Penelitian pada tahun2010 di sejumlah pusat perbelanjaan dinegara tersebut menunjukkan bahwa42% dari 100 sampel ikan yang diteliti

mengandung formalin; sementarapenelitian pada tahun 2012 di lima pasart rad is ional mengungkap bahwaterdapat sekitar 17% sampel ikan yangmengandung formalin. Selain itu,konsumen di negara berkembangcenderung menginginkan produk(terutama makanan) dalam jumlah yangbesar dengan harga yang relatif lebihmurah. Adanya sikap tersebut ditambahdengan pengetahuan konsumen yangkurang dan semakin diperparah dengankeberadaan sejumlah pelaku usaha yangmenginginkan keuntungan yang lebihmelalui cara-cara yang tidak fair merupa-kan faktor pendorong penggunaan B2dalam produk makanan (Sabet, 2012).

Hasil penelitian Wikanta (2010) diSurabaya menunjukkan bahwa hampirseluruh responden menyetujui jikaformalin merupakan bahan yangberbahaya dan harus dilarang untukpengawetan makanan. Namun, sekitar72% responden mengaku t idakmelakukan apapun untuk menganti-sipasi kandungan formalin dalammakanan. Hal tersebut diakui respon-den karena minimnya pengetahuanpenggunaan formalin dan B2 lainnya.

Hal tersebut sejalan denganpenelitian yang dilakukan oleh Rohr et al.(2005) yang menyatakan bahwapersepsi konsumen terhadap kandunganberbahaya dalam makanan padadasarnya sudah meningkat. Artinya,konsumen sudah memiliki kesadaranuntuk lebih selektif dalam memilih produkpangan. Dalam hal ini, konsumen sangat

298 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

bergantung pada informasi yang diperolehdari kemasan, produsen, pakar, danmedia. Bahkan, konsumen lebihmempercayai informasi yang dikeluarkanoleh Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) atau swasta dibandingkan denganpemerintah. Hal ini menunjukkan bahwaperan pemerintah dalam memberikaninformasi tentang keamanan panganmasih belum optimal di mata konsumen

Sementara itu dari sisi kebijakan,maraknya kasus penyalahgunaanformalin pada produk makanan diBang ladesh d ianggap sebaga ikegagalan pasar. Kegagalan tersebutsebagai buntut dari tidak efektifnyapemerintah dalam menjalankan tugassebagai regulator (Sebet, 2012).Senada dengan penjelasan tersebut,Chuangchote (2003) menyatakanbahwa tidak adanya harmonisasi antarpihak yang berwenang dalam menanganimasalah keamanan pangan di Thailand,menjadi salah satu pokok permasalahan.Lupien (2007) menyebutkan bahwaperan pemerintah sangat pentingdalam hal mencegah dan mengawasiresiko keamanan pangan. Dalam hal ini,pemerintah disamping memiliki regulasiyang jelas juga perlu mendanai prosesperijinan pra-pasar bagi produk panganserta pengawasan untuk memastikanpersyaratan pangan sudah sesuaidengan ketentuan.

Dukungan pemerintah dalampembangunan infrastruktur jugadiperlukan. Islam dan Hoque (2013)melakukan penelitian di Bangladesh

terkait kemungkinan bahan berbahayayang dipakai atau terpakai pada bahanmakanan, mulai dari residu pestisidahingga penggunaan zat kimia yangdisengaja. Sehingga disimpulkan bahwaregulasi dan pengawasan belum cukupdan harus didukung oleh infrastrukturlaboratorium bagi otoritas pengawaspangan dan lembaga yang bertugasmembangun kesadaran masyarakat akandampak buruk dari B2.

Gambaran Umum Perdagangan B2 diIndonesia

Secara teknis, Formalin (HS2912.11.00.00) merupakan larutan yangtidak berwarna dengan bau yang sangattajam. Di dalam formalin terkandungsekitar 37% formaldehyde dalam airsebagai pelarut. Biasanya di dalamformalin juga terdapat bahan tambahanberupa methanol hingga 15% sebagaipengawet. Formalin dikenal luas sebagaibahan antimikrobial atau pembunuh hama(desinfektan) dan banyak digunakandalam industri. Sementara Boraks (HS2840.19.00.00) merupakan senyawa kimiadengan nama Natrium Tetraborat yangberbentuk kristal lunak. Boraks biladilarutkan dalam air akan terurai menjadinatrium hidroksida serta asam borat. Baikboraks maupun asam borat memiliki sifatantiseptik dan biasa digunakan olehindustri farmasi sebagai ramuan obatmisalnya dalam salep, bedak, larutankompres, obat oles mulut, dan obatpencuci mata. Secara lokal boraks dikenalsebagai 'bleng' dengan bentuk larutan

299Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

atau padatan. Sedangkan Rhodamin B(HS 3204.13.00.00) atau yang biasadikenal dengan pewarna buatan adalahsenyawa kimia yang bersifat toksik dankarsinogenik atau dapat memicu kanker.

Pengadaan dan distribusi B2 diaturdalam Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atasPermendag 44/M-DAG/PER/9/2009tentang Pengadaan, Distribusi, danPengawasan Bahan Berbahaya. Dalamperaturan tersebut dijelaskan bahwasegala bentuk zat dalam bentuktunggal maupun campuran yangdapat membahayakan kesehatan danlingkungan hidup secara langsungatau tidak langsung, yang mempunyaisifat racun (toksisitas), karsinogenik,teratogenik, mutagenik, korosi f ,dan iritasi diatur pengadaan dandistr ibusinya secara ketat o lehpemerintah, termasuk B2.

D a l a m p e r a t u r a n t e r s e b u tdijelaskan bahwa pelaku usaha B2meliputi Produsen (P-B2), importirTerdaftar (IT-B2), Importir ProdusenTerdaftar (IP-B2), Distributor Terdaftar(DT-B2), Pengecer Terdaftar (PT-B2),dan Pengguna Akh i r Terdaf tar(PA-B2). Dalam mekanismenya, IT-B2mengimpor formalin untuk kemudianmendistribusikannya kepada penggunaakhir dalam hal ini pengguna yangmembutuhkan formalin sebagai bahanbaku industrinya, yaitu kepada DT-B2,PT-B2, dan PA-B2. Perusahaan yangditunjuk sebagai IT-B2 berdasarkanPermendag 44/M-Dag/Per/9/2009adalah PT Perusahaan PerdaganganIndonesia (PPI). Sementara IP-B2mengimpor formalin untuk digunakansendiri sebagai bahan baku industrinyadan hanya d iperuntukkan bagikebutuhan produksinya sendiri sertatidak dapat diperjual-belikan maupundipindah-tangankan.

