Kalilah dan Dimnah

43

description

fabel alegoris dari filosof agung Baidaba

Transcript of Kalilah dan Dimnah

Filosof India Abad ke-3M

Fabel-fabel Alegoris eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

[email protected]

Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-fabel Alegoris Diterjemahkan dari buku berbahasa Arab: Kalilah wa Dimnah,

karya Baidaba, yang di ter jemahkan ke dalam bahasa Arab oleh 'Abdullah bin al-Muqaffa', terbitan Dar al-Fikr,

Beirut, Lebanon , cetakan ke-2, 1991

Pener jemah: Wasmukan Penyunt ing: M.S. Nasrulloh

Hak ter jemahan di l indungi undang-undang Dilarang mereproduks i m a u p u n memperbanyak

seluruh atau sebagian isi buku ini dalam b e n t u k d a n cara apa p u n tanpa izin tertulis dari penerb i t

All rights reserved

Cetakan I , M u h a r r a m 1425 H / M a r e t 2004

Diterbitkan oleh PUSTAKA HIDAYAH Anggota Ikatan Penerb i t Indonesia (IKAPI)

Jl . Rereng Adumanis 31 , Sukaluyu, Bandung 40123 e-mail: [email protected] in.net . id

Telepon/Faksimile: (022)-2507582

Tata-Letak: Tito F. Hidayat Desain Sampul: G. Ballon

PENDAHULUAN -- 7

1 SINGA DAN SAPI BANTENG — 65

2 PEMERIKSAAN PERKARA DIMNAH — 145

3 MERPATI BERKALUNG — 179

4 BURUNG HANTU DAN SEKAWANAN BURUNG GAGAK — 209

5 MONYET DAN KURA-KURA — 2 5 3

6 SEORANG SUFI DAN MUSANG — 265

DAFTAR ISI

SINGA BETINA, PEMANAH DAN ANJING HUTAN — 315

11 ILADZA, BALADZA DAN IRAKHTA — 323

12 ORANG SUFI DAN TAMUNYA — 351

13 PELANCONG DAN PENGRAJIN EMAS — 355

14 PUTRA RAJA DAN SAHABAT-SAHABATNYA — 365

15 MERPATI, RUBAH DAN BANGAU — 377

7 TlKUS DAN KUCING HUTAN — 273

8 RAJA DAN BURUNG FANJAH — 285

9 SINGA DAN ANJING HUTAN — 297

10

Sebab yang menjadikan Baidaba, seorang filosof India yang menulis buku Hikayat Kalilah & Dimnah untuk Dabsyalim, raja India, adalah bahwa Iskandar Dzulkarnain ar-Rumi, ketika selesai menaklukkan para penguasa wila-yah Maghrib, meneruskan perjalanannya ke daerah Timur, termasuk wilayah Persia dan sebagainya. la terus menye-rang dan memerangi orang-orang yang melawannya, dan akan berdamai dengan para penguasa Persia yang mau diajak damai. Mereka yang memilih jalan damai adalah kelas pertama, sehingga menguasai mereka.

la akan menyerang dan menundukkan orang-orang yang melawan dan memeranginya, sehingga mereka men-jadi kocar-kacir berantakan. Kemudian Raja Iskandar Dzulkarnain dengan membawa pasukannya pergi menuju ke negeri China. Di awal ekspansinya menuju ke sana, di tengah jalan, ia lebih dahulu mengajak raja India agar mau taat dan tunduk di bawah kekuasaannya dan meme-

7

PENDAHULUAN Oleh: 'Ali bin Syah al-Farisi

luk agamanya. Pada saat itu wilayah India sedang dikuasai oleh seo-

rang raja yang memiliki kekuatan besar dan tangguh. Keti-ka raja yang dikenal kuat yang bernama Faur ini mende-ngar berita bahwa Raja Dzulkarnain bakal datang ke w i ­layah kekuasaannya, ia sudah menyiapkan pasukan-pa-sukannya untuk melawan. Ia melakukan persiapan-per-siapan perang melawan pasukan Dzulkarnain dalam wak-tu yang relatif singkat, dengan mempersiapkan kendaraan gajah dan kuda yang sudah terlatih dan siap tempur, bina-tang-binatang buas yang sangat berbahaya dan pandai melakukan penyerangan, dan menyiapkan persenjataan lain.

Ketika Dzulkarnain sudah dekat dengan wilayah ke-kuasaan Raja Faur, India, ia mendengar tentang persiap-an-persiapan yang telah dilakukan untuk menghadapi se-rangan pasukannya, dengan kuda yang berlari kencang, dan pasukan gajah yang sudah terlatih. Persiapan seper-ti itu belum pernah ia temukan dalam ekspansi-ekspansi sebelumnya. Berita ini membuat Dzulkarnain khawatir ba­kal mengalami kekalahan bila ia tergesa-gesa melakukan penyerangan.

Sementara itu, Dzulkarnain adalah seorang raja yang banyak akal dan pintar melakukan taktik dan tipu musli-hatdisertai dengan perencanaan-perencanaan dan penga-laman yang baik dan teruji. Kemudian ia melihat bahwa ia harus melakukan taktik dan bertindak secara pelan-pelan dan berhati-hati. Ia memerintahkan pasukannya un­tuk menggali parit yang mengelilingi tempat perlindungan diri dan pasukannya dari serangan musuh selama tinggal

8

di situ untuk merencanakan strategi penyerangan. la mengundang para ahli nujum dan memerintahkan

mereka memilih hari yang menguntungkan dan cocok un­tuk melakukan penyerangan, agar bisa mendapatkan ke-menangan. Kemudian mereka melakukannya sesuai de-ngan perintah.

Sementara itu, setiap kali melewati suatu kota, Dzul­karnain mesti mengambil teknokrat-teknokrat yang ung-gul dan cerdas dalam disiplin masing-masing. Kemudian dari pikiran Dzulkarnain yang cerdas, muncul suatu ide bagus, yang kemudian disodorkan kepada para teknokrat yang diajak bersamanya. Mereka diperintahkan membu-at patung-patung kuda dari tembaga yang bagian dalarm-nya kosong, kemudian di atasnya juga dinaiki oleh patung manusia. Patung-patung ini diberi roda agar bisa berjalan cepat.

Setelah mereka selesai mengerjakannya, bagian da­lam patung akan diisi dengan bahan bakar minyak dan korek untuk pembakaran supaya patung-patung tersebut panas. Patung-patung ini dibentuk sedemikian rupa keli-hatan asli dan kemudian diletakkan di barisan terdepan. Ketika dua pasukan yang sudah siap tempur bertemu da­lam satu medan, bahan bakar yang ada di dalam patung-patung mulai disulut hingga terjadi pembakaran yang amat panas. Ketika gajah-gajah yang dijadikan kendara-an Raja Faur dan pasukannya, dengan belalainya menyen-tuh patung-patung panas, mereka akan berbalik ke belakang dengan lari kencang.

