INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca...

31
INTERNASIONAL SEMINAR TEMA Rediscovering the Treasures of Malay Culture SUB TEMA PERAN SASTRA MELAYU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA PENYAJI Suryadi PENYELENGGARA INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG diselenggarakan pada: Hari/Tanggal : Rabu & Kamis/ 28 & 29 November 2012 Tempat : Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Kota Padangpanjang Waktu : Pukul 08.00 17.30 WIB KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG 25 - 29 November 2012

Transcript of INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca...

Page 1: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

INTERNASIONAL SEMINAR

TEMA

Rediscovering the Treasures of Malay Culture

SUB TEMA

PERAN SASTRA MELAYU DALAM

PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

PENYAJI

Suryadi

PENYELENGGARA

INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG

diselenggarakan pada: Hari/Tanggal : Rabu & Kamis/ 28 & 29 November 2012

Tempat : Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Kota Padangpanjang

Waktu : Pukul 08.00 – 17.30 WIB

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG 25 - 29 November 2012

Page 2: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

2

PERAN SASTRA MELAYU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA1

Suryadi2

[T]he relationship between social change and literature cannot simply reduced to a linear and effect formula. (Budianta 2007:55).

„[L]iterature‟ was an institutionalized body of texts that should be able to bring the people of the nation-in-becoming together – and within that „literature‟ (sastra) novels were to have a central place. (Maier 2002:69).

Pendahuluan

Sastra dan pembangunan bangsa (literature and nation-building) adalah salah satu wacana

yang sudah lama menjadi topik diskusi dalam dunia akademik. Khusus di negara-negara

bekas jajahan Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sastra sering dianggap telah ikut

memberikan kontribusi penting dalam melahirkan kesadaran nasional di kalangan kaum

pribumi yang akhirnya berhasil menjungkalkan hegemoni para penjajah di negeri mereka.

Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

intelektual pribumi yang memperoleh semangat anti penjajahan melalui bacaan-bacaan sastra

yang justru berasal dari khazanah sastra Eropa sendiri. Fenomena ini juga terlihat di negara-

negara pasca kolonial di dunia Melayu, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Banyak

intelektual pribumi penentang penjajajahan bangsa-bangsa asing di negeri mereka adalah

pembaca karya-karya sastra dan banyak juga memproduksinya tempat mereka menanam dan

menggelorakan semangat nasionalisme bangsanya untuk membebaskan diri mereka dari

belenggu penjajahan. Sejarah telah mencatat bahwa Angkatan 45 di Indonesia (lihat:

Heinschke 1993) atau Angkatan Sasterawan „50 (atau Asas „50) di Semenanjung Malaya

(lihat: Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005), misalnya, telah memainkan perannya sebagai

motor penggerak dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan membangun rasa

kebangsaan di dunia Melayu pada paroh pertama abad ke-20.

Makalah ini mendiskusikan potensi sastra Melayu dalam pembentukan karakter

bangsa-bangsa di dunia Melayu dan semangat kemelayuan supranasional. Istilah „sastra

Melayu‟ dalam konteks ini diartikan agak lebih luas, yang tidak hanya menyangkut zaman

lampau (klasik), tapi juga zaman modern. Saya akan melakukan tinjauan historis untuk

menapaktilasi peran yang telah dimainkan oleh dunia sastra di zaman kolonial dan pasca

kemerdekaan negara-bangsa di dunia Melayu, dan proyeksinya di masa depan, dengan

1 Makalah pada Seminar Internasional dan Festival Seni Melayu Asia Tenggara „Rediscovering the Treasures of Malay Culture‟ yang diselenggarakan oleh Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatra Barat, 25-29 November 2012. 2 Dosen/peneliti kajian bahasa, sastra dan budaya media di Indonesia di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda. Alamat email: [email protected].

Page 3: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

3

mempertimbangkan faktor-faktor kebahasaan (bahasa Melayu/Indonesia) yang terus

mengalami dinamika dan sastra sendiri sebagai sebuah konvensi wacana yang terus-menerus

pula berubah sesuai dengan perjalanan waktu, serta aspek-aspek budaya lainnya. Analisis

tekstual pada teks-teks sastra tertentu akan dilakukan untuk memperkuat argumen-argumen

yang dikemukakan.

Perspektif teori

Hingga sekarang masih terdapat persilangan pendapat mengenai hubungan antara sastra dan

proses nation building dan pembentukan karakter bangsa sebagai bagian dari nation-building

itu. Ada yang berpendapat bahwa sastra telah menjadi model dan memberikan gagasan

konkrit dalam pembangunan bangsa, khususnya di negeri-negeri jajahan Eropa. Sebaliknya,

ada pendapat yang mengatakan bahwa sastra nasional sebuah bangsa lahir justru setelah

bangsa itu wujud. Artinya: sebuah negara-bangsa (nation-state) terbentuk terlebih dahulu,

baru kemudian terbentuk sastranya.

Di Indonesia, perdebatan ini antara lain terefleksi dalam buku Adakah Bangsa dalam

Sastra yang diedit oleh Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugondo (2003). Demikianlah

umpamanya, Budi Darma dalam artikelnya dalam buku itu berpendapat bahwa sastra

bukanlah penyebab tapi lebih merupakan akibat dari wujudnya bangsa Indonesia yang

memerdekakan diri dari penjajah tahun 1945. Namun, kajian-kajian lain menunjukkan bahwa

sastra sangat berperan penting dalam tahap awal pembentukan bangsa Indonesia (Foulcher

1993; Budianta 2007). Pada tahap itu sastra sudah berperan sebagai salah satu inang yang

penting dalam menyemaikan benih nasionalisme di akhir zaman kolonial di Indonesia. Tidak

berlebihan jika dikatakan bahwa kadar politik dalam narasi teks-teks sastra Indonesia, sejak

zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 2000, tetap menonjol, meskipun di sisi lain juga

muncul gerakan untuk memperjuangan „seni untuk seni‟. Demikianlah umpamanya, puisi-

puisi Indonesia lebih diramaikan oleh „pamflet-pamflet‟ politik ketimbang renungan-renungan

yang individualistik yang membawa sastra sebagai sebuah dunia independen seperti yang

terjadi di Barat.

Dalam sejarah pembentukan negara-bangsa di dunia Melayu, sastra jelas sangat

berperan penting dalam membangun narasi kebangsaan yang bersifat lintas etnis. Akan tetapi

proses nation-building dalam wacana sastra tidak bersifat linear dan singular yang cenderung

membawa masyarakat ke satu entitas politik yang bersifat tunggal dan seragam. Sebaliknya,

ia menyediakan ruang untuk diskusi dan dialog, bahkan debat, yang terus-menerus untuk

memperkaya dan mematangkan imajinasi dan konsepsi tentang bangsa. “[A]s a means for

Page 4: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

4

constructing a sense of community, literature of […] a heterogeneous society [Indonesia] can

serve as the sites of competing and conflicting visions [about nation].” (Budianta 2007:57).

Dengan cara demikian, sastra telah ikut memainkan peran penting dalam menciptakan rasa

memiliki (sense of belonging) dalam tubuh bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu, termasuk

di Indonesia. Sastra adalah salah satu perangkat lunak yang penting dalam membentuk

standardisasi budaya dan perluasan kewarganegaraan dan partisipasi politik masyarakat dalam

proses pembangunan bangsa di dunia Melayu.

Akar yang kuat: tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi

Para kolonialis Eropa yang datang ke dunia Melayu mendapati sebuah tradisi sastra yang

sudah semula jadi di kawasan ini, dengan aksara Jawi dan bahasa Melayu sebagai wadah

untuk mengekpresikannya. Tradisi pernaskahan Nusantara itu digerakkan oleh scriptorium-

scriptorium yang berbasis di institusi-institusi agama dan istana-istana lokal di dunia Melayu.

Hal itu berlangsung paling tidak sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19.

Selain itu, repertoar-repertoar tradisi lisan menunjukkan hubungan yang erat antara

berbagai wilayah di dunia Melayu. Satu teks ditemukan versinya di berbagai daerah, sebuah

bukti yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kesatuan bangsa Melayu dalam

keragamannya. Demikianlah umpamanya, ada Kaba Malin Deman dan Anggun Nan Tungga

di Minangkabau yang variannya di Semenanjung Melayu dikenal sebagai Hikayat Malim

Deman3 dan Hikayat Anggun Cik Tunggal.

4 Migrasi puak-puak Melayu yang terjadi sejak

masa lampau, sebelum para pejajah Eropa datang ke kawasan ini, telah melahirkan hubungan

budaya yang erat antara satu daerah dengan daerah lainnya di rantau yang luas ini. Sekedar

menyebut contoh, Negeri Sembilan di Malaysia telah lama menjadi tanah perantauan awal

orang Minangkabau (lihat: Newbold 1835; Idris 1968; Gullick 2003). Demikian juga halnya

banyak puak lainnya yang telah berpindah-pindah ke sana ke mari di wilayah Melayu

Nusantara yang luas ini sambil membawa budayanya sendiri dan mengadopsi budaya

tempatan. Di masa kemudian perpindahan itu telah didorong pula oleh represi-represi yang

dilakukan oleh kolonialis. Banyak intelektual dan juga orang awam dari berbagai tempat di

Sumatra yang berada di bawah tekanan penjajah Belanda terpaksa hijrah ke Semenanjung

3 Untuk versi Minangnya, lihat antara lain Dt. Rajo Panghulu (1989) dan Suryadi (1998) dan untuk versinya yang ditemukan di Semenanjung Malaya, lihat antara lain Winstedt dan Sturrock (1908). 4 Untuk versi Minangkabau teks ini, lihat misalnya Leiden Cod. Or. 2006 (1) (Wieringa 1998:224), Mahkota (1962) dan analisisnya oleh Phillips (1981). Pemelayuan versi Minangkabau ini dilakukan oleh Djamin dan Tasat (193?). Untuk versinya yang dikenal di Semenanjung Malaya, lihat misalnya Winstedt (1914).

Page 5: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

5

Malaya yang berada di bawah kekuasaan kolonialis Inggris yang dianggap lebih baik kepada

orang pribumi.

Sejak 1828 teknik percetakan cap batu (lithography) diperkenalkan di dunia Melayu.

Mula-mula percetakan seperti ini hanya dimiliki oleh pemerintah kolonial dan para misionaris

Eropa yang menggunakannya untuk mencetak dokumen-dokumen pemerintah, buku-buku,

atau terjemahan Injil untuk kepentingan penyebaran agama Kristen di dunia Melayu, seperti

yang mereka lakukan di Batavia, Penang dan Melaka. Kemudian kaum pribumi dan keturunan

Arab mengadopsinya untuk mencetak buku-buku sendiri yang berbahasa Melayu dan

beraksara Jawi dalam bentuk kitab, hikayat, dan syair yang isinya sering merepresentasikan

unsur-unsur agama Islam (Proudfoot 1983). Umumnya penerbit-penerbit pribumi yang

memakai teknik cetak (cap) batu muncul itu di beberapa bandar yang penting seperti di

Palembang, Pulau Penyengat, Singapura, Batavia, dan Surabaya.5 Mendekati akhir abad ke-19

teknik cap batu digantikan oleh teknologi cetak modern.

