II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelor (Moringa oleiferaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4086/3/BAB...

20
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelor (Moringa oleifera) Tanaman kelor di Indonesia dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Sulawesi menyebutnya kero, wori, kelo, atau keloro. Orang-orang Madura menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut kelor. Di Aceh disebut murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumbawa disebut kawona. Sedangkan orang-orang Minang mengenalnya dengan nama munggai (Krisnadi, 2010). Kelor awalnya banyak tumbuh di India, namun kini kelor banyak ditemukan di daerah beriklim tropis (Grubben, 2004). Pada beberapa Negara kelor dikenal dengan sebutan benzolive, drumstick tree, kelor, marango, mlonge, mulangay, nebeday, sajihan, dan sajna (Fahey, 2005). Tanaman kelor dapat tumbuh pada lingkungan yang berbeda. Tanaman kelor dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-35 o C, tetapi mampu mentoleransi lingkungan dengan suhu 28 o C (Palada, 2003). Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman kelor (Moringa oleifera) diklasifikasikan sebagai berikut : Klasifikasi : Regnum : Plantae (Tumbuhan) Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Sub kelas : Dialypetalae Ordo : Rhoeadales (Brassicales) Famili : Moringaceae Genus : Moringa Spesies : Moringa oleifera Sumber : (Rollof et al, 2009)

Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelor (Moringa oleiferaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4086/3/BAB...

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelor (Moringa oleifera)

Tanaman kelor di Indonesia dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat

Sulawesi menyebutnya kero, wori, kelo, atau keloro. Orang-orang Madura

menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut kelor. Di Aceh disebut

murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumbawa disebut kawona. Sedangkan

orang-orang Minang mengenalnya dengan nama munggai (Krisnadi, 2010).

Kelor awalnya banyak tumbuh di India, namun kini kelor banyak ditemukan

di daerah beriklim tropis (Grubben, 2004). Pada beberapa Negara kelor dikenal

dengan sebutan benzolive, drumstick tree, kelor, marango, mlonge, mulangay,

nebeday, sajihan, dan sajna (Fahey, 2005).

Tanaman kelor dapat tumbuh pada lingkungan yang berbeda. Tanaman kelor

dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-35oC, tetapi mampu mentoleransi

lingkungan dengan suhu 28oC (Palada, 2003).

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman kelor (Moringa

oleifera) diklasifikasikan sebagai berikut :

Klasifikasi :

Regnum : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Sub kelas : Dialypetalae

Ordo : Rhoeadales (Brassicales)

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera

Sumber : (Rollof et al, 2009)

Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh, ekstrak daun kelor

memberikan efek hipolipidemik dan hipokolesterol pada tikus yang diinduksi

dengan adrenaline. Tanaman kelor juga memiliki kandungan fenolik yang terbukti

efektif berperan sebagai antioksidan. Efek antioksidan yang dimiliki tanaman kelor

memiliki efek yang lebih baik daripada Vitamin E secara in vitro dan menghambat

peroksidasi lemak dengan cara memecah rantai peroxyl radical. Fenolik juga secara

langsung menghapus reactive oxygen species (ROS) seperti hidroksil, superoksida

dan peroksinitrit (Chumark et al., 2007). Gambar dari Daun kelor dapat dilihat pada

gambar 1.

Gambar 1. Daun Kelor

Sumber : Tilong (2012)

Morfologi daun kelor adalah berupa daun majemuk menyirip ganda 2-3

posisinya tersebar, tanpa daun penumpu, atau daun penumpu telah mengalami

metamorfosis sebagai kelenjar-kelenjar pada pangkal tangkai daun. Bunga banci,

zigomorf, tersusun dalam malai yang terdapat dalam ketiak daun, dasar bangun

mangkuk, kelopak terdiri atas lima daun kelopak, mahkotapun terdiri atas lima daun

mahkota, lima benang sari, bakal buah, bakal biji banyak, buahnya buah kendaga

yang membuka dengan tiga katup dengan panjang sekitar 30 cm, biji besar,

bersayap, tanpa endosperm, lembaga lurus. Dari segi anatomi mempunyai sifat

yang khas yaitu terdapat sel - sel mirosin dan buluh-buluh gom dalam kulit batang

dan cabang. Dalam musim - musim tertentu dapat menggugurkan daunnya

(meranggas) (Rollof et al, 2009).

