KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

22
KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Oleh Ir. Widarjanto, MM dan Ir. Suparyo Hugeng Abstrak Pemanfaatan bioteknologi pada tanaman di Indonesia sampai saat ini masih terbatas, diantaranya pada teknik kultur jaringan. Teknik ini diaplikasikan dalam perbaikan mutu genetik dan perbanyakan tanaman serta penyimpan plasma nutfah secara in vitro. Kultur jaringan diutamakan pada tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif dan memerlukan waktu yang relatif lama. Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki kelebihan antara lain tananam baru mempunyai sifat sama dengan induknya, bibit dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas dari hama dan penyakit. Tujuan kajian ini adalah melihat peluang dan kendala usaha pembibitan jati hasil kultur jaringan skala kecil di kawasan transmigrasi. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Sebagian besar lahan pekarangan transmiran yang belum termanfaatkan dapat digunakan untuk usaha pembibitan jati. (2) Usaha pengembangan bibit jati hasil kultur jaringan cukup menguntungkan. (3) Tenaga yang tersedia di lokasi cukup untuk dialokasikan sebagai usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil. (4) Sebagian besar transmigran mempunyai persepsi bahwa usaha pengembangan bibit jati kultur jaringan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. (5) Usaha pengembangan bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang relatif besar menurut ukuran transmigran. (6) Ketidakpastian permintaan pasar terhadap bibit jati kultur jaringan menyebabkan transmigran belum mengusahakannya secara komersial. Pendahuluan Salah satu produk bioteknologi yang mempunyai prospek cukup baik untuk diperkenalkan di kawasan transmigrasi adalah bibit jati hasil kultur jaringan. Kelebihan bibit jati tersebut adalah pertumbuhan pohon relatif seragam, tingkat pertumbuhan per tahun lebih cepat, bentuk batang lebih lurus, silindris, serta bebas kontaminasi hama dan penyakit (Trubus, 2001). Perdagangan bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat sebagai usaha komersil skala petani kecil (private nursery), dan dapat menambah pendapatan transmigran dan penduduk lokal. Tanaman jati dapat diperbanyak melalui cara generatif dan vegetatif. Cara generatif adalah dengan perbanyakan melalui biji yang disemaikan dan dibiarkan tumbuh tunas baru serta dipelihara sebagai bibit. Jika terlalu besar bibit diremajakan dengan cara memangkas batang dan dibiarkan tumbuh tunas baru, tunas ini di pelihara sebagai batang baru. Cara tersebut KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 1 of 22

Transcript of KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Page 1: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI

Oleh Ir. Widarjanto, MM dan Ir. Suparyo Hugeng

Abstrak

Pemanfaatan bioteknologi pada tanaman di Indonesia sampai saat ini masih terbatas, diantaranya pada teknik kultur jaringan. Teknik ini diaplikasikan dalam perbaikan mutu genetik dan perbanyakan tanaman serta penyimpan plasma nutfah secara in vitro. Kultur jaringan diutamakan pada tanaman yang sulit dikembangkan secara generatif dan memerlukan waktu yang relatif lama. Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki kelebihan antara lain tananam baru mempunyai sifat sama dengan induknya, bibit dapat diproduksi dalam jumlah besar dan bebas dari hama dan penyakit.

Tujuan kajian ini adalah melihat peluang dan kendala usaha pembibitan jati hasil kultur jaringan skala kecil di kawasan transmigrasi. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa (1) Sebagian besar lahan pekarangan transmiran yang belum termanfaatkan dapat digunakan untuk usaha pembibitan jati. (2) Usaha pengembangan bibit jati hasil kultur jaringan cukup menguntungkan. (3) Tenaga yang tersedia di lokasi cukup untuk dialokasikan sebagai usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil. (4) Sebagian besar transmigran mempunyai persepsi bahwa usaha pengembangan bibit jati kultur jaringan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. (5) Usaha pengembangan bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang relatif besar menurut ukuran transmigran. (6) Ketidakpastian permintaan pasar terhadap bibit jati kultur jaringan menyebabkan transmigran belum mengusahakannya secara komersial.

Pendahuluan

Salah satu produk bioteknologi yang mempunyai prospek cukup baik untuk diperkenalkan di kawasan transmigrasi adalah bibit jati hasil kultur jaringan. Kelebihan bibit jati tersebut adalah pertumbuhan pohon relatif seragam, tingkat pertumbuhan per tahun lebih cepat, bentuk batang lebih lurus, silindris, serta bebas kontaminasi hama dan penyakit (Trubus, 2001). Perdagangan bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat sebagai usaha komersil skala petani kecil (private nursery), dan dapat menambah pendapatan transmigran dan penduduk lokal.

Tanaman jati dapat diperbanyak melalui cara generatif dan vegetatif. Cara generatif adalah dengan perbanyakan melalui biji yang disemaikan dan dibiarkan tumbuh tunas baru serta dipelihara sebagai bibit. Jika terlalu besar bibit diremajakan dengan cara memangkas batang dan dibiarkan tumbuh tunas baru, tunas ini di pelihara sebagai batang baru. Cara tersebut lebih dikenal dengan istilah Stump. Perbanyakan ini sudah dikenal di kalangan masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara. Sedangkan perbanyakan melalui vegetatif dilakukan melalui kultur jaringan, yaitu perbanyakan melalui pertumbuhan sel-sel jaringan titik tumbuh tanaman. Cara pembibitan jati melalui kultur jaringan masih dilakukan oleh produsen bibit dan belum dapat diadopsi oleh petani, karena teknologi ini padat modal dan berteknologi tinggi. Peluang usaha yang dapat diadopsi dari teknologi ini adalah pembesaran bibit jati

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 1 of 19

Page 2: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

setelah fase aklimatisasi atau pada fase adaptasi bibit dengan lingkungan luar laboratorium (bibit berumur ± 4 minggu).