Memasuki paroh kedua abad ke-19 tradisi keberaksaraan cetak yang diperkenalkan

oleh kolonialis Eropa mulai mempengaruhi kehidupan orang Melayu. Penguasaan teknologi

percetakan oleh orang Melayu telah melahirkan budaya membaca buku. Teknologi percetakan

jelas mampu menggandakan bahan tertulis lebih banyak dan jauh lebih cepat dibanding

teknologi penyalinan dengan tulisan tangan di era naskah, dengan wilayah jangkauan yang

lebih luas. Efek percetakan inilah yang kemudian melahirkan tradisi sastra Melayu awal yang

belum disekat oleh batas-batas nasionalisme seperti sekarang.

Beberapa ahli telah membahas peran tradisi percetakan sebagai faktor pencetus

gerakan nasionalisme di dunia Melayu di mana genre sastra memainkan perang yang penting.

Penguasaan tradisi percetakan oleh kaum pribumi telah melahirkan surat kabar pribumi yang

menjadi „jembatan penghubung‟ komunikasi antara berbagai puak di dunia Melayu, yang

pada gilirannya memberi kesadaran kepada mereka akan adanya perbedaan dengan subjek

penjajah (lihat Roff 1967; Anderson 1983; Adam 1995). Menurut Anderson, kapitalisme

cetak telah memberi ruang untuk menciptakan perasaan partisipasi dan keanggotaan dalam

sebuah komunitas yang melewati batas-batas etnis. Para pembaca surat kabar dari kalangan

pribumi “to whom they were connected through print, formed, in the secular, particular,

visible invisibility” adalah “the embryo of nationally-imagined communities” (Anderson

1983:47).

5 Lebih jauh mengenai aktifitas percetakan pribumi di dunia Melayu di era teknologi cap batu, lihat Ritter (1843), Dhiel (1990), Gallop (1990). Lihat juga Dewall (1857) dan Peeters (1996) mengenai Palembang, Proudfoot (1993) dan (1998) yang banyak membicarakan penerbit-penerbit pribumi di Singapura, Kaptein (1993) mengenai Surabaya, dan Putten 1997 mengenai Pulau Penyengat, Riau.

Page 6: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

6

Namun, di sini saya ingin lebih menyorot fungsi industri percetakan pribumi yang

telah mentransformasikan sistem sastra Melayu sedemikian rupa sehingga ia menjadi simbol

yang lebih jelas untuk menunjukkan identitas kaum pribumi sendiri. Hal itu terjadi seiring

dengan pengambilalihan fungsi scriptorium institusi-insitusi agama dan istana oleh industri

percetakan pribumi tersebut. Dalam konteks ini, aksara Jawi sangat berperan penting untuk

memberi penanda yang jelas dan karakter yang kuat bagi identitas kemelayuan yang terkait

dengan agama Islam. Peminjaman satu aksara selalu bersamaan dengan penyebaran sebuah

tamadun dari mana aksara itu semula berasal. Meminjam kata-kata Ignace Jay Gelb (1952:

222) “tulisan hanya berada dalam tamadun, dan tiada tamadun tanpa tulisan.” Aksara Jawi

yang diturunkan dari aksara Arab adalah salah satu aksara yang selalu membawa tamadun

Islam ke dalam masyarakat manapun yang mengadopsi aksara itu, tak terkecuali di dunia

Melayu pada zaman lampau (Cho 2012), yang tidak aus oleh jarak geografi dan waktu dari

tempat asal aksara itu. Pengadopsian aksara Arab inilah yang telah memainkan peranan

jangka panjang sehingga melekatkan Islam sebagai ciri penting orang Melayu.

Sejarah sudah mencatat bahwa tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi (abad ke-16-

19) telah menjadi salah satu unsur penting sebagai penanda bangsa Melayu. Hal itu secara

sadar atau tidak juga diangkat oleh para sarjana Eropa yang mengkaji teks-teks sastra Melayu

tersebut.6 Secara langsung atau tidak teks-teks sastra Melayu itu, baik dari genre kitab,

hikayat, syair, dan lain-lain, telah ikut berperan dalam membentuk sensibilitas budaya dalam

masyarakat Melayu. Inilah awal dimana sastra telah ikut memainkan peran dalam membentuk

karakter orang Melayu dan menjadi penanda pula bagi orang asing untuk menyebut bangsa

Melayu sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tradisi sastra sendiri.

Teks-teks sastra Melayu di era aksara Jawi beredar dalam wilayah yang luas. Teks-

teks itu beredar melewati batas-batas administrasi kolonial yang diatur oleh Inggris dan

Belanda pada masa itu. Teks-teks seperti itu menjadi lambang kemelayuan dalam arti luas.

Batas-batas kenegaraan memang belum ada pada waktu itu, tapi batas-batas administrasi

kolonial sudah diatur oleh penjajah – suatu usaha untuk mencabik-cabik identitas

kemelayuan itu sendiri. Secara hakikat, teks-teks sastra Melayu pada waktu itu seolah menjadi

simbol untuk melawan pemgkotakan-pengkotakan administratif yang dibuat oleh para

penjajah yang mengapling-ngapling dunia Melayu sekehendak hati mereka sendiri. Teks-teks

6 Mengenai konstruksi pengetahuan tentang dunia Melayu sebagai „the Others‟ oleh para sasrjana Belanda sejak zaman kolonial sampai akhir abad ke-20, lihat Sweeney (2000). Lihat juga Sweeney (1994) tentang bias Eropasentris dalam melihat sastra Melayu di kalangan sarjana Eropa.

Page 7: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

7

sastra Melayu itu memberikan gerakan resistensi terhadap batas-batas kolonial yang dibuat

oleh penjajah itu.

Usaha para kolonialis untuk menggusur aksara Jawi dengan menggantinya dengan

aksara Latin merupakan suatu strategi budaya yang sistematis yang dilakukan oleh penjajah

untuk mengubah karakter dan budaya masyarakat Melayu. Para penasihat budaya Pemerintah

Kolonial yakin bahwa dengan menyingkirkan aksara Jawi dari masyarakat Nusantara,

radikalisme Islam dapat diminimailisir (lihat misalnya Moriyama 2005 untuk wilayah Sunda),

dan tentu saja, langsung atau tidak, peran sastra Melayu sebagai simbol pemersatu orang

Melayu juga mengalami penggerusan. Melalui aksara Latin kolonialis mengutak-atik bahasa

Melayu dan berusaha melakukan standardisasi terhadapnya (lihat Hoffman 1979). Seperti

yang dapat kita saksikan kemudian, usaha ini boleh dibilang berhasil: sifat kemelayuan yang

semesta dari sastra Melayu beraksara Jawi terkikis akibat invasi hebat aksara Latin di dunia

Melayu.

Ide-ide tentang kebangsaan dalam Sastra di Zaman Pergerakan

Dengan semangat yang berbeda dengan zaman aksara Jawi, sastra terus memainkan peranan

dalam pembentukan bangsa di dunia Melayu. Peran penting sastra sebagai pembangun

karakter bangsa itu dapat dilihat pula di era 1920-an sampai 1940-an, saat aksara Latin praktis

telah mereduksi eksistensi aksara Jawi di dunia Melayu. Banyak teks sastra yang lahir dari

tangan para intelektual pribumi di zaman itu yang pada hakikatnya mengandung pemikiran-

pemikiran mengenai kebangsaan. Melalui karya-karya mereka, para sastrawan-intelektual itu

mengemukakan gagasan-gagasan mereka mengenai sebuah bangsa merdeka yang

membebaskan dirinya dari cengkeraman penjajah. Teks-teks sastra itu, secara ekplisit atau

implisit menawarkan gagasan-gagasan politik dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia

dari belenggu penjajahan dan juga tranformasi-transformasi budaya untuk mewujudkan

sebuah bangsa merdeka di wilayah yang begitu luas dan beragam dari segi etnis, budaya, dan

agama. Banyak teks-teks sastra yang diproduksi oleh para intelektual pribumi pada waktu itu

mengandung ide-ide pembebasan, baik politik maupun budaya, dalam rangka menciptakan

sebuah kesadaran nation yang dicita-citakan untuk masa depan bersama.

Tentu tidak mungkin untuk mengemukakan seluruh hasil identifikasi mengenai

berbagai gagasan kebangsaan yang terkandung dalam teks-teks sastra di zaman itu dalam

makalah yang singkat ini. Saya hanya ingin menunjukkan beberapa aspek yang menonjol di

antaranya, untuk memberikan gambaran bagaimana ide mengenai kebangsaan

Page 8: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

8

direpresentasikan dalam teks-teks sastra di zaman itu. Saya mencoba melihatnya dalam ranah

dua genre sastra: puisi dan novel (roman).

Semangat kebangsaan dalam puisi

Puisi adalah genre yang sudah sejak awal menunjukkan peran pentingnya dalam pembentukan

gagasan mengenai kebangsaan. Dalam konteks ini, tiada contoh yang lebih jelas selain puisi-

puisi Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemuka Angkatan 45. Saya agak urang

sependapat denga Keith Foulcher (1993:246) yang menyatakan bahwa Chairil Anwar dan

groupnya (Angkatan 45) “increasingly found themselves denying the political-ideological

context in which literature was produced [and] asserted that the autonomy of individual

artist, free from political movement, the precondition for genuine aesthetic movement” untuk

mengekspresikan pandangan mereka tentang „universal humanism‟. Bagi saya, puisi-puisi

Chairil Anwar seperti “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku”, dan

lain-lain, justru sarat dengan muatan politik. Puisi-puisi Chairil mampu mengobarkan

semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang baru mekar pada pertengahan tahun 1940-an.

Puisi-puisi tersebut menyiratkan kesadaran Chairil Anwar untuk mengangkat martabat

bangsanya yang lama menjadi kawula yang terjajah. Dalam sebuah puisi tanpa judul yang

terbit dalam majalah Gelanggang (edisi 12 Desember 1948), Chairil mengekspresikan sikap

revolusionernya dengan kata (kunci) „bedil‟.

Sudah dulu lagi terdjadi begini7

Djari tidak bakal terandjak dati petikan bedil Djangan tanja mengapa djari tjari tempat di sini Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi Dan djangan tanja siapa akan menjiapkan liang penghabisan Jang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi Djari tidak bakal terandjak dari petikan bedil.

Bahasa puisi-puisi Chairil Anwar juga dianggap memberikan corak dan semangat baru

terhadap bahasa Indonesia. Khairil dianggap mampu melakukan transformasi estetika dalam

perpuisian Indonesia (Oemardjati 1972). Dalam “Krawang Bekasi” Chairil mengingatkan

untuk tidak melupakan para pejuang kemerdekaan, agar generasi berikutnya meneruskan

perjuangan itu dan mengisi kemerdekaan yang telah direbut dari penjajah.

7 Puisi Chairil ini tak sulit ditemukan dalam antologi-antologi puisinya yang sudah pernah diterbitkan. Kutipan ini sendiri didasarkan atas Foulcher (1993:237) karena di KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden tidak ada tersimpan eksemplar-eksemplar majalah Gelanggang.

Page 9: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

9

Krawang Bekasi 8

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan bendegap hati ? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan

dan harapan atau tidak untuk apa-apa, kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian. Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil menggugah pembacanya dengan gagasan mengenai kemerdekaan dan upaya untuk

mempertahankannya. Ia seolah menyalurkan suara kaum muda Indonesia yang memiliki

gejolak emosi anti kolonial. Orientasi universalisme Chairil tidak mengurangi rasa cintanya

terhadap tanah airnya dan pandangan kritisnya terhadap bangsa Barat yang pintar dan berke

budayaan tinggi tapi suka menjajah bangsa-bangsa lainnya dan memperbudak sesama

manusia. Chairil menangkap energi dari semangat kemerdekaan generasinya dan

8 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (1974):129,131.

