JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

10
PENGARUH SAFETY EQUIPMENT TERHADAP KESELAMATAN BERLAYAR Benny Agus Setiono, Mudiyanto Jurusan Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga, Program Diploma Pelayaran, Universitas Hang Tuah ABSTRAK Peristiwa kecelakaan beruntun yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat belakangan ini menjadi sebuah kejadian yang sangat menarik perhatian kita. Terlebih mengingat jumlah korban yang tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal Levina I dan KM. Senopati Nusantara yang menewaskan ratusan penumpangnya. Data yang ada pada Mahkamah Pelayaran, diketahui bahwa faktor manusia hanya menyumbang 20 persen saja dari angka kecelakaan. Sebanyak 30 persen disebabkan oleh human error, yang salah satunya adalah tiadanya jaminan keselamatan yang memadai. Syahbandar memang memegang semua izin-izin kapal, tapi kalau ada kerusakan nakhoda harus lapor ke syahbandar. Kalau semua dokumen kapal hidup syahbandar mengeluarkan clearance (SOLAS ’74, pasal 40). Tapi tanggungjawab di kapal ada pada nakhoda (SOLAS ’74, pasal 57). Nakhoda memberangkatkan kapal kalau dia sudah pasti kapal layak laut. Jadi tanggungjawab berangkatkan kapal atau tidak ada di nakhoda, bukan syahbandar. Nakhoda wajib memastikan kapal dalam keadaan layak. Kata kunci: kesalahan manusia (human error), clearance, kapal layak laut. PENDAHULUAN Latar belakang Masalah keselamatan transportasi akhir- akhir ini, melejit ke permukaan menjadi tema hangat pemberitaan, baik pada media televisi maupun di koran, seiring dengan kecelakaan-kecelakaan transportasi yang terjadi pada akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007. Peranan keselamatan pelayaran dalam sistem transportasi laut merupakan hal yang mutlak diperhitungkan, karena menyangkut transportasi barang dan orang menyeberangi lautan dengan penuh bahaya dan ancaman badai, kabut, dan gerakan-gerakan dari laut seperti ombak, arus, karang laut, pendangkalan serta jalur pelayaran yang tetap dan berubah, menjadikan transportasi laut dalam pelayaran berisiko tinggi. Oleh sebab itu, keselamatan harus benar-benar dijamin. Sea survival atau penyelamatan jiwa manusia di laut merupakan suatu pengetahuan praktis pelaut yang menyangkut bagaimana cara menyelamatkan diri maupun orang lain dalam keadaan darurat di laut. Seperti setelah mengalami tubrukan, kebakaran, kandas, dan sebagainya. Dalam proses penyelamatan ini baik para penolong maupun yang ditolong harus tahu dan paham benar-benar cara-cara menggunakan berbagai alat penolong yang ada dikapal, persiapan-persiapan, dan tindakan-tindakan yang harus diambil sebelum dan sesudah menerjunkan diri ke laut, tindakan-tindakan selama terapung dan bertahan di laut, tindakan-tindakan pada waktu menaiki sekoci/rakit penolong, serta bagaimana sarana 69

Transcript of JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

Page 1: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

PENGARUH SAFETY EQUIPMENT TERHADAP KESELAMATAN BERLAYAR

Benny Agus Setiono, Mudiyanto

Jurusan Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga, Program Diploma Pelayaran, Universitas Hang Tuah

