Hepatitis B
-
Upload
anda-tri-suhanda -
Category
Documents
-
view
46 -
download
3
description
Transcript of Hepatitis B
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B
Menurut Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM Ali Sulaiman pada seminar
“Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B”
mendefinisikan hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang
berpotensi fatal yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah
satu penyakit yang sering ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali
lebih cepat dari HIV/AIDS. 11
Hanya sedikit dari mereka yang terinfeksi hepatitis B (HBV) akut yang
menunjukkan gejala.12 Tanda-tanda terinfeksi VHB jangka pendek (Hepatitis B Akut)
adalah kelelahan dan sindroma ”flu like”, nafsu makan turun, panas, pusing, mual,
muntah, sakit perut, diare, kulit dan mata, kuku dan seluruh tubuh berwarna kuning,
kencing berwarna cokelat tua, tinja berwarna pucat.11 Pada saat badan kuning,
biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di
bagian perut kanan atas.13 Sedangkan terinfeksi hepatitis B jangka panjang (Hepatitis
B Kronis) adalah sama dengan yang akut disertai sakit otot dan persendian, serta
lemas. Tahapannya adalah fibrosis, yaitu penumpukan serta akumulasi dari jaringan
hati yang rusak. Kemudian pada tahap sirosis, yaitu kerusakan lanjut dari jaringan
hati yang ditandai dengan permukaan hati yang berbenjol-benjol dan terbentuk
jaringan ikat. Pada akhirnya berlanjut ke tahap kanker hati. Jangka waktu perjalanan
penyakit adalah dari 30-50 tahun.11
Universitas Sumatera Utara
Sulitnya mendeteksi gejala menjadikan penyakit ini masih menjadi penyebab
kematian nomor 10 di dunia. Diperkirakan akibat infeksi hepatitis B mengakibatkan
500 ribu hingga 1,2 juta kematian per tahun akibat hepatitis kronik yang berlanjut
menjadi sirosis hati atau kanker hati.15
2.1.1 Identifikasi Hepatitis B
Virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan 10%
persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis
kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan
carsinoma hepatoselluler (hepatoma). Risiko berkembang menjadi infeksi kronis
HBV terjadi sekitar 90 % pada bayi yang terinfeksi pada waktu proses kelahiran, 0-50
% pada anak-anak yang terinfeksi pada usia 1-5 tahun dan sekitar 1%-10% pada
anak-anak usia yang lebih tua dan dewasa. Diperkirakan 15%-25% orang dengan
infeksi HBV kronis akan meninggal lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma
hepatosellular dan HBV mungkin sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus
carcinoma hepatosellular di dunia.13,14
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen dan atau antibodi spesifik
pada serum. Ada tiga bentuk sistem antigen-antibodi yang sangat bermanfaat secara
klinis yang ditemukan pada infeksi hepatitis B yaitu12 :
1) Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap HbsAg (anti-
HBs).
2) Antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc)
3) Antigen e hepatitis B (HBeAg) dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe)
Universitas Sumatera Utara
HBsAg muncul dalam serum selama infeksi akut dan tetap ditemukan selama
infeksi kronis. Ditemukannya HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang
tersebut potensial untuk menularkan. Ditemukannya HBeAg artinya orang tersebut
sangat menular.12
2.1.2 Masa Inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 45-180 hari, rata-rata 60-90 hari. Paling
sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HBsAg dalam
darah, dan jarang sekali sampai 6-9 bulan. Perbedaan masa inkubasi tersebut
dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara-cara
penularan, dan faktor pejamu.12
2.1.3 Kelompok Risiko Tinggi
Dari data-data laporan penelitian HBV, maka dikenal kelompok risiko tinggi
yang mudah tertular, yaitu3 :
1. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi disertai HBeAg positif,
maka sudah pasti akan tertulari.
2. Lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif terutama anggota
keluarga/mereka yang serumah yang selalu berhubungan langsung.
3. Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium, yang selalu kontak langsung
dengan para penderita HBV
4. Calon penderita bedah, gigi, penerima tranfusi, pasien dialisa.
5. Mereka yang hidup di daerah endemis HBV dengan prevalensi tinggi, misalnya di
Indonesia khususnya : Lombok, Bali, Kalimantan Barat, dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Distribusi Penyakit HBV (Hepatitis B Virus)
WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi oleh HBV
(termasuk 350 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun sekitar 1 juta orang
meninggal akibat infeksi HBV dan lebih dari 4 juta kasus klinis terjadi. Di negara di
mana HBV endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di atas 8 %), infeksi biasanya
terjadi pada semua golongan umur, meskipun angka infeksi kronis tinggi terutama
disebabkan karena terjadi penularan selama kehamilan dan pada masa bayi dan anak-
anak. Di negara-negara dengan endemisitas yang rendah (prevalensi HBsAg kurang
dari 2 %), sebagian besar infeksi terjadi pada dewasa muda, khususnya di antara
orang yang diketahui kelompok risiko. Namun, walaupun di negara dengan
endemisitas HBV rendah, proporsi infeksi kronis yang tinggi mungkin didapat selama
masa anak-anak oleh karena perkembangan menjadi infeksi kronis sangat tergantung
dengan umur.12
Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut
menjadi hepatitis kronik, cirroshis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus
meninggal akibat hepatoma. Menurut Sulaiman (1994) dalam Aguslina (2004),
berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi
Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis
B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25-45 % pengidap adalah karena infeksi
perinatal.14 Dan menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara (USU) Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD, KGEH, memperkirakan saat ini
sekitar 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi VHB.13
Universitas Sumatera Utara
Menurut Prof.dr.Siti Nurdjanah, MKes, SpPD-KGEH dalam pidato
pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Senin 5 November 2007
mengatakan bahwa Indonesia memiliki endemisitas sedang sampai tinggi dan
hepatitis B menempati urutan ke-3 Asia.15
2.1.5 Cara Penularan HBV
Penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua
kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung
virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari
HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan tranfusi darah
atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV
makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan
karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh
penderita, misalnya melalui : darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu ibu,
cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan
dan non perkutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal.3
1. Penularan horizontal
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah : tranfusi darah yang
terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu
HBV dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan
selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda
tajam, menindik telinga, pembuatan tatoo, pengobatan tusuk jarum (akupuntur),
penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan
jarum suntik yang kotor/kurang steril.3 Penggunaan alat-alat kedokteran dan
Universitas Sumatera Utara
perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna/kurang memenuhi syarat
akan dapat menularkan HBV. Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu
busuk, parasit, dan lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada
laporan. Cara penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara
penularan non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak
seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB,
atau melalui saliva yang bercium-ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga
dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan
karena selaput lendir tubuh yang melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga
virus hepatitis B mudah menembusnya.3
2. Penularan vertikal
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari
seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada
saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu
menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan,
maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari.3
2.1.6 Vaksinasi Hepatitis B
Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan
menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif
mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier.14
Dengan ditemukannya vaksin hepatitis B, maka program pencegahan infeksi
terhadap HBV dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Vaksinasi dengan HBV dapat
diberikan dengan 3 cara, yaitu3 :
Universitas Sumatera Utara
Imunisasi pasif, dengan menggunakan vaksin “Hepatitis B Immunoglobulin”
(HBIG) yang mempunyai daya lindung pendek.
Imunisasi aktif, dengan menggunakan vaksin hepatitis B yang mempunyai daya
lindung lebih lama.
Imunisasi gabungan antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, kemudian
dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.
2.2 Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan
Sumber : Wisnuwardani S.D 1994, up-date ilmu penyakit infeksi 1994
Penyebaran infeksi virus hepatitis B dan virus AIDS yang dapat terjadi dari
penderita ke tenaga kesehatan yang sehat (dokter bedah, perawat, dan petugas
kebersihan) pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja
tertusuk pada kulit yang sehat.2
Tubuh manusia
Darah, Sekret vagina, air mani, dsb
Pejamu (tenaga kesehatan)
Tusukan jarum, Kulit lecet/luka, Terpotong, Percikan pada membaran mukosa
Universitas Sumatera Utara
2.3 Menurunkan Risiko Penularan di Tempat Kerja
Menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan 16 :
Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada
semua pasien, di semua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa
memandang status infeksi pasiennya.
Menghindari tranfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasif lain yang tidak perlu.
Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian
infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.