Page 10: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

10

mengawetkannya dalam teks-teks puisinya. Dalam “Persetujuan dengan Bung Karno” ia

merepresentasikan tekad kaum muda untuk bergandeng bersisian dengan “Putra Sang Fajar”

dan Bapak Proklamator itu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menyerukan

agar generasinya (generasi muda) dan generasi tua saling bersatu dalam mengisi

kemerdekaan. Tapi di balik itu, puisi ini juga mengilatkan rasa gregetan kaum muda terhadap

generasi tua yang sejak hari-hari terakhir kekuasaan penjajah Jepang di Indonesia dianggap

agak mbalelo dalam menggesa kemerdekaan Indonesia.

Persetujuan dengan Bung Karno9

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu, dipanggang diatas apimu,

digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Dalam sejarah perpuisian Indonesia persoalan kebangsaan tetap menonjol sampai sekarang.

Sepanjang sejarah Indonesia modern, puisi-puisi kaya dengan wacana politik tempat

terjadinya pergulatan pemikiran mengenai bangsa. Kritik terhadap praktek korupsi,

penderitaan kaum buruh, perilaku rezim otoriter terhadap rakyat10

, dan lain sebagainya selalu

disuarakan dalam puisi modern Indonesia sampai hari ini.

Gagasan mengenai kebangsaan dalam novel Indonesia awal

Seperti halnya genre puisi, genre novel atau roman di Zaman Pergerakan telah berperan

penting dalam mengapungkan wacana kebangsaan, sebagaimana terefleksi dalam pendapat

Henk Maier (2002:69) yang dikutip di awal makalah ini. Teks-teks roman/novel di zaman itu

adalah ladang untuk menggelorakan semangat merdeka dan anti penjajahan. Demikianlah

umpamanya, dalam Hikajat Kadiroen karya Semaoen, terdapat dialog sebagai berikut.

Tadi saja soedah memberi keterangan, bahwa koempoelan kita [P.K. – Partai Kominis] berichtiar mengadjak rajat mendjadi pinter dan koeat, soepaja achirnya kita bisa merdika mengoeroes negeri kita

9 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (ibid.):107. 10 Tentang tema ini yang menyangkut Rezim Orde Baru, lihat puisi-puisi Wiji Thukul (1988; 2000). Wiji Thukul sendiri disinyalir merupakan salah satu korban penghilangan sastrawan oleh Rezim Orde Baru. Dalam puisi-puisinya Wiji Thukul mengeritik keras Rezim Orde Baru yang represif. Sampai sekarang kuburnya belum ditemukan dan kematiannya sampai masih tetap menjadi misteri.

Page 11: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

11

sendiri. Na, ini hal soenggoehlah perkara kebangsa‟an.[...]. Adapoen kalau bangsa kita Boemipoetra jang

kaja tahoe betoel maksoednja perkoempoelan kita, tentoe mereka soeka mengalah dan moefakat dengan rajat dalam P.K. sebab P.K. maoe memoeliakan Se-anteronja rajat atau pendodoek Hindia.” (Samaoen 1920:121).

Hikajat Kadiroen mengandung propaganda Komunisme untuk menyadarkan rakyat Hindia

Belanda agar melawan sistem Kapitalisme yang bersekongkol dengan Pemerintah Kolonial.

Melalui narasi roman itu Semaoen mengajak pembaca (kaum intelektual pribumi) untuk

bergabung dengan Partai Komunis yang dipimpinnya. Semaoen menyadari pentingnya media

cetak seperti surat kabar untuk menyebarkan ide-idenya. Hikajat Kadiroen sendiri ditulis oleh

Semaoen ketika dia berada dalam penjara tahun 1919 karena terkena persdelict Pemerintah

Kolonial Belanda.

Judul roman masih memakai kata „hikayat‟, yang menyiratkan semangat sastra

Melayu lama yang masih tersisa di zaman aksara Latin yang makin berkuasa di dunia Melayu

sejak awal abad ke-20. Namun, jika diberi interpretasi lebih jauh, kata „hikayat‟ juga seolah

merepresentasikan rasa anti Barat dan anti kapitalisme, yang memang merupakan motif

penting perjuangan kaum Komunis di Hindia Belanda pada zaman itu. Banyak roman yang

terbit antara 1920-an sampai 1940-an berisi kisah-kisah perjuangan yang heroik menentang

penjajahan. Di samping itu tak sedikit pula yang mengekplorasi pemikiran-pemikiran

ideologis, baik yang berlabel agama maupun yang sekuler, bahkan juga komunisme dan

ateisme. Dalam Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito muncul tema tentang

perjuangan “proletar intelektual” Sudarmo dan Sulastri yang menjadi guru sekolah liar

(partikelir), yang dijepit oleh politik kolonial. Mereka lebih memilih hidup miskin asal dapat

bekerja untuk bangsanya sendiri. Perasaan kebangsaan itu antara lain dapat dikesan dalam

kutipan berikut ini:

Marti, Do‟akan aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat, bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan aku harus mengekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua; bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama. (Jojopuspito 2000:18).

Manusia Bebas terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda di Negeri Belanda pada

tahun 1940 dengan judul Buiten het gereel yang secara harfiah berarti „di luar rel‟. Suwarsih

secara berani telah mengemukakan ide-ide dan perasaannya mengenai kemerdekaan bangsa

Indonesia melalui bahasa milik si penjajah dan di negeri si penjajah sendiri (Zonneveld 1996).

Buiten het gereel adalah salah satu karya sastra yang banyak diperbincangkan oleh intelektual

Belanda. Namun, seperti yang dikemukakan oleh E. du Perron untuk pengantar edisi

Page 12: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

12

Indonesia roman ini, apa yang dikemukakan dalam Manusia Bebas adalah perasaan “yang

nyata ada di kalangan orang nasionalis” dan dianggapnya akan berguna untuk mencapai

“„pengertian yang lebih baik antara putih dan sawo matang‟”11

, suatu usaha yang tampaknya

dimaksudkan untuk menetralisir kekagetan orang Berlanda yang pernah terjadi ketika

membaca edisi pertama roman ini yang diterbitkan oleh seorang inteletual wanita pribumi

dalam bahasa mereka sendiri, bahasa penjajah yang selama beratus tahun dijauhkan dari

subjek terjajah di Hindia Belanda agar mereka tidak menjadi pintar dan membahayakan

hegemoni si penjajah di tanah jajahan mereka.

Dengan cara lain, sejumlah roman juga merepresentasikan keindonesiaan dalam plot

dan penokohan yang bersifat lintas etnis. Hal itu dapat dikesan dalam beberapa roman Zaman

Pergerakan karangan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Sebuah bangsa

baru yang dicita-citakan mestilah keluar dari ekslusivisme etnisitas dengan berbagai ciri yang

menyertainya. Keindonesiaan yang dicita-citakan mestilah memberi ruang toleransi bagi

perbedaan budaya dan agama. Hubungan antara suku harus diperkuat, seperti terefleksi dalam

judul roman karangan S. Hardjosoemarto dan Aman Dt. Madjoindo, Rusmala Dewi:

Pertemuan Jawa dan Andalas (edisi pertama: 1932). Hubungan antar etnis itu sering

digambarkan melalui perkawinan, seperti dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antara

Nurdin (Minangkabau) dan Rukmini (Sunda) dalam Darah Muda oleh Adi Negoro12 (edisi

pertama: 1927) dan Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda) dalam Asmara Jaya (edisi

pertama: 1928) yang juga dikarang oleh Adi Negoro. Tema yang sama juga direpresentasikan

melalui tokoh Amiruddin (Minangkabau) dan Astiah (Jawa) dalam Cinta Tanah Air karangan

Nur Sutan Iskandar (edisi pertama: 1944), sebuah roman yang berlatar perjuangan merebut

kemerdekaan Indonesia. Hubungan antaretnis yang cukup mencolok juga terlihat pada diri

poniem (Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli oleh Hamka (edisi

pertama: 1940). Hubungan kedua tokoh itu yang berasal dari etnis yang berbeda itu sangat

menentukan alur novel tersebut. Latar novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman

sebelum perang. Leman adalah perantau Minang yang berprofesi sebagai pedagang di Medan.

Sedangkan Poniem adalah seorang gadis Jawa langganan tetapnya yang bekerja menjadi

buruh di ladang tembakau di Deli. Akibat sering bertemu, mereka akhirnya saling jatuh cinta

dan sepakat untuk menikah. Banyak teman seperantauan Leman asal Minangkabau yang

memberikan komentar-komentar negatif atas pernikahan antaretnik itu. Mereka menilai

Leman sangat berani melanggar kelaziman pada waktu itu di mana banyak orang

11 Dikutip dari edisi 2000 oleh Penerbit Djambatan, halaman xv (lihat kepustakaan). 12 Namanya sering pula ditulis satu kata: „Adinegoro‟. Nama lengkapnya adalah „Djamaludin Adinegoro‟.

Page 13: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

13

Minangkabau yang merantau cenderung akan menikahi gadis Minangkabau yang berasal dari

kampung sendiri, yang biasanya dipilihkan oleh keluarga matrilineal si laki-laki. Namun,

Leman melanggar adat resam itu. Dia ingin menikahi Poniem yang berasal dari etnis Jawa.

Pernikahan antara Leman dan Poniem berbuah bahagia. Usaha perniagaan Leman

menjadi maju. Akan tetapi, kejayaan itu pulalah yang menjadi membawa petaka kepada

rumah tangga Leman dan Poniem. Sebagaimana umumnya tipikal konflik rumah tangga di

Minangkabau, orang ketiga – biasanya salah satu pihak dari keluarga laki-laki atau perempuan

– mencampuri urusan rumah tangga satu pasangan suami-istri. Setelah mendegar usaha

dagang Leman berkembang di Medan, keluarganya di kampung datang menemui Leman

dengan maksud hendak mengawinkannya dengan seorang gadis dari kampung pilihan mereka

sendiri. Leman dipaksa kawin lagi dengan Mariatun, gadis sekampungnya yang masih

memiliki hubungan keluarga dengannya. Perkawinan kedua itu akhirnya membawa

kesengsaraan pada diri Leman. Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengeritik adat

Minangkabau, tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan membina Indonesia baru

melalui pembauran antarentik. Hamka kembali menggarap tema perkawinan antaretnik ini

dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton dalam

Majalah Pedoman Masjarakat di Medan, 1938). Dalam novel itu Hamka memperkenalkan dua

tokoh yang berbeda etnis: Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin (Bugis).

Tampaknya para pengarang dan intelektual asal Minangkabau di Zaman Pergerakan

sudah jauh melangkah ke depan: memikirkan konsep keindonesiaan. Nur Sutan Iskandar

(Sungai Batang, Maninjau, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975), Adi Negoro

(Talawi, Sumatra Barat, 14 Agustus 1904 – Jakarta, 8 Januari 1967) dan Hamka (Singai

Batang, Maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – Jakarta, 24 Juli 1941) adalah tiga

sastrawan Indonesia pada zaman itu yang menganut paham „terbuka‟, dalam arti bahwa

pemikiran mereka (yang direfleksikan melalui tokoh-tokoh dalam karya mereka) bersifat

lintas budaya dan „mengindonesia”. Umumnya novelis golongan ini sering „keluar‟ dari

wilayah kebudayaan etnisnya. Kebetulan ketiga pengarang di atas berasal dari etnis

Minangkabau, etnis yang terkenal dengan budaya merantau-nya yang tidak bersifat ekslusif.