ABSTRAK

Peristiwa kecelakaan beruntun yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat belakangan ini menjadi sebuah kejadian yang sangat menarik perhatian kita. Terlebih mengingat jumlah korban yang tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal Levina I dan KM. Senopati Nusantara yang menewaskan ratusan penumpangnya. Data yang ada pada Mahkamah Pelayaran, diketahui bahwa faktor manusia hanya menyumbang 20 persen saja dari angka kecelakaan. Sebanyak 30 persen disebabkan oleh human error, yang salah satunya adalah tiadanya jaminan keselamatan yang memadai. Syahbandar memang memegang semua izin-izin kapal, tapi kalau ada kerusakan nakhoda harus lapor ke syahbandar. Kalau semua dokumen kapal hidup syahbandar mengeluarkan clearance (SOLAS ’74, pasal 40). Tapi tanggungjawab di kapal ada pada nakhoda (SOLAS ’74, pasal 57). Nakhoda memberangkatkan kapal kalau dia sudah pasti kapal layak laut. Jadi tanggungjawab berangkatkan kapal atau tidak ada di nakhoda, bukan syahbandar. Nakhoda wajib memastikan kapal dalam keadaan layak. Kata kunci: kesalahan manusia (human error), clearance, kapal layak laut. PENDAHULUAN Latar belakang Masalah keselamatan transportasi akhir-akhir ini, melejit ke permukaan menjadi tema hangat pemberitaan, baik pada media televisi maupun di koran, seiring dengan kecelakaan-kecelakaan transportasi yang terjadi pada akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007. Peranan keselamatan pelayaran dalam sistem transportasi laut merupakan hal yang mutlak diperhitungkan, karena menyangkut transportasi barang dan orang menyeberangi lautan dengan penuh bahaya dan ancaman badai, kabut, dan gerakan-gerakan dari laut seperti ombak, arus, karang laut, pendangkalan serta jalur pelayaran yang tetap dan berubah, menjadikan transportasi laut dalam

pelayaran berisiko tinggi. Oleh sebab itu, keselamatan harus benar-benar dijamin. Sea survival atau penyelamatan jiwa manusia di laut merupakan suatu pengetahuan praktis pelaut yang menyangkut bagaimana cara menyelamatkan diri maupun orang lain dalam keadaan darurat di laut. Seperti setelah mengalami tubrukan, kebakaran, kandas, dan sebagainya. Dalam proses penyelamatan ini baik para penolong maupun yang ditolong harus tahu dan paham benar-benar cara-cara menggunakan berbagai alat penolong yang ada dikapal, persiapan-persiapan, dan tindakan-tindakan yang harus diambil sebelum dan sesudah menerjunkan diri ke laut, tindakan-tindakan selama terapung dan bertahan di laut, tindakan-tindakan pada waktu menaiki sekoci/rakit penolong, serta bagaimana sarana

69

Page 2: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

70 Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

komunikasi yang ada di dalam sekoci/rakit penolong. Semua tindakan ini dimaksudkan agar setiap orang yang dalam keadaan bahaya/darurat dapat menolong dirinya sendiri maupun orang lain secara cepat dan tepat, baik pada waktu terjun ke laut, pada waktu bertahan, dan terapung di laut, pada waktu menolong orang lain maupun pada waktu naik ke sekoci/rakit penolong sebelum pertolongan datang. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, sesuai Solas’ 74 dapat disusun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah penyebab terjadinya

kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA?

2. Siapakah yang bertanggung jawab dalam kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA tersebut?

Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Ingin mengetahui dan

menggambarkan penyebab terjadinya kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA.

2. Ingin mengetahui dan menggambarkan siapa-siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA tersebut.

Manfaat penelitian Setelah mengetahui permasalahan, perumusan dan tujuan penelitian maka berikut ini dikemukan manfaat penelitian adalah: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi tentang

pentingnya alat keselamatan berlayar bagi dunia pelayaran.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap institusi, khususnya perusahaan-perusahaan pelayaran untuk menyiapkan alat keselamatan berlayar sesuai Solas ’74.

TINJAUAN PUSTAKA Sumber daya awak kapal Kapal sekalipun sudah memiliki kondisi prima barulah dapat beroperasi dan dimanfaatkan bila telah diawaki oleh personil dengan kecakapan sesuai perundang-undangan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan, aturan, kode, dan petunjuk yang terkait dengan pelayaran. Bagaimanapun modernnya suatu kapal dan diperlengkapi dengan peralatan-peralatan otomatis, masih juga membutuhkan awak kapal. Para awak kapal, harus memiliki kemampuan untuk menyiapkan kapalnya dan juga harus mampu melayarkan kapal dengan muatan barang atau penumpang secara aman sampai tempat tujuannya. Hasil penelitian Analisa Kompetensi Perwira Awak Kapal Pelayaran Rakyat (Widarbowo. PPS Unhas. 2006) menunjukkan bahwa sebagian besar 54,7% perwira awak kapal pelayaran rakyat memiliki kompetensi dengan penilaian kurang mampu dan terdapat hubungan kuat antara kompetensi perwira bagian deck dan mesin terhadap tingkat kecelakaan. Aspek-aspek dalam kelompok kejuruan kompetensi yang perlu ditingkatkan untuk perwira bagian deck yaitu pengetahuan pedoman, pengetahuan peta, peraturan tubrukan di laut, pengetahuan arus dan pasang surut serta kecakapan pelaut. Sedangkan untuk perwira mesin yaitu sistem pendingin,

