Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor...

140
Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA 2016

Transcript of Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor...

Kajian kebi jakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan

PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

2016

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan” tepat pada waktunya.

Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan.

Disadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan komoditi perunggasan secara umum dan ayam broiler khususnya.

Jakarta, Oktober 2016 Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan

Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin antara pelaku usaha di rantai pasok ayam broiler yang menjadi dugaan awal terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Kajian ini bertujuan (a) menghitung biaya pokok produksi peternak, (b) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler serta (c) merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah struktur biaya produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Hasil analisis menunjukkan secara umum struktur pasar ayam broiler pada masing-masing level pelaku usaha lebih mengarah ke pasar oligopoli kecuali pedagang pengecer yang lebih mengarah pada pasar monopolistik. Harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang pengecer besar (grosir) tidak terintegrasi secara baik. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan. Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Rekomendasi dari kajian ini adalah perlu (a) melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif; (b) menyeimbangkan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi; (c) meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan; dan (d) memperpendek rantai distribusi. Kata kunci: persaingan usaha, integrasi harga, sektor perunggasan, ayam broiler

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iii

ABSTRACT Study on the Policy of Business Competition in the Poultry Sector

Poultry sector is the spearhead of consumption of food from animal sources. Initial studies by Business Competition Supervisory Commission (KPPU) indicates that there is imbalance in the level of margin among businesses actors in the supply chain of broiler meat that lead to the alleged of unfair business competition practice. This study aims are (a) calculating the production cost of farmers, (b) analyzing the structure, conduct and performance of broiler meat industry and (c) to formulate policy proposals that promote the efficiency of broiler meat industry for the sake of business continuity of independent farmer. The approach used in this study were the production cost structure and Structure Conduct Performance (SCP). The analysis shows that the general structure of the broiler meat market at each level of businesses leads to an oligopoly market except at retail level that is monopolistic market. Broiler price at the farmer level and at the wholesale level is not well integrated. Price of live broiler at the producer level is determined by the power of an oligopoly that performed by large-scale farms cartel company through reference price determined by association. The influences of supply and demand factors are relatively small on live broiler market. Meanwhile, the price formations of chicken meat at the retail market are affected by the power of the oligopoly of farms from large-scale companies, power of supply and demand. The recommendation of this study are (a) market structure improvements to make it more competitive; (b) balancing the distribution of marketing margins between business actors based on contributions of marketing costs and risk; (C) improving price transmission from retailers to wholesalers and then to farmers through improving access to market information in a transparent manner; and (d) shortening the distribution chain. Keywords: business competition, the integration of price, the poultry sector, broilers

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... iABSTRAK .................................................................................................. iiABSTRACT ............................................................................................... iiiDAFTAR ISI ............................................................................................... ivDAFTAR TABEL ....................................................................................... viBAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar Belakang....................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................2

1.3. Tujuan...................................................................................................................4

1.4. Keluaran...............................................................................................................4

1.5. Manfaat................................................................................................................5

1.6. Ruang Lingkup....................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ........................ 62.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya,

pemasaran dan persaingan usaha...................................................................6

2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha.......................................................11

2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia....................16

2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia................19

2.5. Kerangka Pemikiran.........................................................................................22

BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 233.1. Metode Analisis.................................................................................................23

3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri.......................................................................................23

3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP)..................25

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data..........................................313.2.1. Data dan Sumber Data.............................................................................31

3.2.2. Metode Pengumpulan Data.....................................................................31

3.2.3. PerencanaanSampling............................................................................32

BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER ......................................... 34

4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia........................................................................................34

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan v

4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler...............................................35

4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler.......................50

4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler......................................55

4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi....................................594.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler.................................................................59

4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler............................................65

4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler................................................74

4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur.........................................92

4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat..................................97

4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali.....................................................102

4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur.............................107

4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat........................................113

4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah.............................................................118

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 1225.1. Kesimpulan......................................................................................................122

5.2. Rekomendasi...................................................................................................125

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 126LAMPIRAN

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat .................. 13 Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di

Negara ASEAN .................................................................................... 19 Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi,

Indonesia, 2016 ................................................................................... 33 Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016 .. 53 Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler ........................................................................... 56 Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus),

Tahun 2016 .......................................................................................... 61 Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus),

Tahun 2016 .......................................................................................... 63 Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus),

Tahun 2016 .......................................................................................... 64 Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi Bali, 2016 ........................................................................... 75

Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Jawa Timur, 2016 ............................................................... 77

Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Sumatera Barat, 2016 ............................................................ 79

Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ......................................................... 81

Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ................................... 83

Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016 ....................... 86

Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016 ................ 87

Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016 ............. 89

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli ............. 15 Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli .............................................. 16 Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler ....................... 18 Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian .............................................................. 22 Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja ....... 25 Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada

Pola Usaha Ternak Mandiri. .............................................................. 68 Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada

Pola Kemitraan Usaha Internal ......................................................... 71 Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada

Pola Kemitraan Usaha Eksternal ...................................................... 72 Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya ........... 119 Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang .............. 119 Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar .......... 120 Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda ......... 121

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

1. BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sub sektor peternakan merupakan basis ekonomi yang berpotensi

tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sub

sektor peternakan yang mengalami pertumbuhan pesat adalah sektor

perunggasan. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam

pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi

kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011),

dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73%

(Bahri, 2008). Selain itu, sektor perunggasan telah menyerap tenaga

kerja lebih dari 1000 orang per tahun.

Pertumbuhan produksi unggas cukup prospektif dan progresif. Hal

ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi yang cenderung naik dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2014, produksi ayam broiler dari

perusahaan besar (terintegrasi) yang menguasai pasar lebih dari 85%

telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton (GPPU, 2014). Sementara

kebutuhan hanya sebesar 2,3 juta ton. Hal ini berarti kebutuhan daging

ayam broiler dapat dipenuhi dari dalam negeri (self sufficient). Dari

aspek permintaan, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk

unggas terutama daging ayam cenderung naik rata-rata sekitar 9,3%

per tahun (Susenas Tahun 2013, diolah Puska Dagri, 2013).

Meski mengalami pertumbuhan cukup baik, namun kondisi industri

peternakan unggas di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai

tahapan keunggulan kompetitif dibandingkan negara Asia lainnya

seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga

termasuk negara net importer untuk produk input unggas seperti bibit

DOC, bahan baku pakan dan obat-obatan.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 2

Meski demikian, produktivitas dalam sektor perunggasan masih

dapat ditingkatkan. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas usaha

perunggasan berasal dari perubahan teknologi, peningkatan efisiensi

dan melalui pengembangan skala usaha (Coelli et al., 1998). Ketiga hal

tersebut dapat dilakukan melalui sistem industri perunggasan

terintegrasi baik integrasi vertikal oleh perusahaan peternakan maupun

melalui kemitraan usaha. Di Indonesia industri perunggasan terintegrasi

melalui dua pola tersebut telah menguasai lebih dari 85% pangsa pasar

di dalam negeri. Selebihnya, yakni usaha peternakan rakyat mandiri

hanya mengisi 15%.

Mengingat struktur industri usaha peternakan unggas broiler di

Indonesia sudah dominan dijalankan oleh perusahaan terintegrasi yang

dapat dikatakan relatif lebih efisien, maka seharusnya harga ayam

broiler di tingkat konsumen dapat lebih kompetitif. Namun demikian,

perkembangan harga daging ayam mengalami peningkatan dari waktu

ke waktu walaupun dari sisi pasokan terjadi peningkatan produksi ayam

broiler (Fitriani et al, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri

perunggasan, beberapa diantaranya adalah: (a) Masalah penyediaan

bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian besar bahan

baku pakan ternak harus diimpor. Untuk impor jagung mencapai 12,5%

dari total produksi jagung nasional, bungkil kedelai sebesar 95%, tepung

ikan 90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir

100%; (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik

pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan peternak

kecil dalam posisi lemah; (c) Pola Kemitraan usaha (contract farming)

perunggasan belum berjalan secara optimal dimana peternak plasma

belum sepenuhnya diuntungkan; (d) Rentannya Industri perunggasan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 3

komersial terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah

penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis

finansial global; dan (e) Pelaku usaha industri perunggasan dihadapkan

pada kenaikan harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan

konsumen dihadapkan pada fluktuasi harga broiler yang tinggi.

Dari permasalahan tersebut di atas, permasalahan yang cukup

menonjol dan menjadi fokus penelitian adalah adanya indikasi ketimpangan struktur pasar pada pasar output yang pada akhirnya

menempatkan peternak mandiri dan peternak plasma dalam posisi

lemah. Peternak mandiri dan peternak plasma juga dihadapkan pada

kenaikan sapronak dan harga fluktuasi jual broiler yang tinggi.

Sejalan dengan adanya indikasi ketimpangan struktur pasar

unggas, hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU)

menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara

pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang

tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi

penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi

peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang

negatif. Pada saat yang bersamaan, yakni pada saat harga jual ayam

broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat

konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen

tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.

Dari konteks perdagangan, permasalahan persaingan usaha ini

dapat menimbulkan inefisiensi perdagangan yang tercermin dalam

tingkat harga yang kurang menguntungkan bagi peternak mandiri dan

peternak plasma serta tingkat harga eceran yang cenderung naik dan

berfluktuatif di tingkat konsumen. Hal ini telah berlangsung cukup lama

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 4

dan diperlukan solusinya agar menghilangkan kekhawatiran terciptanya

ketidakpastian dalam iklim berusaha dan berdampak pada semakin

tergerusnya eksistensi peternak mandiri dan peternak plasma.

Sehubungan dengan permasalahan yang menjadi fokus di atas,

kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di

tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta

menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku

usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur,

perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini

diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi

berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir

secara berkeadilan.

1.3. Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah:

a. Menghitung biaya pokok produksi peternak.

b. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler.

c. Merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri

ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat

mandiri.

1.4. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:

a. Besaran biaya pokok produksi broiler yang layak bagi peternak

mandiri dan peternak plasma.

b. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler.

c. Rumusan kebijakan yang dapat mendorong efisiensi industri ayam

broilerdemi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

1.5. Manfaat

a. Kajian ini menjadi rujukan bagi unit teknis di Kementerian

Perdagangan dan kementerian terkait lainnya.

b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi.

1.6. Ruang Lingkup

Analisis dalam kajian ini mencakup 2 aspek/substansi, yaitu:

a. Cakupan Komoditi. Meskipun judul kajian mengenai kebijakan

persaingan usaha di sektor perunggasan, namun komoditi yang

akan dianalisis lebih dalam pada kajian ini adalah ayam broiler.

b. Cakupan Objek Penelitian. Objek yang akan diteliti dalam industri

broiler adalah sistem distribusi ayam broiler meliputi peternak,

pedagang pengumpul ayam hidup, pedagang besar ayam hidup,

rumah potong ayam, supermarket, pedagang eceran daging ayam

dan pelaku-pelaku lain yang terlibat dalam distribusi ayam broiler.

Peternak yang akan diteliti meliputi peternak mandiri, peternak

kemitraan internal (peternak yang bermitra dengan perusahaan

terintegrasi) dan peternak kemitraan eksternal (peternak yang

bermitra dengan perusahaan non terintegrasi atau poultry shop)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 6

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha

Perkembangan industri perunggasan Indonesia tidak terlepas

kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi

a. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan

UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan

pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada periode sebelum

diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras bersifat

usaha sampingan atau hobi, dan masih jauh dari jangkauan usah

ekonomi yang berorientasi produksi dan pasar. Secara umum

struktur usaha belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena

semua kegiatan agribisnis bersatu dalam peternakan itu sendiri

mulai dari pembuatan pakan dan pengadaan bibit.

Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah

menerapkan kebijakan menyetujui penanaman modal asing (PMA)

untuk sektor pertanian khususnya peternakan ayam ras. Tujuan

kebijakan ini adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri

unggas melalui penanaman modal asing dan transfer teknologi dari

negara maju. Dengan mempercepat laju pertumbuhan diharapkan

usaha-usaha rakyat akan ikut berkembang. Perusahaan asing yang

pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara Jepang-

Indonesia dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100

ribu ekor per bulan (Yusdja, Ilham, & Sayuti, Juli 2004). Sedangkan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 7

UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa swasta

diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor

perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup

orang banyak dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk

merangsang dan mengarahkan daya kreatif dan dinamis

masyarakat kepada usaha-usaha produktif yang dapat

mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.

b. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha

Peternakan Ayam

Selanjutnya seiring dengan perkembangan industri

perunggasan skala besar yang mulai menggeser peternak rakyat

pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981

tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres ini melarang

beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5000

ekor dan ayam pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Ini berarti

perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha

berskala besar harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada

usaha lain seperti pembibitan ayam atau mengganti dengan usaha

lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para pemilik dan

mereka menganggap pemerintah sangat terlambat melakukan

intervensi. Adalah sulit untuk menghentikan operasi usaha skala

besar mengingat kerugian yang diakibatkannya.

Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian

di kalangan peternak mandiri ditambah suntikan dana kredit untuk

mempercepat perkembangan usaha rakyat sebagai upaya untuk

segera menggantikan kedudukan skala besar yang harus

menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut.

Untuk mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan

melaksanakan Bimas ayam, memerintahkan Bulog untuk

mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan usaha-usaha

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 8

peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi

pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan

suntikan dana sekitar Rp 50 milyar sebagai kredit Program Bimas

Ternak Ayam.

Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai

dengan harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesem

patan hidup. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut:

Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat

ukuran usaha yang tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin

pengembangan peternak mandiri (Yusdja, 1984). Peternak mandiri,

yang dalam hal ini peternak mandiri pada umumnya tidak memiliki

modal yang cukup dan memelihara jumlah ternak jauh di bawah

skala usaha, yakni < 1.000 ekor. Sekalipun tidak menguntungkan,

mereka masih mampu membayar tenaga kerja keluarga. Kedua,

kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk

seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran

skala usaha sebesar itu peternak tidak akan mampu

mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah tidak mampu melakukan

kontrol terhadap pasar secara efektif

c. Program PIR Perunggasan (1984) melalui kerjasama tertutup

Atas dasar kegagalan kebijakan di atas pemerintah mencoba

membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri unggas

menjadi berbentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Tujuan kebijakan

ini tak lain untuk melindungi usaha rakyat, namun secara tidak

langsung menerima kehadiran usaha skala besar. Pola PIR

merupakan bentuk struktur kerjasama antara inti dan peternak

plasma. Inti berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas

mensuplai masukan terutama bibit dan pakan kepada peternak

secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging dari peternak

tersebut. Dengan kata lain inti tidak saja membantu permodalan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 9

tetapi juga pemasaran. Sementara itu peranan peternak harus

membayar masukan yang dibelinya dengan hasil pen jualan

keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit

akan ditentukan bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu

menguntungkan peternak. Secara konseptual, peternak mandiri

mendapat jaminan dalam pemasaran dan mendapat perlindungan

inti dengan harga yang menguntungkan.

Namun kenyataan tidak memperlihatkan hal demikian. Pola

PIR ternyata tidak bisa berjalan. Sebagian besar peternak kecil

dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra dkk.,1988). Maka

yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja

terlalu kuat untuk dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah

menghadapi kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai

tahun keprihatinan, karena secara keseluruhan industry

menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Antara

lain tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler, fluktusasi

harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus

sehingga menyulut kegelisahan masyarakat perunggasan.

d. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam

Ras

Selama masa 2 tahun 1989-1990 usaha industri unggas

bergerak tumbuh tanpa kendali pemerintah. Pertengahan tahun

1990, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang

dalam Kepres 22 Mei 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan

Ayam Ras yang menyatakan bahwa :

- Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor,

tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan

setempat;

- usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra

dengan usaha rakyat, di mana dalam masa tiga tahun porsi

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 10

usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-kurangnya 65 persen

produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk skala

besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian.

Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang

tetap membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa

peternakan rakyat hanya mampu pada ukuran kurang dari 1000

ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk usaha rakyat tidak

memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan

berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal.

Pada sisi lain tidak ada pemilik modal yang bersedia menanam

investasi untuk skala 15 000 ekor tersebut karena terlalu kecil

dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian, Keppres ini

telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah

dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan

sehingga tidak menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990

tersebut. Pada kenyataannya dalam periode 1992-1996 tercapai

kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang tertinggi karena

dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi.

e. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996

Keputusan Menteri ini merupakan petunjuk teknis Pembinaan

Usaha Peternakan Ayam Ras Kebijakan ini sebagai upaya

pemerintah untuk mendorong usaha peternakan rakyat. Melalui

kemitraan diharapkan dapat terjadi suatu simbiosis yang saling

menguntungkan antara perusahaan peternakan dengan peternakan

rakyat. Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti

Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun

penghela. Perusahaan Penghela adalah perusahaan bidang

peternakan yangmengadakan kemitraan dengan pola penghela

yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis, menampung,

mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 11

ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan

budidaya ayam ras sendiri. Perusahaan Pengelola adalah

perusahaan dibidang peternakan yang mengadakan kemitraan

dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan sarana

produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung,

mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam

ras, mengusahakan permodalan tetapi tidak melaksanakan

budidaya ayam ras sendiri.

2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha

Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas atau produk

tercakup produk daging ayam (broiler) sangat menentukan banyaknya

komoditas atau produk yang dapat digerakkan oleh sistem tataniaga dan

memberikan arah bagi produsen berapa besar harus memproduksi.

Secara teoritis jumlah output yang diminta ditentukan oleh harga output

tersebut, pendapatan, harga barang lain yang terkait, jumlah penduduk,

dan selera konsumen (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt,

1980). Sementara itu, penawaran suatu output ditentukan oleh harga

output tersebut, teknologi yang digunakan, harga-harga dari input, harga

barang lain (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980).

Secara teori ekonomi, permintaan di tingkat konsumen dapat

langsung berhadapan dengan penawaran disisi produsen dengan

beberapa asumsi pokok sebagai berikut (Williamson, 1985; Dixit, 1996;

dan Hutagaol, 2007; Saptana dan Daryanto, 2013): pertama, perilaku

individu bersifat rasional sempurna (perfectly rational), hal ini

mengandung dua makna, yaitu: (a) individu berperilaku

memaksimumkan kepuasan (maximaxy ulitity), dan (b) individu

berperilaku individualistik (individualistic). Kedua, informasi bersifat

sempurna dan produk bersifat identik total. Informasi sempurna

berimplikasi pada pasar bersaing secara sempurna, tidak ada biaya

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 12

transaksi tercakup biaya pemasaran (costless), dan barang atau jasa

disampaikan tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk identik secara

total mengandung arti bahwa produk sama sekali tidak dapat dibedakan

satu sama lain (homogen).

Dalam realitasnya, informasi tidak sempurna dan perlu biaya

mahal untuk memperolehnya. Transaksi ekonomi dihadapkan pada

masalah informasi asimetris, terjadi perilaku moral hazards, dan ongkos

transaksi positif. Diantara produsen dan konsumen dihubungkan oleh

sistem tataniaga yang diperankan oleh pelaku tataniaga (Rahman,

1997; Satana dan Rachman, 2015). Dalam memainkan perannya pelaku

tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang

diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan

harga tersebut dikenal dengan istilah marjin tataniaga (marketing

margin) yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost) yang

dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan pemasaran (profit margin)

yang diterima pelaku tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990).