Daun Kelor berbentuk sebesar ujung jari berbentuk bulat telur, tersusun

majemuk dan gugur di musim kemarau, tinggi pohon mencapai 5-12 m, bagian

ujung membentuk payung, batang lurus (diameter 10-30 cm) menggarpu, berbunga

sepanjang tahun berwarna putih / krem, buah berwarna hijau muda, tipis dan lunak.

Tumbuh subur mulai dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan

laut (Schwarz, 2000).

B. Manfaat dan kandungan daun Kelor

Manfaat dan khasiat tanaman kelor (Moringa oleifera) terdapat pada semua

bagian tanaman baik daun, batang, akar maupun biji. Daun kelor merupakan salah

satu bagian dari tanaman kelor yang telah banyak diteliti kandungan gizi dan

kegunaannya. Daun kelor sangat kaya akan nutrisi, diantaranya kalsium, besi,

protein, vitamin A, vitamin B dan vitamin C (Misra & Misra, 2014; Oluduro, 2012;

Ramachandran et al., 1980). Daun kelor mengandung zat besi lebih tinggi daripada

sayuran lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g (Yameogo et al. 2011).

Berdasarkan penelitian Verma et al (2009) bahwa daun kelor mengandung

fenol dalam jumlah yang banyak yang dikenal sebagai penangkal senyawa radikal

bebas. Kandungan fenol dalam daun kelor segar sebesar 3,4% sedangkan pada daun

kelor yang telah diekstrak sebesar 1,6% (Foild et al., 2007).

Kelor dikenal di seluruh dunia sebagai tanaman bergizi dan WHO telah

memperkenalkan kelor sebagai salah satu pangan alternatif untuk mengatasi

masalah gizi (malnutrisi) (Broin, 2010 dalam Aminah, dkk, 2015). Di Afrika dan

Asia daun kelor direkomendasikan sebagai suplemen yang kaya zat gizi untuk ibu

menyusui dan anak pada masa pertumbuhan. Semua bagian dari tanaman kelor

memiliki nilai gizi, berkhasiat untuk kesehatan dan manfaat dibidang industri.

Daun kelor sangat terkenal dikonsumsi sebagai sayuran dan dapat berfungsi

meningkatkan jumlah ASI (air susu ibu) pada ibu menyusui sehingga mendapat

julukan Mother’s Best Friend (Jongrungruangchok et al., 2010; Tilong, 2012). Hal

ini disebabkan karena daun kelor mengandung unsur zat gizi mikro yang sangat

dibutuhkan oleh ibu hamil, seperti betacarotene , tiamin (B1), riboflavin (B2),

niacin (B3), kalsium, zat besi, fosfor, magnesium, seng, vitamin C, sebagai

alternatif untuk meningkatkan status gizi ibu hamil.

Kelor disebut Miracle Tree dan Mother’s Best Friend karena kelor memiliki

sifat fungsional bagi kesehatan serta mengatasi kekurangan nutrisi. Kelor

berpotensi sebagai bahan baku dalam industri kosmetik, obat-obatan dan perbaikan

lingkungan yang terkait dengan cemaran dan kualitas air bersih. daun kelor

mengandung antioksidan tinggi dan antimikrobia Hal ini disebabkan oleh adanya

kandungan asam askorbat, flavonoid,fenolic dan karoteinoid (Anwar et al., 2007b;

Makkar & Becker, 1997; Moyo et al., 2012; Dahot, 1998). Hal ini menyebabkan

kelor dapat berfungsi sebagai pengawet alami dan memperpanjang masa simpan

olahan berbahan baku daging yang disimpan pada suhu 4 0C tanpa terjadi perubahan

warna selama penyimpanan. Kandungan nutrisi mikro sebanyak 7 kali vitamin C

jeruk, 4 kali vitamin A wortel, 4 gelas kalsium susu, 3 kali potassium pisang, dan

protein dalam 2 yoghurt. (Aminah, dkk, 2015).