Oleh karena sering bersentuhan dengan kebudayaan lain, mereka tidak „chauvinistik‟ dalam

melihat kebudayaannya sendiri. Mereka sanggup memandang budaya sendiri dengan objektif

dan dapat menerima ide-ide yang positif dari kebudayaan lain. Oleh karena itu mereka

mampu menghadirkan perspektif keindonesiaan yang multibudaya itu dengan lebih jelas

dalam karya-karyanya. Demikianlah umpamanya, pemikiran mengenai keindonesiaan itu

terefleksi dalam kalimat-kalimat Adi Negoro di bawah ini, dengan sedikit menyindir etnis

Page 14: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

14

Jawa dan seolah secara implisit membanggakan sifat sukarela (voluntary) budaya merantau

orang Minangkabau:

Merantau ke negeri Seberang orang djawa ta‟ soeka, karena tjintanja besar sekali ketanah air. Tanah airnja beloem lagi diperlebarnja, melainkan masih tinggal Djawa. Kalau anak-anak moeda angkatan sekarang dan angkatan jang akan tiba, berladjar memandang tanah airnja selebar Indonesia Raja, tidaklah akan dapat ganggoean tetek bengek kalau ia hendak merantau ketanah seberang, karena tanah seberang itoe, baik Soematra, baik Borneo, baik Selebes atau Nieuw Guinea, ialah tanah airnja semata-mata, bangsa-bangsa jang diam diatasnja tidak lagi akan disangkanja orang asing, melainkan saudaranja. (Negoro 1930:5).

Dalam konteks ini, menarik membandingkan Nur Sutan Iskandar dan Adi Negoro di satu

pihak dan Hamka di lain pihak. Nur dan Adi Negoro menghadirkan perspektif yang berbeda

dengan Hamka. Dalam Cinta Tanah Air pasangan Amiruddin dan Astiah berhasil

melangsungkan perkawinan dan keduanya ikut dalam perjuangan untuk mencapai

kemerdekaan. Hambatan adat hampir tak berarti dalam hubungan cinta mereka. Dalam Darah

Muda pasangan Nurdin-Rukmini (Minang-Sunda) juga berhasil mewujudkan cinta mereka

sampai ke jenjang perkawinan. Begitu juga halnya dengan pasangan Rustam-Dirsina

(Minang-Sunda) dalam Asmara Jaya oleh pengarang yang sama. “Pemberontakan” terhadap

adat Minangkabau oleh pihak laki-laki (Nurdin dan Rustam) berhasil: mereka mampu

melewati rintangan adat dan budaya. Usaha pihak keluarga untuk memisahkan mereka dari

pasangan mereka yang berasal dari etnis Sunda (biasanya dengan cara menyuruh mereka

kawin lagi dengan gadis sekampung) berhasil mereka gagalkan atau mereka tolak.

Sebaliknya, Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck berakhir dengan sad

ending. Nasib tragis dialami oleh pasangan Leman-Poniem (Minangkabau-Jawa) dalam

Merantau ke Deli dan pasangan Zainuddin-Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Kedua pasangan itu tidak berhasil melanjutkan cinta mereka ke mahligai rumah tangga.

“Pemberontakan” terhadap adat yang mereka lakukan tidak berhasil dan membawa

kesengsaraan kepada mereka. Perbedaan itu menyiratkan suatu proses menuju keindonesiaan

yang lebih matang dan dewasa. Lepas dari gerakan romantisme yang menjadi trend dalam

dunia sastra di Hindia Belanda pada zaman itu, kedua novel karya Hamka tersebut seolah-

olah menyiratkan bahwa dari segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat untuk

mewujudkan bangsa Indonesia. Sekat-sekat etnisitas dengan segala kompleksitas budayanya

harus dibuka. Hal itu seolah-olah juga menyiratkan betapa kebhinnekaan dalam pluralisme

masyarakat Indonesia yang berbilang etnis ini masih harus diperjuangkan dengan gigih dan

masih dalam proses pematangan.

Page 15: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

15

Karya-karya sastra Indonesia di era selanjutnya juga pekat dengan ideologi

nasionalisme. Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang pengarang yang menonjol dalam

hal ini. Dalam ulasannya mengenai karya-karya Pramoedya, A. Teeuw (1997:266) menulis.

Pramoedya could present the man Minke [protagonis Bumi Manusia] as the pioneer of an Indonesian nation of the people, nation where justice and equality would exist, where women would have equal rights and where men and women would have freedom of expression. Such has been Pramoedya‟s ideology of the Indonesian nation, from his earliest stories written as a guerilla fighter to his great Buru novels, created while a prisoner in his own Indonesia. This national ideology gives the fascinating unity to all his work, which can be characterized by a national Indonesian motto, bhinneka tunggal ika, unity in diversity.

Keunikan Indonesia sebagai negara yang tidak mengadopsi bahasa Belanda, bahasa bekas

penjajahnya telah menimbulkan ciri anti kolonial yang pekat dalam karya sastranya. Dengan

bahasa nasional sendiri, para sastrawan Indonesia, sejak akhir masa kolonial, menulis

persoalan-persoalan dalam masyarakat mereka sendiri, termasuk persoalan-persoalan bangsa

mereka sendiri, tanpa harus tersekap kaku dalam kanon-kanon kesastraan Barat (Foulcher

1995). Dalam karya-karya mereka konvensi-konvensi sastra Melayu lama masih terasa, yang

diramu dengan unsur-unsur baru yang mereka peroleh dari berbagai budaya seperti budaya

Islam dan Eropa sendiri. “The influence of traditional [Malay] literature can be seen more

obviously in the style of language used in early [Indonesian] novels” (Aeusrivongse 1976:76).

Dalam pandangan para peneliti Barat hal itu telah dianggap sebagai penghalang pencapaian

nilai sastra yang tinggi. Namun, „Eurosentric biases‟ itu, sebagaimana halnya juga terefleksi

dari fiksi-fiksi colonial yang ditulis oleh orang Belanda tentang budaya dan masyarakat

Hindia Belanda (lihat: Roskies 1988), telah dikritik pula oleh sebagian peneliti (lihat

misalnya: Sweeney 1994; Derks 2001). Dengan kendaraan bahasa Melayu sendiri, sastra di

dunia Melayu telah membentuk dirinya sendiri dan juga telah menjalankan fungsinya yang

khas sebagai media untuk mengekpresikan nasionalisme dalam masyarakatnya.

Sastra dan semangat kebersamaan rumpun Melayu sampai tahun 1950-an

Sejak Zaman Pergerakan (1920-an) sampai 1950-an sastra di dunia Melayu masih belum

terkotak-kotak oleh batas kenegaraan seperti sekarang ini. Era tersebut masih melanjutkan

kesatua Melayu di zaman pernaskahan, sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada masa akhir

zaman kolonial sampai dekade awal kemerdekaan dunia Melayu dari penjajahan Eropa, para

pengarang dan intelektual dari wilayah yang sekarang bernama Indonesia banyak memberi

inspirasi kepada rekan-rekan mereka yang berada di Semenanjung Malaya. Mereka merasa

bersama dan bersatu di bawah landasan Islam, agama yang telah lama menjadi ciri pembeda

Page 16: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

16

orang Melayu dengan puak-puak lainnya di Asia Tenggara. Para intelektual dari Sumatra,

khususnya Minangkabau yang hijrah ke Semenanjung Malaya akibat tekanan penjajah

Belanda, banyak yang menjadi pemimpin agama dan politik di sana. Mereka menjadi orang-

orang terkemuka di Semenanjung Malaya. Sekedar contoh, ulama kharismatik Perak Syeikh

Tahir Djalaluddin (1869-1956), pemimpin pertama Federasi Malaysia setelah merdeka dari

Inggris Tuanku Abdul Rahman (1895-1960) dan presiden pertama Singapura Yusof bin Ishak

(1910-1970) adalah tiga orang terkemuka yang berdarah Minangkabau (lihat: Aziz 2003;

Chaniago 2010:498-504, 522-27, 532-35).

Menurut Pak Su Ji, banyak sastrawan di Zaman Pergerakan di Malaysia, khususnya

yang berasal dari Kelantan, mendapat inspirasi dari para seniornya yang berasal dari

Indonesia, terutama para sastrawan keturunan Minangkabau seperti Hamka dan lain-lain.

Menurut penulis ini, pengaruh Islam dari Timur Tengah telah menjadi inspirasi bagi banyak

intelektual dan sastrawan di Indonesia dan Semenanjung Melayu untuk mencetuskan

semangat nasionalisme melawan kolonialis Belanda dan Inggris. Banyak majalah yang

diterbitkan di Indonesia dibaca secara luas oleh orang-orang di di Semenanjung Malaya. Ini

menunjukkan bahwa bahan-bahan bacaan dari Indonesia, terutama dari Sumatra, telah lama

berkembang dan mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Melayu di Semenanjung

Malaya.

Pengaruh dalam bidang bahasa dan sastera semakin berkembang apabila Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928 telah memutuskan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia. Pengambilan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia telah memberikan semangat baru kepada orang-orang Melayu untuk mengembangkan lagi kesusasteraan mereka. Pengarang-pengarang novel misalnya Harun Aminurrashid, Yasin Ma‟amor, Raja Mansor, Abdullah Sidek, Abdul Kadir Adabi banyak membaca novel-novel yang ditulis oleh pengarang Indonesia misalnya Sitti Nurbaya (1922), Darah Muda (1927) dan Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1933).

13

Menurut Pak Su Ji pula, banyak novelis awal di Semenanjung Malaya yang mendapat

pengaruh dari karya-karya pengarang-pengarang Indonesia asal Sumatra, khususnya

Minangkabau yang memang mendominasi dunia kesusastraan Indonesian pada waktu itu.14

Pengarang-pengarang pada awal tahun 30an khususnya Abdul Kadir Adabi merupakan seorang yang rajin membaca. Hal ini termasuklah bahan-bahan bacaan dari Indonesia. Menurut Rosnah Baharudin novel Melati Kota Bharu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan novel yang ditulis oleh Swan Penn (nama samaran Prada Harahap, seorang tokoh wartawan Indonesia) iaitu Melati Van Agam. Pengaruh ini dapat dilihat berdasarkan novel Melati Kota Bharu yang memilih bunga sebagai tajuk yang dilambangkan pada wanita telah dimulakan oleh Swan Penn. Sebelum itu pada tahun 1932, Ahmad Syarkawi juga

13 Dikutip dari Pa Su Ji: “Faktor kelahiran pengarang Kelantan dan Minangkabau” dalam blognya: http://keceklagi.blogspot.nl/2011/09/faktor-kelahiran-pengarang-kelantan-dan.html (diakses 5 Oktober 2012). 14 Menurut perhitungan Freidus (1977), sampai 1942, sekitar 85-90% pengarang Indonesia berasal dari Minangkabau. Oleh sebab itu pengaruh bahasa Melayu Minangkabau pun sangat kentara pada waktu itu.