Permasalahan dalam menggunakan produk bioteknologi khususnya bibit jati hasil kultur jaringan untuk meningkatkan produksi pertanian di kawasan transmigrasi adalah rendahnya kemampuan adopsi teknologi tersebut oleh transmigran, terbatasnya pemilikan modal dan tidak adanya akses ke sumber-sumber modal semacam lembaga keuangan formal. Selain itu, lokasi permukiman transmigrasi (kawasan transmigrasi) umumnya jauh dari pusat distribusi faktor produksi, termasuk bioteknologi, sehingga pengadaannya secara individual untuk digunakan secara kontinyu dalam meningkatkan produksi pertanian menjadi sangat mahal. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian tentang peluang dan kendala usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil di kawasan transmigrasi. Sasaran kajian ini adalah tersedianya informasi peluang dan kendala pengembangan dan pemanfaatan bibit jati kultur jaringan sebagai usaha pembibitan skala rumah tangga di kawasan transmigrasi.

Kajian dibatasi pada aspek teknis, ekonomi dan sosial. Disamping itu juga dilakukan sosialisasi bibit jati kultur jaringan dan disertai bimbingan teknis kepada transmigran dan penduduk lokal terpilih. Dari hasil sosialisasi ini diharapkan dapat diketahui persepsi dan minat transmigran dan penduduk lokal terhadap pemanfaatan bibit jati kultur jaringan sebagai usaha tambahan.

Analisis peluang dan kendala pemanfaatan bibit jati kultur jaringan dengan metode diskriptif kualitatif. Untuk melihat persepsi dan minat transmigran dalam pemanfaatan bibit jati kultur jaringan, dilakukan pembobotan variabel menuntut metoda Likers (skala 5 tingkat).

Analisis Teknis, Ekonomi Dan Sosial

Analisis Teknis

Agroekologi

Iklim

Bibit jati akan tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki curah hujan 1.200 – 2.500 mm per tahun dengan 3 – 5 bulan kering (curah hujan kurang dari 50 mm per bulan), temperatur 19 – 36 ° C dan intensitas cahaya 75 – 100 persen (PT. Fitotek, 2002).

Lokasi sosialisasi bibit jati kultur jaringan di Balai Teknik Produksi Transmighrasi Bengkulu dan Desa-desa di sekitarnya (desa Kuro Tidur, Padang Jaya, Tanjung Harapan dan Marga Sakti) mempunyai intensitas curah hujan sebesar 2.000 mm dengan temperatur 32°C pada ketinggian 250 m dari permukaan laut. Menurut ahli dari PT Fitotek (2002), daerah tersebut masih tergolong sesuai untuk pertumbuhan bibit jati kultur jaringan, sehingga usaha pembibitan jati kultur jaringan di lokasi penelitian dinilai layak secara teknis.

Kemiringan Lahan

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 2 of 19

Page 3: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Departemen Transmigrasi (1992) telah menentukan batas kriteria kelayakan lahan untuk transmigrasi pola tanaman pangan antara lain kemiringan kurang dari 8 persen. Apabila lahan memiliki kemiringan lebih dari 8 persen, maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah. Kemiringan lahan yang dimiliki petani terutama lahan pekarangan petani di daerah sosialisasi bibit jati kultur jaringan tidak lebih dari 8 persen. Pemanfaatan lahan petani untuk produksi tanaman palawija dan tahunan kelihatan tidak mengalami hambatan, serta terlihat tertata dengan baik. Oleh karena itu terdapat peluang pembibitan jati kultur jaringan pada lahan pekarangan.

Ketersedian Lahan dan Media Tanah

Ketersediaan lahan untuk usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil (200 batang bibit) per keluarga di lokasi penelitian tidak menjadi hambatan karena usaha tersebut hanya membutuhkan luasan lahan kurang lebih 100 m2. Lahan pekarangan yang dimiliki penduduk umumnya 2.500 m2 dan masih tersisa seluas 200-300 m3 yang belum diusahakan, sehingga masih cukup luas untuk usaha pembibitan.

Pembuatan media tanah untuk pembibitan tidak mengalami kesulitan karena bahan-bahan seperti tanah dan sekam tersedia dalam jumlah yang cukup. Media tanah dapat diambil dari lahan sekitar dan sekam gergaji atau sekam padi dapat diambil dari tempat penggerjajian kayu atau penggilingan padi dengan harga relatif murah sekitar Rp 50,- per kg. Tingkat kemasaman tanah yang dibutuhkan untuk media tanah dalam polibag sekitar 5,0-8,0. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pH tanah di lahan pekarangan sekitar 5,0-6,5.

Kendala- kendala lain

Selain kendala fisik dan kesuburan tanah, usaha pembibitan jati kultur jaringan tidak lepas dari kendala hama dan penyakit bibit tanaman tersebut. Penyakit bibit tanaman tahunan yang sering menyerang seperti kutu daun, busuk akar dapat dikendalikan dengan penyemprotan obat-obatan kutu daun dan mengurangi kelembaban media tanah dalam polibag. Hama yang kadang–kadang merusak areal pembibitan adalah babi hutan. Hama ini dapat dikendalikan dengan pembuatan pagar keliling. Menurut penangkar bibit tanaman tahunan seperti karet, kopi dan kelapa sawit yang ada disekitar lokasi, intensitas serangan hama dan penyakit dapat dikatakan relatif kecil sehingga tidak menjadi kendala yang berarti. Dengan pengalaman ini, maka pembibitan bibit jati kultur jaringan digolongkan layak bersyarat, yaitu serangan hama babi hutan dapat dikendalikan.

Peralatan dan Bahan yang dibutuhkan

Tekonologi kultur jaringan yang padat modal dan teknologi tinggi merupakan kendala utama dalam usaha pembibitan jati kultur jaringan. Kegiatan yang dapat diadopsi oleh transmigran dan penduduk setempat adalah usaha pembesaran bibit jati muda (umur 1 bulan). Usaha pembibitan jati kultur jaringan di daerah penelitian dinilai layak bersyarat, yaitu diperlukan penyediaan bahan dan alat pembesaran di lokasi agar mudah diperoleh transmigran.