Page 3: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment … 71

sistem pelumasan, cara (prosedur) menjalankan motor dan pemeliharaannya serta susunan instalasi motor/penggerak kapal. Dari segi keamanan pelayaran maka awak kapal yang terampil bisa menghindari bahaya-bahaya navigasi/kandas ataupun bertubrukan dengan kapal lain. Keselamatan pelayaran sangat tergantung pada para awak kapal. Kondisi kapal motor baja secara administratif dapat dikatakan relatif lumayan, karena kapal-kapal tersebut terregistrasi pada biro klasifikasi yang ditandai dengan kepemilikan kelas kapal. Namun dari segi teknik dan ekonomi, perlu dipertanyakan. Hal ini, disebabkan umur armada kapal banyak yang berumur tua, sehingga dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan yang tidak terduga, sehingga mempengaruhi keselamatan Kapal yaitu keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi bangunan, permesinan dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan radio/ elektronika kapal yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.

Gambar 1. Kondisi Kapal Perintis Pada periode tahun 2002 berdasarkan data atas 30 kapal perintis yang beroperasi di KTI ditemukan bahwa 67% armada kapal perintis telah mencapai usia lebih dari 25 tahun. Untuk periode sekarang tahun 2007, seandainya atau

jika tidak diadakan peremajaan kapal, maka persentase armada perintis meningkat sekitar 90% berumur di atas 25 tahun, sebagaimana pada tabel 1. Tabel 1. Umur Kapal-kapal Perintis Tahun 1997 dan 2002

Tahun 1997 Tahun 2002 Umur Kapal (Tahun) Jumlah

Kapal Persentase Jumlah Kapal Persentase

< 10 1 3,85 - -

11 – 15 1 3,85 2 6,67

16 – 20 5 19,23 1 3,33

21 – 25 2 7,69 7 23,33

26 – 30 9 34,62 4 13,33

> 31 8 30,76 16 53,33

Jumlah 26 100,00 30 100,00

Sumber : Studi Manfaat Pelayaran ALP di KTI, UPTL LPUH, 2003 Kapal dengan kondisi yang secara teknis menurut ukuran ketentuan perundang-undangan dinyatakan laik-laut lebih dapat diharapkan menyeberangkan muatan (dan penumpang) dengan aman. Dari sudut perasuransian, kapal dengan kondisi prima akan diberikan nilai pertanggungan yang besar dengan premi yang rendah. Sebaliknya kapal dengan kondisi kurang prima, premi yang tinggi dengan nilai pertanggungan yang lebih rendah. Selain itu kapal dengan kondisi baik lebih dapat diharapkan berlayar tanpa hambatan selama dalam pelayaran. Berlainan dengan kapal yang kondisinya diragukan maka kemungkinan mengalami kerusakan setiap saat di perjalanan. Ini berarti tambahan biaya eksploitasi disebabkan terjadinya delay. Sarana penunjang pelayaran dan faktor lainnya Selain dari faktor teknis kapal dan ABK yang telah diuraikan di atas, maka Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) tidak kurang pentingnya sebagai unsur penunjang di bidang keselamatan

Page 4: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

72 Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

pelayaran. Ini terdiri dari rambu-rambu laut lainnya yang berfungsi sebagai sarana penuntun bagi kapal-kapal yang sedang berlayar agar terhindar dari bahaya-bahaya navigasi terutama yang berada dibawah permukaan air. Termasuk di sini Stasiun Radio Pantai yang sangat berguna bagi kapal-kapal yang dilengkapi dengan alat navigasi Radio Direction Finder/RDF. Stasiun Radio Pantai juga berguna sebagai sarana bantu navigasi pelayaran untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan pelayaran ekonomis, sebab tanpa itu semua, kapal akan terpaksa melakukan pelayaran “memutar”, berarti jarak yang lebih jauh guna menghindari bahaya navigasi. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Kemudian penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran oleh karenanya masalah metodologi dalam suatu penelitian ilmiah mempunyai peranan penting karenanya di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk memperoleh hasil yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Seperti yang dikatakan oleh Marzuki: Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam kerangka ilmu tersebut sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala yang lain (Marzuki, 1993).

Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri pokok metode diskriptif antara lain :

Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat nyata (aktual).

Manggambarkan fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, serta diiringi dengan interprestasi rasional yang adequate (Dalam Nawawi, 1990 : 64).

Suatu penelitian sosial pada dasarnya bertujuan untuk menerangkan suatu fenomena sosial /peristiwa sosial, dimana kadang-kadang peristiwa tersebut dapat berbentuk suatu kasus yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan melihat permasalahan yang terjadi, penelitian ini menggunakan bentuk penelitian studi kasus, yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intesif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme lembaga atau gejala tertentu (Dalam Arikunto, 1996 : 115).

Tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat yang khas seperti diatas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Dalam Nasir, 1998: 66-67). Dalam penelitian ini peneliti berusaha memperoleh gambaran yang kongkret tentang penyebab terjadinya kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA serta peneliti ingin memperoleh gambaran siapa-siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA tersebut. dengan berusaha menggali fakta-fakta yang ada, menganalisanya secara objektif, tidak dogmatis walaupun

Page 5: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment … 73

bersandar pada prinsip-prinsip teoritis. Adapun pendekatan dalam analisis penelitian yang digunakan dengan analisis kualitatif, dimana diharapkan data diskriptif, berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan sumber informasi lainya yang diamati. Jenis penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang ada, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian diskriptif, yaitu merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penyebab terjadinya kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA serta peneliti ingin memperoleh gambaran siapa-siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kecelakaan kapal LEVINA I dan KM SENOPATI NUSANTARA. HASIL DAN PEMBAHASAN Tiap-tiap perusahaan, dalam bentuk atau bidang manapun, apalagi bidang perdagangan, tidak mungkin berjalan sebagaimana mestinya untuk memperoleh laba tanpa adanya alat-alat pengangkutan antara lain memungkinkan sampai barang-barang produksi dan barang dagangan sampai tepat di tempat konsumen. Begitupun produsen memerlukan alat-alat pengangkutan yang berjalan baik secara menyalurkan hasil-hasil produksi pada konsumen. Mustahil bila ada suatu usaha perniagaan/perdagangan yang mengabaikan segi pengangakutan ini. Disamping itu mengenai pengangkutan benda-benda tersebut diperlukan di tempat-tempat tertentu, dalam keadaan

lengkap dan utuh serta tepat waktunya, tetapi juga mengenai pengangkutan orang-orang yang memberikan perantaraan pada pelaksanaan perusahaan. Sebagai contoh, misalnya seorang pekerja berkeliling, seorang makelar, seorang komisioner, mereka semuanya pada waktu tertentu tidak mungkin memenuhi prestasi-prestasinya tanpa alat pengangkutan, belum lagi terhitung bertambahnnya orang-orang yang karena sesuatu hal misalnya untuk peninjauan di dalam negeri maupun di luar negeri tentunya memerlukan pengangkutan. Hukum Pengangkutan merupakan bagian dari hukum dagang (Perusahaan) yang termasuk dalam bidang keperdataan. Adapun Hukum Pengangkutan bila ditinjau dari segi Keperdataan dapat kita tunjuk sebagai keseluruhan peraturan-peraturan, di dalam dan di luar kodifikasi (Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit karena keperluan pemindahan barang-barang dan atau orang-orang dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu, termasuk juga perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan mendapatkan pengangkutan. Penyajian data dan analisa data

Analisis dan pengolahan data akan mengkaji pentingnya alat-alat keselamatan terhadap keselamatan berlayar sesuai dengan SOLAS 1974. Analisis laporan ini didasarkan pada pendapat para praktisi di bidang pelayaran yang bersedia menjadi responden dalam survey ini didukung dengan temuan-temuan pengamatan yang dilakukan selama penelitian berlangsung.