Terdapat dua pendekatan analisis pemasaran perspektif makro,

yaitu pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja (Structure-Conduct-

Performance/S-C-P) dan pendekatan Chicago Schooll (Gonarsyah,

1996/1997). Pendekatan S-C-P merupakan metode yang dikembangkan

oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1954). Mason dan Bain

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara

struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan

perilaku pihak-pihak pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja

industri itu sendiri (market performance). Asmarantaka (2009)

mengungkapkan pendekatan S-C-P lebih didasarkan pada kajian-kajian

empiris; sedangkan pendekatan Chicago School lebih bersifat agregasi

dan lebih bersifat kuantitatif, lebih menekankan penentuan harga (price

determination), dan lebih banyak melihat pengaruh kebijakan

pemerintah dalam penentuan harga. Pendekatan S-C-P lebih

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 13

menekankan aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris disuatu

wilayah, pembahasan aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan

lebih menekankan penemuan harga (price discovery) serta menjelaskan

tindakan perusahaan atau pedagang yang melakukan penguasaan

pasar (market power).

Hamond and Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur

pasar pada komitas atau produk pangan dan serat, secara terperinci

dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat

Karakteristik struktural Struktur pasar dari sisi pelaku Jumlah

perusahaan Sifat

produk Penjual Pembeli

1. Banyak Standarisasi Persaingan sempurna

Persaingan sempurna

2. Banyak Diferensiasi Monopolistic competition

Monopsonistic competition

3. Sedikit Diferensiasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi Oligopsoni Diferensiasi

5. Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Hamand and Dahl (1977).

Dalam kerangka sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam

struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979). Pasar

Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar dimana terdapat

beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang

saling bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciri-

ciri pasar oligopoli adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2)

barang yang dihasilkan, saling berkompetisi dipasar di pasar; (3)

memiliki kemampuan mempengaruhi harga ada; (4) terdapat hambatan

masuk pasar (barrier to entry); dan (5) pada umumnya perusahaan

oligopoli perlu melakukan promosi melalui iklan.

Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling

mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 14

cermat mengenai reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil

kebijakan menurunkan atau menaikkan harga. Secara umum reaksi dari

perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai berikut (Purcell, 1979) : (1)

Oligopoli A menaikkan harga, oligopoli saingan akan tetap

mempertahankan harga, sehingga dapat merebut langganan; dan (2)

Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti

menurunkan harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan

dapat mengancam usahanya. Kurva permintaan yang dihadapi oleh

perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan yang patah (kinked

demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal revenue MR)

adalah terputus (MR1 dan MR2), secara terperinci dapat dilihat pada

Gambar 1 dan 2 berikut.

Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai

pada saat MC=MR. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada

perusahaan yang mempunyai struktur biaya antara MC1 hingga MC2

(titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat keuntungan maksimum yang

dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat harga Po dan

jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC)

memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang

dihasilkan perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.

00

ED1

D2

P0

Q0

P

Q

MR2

MR1

B2

B1

ED1

D2

P0

Q0

P

Q

MC2

MC1

Gambar1 Gambar2

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 15

Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli

Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa

dalam pasar oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan

kesepakatan diantara mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah).

Dalam pasar oligopolistik, akan sangat menguntungkan bagi semua

perusahaan jika mereka bekerja sama melakukan kesepakatan-

kesepakatan inilah yang disebut kartel.

Secara umum ada 2 (dua) bentuk kartel, yaitu: (1) kartel yang

bertujuan memaksimumkan profit bersama (joint profit maximization); dan

(2) kartel yang bertujuan melakukan pembagian pasar (sharing of the

market). Pada kartel bentuk yang pertama, perusahaan anggota kartel

menyatukan struktur biayanya dan memaksimumkan keuntungan

bersama. Sementara bentuk yang kedua, dibedakan menjadi 2, yaitu: (1)

persetujuan persaingan non harga (non price competition agreement),

sebagai contoh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia; dan (2)

persetujuan quota (Quota agreement).

Biasanya struktur industri dari pasar oligopoli adalah terdapat

beberapa perusahaan besar yang mendominasi industri dan beberapa

perusahaan kecil. Beberapa perusahaan golongan pertama (yang

menguasai pasar) saling mempengaruhi satu sama lain, karena

keputusan dan tindakan oleh salah satu perusahaan dapat mempengaruhi

perusahaan-perusahaan lainnya. Kondisi tidak tercapainya keuntungan

maksimum pada masing-masing perusahaan dalam kartel dapat

diilustrasikan melalui gambar 3, 4 dan 5. Dimana gambar 3 menunjukkan

perusahaan dengan struktur biaya lebih rendah, gambar 4 adalah

perusahaan dengan struktur biaya lebih tinggi dan gambar 5 adalah

gabungan perusahaan 1dan 2 membentuk struktur pasar monopoli

(kartel).

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 16

Keuntungan maksimum kartel dicapai pada saat pemotongan MC

dan MR (di titik e gambar 5), dengan menarik titik tersebut ke kurva

demand dan kemudian dengan menarik ke sumbu vertikal diperroleh

tingkat harga P. Pada tingkat harga tersebut besarnya keuntungan

perusahaan 1 adalah sebesar persegi panjang a,b,c,P, sedangkan

perusahaan 2 sebesar persegi panjang q,f,h,P. Dimana besarnya

keuntungan perusahaan 1 lebih besar dibandingkan perusahaan 2, dan

tingkat keuntungan yang dicapai masing-masing perusahaan bukanlah

keuntungan-maksimalnya.

Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli

2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia

Faktor-faktor yang mendorong permintaan untuk produk

peternakan ke depan ditentukan oleh jumlah penduduk dan

pertumbuhannya, tingkat pendapatan, fenomena urbanisasi dan

segmentasi pasar, serta preferensi konsumen. Produk perunggasan

tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value

products) yang artinya semakin tinggi pendapatan masyarakat maka

semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk perunggasan.

Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih positif

akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Fenomena

MC1 MC2

MR

AC2AC1

a b

e1

x1

cP

Pc

0 x

q

fh

e2

x2x0

P

Pc Pc

P

MC=MC1+MC2

e

x=x1+x2x

D

0

Gambar3 Gambar4 Gambar5

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 17

urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di

perkotaan akan mendorong permintaan produk-produk peternakan.

Selain itu, adanya fenomena segmentasi pasar dan peningkatan jumlah

penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan meningkatkan

permintaan produk-produk peternakan. Perubahan preferensi konsumen

dari konsumsi daging merah (red meat) ke daging putih (white meat)

juga akan meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam.

Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah

produksi, produktivitas dan daya saing produk perunggasan. Hal ini

sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan

dan harga pakan, perubahan tekonologi (genetika, pakan dan logistik),

ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga energi, dan lingkungan

kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar, kebijakan

kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan

lingkungan).

Menurut Fitriani, sistem integrasi tidak mencapai efisisiensi tinggi

disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Terjadi integrasi semu pada indusri perunggasan, dimana

perusahaan peternakan sebagai integrator membentuk semacam

anak-anak perusahaan atau cabang usaha-cabang dengan

manajemen terpisah-pisah.

b. Bahan baku pakan ternak tergantung impor yang harganya terus

menerus mengalami peningkatan, karena persaingan (food, feed,

bio-fuel dan fiber).

c. Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada pasar input dan

oligopsonistik pada pasar output.

d. Terjadi fenomena excess profit bagi pelaku usaha tertentu dan

marginal profit bagi peternak mandiri.

Selain itu, bisnis industri perunggasan saat ini dihadapkan pada

realita dimana harga produk unggas ditingkat peternak terus merosot

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 18

hingga di bawah biaya pokok produksi. Hal ini diakibatkan oleh

meningkatnya harga pakan input produksi terutama harga pakan yang

dipicu oleh meningkatnya harga bahan baku pakan. Hal lain yang juga

tidak hanya dihadapi oleh peternak domestik melainkan juga peternak

global adalah meningkatnya harga input peternakan berupa bibit (DOC),

pakan, obat-obatan, vitamin dan mineral, serta energi dan air bersih.

Kondisi ini diperburuk oleh stagnansi atau pelambatan daya beli

masyarakat terhadap produk hasil unggas.

Kerentanan yang dapat terjadi akibat hal tersebut ditambah lagi

dengan karakteristik permintaan yang berfluktuasi pada hari perayaan

tertentu, mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga daging ayam di

tingkat eceran. Tingkat fluktuasi harga daging ayam broiler dapat dilihat

pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler Sumber: Ditjen PDN, Kemendag, 2015

Meskipun struktur industri perunggasan didominasi oleh system

yang terintegrasi, namun struktur biaya produksi broiler di Indonesia

dapat dikatakan belum efisien. Menurut Tangendjaya (2013), jika

dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 19

Thailand dan Philipina, maka harga biaya produksi broiler di

Indonesia relatif lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di Negara ASEAN

Biaya produksi,harga pakan dan harga DOCdinegara ASEAN(US$)*

Item Indonesia Malaysia Thailand Philippines

Costofdayoldchick 0.38 0.21 0.16 0.27

Feedprice/kg

1.Broilerstarter 0.24 0.21 0.22 0.28

2.Broilergrower 0.23 0.20 0.21 0.25

3.Broilerfinisher - - 0.20 0.20

Costtoproduce1kgliveweightbroiler

0.80 0.63 0.50 0.62

Marketpriceof1kgliveweightbroiler

0.91 0.71 0.75

*Tangendjaja(2013) Sumber: Tangendjaya, 2013

2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia

Industri broiler Indonesia saat ini cenderung oligopolistik. Hal ini

setidaknya dapat diindikasikan pada hal berikut:

(i) Kurang lebih 75 persen pangsa pasar hanya dikuasai oleh 40

persen perusahaan (Prasetya, 2011; Yudja et al., 2004; Fitriani,

2006; Agustina, 2009 dalam Fitriani et al., 2014);

(ii) Perusahaan peternakan skala besar menerapkan sistem integrasi

vertikal (Prasetya, 2011 dalam Fitriani et al, 2014). Penelitian yang

dilakukan oleh Fitriani et al. (2014) yang bertujuan untuk

menganalisis struktur pasar broiler dan mengukur dampak market

power terhadap industri broiler di Indonesia, menunjukkan hasil

sebagai berikut:

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 20

a. Dalam periode 2003 – 2012, rasio konsentrasi dan entry

barrier semakin tinggi.

Indikator 2003 2012 CR4 50,26 54,81

MES 0,13 0,14

Hal ini berarti bahwa perusahaan brolier cukup terbuka tetapi

dalam jangka panjang hanya perusahaan yang efisien yang

akan mampu bertahan.

b. Ada permasalahan yang timbul dari integrasi vertikal saat ini.

Fitriani et al (2014) menyebut intergasi saat ini jauh dari

sempurna karena intergrasinya mengarah pada bentuk

monopoli atau oligopoli.

c. Distorsi pasar menghasilkan pasar yang tidak kompetitif dan

seringkali hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Oleh

karena itu review atas kebijakan pemerintah sangat perlu

dilakukan.

Kondisi saat ini peternak unggas harus berjuang sendirian untuk

meningkatkan daya tawarnya dalam pasar hasil ternak unggas yang

tidak bersaing sempurna. Bahkan, peternak tidak mengetahui bahwa

pasar broiler saat ini tidak bersaing sempurna. Meskipun sudah

dibentuk wadah peternak melalui asosiasi-asosiasi, seperti PPUI

(Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia), yang mengkoordinasikan

peternak unggas rakyat. Asosiasi ini berkedudukan Pejaten, Jakarta

Selatan dan GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional),

yang mengkoordinasikan peternak ayam secara nasional. Asosiasi ini

berkedudukan di Bogor.

Dalam penelitian yang lain Fitriani et al (2014) menyatakan bahwa

integrasi mempengaruhi konsentrasi pasar dan kekuatan pasar.

Menurut Wang (2012) dalam Fitriani et al. (2014) menyebutkan industri

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 21

yang terkonsentrasi akan memiliki kekuatan pasar yang tinggi,

akibatnya kesejahteraan sosial akan menurun. Hal ini sejalan dengan

kinerja industri broiler yang menunjukkan perkembangan harga daging

ayam meningkat seiring dengan peningkatan produksi dari waktu ke

waktu.

Salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi harga dan integrasi

pasar/harga adalah dengan menggunakan metode Ravalion. Pada

tahun 1994, Carol dan John melakukan penelitian tentang integrasi

pasar di pasar beras Indonesia dengan judul Cointegration and Market

Integration: An Application to the Indonesian Rice Market menggunakan

model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa secara umum terdapat

integrasi pasar antara harga beras di 7 daerah sampel (Jakarta,

Bandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Papua);

Selain itu, Tahir (1997) melakukan kajian integrasi pasar komoditi

pertanian (gandum, kapas, dan beras) dengan judul Integration of

Agricultural Commodity Markets in The South Punjab Pakistan

menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa integrasi

pasar untuk beras di Pakistan menghasilkan dua kesimpulan yang

berbeda. Untuk daerah produsen beras yang memiliki harga acuan,

ditemukan integrasi pasar beras dan sebaliknya. Sementara untuk

gandum dan kapas secara umum hasil yang didapat menunjukkan

bahwa kedua komoditi ditemukan memiliki integrasi pasar;

Penelitian yang dilakukan Malian dan Adimesra (2003), dengan

judul Struktur Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di

Daerah Produksi Utama, mencoba mengetahui struktur dan integrasi

pasar lada hitam dan lada putih di Indonesia dengan model Ravallion.

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada integrasi pasar antara

tingkat pasar petani dengan tingkat pasar pedagang besar. Hal ini

terjadi disebabkan karena tidak tersedianya informasi pasar yang cukup,

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 22

sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh

pedagang;

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Sayaka (2006) dengan

pendekatan SCP pada industri benih jagung di Provinsi Jawa Timur

mendapatkan hasil struktur pasar produsen benih jagung di Provinsi

Jawa Timur berbentuk oligopolistic. Secara umum pasar benih jagung di

Jawa Timur kurang efisien. Dengan pendekatan yang sama (SCP),

Septiani (2013) menganalisis struktur-perilaku-kinerja dalam persaingan

industri pakan ternak di Indonesia dan menyimpulkan bahwa struktur

pasar industri pakan ternak di Indonesia adalah struktur pasar oligopoli

longgar. Sedangkan perilaku industri pakan ternak di Indonesia

menggunakan strategi harga, produk dan promosi. Di sisi kinerja,

didapat kesimpulan bahwa kinerja industri pakan ternak di Indonesia

masih kurang baik.

2.5. Kerangka Pemikiran STRUKTURINDUSTRI

AYAMBROILER

Terintegrasi Non–Terintegrasi/Mandiri

LIVEBIRD

StrukturBiayaProduksi Analisis

StrukturBiaya- DOC

- Pakan- Vaksin

SCP

REKOMENDASIKEBIJAKAN

Kemitraan

Peternak

PedagangPengumpul

PedagangBesar

(Grosir)

RumahPotongAyam

PedagangEceran Rumusan

kebijakanyangmendorong

efisiensidistribusiayambroiler.

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian Sumber: Tim Peneliti

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 23

3. BAB III METODE PENGKAJIAN

3.1. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari

2 tools analysis yaitu analisis struktur biaya produksi dan Structure

Conduct Performance (SCP). Tujuan penelitian pertama akan dijawab

dengan menggunakan metode analisis struktur biaya produksi

sedangkan tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan metode

SCP.

3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri

Analisis struktur biaya produksi digunakan untuk melihat

perbedaan struktur biaya antara peternak kemitraan dan peternak

mandiri dalam menghasilkan produk ayam broiler. Meskipun

secara hipotesa dapat dipastikan bahwa struktur biaya produksi

peternak kemitraan lebih kecil yang artinya lebih efisien, namun

penelitian ini ingin melihat sejauh mana perbedaan struktur biaya

antara keduanya. Hal ini akan bermanfaat bagi pengambil

kebijakan dalam merespon semakin berkurangnya keberadaan

peternak mandiri akibat sulit bersaing dengan perusahaan

terintegrasi.

Selain itu, analisis struktur biaya ini juga untuk melihat

tingkat pendapatan sehingga masing-masing dapat dibandingkan

tingkat pendapatan per unit produksi. Untuk mengetahui struktur

biaya (biaya sapronak dan biaya operasional), penerimaan dan

pendapatan dilakukan dengan analisis diskriptif, yakni dengan

mengetahui besarnya masing jenis biaya dengan persentase.

Sementara untuk melihat tingkat pendapatan digunakan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 24

perhitungan sebagaimana dikembangkan oleh Soekartawi (1993)

yaitu sebagai berikut :

π = TR – TC

dimana: π = keuntungan (margin) usaha ternak

TR = total penerimaan

TC = total biaya

Return/Cost (R/C) ratio adalah merupakan perbandingan antara

total penerimaan dengan total biaya dengan rumusan sebagai

berikut (Soekartawi, 1993):

a = R / C

R = Py x Y

C = FC + VC

a = Py x Y / (FC+VC)

keterangan :

a = R / C ratio

R = penerimaan (revenue)

C = biaya (cost)

Py = harga output

Y = output

FC = biaya tetap (fixed cost)

VC = biaya variable (variable cost)

Kriteria keputusan: R/C > 1, usaha ternak untung

- R / C < 1, usaha ternak rugi

- R / C = 1, usaha ternak impas (tidak untung/tidak rugi)

Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar R/C

ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh

peternak.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 25

3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP)

Pendekatan SCP merupakan pendekatan analisis yang

dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain

(1959). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan

yang langsung dan kuat antara struktur pasar sebuah industri

(market structure), praktek bisnis dan perilaku pihak-pihak

pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja industri itu sendiri

(market performance). Model ini pertama kali dikembangkan

dalam bidang organisasi industri, memiliki keunggulan antara lain

analisis yang lebih komprehensif dan kesimpulan yang dihasilkan

jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan analisis

tradisional yang memiliki kecenderungan menggunakan analisis

parsial.

Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur,

Perilaku dan Kinerja Sumber: Sayaka B, 2006

A. Structure Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi

dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak

sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi

tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik.

Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah

perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 26

1) Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil

penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan.

Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi

perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya

menandakan kekuatan pasar yang besar dalam

menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar

dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan

nilai penjualan. Pada produk yang bersifat homogen

seperti ayam broiler pangsa pasar diukur dengan

menggunakan unit atau volume penjualan.

2) Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran

tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai

sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja

perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara

tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan

atau kolusi. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan

derajat oligopoli. Pada penelitian ini untuk menganalisis

konsentrasi menggunakan jumlah pelaku usaha yang

terlibat dalam satu pasar.

3) Hambatan Untuk Masuk (Barrier to Entry)

Barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap

bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang

baru (new entrant) untuk bersaing atas dasar yang sama

dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam definisi ini,

kombinasi biaya dan skala ekonomi dapat menjadi barrier

to entry. Secara operasional hambatan masuk dapat

dilakukan dengan melihat perbandingan struktur biaya,

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 27

harga jual, dan keuntungan antar pelaku usaha dalam

sistem distribusi/pemasaran ayam broiler.

B. Conduct (Perilaku) Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu.

Terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu

strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Perilaku

pasar mencakup (Asmarantaka, 2009; Saptana dan

Saliem, 2015): (a) Penentuan harga dan setting level of

output, secara bersama-sama atau price leadership; (b)

Perilaku dalam kerjasama antar pelaku usaha dapat

direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar

pelaku dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga

dengan menggunakan tingkat integrasi pasar, secara

kuantitatif dapat menggunakan integrasi pasar (Ravallion,

1986); (c) Kebijakan promosi produk (product promotion

policy), melalui pameran atau iklan atas nama

perusahaan (Commodity Check of Program & Levy

System); dan (d) Predatory and Exclusivenary, strategi ini

bersifat ilegal karena bertujuan untuk mendorong

perusahaan pesaing keluar dari pasar.