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 3 of 19

Page 4: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Tanggapan Pemda dan Swasta

Pemda Propinsi Bengkulu sangat mendukung adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan komoditas tanaman kehutanan ung-gulan seperti kayu bawang. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada agroekologi setempat disamping itu kayunya banyak diminati. Untuk pengembangan tanaman jati, baik jenis lokal maupun kultur jaringan, Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu belum merekomendasikannya. Namun Pemda Kabupaten Bengkulu Selatan telah memprogramkan penanaman jati sebagai tanaman hutan rakyat. Dengan kebijaksanaan ini, banyak bermunculan penangkaran bibit jati lokal. Bibit jati diperoleh dari Propinsi Lampung dalam bentuk biji, stek dan cabutan jati muda, sementara penangkaran bibit jati kultur jaringan saat ini belum ada.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara sampai sekarang belum merekomendasikan tanaman jati sebagai tanaman hutan rakyat, sehingga tanaman jati di daerah tersebut belum berkembang luas. Permintaan bibit jati di pasaran daerah tersebut sangat kecil. Usaha pembibitan jati yang ada terbatas pada jenis jati lokal dan hanya sebagai usaha kecil atau sampingan. Pihak pemda dalam hal ini Dinas Kehutanan maupun Dinas Pertanian, kurang memberikan bimbingan dan sosialisasi khususnya dalam usaha pembibitan jati, sehingga petani berusaha hanya berdasarkan pengalaman seadanya.

Pengusahaan pembibitan komoditas jati lokal skala kecil di Provinsi Bengkulu sudah berkembang sejak 3 tahun. Pada awalnya, kegiatan pembibitan skala kecil ini dimulai dengan maraknya penanaman jati di Bengkulu. Mereka mendapatkan bibit jati dari daerah Lampung Selatan. Ada juga yang dibawa langsung dari Jawa Barat, Jawa Tengah (Cepu) dan Jawa Timur. Sebagian besar budidaya jati lokal berkembang di Bengkulu Selatan, karena berdekatan dengan sumber bibit di Lampung. Budidaya tersebut selanjutnya menyebar ke Rejang Lebong. Di Kabupaten Bengkulu Utara, pengembangan jati masih dalam taraf coba-coba dan masyarakat masih memerlukan informasi apakah jati dapat tumbuh dengan baik di Bengkulu Utara.

Di Kota Bengkulu, pengusahaan bibit jati telah mulai berkembang, ditandai dengan adanya masyarakat yang telah melakukan usaha ini. Salah satu penduduk kota Bengkulu yang berhasil dalam mengusahakan jati ini adalah Pak Safrizal. Penduduk asli Bengkulu yang tinggal di Kelurahan Talang Kering, Kecamatan Muara Bangka Hulu ini menjalankan usahanya sejak 1 tahun yang lalu. Cara perbanyakan yang dilakukannya adalah dengan membeli stek tumbuh yang berasal dari Lampung Selatan dengan harga satu ikat stek (100 stek) adalah Rp. 50.000,-. Stek yang dibeli kemudian dipindah ke polibag-polibag yang telah berisi media tumbuh dengan komposisi Urea, pupuk kandang dan tanah bagian atas. Harga jual bibit jati buatan Pak Safri berkisar Rp. 2.000,- sampai Rp. 4.000,- dengan persyaratan, bila dibeli dengan partai besar (sekitar 200 batang), maka harganya Rp. 2.000,-, per batang sedangkan partai kecil sebanyak 10 batang, ia jual dengan harga Rp. 4.000,-. Di depan rumahnya terpampang papan dengan tulisan jual bibit jati super. Nama jati super dipakai sebagai nama dagang, karena sebelumnya sudah ada perusahaan dari Jakarta yang memasok jati dengan nama jati super. Untuk musim hujan yang akan datang, bibit jati buatan Pak Safri sudah dipesan sebanyak 500 polibag oleh pembeli dari Bengkulu Utara dan 400 polibag oleh pembeli dari daerah Curup. Analisis usaha pembibitan jati skala kecil Pak Safri diuraikan sebagai berikut:

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 4 of 19

Page 5: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Tabel 1

Analisis Usaha Pembibitan Jati Skala Kecil untuk 100 Polibag

selama 4 Bulan

No Uraian Banyaknya Jumlah (Rp)

A Biaya Produksi

1. Polibag

2. Pupu kandang

3. Pupuk NPK

4. Stek jati

5. Curacron 50 EC

6. Naungan

1 kg

4 karung

2 kg

1 ikat

1 botol

-

8.000

24.000

6.000

50.000

18.000

20.000

Jumlah 126.000

B Penjualan 100 polibag 400.000

C Keuntungan bersih B – A 274.000

D B/C rasio 2,2

Apabila 100 polibag bibit jati terjual dengan harga Rp. 4.000,- maka diperoleh penerimaan sebesar Rp. 400.000,-. Bila penerimaan tersebut dikurangi biaya produksi Rp. 126.000,-, maka keuntungan bersih yang didapat sebesar Rp. 274.000,-, dengan B/C rasio 2,2. Dengan rasio tersebut, maka usaha pembibitan skala kecil Pak Safri dianggap layak untuk usaha tambahan.

Pihak swasta yang mendukung pengembangan jati kultur jaringan di Provinsi Bengkulu sejak 2 tahun yang lalu, PT. Monfori Nusantara telah melebarkan pemasaran produk bibit jati super. Saat ini perusahaan tersebut telah membuka kantor cabang di Kota Bengkulu serta telah melakukan kerjasama penelitian budidaya tanaman jati super dengan Universitas Bengkulu di satu lokasi di daerah Muko-Muko Utara, Kabupaten Bengkulu Utara.

Tanggapan Universitas Bengkulu terhadap program pengembangan jati kultur jaringan sangat positif. Menurut salah satu pakar dari jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, jati dapat tumbuh dengan baik pada iklim dan agroekologi Bengkulu. Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu saat ini sedang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan pembudidayaan jati kultur jaringan. Beberapa penelitian yang telah diselesaikan adalah hubungan faktor pertumbuhan jati

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 5 of 19

Page 6: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

dengan persemaian sampai penjarangan, dan pertumbuhan jati pada pola tanam monokultur, serta polikultur dengan sawit.