Ide bagus ini memberikan inspirasi para teknokrat un­tuk segera menyelesaikan tugasnya dengan baik dan ber-

9

sungguh-sungguh. Dengan semangat tinggi mereka me-ngerjakannya agar cepat selesai. Sementara itu, jadwal penentuan waktu memulai penyerangan yang dipilih oleh para ahli nujum juga sudah dekat. Akhimya Dzulkamain mengirimkan kembali utusannya menemui Raja Faur un-tuk mengajaknya agar mau tunduk dan mengikuti ajak-an Dzulkamain. Tapi ia memberi jawaban sebagaimana orang yang bersikukuh menolak ajakan itu dan tetap i-ngin mengabulkan niatnya untuk melawan dan berperang.

Ketika Raja Dzulkamain melihat niat dan keinginan-nya demikian, ia bersama pasukan dan persiapannyapun berangkat untuk bertempur. Raja Faur dengan mengen-darai gajah memimpin pasukannya di barisan paling de-pan. Sementara i tu, pasukan Dzulkamain mulai men-dorong patung-patung kuda yang berisi bahan bakar me-nuju ke arah Faur dan pasukannya yang juga datang dari arah yang berlawanan dengan pasukan bergajah. Ketika gajah-gajah itu hendak menyerbu dengan belalainya ke patung-patung kuda yang terbuat dari tembaga yang su­dah dipanasi dengan bahan bakar, belalainya terasa ke-panasan dan kemudian melemparkan semua pasukan yang naik di atas punggungnya. Mereka berlari dengan semburat karena kepanasan, dan tidak mau berhenti dan melihat siapa pun. Ketika sedang berlari kencang, mereka menendang dan menginjak siapa pun yang ada di depan-nya. Akhirnya Faur dan pasukannya berantakan terinjak gajah yang ditunggangi.

Mereka terus dikejar oleh pasukan Dzulkamain se-hingga lemah karena banyaknya pasukan yang terluka. Kemudian Raja Iskandar Dzulkamain berteriak keras me-

10

nantang Raja Faur, "Wahai Raja India, keluarlah mene-mui kami untuk bertarung melawan kami. Biarkan bekal dan keluargamu tinggal di rumah! Jangan bawa mereka ke medan ini! Sebab, tidaklah kesatria seorang raja yang melemparkan bekal dan persiapannya pada kehancuran dan tempat-tempat yang mematikan. Akan tetapi, seorang raja yang kesatria justru akan melindungi mereka dengan hartanya dan membela mereka dengan dirinya. Maka ke­luarlah untuk bertarung dengan kami, dan tinggalkan pa-sukanmu! Kemudian siapa diantara kita yang bisa menga-lahkan yang lain, itulah orang yang paling beruntung dan menang."

Ketika Faur mendengar tantangan Dzulkarnain ini, ia terdorong untuk meladeni, dengan harapan dialah yang menang dan merupakan kesempatan yang paling berhar-ga.

Dua raja ini saling berlaga dan berduel di atas kuda-nya masing-masing selama berjam-jam. Masing-masing t i -dak bisa mengalahkan satu sama lain, sehingga mereka terus bertarung.

Ketika Dzulkarnain sudah lelah, tidak mendapatkan kesempatan dan, tidak menemukan cara dan tipu mus-lihat, ia memekikkan suara keras kepada pasukannya yang menggetarkan bumi dan pasukannya, maka Faur me-noleh ketika mendengar suara tersebut. Ia kira suatu tipu muslihat pada pasukannya. Kemudian ia segera ditendang dengan pukulan keras dari Dzulkarnain, sehingga mem-buatnya terpelanting dari kudanya, kemudian dikejar lagi dengan pukulan lain sehingga iaterjatuh kelimpungan di atas tanah.

11

Ketika rakyat India tahu apa yang terjadi atas diri dan pada raja mereka, mereka mengadakan perlawanan ter-hadap Raja Iskandar Dzulkarnain, dengan peperangan dahsyat yang menginginkan agar Raja Dzulkarnain bisa terbunuh. Akhirnya Dzulkarnain menjanjikan kebaikan kepada mereka, dengan mengangkat seorang pemimpin dari orang-orang kepercayaan Dzulkarnain, dan tinggal di India sampai rakyat setuju dengan apa yang diingin-kan oleh pemimpinnya demi kepentingan mereka. Setelah Dzulkarnain mengangkat orang kepercayaannya menjadi pemimpin Indiana keluar dari negeri ini dan meneruskan perjalanannya menuju ke negeri China.

Ketika Dzulkarnain bersama pasukannya telah jauh meninggalkan India, kondisi politik berubah dari kondisi sebelumnya yang taat kepada-pemimpin yang diangkat oleh Dzulkarnain. Opini yang berkembang di masyarakat mengatakan, "Sangat tidak baik bagi kondisi politik, dan kurang menyenangkan bagi masyarakat awam maupun khusus, bila suatu negara dipimpin oleh orang yang bukan warga negaranya sendiri dan bukan dari keluarga rakyat mereka sendiri. Sebab, pemimpin seperti ini hanya akan merendahkan mereka."

Akhirnya mereka bermusyawarah dan sepakat untuk mengangkat salah seorang dari para putra raja yang telah gugur untuk dijadikan pemimpin. Mereka mengangkat Dabsyalim, putra raja untuk menjadi pemimpin dan raja mereka. Mereka menggusur pemimpin yang diangkat oleh Raja Iskandar Dzulkarnain. Tetapi ketika kondisi politik telah pulih, opini masyarakat sudah menyatu, dan kekua-saannya semakin kuat, ia berlaku sangat zalim, diktator,

12

dan adikuasa. Ia mulai menyerang dan memerangi kera-jaan-kerajaan kecil di sekitamya. Dalam ekspansinya ke wilayah-wilayah negara tetangga ia mendapatkan keme-nangan, sehingga rakyat yang dikuasai sangat takut.

Ketika ia melihat dirinya merasa memiliki kekuasaan dan kemenangan, ia semakin bengis dan mempermainkan rakyatnya. Perilakunya semakin hari semakin buruk. De-ngan kekuasaannya dan kondisi politiknya semakin kuat dan baik, ia semakin sombong dan adikuasa. Ia berkuasa seperti ini dalam kurun waktu yang tidak lama.