Sumber : Kementerian Perdagangan (2009), diolah

Gambar 1. Alur Distribusi B2.

300 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

Produk B2 yang umum diper-dagangkan di dalam negeri adalahformalin (HS 2912.11.00.00) yang dijualdalam berbagai merek seperti formol,morbicid, methanal, formic aldehyde,methyl oxide, oxymethylene, methylenealdehyde, oxomethane, formoform,formalith, karsan, methylene glycol,paraforin, polyxymethylene glycols,superlysoform, tetraoxymethylene, danrioxane. Kapasitas produksi formalindalam negeri mencapai 800 ribu ton pertahun namun utilisasinya baru men-capai 40% atau sekitar 350 ribu ton pertahun. Sementara untuk Boraks (HS2840.19.00.00) umumnya digunakanoleh industri farmasi sebagai ramuanobat misalnya dalam salep, bedak,larutan kompres, obat oles mulut danobat pencuc i mata sedangkanRhodamin B (HS 3204.13.00.00) umumdigunakan sebagai pewarna kain.Tahun 2012, terdapat 25 IP-B2 yangberoperasi di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode Analisis

Alat analisis yang digunakan dalamkajian ini adalah Regulation ImpactAnalysis (RIA) untuk mengevaluasiPermendag 44/M-DAG/PER/9/2009tentang Pengadaan, Distribusi DanPengawasan Bahan Berbahaya.BAPPENAS (2011) menyatakan bahwametode RIA merupakan salah satu alatatau pendekatan yang dapat digunakan

untuk meningkatkan kualitas suatukebijakan pemerintah. Metode RIA inimerupakan proses anal is is danpengkomunikasian secara sistematisberbagai aspek dalam penetapan danpelaksanaan sebuah kebijakan, baikyang berbentuk peraturan maupunnon-peraturan, yang sudah ada maupunkebijakan baru. Nasokah (2008) jugamenjelaskan bahwa RIA adalah sebuahmetode yang secara sistematis dankonsisten mengkaji pengaruh yangditimbulkan oleh tindakan pemerintahdan mengkomunikasikan informasikepada para pengambil keputusan

Dalam kajian ini, kebijakan yangakan dianalisis merupakan kebijakanyang sudah ada berupa Peraturan-Peraturan Menteri Perdagangan tentangPengadaan, Distribusi, dan PengawasanBahan Berbahaya (Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dan Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011). Proses dalampelaksanaan metode RIA dijelaskanpada Gambar 1.

Sebagai suatu proses, pelaksanaanmetode RIA dilakukan melalui berbagaitahapan (langkah), yaitu:

1. Identifikasi dan analisis masalahterkait dengan kebijakanDalam tahapan identifikasi dananalisis masalah ini, pengambilkebijakan diharapkan dapat melihatdengan jelas permasalahan yangsebenarnya dihadapi dan hendakd ipecahkan dengan mela lu i

301Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

penetapan kebijakan. Pada tahapini, perlu dibedakan antara masalah(problem) dengan gejala (symptom),karena penetapan kebijakan harus-lah diarahkan untuk memecahkanmasalah, bukan gejalanya. Dengandemikian, kebijakan haruslahmenyentuh kepada masalah danpenyebab masalahnya.

2. Penetapan TujuanSetelah masalah dan akar masalahteridentifikasi, pengambil kebijakanperlu menetapkan tujuan dari

kebijakan yang akan diambil atautelah diambil. Tujuan dari kebijakanini sangat penting dirumuskandengan jelas karena akan terkaitdengan pen i la ian te rhadapefektivitas suatu kebijakan yangditetapkan. Efektivitas dari suatukebijakan menyangkut kepada suatukondisi apakah kebijakan yangditetapkan dan diimplementasikandapat mencapai tujuan ditetapkan-nya kebijakan tersebut.

Sumber: BAPPENAS (2011)

Gambar 2. Proses Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment (RIA).

302 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakanSetelah menetapkan tujuan denganjelas, langkah selanjutnya adalahmencari berbagai alternatif ataupilihan yang bisa diambil untukmemecahkan masalah tersebut.Untuk analisis dampak dari suatukebijakan yang sudah dilakukan,maka alternatif pertama adalahtetap membiarkannya dan tidakmelakukan apa-apa (kondis ibaseline). Pilihan/alternatif kebijakanharus dapat digali dengan seluas-luasnya dan dengan melibatkanseluruh stakeholders dari berbagailatar belakang dan kepentingan,sehingga diperoleh beragamalternatif yang dipertimbangkanuntuk kebijakan.

4. Penilaian terhadap pilihan alternatifkebijakanPeni laian terhadap alternat i fpilihan kebijakan dilakukan denganmempertimbangkan berbagai aspek,seperti legalitas, biaya, dan manfaat.Suatu pilihan kebijakan harus tidakbertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku.Oleh karenanya, penilaian pilihanberdasarkan aspek legalitas inimerupakan awal dalam melakukanpenilaian alternatif kebijakan.Terhadap masing-masing alternatifkebijakan yang tidak bertentangandengan perundang-undangan ini,kemudian dilakukan penilaian biaya

dan manfaat. Penilaian biaya danmanfaat ini tidak harus berartidalam bentuk biaya dan manfaatfinansial (yang diukur denganuang), namun dapat berupa apa dansiapa yang terkena atau mendapatdampak (biaya) dan manfaatakibat dari alternatif kebijakan,termasuk pilihan kebijakan tidakmelakukan apa-apa.

5. Pemilihan kebijakan terbaikPemilihan kebijakan terbaik dilakukandengan melakukan analisis manfaatdan biaya. Pada tahap pemilihankebijakan terbaik dapat dilakukanberbagai kaidah pemilihan. Namunpada umumnya, pemilihan kebijakanterbaik berdasarkan manfaat bersih,yaitu jumlah semua manfaat dikurangidengan jumlah semua biaya,yang terbesar.