Alih Teknologi

Di Propinsi Bengkulu pengembangan usaha pembibitan jati lokal melalui biji, stek, dan cabutan sudah dilakukan sejak 2 – 3 tahun yang lalu. Hasil kajian ini memperlihatkan cukup banyak usaha penangkaran bibit jati lokal. Pengembangan usaha ini juga didukung oleh banyaknya permintaan (pemesanan) bibit yang mendorong banyak masyarakat membudidayakan komoditas ini di lahannya. Dari fakta ini, disimpulkan bahwa alih teknologi budidaya jati telah dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan sosialisasi secara getok tular. Petani yang tertarik untuk menanam jati, mereka akan belajar dari petani lain yang sudah lebih dahulu membudidayakannya. Khususnya di lokasi penelitian di Balai TPT Kuro Tidur dan sekitarnya, tahap awal pengembangan pembibitan jati kultur jaringan melibatkan petani eks transmigran dan petani lokal. Mereka telah diberikan bimbingan teknis tentang tahapan kegiatan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil dan teknis budidayanya.

Pada saat sosialisasi, responden memberikan tanggapan yang beragam atas setiap tahapan kegiatan, pemikiran dan curahan tenaga kerja. Sebagian besar responden mempunyai pandangan bahwa bibit jati hasil kultur jaringan merupakan hal yang baru bagi mereka. Selama ini mereka hanya mengenal bibit jati lokal dengan perbanyakan dari biji, stek, dan cabutan anakan yang masih muda.

Dari hasil penelitian, sebagian besar responden tidak tertarik melakukan usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil untuk kegiatan tambahan, karena masalah modal, dan pangsa pasarnya belum jelas (calon pembeli bibit jati).

Sebagian besar responden belum mengetahui bahwa jati dapat diperbanyak dengan teknik kultur jaringan. Mereka baru mengetahui jenis jati ini dari sosialisasi yang telah dilakukan Balai Litbang TPT Kuro Tidur. Teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit jati selama ini masih di laksanakan oleh pihak produsen bibit dan belum dapat diadopsi oleh pihak lain seperti transmigran ataupun petani. Menurut pihak produsen, teknologi kultur jaringan belum dapat ditransfer ke pihak lain karena alasan teknis sehingga sampai saat penelitian dilakukan belum terjadi alih teknologi kultur jaringan.

Analisis Ekonomi

Bahan dan alat-alat pendukung

Untuk melakukan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil (200 batang) diperlukan bahan dan alat-alat pendukung seperti alat-alat pertanian, rumah bibit (naungan sederhana), pupuk organik, polibag dan media tanam. Alat dan bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah di pasar terdekat, yaitu pasar PT Maju. Bibit jati muda hasil kultur jaringan tidak tersedia di lokasi. Bibit jati ini dapat di pesan ke produsen bibit di Jakarta minimal sebanyak 1.000 batang. Untuk memudahkan dan efisiensi biaya pengangkutan, maka pemesanan diusahakan secara berkelompok,

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 6 of 19

Page 7: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

sehingga mencapai jumlah bibit minimal (1000 batang). Alternatif lain adalah memanfaatkan jasa Koperasi Unit Desa untuk memfasilitasi pemesanan bibit jati. Menurut pihak produsen bibit, mereka sanggup memasok bibit jati, asalkan pemesanan dilakukan secara kontinu.

Harga atau Biaya Bibit Jati Kultur Jaringan

Harga bibit jati kultur jaringan siap tanam (berumur 3-4 bulan) dipasaran Jakarta adalah berikasar Rp. 17.000,- sampai Rp 17.500,- per batang. Sedangkan harga bibit (berumur 1 - 1,5 bulan) yang akan dibesarkan adalah Rp 10.000,- per batang, belum termasuk ongkos kirim. Untuk memudahkan dan efisiensi biaya pengangkutan ke lokasi pembesaran bibit, dapat dilakukan secara berkelompok. Kegiatan usaha pembersaran bibit menurut responden untuk saat ini tidak dapat dilaksanakan karena harga bibit jati kultur jaringan dirasa cukup mahal dan tidak ada satupun responden yang menyatakan murah.

Peningkatan Pendapatan atau Keuntungan

Penelitian ini belum dapat menghitung keuntungan aktual usaha pembibitan jati kultur jaringan, karena sebagian besar responden yang menerima bibit jati ternyata tidak memperdagangkannya, tetapi ditanam di lahannya. Usaha pembibitan jati lokal yang telah berkembang seperti di kota Bengkulu dan sekitarnya, menurut pelaku usahanya dapat mendatangkan keuntungan, sehingga mereka masih dapat bertahan hingga sekarang setelah 3 tahun berjalan.

Modal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan lebih banyak terserap pada pengadaan bibit (200 batang @ Rp 10.000,- atau Rp 2 Juta), biaya pemeliharaan selama 4 bulan Rp 200.000,-, pengadaan bahan dan alat-alat sebesar Rp 200.000,-, serta pembuatan biaya rumah bibit sebesar Rp 50.000,- Total biaya yang diinvestasikan sebesar Rp 2,6 juta. Perkiraan keuntungan bersih (perdana) dari usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan skala kecil adalah Rp 880.000,- dengan harga jual bibit Rp. 17.500 tiap batang.

Analisis Sosial

Potensi Budidaya dan Pembibitan Tanaman Jati

Potensi tanaman jati dalam usahatani transmigran dan penduduk setempat dapat diterapkan sebagai alternatif usaha tambahan seperti budidaya jati skala kecil dan pembesaran bibit jati. Menurut penelitian, budidaya jati skala kecil dapat dikembangkan dalam jumlah 10-15 batang yang ditanam sebagai pagar pembatas lahan usaha (Trubus, 2001). Usaha pembesaran bibit jati skala kecil dapat dilakukan pada skala 200 batang bibit. Untuk memudahkan dan efisiensi biaya pengangkutan maka dapat dilakukan secara berkelompok (10–15 orang per kelompok). Keuntungan usaha berkelompok ini antara lain lebih mudah membuka akses ke sumber modal dan efisiensi biaya transportasi.

