Jihad Bukan Kekejian

57
islamwiki.blogspot.com 9/23/2010 Jihad Bukan Kekejian

Transcript of Jihad Bukan Kekejian

Page 1: Jihad Bukan Kekejian

islamwiki.blogspot.com

9/23/2010

Jihad

Bukan

Kekejian

Page 2: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

2 | P a g e

PENGANTAR

Islam adalah rahmat bagi semesta alam(rahmatan lil‘alamiin). Itulah kunci pokok

ajaran Islam yang dewasa ini semakin gencar didengungkan oleh para alim ulama.

Akan tetapi di sisi lain akibat kesalahan pemahaman terhadap Al-Quran dan Al

Hadits muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang bertindak sebaliknya. Puncak

dari kesalahpemahaman itu adalah munculnya gerakan-gerakan teror yang

menghasilkan kekejian atau melampaui batas.

Ebook ini merupakan kumpulan tulisan yang membahas tema ―Jihad dan

Kekerasan‖. Semua tulisan yang ada dalam ebook ini berasal dari sumber-sumber

yang tersebar di internet. Sebenarnya dengan menggunakan mesin-pencari pun

pembaca akan menemukan tulisan-tulisan yang ada dalam ebook ini. Tetapi yang

diharapkan dari penyusunan tulisan ini adalah supaya mempermudah pembaca

menemukan dan membaca tulisan yang tersebar tersebut tanpa harus bolak-balik

mencari lagi. Harapan paling utama dari penyusunan ini adalah munculnya

pemahaman yang benar mengenai JIHAD.

Selanjutnya, penyusun memohon maaf kepada semua penulis maupun penerbit

yang telah menayangkan berbagai tulisan yang ada dalam ebook ini, karena

penyusun telah mengumpulkan dan menyusun tulisan-tulisan tersebut tanpa izin.

Penyusun

islamwiki.blogspot.com

Page 3: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

3 | P a g e

DAFTAR ISI

Fiqh Jihad Yusuf Al-Qardhawi ……………………………………………………4

Keutamaan Jihad di dalam Fiqh Al-Qaradhawi ……………………… 7

Sifat Moderat Syeikh Al-Qaradhawi dan Fiqh Jihad …………………8

Pendekatan Al-Qaradhawi dalam Memperkenalkan Fiqh Jihad ……13

Jihad Dalam Perspektif Islam

Prolog……………………………………………………………………….18

Pengertian dan Macam Jihad………………………………………..…..19

Tujuan dan Prinsip Jihad …………………………………………..…... 22

Apakah Islam Penuh Dengan Kekerasan ……………………………...……… 25

Memaknai Kembali Jihad

Khazanah Klasik ……………………………………………………………29

Perbedaan Ayat ayat Jihad dan Qital …………………………..……...30

―Penguncian‖ Al Quran …………………………………………………... 32

Kekerasan dalam Islam ………………………………………………………….. 34

Islam Menentang Tindak Kekerasan …………………………………………... 41

Islam dan Pertanyaan Seputar Kekerasan …………………………………… .45

Akar Akar Kekerasan dalam Islam ……………………………………….………50

Membekukan Ideologi Kekerasan ………………………………………….. …..54

Page 4: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

4 | P a g e

FIQH JIHAD YUSUF AL-QARADHAWI

Mengapa Al-Qaradhawi? Dan Mengapa Jihad?

Pada masa sekarang ini, banyak orang terpelajar yang terpanggil untuk memperluas

ruang lingkup dari ijtihad mengenai isu-isu yang terkait dengan jihad, sejak topik-

topik yang meliputi tindakan-tindakan ibadah atau transaksi, khususnya transaksi-

transaksi keuangan, telah menerima bagian yang harus dibayar akan ijtihad

individual dan kolektif. Bagaimana pun juga, jihad belum menerima bagian yang

sama (dari usaha) walaupun jihad sangat penting artinya dan dibutuhkan oleh

manusia segala zaman, khususnya zaman sekarang ini di saat banyak negara saling

mengundang satu sama lain untuk bekerja sama melawan Ummat ini pada saat

mereka duduk mengelilingi sepiring besar makanan mengundang satu sama lain

untuk makan.

Di sisi lain, orang-orang yang lainnya merasa takut untuk membuka pintu untuk

meneliti dan menulis tentang topik jihad di zaman sekarang ini, jangan sampai ijtihad

tampil seakan-akan bersifat membenarkan dan lemah, menyerupai status dari

Ummat kita. Mereka merasa takut kalau-kalau ijtihad melahirkan sikap tunduk dan

pembenaran terhadap kenyataan hidup kita yang pahit, mengundang kaum Muslimin

untuk mendukung perdamaian di dalam sebuah masa yang hanya mengenal bahasa

agresi.

Di usia terbaiknya, pria ini sama sekali tidak merasa takut ataupun tergoda baik oleh

kekuatan militer maupun oleh harta yang ditawarkan oleh penguasa, meskipun pada

kenyataannya berbagai kenyamanan hidup berada dalam genggamannya. Mereka

juga merasa takut kalau-kalau ijtihad akan menjadi draconian sebagai reaksi dari

terjadinya pertumpahan darah di tangan musuh-musuh kita, penodaan terhadap

kesucian rumah-rumah ibadah, dan perampasan temapat-tempat suci kita.

Oleh karena itu, ijtihad akan menjadi bersifat pembalasan apabila tidak menghargai

pertalian kekeluargaan ataupun persahabatan dan yang tidak menghormati

Page 5: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

5 | P a g e

kewajiban-kewajiban serta kesucian rumah-rumah ibadah, ijtihad memiliki motto

sebagaimana ucapan dari Ibnu Zuhayr, ―Dia yang tidak menyakiti orang yang

tersakiti.‖

Meskipun demikian, Allah SWT membuka hati sang syeikh yang terpelajar dan

menyediakan berbagai sarana baginya untuk memikul beban yang berat ini dan

menjalani tugas ini sehingga ijtihad yang terjadi bukanlah yang bersifat pembenaran

ataupun yang bersifat pembalasan.

Dengan demikian, buku tersebut menjadi cahaya ketika sang syeikh melewati

usianya yang ke-80 (lahir pada tahun 1926). Di masa berjayanya, pria ini sama

sekali tidak merasa takut ataupun tergoda baik oleh kekuatan militer maupun oleh

harta yang ditawarkan oleh penguasa, meskipun pada kenyataannya berbagai

kenyamanan hidup berada dalam genggamannya.

Dia bahkan sedang butuh untuk dilengkapi dengan beberapa dari kenyamanan-

kenyamanan ini karena ia dapat mempergunakan beberapa kenyamanan/perabot itu

untuk menyelesaikan pekerjaan yang tengah dikerjakan dan dicita-citakannya.

Dengan segala alasan, ia tidak perlu memberikan perhatian kepada setiap cemooh

sepanjang perjalanannya menuju Tuhannya setelah keteguhan hati dan jihad

sepanjang hidupnya. Meskipun ia menderita karena diganggu dan disakiti baik dari

dalam maupun luar negaranya, ia tetap gigih dan teguh hati, mencari balasan dari

Allah SWT saja, sampai dengan ia memperoleh tingkatan yang tinggi yang membuat

hati dan pikiran banyak orang menjadi berbalik menujunya.

Selain itu, tak seorang pun dapat melemparkan keragu-raguan terhadap segala

usaha dan jihad yang dilakukan oleh sang syeikh demi mempertahankan agama,

dalam ketekunannya untuk dekat dengan agama, dan dalam pertahanannya

terhadap batasan-batasan agama sepanjang hayatnya. Ia tak pernah terombang-

ambing dalam mencari kesenangan duniawi, tak pernah menyanjung siapapun

hingga mengorbankan keselamatan akhiratnya, dan tidak pernah menghiraukan

segala cercaan yang diterimanya sepanjang perjalanannya menuju Tuhannya.

Page 6: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

6 | P a g e

Selain itu pula, tak seorang pun dapat menuduhnya sebagai seorang yang fanatik

atau ekstrim karena ia adalah seorang pemimpin dan pencetus teori sifat moderat di

dalam zaman modern ini sekaligus seorang khatib serta mendukung jalan tengah

dalam setiap pemikiran dan fiqhnya.

Sebagai tambahan lagi, kami menemukan bakat hukumnya, pengetahuannya

tentang kenyataan hidup, kasih sayangnya yang kuat terhadap hukum warisan

budaya, dan kemampuannya untuk memahami ayat-ayat Al Qur‘an dan Sunnah

dengan baik dan benar. Dengan demikian, berdasarkan apa yang telah disebutkan

tadi, kami berharap agar banyak orang akan setuju dengan ijtihad dan pemikirannya.

Diantara Fiqh Zakat dan Fiqh Jihad

Sang syeikh yang terpelajar menulis bukunya Fiqh Zakat dan dari buku itu ia

memperoleh sebuah gelar Ph.D. pada tahun 1973. Tiga puluh enam tahun

kemudian, ia menerbitkan bukunya yang berjudul Fiqh Jihad, dan dalam bagian

pendahuluan di bukunya ia mengungkapkan,

Aku merasa bertanggung jawab untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah

Allah membuka dadaku terhadapnya. Semenjak aku merampungkan bukuku, Fiqh

Zakat, beberapa kali melintas di pikiranku sebuah ide untuk menulis buku yang

serupa tentang Fiqh Jihad. Dan beberapa kali teman-temanku yang mulia telah

memintaku untuk menulis tentang isu ini yang telah memecahkan manusia. Namun,

aku akan meminta maaf kepada mereka, dengan memberi alasan bahwa aku kurang

bersemangat untuk melakukan tugas semacam itu.

Meskipun demikian, sesekali di masa yang lalu aku menulis beberapa tulisan

tentang itu, sambil menunggu waktu yang tepat untuk menulisnya secara teratur,

secara berkelanjutan/tidak terputus. Hal ini karena topik ini adalah salah satu dari

topik dasar yang harus ditempuh melalui penulisan yang sistematis mengingat

kebutuhan umat Muslim, secara khusus, dan masyarakat dunia, secara umum,

untuk mendapatkan pengetahuan yang layak/baik tentang topik ini, menarik topik ini

jauh dari ketidakmoderatan kaum ekstrimis dan kelalaian yang tidak bertanggung

jawab.

Page 7: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

7 | P a g e

Walaupun Fiqh Zakat pada dasarnya menyatakan Zakat sebagai salah satu

kewajiban yang disyariatkan dalam Islam terhadap umat Muslim dan menjadi salah

satu pilar pokoknya, Zakat juga dapat digolongkan sebagai jihad; yaitu jihad dengan

uang. Jihad jenis ini sangat dihargai dan tidak terabaikan baik di zaman sekarang

dan di masa-masa yang lain.

Keutamaan Jihad di dalam Fiqh Al-Qaradhawi

Dari kalimat yang paling pertama di bagian pendahuluan, Syeikh Al-Qaradhawi

memberikan ilustrasi akan pentingnya melepaskan kewajiban dan bahaya yang

diakibatkan teradap kehidupan Ummat di masa sekarang ini dan masa yang akan

datang. Ia berkata,

Tanpa jihad, berbagai batasan Ummat ini akan dilanggar, darah dari Ummat ini akan

menjadi semurah debu, tempat-tempat ibadahnya/masjid-masjidnya akan menjadi

lebih tidak berharga dari segenggam pasir, dan Ummat akan menjadi tidak berharga

di mata para musuhnya. Sebagai akibatnya, si penakut akan menjadi berani untuk

menyerang, si rendah diri akan memandang dengan kesombongan, dan para musuh

akan menguasai tanah Ummat dan mendominasi serta mengatur masyarakatnya.

Hal ini terjadi karena Allah SWT telah mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh

itu terhadap Ummat.

Jauh di masa lalu, Ummat ini akan dianugerahkan kemenangan atas musuhnya

karena Allah SWT menanamkan rasa heran ke dalam dada para musuh akibat

perjalanan panjang selama satu bulan yang ditempuh oleh Ummat. Lebih serius dari

itu –atau katakanlah, salah satu alasan di balik itu semua- adalah kenyataan bahwa

Ummat ini telah mengabaikan jihad, atau bahkan mungkin membuang jihad dari

agendanya. Ummat ini telah meninggalkan jihad dari segala aspek mereka: secara

fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.

Page 8: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

8 | P a g e

Sifat Moderat Syeikh Al-Qaradhawi dan Fiqh Jihad

Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang pendirian orang-orang tentag jihad, membagi

mereka ke dalam tiga kategori. Tentang kategori yang pertama, ia menyatakan,

Ini adalah sebuah kategori yang mencari cara untuk membuat jihad dilupakan dan

membuangnya dari kehidupan Ummat ini. Mereka justru, berasumsi sebagai

perhatian utama mereka dan peningkatan peran Ummat –sebagaimana yang

mereka klaim- dalam hal nilai-nilai spiritual dan perilaku yang mulia, dengan

anggapan bahwa inilah jihad yang utama: perjuangan tiada henti melawan Setan

dan keinginan/nafsu yang sia-sia.

Terkait kategori yang kedua, ia mengatakan,

Bertentangan dengan kategori pertama, ada kategori lain yang merasa bahwa jihad

sebagai ―perang melawan seluruh dunia‖. Mereka tidak membedakan antara orang-

orang yang perang melawan kaum Muslimin, menghalangi da’wah mereka, atau

menarik mereka menjauh dari agama mereka, dengan orang-orang yang

mengulurkan jembatan perdamaian dengan kaum Muslimin dan menawarkan

rekonsiliasi dan pendekatan dengan umat Muslim, tidak mau berperang dan tidak

mendukung musuh manapun yang berperang melawan umat Muslim.

Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah serupa. Mereka yakin bahwa

kapanpun kaum Muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk

memerangi orang-orang kafir itu semata-mata karena kekafirannya, yang menurut

mereka alasan itu saja sudah cukup kuat untuk memerangi orang-orang kafir itu.

Ia kemudian memilih pendekatan yang lebih moderat/halus yang diwakilkan oleh

kategori yang ketiga, dengan mengungkapkan,

Kategori yang Ketiga adalah, ―Ummat yang moderat‖ yang telah dibimbing oleh

Allah SWT kepada pendekatan yang moderat dan Allah SWT menganugerahkan

mereka dengan pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman yang mendalam tentang

Syari’ah dan kenyataan. Oleh karena itu, kategori ini tidak tergelincir ke dalam

kelalaian seperti kategori yang pertama yang membiarkan hak Ummat ini tidak

Page 9: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

9 | P a g e

dipersenjatai dengan kekuatan, Al Qur’annya tidak dijaga dengan pedang, dan

rumah-rumah serta tempat-tempat ibadahnya yang tanpa penjaga untuk melindungi

dan membelanya.