Mematuhi kebijakan dan pedoman yang sesuai tentang penggunaan bahan dan
alat secara baik dan benar, pedoman pendidikan dan pelatihan serta supervisi.
Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan
kesehatan.
2.4 Pencegahan dan Penanganan Infeksi pada Petugas Perawatan Kesehatan
Pada tahun 1991 dan 1994 Occupational Safety and Health Administration
(OSHA) memberikan mandat untuk perlindungan penyakit pada Petugas Perawatan
Kesehatan (PPK) menggunakan pedoman Center for Disease Control and Prevention
(CDC). OSHA mengharuskan bahwa PPK mempunyai akses ke pengendalian
enginering, pengendalian praktik kerja, dan imunisasi virus hepatitis B. OSHA juga
mengharuskan bahwa PPK yang terpajan dengan darah atau cairan yang mengandung
darah untuk diperiksa adanya infeksi yang ditularkan melalui darah, mendapat
intervensi medik sesuai indikasi, dan mendapat konseling kemungkinan implikasi
dari pajanan tersebut.17
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Pengendalian Praktik Kerja
Pengendalian praktik kerja merupakan tanggung jawab majikan untuk
menyediakan dan melaksanakan pengendalian. Tujuan dari pengendalian praktik
kerja adalah untuk melindungi pekerja dari pajanan terhadap infeksi dan penyakit.
Pengendalian praktik kerja harus mengetangahkan isu seperti mencuci tangan,
dekontaminasi, desinfeksi, dan sterilisasi, jadwal membersihkan lingkungan kerja,
penanganan benda tajam, pembuangan limbah biomedik, penggunaan pengendalian
enginering dan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.17
2.4.2 Pengendalian Enginering
Penggunaan pengendalian enginering seperti menempatkan tempat
pembuangan jarum yang mudah dijangkau dan pengendalian praktik kerja seperti
larangan menutup jarum kembali, dan penanganan jarum secara manual
menghasilkan pengurangan cedera akibat tertusuk jarum, tetapi tidak
menghilangkannya.17
Jarum merupakan alat yang diperlukan untuk menembus kulit pasien
(misalnya digunakan untuk memulai infus intravena (IV) atau memberikan suntikan
secara langsung). Namun, alat-alat telah dikembangkan untuk menghilangkan
pemajanan jarum ketika penetrasi kulit tidak diperlukan (contoh konektor IV yang
tidak berjarum). Alat-alat lain memungkinkan untuk melindungi tangan PPK dari
jarum yang diperlukan (misalnya alat-alat dengan self sheating atau jarum dengan
retractable dan alat-alat dengan jarum yang masuk ke dalam tutup pelindung).17
Pada standard patogen yang ditularkan melalui darah, OSHA menekankan
pengendalian enginering dan pengendalian praktik kerja sebagai lini pertahanan
Universitas Sumatera Utara
pertama terhadap cedera-cedera benda tajam yang terkontaminasi dan menyatakan
bahwa “alat pelindung diri harus digunakan bila pajanan akibat kerja tetap ada setelah
melakukan pengendalian ini”.17
2.4.3 Imunitas Pekerja Perawatan Kesehatan
Pada tahun 1991 OSHA menguatkan rekomendasi CDC dengan
mengharuskan majikan memberikan vaksin HBV dalam 10 hari dari masa pekerjaan
yang tidak dibayar pada PPK yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan
darah atau bahan-bahan yang kemungkinan terinfeksi lainnya.17
Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang relevan,
pengusaha harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B bagi semua pekerja
sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap darah dan cairan tubuh. Pengusaha
harus menjaga agar mereka secara teratur mendapat informasi dari kemajuan dalam
pengembangan dan ketersediaan vaksin baru.18
2.4.4 Menangani Pajanan Signifikan Petugas Perawatan Kesehatan
Meskipun jumlah pajanan kerja dapat dikurangi secara signifikan melalui
penggunan kewaspadaan universal, pengendalian praktik kerja, dan pengendalian
enginering, kemungkinan pajanan PPK terhadap patogen yang ditularkan melalui
darah tidak dapat dieliminasi secara menyeluruh selama perdarahan pasien ditangani
dengan jarum serta benda-benda tajam digunakan dalam memberikan perawatan.