Menurut hasil penelitian, daun kelor ternyata mengandung vitamin A, vitamin

C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein, dalam jumlah sangat tinggi yang

mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia. Tidak hanya itu, kelor pun

diketahui mengandung lebih dari 40 antioksidan dalam pengobatan tradisional

Afrika dan India serta telah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk

mencegah lebih dari 300 penyakit (Krisnadi, 2010).

Menurut Haryadi (2011) Daun Kelor kering per 100 g mengandung air 7,5%,

kalori 205 g, karbohidrat 38,2 g, protein 27,1 g, lemak 2,3 g, serat 19,2 g, kalsium

2003 mg, magnesium 368 mg, fosfor 204 mg, tembaga 0,6 mg, besi 28,2 mg, sulfur

870 mg, potasium 1324 mg. Daun kelor yang masih segar setara dengan 7 kali

vitamin C yang terdapat pada jeruk segar sedangkan daun kelor yang sudah

dikeringkan setara dengan setengah kali vitamin C yang terdapat pada jeruk segar.

Manfaat vitamin C menjaga ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi dan racun.

Gopalakrishnan (2016) Menyebutkan kandungan daun Kelor adalah sebagai

berikut :

Tabel 1. Kandungan nutrisi daun kelor segar

Kandungan Daun Segar

Kalori (kal) 92

Protein (g) 6.7

Lemak (g) 1.7

Karbohidrat (g) 12.5

Serat (g) 0.9

Vitamin B1 (mg) 0.06

Vitamin B2 (mg) 0.05

Vitamin B3 (mg) 0.8

Vitamin C (mg) 220

Vitamin E (mg) 448

Kalsium (mg) 440

Magnesium (mg) 42

Fosfor (mg) 70

Potassium (mg) 259

Tembaga (mg) 0.07

Besi (mg) 0.85

Sulphur (mg) –

Sumber: Gopalakrishnan et al. (2016)

Dr. Gary Bracey mempublikasikan bahwa serbuk daun kelor mengandung

vitamin A 10 kali lebih banyak dibanding wortel, vitamin B1 4 kali lebih banyak

dibanding daging babi, vitamin B2 50 kali lebih banyak dibanding sardines, vitamin

B3 50 kali lebih banyak dibanding kacang, vitamin E 4 kali lebih banyak dibanding

minyak jagung, beta carotene 4 kali lebih banyak dibanding wortel, zat besi 25 kali

lebih banyak dibanding bayam, zinc 6 kali lebih banyak dibanding almond, kalium

15 kali lebih banyak dibanding pisang, kalsium 17 kali dan 2 kali lebih banyak

dibanding susu, protein 9 kali lebih banyak dibanding yogurt, asam amino 6 kali

lebih banyak dibanding bawang putih, poly phenol 2 kali lebih banyak dibanding

red wine, serat (dietary fiber) 5 kali lebih banyak dibanding sayuran pada

umumnya, GABA (gamma-aminobutyric acid) 100 kali lebih banyak dibanding

beras merah (Kurniasih, 2013).

C. Antioksidan

Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron

(electron donors) dan secara biologis antioksidan merupakan senyawa yang mampu

mengatasi dampak negatif oksidan dalam tubuh seperti kerusakan elemen vital sel

tubuh. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting karena

berkaitan dengan kerja fungsi sistem imunitas tubuh, terutama untuk menjaga

integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam nukleat, serta

mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun (Hery, 2007).

Produksi antioksidan di dalam tubuh manusia terjadi secara alami untuk

mengimbangi produksi radikal bebas. Antioksidan tersebut kemudian berfungsi

sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas, namun peningkatan produksi

radikal bebas yang terbentuk akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan

lingkungan mengakibatkan sistem pertahanan tersebut kurang memadai, sehingga

diperlukan tambahan antioksidan dari luar (Deddy, 2013).