Demikian juga, kategori ketiga ini tidak terjatuh dalam perbuatan berlebihan dan

ekstrim dari kategori yang kedua yang siap memerangi orang-orang yang penuh

damai dan menyatakan perang melawan semua orang tanpa pandang bulu; hitam

atau putih, di Timur atau di Barat. Mereka meyakini tujuan mereka berbuat demikian

adalah untuk menuntun manusia menuju jalan Allah SWT, menggiringnya menuju

Surga, dan memegang tangan mereka secara paksa menuju Jalan yang Lurus.

Lebih jauh mereka menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk memindahkan

segala penghalang di depan manusia yang dibuat oleh penguasa/rezim yang lalim

yang tidak mengizinkan mereka untuk menyampaikan Firman-firman Allah dan

Sabda Rasulullah saw kepada manusia, sehingga manusia dapat mendengarnya

dengan kencang dan jelas dan bebas dari segala noda.

Buku Fikih Jihad

Judul buku yiatu Fiqh Al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi

Dhau‘ Al-Qur‘an wa Al-Sunah yang diterbitkan oleh Penerbit Maktabah Wahbah,

Kairo, 2009. Buku ini sekarang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan

diterbitkan dengan sangat cantik dengan hard cover oleh Penerbit Mizan dengan

judul Fikih Jihad (2010) setebal 1.260 (baca: seribu dua ratus enam puluh halaman)

ditambah Mukadimah sepanjang lxxxi alias 81 (delapan puluh satu) halaman dan 6

(enam) buah lampiran panjang.

Sungguh buku ini sangat fenomenal dan layak disebut sebagai ensiklopedi tentang

jihad. Betapa tidak, dalam buku ini Yusuf Qardhawi mengawali pembahasannya dari

Dustur Ilahiyakni Alquran, Hadist, petunjuk Khulafa Al-Rasyidin, dan pendapat para

ulama tentang jihad. Dalam Mukadimah sepanjang 81 halaman itu Qardhawi juga

menjelaskan definisi jihad (al-Jihad), peperangan (al-Qital), perang (al-Harb),

kekerasan (al-‗Unf), dan terorisme (al-Irhab) dalam Islam.

Page 10: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

10 | P a g e

Penjelasan ini sangat penting karena bagi kebanyakan sarjana-sarjana Barat kelima

terminologi tersebut sering dicampuradukkan sedemikian rupa sehingga terjadi

simplifikasi yang luar biasa atas konsep jihad. Qardhawi membagi buku tebal ini

menjadi sepuluh bagian. Bagian pertama: Hakikat,Konsep, dan Hukum Jihad;

kedua: Macam-Macam Jihad dan Tingkatannya; ketiga: Jihad antara Melawan dan

Menyerang; keempat: Tujuan-Tujuan Jihad Perang dalam Islam; kelima: Jihad

dalam Islam; keenam: Pasukan Jihad Islam; ketujuh: Upaya Menghentikan Perang;

kedelapan: Pascaperang; kesembilan: Perang dalam Wilayah Islam; dan kesepuluh:

Konsep Jihad dalam Masyarakat Islam. Secara keseluruhan dan rinci dibagi ke

dalam 62 bab. Sungguh buku ini harus dibaca oleh para aktivis gerakan Islam,

politisi (yang suka membaca),para ilmuwan, dan pengamat politik, serta para

penentu kebijakan agar tidak salah-salah lagi dalam memahami jihad dan gerakan

jihad.

Kepada Siapa Buku ini Ditujukan?

Imam Al-Qaradhawi menyusun daftar kategori orang-orang yang membutuhkan

buku ini dalam rangka memperoleh pemahaman yang tepat tentang isu-isu jihad

secara murni bebas dari sifat lalai dan berlebih-lebihan. Hal ini seakan-akan ia telah

mengasimilasi berbagai kategori dari semua masyarakat, kaum Muslimin dan kaum

non-Muslim, penguasa dan rakyat, warga sipil dan militer, serta filsuf/pemikir dan

kaum intelek. Ia menyebutkan sepuluh kategori yang menurut saya mencakup

berbagai kategori yang ada di seluruh masyarakat.

1. Pelajar-pelajar Syari‘ah: Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam

itu adalah pelajar-pelajar Syari‘ah dan para imam fiqh, karena sebagian besar

mereka mempunyai konsep-konsep yang tetap dan diwarisi budaya tentang jihad.

Mereka, contohnya, meyakini bahwa jihad adalah tugas bersama dalam Ummat dan

tugas ini menuntut kita untuk menyerbu negara-negara non-Muslim sekurang-

kurangnya satu kali dalam setahun, bahkan walaupun orang-orang Non-Muslim itu

tidak menunjukkan aksi permusuhan terhadap kita, namun mereka justru

memberikan tangan mereka untuk berdamai dan berekonsiliasi. Walaupun pendapat

Page 11: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

11 | P a g e

ini sangat jelas bertentangan dengan banyak ayat Al Qur‘an, dampak dari ayat-ayat

semacam itu –sebagaimana telah kita indikasikan di atas- terhapus dalam pemikiran

mereka dengan dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dicabut!

2. Para pelajar Ilmu Hukum: Kajian ini juga dibutuhkan oleh para ahli hukum dan

ahli hukum internasional, di mana banyak diantara mereka yang telah membuat

sendiri pandangan mereka tentang Islam dan Syari‘ah, khususnya yang terkait

dengan jihad, perang, dan perdamaian. Mereka memperoleh pandangan mereka

dari beberapa kutipan penting yang terkenal dari buku-buku sekaligus dari informasi

yang diedarkan oleh para penulis dan yang berasal dari mulut ke mulut. Orang-

orang semacam ini, pada tingkatan tertentu tidak bisa disalahkan, karena para

terpelajar/ahli Syari‘ah sendiri merasa kebingungan dalam hal ini. Kalau begini,

bagaimana yang terjadi dengan orang-orang awam?

3. Islamis: Lebih dari yang lain, kajian ini dibutuhkan oleh para Islamis. Maksud

saya dengan ―Islamis‖ adalah kelompok-kelompok Islam yang berbeda yang bekerja

untuk mendukung sebab-sebab Islam, dan yang oleh sebagian orang disebut

sebagai ―kelompok politik Islam.‖ Kelompok-kelompok ini biasanya mencakup

generasi muda dari kebangkitan Islam di bawah bendera mareka di beberapa

Negara, baik di dalam maupun di luar dunia Muslim. Oleh sebab itu, kelompok-

kelompok demikian, dengan kecenderungan dan sikap mereka yang berbeda-beda,

apakah bersikap moderat atau ekstrim, adalah amat sangat membutuhkan kajian

semacam ini, khususnya untuk mereka yang dikenal sebagai ―kelompok keras‖.

4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan kajian ini, khususnya bagi

mereka yang berminat dengan biografi Sang Nabi dan sejarah ke-Islaman, dan

mereka yang secara tidak benar dan tidak adil menafsirkan pertempuran-

pertempuran Sang Nabi saw, dengan menganggap bahwa Sang Nabi lah yang

memulai segala penyerangan dan perlawanan terhadap kaum politheis. Sebagai

contohnya, mereka mengatakan Peperangan Badar, Penaklukkan Kota Mekkah, dan

Perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw yang pertama kali

memulai serangan atas kaum Yahudi di tanah-tanah dan benteng-benteng mereka,

mengutip Peperangan Banu Qaynuqa‘ dan Bani An-Nadir, sekaligus Perang Tabuk

di mana Sang Nabi memulai pertempuran melawan kaum Romawi.

Page 12: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

12 | P a g e

5. Kaum intelektual: Kajian ini juga penting bagi orang-orang yang suka berpikir,

meneliti, dan melakukan meditasi, khususnya bagi mereka yang tertarik dengan

pemikiran-pemikiran dan pergerakan-pergerakan Islam, baik yang bersifat moderat

maupun ekstrim, yang lahir dari keduanya, maupun tindak-tindak kekerasan –atau

sebagaimana yang mereka deskripsikan sebagai terorisme- yang melibatkan

beberapa dari kelompok ini. Hal ini, sebagai hasilnya, menggiring beberapa pihak

untuk secara eksklusif melemparkan tuduhan kepada Islam sebagai pelaku tindak

kekerasan dan terorisme, di mana seakan-akan segala tindak kekerasan dan segala

bentuk terorisme adalah sifat Islam. Tentu saja hal ini tidak tepat dan tidak benar.

6. Kaum orientalis: Kaum Non-Muslim, seperti kaum Orientalis dan mereka yang

tertarik dengan kajian-kajian Islam juga membutuhkan kajian semacam ini. Kajian ini

bermanfaat bagi mereka yang minatnya terutama bertujuan untuk mencari

pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau bagi mereka dengan minat yang

termotivasi secara politis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu

dari sebuah negara atau dunia Barat secara umum. Kajian ini juga cocok bagi

mereka yang memiliki motif-motif keagamaan untuk mengabdi kepada gereja dan

menjalankan ide ―Kristenisasi‖.

7. Orang-orang yang terlibat dalam Dialog: Kajian ini penting bagi mereka yang

menaruh minat dalam dialog antar-agama atau dialog yang bersifat antar-budaya

dan antar-peradaban. Dari sudut pandang saya, kajian ini menggambarkan tembok

yang kuat di dalam struktur dialog semacam itu, struktur yang terkadang kuat namun

di waktu yang lain menjadi lemah; mengalami kemajuan sekaligus tersandung-

sandung dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena cara berpikir yang sempit

terhadap satu sama lain, sifat fanatis yang mendominasi pikiran dan pilihan yang

diberikan untuk menerima warisan pemikiran dalam bentuk pemikiran yang sangat

terbatas. Tanpa diragukan lagi, manusia tidak dapat melakukan dialog apabila

mereka kurang mengenal satu sama lain.

8. Para politisi: Selain dari orang-orang di atas, para politisi dan para pengambil

keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan kajian ini. Mereka membuat

keputusan-keputusan yang amat penting yang memiliki dampak yang krusial

Page 13: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

13 | P a g e

terhadap nasib banyak negara, kehidupan umat manusia, potensi-potensi manusia,

dan kesucian agama-agama. Serangan mereka terhadap agama ini didasarkan

pada konsep mental mereka terhadap agama ini. Mereka, pada kenyataannya, tidak

mengetahui apa-apa, belum membaca Kitab Sucinya atau mengenal biografi dari

Nabinya (SAW); mereka belum mempelajari sejarah dari agama ini atau bahkan

belum memperoleh informasi yang cukup berarti tentang aqidah dan Syari‘at nya.

9. Pihak militer: Jika para politisi membutuhkan kajian ini untuk membentuk

pendapat tentang jihad yang benar dan adil, demikian pula dengan pihak militer,

apakah mereka Muslim atau non-Muslim. Mereka yang salah menafsirkan

kenyataan dari jihad diantara para pemimpin militer Barat, seperti politisi Amerika,

sebagian besar masyarakat Eropa; daripada –sayangnya- seluruh dunia, sebaiknya

membaca buku ini. Di sisi kami, kami harus menterjemahkannya untuk mereka

sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri.

Tanpa diragukan lagi, sebagian besar dari mereka, ketika logika dipresentasikan

secara jelas kepada mereka, mereka menerima logika itu, dan tidak mendebatnya.

Bahkan, kalau mereka mendebatnya di depan publik, mereka akan dikalahkan

secara internal, dan hal ini adalah keuntungan yang besar.

10. Kaum Intelektual Publik: Terakhir, kajian ini juga diperlukan oleh para pembaca

secara umum, kaum intelektual yang bersifat umum dan tanpa penggolongan, baik

Muslim maupun non-Muslim. Orang-orang semacam ini mewakili sejumlah besar

massa di berbagai negara. Mereka perlu untuk mengetahui kenyataan dari

pandangan Islam tentang dunia ini dan kenyataan tentang berjihad di Jalan Allah.

Diantara aspek-aspek pendekatan ini terhadap fiqh, pemahaman dan ijtihad, adalah

kita harus memperbarui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang sesuai

dengan kehidupan dan zaman kita.

Pendekatan Al-Qaradhawi dalam Memperkenalkan Fiqh Jihad

Al-Qaradhawi, seorang terpelajar yang termasyur, berbicara tentang pendekatan

yang digunakannya di dalam bukunya –yang semoga- menyenangkan dan

bermanfaat, ia mengatakan bahwa pendekatannya itu bersandar pada enam pilar:

Page 14: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

14 | P a g e

yaitu, Kemuliaan Al Qur‘an, kemurnian Sunnah, perbendaharaan/kekayaan dari fiqh

Islam. Selain daripada itu, ia juga mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun

dengan melakukan perbandingan antara hukum/undang-undang Tuhan dan sistem-

sistem positif, dengan mempertimbangkan kenyataan kontemporer yang tengah

dijalani oleh manusia. Dengan demikian, ia telah mengadopsi pendekatan yang

bersifat moderat sebagaimana yang selalu ia miliki di buku-bukunya, penelitian-

penelitiannya, dan fatwa-fatwanya. Dalam hal ini, sang syeikh bekata,

Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini bergantung dari sekompok

elemen:

Pertama, menjadikan ayat-ayat Al Qur‘an Yang Mulia sebagai sandaran utama,

karena Al Qur‘an adalah sumber yang terutama dan terpenting di dalam Islam, di

mana Al Qur‘an adalah pasti dan tidak terbantahkan. Al Qur‘an telah terbukti dengan

sangat meyakinkan bahwa ia otentik melalui rantai pengiriman yang terpercaya dan

tidak terganggu, dihafal di dalam hati, dilafazkan melalui lisan, dan ditulis di dalam

mushafs (salinan Al Qur‘an). Tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun diantara

kaum terpelajar terkait Al Qur‘an.

Lewat Al Qur‘an, kami memperoleh otentisitas dari seluruh sumber yang lain,

termasuk Sunnah kenabian itu sendiri. Dengan demikian, kemurnian Sunnah

dibangun melalui ayat-ayat Al Qur‘an. Selanjutnya, kami memahami Al Qur‘an

sebagai cahaya dari ekspresi-ekspresinya yang bersahaja, dengan bahasa literal

dan metaforanya, yang mempertimbangkan tata urut dan isinya, yang menghindari

kepalsuan dan ketidakpastian, dengan teks-teksnya yang penuh dengan misi

perdamaian, memastikan bahwa ayat-ayat dari Kitab yang suci ini mengajak

manusia untuk berbuat kebenaran dan memahami satu sama lain.

Yang Kedua, bersandar kepada narasi-narasi Sunnah yang terbukti secara otentik

berasal dari Sang Nabi (SAW). Sunnah ini meliputi ucapan-ucapannya,

perbuatannya, dan persetujuannya yang dikirim dalam bentuk hadits dengan rantai

suara narasi, tanpa adanya mata rantai yang terputus, dan tanpa adanya faktor-

faktor yang ganjil atau merusak.