6. Penyusunan strategi implementasiPenerapan suatu kebijakan sepertiyang dikemukakan sebelumnya akanberpengaruh terhadap kehidupanmasyarakat . Dan ser ingka l ipenerapan kebijakan tersebutt idak secara otomatis dapatmencapai tujuan dari ditetapkan-nya kebijakan. Oleh karenanya,perlu disusun strategi dalamimplementasi sehingga penerapansuatu kebijakan dapat mencapaitujuan ditetapkannya kebijakantersebut, dan tidak menimbulkanhasil yang tidak diharapkan.

303Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

7. Partisipasi masyarakat di semuaprosesPada setiap tahapan dari prosesanalisis RIA ini harus melibatkanberbagai komponen masyarakat(stakeholders) baik stakeholdersyang secara langsung maupun tidaklangsung terdampak oleh suatukebijakan yang sedang disusun.Dengan melibatkan stakeholdersdalam set iap tahapan akandidapat data dan informasi yangakurat dalam mempertimbangkansebuah kebijakan.

DataData yang dikumpulkan dalam

analisis ini diperoleh dengan cara surveidan observasi lapangan kepadaresponden di daerah penelitian denganmenggunakan kuesioner yang telahdipersiapkan serta melakukan wawan-cara langsung secara mendalam(in depth). Pertanyaan dikembangkanuntuk mendalami berbagai hal yangbelum tertangkap melalui kuesioner.Selain survei, pengambilan data daninformasi juga dilakukan melalui DiskusiTerbatas (konsultasi publik) untukmenggali dan mencari solusi daripermasalahan yang ada dalam penerapankebijakan pengawasan B2. Dalam DiskusiTerbatas ini diundang para pemangkukepentingan yang terkait dengan B2.Metode yang digunakan dalam penentuanresponden adalah purposive sampling(metode pemilihan sampling dengan cara

sengaja memil ih sampel-sampeltertentu karena memiliki ciri-ciri khususyang tidak dimiliki sampel lainnya) padapelaku usaha yang memperdagangkanFormalin, Boraks dan Rhodamin-B.

Data yang digunakan dalam kajianini terdiri dari data primer dan sekunder.Data primer terdiri dari harga B2 darisetiap simpul pemasaran, biayapemasaran, jumlah pelaku usaha padasaluran pemasaran dan implementasiPermendag. Data Primer diperoleh dariwawancara langsung dengan respondenyaitu produsen, distributor, pengecer,industri pengolahan B2. Data sekunderyang dikumpulkan adalah produksi sertakebijakan terkait komoditas B2. Sumberdata Sekunder diperoleh melaluipendekatan Desk Study (reviewdokumenter) dari instansi yang terkait,seperti BPS, BPOM, KementerianPerindustrian dan lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Peraturan Bahan BerbahayaMenggunakan Regulatory ImpactAnalysis (RIA)

1. Identifikasi masalahBerdasarkan hasil evaluasi

dan diskusi dengan stakeholdersyang terlibat dengan B2, dapatdiidentifikasi permasalahan terkaitdengan pengaturan B2 yaitubelum tersedianya data base B2yang akurat serta belum adapemetaan kebutuhan setiap jenis

304 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

B2 secara jelas, baik nasionalmaupun setiap wilayah khususnyaBoraks, Formalin, Rhodamin-B danMetanil Yellow. Data base B2 danpemetaan kebutuhan setiap jenisB2 te rsebu t pen t ing un tukmengetahui jumlah pengadaanB2 terutama dari impor. Terkaitdengan IT-B2, PT PPI merupakansatu-satunya perusahaan yangditunjuk sebagai IT-B2 t idakmampu melakukan impor untuksemua jen is B2. Seh inggadimungkinkan adanya “indikasi“kebocoran yang berasal dari Importirprodusen B2 (IP-B2) atau adanyaimpor B2 ilegal di pasaran.

Selain itu, jenis B2 yangtercantum dalam Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 sebagaiPerubahanatas Permendag Nomor:44/M-DAG/PER/9/2009 dan TentangPengadaan , D is t r i bus i danPengawasan B2, belum disesuaikanBuku Tarif Kepabeanan Indonesia(BTKI) tahun 2012, sehingga adakesulitan dalam penyesuaianHarmonized System (HS) dalamimportasi B2. Pengaturan distribusiB2 juga menyulitkan pengawasankarena saluran distribusi B2 yangkurang terstruktur dan tidak adapengaturan wilayah distribusi.Sebagai contoh, P-B2 atau IT-B2dapat mendistribusikan B2 kepadaDT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2;DT-B2 dapat mendistribusikan B2

kepada PT-B2 dan/atau PA-B2;dan PT-B2 mendistribusikan B2kepada PA-B2.

Permasalahan dalam pelaporanjuga belum efektif dimana monitoringpelaporan tidak berjalan dengansemestinya terutama di tingkatprovinsi dan kabupaten/kota.Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yangdidistribusikan di suatu wilayahdilakukan melalui kantor pusatnyayang mungkin saja tidak di wilayahte rsebu t . Jumlah B2 yangdidistribusikan ke dalam suatuwilayah sulit untuk diidentifikasi.Disamping itu, tidak ada kewajibanlaporan PA-B2 merupakan tendensikebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakanperuntukannya. Hal ini diperparah,koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyakdilakukan di daerah. KomitmenPemerintah daerah yang relatifrendah sehingga pelaksanaanpengawasan B2 belum didukungoleh sumber daya manusia.Pengawasan oleh Disperindag lebihkepada pengawasan barang beredarterkait SNI dan Label, sedangkanuntuk B2 belum berjalan secara baik.Sementara pengawasan oleh BPOMlebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2,tetapi bukan kepada pelaku usahaperdagangan B2. Permasalahan

305Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

pengawasan juga diperparahdengan masih banyak daerah yangbelum memiliki Tim Pemeriksa B2yang berfungsi untuk melakukanverifikasi persyaratan fasilitaspenyimpanan yang memenuhisyarat K3L sebagai syarat untukmendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2.