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 7 of 19

Page 8: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Budidaya dan pembibitan jati di lokasi penelitian tidak bertentangan dengan budaya usahatani setempat. Kelangkaan tanaman jati di lokasi banyak disebabkan oleh pertimbangan pemasaran kayu jati yang memakan waktu dan birokrasi panjang dan kenampakan kayu yang berlubang di tengah. Disamping itu, tanaman jati bukan tanaman pilihan masyarakat sebagai tanaman berumur pendek, lain halnya komoditas karet, kelapa genjah, kelapa sawit yang mampu berproduksi dalam waktu relatif singkat.

Tenaga Kerja Tersedia

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang dimiliki responden dari penduduk setempat sebesar 5,2 orang, sedangkan kelompok eks transmigran rata-rata jumlah tenaga kerja adalah 3,4 orang. Kesadaran keluarga berencana di kalangan penduduk eks transmigran cukup tinggi jika dibandingkan dengan penduduk setempat. Hal ini dikarenakan tujuan merantau responden eks transmigran dari daerah asal adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Walaupun jumlah tenaga kerjanya lebih banyak di desa penduduk setempat dari pada desa eks transmigrasi, tetapi jumlah tenaga kerja efektif hanya 2,3 orang per KK dan dicurahkan ke usahatani sebesar 1,5 orang per KK untuk luasan garapan 1,0 ha (Tabel 2). Jumlah tenaga kerja efektif dan tenaga kerja yang tercurah pada usahatani lebih besar di permukiman transmigrasi dibanding desa setempat.

Tabel 2

Rata–rata Jumlah Tenaga Kerja dan Luas Garapan di 4 Lokasi

No Lokasi

Jumlah Tenaga Kerja Luas

Garapan

(ha/KK)

Ketersediaan

(orang/KK)

Efektif (orang/KK

)

Usahatani (orang /KK)

1 Desa Kuro Tidur (desa asli)

5,2 2,3 1,5 1

2 Desa Marga Sakti 3,5 2,4 1,8 1,6

3 Desa Tanjung Harapan

3,2 2,7 1,7 1,5

4 Desa Padang Jaya 3,6 2,5 1,7 1,4

Rata-rata 3,9 2,5 1,7 1,34

Pada awal usaha pembesaran bibit jati kultur jaringan dibutuhkan curahan tenaga kerja sebanyak 20 HOK yang terdiri dari pembuatan rumah bibit 6 HOK,

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 8 of 19

Page 9: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

pengadaan bahan dan alat (2 HOK) dan pemeliharaan bibit selama 4 bulan 12 HOK. Dari Tabel diatas, terlihat bahwa tenaga kerja keluarga di lokasi penelitian masih sisa 0,8 orang per KK. Dengan asumsi hari kerja dalam satu bulan 25 hari, maka sisa tenaga kerja keluarga selama 4 bulan setara 80 HOK. Jumlah tenaga kerja efektif yang tersisa ini dapat dialokasikan untuk usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.

Persepsi Transmigran tentang Peningkatan Pendapatan dari Usaha Pembibitan.

Hasil diskusi dangan aparat instansi kehutanan dan responden memperlihatkan bahwa sampai saat ini di Provinsi Bengkulu belum pernah dilakukan pembibitan melalui kultur jaringan. Adanya sosialisasi jati diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis terungkap bahwa responden umumnya berpendapat pembibitan jati kultur jaringan dapat meningkatkan keuntungan (nilai skor sebesar 87 atau cukup baik).

Tabel 3.

Persentase Responden Menurut Persepsi Tentang Keuntungan Usaha Pembibitan Jati Kultur Jaringan

No Persepsi Frekuensi % Skor 1 Sangat menguntungkan 0 0 0 2 Menguntungkan 15 50,0 60 3 Cukup menguntungkan 6 20,0 18 4 Kurang menguntungkan 9 30,0 9 5 Tidak menguntungkan 0 0 0

Jumlah 30 100 87

Setelah dilakukan sosialisasi, maka sebanyak 15 responden (50 persen) mengatakan bahwa pembibitan jati unggul dapat meningkatkan pendapatan, sedangkan 6 responden (20 persen) menjawab cukup menguntungan dan 9 responden (30 persen) menjawab kurang menguntungkan. Dalam benak dan pikiran responden, usaha ini dapat meningkatkan pendapatan, namun masih perlu ditelusuri lagi apakah responden mengenal jati kultur jaringan dan berminat melakukan usaha pembibitan secara swadaya.

Jika ditelusuri pengetahuan responden tentang bibit jati kultur jaringan sebelum sosialisasi dilakukan, umumnya mereka belum mengenalnya. Sebanyak 53,3 persen responden penduduk setempat hanya mengenal jati lokal dan sisanya 46,7 persen responden sama sekali tidak mengenal jati. Mereka hanya membudidayakan tanaman karet dan kopi yang diusahakan secara turun temurun dari orang tuanya. Disamping itu tingkat mobilitas mereka masih rendah sehingga kesempatan mengenal jati di tempat lain tidak ada. Lebih dari 93 persen penduduk eks transmigran telah mengenal

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 9 of 19

Page 10: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

tanaman jati lokal di daerah asalnya, sedang bibit jati kultur jaringan, umumnya belum mengenal (Tabel 4).

Tabel 4.

Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tanaman Jati Sebelum Sosialisasi