Antioksidan di luar tubuh dapat diperoleh dalam bentuk sintesis dan alami.

Antioksidan sintetis seperti buthylatedhydroxytoluene (BHT), buthylated

hidroksianisol (BHA) dan ters-butylhydroquinone (TBHQ) secara efektif dapat

menghambat oksidasi. Namun, penggunaan antioksidan sintetik dibatasi oleh

aturan pemerintah karena, jika penggunaannya melebihi batas justru dapat

menyebabkan racun dalam tubuh dan bersifat karsiogenik, sehingga dibutuhkan

antioksidan alami yang aman. Salah satu sumber potensial antioksidan alami adalah

tanaman karena mengandung senyawa flavonoid, klorofil dan tannin.(Triyem,

2010)

Antioksidan berdasarkan mekanisme reaksinya dibagi menjadi tiga macam,

yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier:

a. Antioksidan Primer

Antioksidan primer merupakan zat atau senyawa yang dapat menghentikan

reaksi berantai pembentukan radikal bebas yang melepaskan hidrogen.

Antioksidan primer dapat berasal dari alam atau sintetis. Contoh antioksidan primer

adalah Butylated hidroxytoluene (BHT) (Hery 2007).

Reaksi antioksidan primer terjadi pemutusan rantai radikal bebas yang sangat

reaktif, kemudian diubah menjadi senyawa stabil atau tidak reaktif. Antioksidan ini

dapat berperan sebagai donor hidrogen atau CB-D (Chain Breaking donor) dan

dapat berperan sebagai akseptor elektron atau CB-A (Chain breaking acceptor)

(Triyem, 2010).

Gambar Reaksi Antioksidan Primer Dengan Radikal Bebas dapat dilihat pada

gambar 2.

Gambar 2. Reaksi Antioksidan Primer Dengan Radikal Bebas

b. Antioksidan Sekunder

Antioksiden sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non

enzimatis. Antioksidan ini menghambat pembentukan senyawa oksigen reaktif

dengan cara pengelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Prinsip kerja sistem

antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai

dari radikal bebas atau dengan menangkap radikal tersebut, sehingga radikal bebas

tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan sekunder di antaranya

adalah vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam lipoat, asam urat,

bilirubin, melatonin dan sebagainya (Deddy, 2013).

c. Antioksidan tersier.

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-Repair dan

metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berperan dalam perbaikan

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang

terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya Single dan Double strand

baik gugus non-basa maupun basa.

D. Vitamin C

Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Dalam keadaan

kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut vitamin C mudah rusak

karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi

dipercepat dengan adanya tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam larutan

alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam (Almatsier, 2005). Gambar Struktur

Kimia Vitamin C dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Vitamin C

Sumber: Kirk Othmer, Encylopedia of Chemical Technology

Vitamin C adalah turunan heksosa dan diklasifikasikan sebagai karbohidrat

yang erat kaitannya dengan monosakarida. Vitamin C dapat disintesis dari D-

glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuh-tumbuhan dan sebagian besar hewan.

Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat (bentuk

tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi). Oksidasi bolak-balik

L-asam askorbat menjadi L-asam dehidro askorbat terjadi apabila bersentuhan

dengan tembaga, panas, atau alkali (Akhilender, 2003).

Vitamin C merupakan suatu donor elektron dan agen pereduksi. Disebut anti

oksidan, karena dengan mendonorkan elektronnya, vitamin ini mencegah senyawa-

senyawa lain agar tidak teroksidasi. Walaupun demikian, vitamin C sendiri akan

teroksidasi dalam proses antioksidan tersebut, sehingga menghasilkan asam

dehidroaskorbat (Padayatty, 2003). Gambar Reaksi reduksi dan oksidasi asam

askorbat dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Reaksi reduksi dan oksidasi asam askorbat (Szent-Györgyi, 1937)

Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa

dengan elektron tidak berpasangan), serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi

kembali menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat

dioksigenase. Tetapi, di dalam tubuh manusia, reduksinya hanya terjadi secara

parsial, sehingga asam askorbat yang telah teroksidasi tidak seluruhnya kembali.