Infeksi dengan patogen yang ditularkan melalui darah telah dicatat sebagai akibat dari
pajanan perkutaneus (tertusuk jarum/tergores) dan mukokutaneus (percikan/aerosol).
17
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Pertolongan Pertama
Segera setelah pemajanan tempat yang terkena harus digosok dengan kuat
dengan larutan desinfektan seperti povidine iodine 10 %. Membran mukosa yang
terkontaminasi harus diirigasi selama 10 menit dengan saline normal atau air keran
yang mengalir. Segera setelah menerima pertolongan pertama, PPK yang terpajan
harus melaporkan pajanan tersebut ke penyelia atau ke pelayanan kedokteran kerja.17
2.4.6 Tindak Lanjut Setelah Pajanan
Menurut peraturan OSHA (1991), majikan harus mengatur evaluasi medik
setelah pajanan dan tindak lanjut tanpa biaya kepada pegawai. Tindak lanjut dapat
berupa pemeriksaan serologis dasar terhadap HBV dan HIV jika PPK mengizinkan,
konseling, dan pengobatan.17
2.5 Standard Patogen yang Ditularkan Melalui Darah dari OSHA
Tinjauan tentang Bloodborne Phatogen Standard (Standard Patogen Darah)
OSHA 1991 meliputi17 :
1. Cakupan dan Aplikasi
Standard tentang paparan okupasi terhadap patogen yang ditularkan melalui darah
berlaku untuk semua pekerja dengan pekerjaan yang terpapar dengan darah atau
bahan-bahan lain yang secara potensial infeksius/OPIM (Other Potentially
Infectious Material).
2. Rencan Pengendalian Paparan
Setiap majikan yang mempunyai pekerja yang mungkin cukup beralasan untuk
terpapar dengan patogen yang ditularakan melalui darah harus mempunyai
rencana pengendalian paparan tertulis yang didisain untuk menghilangkan atau
Universitas Sumatera Utara
meminimalkan paparan pekerja. Rencana tersebut harus berisi (1) determinasi
paparan yang didokumentasikan, (2) jadwal dan metode untuk
mengimplementasikan rencana pengendalian paparan, (3) prosedur untuk
mengevaluasi insiden paparan.
3. Metode Komplians
Terdiri dari kewaspadaan universal, pengendalian engineering, pengendalian
praktik kerja, alat pelindung diri, orientasi dan pelatihan, label dan tanda,
pengaturan limbah, kebersihan tempat kerja, vaksinasi hepatitis B, rencana pasca
paparan.
2.6 Kewaspadaan di Rumah Sakit
2.6.1 Kewaspadaan Standard/Kewaspadaan Baku
Kewaspadaan Standard/Kewasapadaan Baku mempersatukan keutamaan dari
Universal Precaution (UP) dan Body Substance Isolation (BSI).17 Karena sebagian
besar orang yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan VHB yang tidak
menunjukkan gejala, kewaspadaan baku tersebut ditujukan untuk melindungi setiap
orang (pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.4
Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, duh tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran
mukosa yang tidak utuh.4,17 Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan
mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak
diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai,
dan semprit) di dalam sistem pelayanan kesehatan.4
Universitas Sumatera Utara
Menurut le Claire dkk (1987) yang dikutip Tietjen (2004), setelah bertahun-
tahun, indikasi penggunaan praktik isolasi tertentu (misalnya sarung tangan tertentu
lebih efektif dari pada baju pelindung dalam pencegahan kontminasi silang) telah
dapat diatasi melalui penelitian. Betapapun juga ketidakmampuan petugas
administrasi dan klinik di negara miskin untuk menyediakan perlengkapan pelindung,
khususnya ketersedian sarung tangan baru, masih menjadi kendala. Sebagai
tambahan, tantangan untuk menyediakan air bersih dan untuk mencapai standard
yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen medis dan pembuangan
sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.4
2.6.1.1 Komponen Utama Kewaspadaan Sandard/Kewaspadaan Baku
Penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi antara mikroorganisme
dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien rawat inap merupakan
alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.4
Komponen utama kewaspadaan standard diantaranya adalah cuci tangan;
sarung tangan; masker, pelindung mata, penutup wajah; gaun; peralatan perawatan
pasien; linen; instrumen tajam; resusitasi pasien; penempatan pasien.