Sewaktu ia sedang berkuasa, ada seorang filosof agung dari kaum Brahmana yang memiliki kelebihan dan dikenal bijak. Ia yang bernama Baidaba. Ungkapan-ung-kapannya cukup dijadikan rujukan oleh masyarakat di za-mannya.

Ketika sang filosof yang dikenal arif ini mengetahui kondisi raja yang sering berbuat zalim terhadap rakyat­nya, ia berpikir untuk meluruskan tindakan sang raja yang menyimpang, dan mengembalikannya pada keadilan. Sang filosof ini kemudian mengumpulkan murid-muridnya dan berkata kepada mereka, "Apakah kalian tahu apa yang aku inginkan dalam memusyawarahkan masalah ini? Kalian perlu tahu, bahwa aku telah lama berpikir tentang Raja Dabsyalim, ia telah keluar dari jalur yang benar, me­nyimpang dari keadilan, terus-menerus melakukan keja-hatan, dan cara bermuamalah dengan rakyatnya sangat buruk. Sementara itu kita tidak terbiasa dengan perkara-perkara buruk seperti ini, sehingga ketika kita melihat pe-rilaku buruk dari para penguasa, kita harus mengembali­kannya pada perbuatan baik dan membiasakan mereka

13

berlaku adil. Kalau kita lupa mengingatkannya dan membiarkan

mereka tetap berbuat demikian, tentu akan terjadi pada diri kita sesuatu yang tidak kita inginkan. Sebab, kita ter-golong orang-orang bodoh, bahkan lebih bodoh daripada mereka, dan dipandang lebih rendah daripada mereka. Namun, menurut pendapatku, kita tidak harus menying-kir dari negeri ini, dan juga tidak bisa membiarkannya te­tap dalam kondisi jelek dan berperilaku kurang baik. Disisi lain, kita juga tidak mungkin memeranginya tanpa meng-gunakan lisan kita.

Andaikan kita pergi untuk meminta bantuan kepada pihak lain, kita tidak bakal siap untuk menyerangnya. Se-bab, j ika ia merasa ada perlawanan dari pihak kita, dan sikap yang tidak setuju dengan tindakan dan perilaku me­reka yang tidak baik, justru hal itu merupakan kehancur-an bagi kita. Kalian tahu bahwa bertetangga dengan bina-tang-binatang buas, seperti anjing, serigala, ular, dan ban-teng liar, sekalipun di tempat yang baik dan kondisi ekono-mi yang makmur, tetaplah sebuah pengkhianatan terha-dap dir i .

Sesungguhnya sangatlah pantas bagi seorang filosof bila cita-cita luhurnya tercurahkan pada sesuatu yang bisa melindungi dirinya dari ancaman dan bahaya-bahaya yang tidak diinginkan, menghindari hal-hal yang ditakuti demi mendapatkan apa yang disenangi. Sungguh aku pernah mendengar seorang filosof yang pernah berkirim surat ke­pada salah seorang muridnya, yang dalam suratnya ia me-ngatakan, "Sesungguhnya bertetangga dan bersahabat de­ngan para tokoh jahat ibarat seorang pelaut. Jika ia bisa

14

selamat dari karam dan tenggelam, maka ia tidak bisa se-lamat dari kondisi yang menakutkan.'

J ika ia menyeret dirinya pada tempat-tempat yang mematikan dan sumber malapetaka, maka ia dianggap bagian dari keledai yang tak punya jiwa. Sebab, makhluk binatang memang memiliki karakter khusus untuk menge-tahui apa yang bisa bermanfaat bagi dirinya dan melin-dungi dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kita t i ­dak pernah melihat binatang yang menyeret dirinya ke tempat-tempat yang membahayakan dan menjadikan ke-matian dirinya. Ketika binatang dekat dengan tempat-tempat yang membahayakan dirinya, maka dengan karak­ter yang mereka miliki, dan demi melindungi dirinya, mere-ka akan cenderung melarikan diri dan menghindari baha-ya tersebut.

Aku mengumpulkan kalian untuk membahas masa-lah ini, sebab kalian aku anggap bagian dari keluargaku sendiri, tempat yang patut aku titipkan rahasia-rahasia-ku, dan tempat pengetahuanku. Dengan kalian aku me-minta bantuan, dan kepada kalian aku bersandar. Sebab, seorang diri yang hanya bersama diri dan pendapatnya sendiri, di mana pun ia berada akan tersia-siakan seperti barang hilang yang tak punya pembantu dan orang yang menolongnya. Sementara itu, seorang yang berakal dan cerdik, dengan cara dan taktiknya, akan bisa mencapai apa yang tidak sanggup dicapai oleh kuda dan pasukan tentara.

Ada contoh alegoris dalam hal ini. Seekor burung ku-bara menjadikan tempat bersarangnya burung unta di te-ngah padang pasir sebagai tempat untuk bersarang. Ia

15

bertelur dan menetaskan anak-anaknya di tempat itu yang juga menjadi jalur pergi dan pulang gajah untuk mencari minum. Suatu ketika, seperti biasanya, gajah melintasi ja­lur itu. Kemudian kakinya menginjak sarang burung kuba-ra dan meremukkan seluruh isi sarangnya, sehingga telur-nya pecah dan seluruh anak burung mati.

Ketika ia melihat keburukan yang menimpa dirinya, ia tahu bahwa musibah itu datangnya tidak lain kecuali dari gajah yang melintasi tempat tersebut, dan bukan makhluk lain. Kemudian ia terbang dan hinggap di kepa-la gajah sambil menangis dan mengatakan, "Wahai sang raja, mengapa engkau meremukkan telurku dan membu-nuh anak-anakku, sedangkan aku bertetangga dekat de-nganmu? Apakah engkau melakukan ini karena punya ni-at meremehkan perkaraku dan memandang rendah dir i -ku?"

" I tu lah yang mendorongku untuk melakukannya," kata gajah menjawabnya enteng.

Akhirnya si burung kecil ini pulang dan pergi menemui golongan burung. Ia mengeluhkan musibah yang didapat-kan dari seekor gajah. Kemudian burung-burung itu me­ngatakan kepadanya, "Tidak mungkin kita bisa berbuat apa-apa kepadanya, sebab kita hanya kaum burung."

Kemudian si burung ini pergi menemui burung gagak dan elang, serta berkata kepadanya, "Aku menginginkan-mu bisa membantuku pergi menemui gajah untuk mata-nya agar tidak bisa melihat. Setelah itu aku akan melaku­kan tipu muslihat lain."