Vitamin C dapat dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang berpotensi pada

penyakit.

Vitamin C disebut juga asam askorbat, merupakan vitamin yang paling

sederhana, mudah berubah akibat oksidasi, tetapi amat berguna bagi manusia.

Struktur kimianya terdiri dari rantai 6 atom C dan kedudukannya tidak stabil

(C6H8O6), karena mudah bereaksi dengan O2 di udara menjadi asam

dehidroaskorbat. Vitamin ini merupakan fresh food vitamin karena sumber

utamanya adalah buah-buahan dan sayuran segar. Berbagai sumber nya adalah

jeruk, brokoli, Brussel sprout, kubis, lobak dan straberi (Linder, l992).

Kebutuhan manusia akan vitamin C semakin meningkat diiringi semakin

berkembangnya produk-produk baik makanan, minuman, dan obat-obatan. Vitamin

C merupakan vitamin yang paling sering digunakan sebagai suplemen. Menurut

Siregar (2009), vitamin C juga dapat membantu mengaktifkan asam folat,

meningkatkan penyerapan zat besi sehingga mencegah anemia, reregenerasi

vitamin E sehingga bisa dipakai lagi sebagai anti-oksidan. Vitamin C ada yang

alami juga ada yang sintetik (Siregar, 2009).

E. Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom

karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 , yaitu dua cincin aromatik yang

dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin

ketiga. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan

pada setiap ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Golongan flavonoid dapat

digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 , artinya kerangka karbonnya

terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) disambungkan oleh rantai

alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).

Gambar Struktur Kimia Flavonoid dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Struktur Kimia Flavonoid

Sumber : (Grotewold, 2006)

Flavonoid merupakan senyawa metabolit tumbuhan yang sangat melimpah di

alam. Fungsi senyawa flavonoid sangatlah penting bagi tanaman pada pertumbuhan

dan perkembangannya. Fungsi tersebut seperti penarik perhatian hewan pada proses

penyerbukan dan penyebaran benih, stimulan fiksasi nitrogen pada bakteri

Rhizobium, peningkat pertumbuhan tabung serbuk sari, serta resorpsi nutrisi dan

mineral dari proses penuaan daun. Senyawa flavonoid juga dipercaya memiliki

kemampuan untuk pertahanan tanaman dari herbivora dan penyebab penyakit, serta

senyawa ini membentuk dasar untuk melakukan interaksi alelopati antar tanaman

(Andersen dan Markham, 2006).

Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid

sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-

sayuran dan buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai

antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui

kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung

rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et

al.,1954).

Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai

glikosida dan aglikon flavonoid yang mana pun, mungkin saja terdapat dalam satu

tumbuhan dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Menurut strukturnya,

semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada

tumbuhan berupa tepung putih dan mempunyai sejumlah sifat yang sama. Golongan

flavonoid dibagi menjadi 10 kelas (Harborne, 1987).

Berikut merupakan pembagian flavonoid keragaman pada rantai C3 yaitu :

a. Antosianin

Antosianin merupakan salah satu pewarna alami karena merupakan zat

berwarna merah, jingga, ungu, ataupun biru yang banyak terdapat pada bunga dan

buah-buahan (Hidayat dan Saati, 2006). Antosianin merupakan senyawa flavonoid

yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Antosianin dalam bentuk aglikon

lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso, 2006). Zat pewarna alami

antosianin tergolong kedalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan

benzopiran ditandai dengan adanya cincin aromatik benzena (C6H6) yang

dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Moss, 2002).