2.6.2 Kewaspadaan Berdasar Penularan
Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat
dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh patogen yang ditularkan lewat4 :
Udara (tuberkolosis, cacar air, campak)
Percikan (flu, gondongan, rubella)
Universitas Sumatera Utara
Kontak (hepatitis A atau E, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit
atau mata)
Dalam keadaan di mana ada pertanyaan adanya proses infeksi pada pasien
tanpa diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan,
secara empirik harus dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat.
2.7 Mencuci Tangan dan Penggunaan Sarung Tangan
Dengan munculnya epidemi AIDS pada akhir tahun 1980-an, berbagai upaya
untuk mencegah transmisi HIV dan virus lainnya yang terkait dengan darah dari
pasien ke staf telah memberi dampak atas seluruh aspek pencegahan infeksi, tetapi
yang paling dramatis adalah pada kesehatan dan kebersihan tangan, dan praktik
penggunaan sarung tangan.4
Tujuan mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara
mekanis dari permukaaan kulit, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada
kuku, tangan, lengan dan mencegah penyebaran ke area tidak terkontaminasi, seperti
pasien, tenaga perawatan kesehatan, dan peralatan.4,17
Untuk mendorong cuci tangan, pengelola program harus melakukan segala
upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus, baik dari kran atau
ember dan lap pribadi.4
2.7.1 Indikasi Mencuci Tangan
Menurut Larson (1995) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi kesehatan dan
kebersihan tangan sudah dipahami dengan baik, tetapi pedoman praktik terbaik dalam
hal ini terus berkembang. Misalnya, pilihan sabun biasa atau antiseptik atau
penggunaan penggosok tangan berbasis alkohol bergantung pada besarnya risiko
Universitas Sumatera Utara
kontak dengan pasien (misalnya tindakan medis rutin versus pembedahan) atau
tersedianya bahan. 4
Diantara indikasi untuk mencuci tangan adalah4,17 :
1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur seperti
mengganti balutan, menggunakan tempat sputum, sekresi, ekskresi dan drainase,
atau darah.
2. Sebelum dan setelah memegang peralatan yang digunakan pasien contohnya,
kateter IV (Intra Vena), kateter urin, kantung drainase urin, dan peralatan
pernapasan.
3. Sebelum dan setelah mengambil spesimen
4. Sebelum memakai sarung tangan bedah steril atau DDT sebelum pembedahan,
atau sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin
5. Sesudah melepas sarung tangan.
Menurut CDC (1989) yang dikutip Tietjen, kedua tangan harus dicuci dengan
sabun dan air bersih (atau menggunakan penggosok antiseptik) sesudah melepas
sarung tangan karena kemungkinan sarung tangan berlubang atau robek, sehingga
bakteri dapat dengan mudah berkembang biak di lingkungan yang hangat dan basah
di dalam sarung tangan.4
2.7.2 Faktor Penghambat Petugas Tidak Mencuci Tangan
Kurangnya waktu
Terbatasnya akses atas air mengalir dan wastapel
Tindakan cuci tangan yang acapkali dilakukan mengiritasi kedua tangan
Universitas Sumatera Utara
Keyakinan bahwa memakai sarung tangan memberikan perlindungan menyeluruh
keraguan berkenaan efektivitas cuci tangan untuk mencegah infeksi
Persepsi bahwa teman sejawat dan penyelia tidak melakukan tindakan cuci tangan
seperti yang dianjurkan.
Selain itu, petugas kesehatan secara salah meyakini bahwa mereka mencuci kedua
tangan lebih sering dari yang mereka lakukan sebenarnya.4
2.7.3 Penggunaan Sarung Tangan
Sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan menggunakan sarung tangan
untuk tiga alasan, yaitu4 :
1. Mengurangi risiko petugas terkena infeksi bakterial dari pasien
2. Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien
3. Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang
dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
Selanjutnya, sarung tangan terutama dipakai hanya oleh petugas yang
merawat pasien yang menderita infeksi patogen tertentu atau yang terpapar dengan
pasien yang berisiko tinggi hepatitis B. Dewasa ini sarung tangan sekali pakai dan
sarung tangan bedah menjadi perlengkapan pelindung yang paling banyak dipakai.4
Menurut Tenosis dkk (2001) yang dikutip Tietjen, walaupun sarung tangan
telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas
kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung
tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak
Universitas Sumatera Utara
tampak.4 Selain itu, sarung tangan menurut Bagg dkk (2001) juga dapat robek
sehingga tangan dapat terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan.4
Tergantung situasi, sarung tangan pemeriksaan atau sarung tangan rumah
tangga harus dipakai bilamana4 :
Akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah atau duh tubuh lainnya,
selaput lendir, atau kulit yang terluka
Akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat
vaskular seperti intravena perifer)
Akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang
terkontaminasi.