No Keterangan Penduduk Lokal Eks Transmigran

Frekuensi % Frekuensi % 1 Mengenal 8 53,3 14 93,3 2 Tidak mengenal 7 46,7 1 6,7

Tanaman jati dapat dikatakan sangat jarang dibudidayakan di Kabupaten Bengkulu Utara baik oleh pemerintah, swasta maupun penduduk setempat. Jati yang tumbuh secara sporadis satu atau dua pohon di lahan penduduk lokal sebagian besar tanpa pemeliharaan. Pemerintah daerah Kabupaten Bengkulu Utara selama ini belum merekomendasikan tanaman jati sebagai tanaman hutan rakyat, sehingga ada kekawatiran masyarakat setempat bahwa pemasaran jati akan menghadapi birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Disamping itu serangan hama ani-ani (rayap) sangat merugikan karena kayu jati menjadi berlubang yang menyebabkan harga kayu jati menjadi sangat rendah. Permasalahan yang disebut di atas membuat tanaman jati di daerah Kabupaten Bengkulu Utara menjadi tidak populer di kalangan penduduk setempat. Menurut ahli jati kultur jaringan dari PT Fitotek (2002), program sosialisasi bibit jati hasil kultur jaringan ini diharapkan dapat memberikan nuansa baru sehingga dapat mengkikis pendapat yang keliru selama ini, karena bibit ini sudah dikondisikan memperkecil lubang ditengah kayu. Adapun sumber informasi pengenalan tanaman jati bagi responden penduduk lokal sebagian besar dari melihat sendiri (53,3 persen) dan dari keluarga dan teman masing-masing 26,7 persen dan 20 persen. Sedangkan eks transmigran 73,3 persen melihat sendiri pada waktu di daerah asal dan 26,6 persen memperoleh informasi dari keluarga dan teman. Dari persepsi ini yang menarik adalah tingkat mobilitas responden eks transmigran cukup tinggi, sehingga lebih terbuka kesempatan menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan pengetahuan dan wawasan yang tinggi umumnya akan mudah menerima inovasi baru termasuk program sosialisasi bibit jati kultur jaringan. Ini terlihat disaat sosialisasi dilaksanakan, transmigran lebih dominan mengajukan pertanyaan tentang usaha budidaya dan pembibitan jati kultur jaringan. Sumber informasi responden tentang tanaman jati dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5.

Persentase Responden Menurut Sumber Informasi Tentang Tanaman Jati

No Keterangan Penduduk Lokal Eks Transmigran

Frekuensi

% Frekuensi

%

1 Melihat sendiri 8 53,3 11 73,3 2 Sosialisasi 0 0,0 0 0,0 3 Keluarga 4 26,7 3 20,0

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 10 of 19

Page 11: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

4 Teman 3 20,0 1 6,7

Dari hasil tahap sosialisasi atau pengenalan bibit jati kultur jaringan, terlihat bahwa minat responden masih kurang untuk usaha pembesaran bibit jati. Hal ini disebabkan karena budidaya tanaman jati masih baru dan petani masih ragu apakah jati dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu yang berkualitas di Provinsi Bengkulu. Namun ada harapan mereka apabila usaha pembesaran bibit jati dapat dilakukan, diperlukan kerjasama dengan produsen bibit atau dengan pihak mitra untuk menyediakan bibit jati dan untuk pemasarannya. Sedangkan pengadaan bahan dan alat-alat seperti pupuk, polibag, rumah bibit dan alat semprot dapat disediakan sendiri oleh petani (Tabel 6).

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 11 of 19

Page 12: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Tabel 6.

Persentase Responden Menurut Harapannya Terhadap Pembibitan Jati

No Keterangan Penduduk Lokal Eks

Transmigran Frekuens

i % Frekuens

i %

1 Menyediakan bibit jati muda

9 60,0 12 80,0

2 Menyediakan Bahan dan Peralatan (pupuk, polibag, naungan dsb )

1 6,6 0 0,0

3 Pemasaran 5 33,3 3 20,0

Harapan responden (56,7 persen) mengenai peran pemerintah agar usaha pembibitan jati kultur jaringan dapat dilakukan oleh petani adalah mengadakan pelatihan calon penangkar bibit karena mereka belum paham dalam usaha pembibitan jati kultur jaringan. Sebanyak 23,3 persen responden berharap agar pemerintah membuka akses ke sumber modal dan sebesar 20 persen lagi menginginkan program pendampingan disertai penyuluhan.

ATabel 7

Persentase Responden Menurut Persepsi Terhadap Peranan Pemerintah dalam Mengembangkan Pembibitan Jati Skala Kecil.

No Keterangan

Penduduk Lokal

Eks Transmigran

Total Responden

Frekuensi

% Frekuensi

% Frekuensi

%

1 Pelatihan 9 60,0 8 33,3

17 56,7

2 Penyuluhan 1 6,7 2 13,3

3 10,0

3 Akses ke sumber modal

4 26,6 3 20 7 23,3

4 Pendampingan

1 6,7 2 13,3

3 10,0

Minat Usaha Pembibitan Jati Kultur Jaringan Secara Swadaya

Sebagian besar bibit jati yang diberikan melalui program sosialisasi, baik dari kultur jaringan maupun lokal, ditanam di lahan responden. Ketika mereka mendapatkan stimulan berupa bibit jati, maka yang ada dibenaknya adalah ditanam untuk tabungan di hari tua. Pemikiran ini memang benar, tetapi mereka belum melihat terobosan lain berupa usaha pembibitan jati kultur jaringan. Apabila dikelola dengan

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 12 of 19

Page 13: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

baik, secara berkelompok dan berusaha mencari pasar, maka usaha ini dapat menambah pendapatan.

Tabel 8.

Persentase Responden Menurut Minat Usaha Pembibitan Jati Kultur Jaringan Secara Swadaya

No Persepsi Fekuensi

% Skor

1 Sangat berminat 0 0,0 0 2 Berminat 0 0,0 0 3 Cukup berminat 0 0,0 0 4 Kurang berminat 10 33,3 20 5 Tidak berminat 20 66,7 20

Jumlah 30 100 40

Sedangkan berdasar perhitungan skor jawaban responden tentang prospek pengembangan pembibitan jati kultur jaringan di masa depan, diperoleh nilai sebesar 108 (baik). Sebanyak 22 responden menilai usaha tersebut berprospek cukup baik, yang terdiri dari 14 responden menyatakan baik dan 8 responden menyatakan sangat baik. Dimasa mendatang usaha pembibitan jati kultur jaringan diduga dapat berkembang dengan baik, asalkan sarana, prasarana dan prospek pasar sudah terlihat nyata.

Intisari Analisis Kelayakan Pembibitan Jati Kultur Jaringan Skala Kecil

Berdasarkan indikator teknis, ekonomi, dan sosial yang telah diuraikan diatas, berikut ini disajikan hasil analisa kelayakan pembibitan jati kultur jaringan skala kecil.

Tabel 9.