Page 17: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

17

mengunakan unsur bunga dalam pemilihan judul novelnya di Sarawak iaitu Melati Sarawak dan pengarang ini juga sebenarnya berasal dari Sumatera Barat. Pengarang dari Tanah Melayu juga mendapat tempat dalam majalah Pujangga Baru dari Indonesia apabila hasil karya mereka diterbitkan dalam majalah tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sajak Harun Aminurashid yang berjudul “Oh! Sariku”.

Pengarang-pengarang novel pada tahun 1930an ada yang berasal dari Indonesia khususnya dari Sumatera. Mereka juga telah membantu mempercepatkan penulisan novel di Tanah Melayu apabila mereka menjadikan negara ini sebagai destinasi mereka. Salah satu sebab mereka berhijrah ke Tanah Melayu berikutan tekanan politik penjajah Belanda. Pengarang-pengarang tersebut termasuklah Raja Mansor, Shamsuddin Salleh, Yunus A. Hamid, Ahmad Nur A, Shukur dan Muhammad Sanin Taib. Selepas Tanah Melayu merdeka, Idrus seorang pengarang dari Padang, Indonesia pernah menetap di Kuala Lumpur.

Pengaruh kepada sastera dari Indonesia cukup tinggi bukan sahaja pada tahun tahun 20-an dan 30-an tetapi minat ini terus berkembang sehingga sekarang. Aliran masuk novel-novel dan bahan bacaan dari Indonesia pada akhir tahun 1940-an sehingga 60-an banyak membanjiri pasaran buku di Malaysia. Beberapa novel dari pengarang Indonesia misalnya Atheis, Keluarga Geriliya, Salah Asohan dan Sitti Nurbaya pernah menjadi bacan wajib kepada pelajar di peringkat menengah dan universiti pada tahun 1960 - 1990. Ini membuktikan bahawa pengarang Malaysia belajar dari pengarang Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam koleksi perpustakaan peribadi milik Norhisham Mustaffa yang mempuyai koleksi majalah sastera Horison disamping majalah-majalah serius dan bertemakan agama dari Indonesia seperti Basis, Islamik, dan Kalam.

15

Demikianlah, rasa kebersamaan dalam dunia sastra masih terasa di dunia Melayu sampai

tahun 1950-an, terutama antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan dunia sastra pop juga

menjadi jembatan penghubung yang mempererat tali persaudaraan antara Indonesia dan

Malayasia. Banyak latar cerita dan tokoh-tokoh cerita dalam roman-roman non Balai Pustaka

yang terbit di Sumatra seperti Medan, Bukittinggi, dan Padang16

, mengambil latar dan tokoh-

tokoh yang melibatkan wilayah Indonesia dan Malaysia, seperti digambarkan dalam roman

Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur karya Roma Nita (1941). Hubungan yang penuh kemesraan

itu terganggu menyusul kampanye „Ganyang Malaysia‟ yang dilancarkan oleh Pemerintahan

Sukarno terhadap Pemerintahan Federasi Malaysia tahun 1962-1966. Sukarno melakukan

politik konfrontasi dengan Malaysia menyusul keputusan Malaysia untuk menggabungkan

Sabah, Serawak, dan Brunei ke dalam Persekutuan Tanah Melayu yang dibentuk tahun 1961.

Penggabungan wilayah Kalimantan utara ke dalam Federasi Malaysia dianggap oleh Sukarno

telah menyalahi Kesepakatan Manila dan ia menganggap di belakang itu bermain kembali

politik kolonial Inggris. Refleksi sastra untuk mengingatkan kekeliruan yang telah dibuat oleh

kedua bangsa serumpun yang terlibat konfrontasi itu barangkali dapat dikesan dalam novel

Malam Kuala Lumpur karangan Nasjah Djamin (1968). Novel itu menggambarkan latar dunia

Melayu dengan negeri jiran, Malaysia, semasa konfrontasi (Santosa dan Jayawati 2011:120).

Walaupun tema novel itu agak erotis, yang menggambarkan pengaruh modernisme terhadap

kehidupan gadis-gadis perkotaan yang berpendidikan dan bergaul dengan bangsa lain, tapi

15 Ibid. 16 Lebih jauh mengenai roman-roman non Balai Pustaka yang terbit di Sumatra tahun 1920-an sampai 1950-an, lihat misalnya Roolvink (1950), Rivai (1963), Sudarmoko (2008) dan Suryadi (2010).

Page 18: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

18

narasinya mengandung pesan tersembunyi agar hubungan Jakarta dan Kuala Lumpur

diperbaiki kembali.

Dapatkah akar kemelayuan dapat diperkuat kembali lewat wacana sastra?

Berdasarkan uraian di atas kita mendapat gambaran bahwa invasi aksara Latin di satu sisi dan

tercabik-cabiknya dunia Melayu oleh peta-peta yang dibuat oleh para konolialis Eropa telah

menyebabkan terjadinya perubahan pada peran sastra Melayu sebagai salah satu lambang

pemersatu rumpun Melayu. Sastra dalam konteks kebudayaan Melayu menjadi terkotak-kotak

dan menjurus ke arah perjuangan sendiri-sendiri. Solidaritas kemelayuan jadi terkikis oleh

proyek nation-state baru sebagai „buah busuk‟ kolonialisme yang masih membingungkan

mereka. “[I]n Southeast Asia, the idea of nation is so new that we still do not fully understand

what it entails. [T]he more quickly we try to develop such a nation-state, the more threats

there will probably be. [T]he leaders [of Southeast Asian countries] have been struggling for

the past fifty years with the question of what a nation is, and in particular, with the question,

‘what is a nation-state?’.” (Wang 2007:x).

Setelah tahun 1960-an terlihat ekslusivisme sastra dalam pergaulan antar bangsa

serumpun dalam lingkup dunia Melayu. Demikianlah umpamanya, sastra Malaysia atau sastra

Brunei tidak begitu dikenal di Indonesia, kecuali oleh selinting golongan sastrawan saja.17

Sebaliknya, sastra Indonesia juga tidak begitu dikenal lagi di Malaysia dan di negara-negara

jiran lainnya. Peran sastra sebagai salah satu sarana penjaga identitas rumpun Melayu telah

menjadi tekotak-kotak oleh batas administrasi negara. Keadaan itu diperburuk oleh rivalitas

politik antar bangsa serumpun yang menjadikan dunia sastra sekarang jauh berbeda dengan

Zaman Pergerakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Pertanyaannya: mungkinkah semangat kemelayuan dalam dan melalui sastra itu dapat

diperkuat kembali? Bisakah sastra menjadi penopang rasa kebersamaan rumpun Melayu yang

sekarang terkotak-kotak dalam beberapa nation-state yang berbeda? Menurut saya, hal itu

sangat mungkin, mengingat modal historis yang pernah kita miliki, yaitu sastra Melayu zaman

aksara Jawi sampai tahun 1950-an, seperti telah dikemukakan di atas. Modal penting lainnya

adalah bahasa, yaitu bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di dunia Melayu.

Memang usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sastra Melayu sebagai unsur pembangun

karakter kemelayuan terus diupayakan, antara lain melalui program Mastera (Majelis Sastra

Asia Tenggara). Namun, kegiatannya mesti lebih diperluas dan iintensifkan, tidak hanya

17 Cukup penting dicatat di sini bahwa pertemuan para penyair Nusantara lebih sering dilakukan daripada pertemuan para novelisnya, seolah menyiratkan bahwa syair memang lebih mengandung akar kesatuan budaya Melayu-Nusantara ketimbang novel yang diadopsi dari tradisi sastra Barat.

Page 19: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

19

sekedar ajang pertemuan beberapa orang sastrawan dan reuni pejabat-pejabat negara. Akan

lebih baik jika program tersebut dibarengi dengan aksi-aksi yang lebih nyata untuk

memperkenalkan sastra antar negara Asia Tenggara di kalangan pelajar dan masyarakat luas

yang bersifat lintas negara, misalnya dengan mengintensifkan kunjungan sastrawan antar

negara Asia Tenggara, apresiasi karya-karya sastra negara jiran di sekolah-sekolah, lomba

mengulas karya-karya sastra negara-negara jiran, dan lain sebagainya. Dengan demikian,

ranah sastra dunia Melayu di zaman sekarang tidak terkurung oleh batas-batas administrasi

negara yang kaku dan cenderung eksklusif.

Salah satu contoh yang relevan adalah temu sastrawan Melayu Raya (Numera) yang

diadakan di Padang pada bulan Maret 2012 lalu. Menurut saya, kegiatan itu dapat

mengakrabkan dan memesrakan hubungan para sastrawan antara negara dalam rumpun

Melayu. Dalam artikel saya yang ditebitkan di Haluan18 sempena menyambut acara Numera

itu, saya mengatakan bahwa mungkin akan lebih bermanfaat apabila kegiatan seperti itu

dilanjutkan secara berkala di masa-masa mendatang. Para sastrawan dari berbagai negara di

dunia Melayu harus menyadari peran penting yang bisa mereka mainkan dalam mempererat

hubungan bertetangga antara Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan kurang

sehat akibat politik kebudayaan yang cenderung memperlihatkan amnesia sejarah. Paling

tidak sejak enam tahun terakhir ini hubungan kebudayaan dan politik antara Indonesia dan

Malaysia, dua negara jiran yang tercipta akibat politik penjajahan Belanda dan Inggris,

cenderung makin tegang. Hal ini dikhawatirkan berimbas ke negara-negara jiran lainnya.

Kedua bangsa serumpun ini mengalami keterbelahan identitas kultural hanya karena label

paspor, corak bendera, dan perbedaan nilai tukar mata uang, membuat mereka makin sering

cekcok oleh perkara-perkara remeh-temeh soal budaya yang seharusnya justru bisa

mendekatkan mereka satu sama lain. Itu memalukan dan justru akan membuat bangsa-bangsa

lain tertawa melihat kita. Apabila saya membaca ulasan-ulasan para ilmuwan Barat (atau

ilmuwan-ilmuwan Asia sendiri yang mengekor teori-teori Barat) tentang fenomena

dekolonisasi di negara-negara bekas jajahan Eropa dulu, saya sebagai orang Timur dari

sebuah negeri yang dulu pernah dijajah oleh bangsa Barat (Belanda) merasa tersindir. Dengan

bahasa „ilmiah‟ yang secara implisit mengandung cemoohan, mereka mengatakan bahwa

banyak negara pasca kolonial di Asia dan Afrika justru mengalami krisis identitas yang

kadang jauh lebih parah dibanding ketika mereka dulu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa,

bahwa perubahan dari “colonial rule” kepada “post colonial rule” malah sering tidak

18 Suryadi, “Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, 17 Maret 2012. Paragraf-paragraf berikutnya dalam bagian ini dirumuskan kembali dari artikel tersebut.

Page 20: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

20

membawa kesejahteraaan sosial dan material kepada bangsa-bangsa yang dulu diteriakkan

agar menjadi merdeka oleh pada pendiri negaranya.19 Dalam hal ini, Indonesia sering diambil

menjadi contoh kasus tentang sebuah negara-bangsa hasil dekolonisasi yang gagal. Jika pun

beberapa pasca kolonial itu telah menunjukkan kesuksesan secara ekonomi (seperti Malaysia

dan Singapura, misalnya), beberapa aspek lain menyangkut hak azasi manusia dan demokrasi

tetap menjadi sorotan para ilmuwan dan pemerintah negara-negara asing bekas penjajah itu.