2.8 Keselamatan Mempergunakan Jarum Suntik dan Semprit
(1) Mempergunakan tiap-tiap jarum dan semprit hanya sekali pakai.4
(2) Jangan melepas jarum dari semprit setelah digunakan.
(3) Jangan menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang.
(4) Buanglah jarum dan semprit di wadah anti bocor.
Apabila jarum dan semprit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang
kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan” 4 :
Pertama, tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian
angkat tangan anda.
Kemudian dengan satu tangan memegang semprit, gunakan jarum untuk
menyekop tutup tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan penutup di ujung jarum, putar semprit tegak lurus sehingga jarum dan
semprit mengarah ke atas.
Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum
sepenuhnya, peganglah semprit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (di
mana jarum itu bersatu dengan semprit dengan satu tangan, dan gunakan
tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).4
2.9 Pemrosesan Alat
Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah
langkah pertama dalam memroses instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan
peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan
tangan. Umpamanya merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan
klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh
HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani
sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi,
kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat
tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah
instrumen ini akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang
terkelupas atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.4
2.10 Pelatihan Kerja
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.19
Universitas Sumatera Utara
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di bidang kesehatan
wajib memenuhi persyaratan tersedianya20:
a. Calon peserta pelatihan
b. Tenaga kepelatihan
c. Kurikulum
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan
pelatihan
e. Sarana dan prasarana.
Kemudian pada pasal 9 disebutkan bahwa20 :
(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan
atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa20 :
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan
Sesuai standard patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan
awal dan tahunan yang berhubungan dengan standard harus tersedia untuk setiap
pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak
Universitas Sumatera Utara
dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari
pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan.17
2.11 Determinan Perilaku
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan
respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan
perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh
faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau
membentuk perilaku ini disebut determinan.21 Menurut Green yang dikutip
Notoadmodjo (2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni21 :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)
Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau
tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut
juga faktor-faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,
tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)
Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak
melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan
baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.11.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.21
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.21
Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi21 :
a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit meliputi :
1. Penyebab penyakit
2. Gejala atau tanda-tanda penyakit
3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan
4. Bagaimana cara penularannya
5. Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya
Universitas Sumatera Utara
b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi :
1. Jenis-jenis makanan yang bergizi
2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan
3. Pentingnya olah raga bagi kesehatan
4. Penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minum-minuman keras, dan
sebagainya.
5. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan
c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
1. Manfaat air bersih
2. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran
yang sehat, dan sampah.
3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat.
4. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya.
2.11.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.21
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
Universitas Sumatera Utara
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan suatu rekasi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
pengahayatan terhadap objek.21
Menurut WHO yang dikutip Notoadmodjo (2003), sikap menggambarkan
suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai
kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabakan
beberapa alasan, antara lain21 :
1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada
pengalaman orang lain.
3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang.
4. Nilai (value), di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang
menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok.21
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).
Universitas Sumatera Utara
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan
emosi memegang peranan penting.21
Indikator untuk tingkat sikap kesehatan sejalan dengan tingkat pengetahuan
kesehatan seperti21 :
a) Sikap terhadap sakit dan penyakit
Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-
tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan
penyakit, dan sebagainya.
b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
cara-cara (berperilaku) hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau
penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, relaksasi (istirahat) atau istirahat
cukup, dan sebagainya bagi kesehatannya.
c) Sikap terhadap kesehatan lingkungan
Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya
terhadap kesehatan.