b. Proantosianidin

Proantosianidin adalah polimer dari flavonoid (Tanner et.al., 1999). Salah satu

contohnya adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang tersusun

dari epiccatechin dan catechin (Hagerman, 2002). Senyawa ini jika dikondensasi maka

akan menghasilkan flavonoid jenis flavon dengan bantuan nukleofil berupa

floroglusinol (Hagerman, 2002). Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-

pakuan, gymnospermae, dan tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis

tumbuhan berkayu (Robinson, 1991).

c. Flavonol & Flavon

Flavonol dan flavon merupakan jenis flavonoid yang paling banyak ditemukan

di sayur-sayuran. Di tanaman, Kedua kelompok senyawa ini biasanya berada dalam

bentuk O-glikosida. Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan flavon yaitu

flavonol memiliki gugus hidroksi pada C3 dan favon tidak. Flavonol dan flavon banyak

terdapat pada bagian daun dan bagian luar dari tanaman, hanya sedikit yang berada di

bawah permukaan tanah (Hertog et al. 1992).

Flavonol terdiri atas quersetin, kaemferol dan mirisetin. Quersetin umumnya

merupakan komponen terbanyak dalam tanaman. Dalam Sayuran, quercetin

glikosida merupakan komponen yang paling menonjol walaupun terdapat pula

glikosida dari kaemferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al. 1992). Berbeda

dengan flavonol, flavon yang terdiri atas apigenin dan luteolin, hanya ditemukan

pada bahan pangan tertentu. Contoh tanaman yang mengandung flavon antara lain

seledri, lada (hanya luteolin), dan peterseli (hanya apigenin) (Lee 2000).

d. Biflavonoid

Biflavonoid (atau biflavonil, flavandiol) merupakan dimer flavonoid yang

dibentuk dari dua unit flavon atau dimer campuran antara flavon dengan flavanon

dan/atau auron (Geiger dan Quinn, 1976; DNP, 1992; Ferreira dkk., 2006).

Biflavonoid terdapat pada buah, sayuran, dan bagian tumbuhan lainnya. Senyawa

ini mula-mula ditemukan oleh Furukawa dari ekstrak daun G. biloba berupa

senyawa berwarna kuning yang dinamai ginkgetin (Baker dan Simmonds, 1940).

Senyawa biflavonóid berperan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, anti kanker, anti

alergi, antimikrobia, antifungi, antibakteri, antivirus, pelindung terhadap iradiasi

UV, vasorelaksan, penguat jantung, anti hipertensi, anti pembekuan darah, dan

mempengaruhi metabolisme enzim (Havsteen, 1983).

e. Khalkon

Senyawa khalkon (C15H12O) atau benziliena asetofenon atau E-1,3-

difenilprop-2-en-1-on, merupakan senyawa golongan flavonoid yang ditemukan

dalam tanaman buah dan sayur. Khalkon mempunyai kerangka karbon (C6-C3-C6)

(Patil et al., 2009). Senyawa khalkon merupakan prekursor dari senyawa flavonoid

dan isoflavonoid (Kishor et al., 2010). Senyawa khalkon juga sebagai perkursor

dalam sintesis senyawa heterosiklis yang berperan dalam aktivitas biologis seperti

benzodiazepin, pirazolin, dan flavon (Rahman, 2011).

f. Auron

Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan

bryophyta. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada

kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning

kuat berubah menjadi merah jingga bila diuapi amonia.

g. Flavanon

Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan

bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus

dan buah jeruk, dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin,

terdapat dalam buah anggur dan jeruk.

h. Isoflavon

Isoflavon merupakan isomer flavon dan jumlahnya sangat sedikit. Isoflavon

berperan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam

tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan

karena reaksinya tidak khas dengan berbagai jenis pereaksi warna. Beberapa

isoflavon, misal daidzein, memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar

UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak

lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi cokelat.