Page 6: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

74 Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

Analisis pendapat responden dalam angka yang khusus dijelaskan melalui analisis deskriptif kuantitatif dan mengkaji trend tingkat korban dalam kecelakaan di laut. Peristiwa kecelakaan beruntun yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat belakangan ini menjadi sebuah kejadian yang sangat menarik perhatian kita. Terlebih mengingat jumlah korban yang tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal Levina I dan KM Senopati Nusantara yang menewaskan ratusan penumpangnya. Mereka yang menjadi korban jelas membawa tragedi tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan. Menyaksikan peristiwa tersebut, salah satu pelajaran penting yang harus sangat dibenahi adalah jaminan keselamatan transportasi. Jaminan dimaksud adalah sebuah sistem yang baku, tersistematisasi dan mudah dimengerti oleh para penumpang, sehingga ketika terjadi kecelakaan, prosedur tersebut langsung berlaku. Dari data yang ada pada Mahkamah Pelayaran, diketahui bahwa faktor manusia hanya menyumbang 20 persen saja dari angka kecelakaan. Sebanyak 30 persen disebabkan oleh human error, yang salah satunya adalah tiadanya jaminan keselamatan yang memadai tadi. Faktor cuaca buruk terutama dijadikan kambing hitam dari semua musibah tersebut, walau secara teknis faktor desain dan kondisi kapal layak dipertanyakan siapa tahu justru faktor ini penyebab utama yang tidak pernah terungkap karena tidak pernah dilakukan penyelidikan untuk itu. Menurut laporan, hantaman gelombang setinggi 3-4 meter diduga menjadi penyebab utama tenggelamnya kapal yang didesain untuk bertahan pada ketinggian ombak 1-2 meter. Kecelakaan laut terbuka dialami KM Senopati Nusantara yang melayani jalur Kumai

(Kalimantan Tengah) menuju Tanjung Mas (Semarang). Kapal ini berjenis roro seperti KMP Tri Star 1 tetapi dengan ukuran dan kapasitas yang lebih besar, mengangkut ratusan manusia dan sejumlah kendaraan. Kondisi cuaca yang buruk dan pukulan ombak setinggi 5-6 meter diduga menjadi penyebab utama musibah yang merenggut ratusan jiwa manusia dari kapal yang dirancang bertahan terhadap tekanan gelombang setinggi 3-4 meter. Yang terakhir kasus terbakarnya kapal Levina I. Seperti yang diulas di berbagai media cetak dan elektronik, faktor cuaca buruk adalah yang paling dipersalahkan sehingga kecelakaan kapal tersebut terjadi. Tinggi gelombang yang tidak lazim dari biasanya telah menghantam badan kapal dan selanjutnya menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Secara logika sederhana, alasan tersebut dapat diterima. Kapal dengan sarat atau ketinggian geladak 2 meter akan mampu menghadapi ombak atau gelombang dengan ketinggian rata-rata 1-2 meter. Demikian pula dengan kapal yang memiliki sarat 4 meter maka akan mampu menahan hempasan gelombang dengan ketinggian 3-4 meter. Ketika ketinggian gelombang melebihi ambang batas yang diizinkan maka air laut dalam jumlah besar akan memasuki badan kapal yang memiliki banyak bukaan (open space) dan selanjutnya mengganggu stabilitas dan memorak-porandakan kapal. Sedangkan tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KM) Levina I diduga kuat erat kaitannya dengan klaim asuransi. Karena jika seluruh kapal tenggelam, proses penggantian asuransinya lebih maksimal dibandingkan jika kapal dibiarkan terapung dalam kondisi rusak. Mengenai jumlah penumpang KMP Levina I yang hingga saat ini masih

Page 7: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment … 75

simpang siur, menurut Harijogi pihaknya masih menyelidiki, karena datanya terus berubah. Awalnya data Dephub jumlah penumpang 316 dengan, 300 selamat dan 16 tewas. Namun Minggu (25/2) pagi, ditemukannya 22 jenazah tambahan. Namun masih ada penyebab kecelakaan beragam, antara lain: 1. Sistem Peringatan Dini. Sistem ini

sering tak menjadi perhatian. Acap terjadi ketika kecelakaan berlangsung, kru kapal tidak memberikan arahan yang jelas bagi para penumpang untuk menyelamatkan diri. Kru juga sering tidak memberikan informasi di mana alat-alat keselamatan berada dan bagaimana cara menggunakannya.