Kemudian mereka mengabulkannya, dan pergi bersa-ma menemui gajah. Mereka terus mematuki mata gajah

16

17

hingga terluka dan kedua matanya tidak bisa melihat. Si gajah yang dipatuk matanya tidak bisa menemukan jalan ketika ia harus pergi mencari makan dan minum kecuali yang bisa diraba-raba dan dikira-kira.

Ketika si burung yang pernah dirusak sarang dan di-injak anaknya ini mengetahui kondisi gajah yang tidak bi­sa melihat, ia pergi ke aliran anak sungai kecil yang banyak dihuni katak. Ia mengeluh kepada golongan katak ten-tang musibah yang pernah diterimanya dari perlakuan ga­jah. Kemudian para katak bertanya, "Lalu apa cara dan tipu muslihat kita terhadap gajah yang tubuhnya besar, se-dangkan kita makhluk kecil? Bagaimana kita bisa men-capainya?"

"Aku lebih senang bila kalian ikut aku pergi ke jurang dekattempat gajah. Kemudian di sana kalian bersuara de-ngan ramai. Ketika gajah itu mendengar suara kalian, ia yakin dan tidak bakal ragu-ragu, bahwa tempat itu berair. Kemudian ia akan pergi dan tercebur di jurang tersebut," kata si burung kubara menjelaskan idenya.

Kemudian mereka mengabulkan permintaannya dan berkumpul di suatu jurang dekat tempat gajah. Mereka beramai-ramai mengeraskan suaranya. Kemudian gajah mendengar suara katak yang ramai. Ia sangat kehausan. Dengan yakin dan percaya diri ia pergi mencari sumber suara tersebut, karena ia mengira banyak airnya. Dia ber-jalan meraba-raba dan akhirnya terperosok ke dalam ju­rang yang mengakibatkan patah tulang.

Burung kubara pergi melihat gajah yang masuk ke da­lam jurang dengan mengibas-ngibaskan ekor dan sayap-nya di atas kepala gajah dengan mengatakan, "Wahai

makhluk yang zalim dan tertipu oleh kekuatannya sendiri! Engkau telah meremehkan perkaraku karena melihat dir i -mu sangat besar. Lalu bagaimana engkau tidak melihat besarnya taktik dan tipu muslihatku sekalipun tubuhku sa­ngat kecil bila dibanding dengan tubuhmu dan kecilnya semangatmu."

18

"Coba sekarang salah seorang dari kalian bisa mem-berikan pendapat atau isyarat kepadaku sesuai dengan apa yang terbersit di pikiran kalian," kata sang filosof ke-pada para muridnya.

Kemudian mereka mengatakan, "Wahai sang filosof yang bijak, adil dan memiliki kelebihan! Sebenarnya Tuan gurulah yang lebih dahulu dan lebih utama daripada kami. Pendapat kami tidak bakal mampu menjangkau pendapat Tuan, dan pemahaman kami juga tidak bisa sampai pada pemahaman Tuan. Hanya saja kami tahu bahwa berenang di air bersama buaya adalah tindakan bunuh diri, dan sua-tu kesalahan besar bagi orang yang menceburkan diri di tempat tersebut. Orang yang berusaha mengeluarkan bisa beracun dari taring ular, kemudian ia telan untuk uji coba dirinya sendiri, maka bukan salah ularnya kalau ia mati. Barangsiapa masuk ke sarang singa yang ada di hutan belantara, maka ia tidak bakal aman dari terkamannya.

Dan sang raja ini belum pernah dikejutkan oleh ben-cana dan belum pernah dididik dan dilatih oleh berbagai ujian. Sementara itu, kami tidak merasa aman teratas diri guru dari serangan dan tindakan jahatnya yang lebih ce-

pat bila Tuan guru mau menasihati dengan apa yang tidak ia inginkan."

Kemudian sang filosof Baidaba yang bijak berkata, "Sungguh kalian telah mengatakan dengan baik, dan ka­lian sudah berbuat baik. Akan tetapi, orang yang punya pikiran dan pendapat yang kuat tidak bakal meninggal-kan untuk bermusyawarah dengan orang yang lebih ren-dah atau lebih tinggi tingkatannya. Sebab, pendapat sen-diri tanpa didukung oleh pendapat-pendapat lain tidak bi­sa dianggap cukup bagi kalangan khusus, dan tidak bisa dimanfaatkan di kalangan umum. Sungguh, rencana dan niatku untuk bertemu dengan Raja Dabsyalim aku ang-gap benar. Aku telah mendengar apa yang kalian katakan, dan nasihat kalian kepadaku juga sudah cukup jelas. Ini semata karena rasa belas kasih kepada diriku sendiri dan juga diri kalian. Hanya saja, aku punya pendapat dan niat baik, yang kalian bakal tahu tentang apa yang bakal aku bicarakan di depan raja dan jawaban-jawabanku kepada-nya.

Jika kalian nanti mendengar berita bahwa aku sudah bisa bertemu dengannya dan bisa keluar lagi dari istana dengan selamat, maka berkumpullah di sini untuk bertemu denganku..."

Kemudian Baidaba menyuruh mereka pulang, dan mereka pun mendoakannya semoga keselamatan menyer-tainya.

Baidaba memilih hari yang tepat untuk masuk ke ista­na kerajaan menemui Raja Dabysalim. Ketika ia telah me-nentukan hari yang tepat, dan tiba saatnya untuk pergi me­nemui sang raja, ia mengenakan pakaian khas kaum Brah-

19

mana yang terbuat dari bum. Sekarang ia berangkat me-nuju pintu gerbang istana, dan bertanya kepada petugas protokoler bagaimana caranya agar diizinkan masuk me­nemui sang raja. Kemudian ia diberi petunjuk dan cara-cara untuk bertemu sang raja. Ia memperkenalkan dir i kepada petugas dan memberi tahu keperluannya dengan mengatakan, "Aku adalah seseorang yang ingin bertemu sang raja untuk memberi nasihat."

Kemudian, pada saat itu pula, petugas yang mengan-tar perizinan menemui sang raja dengan mengatakan, "D i pintu gerbang kerajaan ada seseorang dari kaum Brah-mana bernama Baidaba ingin bertemu baginda dengan membawa nasihat."

Kemudian ia diizinkan masuk menemuinya. ia berhen-ti di depannya dengan menundukkan kepala dan bersujud untuk memberi hormat, dan kemudian bangkit kembali dengan diam tak berbicara sepatah kata pun.

Raja Dabsyalim berpikirtentang diamnyasang filosof. Kemudian sang raja berkata dalam hati "Sesungguhnya orang ini bermaksud pada kami pastilah karena dua per­kara: Bisa jadi ia mencari sesuatu dari kami untuk mem-perbaiki kondisinya, atau karena ada suatu perkara yang menimpanya dan kemudian tidak sanggup melakukan-nya."