2. Penetapan TujuanSecara umum, tujuan revisi

peraturan mengenai pengadaan,distribusi, dan pengawasan B2d i lakukan un tuk mencegahberedarnya B2 secara ilegal danuntuk mencegah penyalahgunaanB2 yang dapat menimbulkankerugian bagi masyarakat. Secarakhusus, revisi peraturan mengenaiB2 bertujuan untuk: (1) memperbaikiketentuan pengadaan B2 sehinggamemenuhi kebutuhan secaraakurat; (2) menyempurnakan sistemdistribusi B2 sehingga mudahdikendalikan dan diawasi; (3)memperbaiki sistem pengawasanB2 dan sanksi atas pelanggaran; dan(4) mengintegrasikan pengaturanpenggunaan B2.

3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan

Untuk mencapai tujuan tersebut,beberapa pilihan perbaikan kebijakansebagai berikut :

a. Perbaikan ketentuan pengadaan B2Berkaitan dengan pengaturan

kembali ijin impor, ada beberapaalternatif, di antaranya: (1) pemberianijin pengadaan impor tetap diberikankepada IP-B2 dan IT-B2, dimana IP-B2 mendistribusikan untuk prosesproduksinya sendiri (tidak bolehmendistribusikan ke pasar) dan IT-B2 dapat mendistribusikan kepadaDT-B2, PT-B2, atau PA-B2 danditunjuk sebagai IT-B2 adalah PPI(alternatif 1, tidak ada perubahan);(2) pemberian ijin pengadaan imporB2 hanya diberikan kepada IT-B2 dansebagai IT-B2 ditunjuk satu BUMN(alternatif 2); dan (3) pemberian iijinpengadaan impor B2 hanya diberikankepada perusahaan yang memenuhisyarat sebagai IT-B2 (alternatif 3).Secara detail alternatif kebijakanbeserta keuntungan dan kerugianserta konsekuensi dari masing-masing alternatif kebijakan disajikandalam Tabel 1.

306 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

Sumber: Hasil olahan (2013)

Tabel 1. Alternatif Kebijakan Dalam Ketentuan Pengadaan B2

No. Alternatif Keuntungan Kerugian Konsekuensi dariKebijakan Alternatif Kebijakan

– Tidak perlu ada“regulatory arrangement”yang baru (tidak perlupengaturan kelembagaanbaru)

– IP-B2 tetap dapatmengimpor bahan baku(B2) pada tingkat hargayang efisien

– Importir B2 tidakmenghadapi perubahanprosedur impor (statusperijinan sebagai importirtetap sama, yaitu IP danIT)

– Kemudahan untukmembedakan pelakuusaha sebagai produsenB2 dan importir.Perbedaan antara IP-B2dengan IT-B2 diperlukanuntuk mengontrolkebutuhan B2 bagikebutuhan industridengan kebutuhandagang sehingga traceback terhadappenyimpangan mudahdilakukan.

– Pengawasan danpengendalian impor B2relatif lebih mudahdilakukan karena hanyaada satu perusahaan IT-B2 sehingga mengurangiperedaran B2 ilegal

– Menutup kemungkinanterjadinya kebocoran dariIP-B2

– Semua jenis B2 yangdibutuhan berpeluangdapat disediakan oleh IT-B2 (dapat menutuppeluang impor ilegal)

– Tidak ada perbedaan‘status’ pengimpor dantidak ada diskriminasi (IT-B2 vs IP-B2)

– Kemungkinan adanya‘kebocoran’ dari IP-B2 kepasar

– Keterbatasan IT-B2 dalampengadaan semua jenis B2mengakibatkan munculnyapeluang impor ilegal

– Bersifat ‘monopoli’– IP-B2 dianggap sebagai PA-

B2 yang akan tergantungpada IT-B2 (dan tentunyaakan menerima harga yanglebih tinggi)

– Keterbatasan IT-B2 dalampengadaan semua jenis B2mengakibatkan munculnyapeluang impor ilegal

– Distribusi bahan baku olehprodusen menjadi lebihpanjang karena harusmembeli dari IT-B2

Memerlukan pengaturankelembagaan impor yang barudan sosialisasi

– IP-B2 dianggap sebagai PA-B2 yang akan tergantungpada IT-B2 (dan tentunyaakan menerima harga yanglebih tinggi)

– Distribusi bahan baku olehprodusen menjadi lebihpanjang karena harusmembeli dari IT-B2

– IT-B2 belum tentu mengetahuispesifikasi khusus B2 yangdiperlukan produsen.

Memerlukan pengaturankelembagaan impor yang barudan sosialisasi

– Perlu, memperbaikipelaksanaan dariperaturan tersebut

– Perlu mengoptimalkanmekanisme pelaporan

– importir juga dapatdiminta untukbertanggung jawab jikaterjadipenyalahgunaanproduknya. Artinya,importir dipaksa untukikut dalampengawasan danpendistribusianproduknya

– Perlu peningkatankemampuan IT-B2dalam memenuhiseluruh kebutuhan B2

– Diperlukan insentif bagiprodusen skala besaruntuk efisiensiproduksinya

Alternatif 1:Pengadaan Impordiberikan kepadaIP-B2 dan IT-B2(tetap).

Alternatif 2:Pengadaan imporhanya diberikankepada IT-B2, danditunjuk satuperusahaanBUMN untuk IT-B2(PT.PPI)

Alternatif 3:Pengadaan imporhanya diberikankepada IT-B2 danIT-B2 diberikankepadaperusahaan-perusahaan yangmemenuhiketentuan

1

2

3

307Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

b. Penyempurnaan sistem distribusi B2Penyempurnaan sistem distribusi

dilakukan agar penyaluran B2 dapatdilakukan dengan baik, sertapengendalian dan pengawasannyadapat dilakukan secara efektif. Dalampengaturan sistem distribusi, ada duapilihan sistem distribusi: (1) sistemdistribusinya seperti yang sekarangada (alternatif 1), dimana IT-B2 atauP-B2 dapat mendistribusikan B2kepada DT-B2, PT-B2, dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikanB2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2;

dan PT-B2 dapat mendistribusikankepada PA-B2 dan sistem distribusiyang baru (alternatif 2) dimana IT-B2atau P-B2 menditribusikan B2 kepadaDT-B2 atau kantor cabang IT- B2 disuatu wilayah; DT-B2 atau KantorCabang IT-B2 mendistribusikan B2kepada PT-B2 di wilayahnya; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2 di wilayahnya. Keuntungan,kerugian, dan konsekuensi dariamsing-masing alternatif kebijakantersebut disajikan dalam Tabel 2.