2. Kapasitas angkut. Setiap kapal harusnya memiliki surat izin berlayar (SIB) yang antara lain mengatur kapasitas kapal yang dikeluarkan syahbandar. Beberapa kecelakaan yang menimpa kapal sering terjadi karena penumpang dan barang yang diangkut melebihi kapasitas yang ditentukan. Dalam aturan pelayaran yang baku sebelum keberangkatan, harusnya petugas pelabuhan memeriksa sesuai tidaknya barang dan orang yang diangkut dengan kapasitas dan daya angkut kapal.

3. Kondisi kapal. Kapal yang berlayar di Indonesia, terutama berjenis roll on-roll of (Ro-Ro) adalah kapal eks Jepang. Lazimnya kapal jenis ini tidak dipergunakan dalam pelayaran jarak jauh. Karena tidak sesuai dengan peruntukannya, maka risiko kecelakaan pada kapal ini sangat terbuka.

4. Standar Operasional Prosedur. Prosedur ini sering diabaikan. Kapal yang berlayar sering tanpa register, kru-nya tidak memiliki sertifikat internasional, dan tidak dilengkapi

alat-alat penyelamatan. Sebagian kapal memiliki alat penyelamatan, tetapi kedaluwarsa sehingga tidak layak digunakan dalam keadaan darurat.

Beberapa hal di atas yang tidak dimiliki dan tidak dijalankan kapal-kapal di Indonesia menyebabkan risiko keselamatan penumpang sering terancam. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi. Menurut dia, sebagian besar armada kapal nasional tidak laik laut karena tidak memenuhi syarat teknis perkapalan. Selain itu, banyak kapal tidak memiliki peralatan keselamatan yang memadai dan tidak memperhatikan kesejahteraan pelaut. Hal ini sangat membahayakan keselamatan ABK, penumpang, dan barang yang diangkut. Anehnya, kapal-kapal tersebut tetap mendapatkan SIB dari syahbandar. Padahal, kapal-kapal itu jelas melanggar ketentuan yang tercantum dalam Konvensi International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO). Menurut The Study for The Maritime Traffic Safety System Development Plan tahun 2002, penyebab kecelakaan kapal antara lain kesalahan manusia (human error) 41%, bencana alam (force majeur) 38%, dan struktur kapal (hull structure) 21%. Sedangkan studi Dephub-JICA tahun 2002 menunjukkan tahun 1982 hingga 2000 terjadi 3.826 kecelakaan kapal (rata-rata 204 kecelakaan setiap tahun atau setiap dua hari sekali).

Page 8: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

76 Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

Yang bertanggung jawab dalam kecelakaan kapal Levina I dan KM Senopati Nusantara Pihak Polri tidak berhak memeriksa penyebab kecelakaan yang menimpa KM Levina 1, apalagi langsung menyelidiki kemungkinan adanya tindak pidana dalam peristiwa naas itu. “Dalam UU Pelayaran No 21/1992 ditegaskan kalau ada kecelakaan kapal, maka yang harus memeriksa adalah pejabat yang berwenang, dan kasus ini kemudian dapat diteruskan ke pengadilan yang berwenang. Ini merupakan masalah kompetensi peradilan, jadi sudah diatur bahwa Mahkamah Pelayaran yang pertama kali harus membuktikan ada kecenderungan perbuatan pidana baru diserahkan ke polisi. “Syahbandar memang pegang semua izin-izin kapal, tapi kalau ada kerusakan nakhoda harus lapor ke syahbandar. Kalau semua dokumen kapal hidup syahbandar mengeluarkan clearance (SOLAS ’74, pasal 40). Tapi tanggungjawab di kapal ada pada nakhoda di (SOLAS ’74, pasal 57). Nakhoda memberangkatkan kapal kalau dia sudah pasti kapal layak laut. Jadi tanggungjawab berangkatkan kapal atau tidak ada di nakhoda, bukan syahbandar, “Nakhoda wajib memastikan kapal dalam keadaan layak. Kalau celaka kan kapten yang celaka bersama ABK dan para penumpang serta pemilik kapal.” Pemilik atau operator kapal wajib memberi keleluasaan kepada nakhoda atau pemimpin kapal untuk melaksanakan ketentuan yang berlaku. “Sekarang pemilik sering paksa kapten untuk berlayar,” Pernyataan muatan berbahaya harus dinyatakan oleh EMKL atau pemilik kapal, tetapi dalam kasus ini harus dicek siapa yang mengurus muatan, dan dicek mengapa muatan bahan kimia tidak dilaporkan?