Sang raja terns berkata dalam hati, "J ika para raja memiliki kelebihan dalam kerajaannya, maka sesungguh­nya para ahli hikmah juga memiliki kelebihan yang lebih banyak dalam hikmahnya. Sebab para ahli hikmah dengan ilmunya bisa merasa cukup dan tidak membutuhkan para raja, sedangkan para raja tidak bisa merasa cukup dengan

20

harta kekayaannya dan tidak membutuhkan para ahli hik-mah. Aku telah menemukan ilmu dan rasa malu sebagai dua yang berkaitan erat satu sama lain. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satunya tidak ada, maka yang lain tidak bakal ditemukan, ibarat dua orang yang saling menjalin cinta kasih. Jika salah satu dari mereka tidak ada, maka pasangannya yang lain akan merasa tidak enak dan tidak senang untuk tetap hidup setelah keper-giannya, karena sangat menyesalinya.

Barangsiapa tidak merasa malu dengan para ahli hik-mah, tidak mau memuliakan dan mengakui kelebihan me­reka daripada yang lain, tidak mau melindungi mereka da­ri kedudukan-kedudukan rendah, dan tidak mau member-sihkan mereka dariposisi-posisi kotor dan hina, maka ia termasuk orang-orang yang tak berakal, merugi dunia, ber-buat zalim terhadap hak-hak mereka, dan dianggap bagi-an dari orang-orang bodoh dan tolol . "

Kemudian sang raja mengangkat kepalanya ke arah sang filosof Baidaba yang bijak, dan berkata, uAku meli-hatmu selalu diam wahai Baidaba! Mengapa engkau t i ­dak mau menunjukkan kepentinganmu dan tidak mau me-nyebutkan tujuanmu?"

"Kemudian aku berpikir bahwa yang membuatnya di­am adalah rasa sungkan yang mengalahkannya, atau ke-bingungan yang menyelimutinya. Kemudian pada saat itu aku juga berpikir tentang lamanya ia berhenti. Baidaba mendatangi kami tidak seperti biasanya. Pasti adasesuatu yang mendorongnya untuk berbuat. Sebab, ia adalah orang pilihan terbaik dari orang-orang yang sekurun de-ngannya. Maka, sebaiknya aku perlu bertanya tentang me-

21

ngapa dia datang kemari. Jika ia masuk ke sini karena ada suatu kezaliman

yang diterimanya, maka akulah orang yang lebih berhak menggandengnya dan cepat-cepat memuliakannya serta kemudian memberikan hal-hal yang bisa mengantarkan pada keinginannya. Jika tujuannya menginginkan harta dunia, maka aku perintahkan agar ia mengambil apa yang ia sukai sehingga menjadikannya senang. Dan jika tujuan­nya adalah perkara kekuasaan (kerajaan), dan termasuk bagian dari hal-hal yang tidak seharusnya para raja dan penguasa menyerahkannya dan tidak sepantasnya mereka taat kepadanya, maka aku akan melihat dan mempertim-bangkan seberapa besar kadar hukumannya. Namun orang seperti ia tidak bakal berani memasukkan dirinya ikut campur dalam masalah kekuasaan. Jika masalahnya berkaitan dengan rakyat, dan bertujuan ingin mengarah-kan perhatianku kepada mereka, maka aku perlu meli­hat dan memikirkannya. Sebab para ahli hikmah tidak ba­kal memberi isyaratatau pendapat kecuali pada kebaikan. Sementara itu orang-orang bodoh hanya akan memberi isyarat sebaliknya.

Sekarang aku membuka lebar-lebar dan memberi ke-sempatan kepadamu untuk berbicara, "kata sang raja menjelaskannya.

Ketika Baidaba mendengar apa yang dikatakan sang raja, rasa takutnya hilang seketika dan berubah menjadi senang. Kemudian dia menundukkan kepala dan bersujud, kemudian bangkit lagi di depannya dengan mengatakan, "Pertama kali yang perlu aku katakan adalah berdoa ke­pada Allah semoga Dia senantiasa melanggengkan Bagin-

22

da dan kekuasannya dalam waktu yang lebih lama. Sebab, Baginda telah memberiku kesempatan dalam kedudu-kanku ini sebagai tempat yang mulia bagi diriku daripa-da para ulama setelahku, dan sebagai kenangan yang tak bakal terlupakan sepanjang zaman bagi para ahli hik-mah."

Kemudian dengan wajahnya yang berseri-seri karena sangat gembira, ia menghadap sang raja, dan berkata, "Sungguh dengan kemuliaan dan kebaikannya, Baginda sangat simpati dan belas kasih kepada diriku. Sesungguh-nya perkara yang mengajakku untuk datang menemui Ba­ginda dan mendorongku untuk berdialog denganmu ada-lah nasihat khusus yang ingin aku berikan kepadamu dan bukan tujuan-tujuan yang lain. Maka, orang yang bisa ber-komunikasi denganmu bakal tahu bahwa aku bukanlah orang yang meninggalkan kewajiban bagi kaum cendekia dan ahli hikmah terhadap raja. Jika Baginda memberiku kesempatan dan mempersilahkanku untuk berbicara, dan kemudian Baginda mau memperhatikannya, maka itulah yang lebih patut. Akan tetapi, j ika Baginda melemparkan-nya, maka aku telah melakukan apa yang menjadi kewa-jibanku, dan kemudian aku tidak bisa disalahkan."

Kemudian sang raja berkata, "Wahai Baidaba,silakan engkau berbicara tentang apa yang engkau inginkan. Aku akan mendengar dan memperhatikannya, agar aku bisa mencurahkan seluruh perhatianku pada apa yang engkau bicarakan mulai dari awal sampai akhir. Aku bakal mem-balasmu atas apa yang engkau lakukan sesuai dengan ke-ahlianmu."

Kemudian Baidaba, sang filosof yang bijak, berkata:

23

Sesungguhnya aku menemukan empat perkara yang menjadi kekhususan manusia agar berbeda dengan makh-luk hewani yang lain. Tempat perkara ini merupakan rang-kuman dari seluruh apa yang ada di dunia. Empat perka­ra tersebut adalah hikmah, kemulian diri, akal, dan ke-adilan. Sementara itu, ilmu,adab,dan pemikiran termasuk dalam bagian hikmah. Kemurahan hati,sabar, ketenangan, dan kewibawaan termasuk dalam bagian akal. Rasa malu, kedermawanan,men jaga dir i , dan menghindari nilai-nilai rendah masuk dalam bagian kemulian diri. Sementara itu kejujuran, berbuat baik (ihsan), dan merasa diawasi oleh Allah (muraqabah) termasuk dalam bagian keadilan.

Sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat baik. Sifat-sifat sebaliknya adalah keburukan. Jika dalam diri seseorang terdapat sifat-sifat baik secara sempurna, maka kekura-ngan dalam nikmatnyatidak mengeluarkannya pada bagi­an yang kurang menguntungkan, baik dunia maupun ak-hirat, tidak perlu menyesali apa yang tidak diuntungkan oleh taufik, tidak perlu menyusahkan takdir yang berlaku pada kekuasaan dan kerajaannya, dan tidak perlu gelisah ketika ada sesuatu yang tidak diinginkan dan kurang di-senangi. Maka, hikmah merupakan simpanan harta yang tak pernah habis ketika diinfakkan, harta kekayaan yang tak ternilai dan tak ada bandingannya, perhiasan yang tak pernah usang, dan kelezatan yang tak pernah berakhir waktunya.

Jika aku tidak berani memulai pembicaraan ketika posisiku berada di depan sang raja, itu tidak lain karena rasa sungkan dan hormat kepada sang raja. Demi Al lah, sungguh para raja patut untuk disungkani, terutama

24

orang yang kedudukannya daiam kerajaan lebih agung da-ripada kedudukan raja-raja sebelumnya. Para ulama me-ngatakan, "Biasakan untuk diam, sebab dengan diam akan ada keselamatan, dan hindari pembicaraan omong kosong, sebab akibatnya hanyalah penyesalan."

Dikisahkan, bahwa ada empat orang ulama yang di-undang di majelis seorang raja. Kemudian sang raja ber-kata, "Silakan masing-masing dari kalian berbicara de­ngan pembicaraan yang menjadi dasar adab."

Kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Se-baik-baik perkara bagi para ulama adalah diam."

"Sesungguhnya di antara perkara yang paling ber-manfaat bagi manusia adalah mengetahui kadar atau ukuran seberapa tinggi tingkatannya dengan akalnya," kata yang kedua.

"Sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia adalah tidak membicarakan sesuatu yang tak ada manfaatnya," kata yang ketiga.

"Perkara yang paling menyenangkan dan meringan-kan manusia adalah pada terhadap takdir dan ketentuan Tuhan," kata orang keempat.

Suatu ketika, konon, para raja dari wilayah Cina, In­dia, Persia, dan Romawi berkumpul. Mereka berkata, "Se-baiknya masing-masing orang diantara kita berbicara tentang suatu kalimat yang bisa ditulis dan dibukukan, se-hingga bisa dijadikan peninggalan bagi generasi berikut-nya."

Raja China berkata, "Aku lebih mampu menguasai apa yang tidak aku katakan daripada menarik kembali apa yang telah aku katakan."

25

Raja India berkata, uAku cukup heran dengan orang yang berani berbicara tentang suatu kalimat, j ika kalimat tersebut tidak memberikan manfaat, atau justru menghan-curkannya."

Raja Persia berkata, "J ika aku berbicara suatu kali-mat, maka kalimat tersebut akan menguasaiku. Dan jika aku tidak berbicara suatu kalimat, maka aku akan mam-pu menguasainya."

Kemudian Raja Romawi berkata, "Aku samasekali t i ­dak pernah menyesali apa yang tidak aku bicarakan, te-tapi aku sering kali menyesali apa yang aku bicarakan."

Diam di hadapan para raja akan lebih baik daripada ngobrol yang tak memberikan manfaat dan keuntungan. Dan sebaik-baik apa yang dijadikan berlindung manusia adalah lisannya. Hanya saja sang raja— semoga Allah menjadikan kekuasaannya lebih lama— ketika memberi­kan kesempatan kepadaku untuk berbicara secara leluasa, ini adalah kesempatan terbaik bagiku untuk mengungkap-kan perkara-perkara yang memang menjadi agar, supaya hasil dan buahnya bisa kembali kepada sang raja sendiri, dan bukan kepadaku. Aku ingin mengkhususkannya de­ngan manfaat sebelumku atas dasar bahwa, akibat-akibat adalah tujuanku dalam pembicaraan ini. Manfaat dan ke-muliaannya hanya bakal kembali kepada sang raja, ke­mudian aku juga telah melakukan kewajibanku. Maka izinkan aku mengatakan apa yang aku inginkan:

"Wahai sang raja, sesungguhnya engkau berada pada kedudukan para orangtua dan kakek-kakekmu yang dik-tator. Mereka telah membangun dan mendirikan kerajaan sebelummu. Mereka, dan bukan engkau yang telah mem-

26

perkokoh dan membentengi kekuasaannya, melakukan ekspansi, memperkuat pasukan, dan mempersiapkan be-kal dalam waktu yang cukup lama. Mereka telah memper-banyak senjata dan kendaraan. Mereka hidup selama ber-tahun-tahun dalam kemakmuran dan kesenangan. Tapi semua itu tidak menghalangi mereka untuk berbuat dan mencari sebutan baik, agar tetap dikenang baik. Itu pun tidak menghalangi mereka untuk bersyukur dan meng-gunakan kebaikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepada mereka, berlemah lembut kepada siapa pun yang mereka kuasai, dan berperilaku baik pada tradisi yang te­lah mereka ikuti, sekalipun ada kemungkinan untuk ter-tipu oleh kerajaan dan kemabukan kekuasaan.

Sesungguhnya engkau, wahai sang raja yang berba-hacia, keagungan nenek moyang dan keagungan telah engkau warisi.Tanah kekuasaan, harta, tempat tinggal, dan kedudukannya, adalah bekal mereka. Kemudian eng­kau mendirikan kekuasaan yang dianugerahkan kepada-mu. Engkau mewarisi harta dan pasukan tentaranya, te-tapi engkau tidak mau melakukan kewajiban yang men-jadi hak mereka. Bahkan engkau telah pelanggaran, me-lampaui batas, berbuat kezaliman, kesombongan, dan dik-tator atas rakyat yang engkau pimpin. Engkau telah ber­perilaku tidak baik sehingga bencana yang terjadi kare-namu sangat besar. Padahal, yang lebih tepat dan cocok untukmu adalah engkau harus menempuh jalan para ge-nerasi sebelummu, mengikuti jejak para raja sebelummu, dan menelusuri kebaikan-kebaikan yang diabadikan me­reka untukmu, dan kemudian melepas segala sesuatu yang aib dan nodanya kembali pada dirimu, dan keburukannya

27

melekat padamu. Engkau hams bisa melihat dengan baik keadaan rak-

yatmu, memberi contoh dan sunah yang baik kepada me-reka. Perilaku baik akan tetap terkenang setelah engkau tinggalkan, bakal melanggengkan keselamatan, dan me-ngabadikan istiqamah. Sesungguhnya orang bodoh yang tertipu adalah orang yang menyalahgunakan perkara-per-karanya untuk kesombongan dan harapan-harapan yang tak berujung. Sementara orang cerdik dan kokoh pendiri-an adalah orang yang bisa berpolitik dalam kekuasaan dan kerajaannya dengan cara yang baik dan lemah lem-but.