Perilaku pasar juga mengenal adanya integrasi

horisontal oleh perusahaan peternakan, integrasi vertikal

dari hulu hingga hilir, pola-pola kemitraan usaha antara

perusahaan peternakan sebagai inti dan peternak mandiri

sebagai plasma. Integrasi horisontal dan vertikal dapat

menimbulkan efisisiensi, namun dapat berdampak anti

persaingan secara sehat.

Salah satu model yang dapat digunakan untuk

melihat tingkat efisiensi harga adalah Model Ravallion

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 28

(1986). Model ini telah digunakan secara luas dan

dikembangkan serta didiskusikan dalam analisis integrasi

pasar spasial.

Dimana Pit adalah harga di eceran i di waktu t, Plt adalah

harga di produsen, dan Xit adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi harga di eceran.

Kelebihan model Ravallion adalah Integrasi pasar

dengan menggunakan model Ravallion dapat

menentukan leading market diantara pasar-pasar lokal.

Sementara itu, beberapa kekurangannya adalah: (1)

Adanya asumsi bahwa ada satu pasar pusat yang

dikelilingi beberapa pasar lokal sehingga perlu

pengetahuan tentang struktur pasar; (2) Derajat

keterpaduan pasar juga tidak dapat diukur dengan model

ini; (3) Model Ravallion sesuai untuk menganalisis

keterpaduan jangka pendek dan juga sesuai untuk data

bulanan, tetapi tidak cocok untuk menganalisis

keterpaduan jangka panjang.

Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua

variabel tersebut terhadap harga di tingkat petani,

Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan

pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market

Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua

variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di

tingkat petani, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila

nilai indeks IMC = 0 yaitu b1 = -1, dikatakan pasar

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 29

terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 =

b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi.

C. Performance (Kinerja)

Kinerja adalah hasil dari kekuatan perusahaan dan

perilaku perusahaan. Kinerja merupakan tolok ukur dari

keberhasilan strategi perusahaan. Apabila kinerja

perusahaan baik maka dapat dianggap strategi

perusahaan berhasil. Analisis Keragaan pasar (market

performance) menekankan pada analisis pasar serta

pengaruhnya terhadap jumlah output dan harga yang

terjadi di pasar. Keragaan pasar mencakup tingkat

efisiensi pemasaran, margin pemasaran, kapasitas

penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan

insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk,

dan kepuasan konsumen).

Beberapa indikator utama pengukur kinerja

(performance) adalah sebagai berikut:

1) Keuntungan Neoklasik mengasumsikan bahwa pendapatan

yang tinggi adalah hasil dari pangsa pasar

perusahaan dominan. Menurut aliran Chicago School

pendapatan yang tinggi merupakan hasil dari

efisiensi biaya produksi. Menurut ahli ekonomi lain,

pendapatan yang tinggi adalah hasil dari inovasi,

atau hasil dari manajerial yang baik. Keluar atau

bertahannya suatu perusahaan dalam suatu industri

ditentukan oleh keuntungan yang didapat. Variabel ini

merupakan dampak langsung dari struktur pasar.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 30

2) Margin Tata Niaga Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga

tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan

harga yang diterima produsen dengan harga yang

dibayar konsumen. Perbedaan harga tersebut dikenal

dengan istilah marjin tataniaga (marketing margin)

yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost)

yang dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan

pemasaran (profit margin) yang diterima pelaku

tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990). Secara

matematis digunakan rumus sebagai berikut:

∑ ∑= =

∏+=m

i

n

jjCiM

1 1 Dimana :

M = marjin pemasaran

Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m)

m = jumlah jenis pembiayaan

π = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j =

1,2,3, …n)

n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian

dalam proses pemasaran tersebut.

Dengan menggunakan persamaan ini dimana rata-

rata biaya pemasaran Ci dan keuntungan πi

dikumpulkan melalui survei, maka marjin pemasaran

dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang

diterima petani produsen dari harga pedagang besar

atau pengecer dapat ditentukan.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 31

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data

3.2.1. Data dan Sumber Data Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data

yang dibutuhkan adalah:

- Biaya produksi peternak mandiri dan non-mandiri

- Perkembangan harga eceran

- Perkembangan harga bibit (DOC)

- Perkembangan harga pakan

- Jumlah pelaku dalam setiap simpul (dalam satu level)

- Proses bisnis dalam setiap simpul (dalam satu level)

- Biaya distribusi pedagang eceran

- Profil perusahaan yang terkait dengan industri pakan

menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja,

segmen pasar dan lain-lain.

- Profil perusahaan yang terkait dengan industri ayam broiler

menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja,

segmen pasar dan lain-lain.

Data-data yang dibutuhkan di atas akan dikumpulkan melalui

pengumpulan langsung di daerah (primer) dan melalui publikasi

dari berbagai sumber.

3.2.2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu

pengumpulan data sekunder dan primer. Data sekunder

diperoleh dari berbagai sumber meliputi Ditjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, BPS, dan

Sekretariat Negara.

Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Jakarta akan

dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali. Diskusi pertama

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 32

dilaksanakan untuk mendapatkan masukan mengenai rumusan

masalah, ruang lingkup kajian dan metode analisis serta teknik

wawancara dan pengambilan data. Diskusi terbatas kedua akan

dilaksanakan setelah pelaksanaan survei tim ke beberapa

daerah. Pelaksanaan diskusi terbatas kedua bertujuan untuk

mendapatkan masukan mengenai hasil pengolahan data

sementara dan hasil analisis. Sementara diskusi ketiga dilakukan

untuk mendapatkan masukan dari pakar dan stakeholder

perunggasan dalam rangka perumusan usulan kebijakan sektor

perunggasan sekaligus perumusan draft memo kebijakan.

Diskusi terbatas juga dilaksanakan di masing-masing

wilayah survei yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat,

Kalimantan Timur dan Bali. Pelaksanaan diskusi terbatas di

daerah survei ini untuk mendapatkan masukan sekligus klarifikasi

atas hasil wawancara di daerah. Selain melalui diskusi terbatas,

pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara di

beberapa daerah dengan panduan kuesioner.

3.2.3. PerencanaanSamplingPenelitian akan dilakukan di lima provinsi yaitu Provinsi

Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali dan Sumatera

Barat. Dari masing-masing provinsi akan ditentukan dua

kabupaten/kota yang masing-masing mewakili daerah sentra

produksi dan kabupaten/kota pusat konsumsi/pasar.

Responden penelitian ini relatif luas yang dapat

dikelompokkan menjadi 5 katagori utama yaitu: (1) peternak

mandiri; (2) peternak plasma; (3) pedagang pengumpul di daerah

sentra produksi; (4) pedagang besar antar wilayah dari daerah

sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi/pasar; (5) pedagang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 33

grosir di pasar tradisional; (6) pedagang pengecer di pasar

tradisional; (7) pedagang retail di pasar modern (meat shop,

super market/hyper market, pasar swalayan); (8) Rumah Potong

Ayam (RPA); dan (9) dinas atau instansi terkait di tingkat pusat

dan provinsi penelitian, serta informan kunci di lapangan

(Assosiasi Peternak dan Assosiasi lainnya). Secara rinci

cakupan, jenis, dan jumlah responden ditampilkan pada Tabel

3.1.

Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima

Provinsi, Indonesia, 2016

Jenis responden

Jabar

Jateng

Jatim

Bali Sumbar Total

1. Peternak Mandiri 4 4 4 4 4 20 2. Peternak Plasma 3 3 3 3 3 15 3. Pedagang

Pengumpul 2 2 2 2 2 10

4. Pedagang Besar antar Wilayah

2 2 2 2 2 10

5. Pedagang Grosir pasar

2 2 2 2 2 10

6. Pedagang pengecer pasar

3 3 3 3 3 15

7. Ritel pasar modern 2 2 2 2 2 10 8. RPA/RPU 2 2 2 2 2 10

Total 20 20 20 20 20 100

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 34

4. BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA

DISTRIBUSI AYAM BROILER

4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia

Peternakan broiler di Indonesia umumnya berlokasi di daerah-daerah

dimana konsumen broiler cukup besar terutama di kota-kota besar seperti

Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Makasar, serta kota-kota

pusat pasar termasuk Samarinda dan Balikpapan dan daerah-daerah

sentra produksi dengan dukungan bahan baku pakan ternak. Secara

empiris daerah sentra produksi broiler terkonsentrasi pada daerah yang

dekat dengan pusat pasar dan merupakan sentra produksi bahan baku

pakan utama yaitu jagung.

Usahaternak broiler memiliki karakteristik yang hampir sama di

seluruh wilayah survei. Sistem usahaternak broiler terdiri dari peternak

mandiri, peternak kemitraan internal dan peternak kemitraan eksternal.

Peternak mandiri adalah peternak yang menyediakan semua input atas

biaya sendiri dan memiliki kebebasan dalam menjual hasil produksi broiler.

Peternak dengan sistem kemitraan internal atau biasa juga disebut

peternak mitra pabrikan adalah peternak yang bermitra dengan perusahan

melalui perjanjian kemitraan yang dituangkan dalam kontrak kerjasama.

Pabrikan (perusahaan inti terintegrasi) menyediakan bibit, pakan, dan

obat-obatan kepada peternak. Peternak bertanggung jawab memelihara

ayam broiler hingga siap panen dimana hasil panen akan diambil oleh

perusahaan sesuai dengan harga yang sudah disepakati dalam perjanjian.

Sementara, peternakan dengan sistem peternak kemitraan eksternal

adalah peternak yang bekerjasama/bermitra dengan pemodal yang

menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan. Pihak pemodal bisa dari

perusahaan perseorangan, peternak skala besar, dan atau toko sarana

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 35

produksi peternakan (poultry shop). Ayam broiler yang siap panen

kemudian dijual kepada mitra sesuai dengan kesepakatan awal yang

tertuang dalam kontrak kemitraan.

4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler A. Provinsi Jawa Timur

Peternak ayam broiler di wilayah Jawa Timur terdiri dari

peternak kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal),

kemitraan non pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri.

Jalur distribusi ayam broiler di wilayah Jawa Timur secara umum

adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup kepada mitra

yang biasanya diarahkan kepada rumah potong ayam (RPA) untuk

kemudian dijual ke pedagang besar. Pedagang besar kemudian

menyalurkan ke pedagang bakulan untuk seterusnya didistribusikan

kepada pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional.

Provinsi Jawa Timur sebagai sentra utama ayam broiler

memiliki peran yang cukup besar dalam produksi daging ayam dan

merupakan salah satu penentu harga yang terjadi di wilayah Jawa dan

luar Jawa. Hal ini disebabkan peran Jawa Timur dalam perdagangan

antar pulau untuk ayam dan telur tergolong cukup besar karena

pasokan untuk wilayah Indonesia timur sebagian besar berasal dari

Jawa Timur.

Saat ini produksi ayam broiler di Jawa Timur telah mencapai

sekitar 35 juta ekor per periode. Dinas Peternakan menginformasikan

bahwa peternak mandiri seringkali mendapatkan bibit dan pakan

dengan kualitas yang kurang baik jika dibandingkan pakan dan bibit

DOC yang digunakan untuk budidaya sendiri dan diberikan

perusahaan kepada mitra plasma. Hal ini mengakibatkan kualitas

ayam yang dihasilkan peternak mandiri lebih rendah dibandingkan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 36

hasil produksi perusahaan terintegrasi dan peternak mitra perusahaan

pabrikan.

Besaran biaya produksi peternakan dengan sistem kemitraan

eksternal dan pabrikan pada prinsipnya sama dalam hal besaran biaya

yang dikeluarkan. Pada pabrikan biaya produksi relatif lebih kecil

namun biaya manajemen cukup tinggi karena perusahaan harus

menggaji manajer beserta fasilitasnya sehingga biaya operasional

manajemen tinggi. Sebaliknya, peternakan kemitraan eksternal

memiliki biaya produksi yang relatif lebih tinggi karena adanya biaya

transportasi sarana produksi peternakan (sapronak), namun biaya

manajemen yang lebih rendah.

Adapun permasalahan seputar harga yang terus mengalami

penurunan di tingkat peternak, hal ini diduga akibat kelebihan produksi

(over supply) ayam broiler. Kelebihan produksi ini dinilai karena

tidak/belum adanya audit atas produksi Grand Parents (GP) dan Great

Grand Parents (GPS). Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian

data atas kebutuhan total bibit DOC yang dibutuhkan sehingga terjadi

kelebihan suplai atas bibit DOC. Informasi mengenai jumlah kebutuhan

DOC dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam perhitungan

final stock dan kebutuhan peternak. Pengaturan impor untuk GP, GPP,

dan DOC perlu dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan

besar sehingga dapat menciptakan ruang usaha yang lebih

berkeadilan. Saat ini di Provinsi Jawa Timur belum ada Peraturan

Daerah yang mengatur secara khusus mengenai sistem kemitraan,

sehingga kemitraan yang ada hanya didasarkan atas perjanjian dua

pihak yang bermitra.

Hasil kajian empiris di lokasi penelitian Jawa Timur memberikan

temuan sebagai berikut: (1) Penguasaan oleh perusahaan peternakan

skala besar melalui budidaya sendiri, kemitraan usaha internal, dan

terakhir melalui pengembangan kandang ayam tertutup (close hause)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 37

skala besar-besaran diperkirakan mencapai (60%); (2) Penguasaan

pemodal besar yang berperan sebagai inti dalam kemitraan eksternal

(20%); dan (3) Penguasaan peternak mandiri, meskipun secara

individu memiliki skala dari kecil hingga cukup besar (20%).

Beberapa perusahaan peternakan skala besar (PT. Charoen

Phokphan Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Anwar Sierad Produce,

dan PT. Cargill) melakukan integrasi vertikal dalam usahanya.

Integrasi dilakukan dengan penguasaan atas seluruh atau sebagian

besar jaringan agribisnis dari industri hulu hingga hilir (breeding farm,

feed mill, budidaya, RPU/RPA, pengolahan), di mana keseluruhan unit

usaha berada dalam satu managemen pengambilan keputusan.

Dari hasil kajian di lapang di Jawa Timur menunjukkan adanya

indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri perunggasan, baik

integrasi secara penuh maupun integrasi secara parsial. Beberapa

alasan pokok perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi

vertikal adalah: (1) Bisnis perunggasan (broiler) tergolong jenis bisnis

berintensitas tinggi yang tingkat keberhasilannya bersandar pada

ketepatan pengelolaan pada setiap fase-fase pertumbuhan broiler; (2)

Produktivitas broiler sangat tergantung pada pakan ternak baik dari

jumlah maupun mutunya, hal ini mengharuskan anggota mitra harus

menggunakan pakan produksi perusahaan inti atau perusahaan yang

menjadi induk perusahaan dari inti; dan (3) Produk akhir (final product)

dari industri broiler merupakan produk yang dihasilkan melalui

tahapan-tahapan produksi mulai dari hulu hingga ke hilir, di mana

produk antara adalah makluk biologis bernilai ekonomi tinggi, sehingga

mensyaratkan peternak mitra menggunakan DOC yang dihasilkan

perusahaan inti atau perusahaan yang menjadi induk perusahaan dari

inti.

Dengan karakteristik dasar yang demikian menuntut

pengelolaan bisnis broiler dilakukan terintegrasi secara vertikal. Dalam

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 38

hal ini terdapat beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Bagi peternak

mitra mendapatkan jaminan pasokan sarana produksi peternakan dan

penjualan hasil, namun harus mengikuti aturan-aturan dalam

kemitraan usaha tergantuk pola kemitraan yang dipilih; (2) Bagi

peternak mitra mendapatkan jaminan keuntungan dan terbaginya

resiko, dengan syarat mencapai standar-standar teknis yang

ditetapkan, terutama tingkat kematian (mortalitas), nilai rasio konversi

pakan (feed convertion ratio/FCR), umur panen dan indeks prestasi;

(3) Bagi peternak rakyat (peternak mandiri) akan menghadapi masalah

ganda yaitu menghadapi struktur pasar oligopoli pada pasar input

(DOC, pakan, serta vitamin dan obat-obatan) dan struktur pasar

oligopsonistik dipasar output. Implikasinya adalah peternak akan

membayar harga input produksi yang lebih tinggi dari yang seharusnya

dan menerima harga jual broiler lebih rendah dari yang seharusnya.

Kondisi ini menyebabkan peternak mandiri di Jawa Timur

memiliki posisi tawar yang relatif rendah. Beberapa faktor penjelas

sulitnya peternak rakyat adalah: (1) Integrasi vertikal yang dijalankan

perusahaan peternakan skala besar adalah integrasi vertikal yang

semu, sehingga menciptakan masalah margin ganda; (2) Struktur

perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah

perusahaan yang oligopolistik di pasar input produksi (DOC dan pakan

ternak) dalam bentuk oligopoli terpimpin, jika perusahaan pemimpin

melakukan kebijakan harga akan diikuti perusahaan-perusahaan

lainnya; dan (3) Secara empiris di lapang struktur oligopolistik pada

pasar output ditunjukkan adanya kesepakan harga melalui penentuan

harga posko yang ditentukan melalui kelembagaan PINSAR sebagai

harga acuan dalam penebusan harga broiler oleh pedagang ke

peternak yang menjadi anggota mitra perusahaan peternakan skala

besar dan pemodal besar.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 39

Perusahaan-perusahaan peternakan skala besar baik secara

nasional maupun di lokasi penelitian Jawa Timur di samping

melakukan integrasi vertikal juga melakukan integrasi horisontal, yaitu

penggabungan penguasaan perusahaan yang menghasilkan barang

atau produk sejenis yang saling bersaing di pasar. Dalam batas-batas

tertentu integrasi horisontal dapat dilakukan tanpa penggabungan

penguasaan perusahaan yang sejenis, namun secara empiris dilapang

hanya dalam bentuk assosiasi-assosiasi dalam mencapai

kesepakatan-kesepakatan bisnis broiler.

B. Provinsi Sumatera Barat

Sebagaimana peternak di Jawa Timur, peternak ayam broiler di

wilayah Sumatera Barat juga terdiri dari peternak kemitraan pabrikan

terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non pabrikan (kemitraan

eksternal) dan peternak mandiri. Di wilayah Sumatera Barat, jumlah

peternak mandiri masih ada namun sangat sedikit. Peternak yang

masih bertahan hanya peternak yang memiliki modal besar dengan

skala usaha yang tergolong besar.

Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan

pabrikan yaitu pedagang besar membeli ke perusahaan dalam bentuk

DO yang kemudian DO akan dikirim ke peternak untuk diambil ayam

broiler yang sudah dipanen sesuai jumlah ayam broiler dengan

pemesanan (DO). Peternak tidak mengetahui berapa harga jual yang

ditetapkan oleh perusahaan ke pedagang besar yang akan membeli.

Harga yang diterima peternak hanya menerima harga berdasarkan

kontrak yang ditetapkan oleh perusahaan.

Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Sumatera

Barat adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup atau per

ekor. Peternak Kemitraan menjual ayam broiler yang sudah dipanen

dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan mitra

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 40

dengan harga sesuai dengan perjanjian. Harga minimal dalam

perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg berat hidup. Jika harga

dipasar saat ini sebesar Rp 18.000/kg berat hidup, maka peternak

akan mendapat insentif sebesar 30% dari selisih harga di pasar.

Namun, sebaliknya jika harga di pasar lebih rendah peternak tidak

mendapat insentif. Kemudian pedagang pengumpul atau pedagang

besar atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan inti melalui

DO. Kemudian pedagang pengumpul akan mendistribusikan ayam

hidup ke pedagang besar (grosir) dan pengecer di pasar tradisional.

Di Sumatera Barat, Rumah Potong Ayam (RPA) berperan

sebagai jasa pemotong dan jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam

hidup dari perusahaan bukan dari peternak mandiri, karena harga beli

di perusahaan lebih murah. Kemudian menjual ayam hidup ke

pedagag besar (grosir) dan pedagang pengecer atau rumah tangga.

Karakteristik masyarakat di Sumatera Barat adalah lebih suka

membeli ayam hidup yang kemudian langsung di potong di pasar

dibandingkan membeli dalam bentuk karkas. Kondisi ini membuat

relatif sedikit ayam dalam bentuk karkas yang beredar di pasar-pasar

tradisional. Selain itu karakteristik penjualan daging ayam di wilayah

Sumatera Barat adalah dalam satuan ekor dan tidak dijual per

kilogram. Namun untuk pasar ritel modern, daging ayam dijual dalam

bentuk karkas dan perbagian (parting).

Pedagang pengumpul atau bakul dapat langsung membeli

ayam hidup dari perusahaan (pabrikan) sesuai harga pasar dan

kemudian menjual ayam hidup secara langsung di pasar tradisional.

Kondisi ini menjadi masalah bagi pedagang pengecer di pasar

tradisional, karena harga jual bakul menjadi relatif lebih murah

dibandingkan harga jual pedagang pengecer. Sebenarnya bakul

menjual ayam hidup dengan jumlah yang lebih besar karena perannya

sebagai pedagang pengumpul. Namun, faktanya bakul dapat menjual

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 41

ayam hidup secara eceran ke pasar tradisional dengan harga yang

lebih murah dari harga pedagang pengecer. Selain bakul, RPA juga

bisa menjual ayam potongnya langsung ke konsumen akhir. Untuk itu,

pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat berencana akan membuat

peraturan terkait dengan tataniaga ayam broiler, khususnya untuk

pengaturan pedagang pengumpul atau bakul dalam menjual ayam

hidup.

Di wilayah Sumatera Barat, kenaikan harga daging ayam

merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar selain cabe dan

bawang merah. Terdapat dua perusahaan inti di Sumatera Barat yaitu

Jafpa Comfeed dan Charoen Phokpand Indonesia dimana pangsa

pasar kedua perusahaan tersebut sekitar 60% di Sumatera Barat.

Pada tahun 2015 semester I, serapan pasar PT. Charoen Phokpan

Indonesia sebanyak 110 ribu ekor/hari, sementara PT.Jafpa Comfeed

sebanyak 100 ribu ekor/hari. Terdapat juga pola kemitraan eksternal

yaitu peternak dengan Poultry Shop (PS) dan peternak mandiri.

Namun saat ini, jumlah peternak yang non kemitraan (mandiri)

maupun kemitraan eksternal sudah mulai berkurang jumlahnya yang

tersisa sekitar 10%.

Dalam rangka melindungi eksistensi peternak mandiri dan

peternak mitra, saat ini pemerintah daerah telah mengeluarkan

Peraturan Gubernur No 40 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan

pola kemitraan ayam pedaging (broiler). Dalam peraturan tersebut

pada pasal 12 peran pemerintah dalam hal pembinaan, pengendalian

dan pengawasan meliputi: (i) memberikan fasilitasi pada perusahaan

inti, plasma dan semua stakeholder dalam pengembangan usaha baik

teknis maupun non teknis, (ii) penetapan biaya pokok produksi (HPP),

serta (iii) memfasilitasi pengendalian ketersediaan bahan baku pakan,

DOC, penawaran-permintaan (supply demand) dan kuota produksi.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 42

Saat ini di Provinsi Sumatera Barat sudah mengeluarkan

Peraturan Gubernur tentang kemitraan. Dalam implementasi dengan

pola kemitraan, perusahaan inti diharapkan dapat bersikap adil dalam

melaksanaan pola kemitraan yang tertuang dalam kontrak terutama

dalam pembagian hak dan kewajiban. Meskipun sudah ada

pengaturan, peternak menginginkan agar dibuat pengaturan harga

ayam hidup berdasarkan ukuran yang dicantumkan dalam surat

perjanjian atau kontrak. Keluhan dari pelaksanaan pola kemitraan

yang lain adalah adanya batasan pasokan khususnya pada hari raya

lebaran dimana perusahaan inti membatasi pasokan DOC yang

menyebabkan jumlah ayam di pasaran terbatas, sehingga peternak

mitra terbatas skala usahanya.

C. Provinsi Bali

Peternak ayam broiler di wilayah Bali terdiri dari peternak

kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non

pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri. Peternakan di

Bali didominasi oleh peternak kemitraan pabrikan. Namun demikian

masih ditemukan peternak-peternak mandiri yang jumlahnya kurang

lebih 15 orang dengan skala usaha 10000 – 100000 ekor yang

tersebar di seluruh Bali. Terdapat juga peternak model kemitraan

eksternal yang masih eksis di Bali. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bali adalah

dari peternak dijual ke pedagang pengumpul yang kemudian dialirkan

kepada pedagang grosir dan atau pengecer, selanjutnya dijual kepada

konsumen rumah tangga atau konsumen lainnya (rumah

makan/restaurant). Untuk peternak mandiri dan peternak kemitraan

eksternal, jalur distribusinya adalah dari peternak langsung ke

penangkap atau lebih dikenal ke pedagang pengepul yang merangkap

RPA rumahan yang volume pembelianya relatif kecil berkisar 100 –

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 43

200 kg ayam hidup sebelum disalurkan ke pedagang pengecer yang

disalurkan ke konsumen rumah tangga. Sementara itu, untuk peternak

mitra pabrikan, ayam hasil produksinya akan diambil pihak perusahaan

dan dijual ke RPA yang merupakan afiliasi dari perusahaan induknya. Menurut Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Dinas Peternakan Provinsi Bali kondisi peternak mandiri di Bali saat ini

sedang terhimpit dan mendapat tekanan dari sisi hulu dan hilir bahkan

ada beberapa peternak yang mengalami gulung tikar. Dinas

Peternakan Provinsi Bali berupaya untuk mendorong peternak ayam

mandiri agar lebih mampu bersaing melalui kegiatan fasilitasi dan

penguatan sumber daya peternak ayam mandiri. Ketua Gabungan Peternak Unggas Bali menyampaikan

pertumbuhan peternak ayam mandiri di Provinsi Bali dari tahun 2007 –

2010 cukup baik, namun lima tahun pasca dikeluarkannnya UU No. 18

tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kondisi

peternakan mulai berat dan bertambah parah. Dalam UU tersebut

dinyatakan bahwa korporasi bisa bergerak di sektor budidaya baik

melalui kemitraan atau diusahakan sendiri. Pasca UU tersebut jumlah

peternak kemitraan semakin bertambah dan jumlah peternak mandiri

semakin berkurang. Salah satu dampak implementasi UU ini adalah

meningkatnya jumlah pasokan bibit ayam DOC yang masuk ke

provinsi Bali yang menyebabkan harga ayam broiler ditingkat peternak

turun. Kepala RPA PT. Ciomas Adisatwa Region Bali menyampaikan

bahwa prinsip operasi RPA didasarkan pada harga pasar dan kualitas

produk ayam. RPA akan memotong ayam sebanyak-banyaknya jika

mendapatkan ayam dengan harga murah dan sehat. Pengiriman ayam

hasil potongan didasarkan pada permintaan, sementara ayam yang

tidak terjual pada hari itu bisa disimpan dalam cold storage sampai

dengan 1 bulan kedepan.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 44

Pengaturan impor untuk GP, GGP, dan DOC perlu dilakukan

terutama bagi perusahaan-perusahaan besar sehingga jumlah

pasokan bibit DOC yang dihasilkan sesuai dengan jumlah kebutuhan.

Selain itu, audit atas Grand Parents dan Great Grand Parents perlu

dilakukan untuk menghindari terjadinya pasokan berlebih (over

supply). Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam

perhitungan kebutuhan final stock dan kebutuhan peternak. Dalam hal kemitraan, diharapkan inti dapat menerapkan sistem

yang lebih berkeadilan sehingga keuntungan dapat dirasakan baik

bagi inti maupun plasma. Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam

kemitraan adalah adanya pembagian manfaat yang adil berdasarkan

kontribusinya masing-masing. Pada sisi pemasaran perlu adanya

perbaikan rantai pemasaran agar lebih pendek dengan memanfaatkan

cold storage sehingga stabilisasi harga dapat dicapai.

D. Provinsi Kalimantan Timur

Peternak ayam broiler di wilayah Balikpapan terdiri dari 95 %

peternak kemitraan dan 5% peternak mandiri, komposisi tersebut akan

sedikit berubah pada masa lebaran yaitu menjadi 90% kemitraan dan

10% mandiri. Jumlah peternak kemitraan di Kota Balikpapan yang

tercatat oleh asosiasi pada tahun 2016 terdiri 14 perusahaan

sedangkan untuk Kota Samarinda sebanyak 20 Perusahaan. Dari 14

perusahaan kemitraan yang ada di Kota Balikpapan terbagi menjadi 2

jenis yaitu kemitraan Internal yaitu kemitraan peternak mitra dengan

perusahaan besar seperti PT. Charond Phokpand Indonesia dengan

proporsi sekitar 40% dan kemitraan eksternal, yaitu kemitraan

peternak mitra dengan pemilik modal seperti perusahaan yang

memiliki kemampuan membeli pakan dalam skala besar dengan

proporsi sekitar 60%. Perusahaan Pakan Besar (perusahaan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 45

integrator) yang ada di kota Balikpapan hanya ada 2 yaitu Charoen

Phokpan Group dan Samsung Super Unggas.

Jumlah peternak ayam broiler yang berada di wilayah

Balikpapan berjumlah 125 peternak. Pada umumnya peternak bermitra

dengan pemilik modal (60%) atau disebut dengan kemitraan eskternal

dan sekitar 40% bermitra dengan perusahaan/pabrikan atau disebut

kemitraan internal. Total pasokan ayam broiler oleh peternak untuk

wilayah Balikpapan sebanyak 37 ribu ekor/hari, sementara untuk

wilayah Samarinda sebanyak 41-47 ribu ekor/hari dengan berat hidup

sekitar 1,2 – 2 kg/ekor.

Ayam dalam bentuk karkas berasal dari peternakan yang ada di

dalam kota Balikpapan dan dijual dengan harga sekitar Rp 16.000

sampai Rp. 16.300 per kg atau jika dijual dalam bentuk ayam hidup

dengan harga Rp 30.000 – Rp 35.000 per ekor (rata-rata berat 1,6-1,7

kg).

Permasalahan yang dihadapi oleh UPT pasar di wilayah

Balikpapan, khususnya pasar Pandansari adalah masih banyaknya

pedagang PKL yang menjual ayam broiler di luar kios pasar yang telah

ditetapkan dengan harga yang relatif murah sehingga merusak harga

di tingkat eceran di dalam pasar.

Jumlah permintaan atau kebutuhan ayam perhari di Kota

Balikpapan pada saat normal rata-rata sebanyak 37.000 ekor,

sedangkan kebutuhan terendah sekitar 31.000 ekor dan tertinggi

sekitar 41.000 ekor. Untuk Kota Samarinda kebutuhan ayam perhari

pada saat normal rata-rata sebanyak 47.000 ekor/hari, sedangkan

kebutuhan terendah sekitar 43.000 ekor/hari dan tertinggi 51.000

ekor/hari. Apabila dilihat dari kebutuhan ayam antara kota Balikpapan

dan kota Samarinda terlihat Balikpapan rata-rata lebih rendah 10.000

ekor/hari dibandingkan dengan kota Samarinda. Jumlah kebutuhan

ayam harian sepanjang tahun rata-rata sama namun ada peningkatan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 46

seminggu menjelang puasa kemudian turun pada tiga minggu pertama

bulan puasa kemudian puncaknya peningkatan pada seminggu

menjelang lebaran. Untuk hari besar lainnya seperti natal dan tahun

baru relatif tidak ada peningkatan yang berarti kecuali pada hari raya

idul adha mengalami sedikit penurunan.

Harga Ayam pada bulan April 2016 merupakan masa harga

ayam rendah, contohnya harga kontrak pada saat ayam mulai masuk

kandang Rp. 19.000/kg (ayam hidup) namun pada saat panen dijual ke

pedagang pengepul hanya sebesar Rp. 15.500/kg (ayam hidup).

Tingkat kematian ayam pada masa pembesaran berkisar 3-5%,

namun pernah mengalami kejadian luar biasa seperti adanya

serangan penyakit, tingkat kematian ayam dapat mencapai 10-50%.

Tingkat FCR rata-rata pertahun 1,58 -1,60 dengan gambaran dalam

setahun 4 periode nilai FCR baik dan 2 periode nilai FCR buruk. Nilai

FCR baik jika nilainya relatif kecil dan buruk jika nilainya relatif tinggi.

Nilai FCR sangat ditentukan oleh kualitas pakan dan kualitas DOC,

sedangkan kualitas DOC biasanya ditentukan oleh siklus parent stock.

Saat ini sumber pasokan ayam di wilayah kota Balikpapan

hampir 80 persen berasal dari dalam wilayah kota Balikpapan

sedangkan sisa nya 10 persen dari kabupaten Kutai Kartanegara dan

10 persen lagi berasal dari Banjarmasin atau luar Kalimantan yaitu

Jawa Timur. Pasokan ayam dari wilayah luar Kalimantan biasanya

berbentuk ayam beku dalam kemasan sterofoam.

Pasokan ayam hidup dapat bersumber dari Banjarmasin apabila

selisih harga sebesar Rp. 4.000, -/kg lebih rendah dibandingan harga

di kota Balikpapan contohnya apabila harga ayam hidup di

Banjarmasin Rp. 12.000/kg baru bisa masuk ke Balikpapan yang di

tingkat pedagang Rp. 16.000, -/kg. Untuk pasokan dari Surabaya

dapat masuk ke Kota Balikpapan apabila selisihnya harga lebih rendah

Rp. 6.000/kg

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 47

Pemasok ayam hidup di Balikpapan adalah 14 perusahaan

seperti daftar diatas dimana merupakan Kemitraan (60 % merupakan

kemitraan pemodal dan peternak, 30 % dari kemitraan peternak dan

perusahaan pakan) dan 10 % mandiri. Ukuran ayam hidup 1,5 -1,6

kg/ekor. Pemasok ayam beku diperkirakan hanya ada 2 perusahaan

yaitu PT. Ciomas Adisatwa dan PT. Wonokoyo dengan ukuran 1,1 -1,2

kg untuk ritel modern sekitar 80% dan 20% ke horeka dengan ukuran

1,4-1,5 kg/ekor.

RPA dipasar Pandansari terdiri dari sekitar 10-12 pelaku usaha

yang belokasi disekitar pasar dengan skala usaha relatif sama yaitu

memotong 1300-2000 ekor ayam perhari. Untuk jasa pemotongan Rp

1.000/ekor untuk segala ukuran ayam dimana jasa itu hanya untuk

proses pemotongan dan pencabutan bulu. Tingkat persaingan antar

RPA dirasa tinggi namun antar RPA telah melakukan kesepakatan

harga jasa pemotongan yaitu Rp. 1.000/ekor. Harga jual karkas beku

dari RPA ke ritel modern adalah Rp. 28.000 (rendah), Rp.30.000

(sedang) dan Rp.34.000-35.000, -/ekor (tinggi). Dalam Perilaku

persaingan antar RPA terjadi kesepakatan harga untuk pemotongan

ayam sedangkan gambaran perilaku persaingan Pedagang ayam

terlihat cenderung mengarah persaingan sempurna di mana harga jual

ayam hidup didasarkan kekuatan penawaran dan permintaan sesuai

dengan harga pasar.

Dalam perilaku persaingan di ritel modern (supermarket),

perdagangan ayam broiler cukup kompetitif dimana para pelaku ritel

modern melakukan saling mengunjungi (visit) untuk perbandingan

harga formal diikuti dengen konsep harga promo pada hari-hari

tertentu, namun rata-rata harga sepanjang waktu relatif sama antar

ritel modern. Perilaku persaingan peternak juga cukup kompetitif

dimana jumlah pemasok (supplier) atau penjual maupun pembeli

cukup banyak. Terdapat kesepakatan harga jual antara pemasok dan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 48

ritel modern sesuai spesifikasi produk ayam broiler yang diminta.

Dalam implementasinya antara pemasok (peternak) dan ritel modern

dilakukan melalui mekanisme kontrak jual beli.

E. Provinsi Jawa Barat

Peternak ayam broiler di wilayah Bogor terdiri dari peternak

kemitraan, yaitu baik kemitraan internal maupun eksternal. Meski

peternak mandiri masih ada, namun saat ini jumlahnya sangat sedikit

karena diperlukan modal yang besar serta kondisi harga daging ayam

yang cukup berfluktuatif sehingga peternak mandiri lebih berisiko.

Keuntungan usaha ternak dengan kemitraan adalah harga jual

terjamin melalui kontrak dan peternak tidak dipusingkan dengan harga

pakan. Namun demikian, salah satu kelemahan dari usaha ternak

melalui kemitraan yaitu peternak yang memelihara ayam tidak

mengetahui kemana ayam itu dijual dan berapa harga yang ditetapkan

oleh perusahaan. Sementara, peternak menjual ayam broiler ke

perusahaan dengan harga sesuai kontrak. Peternak kurang informasi terkait informasi pasar dan harga jual.

Karena selama ini peternak mitra hanya mengetahui jumlah ayam

broiler yang dipelihara. Peternak mitra sangat berupaya untuk

menjaga ayam peliharaannya sehat, FCR rendah, dan tingkat

mortalitas rendah. Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan

pabrikan yaitu pedagang besar/pengumpul/pengepul/broker membeli

ke perusahaan dalam bentuk DO. Kemudian DO akan dibawa ke

peternak untuk mengambil ayam broiler yang sudah siap dipanen,

dengan jumlah sesuai dengan pemesanan (DO). Petani tidak

mengetahui berapa harga jual yang ditetapkan oleh perusahaan ke

pedagang besar yang akan membeli ayam broiler dari kandangnya.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 49

Berdasarkan informasi dari peternak, sistem penjualan ayam

broiler kemitraan ekternal dengan kemitraan internal berbeda.

Kemitraan internal harga jual sesuai kontrak, tetapi kemitraan

eksternal harga jual tidak sesuai harga kontral melainkan mengikuti

harga pasar. Secara relatif peternak lebih banyak memilih usaha

dengan sistem kemitraan internal. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bogor adalah

dari peternak dijual dalam per kilogram berat hidup atau per ekor.

Untuk peternak kemitraan, mereka menjual ayam broiler yang sudah

dipanen dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan

mitra dengan harga sesuai yang tertuang dalam perjanjian/kontrak.