Lebih jauh, hadits-hadits semacam ini tidak boleh bertentangan dengan sumber

yang lebih kuat dan lebih murni: ayat-ayat suci Al qur‘an, hadits lain, atau sumber

Page 15: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

15 | P a g e

lain yang diperoleh dari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, hadits harus bersifat

ilustratif, tidak bertentangan, dan harus sejalan terhadap apa yang telah dinyatakan

di dalam Al Qur‘an serta Keseimbangan (keadilan) yang telah diturunkan oleh Yang

Maha Kuasa.

Yang ketiga, dengan mengambil manfaat dari perbendaharaan/kekayaan fiqh Islam

dan menggunakan sumber-sumbernya yang berlimpah, tanpa prasangka terhadap

fiqh dari mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif

berpegang teguh pada satu imam sementara mengabaikan imam yang lain.

Daripada begitu, kita sebaiknya mempertimbangkan warisan yang luar biasa ini

untuk dimiliki oleh setiap peneliti sehingga mereka dapat menyelami kedalamannya,

memahami rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan harta karunnya yang

tersembunyi.

Sementara melakukan hal itu, seorang peneliti sebaiknya membandingkan berbagai

pandangan dan bukti yang berbeda-beda, tanpa mengadopsi sebuah posisi yang

fanatik untuk mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen meniru suatu

mazhab. Namun, kita dapat mengadopsi pendapat Abu Hanifah dalam satu kasus,

pendapat Malik dalam kasus lainnya, dan pendapat Ash-Syafi‘i, pendapat Ahmad,

dan pendapat Daud dalam kasus-kasus lainnya, dan demikian seterusnya. Kita

bahkan, dalam kasus-kasus tertentu dapat merujuk kepada mazhab kaum non-

Sunni, seperti mazhab Zaydi, Ja‘fari, atau Ibadi, jika memang mereka menyediakan

solusi yang dibutuhkan. Lebih dari itu, kita juga boleh mengadopsi pendekatan dari

beberapa mazhab yang sudah sangat tua, seperti Al-Awza‘i, Ath-Thawri atau At-

Tabari.

Yang Keempat adalah betapa tidak cukupnya bagi kita untuk semata-mata hanya

membandingkan antar-mazhab dan pendapat dalam fiqh Islam dengan sekolah-

sekolahnya. Sebaiknya, kita juga membandingkan fiqh Syari‘ah Islam sebagai satu

kesatuan dengan hukum-hukum positif dari Barat. Tujuan dari perbandingan itu

adalah untuk memberikan ilustrasi tentang tingkat kemurnian Syari‘ah,

ketegasan/ketetapan dari prinsip-prinsipnya, ketidakbergantungannya dari hukum-

Page 16: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

16 | P a g e

hukum yang lain, dan konsiliasinya antara idealisme dengan realitas, dan antara

Tuhan dengan manusia.

Yang Kelima, menghubungkan antara fiqh dengan realitas kontemporer yang

dijalani oleh Ummat dan oleh dunia. Hal ini adalah karena fiqh dibuat untuk

menyelesaikan problematika individu Muslim, keluarga Muslim, komunitas Muslim,

negara Muslim, dan Ummat Muslim melalui aturan-aturan Syari‘ah yang bersifat

toleran.

Dengan demikian, fiqh mencari penyelesaian atau obat dari penyakit-penyakit yang

berasal dari dalam diri kaum Muslimin –bukan dari luar- inilah harta dari Syari‘ah

yang mulia ini. Fiqh juga menjawab pertanyaan apapun yang muncul baik dari

individual maupun dari masyarakat terkait permasalahan keagamaan dan

kehidupan. Fiqh juga membimbing barisan Ummat yang beradab ini menuju cahaya

dari aturan-aturan Syari‘ah yang mulia.

Yang keenam, sebagaimana kasus yang terjadi pada buku-buku dan para peneliti

kita, di dalam buku ini kita telah mengadopsi sebuah pendekatan yang Allah SWT

telah membimbing kita untuk menentukan dan lebih memilih berada dalam da‘wah,

pendidikan, iftaa‘, penelitian, reformasi dan renovasi, yakni pendekatan secara

moderat dan halus.

Di antara aspek-aspek pendekatan ini terhadap fiqh, pemahaman dan ijtihad, adalah

kita harus memperbarui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang sesuai

dengan kehidupan dan zaman kita, sebagaimana imam-imam terdahulu kita

melakukan ijtihad yang sesuai dengan kehidupan dan zaman mereka. Kita harus

mempergunakan sumber-sumber ilmu pengetahuan yang dari sanalah mereka

melahirkan pandangan-pandangan mereka, memahami bagian-bagian dari teks

dalam kerangka berpikir dari tujuan secara keseluruhan, dan melacak isu-isu yang

bersifat ambigu kembali kepada hal-hal yang jelas, hal-hal yang bersifat rekaan

kembali kepada hal-hal yang pasti, dan hal-hal yang bersifat khusus kepada yang

bersifat umum.

Page 17: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

17 | P a g e

Selain itu, kita juga harus menjadi tegas ketika kita berhadapan dengan hal-hal yang

mendasar, dan memudahkan urusan ketika berhadapan dengan isu-isu yang

bersifat sekunder/tidak mendasar, mendamaikan antara ketetapan Syari‘ah dan

variabel-variabel zaman, dan menghubungkan teks yang asli dengan kebijaksanaan

yang termanifestasi.

Penting bagi kita untuk menghindari sikap terlalu memihak kepada pendapat lama

atau memihak keagungan dari pemikiran baru, untuk mengikuti prinsip-prinsip yang

tujuan-tujuannya tidak berubah, namun metodenya dapat fleksibel; dan untuk

mengambil manfaat dari apapun manfaat yang bisa diambil dari pandangan-

pandangan lama sebagaimana kita menerima pemikiran baru manapun selama

bermanfaat.

Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup di masa

sekarang, dan melihat ke masa yang akan datang, menggali kearifan di dalam

tempat apapun yang dari sana ia terus maju, dan mengukur segala pencapaian dari

orang lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, lalu kemudian, menerima apa-apa

yang sesuai dengan kita dan menolak segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi

kita, demikianlah seterusnya.

Dalam kemasyurannya, sang ilmuwan yang luar biasa ini, Syeikh Al-Qaradhawi telah

membagi buku Fiqh Jihad ini ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan bab, dan

sebuah kesimpulan. Sehingga, Insya Allah, kami akan mengadakan beberapa

ulasan tambahan tentang isu-isu lain yang diangkat oleh Sang Imam dalam setiap

bagian/bab dari kajiannya. Kami memohon bimbingan dan pertolongan dari Allah

SWT.

Page 18: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

18 | P a g e

JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Dede Alimuddin

Prolog

Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar

menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya

hingga mengalahkan kebatilan. Semua itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya,

kecuali melalui pejuangan. selanjutnya al-jihâd mâdlin ilâ yaum al-

qiyâmah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat). Dan istilah perjuangan yang

ditunjukkan Al-Qur‘an adalah kata jihad, akan tetapi sangat disayangkan istilah ini

sering disalahpahami atau dipersempit artinya.

Terjadi banyak kesalahpahaman dalam memahami hakikat jihad. Jihad biasanya

dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata saja. Memang

diakui bahwa salah satu bentuk jihad adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus

diingat bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik,

sebagaimana sabda Rasulullah Saw, ketika beliau baru saja kembali dari medan

pertempuran.

―Kita kembali dari jihad yang terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawa hawa

nafsu‖

Kemudian berbicara tentang masalah terorisme, bukan terorisme yang sifatnya

kriminalitas biasa, akan tetapi yang berkedok agama, terorisme-terorisme yang

ternyata dilakukan oleh para aktifis-aktifis yang begitu sangat semangat

memperjuangkan Islam dengan mengatasnamakan Jihad Fi Sabilillah. Dimana

Sangat disayangkan terorisme-terorisme yang ada, pertama di Indonesia ini banyak

diantara mereka menisbatkan diri sebagai pejuang Islam yang melakukan

pemboman, pengrusakan, penteroran, dan lain sebagainya. Akhirnya agama lain

mengklaim Islam sebagai terorisme, dan seolah-olah menjadi agama yang keras

bahkan agama yang menakutkan. Pada kenyataannya Islam tidak pernah

mengajarkan tentang kekerasan, bahkan dalam buku-buku Islam sekali pun yang

ada tidak mengajarkan tentang terorisme, dan terorisme bukanlah ajaran Islam

sama sekali. Tidak ada agama lain yang menghormati Islam kecuali Islam, tidak ada

Page 19: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

19 | P a g e

agama yang mengajarkan menghormati agama lain (yang tidak memerangi Islam)

kecuali Islam. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian.

Jiwa-jiwa teroris ini kebanyakan dari kalangan kawula muda, yang memang

melenceng dalam memahami hakikat jihad. Seperti yang disinyalir oleh Nabi:

―Akan keluar suatu kelompok namanya mariko —yg kemudian disebut para ormas—

’khawarij’ dikala kaum muslimin sedang ada dalam perselisihan, mereka rata-rata

berusia muda dan sangat dangkal keilmuannya, mereka membawakan sabda-sabda

Rasulullah, membawakan hadis-hadis Nabi bahkan mereka pun menghafal Al-

Qur’an namun tidak sampai kepada tenggorokan mereka‖. Artinya kata para ulama

mereka tidak memahami ayat-ayat suci. Memahami tidak sesuai dengan apa yang

dipahami para ulama, para sahabat Rasul, para tabi‘in, atau bahkan para imam yang

empat (mujtahid mutlaq), sehingga seringkali dalil dijadikan hujjah/ tameng untuk

membenarkan perbuatan mereka yang salah dan dipahami dengan pemahaman

yang sangat jauh menyimpang dari apa yang dipahami oleh para ulama.

Pengertian dan Macam-macam Jihad

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta

dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman

dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-

melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka

tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka

berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan

pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap

kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha

Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Anfal [8]: 72)

Jihad berasal dari kata jahada-yujahidu-mujahadatan-jihadan, yang akhirnya

populer dengan kata jihad. Semua kata tersebut berasal dari satu akar kata yang

mempunyai arti serius atau bersungguh-sungguh. Namun pada pelaksanaannya,

Page 20: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

20 | P a g e

dari akar kata jihad itu dapat kita bagi pada dua makna: yaitu olah fisik dan olah

pikir.

Untuk membuka cakrawala pemikiran kita dalam memahami makna jihad, akan lebih

baik jika kita terlebih dahulu membuka satu kitab yang begitu populer di kalangan

pesantren, yaitu I’anatu al-Thalibin (Syarh Fath al-Mu’in). Dalam kitab tersebut

dijelaskan bahwa bentuk jihad itu ada empat macam: pertama jihad dalam rangka

penegasan keberadaan Allah (istbatu wujudillah), kedua jihad dalam rangka

menegakkan syariat Allah (iqamatu syariatillah), ketiga perang di jalan Allah (al-qital

fi sabilillah), dan keempat ―mencegah kemudlaratan dengan memenuhi kebutuhan

orang, baik itu orang Islam ataupun kafir dzimmi‖ (daf’u dlaruril ma’shumin musliman

kana aw dzimmiyan).

Jihad dalam pengertian pertama, dengan cara mempertegas keberadaan Allah

Swt di muka bumi, ini bisa berbentuk dzikir, wirid, dan takbir. Orang yang sering

bertasbih, takbir, tahmid, dan tahlil setelah selesai melaksanakan shalat, maka

sedikitnya ia telah berjihad di jalan Allah sebanyak lima kali dalam sehari. Selain itu,

orang yang melantunkan adzan dapat juga dikategorikan sebagai orang yang

sedang berjihad dengan cara penegasan keberadaan Allah (istbat wujudillah).

Apalagi melantunkan adzan di lingkungan yang memang mayoritasnya non muslim,

ini sungguh luar biasa. Dengan demikian, ternyata disadari atau tidak kita seringkali

melakukan jihad, yaitu dengan cara mengagungkan nama Allah. Singkatnya, jihad

dengan cara itsbatu wujudillah sudah menjadi sebuah tradisi bagi umat Islam

Indonesia.

Dalam pengertian yang kedua, jihad dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh

dalam menegakkan nilai-nilai agama (iqamatu syariatillah), yaitu dengan cara

melaksanakan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan

ibadah haji. Bahkan Nabi sendiri memposisikan haji mabrur sebagai jihad yang

paling utama sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari beriktu ini.

Dari Aisyah Ra berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, Kami melihat bahwa jihad

merupakan amal paling utama, apakah kita tidak berjihad? Jawab Nabi: ―Akan tetapi

jihad yang paling utama adalah haji mabrur. Begitu juga dengan cara memberikan

zakat atau sedekah berarti kita telah melaksanakan jihad yang menurut surah Al-

Page 21: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

21 | P a g e

Anfal ayat 72, sebagaimana dikutip di atas, dikategorikan sebagai jihad bi al-

amwal (jihad dengan harta). Maknanya adalah saling memberikan perlindungan

antara sesama umat manusia melalui proses pengelolaan zakat secara apik dan

profesional, sehingga zakat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengentaskan

kemiskinan. Demikian juga dengan puasa. Puasa dikategorikan sebagai jihad untuk

melawan hawa nafsu. Tentu saja, jihad orang yang berpuasa belum dianggap

berhasil apabila ia masih membuat keonaran, kerusakan, dan kehancuran di muka

bumi.

Sedangkan dalam pengertian yang ketiga, jihad dipahami sebagai berperang di

jalan Allah (al-qital fi sabilillah). Artinya, jika ada komunitas yang memusuhi kita,

merebut hak-hak kita, dan menindas kita, dengan cara-cara yang tidak dibenarkan

agama, maka kita diperkenankan untuk berperang sesuai dengan aturan-aturan

yang ditetapkan Allah. Dalam catatan sejarah bangsa ini, kita mengenal al-qital fi

sabilillah melalui resolusi jihad yang difatwakan oleh tokoh pendiri NU, Hadratus

Syekh KH. Hasyim Asy‘ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi jihad inilah yang

mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dengan Inggris di

Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945. Pertempuran ini terjadi bukan berlatar

belakang agama. Resolusi jihad itu lebih ditekankan sebagai pembelaan bangsa

Indonesia dalam mempertaruhkan tanah air dan melindungi semua komunitas, lepas

dari latar belakang etnik, budaya, dan agama. Dalam konteks al-qital fi sabilillah ini,

Rasulullah Saw menggariskan peraturan yang sangat ketat. Misalnya, selama

berperang dilarang membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tidak

ikut berperang. Selain itu dilarang menebang pohon-pohonan dan dilarang

membakar tempat ibadah. Di sinilah Islam mengajarkan, kalaupun harus berperang

fisik, tidak boleh bertindak seenaknya. Tetapi kita harus tetap memegang etika, baik

pada alam, manusia, dan rumah ibadah umat lain yang berbeda keyakinan dengan

kita.