Maka, silakan Baginda merenungkan apa yang aku sampaikan kepadamu, dan aku berharap semoga ini tidak menjadi berat bagimu. Sebab, aku tidak berbicara untuk mencari harta dagangan agar engkau membalasku de­ngan baik, dan bukan ingin mencari kebaikan yang bakal engkau berikan kepadaku. Akan tetapi aku datang kepa-damu hanya ingin menasihatimu, dan semata karena ka-sihan kepadamu."

Ketika Baidabaselesai menyampaikan nasihatnya ke­pada sang raja, maka nasihat itu membuatnya marah dan menyinggung perasaannya. Kemudian dia menjawabnya dengan kasar karena menganggapnya remeh, "Sungguh engkau telah berbicara dengan omongan yang aku tidak pernah menduga ada seseorang dari keluarga kerajaanku yang berani menghadapku sepertimu, dan tidak pernah ada orang yang berani menyampaikan omongan seperti yang engkau sampaikan. Lalu bagaimana denganmu, se-dangkan perkaramu sangat kecil, kekuatanmu sangat le-

28

man, dan engkau tidak mampu berbuat apa-apa. Lebih dari itu aku juga sangat heran mengapa engkau berani menghadapku dan melepaskan lisanmu sehingga melebihi batas. Aku tidak pernah menemukan sesuatu untuk mendi-dik dan memberi pelajaran kepada orang lain yang lebih tepat dari memberikan hukuman kepadamu, agar menjadi bahan pelajaran dan renungan bagi orang-orang yang ba-rangkali akan bermaksud dan menggapai apa yang eng­kau inginkan dari para raja ketika mereka memberi ke-sempatan untuk duduk bersamanya."

Sang raja memerintahkan Baidaba, sangfilosof dihu-kum mati dan disalib. Akan tetapi ketika para petugas te-lah membawanya pergi ke tempat eksekusi, sang raja ber-pikir kembali tentang perintahnya kemudian membatal-kannya serta menunda proses hukuman. Kemudian ia me-merintahkan agar Baidaba dipenjara dan dibrogol.

Ketika Baidaba sedang. berada di tahanan, sang raja memerintahkan agar orang-orang dan para murid yang pernah berkumpul bersamanya dicari dan diburu sampai ke mana pun. Kemudian mereka melarikan diri dan men-cari perlindungan di pulau-pulau kecil yang terpencil.

Baidaba tinggal dalam penjara selama berhari-hari, tidak pernah ditanya dan diperhatikan sang raja. Tidak ada seorang pun yang menjembataninya agar perkaranya disebutkan di depan sang raja Akhirnya, pada suatu ma-lam, sang raja tidak bisa tidur dalam waktu yang cukup lama. Kemudian matanya berusaha memandang dan memperhatikan orbit bintang. Ia berpikir tentang pereda-rannya, sehingga pikirannya hanyut. Ia berpikir ingin menggali ilmu perbintangan dan menanyakan beberapa

29

masalahnya. Kemudian dia teringat Baidaba, sang filosof yang meringkuk dalam penjara, dan merenungkan tentang jawabannya dengan omongan yang kasar, yang kemudian ia ingin menghentikannya.

Kemudian ia berkata dalam hati, "Sungguh aku telah berbuat buruk dengan apa yang aku lakukan terhadap si filosof ini. Aku telah menyia-nyiakan kewajiban yang se-harusnya aku lakukan kepadanya. Aku tidak sanggup me-ngendalikan emosiku dan cepat sekali marah sehingga mendorongku berbuat demikian. Para ulama telah me-ngatakan, 'Ada empat perkara yang tidak seharusnya ter-jadi pada diri para raja: Pertama, marah. Sebab, marah merupakan sesuatu yang paling layak memberikan murka pada yang bersangkutan. Kedua, bakhil. Sebab, yang ber-sangkutan tidak bisa dimaafkan dan diterima alasannya, sementara ia orang yang punya. Ketiga, bohong. Tidak se-orang pun patut berdampingan dan dekat dengannya. Ke-empat, keras kepala dan kasar dalam berbicara. Sebab, tidak seharusnya lisan digunakan untuk berbicara seperti itu.'

Sementara itu, telah datang kepadaku seorang yang memberiku nasihat. Ia bukanlah orang yang memfitnah dan mencari muka, tetapi kemudian aku perlakukan de­ngan sebaliknya apa yang seharusnya ia berhak mendapat-kannya. Aku balas dengan sebaliknya apa yang seharus­nya. Apakah ini balasan yang aku berikan kepadanya? Akan tetapi, yang wajib bagiku adalah bahwa aku harus mendengar omongannya dan mengikuti apa yang ditunjuk-kan..."

Kemudian, saat itu pula, ia memerintahkan seorang

30

utusan yang datang dengan membawanya. Ketika ia da-tang dan duduk di depannya, sang raja berkata, "Wahai Baidaba, bukankah bermaksud mengurangi angan-anganku dan memperlemah pendapatku dalam perilaku-ku, sebagaimana apa yang pernah engkau katakan kepa-daku beberapa waktu lalu?"

Kemudian Baidaba menjawab,"Wahai sang raja yang bisa memberi nasihat, yang jujur, dan punya belas kasih! Sesungguhnya aku datang kepadamu dan memberi tahu tentang apa yang menjadi kebaikanmu dan juga rakyat-mu. Serta bisa melestarikan kekuasaanmu."

"Coba sekarang ulangi lagi apa yang pernah engkau katakan kepadaku tempo hari— seluruhnya dan jangan ketinggalan satu huruf pun," kata Dabsyalim memintanya.

Kemudian Baidaba mulai meluncur dengan ungkap-an-ungkapannyayang penuh hikmah, sementara sang raja mendengarkan dengan serius. Ketika Dabsyalim, sang ra­ja, mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut sang filosof ia mengetuk-ngetukkan tongkat kecil yang ada di tangannya ke tanah, kemudian mengarahkan pan-dangannya ke Baidaba dan duduk dengan baik.