Sumber: Hasil olahan (2013)

Tabel 2. Alternatif Kebijakan Dalam Ketentuan Distribusi B2

No. Alternatif Keuntungan Kerugian Konsekuensi dariKebijakan Alternatif Kebijakan

– Tidak ada perubahan chaneldistribusi B2 (mulaiprodusen/importir sampaipengecer dan penggunaakhir)

– Pengecer dan penggunaakhir dapat membeli denganharga yang relatif murah

– IT-B2 langsung menyalurkanB2 ke pengecer B2 dan PA-B2

– Herarki distribusi Relatifmemudahkan dalampengawasan danpengendalian B2

– Keberadaan kantor cabangIT-B2 atau DT-B2 dapatmemperpendek rantai tataniaga B2

– Sistem distribusi lebihkompleks sehinggamenyulitkanpengawasan danpengendalian

– PA-B2 akan menerimaharga relatif lebih mahal(merugikan PA-B2 yangbesar)

– Pengecer Tidak bisamemenuhi kebutuhan PAdalam jumlah besar

Alternatif 1 :Pengaturandistribusi sepertisekarang

Alternatif 2:Pengaturandistribusi B2diubah

1

2

308 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

c. Perbaikan sistem pengawasan B2dan sanksi atas pelanggaran

P e n g a t u r a n m e k a n i s m epengawasan harus lebih jelasdengan sanksi yang tegas tidakhanya sanksi administratif. Dalamsistem pemerintahan yang sekarang,mekanisme pengawasan harusmempertimbangkan kewenanganpemerintah daerah. Harus adakomitmen bahwa pengawasan B2menjadi kewajiban dari pemerintahdaerah dan bukan semata-mata menjadi tanggungjawabpemerintah pusat. Oleh karenanya,perlu dibentuk dan diefektifkankinerja Tim B2 di tingkat pusat danTim Terpadu B2 di tingkat propinsiatau kabupaten/kota.

Pelaku usaha yang memilikiusaha B2 di suatu wilayah memilikikewaj iban untuk melaporkanlangsung pengadaan dan distribusiB2 kepada Tim Terpadu atau instansiterkait di wilayahnya, selain melaluikantor pusatnya. Ketidakpatuhanpelaku usaha B2 terhadap kewajibanmelapor secara rutin dapat dikena-kan sanksi administratif tidakhanya pencabutan SIUP tetapi jugadenda dan/atau penggantiankerugian sesuai dengan ketentuanperundangan yang ada (misalnya:UU No 18/2012 tentang Pangan).

d. Pengin tegras ian pengaturanpenggunaan B2.

Ketentuan mengenai peng-gunaan B2 oleh PA-B2 secara

u m u m s e b a i k n y a p e r l udicantumkan dalam peraturanmengenai pengadaan, distribusidan pengawasan B2, termasukdi antaranya perlunya PA-B2m e n g a j u k a n p e r e n c a n a a nkebutuhan secara rutin selainmelaporkan penggunaan B2yang diperolehnya.

4. Penilaian terhadap pilihan alternatifkebijakan

Peraturan mengenai peng-adaan, distribusi dan pengawasanB2 secara umum perlu direvisi.Selain untuk menyempurnakanketentuan yang ada, revisi dilakukanuntuk mengantisipasi dan sebagaikonsekuensi dari adanya ketentuanlain seperti adanya ketentuan baru(misalnya: KTBI, 2012) atau Undang-Undang baru (misalnya: UUNo 18/2012). Berkaitan denganpenilaian alternatif kebijakanmenyangkut pengaturan peng-adaan impor, maka berdasarkandiskusi dengan stakeholderspenilaian keuntungan dan kerugiansecara kualitatif, sebagai berikut:

a. A l t er n at i f 1: pemberian i j inpengadaan impor tetap diberikankepada IP-B2 dan IT-B2. Hal inidiperkirakan akan memberikankeun tungan t e ru tama bag ipemerintah antara lain tidak di-perlukan sosialisasi dan regulatoryarrangement yang baru, dapatmemperbaiki mekanisme pelak-sanaan peraturan, dan hanya perlu

309Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

mengopt imalkan mekanismepelaporan. Pada sisi lain, alternatifini memiliki kerugian antara lainpermasalahan pengadaan impormungkin akan tetap ada, terjadinyakebocoran dari IP-B2 ke pasar, danbelum mampunya IT-B2 dalampengadaan semua jenis B2memunculkan peluang pengadaanmelalui impor ilegal.

b. A l t er n at i f 2: pemberian i j inpengadaan impor B2 hanya diberi-kan kepada IT-B2 dan sebagai IT-B2ditunjuk satu BUMN. Keuntungan-nya adalah pengawasan dan kontrolpengadaan B2 dari impor lebihmudah diawasi serta kemungkinankebocoran B2 dari IP-B2 dapatdihilangkan. Namun perkiraankerugiannya adalah menumbuhkanmonopoli importir, kebutuhanIP-B2 akan tergantung pada IT-B2(dan ten tunya IP -B2 yangmembutuhkan B2 untuk prosesproduksinya akan menerima hargayang lebih t inggi) dan perlupeningkatan kemampuan IT-B2d a l a m m e m e n u h i s e l u r u hkebutuhan B2.

c. Alternatif 3: pemberian ijin peng-adaan impor B2 hanya diberikankepada perusahaan yang memenuhisyarat sebagai IT-B2. Keuntungan-nya adalah tidak menimbulkanperbedaan perlakuan antar peng-impor, sehingga memungkinkanuntuk membentuk asosiasi peng-impor B2, pengawasan dan

pengendalian dapat relatif mudahdilakukan apabila mereka mem-bentuk asosiasi pengimpor B2,serta menghilangkan kemungkinankebocoran dari IP-B2. Sementarabeberapa kerugian yang mungkinterjadi adalah IP-B2 akan menerimaharga yang lebih tinggi karenadianggap sebagai PA-B2 dan akantergantung pada IT-B2