Dari kewajiban pengangkut diatas menimbulkan tanggung jawab, khususnya jika timbul kerugian atas barang yang diangkut dalam jangka pengangkutan. Pada asasnya, pertanggung jawaban pengangkut dimulai pada saat barang angkutan dibawah penguasaannya, yaitu di pelabuhan pemuatan, selama pengangkutan dan berakhir di pelabuhan pembongkaran. Dalam pasal 86 Undang-Undang Pelayaran, diatur mengenai tanggung jawab pengangkut sebagai berikut: (1) Bahwa perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa: a. Kematian atau lukanya penumpang

yang diangkut; sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah kematian atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakaan pada saat naik dan turun dari kapal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; tanggung jawab tersebut sesuai dengan perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan perusahaan angkutan di perairan kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan pemberangkatan karena kelalaian perusahaan angkutan tersebut.

Page 9: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment … 77

d. Kerugian pihak ketiga; yang dimaksud dalam pihak ketiga adalah orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal.

(2) Jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,c, dan d bukan disebabkan karena kesalahannya, maka dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. (3) Perusahaan angkutan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Meskipun pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, namun pengangkut tidak berkewajiban memberi ganti rugi apabila ada keadaan-keadaan sebagai berikut : a. Keadaan memaksa (overmacht/force

majeure). b. Cacat yang melekat pada barang

angkutan itu sendiri. c. Kesalahan/kelalaian terletak pada

pengirim maupun Ekspenditur. Untuk mengajukan klaim kepada pihak pengangkut, pengirim/penerima cukup menjelaskan bahwa kurang lengkapnya prestasi dari pengangkut disebabkan karena “kesalahan” pengangkut dan ganti rugi yang diminta. Sedangkan beban pembuktian diletakkan kepada pihak pengangkut. Pengangkutan harus membuktikan bahwa kesalahan tersebut “bukan” kesalahan pengangkut. Oleh karena itu harus membuktikan hal-hal yang dapat mendiskulpasi (melenyapkan culpa) dari kewajibannya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Peristiwa kecelakaan beruntun yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat belakangan ini menjadi sebuah kejadian yang sangat menarik perhatian kita. Terlebih mengingat jumlah korban yang tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal Levina I dan KM Senopati Nusantara yang menewaskan ratusan penumpangnya. Mereka yang menjadi korban jelas membawa tragedi tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan. Menyaksikan peristiwa tersebut, salah satu pelajaran penting yang harus sangat dibenahi adalah jaminan keselamatan transportasi. Jaminan dimaksud adalah sebuah sistem yang baku, tersistematisasi, dan mudah dimengerti oleh para penumpang, sehingga ketika terjadi kecelakaan, prosedur tersebut langsung berlaku. Saran

1. Informasi yang diperoleh tidak hanya berupa rekomendasi tentang perlunya pembenahan prosedur keselamatan pelayaran tetapi juga berkaitan dengan penyempurnaan desain dan konstruksi kapal. Pengujian model juga dapat menghasilkan kesimpulan tentang laik atau tidaknya sebuah kapal untuk dioperasikan pada perairan tertentu dengan lebih teliti.

2. Keharusan tiap kendaraan yang berada di atas kapal untuk diikat (lashing) dan penempatan barang tidak memperhitungkan titik berat kapal. “Jika kita mau berpegang pada aturan dan itu dijalankan dengan baik, maka berbagai macam kecelakaan terhadap moda transportasi di mana pun, baik di laut, udara, maupun di darat sesungguhnya bisa ditekan.”

Page 10: JURNAL PDP VOL 1 NO 1 Benny Agus Setiono Safety Equipment, Keselamatan Berlayar

78 Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

3. Pada akhirnya semua itu tergantung kepada itikad baik otoritas pemerintah dalam rangka menyediakan sarana transportasi laut yang nyaman dan juga aman.

DAFTAR PUSTAKA Pemerintah RI. 2004. Peraturan

Pemerintah No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas PP No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.

Perhubungan Laut. 1992. Undang Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Departemen Perhubungan.

Rahayu Hartini. 2007. Hukum Pengangkutan. Malang:UMM Press.