Analisis Kelayakan Pemanfaatan Bibit Jati Kultur Jaringan sebagai Usaha Pembibitan Skala Kecil

No Indikator Syarat Kondisi Faktual

Kelayakan

1 Teknis

a. Kondisi agroekologi

- Sesuai untuk tanaman jati

- Sebagian besar lokasi sesuai untuk budidaya jati

- Layak

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 13 of 19

Page 14: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

b. Tersedianya lahan

c. Kendala lain

d. Cara pemanfaatan bibit jati

e. Tanggapan dari Pemda

f. Institusi sebagai fasilitator

g. Alih teknologi

- Luasan lahan 100 m2

- Dapat diatasi

- Dapat dilakukan responden

- Sudah dilakukan oleh Pemda

- Ada institusi

- Bisa berjalan dengan baik

- Luasan lahan yang tersisa 300-500 m2

- Dapat diatasi

- Dapat dilakukan oleh responden

- Pemda belum merekomendasikan

- Ada swasta yang mau sebagai fasilitator

- Responden antusias terhadap teknologi baru

- Layak

- Layak

- Layak

- Layak bersyarat

- Layak

- Layak

2 Ekonomi

a. Ketersediaan bibit jati dan bahan serta alat

b. Biaya

c. Pengaruh pada pendapatan usahatani

- Tersedia dengan mudah di lokasi

- Terjangkau

- Nyata

- Responden dapat menemukan di lokasi (pesan)

- Tidak terjangkau

- Berdasar prediksi nyata

- Layak bersyarat

- Tidak layak

- Layak bersyarat

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 14 of 19

Page 15: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

3 Sosial

a. Kesesuaian terhadap budaya bertani

b. Ketersediaan tenaga kerja

c. Persepsi dan minat menggunakan bibit kultur jaringan

d. Kecenderungan membiayai penggunaan bibit kultur jaringan

- Tidak bertentangan

- Mampu dan cukup

- Besar persentase persepsi > 60 %

- Bersar persentase minat > 60 %

- Tidak bertentangan

- Mampu dan cukup

- 70 %

- 0 %

- Layak

- Layak

- Layak

- Tidak layak

KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI HASIL KULTUR JARINGAN DI KAWASAN TRANSMIGRASI Page 15 of 19

Page 16: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

Dari Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengembangan dan pemanfaatan bibit jati kultur jaringan berpeluang untuk diaplikasi-kan di kawasan transmigrasi, namun beberapa kendala ekonomi dan sosial seperti biaya investasi dan kecen-derungan penggunaan bibit kultur jaringan perlu diatasi terlebih dahulu.

Sintesis Analisis Kelayakan Bibit Jati Kultur Jaringan

Peluang dan Kendala

Penanaman jati oleh penduduk di Provinsi Bengkulu meningkat sejak 3 tahun yang lalu. Sebagian besar pengembangannya berada di Kabupaten Bengkulu Selatan. Di Kabupaten Bengkulu Utara pengembangannya terkendala karena sosialisasi budidaya jati belum optimal. Jati yang dikembangbiakkan adalah jenis lokal dengan perbanyakan secara vegetatif berupa biji, stek dan cabutan. Kualitas galur jati lokal tersebut masih diragukan, karena tidak jelas dari mana asal sumbernya. Sebagian besar jati yang dibudidayakan berasal dari Lampung Selatan dengan nama atau merek dagang jati super. Dengan adanya pengembangan jati di Provinsi Bengkulu, maka berkembang pula usaha penyedia bibit yang dilakukan oleh penduduk setempat secara swadaya untuk memenuhi permintaan bibit jati di daerah sekitarnya. Umumnya usaha penyediaan bibit dilakukan oleh penduduk untuk menambah pendapatan dan bukan untuk usaha utama.

Indikasi Teknis

1) Lokasi pengembangan usaha bibit jati kultur jaringan berada pada daerah yang mempunyai agroekologi (iklim dan kemiringan lahan) yang sesuai untuk budidaya jati. Berdasarkan indikator ini, usaha bibit jati kultur jaringan dinilai layak untuk dikembangkan.

2) Meskipun sebagian besar lahan yang dimiliki oleh penduduk sudah digunakan untuk usahatani, namun di lahan pekarangan dengan luas 0,25 ha, masih tersisa antara 300-500 m2.

3) Peralatan dan bahan yang sederhana untuk usaha penyediaan bibit jati kultur jaringan dapat ditemukan di lokasi penelitian. Dari indikasi ini, terlihat bahwa usaha penyediaan bibit jati skala kecil dapat dilakukan berupa pemeliharaan lanjutan bibit jati berumur sekitar 1-2 bulan (setelah masa aklimatisasi).

4) Pemda Provinsi Bengkulu dalam hal ini Dinas Kehutanan belum merekomendasikan kayu jati sebagai tanaman kehutanan untuk program penghijauan dan reboisasi maupun pengembangan hutan kemasyarakatan. Sementara itu Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Selatan telah memprogramkan penanam-an jati sebagai tanaman hutan rakyat. Program ini dilihat sebagai peluang ekonomi sehingga bermunculan usaha penyedia bibit yang dilakukan oleh penduduk setempat. Peluang ekonomi tersebut ditangkap juga oleh produsen bibit jati kultur jaringan, terlihat dari dibukanya cabang usaha di kota Bengkulu untuk memasok bibit jati ke lokasi sekitarnya. Tanggapan positif juga datang dari kalangan akademis Universitas Bengkulu. Penelitian-penelitian tentang adaptasi jati sedang dilakukan

Page 17: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

oleh Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian. Pada intinya jati dapat tumbuh dengan baik pada agroklimat daerah Bengkulu terutama pada fase vegetatif.

5) Pihak swasta yang telah mengembangkan bibit jati kultur jaringan di daerah Bengkulu bersedia menjadi fasilitator pengembangan dan pemanfaatan jati kultur jaringan. Dengan pengalaman yang matang di bidang usaha bibit jati ini, mereka dapat menjembatani kepentingan penduduk dan pemerintah dalam mengembangkan tanaman jati di daerah Bengkulu.

6) Sebagian besar transmigran telah mengenal tanaman jati lokal dan ada yang telah menanam jati serta memanennya. Dari sisi teknis pembibitan jati kultur jaringan, tahapan kegiatan yang sederhana dan mudah dimengerti membuat alih teknologinya tidak akan mengalami hambatan.