Berkaitan dengan penilaian alternatifkebijakan menyangkut pengaturandistribusi B2, maka berdasarkan diskusidengan s takeho lders pen i la iankeuntungan dan kerugian secarakualitatif, sebagai berikut:

a. Alternatif 1: Sistem distribusi tetapsepert i yang ada sekarang.Keuntungan dari alternatif kebijakanini adalah efisiensi oleh pemerintahkarena tidak memerlukan upayasosialisasi peraturan yang baru.Selain itu, PA-B2 dapat memperolehB2 lebih mudah dari berbagai pelakuusaha. Namun demikian, alternatifini juga memiliki kerugian antara lainmenyulitkan pengawasan danpengendalian karena distribusi tidakterstruktur dengan jelas. Selain itupenyalahgunaan B2 bisa lebih marakkarena mudah didapat dengan hargayang relatif murah.

b. Al ternat i f 2: Perubahan sistemdistribusi. Keuntungannya adalahpengawasan dan pengendalianakan relatif lebih mudah dilakukan.Selain itu, keberadaan kantor cabang

310 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

I T- B 2 a t a u D T- B 2 d a p a tmemperpendek rantai tataniagaB2, dan kebutuhan serta penyaluranB2 dapat dipantau dengan baikoleh pemerintah. Sementarabeberapa kerugiannya antaralain PA-B2 hanya akan dapatmemperoleh B2 dari PT-B2,sehingga akan menerima hargarelatif lebih mahal (merugikanPA-B2 yang besar).

5. Pemilihan kebijakan terbaikBerdasarkan hasil diskusi, dengan

mempertimbangkan keuntungan dankerugiannya, maka dapat diambilkeputusan bahwa:

1. Pengaturan mengenai peng-adaan ijin impor diberlakukan(alternatif 1) atau tetap sepertiyang diatur dalam Permendag. Ijinpengadaan impor diberikan kepadaIP-B2 untuk keperluan prosesproduksi dan kepada IT-B2 yangdtun juk ya i tu PTPPI un tukmendistribusikan B2 ke pasar.Namun demikian, disarankan IP-B2tidak boleh merangkap sebagaiP-B2 sehingga dapat mengurangikemungkinan terjadinya kebocoranB2 yang diimpor IP-B2 ke pasar.

2. Pengaturan mengenai distribusi B2dipilih alternatif 2 dimana adanyapengaturan distribusi yang lebihterstruktur dan membatasi wilayahdistribusi. Dalam konsultasi, tidakada stakeholders yang merasa

keberatan dengan pengaturandistribusi yang baru. Hanya sajauntuk pengguna akhir B2 (PA-B2)yang membutuhkan B2 dalamjumlah besar dapat mengajukan ijinuntuk bisa mendapatkannya dariIT-B2 atau P-B2 agar merekatidak merasa dirugikan denganmenerima harga yang lebih tinggijika pengaturan ini diberlakukan.

Upay a Pen i n g k atan Ef ek t i f i t asPen g aw as an Di s t r i b u s i B 2

Penyalahagunaan B2 terutamasebagai bahan tambahan untuk pangandapat membahayakan kesehatanmanusia dan juga lingkungan. Salah satupenyebab timbulnya penyalahgunaanB2 diduga karena bahan berbahayamudah diperoleh di pasar. MeskipunPemer in tah te lah menerb i t kanperaturan-peraturan dengan tujuan untukmencegah terjadinya penyimpangan danpenyalahgunaan B2. Namun dalampelaksanaannya masih belum sesuaidengan apa yang menjadi tujuan dariperaturan tersebut. Pengadaan, pen-distribusian maupun penggunaan B2terus meningkat dan bahkan semakinmudah diperoleh di pasar.

Beberapa ketentuan terutamadalam Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,Dist r ibusi dan Pengawasan B2menunjukkan kontradiksi yang menim-bulkan ketidakjelasan, antara lain:

1. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2)hanya ditunjuk oleh Distributor

311Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

Terdaftar B2 (DT-B2) sebagaimanadiatur pada Pasal 1 Angka 8 danPT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 padaPasal 11 Ayat (2) Huruf d. Namunpada Pasal 1 Angka 12 diaturbahwa PT-B2 dapat ditunjuk olehImportir Terdaftar B2 (IT-B2) atauProdusen B2 (P-B2).

2. Selain itu, pada Pasal 1 Angka 9,ketentuan tentang Pengguna AkhirB2 (PA-B2) tidak menjelaskanbatasan besar-kecilnya skala usaha.Mengingat baik P-B2 dan IT-B2maupun PT-B2 dapat langsungmenjual ke PA-B2, maka P-B2 danIT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2dalam skala kecil.

3. Dalam peraturan tersebut jugaterkesan tidak semua B2 dapatdiawasi. Hal ini dapat dilihat padaPasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenisB2 yang diatur tata niaga impordan distribusinya dan Pasal 20 Ayat(1) menyebutkan pengawasanterhadap distribusi, pengemasandan pelabelan B2. Pada Lampiran 1,jenis B2 yang diatur tata niagaimpornya sebanyak 351 jenis,sedangkan jenis B2 yang diaturd is t r ibus inya sebanyak 54 ,sehingga tidak semua jenis B2dilakukan pengawasan.

4. Terkait dengan impor, Pasal 3 Ayat(1) menyebutkan P-B2 bolehmengimpor B2, sedangkan padapasal 1 Angka (3) P-B2 hanyamemproduksi B2 saja.

5. Selain itu juga terdapat hal yangbelum sesuai dengan peruntukankebutuhan khususnya PA-B2 skalakecil, dimana Pasal 8 Ayat (3) tentangketentuan kemasan dan pengemasanulang (repacking) yang dilakukanoleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2(Lampiran II). Namun PT-B2 jugamelakukan repacking untuk dijualkepada PA-B2 dalam kemasan kecil.

Pasal lain yang menimbulkankontradiksi adalah terkait dengankantor cabang yang dijelaskan dalamPasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantorcabang perusahaan dapat berfungsisebagai PT-B2. Jika kantor cabangadalah PT-B2 maka tidak diwajibkanmemiliki persyaratan, salah satunyamemiliki peralatan sistem tanggapdarurat dan tenaga ahli di bidangpengelolaan B2. Terkait denganpembinaan, Pasal 19 menjelaskanb a h w a p e m b i n a a n d i l a k u k a nterhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2,PT-B2 namun belum menyebutkanp e m b i n a a n t e r h a d a p P - B 2sehingga dapat menimbulkan resikopenyalahgunaan oleh P-B2.