Seperti terekspresi dalam berbagai media dan wacana publik di Indonesia dan

Malaysia, sikap respek atas dasar kebersamaan sebagai rumpun Melayu semakin mendangkal.

Kepongahan-kepongahan sebagai bangsa – kultus merek politik yang muncul belakangan dan

jauh lebih muda usianya dari etnisitas dan bahasa Melayu, yang sering malah belum dipahami

sepenuhnya oleh penduduk Asia Tenggara (lihat: Wang 2005; Wang 2007) – telah

mengakibatkan bangsa-bangsa di bawah bendera nation-satate namun sama-sama berasal dari

rumpun Melayu lupa kepada kesamaan akar budaya nenek moyang mereka di masa lampau.

Sesama saudara serumpun itu makin saling curiga-mencurigai, bahkan sampai ke ranah

budaya. Inilah salah satu ironi negara-bangsa pasca kolonial di Asia Tenggara yang, langsung

atau tidak, merupakan kontribusi dari penjajahan Barat terhadap dunia Melayu di masa

lampau. Saya kira sudah saatnya bangsa-bangsa serumpun di dunia Melayu saling

mengeliminir berbagai perbedaan akibat kehadiran negara-bangsa-negara-bangsa pasca

kolonial dan kembali memperkuat akar kebersamaan kita sebagai rumpun Melayu

sebagaimana dijalani oleh nenek moyang kita sebelum dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa

dulu. Untuk tujuan ini sastra, dengan sifat humanis yang menjadi ciri dasarnya, bisa

mendorong terciptanya kebersamaan itu kembali. Akan tetapi, untuk mewujudkan tujuan itu

dunia sastra mestilah bekerjasama dengan bidang-bidang lain, seperti media dan dunia

pendidikan.

Kaum sastrawan dan budayawan harus berinisiatif dan berindak proaktif dalam

menghadapi situasi hubungan budaya dan politik nasionalisme ekslusif di dunia Melayu yang

cenderung menegang itu. Kaum sastrawan tidak boleh terkurung dalam nasionalisme sempit

yang berlabel „Malaysia‟, „Singapura‟, „Indonesia‟, dan lain-lain, sebagaimana diperlihatkan

oleh para politikus dan sebagian masyarakat awam. Kaum sastrawan adalah teraju masyarakat

bangsa-bangsa yang berada dalam rumpun Melayu. Mereka haruslah menjadi inspirator untuk

menciptakan wacana (sastra) yang bernada sebaliknya: menyatukan perbedaan-perbedaan

yang semakin menyembul di antara bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Mereka harus

19 Lihat antara lain buku yang diedit oleh Els Bogaert dan Remco Raben (2012) yang berbicara tentang fenomena

dekolonisasi di Asia dan Afrika.

Page 21: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

21

mengambil jarak politik konfrontatif yang kadang terjadi antara Putrajaya, Jakarta dan

Singapura. Mereka harus menggerakkan pena untuk mereduksi ketegangan antara saudara

serumpun yang mencemaskan itu. Kaum sastrawan rumpun Melayu harus menjadi „reaktor‟

pendingin untuk menghindari semakin memanasnya gesekan „mesin‟ nasion antar negara di

dunia Melayu. Mereka harus tetap memegang kuat prinsip universalisme dan humanisme, dan

harus terus berada di garis depan untuk menyadarkan bangsanya atas kekeliruan dalam politik

ganyang-mengganyang soal kebudayaan ini. Hanya dengan mengambil sikap bijaksana

seperti itulah komunitas sastrawan Melayu raya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.

Upaya mewujudkan Bahasa Melayu Supranasional

Usaha untuk menjadikan sastra sebagai sarana pembentuk karakter bangsa tentu tidak lepas

dari peran bahasa. Dalam konteks ini bahasa Melayu adalah kendaraan yang sungguh sangat

tepat untuk mewujudkan cita-cita itu. Munculnya beberapa negara-bangsa modern pasca

koloniaalisme di dunia Melayu telah menyebabkan terjadinya percabangan arah

perkembangan bahasa Melayu, khususnya antara Malaysia dan Brunei di satu pihak dengan

Indonesia di lain pihak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjembatani perbedaan-

perbedaan itu, misalnya melalui pertemuan-pertemuan MABBIM (Majelis Bahasa Brunei

Darussalam – Malaysia – Indonesia). MABBIM dibentuk tahun 1985.20 Sementara itu

Singapura masih berstatus sebagai pemerhati. Namun, mengingat Pasal 153A Konstitusi

Singapura yang menyebutkan bahwa “bahasa nasional Singapura adalah bahasa Melayu dan

harus ditulis dalam aksara Latin” (Tan 2007:75), sudah selayaknya negara itu juga aktif secara

penuh dalam MABBIM dalam rangka memperkuat peran bahasa Melayu di negara pulau

tersebut.21

Tujuan MABBIM adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antara negara anggota.

2. Meningkatkan peranan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota sebagai alat

perhubungan yang lebih luas.

3. Mengusahakan pembinaan dan pengembangan bahasa kebangsaan/resmi negara

anggota supaya menjadi bahasa yang setaraf dengan bahasa modern yang lain.

20 Semula anggotanya hanya Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang: Pusat Bahasa) Indonesia sehingga diberi nama MBIM (Majelis Bahasa Indonesia-Balaysia) yang resmi berdiri tahun 1971. Kemudian Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam bergabung tahun 1985 sehingga berubah nama menjadi MABBIM (Asmah 2004; Asmah 2010). 21 Sampai saat ini Singapura, walau mendeklarasikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mereka, belum memilik Dewan Bahasa dan Pustaka, sebagaimana yang dimiliki oleh Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam. Sampai sekarang di Singapura hanya ada dua lembaga bahasa Melayu, yaitu Majlis Bahasa (lihat: http://mbms.sg/) dan Pusat Bahasa Melayu Singapura (lihat: http://www.mlcs.sg/home/) yang khusus diperuntukkan bagi guru-guru bahasa Melayu di negara itu.

Page 22: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

22

4. Mengusahakan penyelarasan bahasa melalui penulisan ilmiah dan kreatif, pedoman, dan panduan.

5. Mengadakan pertemuan kebahasaan berkala demi penyelarasan dan pendekatan

bahasa kebangsaan/resmi negara anggota.

Menurut Awang Sariyan, Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, berbagai

kemajuan telah dicapai melalui MABBIM, walau kendala-kendala yang prinsipil belum juga

ditemukan solusinya. Awang menulis:

Keampuhan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, paling tidak dalam tiga ranah penting kehidupan dan tamadun bangsa Melayu pada zaman silam, iaitu dalam perdagangan, pentadbiran (termasuk diplomasi), dan dalam bidang persuratan (sebagai bahasa ilmu, kesusasteraan, ketatanegaraan, perundang- undangan dan lain-lain) merupakan bukti jelas wujudnya konsep bahasa Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang melampaui batas negara di kepulauan Melayu, apatah lagi batas negeri dan daerah di sesebuah negara berbahsa Melayu. Bagaimanapun hal itu tampaknya sudah menjadi fakta sejarah. bahasa Melayu yang digunakan di negara-negara berbahasa Melayu kini memperlihatkan jurang yang cukup lebar dan dalam, baik pada segi kosa kata mahupun wacana keseluruhannya. Sehingga demikian, keadaan saling faham antara pengguna bahasa Melayu di negara-negara yang berlainan mengalami gangguan yang kadangkala [sudah] sampai pada tahap yang serius. Contohnya, buku yang diterbitkan dalam bahasa Melayu varian Indonesia terpaksa diadaptasikan ke dalam bahasa Melayu varian Malaysia apabila dicetak di Malaysia.

Memang sejarah tidak dapat diputar semula. Sejak kedatangan penjajah [Eropah], bahasa Melayu di rantau ini mula melalui jalan sejarah yang berlainan. Secara beransur-ansur konsep bahasa Melayu persatuan yang terjelma dalam bahasa persuratan klasik berpencar menjadi beberapa jalur yang menandai kewujudan bahasa Melayu berjati diri kenegaraan. Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa Melayu di Brunei Darussalam, dan bahasa Melayu di Indonesia masing-masing membentuk ciri-ciri khusus yang menandai situasi kenegaraan. Hal ini meskipun alamiah sifatnya dan tentu memberikan erti tertentu kepada kewujudan negara berdaulat, namun dalam konteks kesuburan saling faham dan pemantapan wilayah pengguna bahasa Melayu yang melampa[u]i batas negara, tidak dapat tidak isu itu memerlukan perhatian yang saksama. (Sariyan 2012:25-6).

Awang Sariyan mengatakaan pula bahwa tujuan MABBIM bukanlah untuk mewujudkan satu

bentuk bahasa Melayu yang mutlak dan seragam bagi semua negara berbahasa Melayu. Sebab

menurutnya hal itu akan sulit dicapai dan lagi pula akan menghalangi kreativitas yang berlaku

dalam bahasa Melayu di negara masing-masing. Yang hendak dicapai adalah bahasa Melayu

yang relatif seragam dalam sistem azas pada setiap tingkat korpus bahasanya, “dari tingkat

sebutan hingga ke tingkat tatabahasa dan laras bahasanya. Inilah yang dimaksudkan sebagai

bahasa Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang dapat memaksimalkan darjah

keadaan saling faham dalam kalangan pengguna bahasa Melayu di semua negara berbahasa

Melayu dan juga di negara bubkan berbahasa Melayu.” (Sariyan 2012:26). Sariyan (ibid.)

juga mengatakan bahwa bahasa Melayu supranasional itu juga akan membantu upaya

pengembangan bahasa persuratan Melayu di luar dunia Melayu, sehingga pelajar dan

ilmuwan asing tidak terlalu terganggu oleh jurang perbedaan antara bahasa Melayu di negara-

negara berbahasa Melayu, terutama varian bahasa Melayu di Malaysia dan di Indonesia.

Page 23: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

23

Munsyi bahasa Melayu asal Malaysia, Abdullah Hassan, menyebut bahasa Melayu

supranasional itu sebagai „Dialek Melayu Supra‟ (Hassan 1998). Ia menekankan pentingnya

membina Dialek Melayu Supra itu dalam konteks pembentukan tamadun Melayu di wilayah

Asia-Fasifik di abad depan, mengingat bahwa hampir 300 juta orang yang menjadi penutur

bahasa Melayu. Ia menyimpulkan bahwa “Dialek Melayu Supra yang digunakan oleh semua

bangsa yang menuturkan bahasa Melayu akan menyatukan bangsa Melayu” sehingga

“[b]angsa Melayu akan menjadi lebih besar.” Apalagi mengingat adanya pendapat yang

mengatakan bahwa bahasa Melayu sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahasa

kerja resmi komunitas Asia Timur (Shin 2012). Abdullah mengatakan bahwa pengembangan

Dialek Melayu Supra itu memberi kemungkinan bagi pemanfaatan kekayaan pemikiran yang

terhimpun dalam kepustakaan bahasa Melayu oleh seluruh masyarakat Melayu. Hal ini akan

memberikan pengayaan pikiran masyarakat Melayu untuk terus berkreativitas dan

meningkatkan tamadun. Menurut Abdullah mengatakan pula bangsa yang menggunakan

bahasa sendiri dalam pembinaan tamadunnya mampu berkreativitas tinggi, seperti yang

diperlihatkan oleh Jepang dan Korea. Sebaliknya, bangsa yang tertawan oleh bahasa asing,

seperti bahasa bekas penjajahnya, menjadi lesu dalam kreativitasnya.