Harga minimal dalam perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg

berat hidup. Kemudian pedagang pengumpul/ pedagang besar/

pengepul/ broker atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan

melalui DO. Kemudian pedagang pengumpul/ pengepul/ broker/

pengumpul akan mendistribusikan ayam hidup ke RPA, selanjutnya ke

pedagang grosir dan pedagang pengecer di pasar tradisional.

Rumah potong ayam (RPA) di Bogor berperan sebagai jasa

pemotong dan juga jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam hidup

dari pedagang pengumpul. Rata-rata ada 4-5 pedagang pengumpul

yang memasok ayam broiler hidup ke setiap RPA. Pedagang

pengumpul lebih dari satu ini untuk mengantispasi stabilitas dan

kontinyuitas pasokan ayam hidup sebagai alternatif pilihan pemasok.

Pasokan ayam hidup berasal dari Kabupaten Bogor (Pamijahan,

Leuwiliang, Jonggol, Cibinong, Pondok Rajeg dan Jasinga) serta di

luar Bogor (Sukabumi dan Cianjur). Kemudian RPA dapat menjual

ayam hidup atau menjual dalam bentuk karkas (tanpa bulu dan jeroan)

ke pasar. Selain itu, RPA juga menjual ke pedagang grosir dan atau

pengecer dan pedagang keliling namun jumlahnya relatif sedikit.

Meskipun RPA menyalurkan ayam potongnya ke pedagang grosir dan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 50

atau pedagang pengecer atau pedagang, ada juga RPA

mendistribusikan ayamnya ke outlet-outlet retail modern seperti Lotte

Mart, Macro, dan Superindo. Ukuran ayam yang didistribusikan ke ritel

modern yaitu 0,9 – 1,2 kg/ekor (karkas) atau dalam bentuk hidup 1,4 –

1,6 kg/ekor.

Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder, dilaporkan bahwa

keluhan dari pola kemitraan adalah pada implementasinya dimana ada

batasan dalam hal memasok pasokan khsusunya pada hari raya

lebaran. Dalam hal ini perusahaan inti membatasi pasokan DOC

sehingga jumlah ayam broiler di pasaran terbatas. Pemerintah juga

harus mengetahui penditribusian DOC sehingga dapat mengontrol

pasokan DOC.

Dari sisi persaingan usaha, perlu adanya penetapan harga yang

transparan serta ketersediaan dan pasokan bibit. Pemerintah harus

dapat mendorong agar perusahaan bisa lebih transparan dalam

kemitraan usaha terutama dalam pengaturan hak dan kewajiban.

Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan dalam distribusi pasar

produk ayam dalam bentuk parting (cutting) yang disesuaikan dengan

permintaan pasar. Selama ini penditribusian memiliki aturan 80%

pasar basah/pasar tradisional dan 20% pasar bersih (pasar modern).

Kedepan diharapkan agar proporsi tersebut bisa dirubah menjadi 50%

pasar tradisional dan 50% pasar bersih (pasar modern).

4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler Beberapa parameter teknis untuk usahaternak ayam ras

pedaging (broiler) yang dikaji berdasarkan pola usaha di lokasi

penelitian meliputi rata-rata FCR (feed convertion ratio), tingkat

kematian (mortality), rata-rata umur panen, dan rata-rata bobot badan

saat panen. Rata-rata pencapaian FCR yang menggambarkan

efisiensi teknis, yang menunjukkan konversi pakan menjadi bobot

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 51

ayam hidup adalah 1,69 untuk usahaternak pola mandiri, 1,68 untuk

pola kemitraan internal antara perusahaan pakan dengan peternak

plasma, dan 1,68 untuk pola kemitraan eksternal antara pemodal dan

peternak plasma. Tingkat pencapaian FCR pada pola kemitraan

usaha internal dan eksternal sedikit lebih baik jika dibandingkan

dengan pencapaian FCR pada pola mandiri. Diduga kualitas DOC

dan pakan yang lebih baik dan peran teknisi perusahaan yang yang

diterjunkan kelapang memiliki peranan yang cukup baik dalam

meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh peternak plasma.

Rata-rata tingkat kematian usahaternak ayam ras pedaging

(broiler) untuk pola usahaternak mandiri 4.08% per siklus produksi,

untuk pola usahaternak kemitraan internal 4.12% persiklus produksi,

dan untuk kemitraan usaha eksternal 4.10%. Besaran tingkat

mortalitas antar pola usahaternak relatif berimbang dan masih

tergolong pada tingkat yang ditoleransi perusahaan inti (4-6 %).

Tingkat kematian pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal

yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pola usahaternak mandiri

diduga disebabkan ada sebagian yang dipotong atau dijual ke luar

dari perusahaan inti.

Secara umum rata-rata umur panen mengalami percepatan,

yang pada awal pembangunan peternakan (1970-1990) umur panen

42-45 hari. Saat ini, sejalan dengan preferensi konsumen yang

menghendaki ukuran ayam lebih kecil, maka rata-rata umur panen

broiler berkisar antara 32-38 hari atau rata-rata 35 hari dengan bobot

badan 1.90 Kg/ekor. Rata-rata umur panen untuk pola usahaternak

ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal berkisar antara

30-36 hari atau rata-rata 33 hari dengan rata-rata bobot badang 1.88

kg/ekor. Sementara itu rata-rata umur panen pada pola usahaternak

pola kemitraan eksternal berkisar antara 30-38 hari atau rata-rata

umur panen 34 hari dengan berat bobot panen 1.89 Kg/ekor.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 52

Penentuan umur panen ayam sangat ditentukan dinamika permintaan

pasar, tingkat harga yang terjadi dipasar, dan preferensi konsumen.

Pada pola usahaternak mandiri peternak memiliki kebebasan kapan

ayam mau dipanen dan dijual ke pasar, sedangkan pada pola

kemitraan baik internal maupun eksternal sangat ditentukan oleh

perusahaan inti yang menjadi mitra usahanya.

Parameter teknis indeks prestasi (IP) merupakan parameter

teknis gabungan dari berbagai parameter teknis yang merupakan

resultante dari berbagai pencapaian parameter teknis dalam

usahaternak. Pada sebagian besar kemitraan usaha melalui sistem

kontrak bagi hasil dan risiko, hal terpenting bagi peternak untuk

mencapai pendapatan yang tinggi adalah melalui pencapaian indek

prestasi (IP) yang tinggi, yaitu dengan FCR efisien, mortalitas rendah,

pencapaian bobot badan sesuai umur panen. Indek Prestasi

Peternak (IP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

Skala nilai IP adalah sebagai berikut : IP < 235 Kurang/Poor (loss/break-even) IP > 275 Baik (Good) IP > 300 Sangat baik (Very Good) IP > 350 Luar Biasa (Excellent)

Hasil kajian empiris di lapang pada berbagai pola usahaternak

broiler secara kualitatif diperoleh informasi besaran indeks prestasi

(IP) yang dicapai. Pada pola usahaternak mandiri diperoleh nilai IP

sebesar 313.5, pada kemitraan internal dicapai nilai IP sebesar

313.75, dan pada pola usahaternak kemitraan eksternal diperoleh

nilai IP sebesar 313.63. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 53

pada ketiga pola yang diteliti peternak telah mencapai IP sangat baik

atau di atas 300 yang merefleksikan secara teknis peternak telah

menguasai teknologi dan manajemen usahaternak dengan sangat

baik. Informasi secara lengkap dan rinci tentang parameter teknis

usaha ternak broiler dilokasi penelitian pada berbagai pola

usahaternak dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016

Deskripsi Mandiri Kemitraan Internal

Kemitraan Eksternal

Skala Usaha (ekor) 28,908 7,875 14,300 FCR 1.69 1.68 1.68 Mortalitas (%) 4.08 4.12 4.10 Umur panen (hari) 35 33 34 Rataan Bobot (Kg/ekor)

1.90 1.88 1.89

Indeks Prestasi (IP) 313.50 313.75 313.63 Harga Broiler (Rp/Kg) 17149.31 17147.59 17148.45 Profit (Rp/ekor) 1458.42 1012.32 880.78

Sumber: Data hasil survei, Diolah

Beberapa parameter ekonomi yang dikaji adalah skala usaha,

tingkat harga yang diterima peternak, dan keuntungan peternak.

Pada pola usahaternak mandiri rata-rata skala usaha berkisar antara

5.000-52.000 ekor atau rata-rata sebesar 28.908 ekor per peternak.

Skala usaha pada kemitraan usaha internal berkisar antara 4.000-

12.000 ekor atau rara-rata 7.875 ekor per peternak. Skala usaha

pada pola kemitraan ekternal berkisar antara 1.200-26000 ekor atau

rata-rata 14.300 ekor per peternak. Nampak bahwa rata-rata skala

usaha peternak mandiri adalah yang paling besar, karena hanya

peternak mandiri dalam skala sedang hingga skala besarlah yang

mampu bertahan. Pada skala tersebut peternak mandiri dapat akses

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 54

ke pabrikan pakan dan mampu meningkatkan efisiensi dalam

pengengkutan sara produksi peternakan dan penjualan broiler hidup.

Sementara itu pada pola kemitraan internal mensyaratkan skala

minimal saat ini sebesar 4.000 ekor, sehingga masih ditemukan skala

usaha 4.000 ekor. Perusahaan peternakan multinasional saat ini

mensyaratkan skala usaha minimal 6.000 ekor per peternak. Pada

pola kemitraan eksternal antara pemodal dan peternak plasma tidak

ada syarat minimal, sehingga masih dijumpai skala 1.200 ekor per

peternak.

Pada pola usahaternak mandiri tingkat harga jual yang diterima

berkisar antara Rp. 16.000-18.000/Kg atau rata-rata sebesar Rp

17.149/kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada kemitraan

usaha internal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rara-rata Rp.

17.148/Kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada pola

kemitraan ekternal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rata-rata

Rp 17.148/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat harga

jual antar pola usahaternak relatif sama. Hal ini terutama disebabkan

sebagian besar harga jual peternak kemitraan ditentukan melalui

kontrak dengan perusahaan inti dan harga penjualan oleh

perusahaan inti ke pedagang pengumpul atau broker ditentukan

melalui harga patokan melalui PINSAR.

Pada pola usahaternak mandiri tingkat keuntungan yang

diterima peternak berkisar antara Rp 646-3.069/Kg atau rata-rata

sebesar Rp 1458/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada

kemitraan usaha internal berkisar antara Rp. 801-1,333/Kg atau rara-

rata Rp. 1.012/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada

pola kemitraan ekternal berkisar antara Rp 785-978/Kg atau rata-rata

Rp 881/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat keuntungan

pada peternak mandiri lebih besar jika dibandingkan peternak

kemitraan dan pada peternak kemitraan usaha internal lebih besar

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 55

dibandingkan kemitraan usaha eksternal. Namun variasi keuntungan

pada peternak mandiri lebih besar dibangingkan peternak pola

kemitraan usaha. Hal ini merefleksikan bahwa pada peternak mandiri

menghadapi resiko fluktuasi harga yang lebih tinggi dibandingkan

peternak kemitraan usaha. Hal ini terutama disebabkan pada pola

kemitraan usaha harga jual ditentukan melalui kontrak dengan

perusahaan inti dan harga penjualan oleh perusahaan inti ke

pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan

melalui PINSAR. Informasi secara lengkap dan rinci tentang

beberapa parameter ekonomi pada usahaternak broiler di lokasi

penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1 di atas.

4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar adalah (Asmarantaka,

2009): (a) konsentrasi pasar (market concentration) diukur berdasarkan

persentase dari penjual atau aset atau pangsa pasar; (b) Kebebasan

keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi calon penjual; dan (c) diferensiasi

produk (product differentiation) dengan mengubah kurva permintaan yang

elastis menjadi kurva permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009).

Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih

banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar

yang digerakkan oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi

sistem rantai nilai dari hulu hingga hilir (Daryanto, 2009). Untuk industri

broiler struktur produksi pada kondisi tahun 1990-2000-an menunjukkan

struktur produksi yang timpang, di mana pangsa produksi dikuasai oleh

perusahaan peternakan skala besar (60 %), skala menengah (20 %) dan

skala kecil tinggal (20%) (Yusdja et al., 1999). Hasil kajian KPPU (2016)

menunjukkan bahwa struktur produksi broiler di Indonesia dikuasai oleh

perusahaan peternakan skala besar baik dengan usahaternak sendiri

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 56

maupun melalui kemitraan usaha dengan pangsa (85%) dan peternak

mandiri tingggal menguasai pangsa (15%).

Secara empiris di lapang, pada kajian ini juga diperoleh informasi

yang relatif sama, secara berturut-turut penguasaan perusahaan

peternakan skala besar baik melalui usahaternak sendiri maupun melalui

divisi kemitraan usaha di Provinsi Jawa Barat diperkirakan mencapai (90-

95%), Kalimantan Timur (90%), Sumatera Barat (85%), Bali (80%), dan

Jawa Timur (70%).

Secara rinci, gambaran mengenai struktur pasar ayam broiler dapat

dilihat pada Tabel 4.2. Dalam kajian ini, struktur pasar dijelaskan dalam 3

kategori yakni konsentrasi pasar, kebebasan exit-entry pasar, dan

diferensiasi produk.

Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler

Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar

Diferensiasi Produk

1. Jawa Timur

a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar

60% - Kemitraan eksternal

20% - Mandiri 20%

b. Terjadi integrasi vertikal baik secara penuh maupun parsial.

c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).

d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak - Oligopoli perusahaan

peternakan skala besar

- Persaingan sempurna di pengecer

- Oligopsoni di supermarket/ swalayan

a. Peternak - sedang

b. RPA - sedang c. Pedagang

Pengumpul - mudah

d. Pedagang besar/grosir - sedang

e. Pengecer – mudah

f. Supermarket/ swalayan-sedang

Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 57

Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar

Diferensiasi Produk

2. Bali a. Pangsa Pasar - Perusahaan

peternakan besar 50%

- Kemitraan eksternal 15%

- Mandiri 35% b. Terjadi integrasi vertikal. c. Struktur pasar oligopoli

terpimpin di pasar dan integrasi horizontal input (pakan ternak).

d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah

kartel di peternak perusahaan besar.

- Oligopsoni di peternak kecil.

- Oligopoli di pedagang pengepul.

- Persaingan monopolistik di pengecer

- Oligopsoni di supermarket/ swalayan

a. Peternak - sedang

b. RPA - sedang c. Pengumpul -

mudah d. Pedagang

besar/grosir- sedang

e. Pengecer – mudah

f. Supermarket/ swalayan-tinggi

Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.

3. Sumatera Barat

a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar

65% - Kemitraan eksternal

20% - Mandiri 15%

b. Terjadi integrasi vertikal secara parsial dan integrasi horizontal.

c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).

d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah

kartel di perusahaan peternakan skala besar.

- Oligopsoni di peternak kecil.

a. Peternak - sedang

b. RPA - sedang c. Pengumpul -

mudah d. Pedagang

besar - mudah e. Pengecer –

mudah f. Supermarket/

swalayan-tinggi

Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 58

Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar

Diferensiasi Produk

- Oligopoli di pedagang pengepul.

- Persaingan monopolistik di pengecer

- Oligopsoni di supermarket/ swalayan

4. Kalimantan Timur

a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar

65% - Kemitraan eksternal

25% - Mandiri 10%

b. Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal.

c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).

d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak

kecil. - Oligopoli di pedagang

pengepul. - Persaingan

monopolistik di pengecer

- Oligopsoni di supermarket/ swalayan

a. Peternak - sedang

b. RPA - sedang c. Pengumpul -

mudah d. Pedagang

besar - mudah e. Pengecer –

mudah f. Supermarket/

swalayan-sedang

Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas.

5. Jawa Barat a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar

75% - Kemitraan eksternal

20% - Mandiri 5%

b. Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal.

c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).

d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak

kecil. - Oligopoli di pedagang

a. Peternak - sedang

b. RPA - sedang c. Pengumpul -

mudah d. Pedagang

besar - mudah e. Pengecer –

mudah f. Supermarket/ swalayan-sedang

Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas dan parting.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 59

Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar

Diferensiasi Produk

pengepul. - Persaingan

monopolistik di pengecer

- Oligopsoni di supermarket/ swalayan

4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi 4.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler

Secara empiris di lapang menunjukkan bahwa usaha

peternakan ayam ras pedaging (broiler) sebagian besar diusahakan

dalam bentuk pola-pola kemitraan usaha (Jawa Timur, Kalimantan

Timur, Sumatera Barat, dan Bali), meskipun dibeberapa lokasi

penelitian masih banyak ditemukan pola usahaternak mandiri (kasus

di Provinsi Bali). Beberapa pola kemitraan yang berlangsung secara

garis besar dapat dibedakan kemitraan usaha internal, yaitu

kemitraan usaha antara perusahaan pakan ternak sebagai inti dan

peternak sebagai plasma/mitra dan kemitraan usaha eksternal, yaitu

kemitraan antara pemodal besar sebagai inti dan peternak sebagai

plasma/mitra. Pada bagian ini akan dilakukan analisis kelayakan

usahaternak baik untuk pola mandiri, kemitraan usaha internal dan

kemitraan usaha eksternal.

Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola

mandiri dilakukan pada skala usaha 21.375 ekor. Struktur biaya dan

penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola

mandiri kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut.

Berdasarkan Tabel 4.3 tersebut memberikan beberapa informasi

pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi

usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri sebesar Rp

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 60

614,531,390,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah

biaya pakan yang mencapai Rp 453,602,066/siklus (73.81%) dari

total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian

D.O.C yang mencapai Rp. 119,700,000,-/siklus (19.34%). Biaya-

biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya

pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar

Rp 32,129,952,-/siklus (5,23%). Selanjutnya biaya untuk membayar

tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.

7,521,875,-/siklus (1.22%).

Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola

mandiri dengan tingkat produksi 39,256 Kg/siklus dan tingkat harga

jual sebesar Rp. 17,784, -/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas

penjualan broiler hidup Rp. 698,123,336/siklus, penjualan ayam afkir

sebesar Rp 196,875/siklus, dan penjualan kotoran ayam Rp.

572,688,-/siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau

keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 70,589,798,- per

siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut

diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola mandiri sebesar Rp

15,654,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya

produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar

1.14 . Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola

kemitraan internal layak diusahakan, namun dengan tingkat

efektivitas pengembalian modal tergolong rendah. Secara umum,

analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel

4.3.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 61

Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus), Tahun 2016

No Deskripsi Mandiri I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga

(Rp/Unit) Nilai (Rp)

1 DOC (ekor) 21,375 5,600 119,700,000 2 Prestater (Kg) 29,828 7,100 211,775,250 3 Grower (Kg) 37,204 6,500 241,826,813 4 Vaksinasi (Rp)

2,300,000

5 Obat-obatan (Rp)

3,973,958 6 Mineral/Vitamin (Rp)

2,313,125

7 Jamu (Rp)

46,875 8 Sanitasi (Liter) 7.5 5000 37,500 9 Biaya pemanas (Rp)

14,674,375

10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp)

3,940,369

11 Penyusutan (Rp)

4,843,750 12 transportasi (Rp)

469,375

13 PBB (Rp)

983,125 14 Lainnya (Rp)

125,000

15 TK Dalam keluarga (Orang) 2.00 1,043,750 2,087,500 16 TK Luar keluarga (Orang) 4.63 1,175,000 5,434,375

Total biaya (Rp)

614,531,390

II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 39,256 17,784 698,123,336

2 Ayam Afkir (Kg) 88 2,250 196,875 3 Pupuk kotoran (Kg) 1,041 550 572,688

Penerimaan (Rp) - - 698,892,898

III Pendapatan (Rp) - - 70,589,798 IV R/C

1.14

V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)

15,654 VI Harga jual (Rp/Kg)

17,784

VII Keuntungan (Rp/Kg)

1,798

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 62

Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola

kemitraan internal dilakukan pada skala usaha 7,875 ekor. Struktur

biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada

pola kemitraan internal kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel

4.4 berikut. Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut memberikan beberapa

gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi

usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal

sebesar Rp 195,324,990,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya

terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp 133,427,698,-/siklus

(68,31%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk

pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 43,509,375,-/siklus (26.74%).

Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya

pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar

Rp 13,432,083,-/siklus (6,88%). Selanjutnya biaya untuk membayar

tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.

4,254,167,-/siklus (2.56 %).

Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola

kemitraan internal dengan tingkat produksi 12,926 Kg/siklus dan

tingkat harga jual sebesar Rp. 16,875,-/siklus sehingga diperoleh

penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 218,130,469,-/siklus,

penjualan ayam afkir sebesar Rp 500,000,-/siklus, dan penjualan

kotoran ayam Rp. 600,000,-/siklus produksi. Besarnya tingkat

pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp.

23,905,479,- per siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga

tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola kemitraan

internal sebesar Rp 15,111,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat

penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran

nilai R/C ratio sebesar 1.12. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa

usahaternak broiler pola kemitraan internal layak diusahakan, namun

dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong rendah.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 63

Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus), Tahun 2016

No Deskripsi Mitra Internal

I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga

(Rp/Unit) Nilai (Rp)

1 DOC (ekor) 7,875 5,525 43,509,375 2 Prestater (Kg) 6,411 7,125 45,680,156 3 Grower (Kg) 12,952 6,775 87,747,542 4 Vaksinasi (Rp)

1,147,500

5 Obat-obatan (Rp)

1,850,000 6 Mineral/Vitamin (Rp)

633,333

7 Jamu (Rp)

0 8 Sanitasi (Liter)

0

9 Biaya pemanas (Rp)

7,263,750

10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp)

387,500

11 Penyusutan (Rp)

2,150,000 12 transportasi (Rp)

266,667

13 PBB (Rp)

435,000 14 Lainnya (Rp)

0

15 TK Dalam keluarga (Orang) 1.33 1,250,000 1,666,667 16 TK Luar keluarga (Orang) 2.33 1,250,000 2,587,500

Total biaya (Rp)

195,324,990

II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 12,926 16,875 218,130,469

2 Ayam Afkir (Kg) 50 10,000 500,000 3 Pupuk kotoran (Kg) 5,000 120 600,000

Penerimaan (Rp) 18,800 16,000 219,230,469

III Pendapatan (Rp)

23,905,479 IV R/C

1.12

V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)

15,111 VI Harga jual (Rp/Kg)

16,875

VII Keuntungan (Rp/Kg)

1,849

Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola

kemitraan eksternal dilakukan pada skala usaha 14,300 ekor.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 64

Struktur biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras

pedaging pada pola kemitraan eksternal kondisi tahun 2016 dapat

dilihat pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus), Tahun 2016

No Deskripsi Kemitraan eksternal

I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga

(Rp/Unit) Nilai (Rp)

1 DOC (ekor) 14,300 5,975 85,442,500 2 Prestater (Kg) 14,229 7,475 106,358,038 3 Grower (Kg) 30,270 7,000 211,891,680 4 Vaksinasi (Rp) 1,630,000 5 Obat-obatan (Rp) 3,773,750 6 Mineral/Vitamin (Rp) 882,500 7 Jamu (Rp) 0 8 Sanitasi (Liter) 450,000 9 Biaya pemanas (Rp) 8,887,500

10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 820,000

11 Penyusutan (Rp) 3,730,645 12 transportasi (Rp) 112,500 13 PBB (Rp) 537,500 14 Lainnya (Rp) 0 15 TK Dalam keluarga (Orang) 2.00 1,250,000 2,500,000 16 TK Luar keluarga (Orang) 4.00 1,250,000 5,000,000

Total biaya (Rp) 432,016,613

II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 25,919 17,825 462,004,268 2 Ayam Afkir (Kg) 3 Pupuk kotoran (Kg)

Penerimaan (Rp) 462,004,268

III Pendapatan (Rp) 29,987,655 IV R/C 1.07 V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 16,668 VI Harga jual (Rp/Kg) 17,825 VII Keuntungan (Rp/Kg) 1,157

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 65

Tabel 4.5 merefleksikan beberapa gambaran pokok sebagai

berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras

pedaging (broiler) pola kemitraan eksternal sebesar Rp

432,016,613,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah

biaya pakan yang mencapai Rp 318,249,718,-/siklus (73.70%) dari

total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian

D.O.C yang mencapai Rp. 85,442,500,-/siklus (19.78%). Biaya-biaya

variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas,

penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp

20,824,395,-/siklus (4,82%). Selanjutnya biaya untuk membayar

tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.

7,500,000,-/siklus (1.74%).

Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola

kemitraan eksternal dengan tingkat produksi 25,919 Kg/siklus dan

tingkat harga jual sebesar Rp. 17,825, -/siklus sehingga diperoleh

penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 462,004,268, -/siklus.

Besarnya tingkat pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi

total sebesar Rp. 29,987,655, - per siklus produksi. Dengan tingkat

produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam

broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 16,688, -/Kg bobot hidup.

Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya produksi yang

dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar 1.07. Nilai R/C

tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola kemitraan

eksternal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas

pengembalian modal tergolong rendah.

4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler

Secara empris di lapang (Provinsi Jawa Timur, Sumatera Barat,

Kalimantan Timur, Bali dan Jawa Barat) terdapat tiga pola usaha

peternakan ayam ras pedaging (broiler), yaitu : (a) Pola usahaternak

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 66

mandiri, di mana peternak sebagai tukang ternak sekaligus manajer

sebagai pelaksana dan sekaligus pengambil keputusan dalam

menjalankan usahanya serta menerima keuntungan yang diperoleh

dan menanggung resiko yang mungkin timbul; (b) Pola Kemitraan

Usaha Internal, adalah kerjasama usaha antara peternak dengan

perusahaan peternakan terintegrasi (Breeding Farm, Feed Mill, dan

beberapa juga memiliki industri pengolahan), seperti PT. Charoen

Phokpand Indonesia (PT. CPI), PT Japfa Comfeed, PT Malindo, PT

Chiel Jedang-PIA, PT Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm,

PT Hybro Indonesia, PT Extravet Nasuba, PT Wonokoyo, CV

Missouri, PT Reza Perkasa, PT Satwa Borneo Jaya, PT. Anwar

Sierad Produce, PT. PKP; dan (c) Pola Kemitraan Usaha Eksternal

yang biasanya merupakan Poultry Shop dan Pemodal atau Peternak

skala besar : TMF (Tunas Mekar Farm), PPC (Putra Perdana

Chicken). Dalam menjalankan usahanya ada pembagian hak dan

kewajiban antara perusahaan inti dan peternak plasma, serta adanya

pembagian manfaat dan resiko yang timbul. Kondisi saat ini, baik

pada pola Kemitraan Usaha Internal dan Kemitraan Usaha Esternal

terdapat sebagian besar dalam bentuk Pola kontrak kandang dan kuli

(buruh), peternak menyebutnya maklun, di mana peternak

menyewakan kandangnya dengan hitungan per ekor DOC dan

sekaligus bekerja sebagai buruh di kandangnya sendiri dengan

hitungan per ekor DOC yang masuk. Meskipun demikian peternak

masih mendapatkan insentif atau bonus jika mencapai parameter

teknis tertentu, seperti FCR, mortalitas dan IP tertentu.

Berdasarkan pola distribusi dan pemasaran yang ada maka

terdapat tiga pola distribusi menurut pola usahaternaknya, yaitu : (1)

Pola distribusi dan pemasaran pada usahaternak mandiri; (2) Pola

distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha internal; dan (3) Pola

distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha eksternal. Pola

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 67

mandiri, masih ditemukan baik di Provinsi Jawa Timur, Sumatera

Barat, Bali dan Kalimantan Timur, namun eksistensinya dari waktu ke

waktu terus menurun. Pola usahaternak mandiri secara dominan

hanya ditemukan di Provinsi Bali (70%), sedangkan pola kemitraan

usaha baik internal maupun eksternal jauh lebih dominan, di Provinsi

Jawa Timur (70-80%), Sumatera Barat (80-90%), dan Kalimantan

Timur (90-95%).

Pada pola mandiri, di mana peternak adalah sebagai tukang

ternak (kultivator) dan sekaligus sebagai menajer akan menerima

segenap keuntungan dan segala risiko yang timbul dari usaha ternak

yang dijalankan. Pada pola mandiri, pada prinsipnya peternak

menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas

memasarkan produk broiler yang dihasilkan. Pengambilan keputusan

mencakup kapan memulai berternak dan memanen ternaknya, serta

seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak.

Hasil kajian di lapang diperoleh informasi bahwa hanya peternak-

peternak skala besar yang mampu bertahan dari gejolak produksi

dan harga. Peternak mandiri skala besar dengan skala di atas

10.000 ekor memiliki akses untuk memperoleh sarana produksi

peternakan (DOC dan pakan) dari pabrikan langsung, karena

mencapai efisiensi dalam pengangkutan, bahkan sebagian memiliki

armada angkutan sendiri dan sebagian bergabung.

Adapun ciri-ciri peternak mandiri adalah mampu membuat

keputusan sendiri terkait beberapa hal sebagai berikut: (a)

perencanaan usaha peternakan broiler; (b) menentukan fasilitas

perkandangan dan peralatannya; (c) menentukan jenis dan jumlah

sapronak yang akan digunakan; (d) menentukan saat kapan

memasukkan DOC ke dalam kandang dan kapan melakukan panen;

(e) menentukan manajemen produksi usahaternak broiler; (f)

menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 68

tidak terikat dalam suatu kemitraan usaha, ikatan biasanya

merupakan pola dagang umum atau transaksional (Rusastra et. al.,

2006).

Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak Mandiri.

Pada saat ini di Provinsi Bali berdasarkan studi eksplorasi dan

wawancara langsung dengan peternak broiler dan pelaku tata niaga

broiler masih cukup ditemukan adanya peternak broiler mandiri,

sedangkan di lokasi penelitian lain sulit ditemukan peternak mandiri.

Peternak mandiri di lokasi-lokasi penelitian yang mampu bertahan

terbatas pada peternak mandiri skala cukup besar, sedangkan

Pengolahan Makanan

- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll

Pedagang Besar/Grosir

di Pasar

Pedagang Pengecer Pasar/Warung

Pedagang Pengumpul

Pasar Modern (hyper

market/Swalayan)

Agen Besar/Broker//

Supplier

Peternak Broiler Rakyat Perusahaan Peternakan Broiler

Rumah Potong Ayam/RPA

Konsumen Rumah Tangga

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 69

peternak mandiri skala kecil banyak yang gulung tikar (colaps),

karena beberapa gejolak eksternal, seperti krisis moneter (1997-

1998), serangan wabah Avian Influence (2003-2005), dan krisis

finansial global (2008). Saat ini beberapa peternak mandiri skala kecil

hanya mengusahakan usahaternak menjelang hari-hari raya

keagamaan terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan menjelang

Natal dan Tahun Baru, dan khusus di Provinsi Bali menjelang hari-

hari besar Hindu, seperti Galungan. Rantai distribusi dan pemasaran

pada pola usahaternak mandiri dapat dilihat pada Gambar 4.1

berikut.

Berdasarkan Gambar 4.1 tersebut menunjukkan ada dua

sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak mandiri skala besar dan

peternak broiler rakyat (skala kecil) yang eksistensinya makin

berkurang. Hasil usahaternak broiler dari peternak skala besar dijual

ke agen/broker atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan),

kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian

untuk tujuan pasar modern (Carefour, Giant, Yogya Supermarket,

dan Hyper Market) dan konsumen institusi (Restoran/Rumah Makan,

Katering, Hotel, dan Rumah Sakit). Sementara itu, hasil broiler rakyat

di jual kepada pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang

pengumpul menjual RPA atau pedagang besar (middle man),

selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan

pengecer di pasar-pasar tradisional.

Berdasarkan wawancara dengan para peternak bahwa sudah

cukup lama terjadi pergeseran dari awalnya dominan peternak

mandiri, kemudian dominasi ke arah kemitraan usaha baik kemitraan

internal maupun eklsternal. Berdasarkan informasi dari FGD dengan

pelaku usaha, Dinas Peternakan setempat dan Dinas Teknis terkait

kemitraan untuk ayam ras pedaging (broiler) di lokasi penelitian

diperoleh informasi pokok: (1) Terdapat dua jenis kemitraan usaha,

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 70

yaitu kemitraan internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan

peternakan (DOC dan pakan) sebagai inti dengan peternak sebagai

plasma dan kemitraan usaha eksternal antara pemodal sebagai inti

dengan peternak sebagai plasma; (2) terdapat tiga pola kemitraan

usaha antara Perusahaan Inti dengan peternak plasma, yaitu : (a)

Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan melalui kontrak

harga pada saat DOC masuk kandang; (b) Pola Perusahaan Inti

Rakyat dengan kesepakatan harga broiler mengikuti harga pasar; dan

(c) Pola Bagi Hasil dan bagi resiko (profit risk sharing).

Beberapa alasan peternak beralih dari pola usahaternak mandiri

ke pola kemitraan usaha baik kemitraan usaha internal maupun

eksternal, antara lain adalah: (a) kekurangan modal usaha, terutama

setelah mengalami kerugian akibat gejolak eksternal; (b) mengurangi

risiko kegagalan/kerugian, melalui kemitraan usaha ada pembagian

resiko (risk sharing); (c) untuk memperoleh jaminan kepastian

penghasilan, melalui kemitraan ada pembagian keuntungan (profit

sharing); (d) memanfaatkan kandang yang kosong; dan (e) untuk

memperoleh jaminan kepastian dalam pemasaran, di mana seluruh

hasil ditampung dan dipasarkan oleh perusahaan inti.

Bagi perusahaan inti pada kemitraan internal beberapa alasan

pokok melakukan kemitraan adalah: (a) untuk mendapatkan jaminan

kepastian dalam penjualan DOC; (b) untuk mendapatkan jaminan

kepastian dalam penjualan pakan; (c) mengurangi biaya investasi

lahan, kandang, serta alat; dan (d) mendapatkan tenaga kerja

terampil dengan upah yang relatif murah.

Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha

internal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan

Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 71

Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Internal

Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa ada dua sumber

hasil ternak broiler pola kemitraan usaha internal, yaitu peternak

broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan peternakan (skala

minimal 4000 ekor) dan hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh

perusahaan inti dari divisi budidaya (skala besar). Sesuai perjanjian

seluruh hasil produksi broiler peternak plsma di tampung sepenuhnya

oleh perusahaan inti (perusahaan peternakan terintegrasi).

Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler.

Pengolahan Makanan

Konsumen Rumah Tangga

- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll

Pedagang Besar/Grosir

di Pasar

Pedagang Pengecer Pasar/Warung

PedagangPengumpul

Pasar Modern (Super market/hiper

market)

AgenBesar/Broker/Supplier

Peternak Plasma Perusahaan Inti: Perusahaan

Peternakan/pabrik pakan

Rumah Potong Ayam/RPA

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 72

Berbeda dengan peternak mandiri yang sebagian besar

pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul dan sebagian

melalui agen/broker atau supplier, pada kemitraan kemitraan usaha

internal penjualan dilakukan melalui agen/broker melalui sistem DO

selanjutnya agen/broker menjual kepada pedagang besar (grosir

pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki RPA/TPA dan

atau menggunakan (RPA) jasa pemotongan selanjutnya sebagian

besar ditujukan untuk pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional

dan sebagian dijual pemasok (supplier) untuk memasok hyper

market, restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit.

Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal

Pengolahan Makanan

Konsumen Rumah Tangga

- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll

Pedagang Besar/Grosir

di Pasar

Pedagang Pengecer Pasar/Warung

PedagangPengumpul

Pasar Modern (Super market/hiper

market)

AgenBesar/Broker/Supplier

Peternak Plasma Perusahaan Inti: Pemodal/Poultry

Shop/Peternak skala besar

Rumah Potong Ayam/RPA

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 73

Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha

eksternal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur,

Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar

4.3. Berdasarkan Gambar 4.3, ditunjukkan bahwa ada dua sumber

hasil ternak broiler pada pola kemitraan usaha eksternal, yaitu

peternak broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan inti dan

hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan inti yang pada

umumnya skala besar. Sesuai perjanjian seluruh hasil produksi

broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti

(pemodal besar, poultry shop, dan peternak skala besar yang bukan

merupakan perusahaan peternakan terintegrasi). Selanjutnya

perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler.

Pada kemitraan eksternal ini dalam saluran distribusi

pemasarannya berada diantara saluran pola usahaternak mandiri dan

kemitraan internal. Pada pola ini peran pedagang pengumpul dan

agen/broker atau supplier relatif berimbang, pada kemitraan usaha

eksternal penjualan dilakukan melalui pedagang pengumpul dan

agen/broker dapat melalui sistem DO atau non DO, selanjutnya

pedagang pengumpul dan agen/broker menjual kepada pedagang

besar (grosir pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki

RPA/TPA dan atau menggunakan (RPA) jasa pemotongan

selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pengecer di

pasar-pasar tradisional dan warung, dan sebagian lainnya dijual

kepada pemasok (supplier) untuk memasok hyper market,

restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem kerjasama

kemitraan usaha yang dilakukan dalam proses produksi ayam broiler,

perusahaan melakukan pola kemitraan dengan peternak. Dalam hal

ini perusahaan bertindak selaku inti dan peternak sebagai plasma.

Inti bertindak sebagai penyedia sapronak (DOC, pakan, vaksin dan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 74

obat-obatan), memberi bimbingan teknis pemeliharaan kepada

peternak plasmanya dalam melakukan budidaya, dan menangani

pemasaran hasil panen. Mekanisme kemitraan seluruhnya ditentukan

oleh perusahaan inti (meliputi: syarat menjadi peternak plasma,

penetapan harga sapronak dan hasil panen, pengaturan pola

produksi serta pengawasan, pemberian bonus atau sangsi).

Sementara itu peternak plasma berkewajiban untuk menyediakan

kandang dan peralatan produksi serta melakukan pemeliharaan

sebaik-baiknya.

4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler

Tomeck dan Robinson (1990) mendefinisikan margin

pemasaran sebagai: (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen

dan harga yang diterima produsen, atau (2) sebagai harga yang

dibayar untuk jasa pemasaran yang dipengaruhi oleh permintaan dan

penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tersebut adalah

seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh

lembaga tataniaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir

dan keuntungan pemasaran (marketing profit) yang merupakan

imbalan jasa-jasa lembaga tataniaga dalam menjalankan fungsinya.

Margin tataniaga atau margin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk pola usaha ternak mandiri margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak, pedagang pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 75

internal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, RPA, pedagang besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha eksternal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (pemodal), agen/broker, pedagang besar (grosir) sampai ke pedagang pengecer.

Pada Tabel 4.6 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak mandiri di Provinsi Bali.

Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi

Bali, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,600 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,600 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual 19.400 4. Keuntungan 1.185 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.400 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 150

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225

e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 76

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 3. Harga jual 21.300 4. Keuntungan 1.005 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.300

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.400

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.230 3. Harga jual 30.380 4. Keuntungan 750 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.380 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 250 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual (Kg) 32.500 4. Keuntungan 1.505

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual

diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,21%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.033,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 4.488,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.545,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.505,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.185,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 77

sebesar Rp. 1.105,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 750; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.

Pada Tabel 4.7 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Jawa Timur.

Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal

di Provinsi Jawa Timur, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 720 3. Harga jual 19.300 4. Keuntungan 1.080 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.300 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 150

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225

e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 995 3. Harga jual 21.200

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 78

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 4. Keuntungan 905 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.200

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.250

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 305 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.235 3. Harga jual 30.250 4. Keuntungan 765 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.250 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 10 e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.200

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual

diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.732,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.935,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.200,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.080,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 905,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 79

pasar sebesar Rp. 765,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.

Pada Tabel 4.8 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Sumatera Barat.

Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal

di Provinsi Sumatera Barat, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 16,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 16.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 600

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 915 3. Harga jual 18.500 4. Keuntungan 1.085 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 150

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225

e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 995 3. Harga jual 20.500 4. Keuntungan 1.005 IV Pedagang Besar/Grosir

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 80

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 20.500

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 27.300

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 275 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.205 3. Harga jual 29.280 4. Keuntungan 775 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 29.280 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 250 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 250 d. Biaya Sewa Tempat 20 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 650 3. Harga jual (Kg) 31.300 4. Keuntungan 1.370

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual

diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 70,29%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.300,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 3.815,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 5.485,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.370,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.085,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 775,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 81

pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.

Pada Tabel 4.9 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Kalimantan Timur.

Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal

di Provinsi Kalimantan Timur, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17.500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 350

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling 150 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual 19.150 4. Keuntungan 1.035 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.150 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 150

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225

e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895 3. Harga jual 21.000 4. Keuntungan 995 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.000

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 82

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 1.220 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 780 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 545 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.455

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual

diperoleh beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.402,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.265,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.035,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 780,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 83

penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.

Pada Tabel 4.10 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan eksternal kasus di Provinsi Kalimantan Timur.

Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging

melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 300

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling 150 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 555 3. Harga jual 19.000 4. Keuntungan 1.045 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 150

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225

e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895 3. Harga jual 21.000 4. Keuntungan 1.105 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.000

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 84

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.230 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 770 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 545 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.455

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual

merefleksikan beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.302,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.365,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.045,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 895,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 770,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 85

pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.

Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam ras

pedaging (broiler) di Jawa Barat dibedakan menurut tiga saluran

pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu

saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha

internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran

dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk setiap pola

usaha ternak margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak,

pedagang pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai

dengan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak

kemitraan usaha internal akan dihitung dari tingkat peternak,

perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, pedagang

besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar.

Pada Tabel 4.11 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan

oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang

diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola

usahaternak mandiri. Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli

dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga

diperoleh beberapa informasi pokok sebagai berikut: (a) pangsa

harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 81,18%

setara daging ayam, yang menunjukkan cukup tingginya pangsa

harga yang diterima peternak broiler; (b) Besarnya total margin

tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam,

yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 2.150,-/Kg daging ayam

dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar

Rp. 3.100,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut biaya yang

dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang

besar (grosir) Rp 1.125,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 775,-

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 86

/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara

berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer

sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker sebesar

Rp. 975,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-

/Kg daging ayam; dan (e) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan

total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir

karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih besar

dibandingkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer.

Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17.900 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17.900 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 100

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150

e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 775 3. Harga jual 19.650 4. Keuntungan 975 III Pedagang Besar/Grosir

1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.650

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 200 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 1.125

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 87

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30,000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31.500 4. Keuntungan 1.250

Pada Tabel 4.12 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan

oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang

diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola

Kemitraan usaha internal.

Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 18,000 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 350

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 100

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150

e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 725 3. Harga jual 19.700 4. Keuntungan 975 III Pedagang Besar/Grosir

1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.700

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.150

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 88

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 150 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 975 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31.500 4. Keuntungan 1.250

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada

masing-masing tingkatan pelaku tata niaga diperoleh beberapa

temuan pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani

setara daging ayam adalah 81,63% setara daging ayam, yang

menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak

broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam

sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin

tataniaga Rp 1.950,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima

oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.100,-/Kg daging ayam;

(c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing

pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 975,-/Kg,

pedagang pengepul sebesar Rp. 725,-/Kg, dan pedagang pengecer

sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar

diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 89

pengepul/agen/broker sebesar Rp. 975,-/Kg, dan pedagang

besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e)

Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan

terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan

volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang

pengepul dan pedagang pengecer.

Pada Tabel 4.13 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan

oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang

diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola

Kemitraan usaha eksternal.

Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 18,000 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18,000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 375

b. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 100

d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150

e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 750 3. Harga jual 19.750 4. Keuntungan 1.000 III Pedagang Besar/Grosir

1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.750

2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.225

2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 150 c. Bongkar-muat 100

c. Biaya handling/Packing 50

d. Biaya Lainnya (retribusi) 25

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 90

No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) Sub Total Biaya 1.075 3. Harga jual 30.175 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30,175 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31,675 4. Keuntungan 1.250

Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada

masing-masing tingkatan pelaku tata niaga merefleksikan beberapa

hal pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani

setara daging ayam adalah 81,18% setara daging ayam, yang

menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak

broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam

sebesar Rp 5,200,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin

tataniaga Rp 2.075,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima

oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.125,-/Kg daging ayam;

(c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing

pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 1.075,-/Kg,

pedagang pengepul sebesar Rp. 750,-/Kg, dan pedagang pengecer

sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar

diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang

pengepul/agen/broker sebesar Rp. 1.000,-/Kg, dan pedagang

besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e)

Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 91

terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan

volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang

pengepul dan pedagang pengecer.

Nampak bahwa struktur biaya dan keuntungan antara tiga pola

usahaternak broiler di Jawa Barat hampir sama. Hal ini antara lain

disebabkan oleh: (a) struktur produksi broiler dikuasai oleh

perusahaan peternakan skala besar dengan pangsa (85-90 %); (b)

adanya harga Posko yang ditentukan PINSAR sebagai acuan

pedagang pengepul atau pedagang besar dalam menebus broiler

hidup di peternak yang menjadi anggota mitra usahanya; (c) tujuan

pasar yang relatif sama antara ketiga pola usahaternak tersebut,

yaitu untuk pasar tradisional atau pasar becek. Hasil analisis margin

tataniaga ini juga menunjukkan adanya struktur pasar yang

cenderung oligopolistik dan mengarah kartel pada pasar daging

broiler di Jawa Barat, yaitu dengan adanya penentuan Posko dari

PINSAR yang menjadi harga acuan oleh pedagang ayam yang mau

menebus broiler ke peternak anggota mitra baik internal maupun

eksternal.

4.3. Integrasi Pasar Broiler

Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat

efisiensi harga adalah Integrasi Pasar Ravallion. Model ini telah

digunakan secara luas dan dikembangkan serta didiskusikan dalam

analisis integrasi pasar spasial. Untuk menangkap besarnya pengaruh

kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat peternak telah

dikembangkan suatu indeks hubungan pasar yang dikenal dengan nama

IMC (Index of Market Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua

variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat

peternak, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila nilai indeks IMC = 0

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 92

yaitu b1 = -1, dikatakan pasar terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~,

yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi.

4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar,

yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar

tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel).

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging

broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di

Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pt = 1028,919* + 0,974 Pt-1*** + 0,308* (Pd – Pd-1) - 0,016 Pd-1

R2 = 0,946

IMC = -59,667 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya

ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter b2

bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat

pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya akan menyebabkan

perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler

di Jawa Timur. Nilai parameter b2 yang diperoleh pada estimasi

diatas diperoleh nilai sebesar 0,308 atau lebih kecil dari 1 (satu).

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 93

Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka pendek

perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota

Surabaya tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat peternak.

Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat

pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,308

persen ditingkat peternak.

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang

berlaku saat ini kurang dari satu baik untuk variabel peternak periode

sebelumnya maupun untuk variabel harga pedagang besar (grosir)

periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak pada

periode sebelumnya terhadap harga tingkat peternak saat ini

bertanda positip dan kurang dari satu yaitu sebesar 0,974. Berbeda

halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler

periode sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya jauh

dibawah satu yaitu sebesar -0,016. Hasil estimasi ini menunjukkan

bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota

Surabaya periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga

ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga

saat ini ditingkat peternak. Harga broiler ditingkat pedagang besar

(grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama

harga broiler ditingkat peternak.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga

ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya

keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut

indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin

mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 94

antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang

besar (grosir) di Kota Surabaya.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -

59,667 jauh dari 0. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan

pasar broiler di Kota Surabaya antara harga broiler di tingkat

peternak dan harga broiler di tingkat grosir tidak terintegrasi dengan

baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan

harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang

ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan

besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya

dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan

pedagang dalam menebus broiler peternak yang menjadi anggota

mitra perusahaan tersebut. Sementara itu, penentuan harga posko

lebih ditentukan oleh faktor biaya pokok produksi daging broiler,

dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga

pakan ternak.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,946. Hal ini

mengandung arti bahwa 95 persen variasi harga di tingkat peternak

broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent

variabel), sedangkan selebihnya sebesar 5 persen dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain diluar model. Artinya model yang dibangun dapat

menjelaskan fenomena yang dikaji dengan baik.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas

broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer

(ritel) di Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pd = 559,823*** + 0,245 Pd-1 ** + 0,908 (Pc – Pc-1)*** + 0,678 Pc-1***

R2 = 0,999

IMC = 0,361 (terintegrasi)

Keterangan :

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 95

Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya

ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di

Kota Surabaya. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka

perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang

pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu

persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2

pada estimasi diatas diperoleh nilai sebesar 0,908 atau mendekati

angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek

perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota

Surabaya ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat

pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging

broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan

kenaikan harga 0,908 persen ditingkat pedagang besar (grosir).

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar

(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang

pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar

sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar

(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar

0,245. Dengan besaran yang lebih besar juga diperoleh pada

pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 96

kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,678. Hasil estimasi ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer

(ritel) di Kota Subaya periode sebelumnya lebih besar dibandingkan

dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode

sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar

(grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode

sebelumnya menjadi salah satu penentu pembentukan harga

ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga

pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap

pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,

menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila

nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan

pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)

dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

0,361. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota

Surabaya antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan

harga pengecer (ritel) adalah terintegrasi dengan baik. Secara relatif

dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya

keterpaduan pasar di Surabaya dari pedagang besar ke pedagang

pengecer adalah yang terbaik. Lebih terintegrasinya pasar broiler dari

pedagang besar ke pedagang pengecar disebabkan oleh beberapa

faktor: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler

sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b)

Penetapan harga Posko oleh PINSAR tidak selalu diikuti oleh pelaku

pasar, karena jumlah pelaku yang banyak dan memiliki jaringan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 97

masing-masing; (c) Informasi yang secara relatif lebih terbuka

terutama informasi harga.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya

bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dapat di Kota Surabaya dapat dijelaskan variabel-

variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya

sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model

yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan

sangat baik.

4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar,

yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar

tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel).

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging

broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di

Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pt = 948.167 + 0,979 Pt-1 *** + 0,052 (Pd – Pd-1) - 0,017 Pd-1

R2 = 0,956

IMC = -58,111 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 98

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang

ditransmisikan ke tingkat petani atau peternak broiler. Apabila nilai

parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen

pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang akan

menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat

peternak broiler di Sumatera Barat. Nilai b2 yang diperoleh pada

estimasi di atas menunjukkan sebesar 0,052 atau jauh dari angka 1.

Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan

harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang tidak

tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler. Dimana

kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar

(grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,052 persen ditingkat

peternak broiler.

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang

berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode

sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat

peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat

peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu

sebesar 0,979. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan

kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,017. Hasil estimasi ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar

(grosir) di Kota Padang periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan

dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap

tingkat harga saat ini ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat

pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu

pembentukan utama harga ditingkat peternak.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 99

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga

ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya

keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut

indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin

mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang

antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang

besar (grosir) di Kota Padang.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -

58,111. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan pasar broiler di

Kota Padang antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir

tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar

broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung

mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan

wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan. Sementara itu

penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi

daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat

ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota

Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayah

Sumatera lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena

lokasinya yang secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,956. Ini artinya

bahwa 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat

dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel),

sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain diluar model.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas

broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 100

(ritel) di Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai

berikut:

Pd = 366.878* + 0,618 Pd-1 ** + 0,906 (Pc – Pc-1)*** + 0,343 Pc-1**

R2 = 0,999

IMC = 1,799 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang

ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di

Kota Padang. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan

harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel)

akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di

tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh

pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,906 atau mendekati

angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek

perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota

Padang ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat

pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging

broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan

kenaikan harga 0,906 persen ditingkat pedagang besar (grosir).

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 101

(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang

pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar

sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar

(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar

0,618. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang

sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel)

broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar

0,343. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga

ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang periode

sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat

pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat

harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga

broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah

penentu pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler saat ini.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga

pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap

pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,

menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila

nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan

pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)

dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

1,799. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota

Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan

harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar

peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Namun

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 102

secara relatif dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayah-

wilayah lainnya keterpaduannya lebih baik. Kurang adanya

keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar

(grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan

PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar

peternakan. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya

pokok produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat

ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota

Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayah-

wilayah lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena

lokasinya yang secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya

bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dapat di Kota Padang dapat dijelaskan variabel-

variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya

sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model

dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik.

4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)

tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang

besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil

analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat

petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Bali

diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pt = 1164,083 + 0,987 Pt-1*** + 0,342** (Pd – Pd-1) - 0,028 Pd-1

R2 = 0,940

IMC = -35,862 (tidak terintegrasi)

Keterangan :

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 103

Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali ditransmisikan ke

tingkat petani dalam hal ini peternak broiler. Apabila nilai parameter

b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada

tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali akan menyebabkan

perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler.

Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar

0,342. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek

perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota

Bali tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler.

Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat

pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,342

persen ditingkat peternak broiler.

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang

berlaku sekarang kurang dari satu, baik pada tingkat peternak

maupun pada pedagang besar (grosir). Pengaruh harga pada tingkat

peternak sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak

(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar

0,987. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar

(grosir) broiler sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya

kurang dari satu yaitu sebesar -0,028. Hasil estimasi ini menunjukkan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 104

bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali

sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak

broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak

broiler. Harga broiler di Kota Bali ditingkat pedagang besar (grosir)

bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat petani atau peternak.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

petani/peternak sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat

petani saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara

kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar

atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya

keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat

petani/peternak dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di

Kota Bali.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -

35,862. Hal ini menunjukkan keterpaduan pasar broiler di Kota Bali

antara harga broiler di tingkat petani/peternak dan harga grosir tidak

terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak

terintegrasi dengan baik. Tidak terdapatnya keterpaduan pasar

tersebut, karena harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga

posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-

perusahaan besar peternakan dalam menerapkan strategi bersama,

diantaranya dalam menyepakati harga posko sebagai harga acuan

bagi pedagang dalam menebus broiler dipeternak yang menjadi

anggota mitranya. Disamping itu, harga broiler di Kota Bali juga

banyak ditentukan oleh pasokan dari Pulau Jawa terutama Jawa

Timur, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,94. Ini artinya

bahwa 94 persen variasi harga di tingkat petani/peternak broiler

dapat dijelaskan variabel-variabel bebasnya (independent variabel),

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 105

sedangkan selebihnya sebesar 6 persen dipengaruhi oleh faktor

lainnya.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas

broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer

(ritel) di Provinsi Bali diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pd = -74,895 + 0,942 Pd-1*** + 0,902 (Pc – Pc-1)*** + 0,056 Pc-1

R2 = 0,998

IMC = 16,834 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan

ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Bali. Apabila

nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu

persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan

perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar

(grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas

menunjukkan sebesar 0,902 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi

ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di

tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan dengan

dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana

kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 106

pengecer menyebabkan kenaikan harga 0,902 persen ditingkat

pedagang besar (grosir).

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar

(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang

pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar

sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar

(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar

0,942. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang

sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel)

broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar

0,056. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga

ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali sebelumnya lebih

kecil dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging

broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang

besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel)

sebelumnya bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

pedagang besar (grosir) sebelumnya dengan pengaruh harga

pedagang pengecer (ritel) sebelumnya terhadap pembentukan harga

ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi

rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang

disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin

mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang

antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) dengan pasar

ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

16,834. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 107

Bali antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga

pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar

peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak

terdapatnya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler

pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko

yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-

perusahaan besar peternakan. Sementara itu harga posko sangat

ditentukan biaya pokok produksi usahaternak dan biaya pokok

produksi sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga

broiler di Kota Bali juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di

pasar Pulau Jawa terutama Jawa Timur, karena lokasinya yang

secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,998. Ini artinya

bahwa 99,8 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dapat dijelaskan variabel-variabel bebasnya

(independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,02 persen

dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model dapat menjelaskan

fenomena yang dikaji dengan sangat baik.

4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)

tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang

besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil

analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat

petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Kalimantan

Tmur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pt = 813,709 + 0,945 Pt-1*** + 0,498** (Pd – Pd-1) + 0,019 Pd-1

R2 = 0,924

IMC = 50,767 (tidak terintegrasi)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 108

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging ayam di Kota

Samarinda ditransmisikan ke tingkat peternak broiler. Apabila nilai

parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen

pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda akan

menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat

peternak broiler di Kalimantan Timur. Nilai b2 yang diperoleh pada

estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,498 atau lebih kecil dari 1

(satu). Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek

perubahan harga daging broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di

Kota Padang tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat

peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler sebesar satu

persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan

kenaikan harga hanya sebesar 0,498 persen atau sekitar

setengahnya ditingkat peternak broiler.

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang

berlaku saat ini lebih kecil dari satu baik untuk variabel peternak

periode sebelumnya maupun variabel harga pedagang besar (grosir)

periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak periode

sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar

lokal) saat ini bertanda positip sebesar 0,945 atau dibawah 1 (satu)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 109

namun sudah mendekati angka 1 (satu). Sama halnya dengan

pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya

yang juga bertanda positip, namun kontribusinya jauh lebih kecil dari

1 (satu) yaitu sebesar 0,019. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa

pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda

periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat

peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini

ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat pedagang besar

(grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama

harga ditingkat peternak, namun lebih ditentukan harga peternak

sebelumnya.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga

ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya

keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut

indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin

mendekati nol dikatakan adanya integrasi pasar jangka panjang

antara pasar di tingkat peternak di Kalimantan Timur dengan pasar

ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

50,767. Hal ini mengandung makna bahwa integrasi pasar broiler di

Kota Samarinda antara harga broiler di tingkat peternak Kalimantan

Timur dan harga grosir daging ayam di Samarinda tidak terintegrasi

dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar daging broiler tersebut

disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko

yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-

perusahaan besar peternakan dalam melakukan strategi bersama,

diantaranya adalah penetapan harga posko sebagai acuan bagi

pedagang dalam menebus broiler di tingkat peternak yang menjadi

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 110

anggota mitra usahanya. Sementara itu penentuan harga posko lebih

ditentukan oleh biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran

biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak.

Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga dipengaruhi oleh

pasokan dari Banjar Masin, karena lokasinya yang secara spasial

berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,924. Artinya

adalah bahwa 92,4 persen variasi harga di tingkat peternak daging

broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent

variabel), sedangkan selebihnya sebesar 7,6 persen dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain diluar model.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas

daging broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang

pengecer (ritel) di Provinsi Kalimantan Timur diperoleh hasil estimasi

sebagai berikut:

Pd = -106,910 + 0,857 Pd-1*** + 0,946 (Pc – Pc-1)*** + 0,135 Pc-1

R2 = 0,999

IMC = 6,339 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%

Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Samarinda

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 111

ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di

Kota Samarinda. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka

perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang

pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu

persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2

yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,946

atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam

jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer

(ritel) di Kota Samarinda ditransmisikan dengan dengan cukup baik

ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga

daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer

menyebabkan kenaikan harga 0,946 persen ditingkat pedagang

besar (grosir).

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar

(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang

pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar

sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar

(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu, namun cukup

mendekati angka 1 (satu) yaitu sebesar 0,867. Dengan besaran yang

lebih kecil namun dengan tanda yang juga positip diperoleh pada

pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang

kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,135. Hasil estimasi ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer

(ritel) di Kota Samarinda periode sebelumnya lebih kecil

dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler

periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat

pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 112

harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini, namun

lebih ditentukan harga pedagang besar periode sebelumnya.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga

pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap

pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,

menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila

nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan

pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel)

daging broiler di Kota Samarinda.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

6,339. Hal ini menunjukkan tingkat integrasi pasar broiler di Kota

Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan

harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar

peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Kurang

adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang

besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang

ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan

besar peternakan dalam menentukan harga bersama. Sementara itu

harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak

diantara perusahaan-perusahaan peternakan skala besar dan biaya

pokok produksi tersebut sangat ditentukan harga pakan ternak.

Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga banyak

ditentukan oleh pasokan yang berasal dari pasar Banjarmasin karena

lokasinya yang secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Artinya

bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dapat di Kota Samarinda dapat dijelaskan dengan baik

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 113

oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan

selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya.

Artinya model dapat yang dibuat dapat menjelaskan fenomena yang

dikaji dengan sangat baik.

4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)

tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang

besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil

analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat

petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Jawa Barat

diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pt = 1265,167* + 1,024 Pt-1** + 0,046 (Pd – Pd-1) - 0,068 Pd-1**

R2 = 0,957

IMC = -15,057 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota

Bandung ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter

b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada

tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung akan menyebabkan

perubahan harga sebesar satu persen di tingkat peternak broiler di

Jawa Barat. Nilai b2 yang diperoleh dari hasil estimasi diatas

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 114

diperoleh nilai sebesar 0,046 atau jauh lebih kecil dari angka 1 (satu).

Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan

harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung tidak

ditransmisikan secara baik ke tingkat peternak broiler. Dimana

kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar

(grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,046 persen ditingkat

peternak broiler.

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang

berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode

sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat

peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat

peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dan diatas satu yaitu

sebesar 1,024. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan

kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,068. Hasil estimasi ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar

(grosir) di Kota Bandung periode sebelumnya lebih kecil

dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode

sebelumnya terhadap tingkat harga ditingkat peternak saat ini. Harga

broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya

bukanlah penentu pembentukan utama harga ditingkat peternak,

namun lebih ditentukan harga peternak periode sebelumnya.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang

besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga

ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya

keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut

indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 115

mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang

antara pasar di tingkat peternak broiler dengan pasar ditingkat

pedagang besar (grosir) di Kota Bandung.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar

15,057. Hal ini berarti bahwa keterpaduan pasar broiler di Kota

Bandung antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir

tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar

broiler tersebut disebabkan harga broiler di Jawa Barat saat ini

cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang

merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan.

Dimana para pedagang membeli broiler ke peternak dengan

berpatokan pada harga posko sebagai harga acuan. Sementara itu,

penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi

daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat

ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota

Bandung juga banyak ditentukan oleh pasokan yang ada di daerah-

daerah sentra produksi di Jawa Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Bogor)

dan daerah pusat pasar utama DKI Jakarta, karena lokasinya yang

secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,957. Ini artinya

adalah 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat

dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel),

sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain diluar model.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas

broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer

(ritel) di Provinsi Jawa Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:

Pd = -32.506 + 1,274 Pd-1 *** + 0,932 (Pc – Pc-1)*** + 0,322 Pc-1**

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 116

R2 = 0,999

IMC = -3,953 (tidak terintegrasi)

Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung

ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di

Kota Bandung. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka

perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang

pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu

persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2

yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,932

atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam

jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer

(ritel) di Kota Bandung ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke

tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga

daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer

menyebabkan kenaikan harga 0,932 persen ditingkat pedagang

besar (grosir).

Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga

pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar

(grosir) yang berlaku saat ini lebih besar dari satu, sedangkan pada

pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya lebih kecil dari satu.

Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar periode sebelumnya

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 117

(pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal)

saat ini bertanda positip lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,274.

Dengan besaran yang lebih kecil dari satu namun dengan tanda yang

juga positip juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer

(ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu

sebesar 0,322. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh

harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung periode

sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat

pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat

pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Harga broiler ditingkat

pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu utama

pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler

saat ini.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat

pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga

pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap

pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,

menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila

nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan

pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di

Kota Bandung.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -

3,953. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota

Bandung antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan

harga pengecer (ritel) adalah tidak terintegrasi dengan baik. Kurang

adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang

besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang

ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 118

besar peternakan dalam melakukan kesepakatan harga posko

bersama. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok

produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat ditentukan

harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Bandung

juga banyak dipengaruhi oleh pasokan dari daerah sentra produksi

(Tasikmalaya, Ciamis, Bogor) dan harga di tujuan pasar utama DKI

Jakarta, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan.

Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya

bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)

daging broiler dapat di Kota Bandung dapat dijelaskan variabel-

variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya

sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model

yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan

sangat baik.

4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah

Tingkat integrasi harga dapat juga dilihat dari pola dan

pergerakan harga ayam broiler di tingkat peternak dan pengecer.

Pada gambar 4.4, dapat dilihat pola pergerakan harga peternak dan

pengecer untuk wilayah Surabaya. Jika dilihat pola pergerakan harga,

terlihat bahwa terjadi pergerakan yang simetris antara harga di

tingkat peternak dan pengecer.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 119

-10.000

-5.000

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

5 1426 4 1524 6 1527 6 1827 8 18311221301020 3 7 1627 8 22 3 1223 3 141124 9 18 9 213010 2 1423 6 1526 4 1625 7 1729 7 1827

Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

2014 2015 2016

Rp/kg

MarginPeternak Peternak Pengecer

Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya

Pada gambar yang sama, juga terdapat tingkat margin

peternak. Terlihat bahwa margin peternak di Surabaya lebih banyak

yang bernilai negatif selama rentang waktu tersebut yang artinya

peternak di Jawa Timur lebih sering mengalami kerugian.

-10000

-5000

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

12 20 28 5 15 23 1 9 17 27 4 12 20 28 8 16 24 6 14 26 5 17 2 2 13 21 29 9 17 25 3 3 11 20 7 15 5 13 21 29 6 16 7 15 23 5 13 21 29

Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

2014 2015 2016

Rp/Kg

MarginPeternak Pengecer Peternak

Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 120

Pada gambar 4.5, terlihat pergerakan harga tingkat peternak

dan pengecer di Padang. Pola harga keduanya hampir sama dan

diferensiasi nya simetris. Namun jika dilihat margin peternak,

peternak Padang sangat merugi. Hal ini terlihat bahwa pada rentang

waktu Agustus 2014 hingga April 2016 peternak lebih banyak

mengalami kerugian. Hal ini juga sejalan dengan hasil survei yang

dilakukan di kota Padang. Banyak sekali peternak mandiri yang harus

gulung tikar. Sebagian peternak terpaksa berhenti beternak dan

menyewakan asset kandangnya untuk peternak kemitraan skala

kecil.

(10.000)

(5.000)

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

4 1322 2 1122 6 1524 4 1426 5 18311221 2 1123 4 8 17281125

4 1524 6 3 121 10 9 213010 2 1423 61526

41625

81830

112029

Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul AgustSep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

2014 2015 2016

Rp/kg

MarginPeternak Pengecer Peternak

Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar

Gambar 4.6 menunjukkan pola dan pergerakan harga ayam

broiler di peternak dan pengecer untuk wilayah Denpasar dimana

memiliki tren yang hampir sama dengan Surabaya. Baik harga

peternak maupun harga pengecer memiliki pola yang sama dengan

level diferensiasi yang juga relatif sama (simetri) dalam rentang waktu

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 121

pengamatan. Pada rentang waktu yang sama, margin peternak di

Denpasar relatif lebih baik jika dibandingkan margin peternak di

Surabaya. Hal ini dimungkinkan karena jumlah peternak mandiri di

Denpasar lebih banyak sehingga memiliki pangsa yang lebih besar.

Selain itu, tingkat profit yang lebih tinggi untuk peternak mandiri

mengakibatkan margin peternak di Denpasar cenderung positif. Hal

ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah daerah yang membatasi

pasokan ayam broiler dari luar Provinsi Bali.

Lain halnya pola pergerakan harga tingkat peternak dan

pengecer di Samarinda. Pola pergerakan harga dan tingkat

diferensiasi harga keduanya juga tidak simetris sebagaimana di

Surabaya, Denpasar dan Padang. Harga peternak terlihat relative

lebih stabil dibandingkan harga di tingkat pengecer. Margin peternak

di Samarinda juga lebih baik dibandingkan Surabaya dan padang.

Secara agregat, margin peternak di Samarinda positif. Hal ini dapat

dilihat pada gambar 4.7 berikut.

-10000

0

10000

20000

30000

40000

50000

6 1526 4 1524 6 1524 6 1726 5 1629 8 1928 6 20 3 7 1627 8 22 3 1223 3 1412 1 10 1 1222 2 11 3 1528 7 1827 5 1726 8 1830 8 19

Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

2014 2015 2016

Rp/kg

MarginPeternak Peternak Pengecer

Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 122

5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis mengenai struktur pasar dalam pemasaran

ayam broiler, disimpulkan bahwa:

a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah

struktur pasar yang bersifat oligopsoni dimana harga lebih ditentukan

oleh pembeli atau pedagang.

b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker)

dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan

skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke

bentuk kartel.

c. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar

tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya

cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa

Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna.

d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk

Super Market/Hypermarket atau Pasar Swalayan di Kota-Kota

Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni.

e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar

pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada

musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan

tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasai pasar sepi

persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler

tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi

pasar tergolong rendah hingga sedang.

f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar

tradisional di Kota Besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 123

ayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual

produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang

direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer

satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan

informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.

g. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan

harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin

tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai

berikut:

a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam

pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang

dikeluarkan kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit

output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup

tingginya posisi tawar pedagang.

b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka

keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara

berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan

pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang

menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit

output oleh masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola

margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat

disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di

wilayah provinsi Jawa Timur

2. Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil

bahwa:

a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di

tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota-Kota

Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya

integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini

cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 124

merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam

penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga

posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus

broiler di peternak mitra perusahaan tersebut.

b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di

tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di

pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Besar di Indonesia secara relatif

lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir.

Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur

yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah

sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging

broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di Kota Surabaya

disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan

daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan

dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak

selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih

terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di

Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging

ayam tidak terintegrasi dengan baik.

3. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala

besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli

yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar

melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan

untuk penebusan pedagang pengepul/broker dan pedagang besar

(grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan

permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di

tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli

perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy)

dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan).

Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 125

dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga

merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi

Jawa Timur.

5.2. Rekomendasi 1. Perlu melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif yakni

dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri

broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku

usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat

(oligopoli atau kartel).

2. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara

pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya

pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan:

(a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang

lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat;

dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban

pedagang pengecer.

3. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang

besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi

pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur

informasi harga secara online.

4. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah

potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan

melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi

akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusat-

pusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko

Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c)

membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 126

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, C & Wyeth, J 1994 Cointegration and Market Integration: An Application to the Indonesian Rice Market The Journal of Development Studies, Vol 30, No. 2, January 1994 pp. 303-328

Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam

Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bahri, D.I, Z. Fanani, dan B.A. Nugroho. 2012. Analisis Struktur Biaya dan Perbedaan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging pada Pola dan Skala Usaha Ternak yang Berbeda di Kota Kendari Provinsi SulawesiI Tenggara, Jurnal Ternak Tropika Vo.13, No. 1:35-46

Dahl, Dale C and Jerome W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill. USA.

Djulin, A & Malian, AH 2003 Struktur dan Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di Daerah Produksi Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Ditjen PKH, 2013. Statistik Peternakan 2013. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian. Indonesia.

Fackler, PL & Goodwin BK 2001 Spatial Price Analysis Departement of Agricultural & Resource Economics, North Carolina State University

Fadilah, R. 2004. Panduan Mengelola Peternakan Aam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Impact on Increasing Concentration in Indonesian Brolier Industry. International Journal of Poultry Science 13 (4): 191-197

Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia: Pendekatan Model Simultan. Jurnal Agro Ekonomi 32 (2): International Journal of Poultry Science 13 (4): 167-186

Henderson, J. M., and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. McGraw Hill International Books Company. London.

Koutsoyannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. The Macmillan Press LTD. London.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 127

Purcel, Wayne D. 1979. Agriculture Marketing: System, Coordination, Cash and Future Prices. A Prentice-Hall Company. Reston. Virginia. USA.

Ravallion, M 1986 Testing Market Integration American Agricultural Economics Association

Sarwanto, C. 2004. Kemitraan, Produksi dan Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar dan Sukohardjo). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tesis (Tidak Dipublikasikan).

Sayaka, B 2006 Market Structure of The Corn Seed Industry in East Java Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 no. 2 Oktober 2006: 133-156

Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Saptana dan H. P. Saliem. 2015. Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya Bagi Pembangunan Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Volume 38 No. 2, Desember 2015, hal: 1-18.

Tomeck, William G and Kenneth L. Robinson. 1990. Aricultural Product Prices. Third Edition. Cornell University Press.

Tahir, Z 1997 Integration of Agricultural Commodity Markets in the South Punjab, Pakistan National Program, International Irrigation Management Institute Lahore

____PINSAR. 2016. Perkembangan Harga Peternak Ayam Broiler ____Ditjen Pedagangan Dalam Negeri. 2016. Perkembangan Harga Eceran

Daging Ayam di Indonesia

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 128

LAMPIRAN

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 129

MEMO KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA SEKTOR PERUNGGASAN DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP EFISIENSI PEMASARAN DAGING AYAM Isu Kebijakan 1. Studi awal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan

adanya ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pemasaran/distribusi ayam broiler. Di antara pelaku di setiap rantai pemasaran, peternak berada pada posisi yang paling lemah.

2. Struktur pasar yang didominasi oleh perusahaan besar terintegrasi berdampak pada persaingan yang kurang berimbang sehingga mempengaruhi harga daging ayam di tingkat peternak hingga ke pengecer.

3. Perlu adanya analisis mendalam mengenai struktur, perilaku, dan kinerja rantai pemasaran/ distribusi produk unggas di Indonesia untuk melihat tingkat persaingan dan efisiensi pemasaran ayam broiler di tingkat peternak hingga ke pengecer.

Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Ayam Broiler Indonesia dan Implikasinya terhadap Efisiesi Pemasaran 4. Struktur produksi industri broiler di Indonesia didominasi oleh

perusahaan besar terintegrasi dengan pangsa pasar mencapai 85% dan sisanya (15%) merupakan peternak mandiri. Kondisi ini menyebabkan posisi peternak mandiri semakin tertekan.

5. Hasil analisis struktur pasar yang dihadapi pada setiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah

struktur pasar yang bersifat oligopsoni, karena harga lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang. Sementara itu pada pola usahaternak kemitraan usaha baik kemitraan internal maupun eksternal hanya diposisikan sebagai mitra kerja (plasma) yang dijamin penjualan dengan keuntungan terbatas yang ditetapkan oleh perusahaan inti, dengan syarat melakukan usahaternak dengan standar teknis dan manajemen yang direkomendasikan oleh perusahaan inti.

b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker) dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke bentuk kartel. Dalam hal ini produsen sejatinya adalah perusahaan inti yang memposisikan sebagai perusahaan oligopoli terhadap pedagang pengepul dan pedagang grosir broiler. Adanya indikasi kartel ini ditunjukkan adanya kesepakatan harga di antara perusahaan peternakan dalam penentuan harga jual melalui penentuan harga posko dimasing-masing wilayah.

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 130

c. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna. Hal ini ditunjukkan: (a) Jumlah pedagang besar (grosir) cukup banyak dan pengecer yang sangat banyak; (b) Penguasaan pangsa produksi broiler masing-masing pedagang besar (grosir) relatif sama besarnya; (c) relatif tingginya hambatan keluar masuk bagi pedagang besar/grosir (misalnya: fasilitas, permodalan, akses pasar untuk memperoleh dan menjual barang) dan relatif rendahnya hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang pengecer; dan (d) pedagang pengecer menjual produk yang homogen, daging broiler dengan jenis dan kualitas yang relatif sama.

d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk Supermarket/ Hypermarket atau Pasar Swalayan di Kota-Kota Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni. Secara umum harga ditetapkan oleh pihak Supermarket/ Hypermarket/ Pasar Swalayan, namun dengan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar (selisih harga berkisar Rp 2000-3000/Kg), namun tuntutan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pasokan sangat tinggi. Kerjasama antara pemasok dan supermarket/ hypermarket adalah dalam bentuk kontrak pemasaran spesifik untuk produk broiler, baik dalam bentuk karkas ayam segar maupun sudah dalam bentuk parting dengan spesifikasi yang telah ditentukan.

e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasi pasar sepi persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.

f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging ayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.

6. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai berikut:

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 131

a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup tingginya posisi tawar pedagang.

b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit output oleh masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di wilayah provinsi Jawa Timur

7. Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil bahwa: a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler

di tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota-Kota Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus broiler di peternak mitra perusahaan tersebut.

b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota-kota besar di Indonesia secara relatif lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir. Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di kota Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging ayam tidak terintegrasi dengan baik.

8. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 132

untuk penebusan pedagang pengepul/ broker dan pedagang besar (grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi Jawa Timur.

Rekomendasi Kebijakan 9. Struktur pasar industri broiler secara umum bersifat oligopoli baik untuk

pasar input (bibit, pakan, dan obat-obatan) maupun output (ayam broiler). Untuk itu perlu memperbaiki struktur pasar agar lebih kompetitif yakni dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat (oligopoli atau kartel).

10. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan: (a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat; dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban pedagang pengecer.

11. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke peternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur informasi harga secara online.

12. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusat-pusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c) membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.