Sebagai langkah ant is ipat i f ,kontradiksi dalam peraturan perlud i r e v i s i u n t u k m e m i n i m a l i s i rpenyalahgunaan B2 yang berdampaknegatif bagi masyarakat. Beberapahal yang perlu dicermati antara lain:

1. Dalam Pasal 1 Ayat 8, diusulkanPT–B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidakditunjuk oleh Importir Terdaftar B2

Terdaftar B2 (DT-B2) sebagaimanadiatur pada Pasal 1 Angka 8 danPT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 padaPasal 11 Ayat (2) Huruf d. Namunpada Pasal 1 Angka 12 diaturbahwa PT-B2 dapat ditunjuk olehImportir Terdaftar B2 (IT-B2) atauProdusen B2 (P-B2).

2. Selain itu, pada Pasal 1 Angka 9,ketentuan tentang Pengguna AkhirB2 (PA-B2) tidak menjelaskanbatasan besar-kecilnya skala usaha.Mengingat baik P-B2 dan IT-B2maupun PT-B2 dapat langsungmenjual ke PA-B2, maka P-B2 danIT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2dalam skala kecil.

3. Dalam peraturan tersebut jugaterkesan tidak semua B2 dapatdiawasi. Hal ini dapat dilihat padaPasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenisB2 yang diatur tata niaga impordan distribusinya dan Pasal 20 Ayat(1) menyebutkan pengawasanterhadap distribusi, pengemasandan pelabelan B2. Pada Lampiran 1,jenis B2 yang diatur tata niagaimpornya sebanyak 351 jenis,sedangkan jenis B2 yang diaturd is t r ibus inya sebanyak 54 ,sehingga tidak semua jenis B2dilakukan pengawasan.

4. Terkait dengan impor, Pasal 3 Ayat(1) menyebutkan P-B2 bolehmengimpor B2, sedangkan padapasal 1 Angka (3) P-B2 hanyamemproduksi B2 saja.

5. Selain itu juga terdapat hal yangbelum sesuai dengan peruntukankebutuhan khususnya PA-B2 skalakecil, dimana Pasal 8 Ayat (3) tentangketentuan kemasan dan pengemasanulang (repacking) yang dilakukanoleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2(Lampiran II). Namun PT-B2 jugamelakukan repacking untuk dijualkepada PA-B2 dalam kemasan kecil.

Pasal lain yang menimbulkankontradiksi adalah terkait dengankantor cabang yang dijelaskan dalamPasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantorcabang perusahaan dapat berfungsisebagai PT-B2. Jika kantor cabangadalah PT-B2 maka tidak diwajibkanmemiliki persyaratan, salah satunyamemiliki peralatan sistem tanggapdarurat dan tenaga ahli di bidangpengelolaan B2. Terkait denganpembinaan, Pasal 19 menjelaskanb a h w a p e m b i n a a n d i l a k u k a nterhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2,PT-B2 namun belum menyebutkanp e m b i n a a n t e r h a d a p P - B 2sehingga dapat menimbulkan resikopenyalahgunaan oleh P-B2.

Sebagai langkah ant is ipat i f ,kontradiksi dalam peraturan perlud i r e v i s i u n t u k m e m i n i m a l i s i rpenyalahgunaan B2 yang berdampaknegatif bagi masyarakat. Beberapahal yang perlu dicermati antara lain:

1. Dalam Pasal 1 Ayat 8, diusulkanPT–B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidakditunjuk oleh Importir Terdaftar B2

312 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

(IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2)seperti pada Pasal 1 Ayat 12.

2. Terkait dengan skala usaha padaPasal 1 Angka 9, pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karenabaik P-B2 dan IT-B2 dapat langsungmenjual ke PA-B2 termasuk padaskala usaha kecil.

3. S e m e n ta r a t e r k a i t d e n g a npengawasan B2 pada Pasal 2 Ayat1, perlu pengawasan pada semuajenis B2 baik yang diatur tataniaga-nya (Lampiran 1 : 351 jenis B2)maupun distribusinya (Lampiran II :54 jenis), sehingga tidak adaperbedaan dalam pengawasandan kejelasan peran P-B2 sebagaiprodusen saja sehingga tidakboleh mengimpor dengan meng-hapus Pasal 3 Ayat 1.

4. Terka i t dengan perun tukankebutuhan B2, Pasal 8 Ayat 3 perluditambahkan ayat yang peruntukan-nya kepada PA-B2 dengan mengaturberat/volume.

5. Kemudian terkait dengan kantorcabang, diusulkan agar kantorcabang hanya sampai DT-B2 karenaharus memiliki persyaratan, salahsatunya memiliki peralatan sistemtanggap darurat dan tenaga ahli dibidang pengelolaan B2, sementaraPT-B2 tidak diharuskan memilikipersyaratan tersebut. Selain itu, perlujuga dilakukan pembinaan terhadapP-B2 dan usulan ini dapat dimasukanpada pasal 19.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKEBIJAKAN

Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi danPengawasan Bahan Berbahaya belumkomprehensif dan implementasinyabelum efektif. Beberapa ketentuandalam Permendag menunjukkankontradiksi yang menimbulkan ketidak-jelasan seperti aturan penunjukanPengecer Terdaftar B2 (PT-B2) yangseharusnya hanya dapat ditunjuk olehDistributor Terdaftar B2 (DT-B2) namundapat juga ditunjuk oleh ImportirTerdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2(P-B2). Sedangkan ketidakjelasanyang lain adalah aturan terkaitProdusen (P-B2) yang dapat mengimporB2, sementara dalam peraturanin i d ia tu r bahwa P-B2 hanyamemproduksi B2 saja.

Implementasi Permendag Nomor:44 /M-DAG/PER/9 /2009 ten tangPengadaan, Distribusi dan PengawasanB2, belum berjalan dengan baik yangdisebabkan beberapa kendala yaitu:belum tersedia database B2 yangakurat, belum ada pemetaan kebutuhanuntuk mengetahui jumlah pengadaanB2 terutama dari impor, dan IT-B2 belummampu melakukan impor untuk semuajenis B2 sehingga memungkinkan adanyakebocoran yang berasal dari Importirprodusen B2 (IP-B2) atau adanya imporB2 ilegal di pasaran.