2.12 Perawat
Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) perawat adalah
seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang
keperawatan yang program pendidikanya telah disahkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.22
Universitas Sumatera Utara
Perawat adalah tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan yang
terlibat dalam kegiatan perawatan. Perawat bertanggung jawab untuk perawatan,
perlindungan, dan pemulihan orang yang luka atau pasien penderita penyakit akut
atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan penanganan keadaan darurat
yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan kesehatan. Perawat juga
dapat terlibat dalam riset medis dan perawatan serta menjalankan beragam fungsi
non-klinis yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi perawatan kesehatan.22
2.12.1 Fungsi Perawat
Dalam praktik keperawatan fungsi perawat terdiri dari tiga fungsi yaitu fungsi
independen, interdependen, dan dependen.23
1. Fungsi independen
Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan
perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Contoh
tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah :
1. Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarga dan menguji secara fisik
untuk menentukan status kesehatan.
2. Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk
memelihara atau memperbaiki kesehatan.
3. Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mendorong pasien
untuk berperilaku wajar.
2. Fungsi interdependen
Tindakan perawat berdasar pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim
kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain
Universitas Sumatera Utara
berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung
dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter.
3. Fungsi dependen
Dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan
pelayanan medik. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan
dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan
dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan.
2.12.2 Pelayanan Perawatan
Pelayanan perawatan memegang peranan penting dalam menentukan
keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelayanan keperawatan adalah
berupa bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk dapat
memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk hidup dan beradaptasi terhadap stres
dengan menggunakan potensi yang tersedia pada individu itu sendiri.24
Lingkup pelayanan keperawatan adalah pemberian terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar manusia secara bio-psiko-sosio-spritual yang mencakup 13
komponen, yaitu24 :
1. Memenuhi kebutuhan oksigen
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan keseimbangn cairan/elektrolit
3. Memenuhi kebutuhan eliminasi
4. Memenuhi kebutuhan keamanan
5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan
6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
7. Memenuhi kebutuhan gerak dan kegiatan jasmani
Universitas Sumatera Utara
8. Memenuhi kebutuhan spritual
9. Memenuhi kebutuhan komunikasi
10. Memenuhi kebutuhan emosional
11. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologi tubuh
12. Memenuhi kebutuhan pengobatan dan proses penyembuhan
13. Memenuhi kebutuhan penyuluhan dan rehabilitasi
Pelayanan medis/perawatan dilakukan di unit rawat jalan, unit gawat darurat,
unit rawat inap, unit perawatan intensif, unit bedah, kamar bersalin. Pelayanan ini
akan prima bila sarana disiapkan sedemikian rupa hingga membuat suasana kerja
yang nyaman dan memungkinkan kelancaran kerja.24
2.12.3 Merawat di Bangsal Penyakit Dalam
Pasien-pasien di bangsal penyakit dalam jarang menjalani operasi, walaupun
kadang-kadang demikian, yang setelah pemeriksaan dilakukan, tindakan bedah
ditetapkan. Perawatan medis tidak hanya menyangkut pemberian obat untuk
menyembuhkan penyakit, akan tetapi pasien mungkin harus menjalani berbagai jenis
tes dan kajian, yang beberapa dari ini akan mengikutsertakan perawat dalam
pengumpulan spesimen atau sediaan pasien. Pengkajian sederhana mencakup
spesimen darah, air kemih (pertengahan buang air kecil atau pengumpulan urin 24
jam), sputum, atau tinja (untuk darah samar atau penaksiran lemak).25
Ikhtisar ciri-ciri bangsal penyakit dalam25 :
1. Penderita sering sakit kronik dan oleh karena itu tidak sembuh dari penyakit
mereka.
2. Mereka jarang menjalani operasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagian besar penderita kurang persiapan untuk masuk rumah sakit karena
mereka masuk dalam keadaan darurat.
4. Mereka sedang sakit atau sangat sakit ketika masuk.
5. Perawatan mencakup memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan
spritual penderita.
