ISBD

2
Hari pertama saya menginjakkan kaki di rumah kos saya di Jember, benar- benar tak kenal siapapun. Saya tengok kanan kiri semua penghuni masih sibuk dengan urusan kepindahannya yang sama seperti saya, dan masih ditemani orang tua mereka. Hanya dalam urun 3 jam kebersamaan saya dengan keluarga saya di Jember harus berakhir lantaran keluarga saya ada urusan lain. Penuh haru saat berpisah, bagaimana tidak, sebelumnya saya tidak pernah hidup sendiri. Benar benar sendiri. Dulu saya selalu disediakan segalanya. Makanan, cuci pakaian, dan lain-lain selalu tersedia. Sekarang saya harus mulai belajar bagaimana menjalani hidup sendiri. Saya masuk ke kamar. Benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Saya ingin bekenalan dengan yang lain namun apa daya, keluarga mereka masih menemani sehinnga rasa sungkan saya semakin membara. Saya benar-benar merasakan arti kesepian yang sebenarnya. Rindu keluarga semakin membuat saya tak kuasa meneteskan air mata. Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkan saya. Dengan sigap saya usap air mata saya, kemudian membuka pintu. Disana saya melihat sesosok perempuan sebaya dengan saya, berkulit putih, memakai kacamata dengan rambut ikal dan berahang kotak, menyapa ramah kepada saya. Tak hanya itu, ia juga membawa piring yang berisi kue bolen yang ternyata diberikan kepada saya. Kami pun berkenalan. Gadis ramah itu bernama Firmandita Ayu Febriyanti, atau yang biasa dipanggil Febri, yang merupakan penduduk asli Batam. Mahasiswa baru jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan. Memang, saya mengakui bahwa dialeg kami sangat berbeda. Saya yang notabene orang Jawa yang apabila berbicara cenderung medok, bergaul dengan penduduk Batam yang dialeg melayunya agak kental. Saat saya berkomunikasi dengan Febri, serasa saya sedang berbicara dengan upin ipin. Dialegnya unik sekali. Kata bisa berarti boleh, begitupun sebaliknya. Boleh berarti bisa. Agak bingung memang, namun saat ini ia berusaha beradaptasi sehingga kami tidak rancu lagi saat berkomunikasi. Febri besar di kota Batam hingga bangku SMA, sehingga ia sulit menerjemahkan saat saya berbicara bahasa Jawa. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Saat SMA ia mengikuti ekskul basket namun ia keluar karena tidak minat dengan anggotanya yang kata dia tidak koorpetif sebagai satu tim. Saat saya melihat foto keluarganya, saya merasa kulit saya benar benar hitam. Bagaimana tidak, seluruh anggota keluarganya berkulit putih bersih, dengan kecantikan khas Indonesia. Ternyata kebanyakan orang disana mempunyai rona kulit seperti ini. Saya senang sekali, disamping mempunyai teman baru, saya juga disuguhkan dengan makanan khas Batam

description

ISBD

Transcript of ISBD

Page 1: ISBD

Hari pertama saya menginjakkan kaki di rumah kos saya di Jember, benar- benar tak kenal siapapun. Saya tengok kanan kiri semua penghuni masih sibuk dengan urusan kepindahannya yang sama seperti saya, dan masih ditemani orang tua mereka. Hanya dalam urun 3 jam kebersamaan saya dengan keluarga saya di Jember harus berakhir lantaran keluarga saya ada urusan lain. Penuh haru saat berpisah, bagaimana tidak, sebelumnya saya tidak pernah hidup sendiri. Benar benar sendiri. Dulu saya selalu disediakan segalanya. Makanan, cuci pakaian, dan lain-lain selalu tersedia. Sekarang saya harus mulai belajar bagaimana menjalani hidup sendiri. Saya masuk ke kamar. Benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Saya ingin bekenalan dengan yang lain namun apa daya, keluarga mereka masih menemani sehinnga rasa sungkan saya semakin membara. Saya benar-benar merasakan arti kesepian yang sebenarnya. Rindu keluarga semakin membuat saya tak kuasa meneteskan air mata. Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkan saya. Dengan sigap saya usap air mata saya, kemudian membuka pintu. Disana saya melihat sesosok perempuan sebaya dengan saya, berkulit putih, memakai kacamata dengan rambut ikal dan berahang kotak, menyapa ramah kepada saya. Tak hanya itu, ia juga membawa piring yang berisi kue bolen yang ternyata diberikan kepada saya. Kami pun berkenalan. Gadis ramah itu bernama Firmandita Ayu Febriyanti, atau yang biasa dipanggil Febri, yang merupakan penduduk asli Batam. Mahasiswa baru jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan.

Memang, saya mengakui bahwa dialeg kami sangat berbeda. Saya yang notabene orang Jawa yang apabila berbicara cenderung medok, bergaul dengan penduduk Batam yang dialeg melayunya agak kental. Saat saya berkomunikasi dengan Febri, serasa saya sedang berbicara dengan upin ipin. Dialegnya unik sekali. Kata bisa berarti boleh, begitupun sebaliknya. Boleh berarti bisa. Agak bingung memang, namun saat ini ia berusaha beradaptasi sehingga kami tidak rancu lagi saat berkomunikasi. Febri besar di kota Batam hingga bangku SMA, sehingga ia sulit menerjemahkan saat saya berbicara bahasa Jawa. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Saat SMA ia mengikuti ekskul basket namun ia keluar karena tidak minat dengan anggotanya yang kata dia tidak koorpetif sebagai satu tim. Saat saya melihat foto keluarganya, saya merasa kulit saya benar benar hitam. Bagaimana tidak, seluruh anggota keluarganya berkulit putih bersih, dengan kecantikan khas Indonesia. Ternyata kebanyakan orang disana mempunyai rona kulit seperti ini. Saya senang sekali, disamping mempunyai teman baru, saya juga disuguhkan dengan makanan khas Batam yang dimasak spesial oleh ibunda Febri, lumayanlah, sudah enak gratis pula haha. Namanya sop ikan kakap. Benar saja, saat saya mulai membuka sedikit daging kakap putih dari dalam mangkuk, terasa empuk dan matang. Dicampur dengan kuah yang masih panas mengepul, kesegarannya langsung terasa. Mata yang capek, tenaga yang terkuras, langsung terasa segar kembali. Sop ikan yang mantap memang.

Saya senang mempunyai teman yang berbeda etnis. Kami bisa bertukar dan menceritakan budaya masing-masing. Dan semakin menyadari bahwa Indonesia itu sangat kaya akan budaya.

Oleh: Anindya Wahyu Kurniawati/151610101032/Malang

Sumber: Firmanditya Ayu Febriyanti/ PSIK unej 2015/Batam