Dalam pengertian yang keempat, jihad adalah mencukupi kebutuhan dan

kepentingan orang-orang yang tidak mampu, baik itu muslim maupun kafir dzimmi.

Pemenuhan kebutuhan ini termasuk pencukupan bahan pokok pangan, sandang,

dan papan. Dengan demikian, negara yang memiliki tanggung jawab untuk

memenuhi kebutuhan itu harus mengelolanya secara adil demi kepentingan seluruh

Page 22: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

22 | P a g e

komponen bangsa tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan.

Akhinya mari berpikir jernih dalam menerjemahkan makna jihad dalam konteks

bangsa Indonesia yang majemuk ini dengan mengaca pada sejarah Nabi Saw ketika

memerintah di kota Madinah yang komunitasnya majemuk. Dan pemaknaan jihad

sebagai berperang dengan mengacungkan senjata dan pedang hanyalah salah satu

dari ribuan model jihad. Pemaknaan jihad dengan cara kekerasan akan melahirkan

kerusakan yang melunturkan sifat ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Bahkan dari semua model jihad, tidak satu model jihad pun yang dilakukan dengan

cara bunuh diri (melakukan bom bunuh diri), apalagi bunuh diri yang tidak jelas

target dan musuhnya. Malah Islam tidak membenarkan membunuh orang yang tidak

berdosa. Karena, di samping mengkhianati makna dan tujuan diciptakannya

manusia sebagai khalifah Allah, juga demi menjaga kelestarian manusia dan

lingkungannya.

Kemudian menurut Ar-Raghib Al-Isfahani seorang Pakar Al-Qur‘an berpendapat

bahwa jihad terdiri dari tiga macam, pertama menghadapi musuh yang

nyata, kedua menghadapi setan, ketiga menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri

masing-masing. Yang semuanya dicakup oleh firman Allah:

―Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad‖ (QS. Al-Hajj [22]: 78)

―Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad

dengan harta dan diri mereka di jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah‖

(QS. Al-Baqarah [2]: 218)

Tujuan dan Prinsip Jihad

Adapun diantara tujuan jihad adalah hidayatu an-nas (memberikan petunjuk kepada

manusia), bukan untuk menjadikan manusia lari dalam Islam, bukan untuk

menghancurkan. Menurut ibnu Hajar Al-Asqalani As-Syafi‘i dalam Kitab Fathul Bâri,

dinyatakan jihad terdapat empat martabat, pertama jihad nafsi (dengan cara

menuntut ilmu), kedua Jihad melawan orang-orang fasiq (dengan memberika

Page 23: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

23 | P a g e

dakwah kepada mereka), ketiga jihad melawan syetan (dengan mempelajari

langkah-langkah syetan) , keempat Jihad terhadap orang-orang kafir.

Rasulullah Saw, bersabda: ―Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau

berjihad menghadapi musuhmu‖. Dalam kesempatan lain beliau bersabda:

‖berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan lidahmu‖.

Tapi apakah Islam dalam berjihad terhadap orang-orang kafir hanya sebatas

merampas hak kafir, mendzolimi kafir, dan membunuhnya?. Perlu diketahui bahwa

kafir ada beberapa kategori. Pertama kafir mu‘ahadin (mengadakan perjanjian

terhadap muslim), kedua orang kafir dibawah keamanan pemerintah Islam

(dzimmi), ketiga kafir harbi (memerangi Islam).

Kemudian prinsip Jihad yang dibolehkan dalam melawan orang kafir: pertama Jihad

Thalabi (jihad menyerang/ mencari), yakni sebuah penguasaan daerah/ Negara

kafir, disyaratkan penguasa/ pimpinan besarnya seorang muslim, seperti yang ada di

zaman khulafa ar-rasyidin yang membuka, menguasai Negara-negara kafir untuk di

bawa ke Negara Islam, kedua Jihad kifa‘i (membela diri), yakni membela diri jika

memang orang-orang kafir menyerang, membunuh orang-orang Islam. Dan selama

orang kafir tidak melakukan penyerangan maka dilarang bagi orang Islam

membunuhnya. Nabi Saw, bersabda:―barangsiapa yang membunuh orang kafir yang

sedang mengadakan perjanjian dengan mu’min maka dia tidak akan mencium

baunya surga.‖

Kesimpulan

Setelah beberapa yang dapat dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa jihad

tidak harus melakukan kekerasan, pengrusakan dan lainnya. Kemudian berdakwah

tidak harus seperti menakut-nakuti, yang bertingkah, berkelakuan tidak seperti

biasanya kebanyakan orang yang akhirnya memberi kesan bahwa Islam agama

teroris, agama yang keras dan lain sebagainya. Kemudian bagaimanakah

pengaplikasian jihad bagi kita sekarang? Jihad dimaknai perubahan dari sesuatu

yang buruk menjadi baik, mengandung makna perjuangan menghilangkan

kebodohan, membantu meringankan penderitaan orang lain, dan Jihad yang paling

besar pada masa sekarang khususnya bagi generasi muda adalah ―mau

Page 24: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

24 | P a g e

mempelajari ilmu agama‖ untuk mengetahui syarat rukun sholat misalnya, mampu

membaca Al-Qur‘an serta paham terhadap makna dan isi kandungannya, dan

menjadi penerus perjuangan para alim ulama.

Page 25: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

25 | P a g e

APAKAH ISLAM PENUH DENGAN KEKERASAN

Seperti diketahui bersama kata ‗Islam‘ berarti ‗tunduk/menyerah‘, berasal dari

bahasa Arab, juga mempuunyai hubungan dengan kata ‗Salam‘ yang berarti ‗damai‘.

Perlu diketahui di saat nabi Muhammad saw menyerukan kitab suci Al Quran

kepada bangsa Arab 14 abad lalu, salah satu misi utama beliau ialah menghentikan

aktifitas pembunuhan masal seperti yang kita saksikan pada WTC 11 Sept, Bom Bali

1 dan 2, dst.

Pada masa pra-Islam, Arab dirundung oleh perang suku, dimana hampir tiap suku-

suku mempunyai dendam dan rasa ingin balas dendam terhadap suku lain,

sehingga sering terjadi perang antar puak saat itu. Bahkan Nabi Muhammad pun

beberapa kali menjadi target pembunuhan namun beliau selamat. Juga pengikut

beliau pada masa awal Islam, harus melakukan Hijrah karena siksaan yang di

lancarkan oleh komunitas Quraisy.

Nabi beserta pengikutnya di paksa turun ke medan perang demi menyelamatkan

diri, namun setelah situasi membaik dan kondisi masyarakat Muslim saat itu

semakin mapan. Nabi pun mengalihkan perhatiannya dengan membangun kualisi

damai dengan suku-suku disekitar Madinah (Yastrib) dan memperoleh kemenangan

mutlak di bumi Anshar itu. Di saat wafatnya, beliau telah menjadikan hampir seluruh

tanah Arab dalam situasi damai.

Al Quran kitab yang didalamnya membahas banyak isu sosial, oleh karenanya wajar

jika pada sejumlah ayat terdapat pembicaraan tentang perang, karena saat itu

perang merupakan realitas sosial yang dihadapi oleh kaum Muslim generasi awal.

Perang adalah aktifitas yang kejam pada masa itu, eksekusi mati pada tawanan

perang sering terjadi, karenanya Al Quran pun pada masa itu memerintahkan ―tawan

dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya,‖ (Qs 4: 89). Ayat inilah yang

kerap di bawa oleh nonMuslim demi meyakinkan pembacanya bahwa Islam agama

haus darah. Namun sayangnya mereka tidak meneruskan ayat selanjutnya yang

berbunyi; ―tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta

Page 26: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

26 | P a g e

mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu

(untuk menawan dan membunuh) mereka.‖ (Qs 4: 90).

Dalam al Quran, perang di izinkan untuk mempertahankan diri. Kaum Muslim tidak

diperkenankan memulai permusuhan (Qs 2: 190). Perang memang aktifitas

mengerikan pula kejam, namun adakalanya kamu harus melakukannya demi tujuan

membebaskan/menyelamatkan diri dari penyiksaan seperti halnya yang dialami

umat Muslim saat di tindas oleh Musyrikin Mekah (Qs 2: 191; 2: 217) dan membela

yang lemah (4: 75; 22: 40). Permusuhan dan peperangan harus dihentikan selekas

mungkin, dan jika musuh ingin berdamai maka umat Muslim wajib damai (2: 192- 3).

Islam bukanlah agama yang kecanduan perang, bahkan jihad pun tidak termasuk

dalam salah satu rukun Islam, maupun rukun Iman. Arti Jihad sebenarnya pun

bukan ‗Perang Suci‘ melainkan ‗Berjuang‘. Perjuangan tidak selalu dalam konteks

perang, berjuang melawan diri sendiri dan hawa nafsu munkar, adalah Jihad.

Islam tidak memperkenalkan dirinya dengan pedang, sebaliknya Islam merubah

budaya pedang dengan budaya saling menghormati dan menghargai. Dalam satu

surah Al Quran mengatakan,‖ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);‖

(2: 256). Oleh karenanya umat Muslim dapat hidup berdampingan dengan

komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah, atau biasa di sebut ‗Ahli Kitab‘ yang

menyembah Tuhan yang sama (Qs 29: 46).

Bahkan pada khotbah terakhirnya nabi Muhammad mengatakan, ―Hai manusia,

sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal.‖(Qs 49: 13). Perhatikan ayat ini mengatakan; ‖Supaya

kamu saling kenal-mengenal‖ – ―Bukan saling membunuh, Bukan saling

menaklukan‖ – ―Tapi saling mengenal!‖. Allah Ta‘lla menginginkan tercipta suasana

damai harmonis dan saling menghargai satu sama lain – seperti layaknya dua yang

saling kenal.

Maka salah kaprahlah bagi mereka yang berpendapat bahwa Islam memerintahkan

umatnya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap ‗Kafir‘, pendapat ini

sama sekali tidak ada landasannya, bahkan ia bertentangan dengan konsep Islam

Page 27: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

27 | P a g e

yang mengedepankan keadilan dan berbuat baik kepada sesama manusia, seperti

tertulis pada ayat:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang

yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari

negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qs 60:

Islam bukan agama yang menyerukan umatnya untuk selalu berperang, namun

sebaliknya menyebarkan rahmat kepada seluruh alam dan menjadi contoh terbaik

bagi seluruh Manusia. Islam tidak menyerukan umatnya untuk membunuhi non

Muslim yang tidak memeranginya (Qs, 5:32 : 25:6.

Dan bagi non Muslim yang bersahabat maka ia mendapat perlindungan dari

penguasa Islam, istilah bagi nonMuslim seperti ini ialah Kafir Dhimi (atau Dzimmi)

berasal dari kata Dzimah yang bermakna aman atau janji, yakni golongan

nonMuslim yang hidup berdamai dalam naungan pemerintahan Islam (Daulah

Islam). Mengenai Kafir jenis ini Nabi Muhammad saw berpesan:

"Barangsiapa yang mengganggu seorang kafir dzimmi maka aku yang menjadi

lawannya nanti pada hari kiamat!". [HR. Al Khathib dalam At Tarikh dari Ibnu Mas'ud

radhiallahu 'anhu dengan sanad shahih]

Selanjutnya ada juga istilah Kafir Mu'aahad, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri

mereka sendiri, namun mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin untuk tidak

saling menyerang. Rasulullah Shallallah 'alaihi wa Sallam pun juga memberikan

pesan kepada umatnya berkenaan kafir jenis ini:

"Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu'aahad maka dia tidak akan

mencium aroma wangi al Jannah (padahal) sesungguhnya aroma wangi al Jannah

itu didapati (tercium) sejauh perjalanan 40 tahun." [HR. Al Bukhari 3166, 6914; An

Nasaa-i 4764; Ibnu Majah 2736; Ahmad V/36]

Adapula jenis kafir yang di sebut kafir Musta‘min, ialah orang kafir yang memasuki

daulah Islam, ia bukan golongan dzimmi bukan pula mua‘ahaad, dengan maksud

meminta perlindungan. Maka umat Islam diwajibkan untuk melindunginya, seperti

teredaksi pada surah At Taubah 9:6:

Page 28: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

28 | P a g e

"…Dan jika salah seorang dari kaum musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu

maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian

antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya..."[QS. At Taubah 9:6]

Maka sungguh sangat disayangkan melihat kenyataan dewasa ini, agama Islam

dibajak oleh sebagian golongan Muslim demi menjustifikasi tindakan berdarah

mereka untuk membunuhi nonMuslim. Yang padahal golongan kafir yang boleh di

perangi hanyalah golongan kafir Harbi, ialah kafir yang jelas-jelas memerangi Islam

dan kaum Muslim. Namun begitu Islam tetap menahan umatnya agar tidak memulai

perang dengan golongan harbi ini, kecuali mereka diperangi terlebih dahulu;

"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah

kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

yang melampaui batas.‖ [Qs 2:190].

Karena Islam agama dakwah, yang menyerukan umatnya agar menyebarkan ajaran

Islam. Tentu menyebarkannya dengan kekerasan bukanlah cara yang tepat, namun

berdakwah dengan hikmah dan cara yang baik:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik

dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS.16:125)

Dan jika mereka menolak seruan kita maka;

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka

bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka

menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (al-Quran, 10:99)―

Jika mereka menolak maka seorang Muslim tidak diperkenankan untuk

memaksanya.

Sebagai Penutup seorang Mukmin ialah orang; Al Furqaan (25):68 ‖ Dan orang-

orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh

jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan(alasan) yang benar,"

Allahu a’llam Bissawab. sumber : http://abibakar.blogspot.com/2007/07/wajah-damai-dienul-islam.html

Page 29: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

29 | P a g e

MEMAKNAI KEMBALI JIHAD

(ISLAM LIBERAL)

Penulis: M. Guntur Romli

Khazanah Klasik Islam

Ketika kita membaca beberapa literatur Islam klasik dalam masalah jihad, makna

peperangan merupakan makna yang baku bagi jihad. Mulai dari para ulama tafsir,

hadis, dan fikih, yang telah sedemikian kuatnya ―mengunci‖ jihad dalam makna

peperangan saja. Ahli tafsir menyamakan ayat-ayat jihad dengan ayat-ayat pedang

dan perang. Para ulama hadis meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang dominan

memantulkan konteks peperangan. Selanjutnya ulama fikih menyudahi bahwa jihad

dalam makna syariat Islam adalah peperangan melawan musuh Islam.