Berbagai upaya sudah dilakukan melalui MABBIM untuk mengeliminir kevariasian

bahasa Melayu antar negara, walau forum itu belum membicarakan secara serius gagasan

mengenai Dialek Melayu Supra yang digagas oleh Abdullah Hassan. Demikianlah

umpamanya, dalam aspek sistem ejaan Latin sudah dicapai keselarasan yang cukup tinggi.

Namun, masih muncul kesulitan dalam mencapai keselarasan dalam aspek pelafalan. Saya kira

MABBIM harus bertindak lebih progresif lagi dan mencari cara-cara yang efektif untuk

mengimplementasikan di lapangan berbagai keputusan yang sudah diambil. Kita ingat bahwa

pemikiran untuk mencari keselarasan bahasa Melayu antar bangsa itu sudah dimulai sejak

1959 ketika konsep Ejaan Malindo disepakati, tapi akhirnya urung terlaksana karena pecahnya

konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962 (Hassan dan Hussain 2000:171).

Barangkali hal itu pula yang menyebabkan capaian-capaian dalam penyelarasan bahasa

Melayu anytar bangsa itu, sebagaimana yang juga diupayakan melalui MABBIM, agak lambat

menampakkan hasil yang nyata, khususnya dalam ragam tulis. Tumpuan usaha MABBIM

yang hanya lebih fokus pada penyelarasan peristilahan perlu diperluas. Dalam konteks ini,

upaya-upaya untuk menggesa terwujudnya keselarasan bahasa Melayu itu, sekaligus untuk

untuk membina karakter bangsa, baik dalam batasan nation-state maupun dalam arti bangsa

Melayu secara umum, ragam bahasa Melayu tulis harus diutamakan. Saya kira

implementasinya di lapangan bisa dilakukan pula lewat sastra.

Page 24: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

24

Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan sastrawan dalam

mewujudkan peran sastra sebagai pembina karakter bangsa, baik dalam artian negara maupun

dalam artian kesetiakawanan bangsa Melayu supranasional.

Pertama, para sastrawan harus lebih banyak menulis tema-tema yang membangkitkan

rasa saling pengertian antar negara di dunia Melayu. Hal itu, misalnya, bisa dilakukan melalui

eksplorasi latar cerita dan juga tokoh-tokoh cerita yang bersifat lintas negara. Itu dalam

konteks kesetiawanan Melayu. Dalam lingkup satu negara, harus lebih banyak lagi dilakukan

eksplorasi yang lebih merepresentasikan hubungan antar etnis dan hubungan antar agama.22

Para sastrawan jangan terkurung dalam ekslusivisme etnisitas dan agama masing-masing.

Kedua, para sastrawan sebaiknya berikhtiar menonjolkan akar-akar kemelayuan

dalam karya-karya mereka dengan mengeksplorasi unsur-unsur sejarah dan budaya yang tidak

dibatasi oleh batas-batas kenegaraan modern seperti sekarang.

Ketiga, distribusi karya-karya sastra, khususnya yang mengekplorasi perasaan

kesetiakawanan Melayu, harus bersifat lintas negara. Sekat-sekat politik yang menghalangi

kelancaran aliran distribusi buku-buku, khususnya buku-buku sastra, antara negara di dunia

Melayu harus disingkirkan. Demikianlah umpamanya, karya-karya seperti itu yang terbit di

Malaysia dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia, atau sebaliknya. Hal ini tentu bisa

diwujudkan melalui kesepakatan antar pemerintahan.

Keempat, memperkuat apresiasi sastra lintas negara dengan melalui multi media.

Misalnya, ada program televisi di Indonesia yang membincangkan karya sastra Brunei atau

Malaysia. Begitu juga sebaliknya. Ada rubrik khusus dalam surat-surat kabar Indonesia untuk

membicarakan sastra negara jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, baik oleh pengulas

dalam negeri sendiri atau pengulas undangan dari negara-negara jiran tersebut. Bahkan kalau

perlu, kevariasian bahasa Melayu dalam rubrik khusus tersebut diperlihatkan saja, tidak usah

diedit. Dengan demikian para pembaca dari negara-negara yang berbeda dalam rumpun

Melayu dapat saling mengetahui, kalaupun tidak sampai pada tahap memahami, karya-karya

sastra di negara-negara jirannya, dan dapat pula merasakan kevariasian bahasa Melayu itu.

Kelima (dan ini memyangkut program jangka panjang) adalah mencari aksara

alternatif selain Latin untuk mengkodifikasikan seluruh aspek yang terkait dengan minda

22 Menarik misalnya melihat hubungan antar agama antara tokoh Tantri (Islam) dan Hiang Nio (Khatolik) dalam Orang Buangan karya Harijadi S. Hartowardoyo (1971; pertama kali terbit tahun 1967 dengan judul Munafik) dan antara tokoh Ida (Islam) dan Sumarto (Khatolik) dalam Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1978). Unsur hubungan antara agama ini sebagai pendorong kesatuan bangsa (dalam konteks ini Indonesia), dapat pula dikesan dalam Saman karya Ayu Utami (1998). Aspek hubungan antar agama dalam teks-teks sastra belum begitu menonjol di Indonesia, terutama selama Orde Baru (1967-1998) karena pengarang mungkin juga terkena sindrom ranjau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), dan oleh karenanya perlu dipikirkan oleh para sastrawan dalam rangka memfungsikan sastra sebagai elemen untuk menjga kesatuan bangsa.

Page 25: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

25

Melayu. Aksara Latin adalah representasi dari dominasi Barat. Mungkin kalangan ilmuwan

bahasa dan budaya serta para pakar teknologi dapat memikirkan untuk mengembangkan

kembali aksara Jawi. Dengan begitu, identitas kemelayuan bisa diperkuat kembali. Mungkin

usulan ini terkesan naïf. Tapi, cara ini adalah salah satu jalan jangka panjang untuk membuat

gerakan oksidentalisme di dunia Melayu.

Kesimpulan

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, bangsa Melayu, walau memiliki keragaman budaya

tempatan, telah disatukan oleh sebuah bahasa yang telah lama menjadi lingua franca di

rantau Nusantara yang luas ini, yaitu bahasa Melayu. Dengan „kendaraan‟ bahasa Melayu

itu, terbentuklah dunia sastra Melayu yang berabad-abad sebelum kedatangan penjajah

Barat telah menjadi satu unsur pemersatu rumpun Melayu. Sastra itu, yang diperkaya oleh

unsur-unsur agama Islam dan aksara Arab, menjadi elemen penting yang membentuk

kebudyaan orang Melayu dan mempengaruhi karakter mereka.

Kedatangan orang Barat dan invasi huruf Latin yang disertai dengan teknologi

percetakan telah menggerus eksistensi sastra Melayu itu, walaupun masih sempat bertahan

selama paroh kedua abad ke-19. Pada awal abad kedua puluh ciri kemelayuan sastra itu

bergeser ke lingkup yang lebih kecil seiring dengan munculnya gerakan-gerakan

nasionalisme di dunia Melayu menentang penjajahan Belanda dan Inggris. Pada akhir

zaman colonial sastra sangat berperan jelas dalam membangkitkan dan menggelorakan

perasaan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Sastra memberi

semangat dan ikut menumbuhkan karakter calon-calon bangsa yang berusaha

memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Walaupun demikian, rasa kesetiakawaanan

Melayu masih lagi terasa pada masa itu: para sastrawan dan intelektual dari Wilayah

jajahan Hindia Belanda dan Melayu Inggris di Semananjung Malaya masih saling

berketahuan dan saling mendukung inspirasi untuk mencapai kemerdekaan melalui wacana

politik, budaya, dan juga sastra. Kesetiakawanan Melayu itu masih terus berlanjut sampai

tahun 1950-an.

Pada masa-masa selanjutnya dunia sastra cenderung menjadi ekslusif mengikuti

batas negara. Dunia sastra kehilangan elan vitalnya sebagai wacana pemersatu rumpun

Melayu. Sistem politik rezim-rezim yang memerintah di negara-negara Melayu pasca

kolonialisme telah menyebabkan negara sendiri cenderung melihat sastra sebagai „lawan‟

dan oleh karenanya sering disensor. Keadaan ini benar-benar terbalik dari masa

sebelumnya di mana sastra justru menjadi (atau dijadikan) sarana yang penting untuk

Page 26: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

26

mendorong semangat nasionalisme dalam usaha mencapai kemerdekaan dari penjajah.

Namun demikian teks-teks sastra tetap menjadi ladang bagi perumusan identitas

kebangsaan.

Sejak tahun 1970-an sampai sekarang berbagai usaha telah dilakukan dalam

memperkuat lem perekat antara sesama bangsa dalam rumpun Melayu. Gerakan itu

terutama dimotori oleh Indonesia dan Malaysia. Salah satu di antaranya adalah melalui

MABBIM dan berbagai macam pertemuan para sastrawan serantau Melayu. Namun,

gerakan-gerakan untuk membangkitkan kembali semangat kemelayuan supranasional itu

menghadapi berbagai tantangan pula: gerakan politik dan kebudayaan di dunia Melayu,

sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan politik imperialism modern, sering

menimbulkan gesekan-gesekan budaya dan politik di antara bangsa-bangsa di dunia

Melayu.

Dalam menghadapi perkembangan politik dan budaya di dunia Melayu dewasa ini,

kaum satrawan seyogiyanya mengambil peran aktif dan melakukan tindakan proaktif.

Melalui dunia yang digelutinya, kaum sastrawan lintas negara dalam rumpun Melayu harus

berupaya mempromosikan semangat kemelayuan sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh

nenek moyang orang Melayu. Sastra dan kaum sastrawan harus berusaha merebut kembali

peran penting yang dulu pernah dilakoni oleh para pendahulu mereka di Zaman

Pergerakan. Untuk itu, seperti halnya para pendahulu mereka dulu, kaum sastrawan

sekarang haruslah berusaha mengapungkan tema-tema yang mampu menggugah

masyarakat untuk kembali memperkuat semangat kemelayuan melewati batas-batas politik

dan administrasi Negara dalam karya-karya mereka. Hal itu tentu harus dimulai dari diri

mereka sendiri: kaum sastrawan dari berbagai negara di dunia Melayu harus berpikiran

terbuka dan mampu menempatkan dirinya pada level supranasional.

Kepustakaan

Adam, Ahmat. 1995. Vernacular press and the emergence of modern Indonesian

consciousness (1855-1913). New York: Cornell University Southeast Asia

Publications.

Aeusrivongse, Nidhi. 1976. „Fiction ans history: a study of pre-war Indonesian novels and

novelist (1920-1942)‟ [PhD dissertation, The University of Michigan].

Anderson, Benedict. 1983. Imagined communities: reflections on the origin and spread of

nationalism. London: Verso.

Asmah Haji Omar. 2004. Muafakat bahasa: Sejarah MBIM/MABBIM sebagai pembina

bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Page 27: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

27

-------------------------. 2010. Carik-carik bulu ayam: kisah runding bahasa dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Aziz, Sohaimi Abdul. 2003. Syeikh Tahir Jalaluddin: pemikir Islam. Pulau Pinang: Penerbit

Universiti Sains Malaysia.