6. Penderita lazimnya berumur pertengahan atau tua.
2.13 Rumah Sakit
Menurut American Hospital Association (1974), rumah sakit adalah suatu
organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana
kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang
diderita oleh pasien. Sedangkan Association of Hospital Care (1987) dalam Azwar
(1996) menyatakan bahwa rumah sakit adalah pusat di mana pelayanan kesehatan
masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.26
Fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan spesialistik/medik
sekunder dan pelayanan subspesialistik/medik tersier. Oleh karena itu, produk utama
(core product) rumah sakit adalah pelayanan medik.27
Rumah sakit sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan juga melakukan
upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.27
Pengembangan rumah sakit menjadi suatu organisasi yang sehat melalui
pemberian penyuluhan kesehatan kepada pasien, karyawan rumah sakit, dan
masyarakat, telah menghasilkan reorientasi rumah sakit menjadi rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
promotor kesehatan (Health Promoting Hospital). Salah satu alasan mengapa rumah
sakit dianggap perlu melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan karena rumah
sakit sebagai suatu organisasi yang memiliki relatif banyak karyawan dan sebagai
pusat sumber daya untuk wilayahnya, maka rumah sakit mempunyai tanggung jawab
moral untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan karyawannya.27
2.13.1 Jenis Rumah Sakit
Ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, Rumah Sakit di Indonesia dibedakan
atas lima macam yakni26 :
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A
ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral
hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.
2. Rumah Sakit Kelas B
Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
dokter spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B
didirikan di setiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang menampung
pelayanan rujukan dari rumah sakit Kabupaten. Rumah Sakit pendidikan yang
tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai Rumah Sakit kelas B.
3. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis
ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah
sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibu kota Kabupaten (regency hospital)
yang manampung pelayanan rujukan dari Puskesmas.
4. Rumah Sakit kelas D
Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu
saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan
rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan
kedokteran gigi. Sama halnya dengan Rumah Sakit kelas C, Rumah Sakit kelas D
ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas.
5. Rumah Sakit kelas E
Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak
rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah
sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah
sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini.
2.13.2 Kegiatan di Rumah Sakit
Menurut depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah (2007) kegiatan rumah
sakit terdiri dari10 :
1. Rawat jalan, seperti poliklinik, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana,
pemeriksaan periodik (general check-up), gigi.
2. Rawat inap, seperti rawat inap interne, anak, mata, bedah, kebidanan, paru,
jantung, kulit, kelamin, telinga hidung dan tenggorokan, neurologi, mulut, gigi,
rawat intensif, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Unit gawat darurat.
4. Pelayanan medik, seperti ruang operasi, dan ruang bersalin.
5. Pelayanan penunjang non-medik, yakni ruang cuci, dapur, administrasi.
6. Pendidikan dan latihan.
2.13.3 Potensi Bahaya di Rumah Sakit
Menurut Depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah, sebagai sarana
pelaksana kesehatan untuk umum, salah satu faktor yang menjadi penyebab potensi
bahaya Penyakit Akibat Kerja (PAK) di rumah sakit yaitu faktor biologi. Sebagai
pelaksanaan kesehatan untuk umum, rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya
orang sakit maupun orang sehat. Berbagai jenis penyakit terdapat di rumah sakit,
salah satunya adalah penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, jamur, infeksi ini dapat menular dari satu orang ke orang lain termasuk
kepada petugas kesehatan dan karyawan yang bekerja di rumah sakit. Di samping itu
berbagai peralatan yang berasal dari penderita seperti darah, sputum, feces, dan
peralatan medis yang tercemar oleh mikroorganisme, sanitasi lingkungan rumah sakit
yang kurang memenuhi syarat, dan limbah rumah sakit dapat pula menjadi sumber
penularan penyakit. Untuk menghindari terjadinya penularan tersebut, perlu
dilakukan upaya pencegahan.10
Universitas Sumatera Utara
2.14 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
2.15 Hipotesis Penelitian
Ho diterima : Tidak ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan
risiko tertular Hepatitis B.
H1
Faktor Pemudah (Predisposing Factor) - Pengetahuan - Sikap
Pencegahan Risiko
Tertular Hepatitis B
Faktor Pemungkin (Enabling Factor) - Ketersediaan Fasilitas dan APD - Pelatihan
Faktor Penguat (Reinforcing Factor) - Kebijakan Rumah Sakit
Karakteristik perawat - Umur - Jenis Kelamin - Pendidikan - Masa Kerja
Universitas Sumatera Utara
Ho diterima : Tidak ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular
Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap
pencegahan risiko tertular hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan
risiko tertular hepatitis B.
H2
H3
H4
H5
Universitas Sumatera Utara