Seorang ulama hadis yang ternama, Ibnu Hajar Al-Asqalani (2000: 77) yang juga

komentator (al-syârih) terhadap hadis-hadis yang dikumpulkan oleh al-Bukhari

memberikan definisi jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr (mengerahkan

kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir). Demikian juga Muhammad bin

Ismail Al-Kahlani, pengarang kitab Subul al-Salâm komentar atas kitab Bulûgh al-

Marâm karya Ibnu Hajar Al-Asqalani—dua kitab ini sangat terkenal di dunia

pesantren di Indonesia—memaknai jihad sebagai badzl al-juhd fi qitâl al-kuffâr aw al-

bughât (mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang kafir dan pemberontak).

Mayoritas ulama fikih juga sepakat dengan definisi itu. Fikih madzhab Hanafî

memaknai jihad sebagai ajakan pada agama yang benar, jika orang yang diajak

enggan, maka mereka diperangi dengan harta dan jiwa (al-du‗â ilâ al-dîn al-haq wa

qitâl man lam yaqbalhu bi al-mâl wa al-nafs). Adapun definisi madzhab-madzhab lain

kurang lebih seirama dengan definisi madzhab Syâfi‘î, yaitu; memerangi orang-

orang kafir untuk memenangkan Islam (qitâl al-kuffâr li nashr al-Islâm).

Page 30: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

30 | P a g e

Tidak hanya mayoritas ulama fikih klasik yang membakukan makna jihad pada

peperangan, ulama fikih kontemporer juga berpendapat sama. Prof. Wahbah al-

Zuhaylî dalam bukunya, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (1989: 413-414)

mendefinisikan jihad sebagai berikut: mengerahkan kemampuan dan kekuatan untuk

memerangi dan melawan orang-orang kafir dengan jiwa, harta dan lisan(badzl al-

wus‘i wa al-thâqah fi qitâl al-kuffâr wa mudâfa‘atihim bi al-nafs, wal mâl, wal lisân).

Perbedaan Ayat-ayat Jihad dan Qital

Pertanyaannya kemudian, benarkah jihad identik dengan peperangan sebagaimana

pendapat ulama-ulama di atas? Jika kita mau merujuk kembali pada ayat-ayat Al-

Quran jawabannya adalah tidak. Setelah saya lacak, Al-Quran menggunakan dua

istilah yang berbeda namun maksudnya sering disamakan yaitu: jihâd dan qitâl.

Jihâd berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementaraqitâl berarti peperangan.

Maka, apabila Al-Quran menggunakan âyât al-jihâd(ayat-ayat jihad) artinya adalah

perjuangan dalam makna yang umum, sementara bila menggunakan âyât al-qitâl wa

al-sayf (ayat-ayat perang dan pedang) artinya sudah khusus yaitu peperangan.

Perbedaan dua istilah yang digunakan oleh Al-Quran tadi berpulang pada dua

sebab. Pertama, ayat-ayat jihad telah turun semenjak periode Islam Makkah yang

dikenal pada periode itu tidak pernah terjadi satupun peperangan. Jihad dalam

periode Islam Makkah adalah ―jihad non-perang‖, dan sangat mustahil bila jihad

pada periode itu dimaknai dengan peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita

temukan di Surat al-Furqan ayat 52, al-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan al-

Ankabut ayat 69. Sementara ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang

penuh dengan gemuruh peperangan.

Kedua, lisensi peperangan menggunakan ayat-ayat qital secara jelas (sharih), bukan

dengan ayat jihad. Dalam surat al-Hajj ayat 39 disebutkan, telah diizinkan

(berperang) bagi orang-orang yang diperangi (li al-ladzîna ―yuqâtalûna‖).Demikian

juga, dalam surat al-Baqarah ayat 190, dan perangilah (qâtilû) orang-orang yang

memerangimu (al-ladzîna yuqâtalûnakum). Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun

pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual ―jihad‖ waktu itu;

Page 31: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

31 | P a g e

yaitu peperangan. Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau

menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital.

Bisa saja kita memaklumi apabila ada yang menafsirkan ayat-ayat jihad sebagai

peperangan, karena, penafsiran tersebut berdasarkan pada konteksnya. Lazimnya

sebuah penafsiran tidak akan bisa bebas dari subjektifitas penafsir khususnya

konteks dimana penafsir itu berada. Namun yang tidak bisa dibenarkan sama sekali

adalah ―mengunci‖ jihad dalam makna peperangan saja.

Oleh sebab itu, menurut Gamal al-Banna—adik bungsu pendiri Ikhwanul Muslimin:

Hasan al-Banna—dalam bukunya al-Jihâd, dua istilah ini: jihad dan qital harus

dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital

pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad. Baginya jihad adalah

mabda‘ (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya,

sedangkan perang hanyalah wasilah, yang tidak prinsipil, dan sangat situasional.

Hadis-hadis Nabi yang sejumlah besar mengisahkan jihad dalam bentuk

peperangan saja disebabkan problem konteks juga. Hadis-hadis Nabi yang sampai

pada kita adalah kumpulan riwayat pada periode Madinah. Maka dapat dipastikan

makna jihad pun identik dengan konteks itu. Sebuah babak yang dipenuhi dengan

kecamuk peperangan. Dalam beberapa literatur hadis Nabi, kita tidak akan pernah

menemukan hadis-hadis jihad yang bersumber dari periode Makkah. Hilangnya satu

periode dari dua periode tersebut menyebabkan pemahaman terhadap doktrin jihad

ini ―timpang‖. Tidak ada jihad non perang sebagai karakter Islam Makkah seperti

yang ditujukkan oleh ayat-ayat Al-Quran di atas.

Betapa mudahnya kita akan menjumpai hadis-hadis Nabi yang bisa merangsang

dan memerintahkan peperangan. Seperti sebuah hadis riwayat Al-Bukhari nomor

2818, ―Ketahuilah sesungguhnya sorga (terletak) di bawah kilatan pedang (al-jannah

tahta dzilâl al-suyûf).‖ Demikian juga hadis-hadis lain yang acap kali dijadikan

sebagai kekuatan ideologi kelompok Islam garis keras. Misalnya sebuah kitab yang

ditulis oleh Ibn Baththah al-Hanbali, Sab‘ûn Hadîtsan fi al-Jihâd (Tujuh puluh Hadis

tentang Jihad). Buku ini memuat tentang keutamaan, tatacara, dan sejarah jihad

dalam arti peperangan.

Page 32: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

32 | P a g e

Di samping hadis-hadis jihad yang bernafaskan kekerasan seperti di atas, memang

ada beberapa hadis Nabi yang berusaha memberikan bentuk jihad non-perang. Tapi

jumlah hadis jenis ini bisa dihitung dengan jari. Seperti hadis riwayat Ibn Majah: haji

dan umrah adalah jihad yang tidak ada peperangan (jihâd lâ qitâla fîhi). Hadis lain

riwayat al-Bukhari dan Muslim, berbakti pada orang tua merupakan jihad. Hadis

riwayat Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibn Majah: kritik yang benar terhadap pemimpin

yang zalim termasuk jihad. Hadis riwayat al-Daylami dari Abu Dzar Al-Ghifari,

Sebaik-baiknya jihad adalah berjuang melawan hawa nafsu karena Allah. Namun,

kumpulan hadis jenis ini, seolah-olah tenggelam dalam timbunan hadis-hadis

perang.

Adapun kekurangan ulama klasik Islam, menurut hemat saya, tidak melakukan

penelitian secara seksama dan menyeluruh terhadap sejarah dan makna jihad.

Mereka lebih menekankan pada konteks ―jihad‖ di Madinah. Sehingga setiap ulama

fikih yang mengulas bab jihad dalam karya mereka tidak lebih sebagai pembahasan

terhadap peperangan (qitâl) dan harta rampasan perang (ghanîmah)bukan

pembahasan yang sempurna tentang jihad.

Tidak ayal lagi, ghanîmah dan hasil-hasil lain yang diperoleh dari wilayah-wilayah

yang ditaklukkan setelah peperangan seperti upeti, dan pajak (kharâj) menjadi fokus

pembahasan pada ulama fikih. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri hal ini disebabkan

al-ghanîmah merupakan instrumen ekonomis bagi nalar politik Islam klasik di

samping dua instrumen penting lainnya: kabilah dan akidah (2000: 16).

“Penguncian” Al-Quran

Dari pemaparan di atas, saya hendak menegaskan bahwa arti jihad adalah

perjuangan bukan peperangan. Ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan

konteksnya. Qital hanyalah salah satu corak dari model jihad yang beragam.

Sementara ―penguncian‖ jihad pada makna peperangan merupakan modus

penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.

Adapun mengenai ayat-ayat qital, sebagaimana menurut Gamal Al-Banna di atas,

merupakan ayat-ayat ―situasional‖. Maksudnya adalah ayat-ayat sejenis ini tidak bisa

Page 33: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

33 | P a g e

dipisahkan dari situasi: sebab-musabab dan tujuan yang melahirkannya. Perang

adalah keterpaksaan untuk mempertahankan diri (difâ‘ an al-nafs), bukan

kebringasan untuk melakukan penyerangan (al-hujûm).

Justeru perang pada era Rasulullah dilegalkan untuk mempertahankan prinsip

kebebasan beragama (hurriyah al-‗aqîdah) yang dirongrong oleh kekuatan

bersenjata. Bukan seperti dalih para kawanan teroris saat ini yang menggunakan

jihad untuk memberhangus prinsip kebebasan beragama ataupun usaha untuk

menebarkan bibit-bibit kebencian.

Sudah seharusnya kita melakukan pembebasan untuk melawan modus

―penguncian‖ yang terjadi pada sebagian besar doktrin agama Islam khususnya

doktrin jihad ini. Lebih-lebih lagi, doktrin ini sering dijadikan sebagai kekuatan dan

penghalalan ideologi terorisme. Adapun ―mengunci‖ jihad hanya pada makna

peperangan, ataupun melayangkan sederet cap; kafir, musyrik, murtad, dan sesat

secara membabi-buta hanya pada golongan non-muslim atau pada musuh

politiknya, merupakan penafsiran yang sewenang-wenang atas nama Tuhan dan Al-

Quran. Tuhan tidak butuh jihad ataupun qital agar Dia menjadi Mahakuasa. Pun Al-

Quran adalah ―kitab terbuka‖. Siapapun berhak untuk memahami dan menafsirkan

Al-Quran—tidak hanya sekedar membaca dan melagukannya saja. Namun tidak

seorang pun memiliki hak dan sedikitpun otoritas untuk ―mengunci‖ makna Al-Quran

hanya pada penafsirannya saja.

(Source: http://islamlib.com/id/artikel/memaknai-kembali-jihad/)

Page 34: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

34 | P a g e

KEKERASAN DALAM ISLAM

Banyak ayat-ayat Qur‘an yang memerlukan penjelasan yang jelas.

―Bunuh kafir di mana pun kau menemukanya.‖ (2:191)

―Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata

bagi Allâh saja.‖ (2:193)

Bagaimana para Muslim menerangkan ayat2 ini? Bukankah ayat2 ini, dan ayat2

serupa lainnya dalam Qur‘an, yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan di

dalam dunia Islam? Kebanyakan agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu

yang penuh kekerasan. Tapi Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan

tindakan kekerasan dalam buku sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang

membutuhkan jawaban.

——————–

Kalimat-kalimat di atas adalah sebuah pertanyaan yang terselip dalam bab 7 buku

kacangan yang menghina Nabi Muhammad SAW, karangan Ali Sina yang mengaku

pernah beragama Islam.

Jim Ball seorang penyiar radio di Sidney menulis: ―Ali Sina adalah murtadin Iran

yang memelopori website faithfreedom.org. Bersama-sama dengan murtadin2

lainnya seperti Ibn Warraq, Sina adalah ujung tombak gerakan murtadin pertama

dalam sejarah Islam. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam sepuluh sampai lima belas

tahun terakhir karena imigrasi Muslim ke tanah Barat dan perkembangan teknologi

internet…. Tidak berlebihan untuk mengatakan jika orang2 seperti Ali Sina, Ibn

Warraq dan Wafa Sultan selamat dari ancaman mati bagi yang meninggalkan Islam,

maka Islam tidak akan tampak sama lagi.‖

——————-

Sebagai orang awam saat saya membaca atau mendengar ada ayat Al-Quran

bermakna ―Bunuh kafir di mana pun kau menemukanya.‖ (2:191) spontan saya akan

Page 35: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

35 | P a g e

menanyakan dalam hati ―apa konteksnya?‖. Perkara membunuh bukan perkara

kecil, ini masalah menghilangkan nyawa seseorang, masalah mencabut hak hidup

yang diberikan Tuhan kepada Makhluk dan sekarang dikenal sebagai Hak Asasi.

Saya paham bahwa sebagian ayat Al-Quran adalah sebuah dasar hukum, namun

sebuah dasar hukum akan menjadi cacat jika tidak memiliki landasan dan tujuan, ini

akan menyalahi tujuan dari hukum itu sendiri.

Karena saya bukan orang yang cukup terpelajar mengenai Al-Quran, maka tidak ada

jalan lain kecuali membuka Al-Quran dan membaca ayat tersebut.

Dan di Al-Quranlah saya menemukan jawaban.

(2:190). Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang melampaui batas.

(2:191). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah

mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar

bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil

Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka

memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi

orang-orang kafir.

(2:192). Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[2.190] And fight in the way of Allah with those who fight with you, and do not exceed

the limits, surely Allah does not love those who exceed the limits.

[2.191] And kill them wherever you find them, and drive them out from whence they

drove you out, and persecution is severer than slaughter, and do not fight with them

at the Sacred Mosque until they fight with you in it, but if they do fight you, then slay

them; such is the recompense of the unbelievers.

Page 36: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

36 | P a g e

[2.192] But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.

Saya kira jika saja Ali Sina itu pernah membaca Al-Quran, bukan hanya mengutip

potongan-potongan ayat hingga kehilangan konteksnya, maka ia tidak akan

bertanya-tanya mengapa ada ayat seperti ini dalam Al-Quran.

Kita bisa melihat bahwa semangat perang pada 2 ayat di atas adalah semangat

―membela diri‖.

- ―perangilah di jalan Allah‖ orang-orang yang memerangi kamu. (Al-Quran belum

menggunakan istilah ―kafir‖ di sini sebagaimana Ali Sina sebutkan)

- bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.

- usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.

- dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka

memerangi kamu di tempat itu.

- Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Barulah Al-

Quran kemudian menggunakan istilah ―kafir‖ di bagian akhir ayat)

Terjawab sudah pertanyaan saya mengenai konteks ayat tersebut.

Saya kira tidak perlu lagi dijelaskan mengenai hukum sebab-akibat.

Namun mengenai kata ―bunuhlah‖ ini tampaknya perlu diperjelas, agar orang

semacam Ali Sina ini dapat informasi yang lebih seimbang mengenai potongan-

potongan ayat yang entah dia kutip dari mana.

Dalam situasi perang fisik dimanapun dan karena apapun, kata ―membunuh atau

dibunuh‖ bukan sebuah idiom yang ganjil, dan kita tentu paham senjata dalam

peperangan itu digunakan untuk apa. Namun jika meneliti ayat-ayat di atas, ada

rambu-rambu yang kiranya perlu pula diperhatikan, dan jika kita hilangkan memang

akan menampilkan sebuah semangat barbar dan kekejaman. Sebuah image yang

sengaja ingin ditampilkan oleh Ali Sina.

Rambu-rambu itu adalah:

Page 37: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

37 | P a g e

- janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang melampaui batas;

- jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

- and do not exceed the limits, surely Allah does not love those who exceed the

limits.

- But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.

Pertanyaan Ali Sina akan lebih obyektif jika yang ditanyakan adalah sampai

sejauhmana batasan-batasan itu. Itu sebuah pertanyaan yang perlu referensi lain

untuk menjawabnya, dan karena Ali Sina tidak menanyakan itu saya pun tidak perlu

menjawabnya. Jika saja Ali Sina pernah membaca Al-Quran, mungkin dia akan

menanyakan hal itu.

Makna ayat ―jika mereka berhenti (dari menyerang kamu), maka sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‖. Adalah sebuah isyarat halus yang

cukup mudah untuk dipahami. Bahwa jika mereka berhenti menyerang, maka sifat

pengampun dan penyayang adalah sebuah misi penutup dari akhir peperangan itu.

Ini semua tercakup dalam ayat sebelumnya, yaitu ―perangilah di jalan Allah‖, jadi

bukan hanya perang defensif semata, yang jika sipenyerang sudah berhenti

menyerang maka terjadi pembalasan dendam dengan menyerang balik secara

agresif.

———-

Mari ke ayat selanjutnya.

(2:193). Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu

hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka

tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

[2.193] And fight with them until there is no persecution, and religion should be only

for Allah, but if they desist, then there should be no hostility except against the

oppressors.

Page 38: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

38 | P a g e

Kenapa Ali Sina memotong ayat itu sehingga hanya menjadi:

―Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata

bagi Allah saja.‖ (2:193)

Padahal potongan ayat selanjutnya sangat penting, dan akan menjawab pertanyaan

saya tentang konteks ayat tersebut.

Potongan ayat yang dibuang oleh Ali Sina itu berbunyi:

―… Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi),

kecuali terhadap orang-orang yang zalim‖

―… but if they desist, then there should be no hostility except against the

oppressors‖.

————————————

Makna lain yang saya tangkap dari ayat ini:

‖ Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi‖

Terserah Ali Sina ingin mengartikan apa kata ―Fitnah‖, namun sudah jelas bahwa

perang ini memiliki tujuan, bukan hanya sekadar ingin memuaskan nafsu bunuh

membunuh yang absurd.

―….dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah‖

Ini akidah dasar Umat Islam, ketaatan, agama, religion itu hanya kepada Allah,

bukan kepada komandan perang, presiden atau siapapun. Jika diawal disinggung

perintah ―perangilah di jalan Allah‖ maka perang itu sendiri merupakan ketaatan,

memiliki nilai lebih, yaitu ibadah, yang melandasi upaya untuk ―membela diri‖. Jadi

jika perang sudah usai, entah karena ―Fitnah‖ telah lenyap, atau karena musuh

berhenti menyerang, maka perintah lain yang tidak sejiwa dengan perintah Allah

pada ayat-ayat ini menjadi ―tidak bernilai ibadah‖ lagi. Entah itu perintah untuk terus

melakukan serangan dari komandan perang demi hasrat menang atau ingin

menjajah dlsb, atau perintah lainnya.

Page 39: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

39 | P a g e

Jika ―….dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah‖ diartikan bahwa perang itu

harus dilakukan hingga hanya tinggal ada satu agama, yaitu Islam, maka

pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang ganjil, dan tidak nyambung dan

bertolak belakang dengan kelanjutan ayat yang berbunyi ―Jika mereka berhenti (dari

memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang

yang zalim‖

Kelanjutan ayat ini, yaitu ―Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak

ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim‖ menjadi penutup

yang sangat manis.

Sebuah kalimat pasif, yang justru menjelaskan dari mana permusuhan itu datang

dan menjelaskan, bahwa orang-orang Zalim dikecualikan dari ketentuan ini.

Kenapa Ali Sina tidak melihat ada pembedaan istilah di sini.

Jika di akhir ayat 2:191 menggunakan istilah ―kafir‖ maka di sini menggunakan istilah

―Zalim‖. Saya kira jika Ali Sina pernah beragama Islam, maka dia tahu apa beda

makna istilah ―Kafir‖ dan ―Zalim‖.

———————————–

Kebanyakan agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu yang penuh

kekerasan. Tapi Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan tindakan

kekerasan dalam buku sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang

membutuhkan jawaban.

———————————–

Sekarang sudah jelas konteks ayat-ayat tersebut, menurut saya disana tidak

diajarkan tindak kekerasan. Jika membela diri (sekalipun dengan membunuh dalam

peperangan) dikategorikan sebagai kekerasan (dalam pengertian sebuah tindakan

yang salah menurut Ali Sina) maka saya justru mempertanyakan standard keadilan

seperti apa yang Ali Sina tawarkan.

Mengenai pernyataan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan

kekerasan dalam buku sucinya, sudah saya jelaskan bahwa yang di maksud

sebagai ―kekerasan‖ oleh Ali Sina ini adalah dalam rangka membela diri akibat

Page 40: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

40 | P a g e

diserang dan diperangi, dan saya tidak pernah mempelajari kitab suci agama lain,

sehingga saya tidak dapat mengetahui apakah disana di ajarkan kekerasan, atau

apalah.

Kontradiksi lainnya adalah jika benar pernyataan Ali Sina bahwa Al-Quran satu-

satunya yang mengajarkan ―kekerasan‖ (yang terbukti sebagai aksi membela diri),

maka apa yang di ajarkan buku-buku suci agama lain saat umat mereka diserang

dan diperangi???

Jika membela diri dipandang sebagai kekerasan, maka arti dari kontradiksi itu justru

diluar nalar, apakah kita akan menyerahkan diri kita begitu saja untuk dibunuh oleh

pihak-pihak yang menyerang dan memerangi kita??? Itukah yang diajarkan buku-

buku suci agama lain???

Sukurlah Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menyerang tanpa alasan, jika

tidak, mungkin sudah lama tak ada lagi agama lain dimuka bumi ini selain Islam.

Karena ternyata umat selain Islam tidak diajarkan membela diri saat diperangi,

karena membela diri akibat diserang dan diperangi adalah sebuah ―kekerasan‖.

Page 41: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

41 | P a g e

ISLAM MENENTANG TINDAK KEKERASAN

Oleh: Sukron Kamil

Penulis adalah Koordinator Kajian Dialog antar Budaya dan Demokrasi CSRC UIN Jakarta

Salah satu yang merusak reputasi Indonesia saat ini adalah tindak

kekerasan yang marak dilakukan sebagian bangsa kita. Indonesia karenanya masih

terpuruk, bukan saja dari sisi ekonomi dan politik --meski dalam sebagian kecil

sudah ada perbaikan-- tetapi juga etis. Banyak kasus yang menunjukkan hal itu. Kita

bisa menyebutnya dari mulai kasus kerusuhan sadis antar etnis di Kalimantan Barat,

kasus Ninja di Jawa Timur, Insiden Trisakti dan Semanggi, kasus Ketapang, perang

antar agama di Maluku dan kerusuhan agama Nusa Tengara Timur, Kasus Doulos,

kasus Aceh yang baru berakhir, clash antara warga di Salemba dan belakangan di

kecamatan Surodadi di Tegal, pernah terjadi penerapan hukuman bakar oleh

masyarakat tanpa melalui proses peradilan terhadap mereka yang diduga

melakukan kejahatan seperti maling kecil, penyerangan terhadap warga dan markas

Ahmadiyah dan Kristiani, demonstrasi yang berakhir rusuh, hingga pemboman yang

dilakukan oleh kaum teroris seperti peristiwa Bom Bali dan terakhir JW Mariot di

Jakarta. Tentu saja kita tidak menutup mata sebagian tindak kekerasan itu sebagai

bentuk ketidakpercayaan rakyat yang sangat akut terhadap penegak hukum dan

aparat keamanan, dan sebagiannya lagi karena faktor sosial lainnya. Akan tetapi,

apapun alasannya, dilihat dari sudut etika kemanusiaan, tindakan itu jelas

merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan agama. Tampaknya,

sebagian bangsa kita memperlihatkan dirinya sedang sakit sehingga tidak lagi

mengenal esensi kemanusiaan, layaknya manusia pra sajarah yang diliputi suasana

tribalisme yang belum mengenal hukum dan penuh dendam. Karena itu, tulisan ini

akan melihat tindak kekerasan dalam perspektif Islam, agama yang dianut mayoritas

rakyat.

Adalah QS. 21:107 ("Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk

menjadi rahmat bagi semesta alam") ayat masyhur yang menjelaskan kepada kita

Page 42: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

42 | P a g e

bahwa Islam menentang tindak kekerasan. Kata Islam sendiri diambil dari kata

salam yang berarti perdamaian Kedatangan Islam -seperti yang diperlihatkan

peristiwa Isra Mi'raj di mana Nabi salat di tempat ibadah dua agama sebelum Islam

(Masjid al-Aqsha)-bukanlah ancaman bagi agama sebelumnya atau etnis tertentu.

Islam adalah agama yang menganjurkan hidup berdampingan dengan pemeluk

agama lain dan melihat bahwa semua manusia sama. Tidak ada kelebihan seorang

terhadap yang lain kecuali kesalehan individu dan sosialnya. Dalam Islam, manusia

memiliki harkat dan martabat yang jauh di atas makhluk lainnya. Manusia dalam

perspektif Islam adalah khalifah Tuhan yang karena dianugerahi-Nya ilmu (akal) dan

kecenderungan pada kebenaran (hanif) bertugas untuk "bekerjasama" dengan

Tuhan dalam membangun bumi (QS. 2:30 dan 17:70), bukan merusaknya. Karena

kedudukannya itu, manusia di beri hak kebebasan untuk melakukan "trial and eror"

dengan keharusan tanggungjawab dan resikonya, baik di dunia atau di akhirat. Dari

sinilah Islam juga memperkenalakan lembaga hukum dengan sperangkat aturannya.

Dalam QS. 5:8 misalanya, di jelaskan bahwa jangan sampai kebencian kita terhadap

seseorang atau kelompok tertentu membuat kita tidak berlaku adil dan

memperlakukannya tidak sebagai manusia. Karena kedudukannya yang tinggi itulah,

asas praduga tak bersalah dijunjung tinggi dalam Islam. Meskipun seseorang telah

tertuduh melakukan tindak perdata atau pidana tertentu, tetapi mesti dibuktikan

terlebih dahulu lewat saksi atau bukti lainnya di pengadilan. Pada kasus tertentu

seperti zina bahkan harus ada saksi empat orang terlebih dahulu. Bila sudah cukup

bukti, barulah dilangsungkan hukuman atas perbuatannya yang berprilaku tidak

sebagai manusia tetapi binatang. Namun, hukumannya pun harus sesuai dengan

nilai kemanusiaan dan tingkat kejahatan yang diperbuat seorang pelaku.

Islam memang mengenal peperangan. Tetapi peperangan yang

diperbolehkan Islam adalah peprangan dalam arti pertahanan (pembelaaan diri)

bukan penyerangan (agresi). Nabi Muhammad sendiri melakukan berbagai

peperangannya dalam posisi bertahan. Kecuali pada perang terakhir kali (Tabuk)

yang kemudian dilanjutkan para sahabatnya ketika beliau sudah wafat. Itu pun

karena sebelumnya pihak Bizantium melakukan beberapa kali serangan kepada

Nabi dan casus belli peperangan itu adalah dibunuhnya utusan Nabi. Jadi bukan

karena melakukan tindak kekerasan an sikh tetapi untuk kepentingan nilai

Page 43: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

43 | P a g e

kemanusiaan dan itu sebagai jalan terkahir kali, karena jalan damai tidak lagi

dimungkinkan, di mana pihak Bizantium tidak menunjukkan tanda-tanda ingin

menyelesaikan pertikaian dengan jalan damai. Artinya, dalam Islam jalan damai

adalah prioritas. Islam dalam hal ini memberikan izin melakukan tindak kekrasan

kepada mereka teraniaya dalam bentuk perang untuk mendapatkan kebehagiaan

dan hak asasinya seperti rasa aman dan kebebasan serta untuk menegakkan

keadilan.

Perang dalam Islam bukanlah untuk penyebaran agama karena dalam Islam setiap

orang diberikan kebebasan untuk memeluk agama bahkan tidak beragama

sekalipun, asalkan tidak melakukan tindak pengacauan pada masyarakat.

Penyebaran agama, sebagaimana yang dilakukan Nabi dan pengikutnya pada masa

klasik, mesti dengan cara-cara simpatik dan damai. Kendati beberepa kali Nabi

mendapatkan cacian, makian, penghinaan dengan dilempari kotoran hewan atau air

ludah, penyiksaan, pengasingan selama tiga tahun, bahkan di Thaif Nabi dilempari

hingga beberapa bagian tubuhnya berdarah, tetapi beliau tetap tidak membalasnya

dengan kekerasan. Nabi justru mebalas mereka yang menentang dengan do'a: "Ya

Allah ampuni mereka karena mereka tidak mengetahui". Sikap Nabi yang pemaaf itu

terus dipertahankan hingga Nabi dalam keadaan sudah kuat sekalipun. Dalam

penaklukan Mekah misalnya, Nabi melakukan pengampunan umum terhadap semua

yang memusuhi dan memeranginya dan tidak ada satu pun tetes darah yang keluar.

Sikap itu sama dengan konsep Golden Rule-nya Isa al-Masih "Jika mereka tampar

pipi kananmu berilah pipi kirimu". Karena itulah, al-Manfaluthi, seorang pujangga

Mesir terkenal, berpendapat bahwa mukjizat terbesar Nabi adalah kesabaran,

tawadhu', kejujuran, keikhlasan, toleransi, cita-citanya yang tinggi dan tekadnya

yang besar sehingga tidak mengenal putus asa.