1. Sifat Kelarutan Flavonoid

Aglikon flavonoid adalah polifenol yang memiliki sifat kimia senyawa

fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus

diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan di samping itu terdapat oksigen maka

banyak yang akan terurai. Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah

gugus hidroksil atau gula, maka pada umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut

polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO),

dimetilformamida (DMF), air, dan pelarut polar lain. Adanya gula yang terikat pada

flavonoid (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih

mudah larut dalam air sehingga campuran pelarut yang disebut di atas dengan air

merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang

kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang

termetoksilasi cenderung mudah lebih larut dalam pelarut seperti eter dan

kloroform.

2. Sifat Kimia Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa bersifat asam karena adanya gugus hidroksi.

Gugus hidroksi ini akan bereaksi dengan basa membentuk garam fenolat, sehingga

pada penambahan uap amonia atau Na+ warna berubah menjadi kuning. Perubahan

ini menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik dari spektrum senyawa yang

mempunyai gugus orto dihidroksi jika bereaksi dengan AlCl3 atau H3BO3 dan akan

membentuk kompleks khelat. Ion aluminium akan membentuk khelat berwarna

kuning, ion besi akan membentuk khelat berwarna cokelat, dan sitroborat akan

berwarna kuning. Kompleks yang terbentuk dari gugus orto dihidroksi bersifat

reversibel dengan penambahan HCl, sedangkan kompleks hidroksi karbonil bersifat

ireversibel (tetap). Gugus metoksi atau metil tidak dapat membentuk kompleks

dengan AlCl3 sehingga tidak terjadi pergeseran batokromik (Harborne dkk., 1975;

Mabry dkk., 1970; Pramono, 1994).

F. Blanching

Menurut Winarno (1980), blanching adalah pemanasan pendahuluan dalam

pengolahan pangan. Blanching merupakan tahap pra proses pengolahan bahan

pangan yang biasa diakukan dalam proses pengalengan, pengeringan sayuran dan

buah-buahan. Blanching merupakan suatu proses yang dilakukan pada bahan

pangan sebelum dilakukan pengeringan pengalengan atau pembekuan. Blanching

merupakan suatu proses pemanasan pada bahan pangan dengan menggunakan suhu

dibawah 100oC. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemanasan

secara langsung dengan air panas (Hot Water Blancing) atau dengan menggunakan

uap (Steam Blanching). Kedua proses tersebut mempunyai keuntungan dan

kerugian tersendiri tergantung dari bahan yang akan di blanching.

Proses blanching pada umumnya membutuhkan suhu yaitu sekitar 75-95oC

selama 1-10 menit. Proses blanching merupakan perlakuan pendahuluan untuk

beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dengan tujuan untuk mendapatkan mutu

produk yang dikeringkan, dikalengkan dan dibekukan dengan kualitas baik

(Estiasih, 2008).

Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang memungkinkan

perubahan warna, tekstur, cita rasa bahan pangan. Namun tujuan blanching juga

bermacam-macam tergantung dari bahan yang akan digunakan serta tujuan proses

selanjutnya (Muchtadi, 1997).

Secara umum tahap proses blanching bertujuan untuk menonaktifkan enzim

polifenoloksidase, akan tetapi akhir akhir ini banyak penelitian tentang perubahan

komponen aktif selama blanching. Pada bahan tertentu proses blanching dapat

meningkatkan aktivitas antioksidan misalnya pada jagung (Randhir dkk, 2008),

tomat (Kwan dkk., 2007), kobis brussel (Viña dkk., 2007; Olivera dkk., 2008).

Peningkatan aktivitas antioksidan selama blanching diduga terjadi perubahan

senyawa kurang aktif menjadi aktif, hal ini sesuai hasil penelitian Kim dkk. (2010)

bahwa pemanasan tanin menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan dibanding

tanpa pemanasan.

Enzim polifenolase merupakan enzim yang bertanggung jawab atas

perubahan warna coklat pada sayuran dan buah, enzim tersebut akan membuat

senyawa polifenol akan dioksidasi menjadi kuinon yang akan membentuk warna

coklat.

G. Hipotesa

Alat perebus dan lama blanching diduga berpengaruh terhadap kadar vitamin

C dan flavonoid daun kelor.