Indikasi Ekonomi

1) Sebagian besar bahan dan alat-alat (sarana) usaha penyedia bibit jati tersedia di lokasi penelitian. Permasalahan yang ditemui adalah proses kultur jaringan tidak dilakukan di lokasi, sehingga bibit harus didatangkan dari tempat lain.

2) Usaha penyedia bibit jati kultur jaringan terkendala oleh biaya investasi yang relatif besar menurut standar transmigran, karena harga bibit jati berumur 1-1,5 bulan relatif mahal yaitu Rp. 10.000,- per polibag belum termasuk ongkos kirim. Total biaya investasi usaha penyedia jati kultur jaringan untuk skala kecil (200 polibag) adalah Rp. 2.000.000,-.

3) Potensi peningkatan pendapatan dari usaha penyedia bibit jati kultur jaringan dihitung berdasarkan data sekunder yang dipadukan dengan informasi lapang. Apabila harga bibit jati siap jual berumur 4 bulan di pasaran Jakarta yang berkisar antara Rp. 17.000–17.500 per pohon digunakan sebagai acuan, maka keuntungan yang di peroleh setelah 4 bulan pemeliharaan mencapai Rp. 780.000.

Indikasi Sosial

1) Dari sisi budaya pertanian setempat tidak ditemukan kendala pengembangan tanaman jati, bahkan ada eks transmigran yang sudah mengembangkannya sejak 20 tahun lalu dan sekarang sudah memanen hasilnya. Demikian pula usaha pembibitan jati kultur jaringan ternyata dapat diterima penduduk setempat karena tidak bertentangan dengan nilai sosial dan budaya bertani.

2) Tenaga efektif yang tersedia di lokasi penelitian rata-rata sebesar 2,5 per KK. Curahan tenaga kerja usahatani rata-rata sebesar 1,7 per KK, sehingga ada sisa tenaga kerja sebanyak 0,8 per KK atau setara dengan 80 HOK bila dihitung hari kerja 25 hari tiap bulan. Sisa tenaga kerja tersebut dapat dialokasikan untuk usaha pembibitan jati kultur jaringan skala kecil sebesar 20 HOK selama 4 bulan.

3) Sebagian besar transmigran (70 persen) mempunyai persepsi bahwa usaha penyedia bibit jati kultur jaringan dapat mendatangkan tambahan pen-dapatan.

Page 18: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

4) Ketidakpastian permintaan pasar terhadap bibit jati kultur jaringan menyebabkan transmigran belum mengusahakannya secara komersil. Indikasinya terlihat dari sebagian besar bibit jati yang dibagikan dalam sosialisasi ternyata ditanam dilahan transmigran, jadi tidak diperdagangkan seperti yang dianjurkan

Rekomendasi

Berdasarkan kajian teknis, ekonomi dan sosial, maka usaha pembibitan jati kultur jaringan yang disarankan untuk menambah pendapatan transmigran dan penduduk lokal perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Karena proses kultur jaringan hanya dapat dilakukan di laboratorium, maka perlu dibentuk kemitraan usaha antara pengusaha pembibitan jati skala kecil dengan produsen bibit. Dengan demikian kepastian pasokan bibit ke pengusaha pembibitan skala kecil bisa lebih terjamin. Kemitraan tersebut juga dapat diarahkan untuk memecahkan masalah ke-terbatasan modal pengusaha pembibitan jati skala kecil.

b. Agar biaya mendatangkan bibit jati kultur jaringan dapat ditekan, maka pengusaha pembibitan jati skala kecil disarankan membentuk kelompok antara 10 – 15 orang.

c. Perlu disusun program pelatihan teknis dan manajemen usaha pembibitan serta perluasan pasar bibit jati kultur jaringan.

d. Perlu sosialisasi keunggulan bibit jati kultur jaringan kepada masyarakat dan aparat pemerintah sampai ke tingkat provinsi sebagai alternatif bibit jati lokal.

Daftar Pustaka

Fawzia Sulaiman (2002). Sosialisasi dan Aplikasi Teknologi ke Petani. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta .

Hartman dan Kester. 1978. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook, Macmillan, London .

Ika Mariska dkk. 1997. Penelitian Kultur Jaringan Tanaman Industri. Jurnal Litbang Pertanian XVI (2). Jakarta .

JALDA. 1999. The Final Report; of The Verification Study on Integrated Agricultural and Rural Development for the Conservation of Tropical Forest in Indonesia .

John E. Smith. 1993. Prinsip Bioteknologi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .

Joedoro S. 1997. Status Penelitian Bioteknologi Pertanian di Indoensia. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia .

Najiyati dkk. 2000. Studi Kelayakan Pemanfaatan Bioteknologi untuk Peningkatan Produksi di UPT. Puslitbang BAKMP. Jakarta .

Page 19: KAJIAN KELAYAKAN PEMANFAATAN BIBIT JATI

PT. Perhutani, 1998. Pengembangan Hutan Tanaman Jati. Jakarta .

------------------, 2000. Pengembangan Tanaman Jati dan Analisa Ekonomi. Jakarta

PT Fitotek, 2001. Jati Unggul. Jakarta .

-------------, 2001. Pengembangan Hutan Rakyat Dengan Tanaman Jati Bagi Program Transmigrasi.Jakarta.

Rukmini N Dewi. 2001. Pemberdayaan Perambah Hutan dalam Pengembangan Budidaya Tanaman Jati Unggul. Puslitbang Ketransmigrasian. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.Jakarta.

Sugiono M. 1997. Pemanfaatan Bioteknologi Pertanian Secara Aman dan Legal. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia .

Sunarlim. 1997. Perbaikan Teknik Budidaya Tanaman. Bulletin Agro. Jakarta

Trubus, 2001. Jati Investasi Hari Tua. Majalah Trubus Edisi 378. Mei 2001/XXXII. Jakarta .

Yana Sumarna, 2001. Budidaya Jati .Penebar Swadaya Jakarta.

Yansen. 2002. Evaluasi Pertumbuhan Jati pada Pola Tanaman Monokultur dan Polikultur dengan Sawit. Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Benkulu. Bengkulu.