Ajaran Islam tampaknya begitu menekankan sunnatullah (kausalitas alam)

dalam soal kekerasan. Islam agaknya ingin pemeluknya menyadari bahwa tindak

kekerasan akan melahirkan tindak kekerasan balasan. Sebab itu, Islam justru

mengajarkan kesabaran dan ihsan. Ihsan berarti berbuat baik kepada orang yang

berbuat buruk. Dalam Islam menuntut balas seperti dalam kasus pembunuhan

walaupun harus lewat pengadilan memang dibolehkan. Tetapi pemaafan jauh lebih

dicintai Tuhan daripada penuntutan balas. Demikian kata Alquran. Pengendalian

Page 44: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

44 | P a g e

nafsu dalam kontek ini menjadi unsur kunci dalam tegaknya masyrakat penuh damai

seraya sambil tetap menegakkan hukum secar adil.

Lebih jauh, jangankan dalam situsi normal yang damai, dalam keadaan

perang sekalipun, sebagaimana hadis riwayat Muslim, tindak kekerasan yang

diharamkan dalam Islam bukan saja seperti membunuh anak-anak, perempuan,

orang-orang jompo, orang yang mencurahkan hidupnya untuk pelayanan

peribadatan, tetapi juga tindak kekarasan seperti mengganggu tanaman atau pohon

terutama yang sedang berbuah, dengan membakar misalnya. Manusia dituntut

untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan. Artinya, mereka

hendaknya tidak melakukan tindak kekerasan atau pengrusakan terhadap alam,

karena setiap pengrusakan terhadap alam merupakan pengrusakan terhadap

dirinya. Semuanya adalah umat Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan

baik. Seperti yang ditegaskan Quran (6:38) bahwa binatang malata dan burung-

burung pun adalah "umat" yang sering bertasbih kepada Allah sebagaimana

manusia. Sehingga, semuanya, kata al-Qurthubi (w. 671) dalam tafsirnya, tidak

boleh diperlakukan secara aniaya. Meskipun manusia hubungannya dengan alam itu

sebagai khalifah, tetapi kekhalifahan dimaksud adalah kekhalifahan yang

mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta bimbingan agar setiap makhluk

mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam beberapa hadis dijelaskan bahwa cukuplah seseorang masuk Neraka

karena membiarkan seekor hewan kelaparan atau melakukan tindak kekerasan

terhadapnya hingga mati. Tetapi sebaliknya, dalam hadis Bukhari dijelaskan bahwa

setiap bagian dalam tubuh seekor anjing yang kehausan kemudian basah karena

diberi minum terdapat pahala yang bisa mengantarkan seseorang masuk Surga.

Dalam hadis riwayat Daud bahkan dijelaskan bahwa suatu ketika Nabi pernah

didatangi seekor unta yang mengadu kepadanya sambil meneteskan air mata. Nabi

lalu mengusap tetasan air mata unta itu dan bertanya: "Siapa pemilik unta ini?". Tak

lama kemudian datanglah seorang Anshar. Katanya milikku. Sabda Nabi: "Tidakkkah

Engkau Takut kepada Allah dengan membebani hewan yang Allah telah

anugerahkan kepadamu ini. Ia mengadu kepadaku bahwa Engkau membuatnya

lapar dan lelah".

Page 45: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

45 | P a g e

Penjelasan di atas menunjukkan kepada kita betapa Islam melarang tindak

kekerasan atau pengrusakan kepada tumbuhan, hewan, apalagi manusia.

Semuanya mesti dihormati dan dekati dengan penuh kasih karena cinta kasih

merupakan salah satu sebab lestarinya alam. Dalam Islam jalan damai adalah jalan

yang mesti ditempuh semua orang. Tidak semua yang kita inginkan bisa terpenuhi

seratus persen karena keterbatasan kita Wallahu a'lam Bissawab.

Page 46: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

46 | P a g e

ISLAM DAN PERTANYAAN SEPUTAR KEKERASAN

Al-Serat

Seyyed Hossein Nasr

Vol. XIII, No. 2

Walaupun kekerasan ada di berbagai belahan dunia dari Irlandia sampai Libanon

hingga wilayah Pasifik dan melibatkan banyak agama mulai Kristen sampai Hindu,

tetapi bagi dunia Barat, kekerasan lebih diasosiasikan dengan Islam dibandingkan

agama lain. Pendudukan kaum Muslim atas Spanyol, Perang Salib – yang tidak

dimulai oleh Muslim – dan dominasi dinasti Ottoman atas Eropa Timur adalah

catatan sejarah yang menghubungkan Islam dengan kekuatan dan kekuasaan.

Selain itu, pergolakan dalam beberapa dekade terakhir di Timur Tengah, terutama

pergerakan Islam dan masalah-masalah dunia Muslim yang diluar kendali hanya

memperkuat pandangan Barat bahwa Islam terkait dengan kekerasan.

Untuk memahami Islam yang sesungguhnya dan kenyataan dibalik penonjolan

bahwa Islam mendukung kekerasan, kita perlu untuk menganalisa pertanyaan ini

secara jernih mengingat kata islam sendiri berarti kedamaian dan kekerasan dalam

sejarah Islam tidaklah lebih banyak daripada yang ada di peradaban lainnya,

khususnya peradaban Barat. Bagaimanapun, yang penting adalah prinsip dan nilai

yang terkandung dalam ajaran Islam, bukan kejadian-kejadian yang terjadi

sepanjang perkembangan Islam dalam sejarah umat manusia

Pertama-tama, kita perlu mendefinisikan apa yang kita maksud dengan kekerasan.

Ada banyak definisi yang bisa kita ambil, seperti ‗penggunaan kekuatan yang intens‘,

‗tindakan fisik yang kasar atau mencelakakan orang lain‘, ‗penggunaan kekuatan

secara tidak adil atau tidak beralasan terutama yang melanggar hak-hak orang lain‘,

‗tindakan berapi-api yang kasar atau melewati batas‘ dan juga ‗cidera yang

Page 47: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

47 | P a g e

diakibatkan pemutarbalikan makna atau fakta‘. Jika definisi-definisi ini dapat

diterima, maka pertanyaannya adalah bagaimana Islam berhubungan dengan

definisi-definisi ini. Sepanjang menyangkut penggunaan ‗kekuatan‘, Islam tidaklah

sepenuhnya menentangnya melainkan berupaya untuk mengendalikannya

berdasarkan petunjuk hukum Ilahi (al-shari‘a). Dalam dunia ini, kekuatan ada

dimana-mana, di alam maupun di lembaga masyarakat, antar manusia maupun di

dalam diri manusia.

Tujuan Islam adalah untuk menciptakan keseimbangan ditengah-tengah ketegangan

yang diakibatkan berbagai kekuatan. Konsep Islam mengenai keadilan itu sendiri

berhubungan dengan keseimbangan, kata keadilan (al-‘adl) dalam bahasa Arab

berkaitan etimologinya dengan kata keseimbangan (ta‘adul). Penggunaan kekuatan

berlandaskan syariah untuk mengembalikan keseimbangan yang hancur, dapat

diterima bahkan diperlukan, karena itu berarti menegakkan keadilan. Tidak

menggunakan kekuatan berarti menjadi mangsa kekuatan lain, yang akan

menambah ketidakseimbangan dan kekacauan dan akibatnya memperbesar

ketidakadilan. Cara menggunakan kekuatan bisa keras atau lembut tergantung pada

keadaan, tetapi dalam semua kasus, kekuatan hanya boleh digunakan untuk tujuan

menegakkan keseimbangan dan keselarasan dan bukan untuk alasan-alasan pribadi

atau golongan.

Dengan mengamini kekuasaan, Islam turut bertanggungjawab atas dunia yang

mana kekuatan adalah bagiannya. Tetapi sisi baiknya adalah adanya pembatasan

dalam penggunaan kekuatan dan meskipun terjadi peperangan, invasi dan

penyerangan, Islam dapat menciptakan gema kedamaian dan ketenangan yang

masih dapat dirasakan dalam dunia Islam tradisional. Kedamaian yang menyelimuti

halaman masjid atau taman, apakah itu di Marrakesh atau Lahore, bukanlah sesuatu

yang tidak disengaja tetapi merupakan hasil dari penggunaan kekuatan yang

dibatasi untuk menciptakan keselarasan yang terjadi dari adanya keseimbangan

kekuatan, baik yang alami, sosial maupun psikologis.

Mengenai makna kekerasan sebagai ‗tindakan fisik yang kasar atau berbahaya‘,

hukum Islam menentang semua penggunaan kekuatan seperti ini kecuali dalam

perang atau untuk menghukum kriminal sesuai syariah. Tetapi, meskipun dalam

perang, penyerangan terhadap wanita dan anak-anak tetap dilarang, seperti halnya

Page 48: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

48 | P a g e

penggunaan kekuatan terhadap warga sipil. Hanya prajurit di medan perang yang

harus dilawan dengan kekuatan dan hanya terhadap mereka, serangan fisik boleh

dilakukan. Kekuatan juga dapat digunakan untuk menghukum kriminal sebatas

mengikuti hukum syariah dan atas keputusan seorang hakim. Diluar konteks ini,

penggunakan kekuatan sama sekali dilarang.

Islam juga sama sekali menentang kekerasan dalam bentuk tindakan tidak adil

terhadap orang lain dan tindakan melawan hukum. Hukum Islam mengakui dan

menjamin hak-hak asasi manusia, bukan hanya kaum Muslim tetapi juga penganut

agama lain yang disebut ahli kitab. Kalaupun terjadi pelanggaran dalam masyarakat

Islam, itu bukan disebabkan oleh ajaran Islam tetapi karena ketidaksempurnaan

manusia yang menerima Pesan Ilahi. Manusia memiliki kekurangan dan tidak ada

satupun agama yang dapat menghilangkan kekurangan ini sepenuhnya. Yang luar

biasa adalah, walaupun kekerasan ada dalam masyarakat Muslim, dengan

banyaknya faktor-faktor negatif sosial ekonomi yang diperburuk dengan datangnya

kolonialisme, jumlah penduduk yang terlalu banyak, industrialisasi, modernisasi yang

mengikis budaya, dan sekian banyak unsur lainnya, tindakan kekerasan berupa

perlakuan yang tidak adil terhadap orang lain, lebih sedikit terjadi di negara-negara

Islam umumnya daripada negara-negara Barat yang maju.

Dalam maknanya sebagai ‗tindakan berapi-api yang kasar atau melewati batas‘,

maka Islam sama sekali menentang hal ini. Dasar pandangan Islam adalah

moderasi dan prinsip-prinsip moralnya adalah menghindari ekstriminitas dan

berpegang pada tujuan yang mulia. Tidak ada yang lebih asing dalam pandangan

Islam selain tindakan yang berapi-api apalagi yang melewati batas. Meskipun harus

menggunakan kekuatan, harus ada batasannya.

Islam juga menentang kekerasan dalam bentuk ‗pemutarbalikan makna atau fakta

yang mengakibatkan cidera terhadap orang lain‘. Dasar Islam adalah Kebenaran

yang menyelamatkan dan keyakinannya diungkapkan dengan pengucapan, la ilaha

illa ‗Llah (tiada allah selain Allah). Penyelewengan dari kebenaran bertentangan

dengan dasar ajaran agama meskipun tidak ada orang yang terpengaruh oleh itu.

Berapa banyak lagi kerusakan yang akan terjadi akibat penyelewengan ajaran

Qur‘an dan tradisi Nabi!

Page 49: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

49 | P a g e

Kesimpulan yang harus diperhatikan yaitu karena Islam menerima kehidupan secara

keseluruhan dan tidak membedakan antara yang suci dan duniawi, maka ia juga

menerima kekuatan dan kekuasaan sebagai karakter dunia ini. Tetapi Islam, dalam

mengendalikan penggunaan kekuatan dengan tujuan untuk menciptakan

keseimbangan dan keselarasan, membatasi dan menentang penggunaan kekerasan

sebagai pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan ciptaannya seperti yang ditetapkan

oleh hukum Ilahi. Tujuan Islam adalah untuk mencapai kedamaian tetapi kedamaian

ini hanya dapat dialami melalui usaha (jihad) dan penggunaan kekuatan, dimulai dari

mendisiplinkan diri sendiri lalu mengarah pada hidup di dunia menurut perintah

syariah. Islam berusaha agar manusia dapat hidup secara ideal dan tidak

berlawanan dengan itu. Islam memaafkan penggunaan kekuatan hanya sebatas

untuk melawan pengaruh yang membuat seseorang berlawanan dengan nuraninya.

Penggunaan kekuatan hanya dapat dimaafkan bila ditujukan untuk memulihkan

keadaan dan kekacauan yang terjadi akibat hilangnya keseimbangan. Tetapi

penggunaan kekuatan seperti itu bukanlah kekerasan seperti yang kita kenal

biasanya. Itu adalah desakan kehendak manusia dan usaha untuk menegaskan

kehendak Tuhan dan dalam rangka menyelaraskan keinginan manusia dengan

keinginan Tuhan. Dari penyerahan diri ini (taslim) muncul kedamaian (salam),

karenanya islam, dan hanya melalui islam seperti ini, kekerasan dan kebinatangan

yang ada dalam kemerosotan diri manusia dapat dikendalikan agar manusia hidup

damai dengan dirinya dan dunia karena ia hidup damai dengan Tuhan.

Page 50: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

50 | P a g e

Akar-akar Kekerasan Dalam Islam

Oleh Neng Dara Affiah

20/01/2002

Padahal Islam, menurut hemat saya, bukanlah ajaran agama yang rumit, yang jauh

di langit sana, tetapi ia agama nurani yang merupakan bagian dari ruh detak nafas

kita. Diantara ajaran tersebut, yang nampaknya sepele, tetapi sangat mendasar

adalah bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri untuk dapat menebar

kedamaian kepada sesama dan lingkungan hidup kita. Ala‘ bidzikrillahi tathmainnal

qulub. Wallahu A‘lam!

Pada minggu-minggu terakhir ini, dua organisasi besar Islam, NU dan

Muhammadiyah, mengupayakan suatu rekonsiliasi, setelah sebelumnya, akibat

perseteruan politik antara Amin Rais dan Abdurrahman Wahid, terjadi ketegangan

yang berbuntut pada perusakan sarana-sarana publik. Menuju ke arah perdamaian

pun telah diupayakan oleh dua kelompok agama yang bertikai, Islam dan Kristen,

yang terjadi di Poso, Ambon dan beberapa daerah lainnya.