Bogaert, Els and Remco Raben 2012. Beyond empire and nation: decolonizing societies in

Africa and Asia, 1930s -1970s. Leiden: KITLV Press.

Budianta, Melani. 2007. “Diverse voices: Indonesian literature and nation-building”, in: Lee

Hock Guan dan Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in

Southeast Asia, pp. 51-73. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Chaniago, Hasril. 2010. 101 orang Minang di panggung sejarah. Padang: Citra Budaya

Indonesia.

Cho Tae Young. 2012. Aksara Serang dan perkembangan tamadun Islam di Sulawesi

Selatan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Derks, Will. 2001. “A literary mycelium: some prolegomena for a project on Indonesian

literature in Malay”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 32,3; 367-384.

Dewall, H. von. 1857. “Eene inlandsche d rukkerij te Palembang”, Tijdschrift van Bataviaasch

Genootschap 6,3: 193-198.

Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and printing in the East Indies to 1850, vol.1: Batavia.

New Rochelle, NY: Caratzas.

Djamin dan Tasat. 193?. Sja’ir Anggoen Tji’Toenggal. Batavia: Balai Poestaka.

Djamin, Nasjah. 1968. Malam Kuala Lumpur. Jakarta: Pembangunan.

Dt. Radjo Panghulu, M. Rashid Manggis. 1989. Malin Deman. Bukittinggi : Pustaka

Indonesia.‟

Freidus, Alberta Joy. 1977. Sumatran contributions to the development of Indonesian

literature, 1920-1942. Honolulu : Asian Studies Program, University of Hawaii.

Foulcher, Keith. 1993. “Literature, cultural politics, and the Indonesian revolution”, in: D.M.

Roskies (ed.), Text/politics in island Southeast Asia: essays in interpretation, pp. 221-

256. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies Monograph in

International Studies (Southeast Asia Series Number 91).

-------------------. 1995. “In search of the postcolonial in Indonesian literature”, Sojourn X,2:

147-171.

Gallop, Annabel Teh. 1990. “Early Malay printing: an introduction to the British Library

collection”, Journal of Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 63,1: 85-124.

Page 28: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

28

Gelb, Ignace Jay. 1952. A study of writing: the foundation of grammatology. Chicago: The

University of Chicago Press.

Gullick, John Michael. 2003. A history of Negri Sembilan. Kuala Lumpur: MBRAS

[Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph no. 33.].

Hamka. 1938. Tenggelamnja kapal Van der Wijck. Medan: Pedoman Masjarakat.

Hamka. 1940. Merantau ke Deli. Medan: Centrale Courant.

Hardjosoemarto, S. dan Aman Dt. Madjoindo. 1932. Rusmala Dewi: pertemoean Djawa dan

Andalas. Batavia C.: Balai Poestaka.

Hartowardoyo, Harijadi S. 1971. Orang buangan. Djakarta: Pustaka Jaya.

Hassan, Abdullah. 1998. “Dialek Melayu Supra untuk melangsungkan bangsa Melayu”,

makalah pada Persidangan Pengajian Melayu Sedunia: Pengajian Melayu Memasuki

Alaf Baru [Kuala Lumpur, Pusat Pengajian Melayu, Universiti Malaya, 28-30 Ogos

1998].

Hassan, Abdullah dan Khalid M. Hussain. 2000. Pendeta Za‘ba dalam kenangan. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Heinschke, Martina 1993. Angkatan 45: literaturkonzeptionen im gesellschaft politi chen

kontext: zur funktionsbestimmung von literatur im heading colonials Indonesien.

Berlin & Hamburg: Reimer.

Hoffman, John. 1979. “A foreign investment: Indies Malay to 1901”, Indonesia 27: 65-92.

Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005. Dari gerhana ke puncak purnama: biografi Asas ‘50: 55

tahun dalam persuratan. Singapura: Angkatan Sasterawan „50.

Idris, Abdul Samad. 1968. Negeri Sembilan dan sejarah-nya. Kuala Lumpur: Sharikat

Perchetakan Utusan Melayu Berhad.

Iskandar, Nur Sutan. 1944. Tjinta Tanah Air. Djakarta: Balai Poestaka.

Djojopuspito, Suwarsih. 2000. Manusia bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan (Cet. ke-2).

Kaptein, Nico. 1993. “An Arab printer in Surabaya in 1853”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en

Volkenkunde 149,2: 356-362.

Mahkota, Ambas. 1962. Anggun Nan Tungga Magek Djabang dengan Puti Gondoriah.

Bukittinggi: Pustaka „Indonesia‟.

Maier, Henk. 2002. “Stammer and the creaking door: the Malay writings of Pramoedya

Ananta Toer”, in: Keith Foulcher and Tony Day (eds.), Clearing a space: postcolonial

readings of modern Indonesian literature, pp. 61-83. Leiden: KITLV Press.

Page 29: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

29

Moriyama, Mikihiro. 2005. Sundanese print culture and modernity in 19th century West Java.

Singapore: NUS Press.

Negoro, Adi. 1927. Darah moeda. Weltevreden: Balai Poestaka.

---------------. 1928. Asmara djaja. Weltevreden: Balai Poestaka.

---------------. 1930. Kembali dari perlawatan ke Europa, Djilid I. Medan - Deli: N.V. Handel

Mij. & Drukkerij Sjarikat Tapanoeli.

Newbold, J.T. 1835. Sketch of the four Menángkăbowe States in the interior of the Malayan

Peninsula”, Journal of the Asiatic Society of Bengal 14 (January to December): 241-

252.

Nita, Roma. 1941. Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur. Fort de Kock: Penjiaran Ilmoe.

Oemardjati, Boen S. 1972. Chairil Anwar: the poet and his language. The Hague: The

Netherlands Book and Steendrukkerij v/h Smits.

Peeters, Jeroen. 1993. “Palembang revisited: further notes on the printing establishment of

Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848”, in: Paul van der Verlde (ed.), IIAS Yearbook

1995, pp. 181-190. Leiden: IIAS.

Phillips, Nigel. 1981. Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra. Cambridge:

Cambridge University Press.

Proudfoot, Ian. 1993. Early Malay printed book: a provisional account of materials published

in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major collections.

Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and The Libray of University of Malaya.

--------------------. 1998. “Lithography at the crossroads of the East”, Journal of the Printing

Historical Society 27: 113-131.

Putten, Jan van der. 1997. “Printing in Riau, two steps toward modernity”, Bijdragen tot de

Taal-, Land- en Volkenkunde 153,4: 717-736.

Ramadhan K.H. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ritter, W.L. 1843. “Lythographie”, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 5,1: 782-783.

Rivai, Sitti Faizah. 1963. „Roman pitjisan Indonesia sebelum perang” [Thesis S1 Fakultas

Sastra, Universitas Indonesia].

Roff, William R. 1967. The origin of Malay nationalism. New Haven, Conn. [etc.]: Yale

University Press (Yale Southeast Asia Studies 2).

Rolvink, R. 1950. “De Indonesiase „dubbeltjesroman‟”, dalam: Anton A. Cense et al. (eds.),

Bingkisan budi: een bundel opstellen aan Dr Philippus Samuel van Ronkel door

vrienden en leerlingen aangeboden op zijn tachtigste verjaardag, 1 Augustus 1950, pp.

255-264. Leiden: A.W. Sijthoff‟s Uitgeversmaatschappij N.V.

Page 30: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

30

Roskies, D.M. 1988. Imperial perceptions: examples of colonial fiction from the Netherlands

East Indies. Canterbury: University of Kent, Centre of South-East Asian Studies.

Semaoen. 1920. Hikajat Kadiroen. Semarang: Kantoor P.K.I.

Santosa, Puji dan Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia kesastraan Nasjah Djamin dalam novel

Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Almatera Publishing.

Sariyan, Awang. 2012. “Keantarbaangsaan dan pengantarbangsaan bahasa Melayu dan

pendidikan bahasa Melayu: catatan perkembangan, isu dan cadangan”, proceedings of

2012 DMIT International Conference „Issues and Challenges in Malay-Indonesian

Studies‟, pp. 15-54. Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation,

Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14 September 2012.

Shin Yoon-Hwan. 2012. “Bahasa Malaysia/Indonesia sebagai bahasa resmi pada komunitas

Asia Timur”, proceedings of 2012 DMIT International Conference „Issues and

Challenges in Malay-Indonesian Studies‟, pp. 3-13. Department of Malay-Indonesian

Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14

September 2012.

Sudarmoko. 2008. Roman pergaoelan. Yogyakarta: INSISTPress.

Suryadi. 1998. Basimalin: pengantar teks dan transliterasi. Depok: Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

---------. 2010. “„Roman Indonesia‟: sebuah seri sastra pop yang pernah terbit di Padang”, Padang Ekspres, Minggu, 3 Januari.

---------. 2012. “Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, Sabtu, 17 Maret.

Sweeney, Amin. 1994. “Aboard two ships: Western assumptions on medium and genre in

Malay oral and written traditions”, in: C. Andrew Gerstle and Anthony Milner (eds.),

Recovering the Orient: artists, scholars, appreciations, pp. 317-338. Chur [etc.]:

Harwood Academic Publishers (Studies in anthropology and history; vol. 11).

-------------------. 2000. “The Dutch impact: four generations observed”, paper presented at

ATMA-KITLV Colloquium on Dutch Scholarship and the Malay World: A Critical

Assessment [Bangi, 20-21 November 2000].

Tan, Eugene K.B. 2007. “The multilingual state in search of the nation: the language policy

and discourse in Singapore‟s nation-building”, in: Lee Hock Guan and Leo

Suryadinata (eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. 74-117.

Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Teeuw, A. 1997. “The ideology of nationalism in Pramoedya Ananta Toer‟s fiction”, Indonesia and the Malay World 73: 252-269.

Thukul, Wiji. 1988. Sajak Protes. Jakarta: Lembaga Press Mahasiswa Universitas Nasional.

----------------. 2000. Aku ingin jadi peluru: sajak-sajak. Magelang: Indonesia Tera.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Page 31: INTERNASIONAL SEMINAR - KERAWANG ART CULTURE · Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-

31

Wang Gungwu. 2005. Nation-building: five Southeast Asian histories. Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies.

-------------------. 2007. “Keynote address”, in: Lee Hock Guan and Leo Suryadinata (eds.),

Language, nation and development in Southeast Asia, pp. ix-xvii. Singapore: Institute

of Southeast Asian Studies.

Wieringa, E.P. 1998. Catalogue of Malay and Minangkabau manuscript in the Library of

Leiden University and other collections in the Netherlands, Vol. One. Leiden:

Legatum Warnerianum in Leiden University Library.

Winstedt, Richard O. 1914. Hikajat Anggun Che Tunggal. Singapore: Methodist Publishing

House.

Winstedt, R.O. and A.J. Sturrock. 1908. Hikayat Malim Deman. Singapore: Methodist

Publishing House.

Zaidan, Abdul Rozak dan Dendy Sugondo. 2003. Adakah bangsa dalam sastra? Jakarta:

Penerbit Progres dan Pusat Bahasa.

Zonneveld, Peter van. 1996. Looking back, back talk and write back: Louis Couperus, E. du

Perron and Suwarsih Djojopoespito. Leiden: Department of Languages and Cultures

of Southeast Asia and Oceania Rijksuniversiteit Leiden (Semaian 15).