Pengaturan distribusi B2 menyulitkanpengawasan karena saluran distribusi B2yang kurang terstruktur dan tidak ada

313Evaluasi Peraturan Menteri Perdagangan...., Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena

pengaturan wilayah distribusi. Disisi lainsistem pelaporan belum berjalan dengansemestinya terutama di tingkat propinsidan kabupaten/kota menyebabkanjumlah B2 yang didistribusikan kedalam suatu wilayah sulit untukdiidentifikasi. Koordinasi dan mekanismeantar-lembaga pengawas B2 belumbanyak dilakukan di daerah yangdisebabkan rendahnya komitmenP e m e r i n ta h d a e r a h s e h i n g g apelaksanaan pengawasan B2 belumterlaksana dengan baik.

Perlu dilakukan penyempurnaanPermendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, DistribusiDan Pengawasan B2 agar penyalah-gunaan B2 dapat diminimalkan.Penyempurnaan peraturan sebaiknyamemuat hal-hal sebagai berikut:penetapan ketentuan perencanaanpengadaan, kebutuhan, perijinan danpelaporan B2. Dalam upaya memudah-kan dan mengefektifkan pengawasanterhadap peredaran B2, perlu diatursistem distribusi B2 yang terstrukturyaitu Produsen (P-B2) dan ImportirTerbatas (IT-B2) menyalurkannya keDistributor Terdaftar (DT-B2), DT-B2menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar(PT-B2) dan PT-B2 menyalurkannyake PA-B2, sehingga mudah dalammelakukan pengawasan. Selain ituperlu juga diatur ketentuan mengenaisanksi yang lebih jelas dan menimbulkanefek jera sesuai dengan pelanggarannyadalam upaya meningkatkan kepatuhanpelaku usaha dalam memenuhisegala kewajiban.

DAFTAR PUSTAKAAndarwulan N, S. Madanijah, Zulaikhah.

(2009). Safety of school children foodsin Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadiet al. Editor. Proceeding of InternationalSeminar Current Issue and Challengesin Food Safety. Bogor: Seafast Center.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional(BAPPENAS). (2011). Kajian RingkasPengembangan dan ImplementasiMetode Regulatory Impact Analysis (RIA)Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan danNon Peraturan) di KementerianPPN/BAPPENAS. Jakarta: Biro HukumKemen te r i an PPN/BAPPENAS

Badan Pengawasan Obat dan Makanan(BPOM). (2012). Report to the Nation:Laporan Kinerja Pengawasan Obat danMakanan RI kwartal I Tahun 2012.Jakarta: BPOM

Bagumire, A., E.C.D. Todd, , G.W. Nasinyama,& C. Muyanja. (2010). Food safetyregulatory requirements with potentialeffect on exports of aquaculture productsfrom developing countries to the EU andUS. African Journal of Food Science andTechnology, Vol. 1 (2), pp. 031-050.

Centre for Disease Control (CDC). (2010).Borax (Boric Acid) sold or representedas food. Food Safety Notes

Chuangchote, C. (2003). Food safety strategy.http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/Topics/Standards/standards_training_challenges_thailand.pdf [11 Februari 2013]Februari2013]

Environmental Protection Agency (EPA).(2007). Formaldehyde. TEACH ChemicalSummary.http://www.epa.gov/teach/chem_summ/Formaldehyde_summary.pdf(04 Februari 2013)

Islam, GMR and M.M. Hoque. (2013). FoodSafety Regulation in Bangladesh,Chemical Hazard, and Some Perceptionto Overcome the Dilemma. InternationalFood Reseacrh Journal 20 (1): 47 – 58.

314 Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL. 8 NO. 2, DESEMBER 2014 : 291-314

Kang, N., J.H. Kim, Y.S. Kim, , & A.W. Ha.(2010). Food safety knowledge andpractice by the stages of change modelin school children. Nutrition Researchand Practice, Vol 4 (6), pp.535-540.

Kementerian Perdagangan. (2009). PeraturanMenteri Perdagangan Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,Distribusi dan Pengawasan BahanBerbahaya.

Liu, R., Z. Pieniak, & W. Verbeke, W. (2014).Food-related hazards in China:Consumers' perceptions of risk and trustin information sources. Journal of FoodControl , Vol. 46, pp. 291-298.

Lupien, J.R. (2007). Prevention and controlof food safety risk: the role ofgovernments, food producers, marketers,and academia. Asia Pacific Journal ofClinical Nutrition. Vol 16 (Supplement1): 74-79.

Magnuson, B., I. Munro, , P. Abbot, N. Baldwin,L.R. Garcia, , K. Ly, , L. McGirr, A.Roberts, & S. Socolovsky. (2013). Reviewof the regulation and safety assessmentof food substances in various countriesand jurisdictions. Journal of Food andContaminants, Par A, Vol. 30, No. 7, pp.1147-1220.

Mohammed, S.G.S. (2013). Food safetyknowledge among women in selectedareas in Khartoum City. InternationalJournal of Science and Research, IndiaOnline ISSN: 2319-7064.

Nasokah. 2008. Implementasi RegulatoryImpact Assessment (RIA) Sebagai UpayaMenjamin Partisipasi Masyarakat DalamPenyusunan Peraturan Daerah. JurnalHukum Universitas Islam Indonesia, No.3 Vol 15: 443 – 458.

Punvanti, I.T, Y.W. Wulandari, & K. Rahayu.(2009). Formalin contamination inchildren’s street food at school inSurakarta, Central Java, Indonesia. Didalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor.Proceeding of International SeminarCurrent Issue and Challenges in FoodSafety. Bogor: Seafast Center.

Sabet, D. (2012). Formalin: How to addressa market failure? Monthly Current EventAnalysis Series. University of LiberalArts Bangladesh.

Sareen, S. (2011). Ensuring Food Safety forFood Security. Presented at InternationalConference on Asian Food Security, 10– 12 August. Singapore

Rohr, A., K. Luddecke, S. Drusch S, M.J.Muller & R.V. Alvensleben. (2005). FoodQuality and Safety: Consumer Perceptionand Public Health Concern. Food ControlJournal. Vol (16): 649-655.

Wikanta, W. (2010). Persepsi MasyarakatTentang Penggunaan Formalin DalamBahan Makanan dan PelaksanaanPendidikan Gizi dan Keamanan Pangan.Jurnal Biologi dan Pembelajarannya.Vol 1 (2).