Pertanyaan yang tersisa adalah, apakah upaya perdamaian tersebut benar-benar

menuju perdamaian sejati atau masih menyisihkan trauma pada masing-masing

pihak, sehingga sewaktu-waktu dapat meletup kembali? Tulisan ini mencoba

melacak akar kekerasan yang terjadi dalam sejarah panjang umat Islam, yang

disadari maupun tidak, memiliki rangkaian benang merah dengan berbagai peristiwa

kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.

Secara konsepsional, doktrin Islam yang utama adalah penekanannya pada

ajaran perdamaian. Kata Islam sendiri bermakna damai, aman, selamat dan

penyerahan diri. Dalam ritual salat, yang merupakan kewajiban utama dalam Islam,

ikrar terakhir yang diucapkan adalah memberikan keselamatan dan kedamaian bagi

sesama umat manusia. Sebuah simbol bahwa muara akhir dari ajaran ini adalah

perdamaian.

Page 51: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

51 | P a g e

Tetapi dalam sejarahnya, konsepsi di atas tidak selalu seiring dengan perjalanan

umat Islam. Pada awal-awal lahirnya Islam, tidak kurang dari enam kali peperangan

diikuti oleh Nabi, kendati dengan tujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi,

kesetaraan manusia dan bertahan dari penyerangan. Hal ini didukung oleh al-Quran

4:75: ―Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang

lemah, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo‘a: Ya Tuhan

Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan

berilah kami pelindung dan pertolongan dari-Mu!‖ serta pada ayat: ―Dan perangilah

di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu

melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampaui batas‖.

Demikian pula pada masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali

bin Abi Thalib. Peperangan yang dilakukan oleh mereka umumnya bermotifkan

ekonomi, seperti penumpasan terhadap kelompok pembangkang yang enggan

membayar zakat di masa Abu Bakar; pelebaran wilayah Islam, seperti yang terjadi

pada masa Umar bin Khattab; dan perebutan kekuasaan seperti yang terjadi pada

Usman dan Ali.

Disebutkan dalam sejarah, sepeninggal Nabi Muhammad, tak kurang dari 70.000

orang Islam mati terbunuh dalam medan peperangan. Bahkan dua khalifah yang

terakhir, yakni Usman dan Ali terbunuh secara mengenaskan dalam suatu peristiwa

peperangan. Ahmad Amin menyebut peperangan besar dalam sejarah umat Islam

ini sebagai fitnah kehidupan yang paling besar (al-fitnah al-Kubra).

Berbagai bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni

pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak

hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan intelektual.

Kekerasan intelektual diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa

pemikir yang dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada

Ghaylan al-Dimasyqi dan Al-Ja‘d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan

dalam masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy)

sebagaimana yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin

Page 52: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

52 | P a g e

Abi Thalib sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari

umat Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).

Kekerasan pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah,

tepatnya dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari

tubuhnya, dan kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua

yang tahu masa kecil Husain dengan gusar berkata: ―Saya pernah melihat wajah itu

diciumi oleh Rasulullah‖. Peristiwa ini disebut sebagai ―tragedi Karbala‖, sebuah

momentum perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64

Hijriah.

Demikian halnya pada masa Dinasti Abbasiyah. Akbar S Ahmed menggambarkan

upaya kudeta militer Dinasti Abbasiyah terhadap Dinasti Umayyah sebagai berikut:

―Sekali waktu Abdullah, seorang Jendral Abbasiyah mengundang 8 orang pemimpin

Umayyah untuk makan malam pada musim panas bulan Juni tahun 750 M di

rumahnya yang terletak di Jaffa. Ketika para tamu sedang makan, mereka ditangkap

oleh para tentara. Setelah para tentara menikam semua pimpinan Umayyah

tersebut, para pelayan menggelar tikar di atas tubuh mereka yang masih

menggeliat-geliat dan para tamu lainnya melanjutkan makan malam sambil bersuka

ria.‖ (Discovering of Islam).

Menjelang keruntuhan kekuasaan Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah yang

terbentang dari wilayah Afrika dan seluruh jazirah Arab itu, tentara Kristen dari Eropa

Barat menyerang dua dinasti Islam tersebut. Dengan misi perang suci untuk

menaklukkan orang-orang ―kafir‖, umat Islam saat itu dihadapkan pada dua pilihan:

beralih ke agama Kristen atau keluar dari wilayah kekuasaannya (migrasi). Perang

ini kemudian diikuti oleh sebuah perang lain yang dalam sejarah dunia disebut

perang salib, sebuah perang yang menghabiskan waktu tidak kurang dari seratus

tahun dan menyisakan trauma pahit bagi Kristen dan Islam.

Pada awal-awal abad 20-an, beberapa wilayah yang berbasiskan umat Islam pun

terdesak oleh negara-negara kolonial dari Eropa. Misalnya, Indonesia oleh Belanda;

Mesir, Maroko, Aljazair oleh Perancis, Malasyia, Nigeria, oleh Inggris dan Libia oleh

Italia. Dan panggung sejarah umat Islam yang sempat penuh gemerlap itu terbenam

ke bawah dasar permukaan, bagai sebuah cerita yang ditutup secara tiba-tiba.

Page 53: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

53 | P a g e

^^^

Jejak-jejak kekerasan tersebut, disadari ataupun tidak, masih membekas pada diri

sebagian umat Islam sekarang. Sikap pemerintah Amerika terhadap wilayah-wilayah

muslim, seperti Afganistan, setelah tragedi pemboman gedung WTC tanggal 11

September 2001 lalu, mengusik kembali emosi sebagian umat Islam akan peristiwa

pahit yang dipaparkan di atas.

Akibat dari perasaan sakit tersebut, sebagian umat Islam mencari identitas

primordialnya dengan mengungkap kembali nilai-nilai keagamaan yang dimiliki.

Hanya saja, nilai-nilai tersebut cenderung hanya menonjolkan identitas yang berupa

atribut, tidak berupa ruh yang terekspresi dalam prilaku.

Dalam konteks Indonesia, atribut-atribut tersebut diekspresikan melalui maraknya

tuntutan pemberlakuan syariat Islam di beberapa daerah. Tuntutan itu tak jarang

dilakukan dengan cara-cara kekerasan, misalnya membentuk berbagai kelompok

komando jihad, menyerang tempat-tempat hiburan, memaksa perempuan

menggunakan pakaian tertentu, intoleran terhadap pemikiran lain, memutlakkan

kebenaran pemikiran kelompoknya dan anti dialog.

Cara-cara tersebut semakin menguatkan anggapan bahwa Islam, sebagaimana

yang ditulis Max Weber, adalah agama yang memiliki etos keprajuritan, tetapi tidak

memiliki etos kewiraswastaan. Penyebaran Islam bahkan sering difahami dengan

gambaran seseorang yang ―memegang al-Quran di tangan kanan dan pedang di

tangan kirinya‖.

Padahal Islam, menurut hemat saya, bukanlah ajaran agama yang rumit, yang jauh

di langit sana, tetapi ia agama nurani yang merupakan bagian dari ruh detak nafas

kita. Diantara ajaran tersebut, yang nampaknya sepele, tetapi sangat mendasar

adalah bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri untuk dapat menebar

kedamaian kepada sesama dan lingkungan hidup kita. Ala‘ bidzikrillahi tathmainnal

qulub. Wallahu A‘lam!

Page 54: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

54 | P a g e

Membekukan Ideologi Kekerasan

Sabtu, 04 September 2010

Oleh Hasibullah Satrawi

AKSI kekerasan masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini, termasuk di

dalamnya kekerasan atas nama agama yang dilakukan kelompok-kelompok ormas.

Dalam rapat gabungan Komisi II, III, dan VIII DPR, Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri melansir data aksi kekerasan

yang semakin menanjak tajam dan sangat mencemaskan. (Jawa Pos, 31/8).

Bahkan, Kapolri berpandangan, ormas-ormas yang bermasalah dan melakukan aksi

kekerasan seharusnya dibekukan. Walaupun, pembekuan tersebut diakui bukan

wewenang kepolisian. Pandangan Kapolri tentang pembekuan ormas itu sangat

menarik untuk diperhatikan.

Ideologi Kekerasan

Hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah, wacana pembekuan seharusnya

tidak ditujukan kepada sisi legalitas keorganisasian suatu ormas. Sebab,

pembekuan ormas secara legal-formal keorganisasian tidak akan menyelesaikan

masalah kekerasan. Hari ini dibekukan, besok atau lusa ormas tersebut bisa berdiri

kembali dengan nama yang berbeda. Tokoh dan anggotanya tetap.

Wacana pembekuan ormas bermasalah harus difokuskan kepada aksi kekerasan

yang selama ini kerap mereka lakukan. Sebab, aksi kekerasan inilah yang

sesungguhnya menjadi persoalan utama, bukan keberadaan mereka sebagai ormas.

Apalagi, bila kekerasan sudah menjadi ideologi resmi mereka.

Dalam sejarah panjang umat Islam, ada sebuah kelompok bernama Khawarij yang

menganut ideologi kekerasan. Kelompok ini muncul dalam lembaran awal sejarah

umat Islam dengan aksi-aksi yang penuh dengan darah.

Page 55: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

55 | P a g e

Sejumlah literatur keislaman kerap membahas kelompok Khawarij ini dengan "tinta

hitam". Bukan hanya karena Khawarij terlahir di awal-awal sejarah Islam. Lebih dari

itu, kekerasan yang dilakukan kelompok ini jauh lebih sadis ketimbang aksi

kekerasan yang dilakukan kelompok lain. Kelompok ini bahkan mengafirkan dan

membunuh para sahabat agung Nabi Muhammad SAW, seperti sahabat Ali bin Abi

Thalib.

Secara ritual dan keimanan, orang-orang Khawarij dikenal sebagai sosok yang alim,

bahkan hafal Alquran. Tapi, mengapa mereka justru kerap melakukan aksi

kekerasan, bahkan terhadap para sahabat Nabi Muhammad SAW yang mendapat

jaminan masuk surga?

Jawabannya adalah karena secara doktrinal, Islam juga membawa ajaran yang bisa

dikonotasikan sebagai ajaran kekerasan (seperti ajaran tentang perang, pengafiran,

dan sebagainya). Dalam studi yang pernah dilakukan Moderate Muslaim Socety

(MMS), setidaknya ada seratus sekian ayat dalam Alquran yang membahas

peperangan, pengafiran, dan aksi-aksi intoleran lain. Dan, ajaran-ajaran inilah yang

selama ini kerap dipahami secara salah oleh para teroris dan kalangan ekstremis-

anarkistis.

Namun, selain membawa ajaran-ajaran yang bisa dipahami sebagai ajaran

kekerasan seperti di atas, Islam membawa ajaran-ajaran anti kekerasan (seperti

pentingnya perdamaian, toleransi, rekonsiliasi, dan sebagainya). Dalam studi yang

pernah dilakukan MMS, jumlah ayat Alquran yang membahas ajaran anti kekerasan

mencapai tiga ratus lebih. Angka ini akan jauh lebih banyak bila ditambah dengan

Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan pentingnya perdamaian.

Umat Islam diwajibkan mengikuti semua ajaran yang termaktub dalam kitab suci

Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW, baik ajaran yang identik dengan

kekerasan ataupun ajaran yang anti kekerasan. Ini karena semuanya merupakan

satu-kesatuan dalam rangkaian ajaran Allah yang tak lain untuk kemaslahatan umat-

Nya.

Para ulama telah memberikan kaidah hukum Islam untuk bisa memahami dua

bentuk ajaran dalam Alquran dan Hadis yang tampak bertentangan (seperti ajaran

kekerasan dan anti kekerasan). Hingga umat Islam tidak terjebak pada pemilihan

Page 56: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

56 | P a g e

satu ajaran tertentu dan mengabaikan ajaran yang lain. Salah satunya adalah kaidah

hukum Islam yang dikenal dengan istilah, al-jam'u awla minat tarjih (menyelaraskan

dua ajaran yang tampak bertentangan jauh lebih utama ketimbang memilih ajaran

tertentu sekaligus mencampakkan ajaran yang lain).

Dalam konteks ajaran kekerasan dan anti kekerasan sebagaimana disebutkan di

atas, dua ajaran ini bisa diselaraskan dalam bentuk; memosisikan ajaran anti

kekerasan sebagai dasar utama ajaran Islam (al-ashlu) dan memosisikan ajaran

kekerasan hanya dalam konteks-konteks tertentu (al-far'u); mengedepankan ajaran

anti kekerasan ketimbang ajaran kekerasan.

Menundukkan Kekerasan

Karena itu, ajaran Islam yang cenderung dipahami membolehkan aksi kekerasan

harus ditafsir ulang dan ditundukkan kepada ajaran anti kekerasan yang merupakan

dasar utama ajaran Islam. Dengan demikian, ajaran yang identik dengan kekerasan

masih tetap berlaku dalam keadaan tertentu (seperti dalam perang untuk membela

diri). Tapi, dalam keadaan yang lain (seperti dalam keadaan damai), ajaran yang

bisa dipahami membolehkan kekerasan ditundukkan dan diselaraskan ke dalam

ajaran-ajaran yang anti kekerasan.

Mengapa ajaran anti kekerasan dijadikan dasar utama dan harus dikedepankan?

Setidaknya ada tiga alasan utama. Pertama, secara jumlah ajaran-ajaran yang

menyerukan anti kekerasan jauh lebih banyak ketimbang ajaran-ajaran yang bisa

dipahami membolehkan kekerasan.

Kedua, karena ajaran yang bisa dipahami membolehkan kekerasan dalam Alquran

dan Hadis senantiasa dibatasi oleh konteks-konteks tertentu, seperti dalam keadaan

membela diri, dalam keadaan dizalimi, dan sebagainya. Sedangkan ajaran yang

menganjurkan anti kekerasan senantiasa berlaku mutlak tanpa dibatasi oleh

konteks-konteks tertentu.

Ketiga, secara kebahasaan, ajaran yang terkait dengan kekerasan masih bisa

dimaknai dengan makna-makna yang lebih damai. Sebagai contoh, kekerasan yang

dilakukan FPI dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar kerap dilandaskan

Page 57: Jihad Bukan Kekejian

Jihad Bukan Kekejian 2010

57 | P a g e

pada Hadis yang kurang lebih berbunyi; ubahlah kemungkaran dengan

menggunakan tangan, lisan, dan hati. FPI kemudian memaknai tangan dalam Hadis

ini dengan kekerasan. Padahal, secara tekstual, Hadis di atas hanya menyebut

istilah tangan, bukan kekerasan. Tangan tidak selalu berarti kekerasan, terutama di

zaman sekarang. Sebab, tangan juga bisa digunakan untuk menulis, bersalaman,

membelai, dan sebagainya. (*)

*) Hasibullah Satrawi, alumni Al-Azhar, Kairo Mesir, dan peneliti pada Moderate

Muslim Society (MMS) Jakarta.