"Wahai Baidaba, aku merasakan manisnyaomongan-mu, dan terasa enak dalam menempatkan sasaran di hati-ku. Akan aku renungkan apa yang engkau sampaikan dan akan aku amalkan apa yang engkau perintahkan," kata sang raja.

Kemudian ia memerintahkan agar brogolnya dilepas, dan pakaian khas Brahmananya kembali dikenakan, dan kemudian diterima dan disambut dengan baik.

Baidaba berkata, "Wahai sang raja, sesungguhnya se-

31

lain apa yang aku katakan kepadamu masih ada larangan untuk orang-orang seperti Tuan."

"Benar apa yang engkau katakan wahai sang filsuf yang bijak! Aku berikan wewenang kepadamu dari ma-jelisku ini untuk seluruh penjuru kerajaanku," kata sang raja.

"Wahai raja, maafkan aku untuk memikul tugas ini. Sebab aku tidak bakal sanggup meluruskannya kecuali denganmu," kata sang filosof menjawabnya.

Kemudian sang raja bisa menerima dan memaafkan-nya dari tugas ini. Ketika ia pulang, sang raja baru sadar bahwa apa yang ia lakukan bukanlah atas suatu pikiran dan pendapat sang filosof. Kemudian sang raja mengirim-kan seorang utusan kepada Baidaba, agar ia mau kembali menemui sang raja.

"Aku berpikir tentang permintaan maafmu atas apa yang aku sodorkan kepadamu, dan kemudian aku terima karena aku cukup maklum. Akan tetapi kemudian aku me-nemukan, bahwa hal itu tidak bisa dilakukan kecuali ber-samamu, tidak ada yang bisa membangkitkan selain ka-mu, dan tidak ada yang sanggup mengerjakannya selain kamu. Maka, aku mohon, engkau jangan membantah per­mintaan in i , " kata sang raja kepada Baidaba. Kemudian Baidaba mengabulkannya.

Sudah menjadi adat kebiasaan para raja di zaman-nya, ketika mengangkat seorang menteri, mereka akan memasang mahkota di atas kepalanya, dan dinaikkan dia atas kendaraan khusus untuk dikarak berkeliling kota. Ke­mudian sang raja memerintah agar Baidaba diperlaku-kan seperti adat kebiasaan tersebut. Di kepalanya di-

32

pasang mahkota. la dinaikkan di atas kendaraan khusus untuk diarak berkeliling kota. Setelah selesai, ia kembali di majelisnya untuk mengemban tugas berat. Majelis pera-dilan yang mengambilkan hak-hak orang-orang yang ren-dah dari orang yang mulia, menyejajarkan kedudukan orang kuat dengan orang lemah, mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi dari orang yang berbuat zalim, mele-takkan dasar-dasar keadilan, dan memperbanyak pembe-rian dan sumbangan kepada masyarakat.

Akhirnya, berita ini sampai kepada murid-muridnya yang melarikan diri di tempat pengasingan. Kemudian me­reka datang kembali dengan senang hati atas anugerah yang diberikan Allah kepada mereka, dengan berubahnya sikap dan perilaku Raja Dabsyalim. Mereka bersyukur atas taufik yang diberikan kepada Baidaba untuk mengubah sikap sang raja dan menghilangkan perilaku buruk yang selama ini menjadi kebiasaanya. Mereka menjadikan hari kemenangan tersebut sebagai hari kemenangan besar yang setiap tahun selalu mereka peringati sampai saat ini di wilayah-wilayah India.

Ketika Baidaba, sang filosof agung mencurahkan se-gala pikirannya untuk disibukkan oleh Dabsyalim, ia me-luangkan waktunya untuk menulis beberapa buku politik yang memuat cara-cara dan taktik yang sangat lembut. Sementara itu, sang raja bisa terus berjalan sesuai dengan apa yang ditulis dan dijelaskan Baidaba tentang perilaku-perilaku yang baik dan adil kepada rakyat yang dipimpin-nya. Kemudian para raja yang berada di sekitar wilayahnya menyambut baik dan senang dengan perilaku Dabsyalim. Para rakyat dan keluarga kerajaan juga merasa senang

33

atas perubahan sikap sang raja yang menjadi baik. Kemudian Baidaba mengumpulkan para muridnya,

dan mempererat hubungan mereka. la menjanjikan ke-baikan kepada mereka, dengan mengatakan, "Aku yakin dan tidak ragu bahwa, ketika aku masuk di istana keraja-an, pikiran kalian mengatakan, "Sesungguhnya hikmah Baidaba telah hilang dan pikiran-pikirannyatelah hancur. Sebab, ia telah bermaksud masuk dan menemui si pemim-pin yang zalim dan adikuasa ini." Sekarang kalian telah tahu buah dari ideku dan benarnya pikiranku. Sesungguh-nya aku tidak mendatanginya atas dasar kebodohan. Se­bab, aku pernah mendengar dari para ahli hikmah sebe-lumku, yang mengatakan, "Sesungguhnya para raja (pe­nguasa) dimabuk oleh kekuasaan sama seperti dimabuk oleh minuman. Maka para penguasa tidak bakal sadar kembali dari kemabukannya kecuali dengan nasihat-nasi-hat para ulama dan adab para ahli hikmah. Sementara itu kewajiban para penguasa adalah menerima nasihatter-sebut, dan kewajiban para ulama adalah meluruskan para penguasa dengan bahasa lisan dan didikan hikmah mere­ka, dan mengemukakan argumentasi yang jelas dan kuat agar mereka bisa menghentikan penyimpangan-penyim-pangan dari keadilan yang selama ini mereka lakukan.'

Kemudian aku temukan apa yang dikatakan para ula­ma tersebut adalah suatu kewajiban bagi para ahli hikmah atas para penguasa, agar mereka bisa bangun dan sadar kembali dari kantuknya kemabukan, ibarat seorang dok-ter yang harus berbuat sesuatu demi melindungi nyawa si pasien atau memulihkan kembali kesehatannya. Sehing-ga aku tidak ingin bila ia mati atau aku mati dengan me-

34

ninggalkan orang-orang di muka bumi yang mengenang dan mengatakan bahwa Baidaba, si filosof yang hidup di zaman Raja Dabsyalim yang zalim dan diktator, tidak mau meluruskan dan mengembalikan ke jalan yang benar.

Jika ada orang mengatakan bahwa hal itu tidak me-mungkinkannya berbicara dengan sang raja karena ia ta-kut dengan ancaman atas dirinya, maka mereka akan me­ngatakan bahwa melarikan diri darinya atau dari orang-orang di sekelilingnyatentu lebih baik baginya. Sementara itu mencemaskan tanah air sendiri adalah perkara yang sangat berat. Kemudian aku berpikir bahwa aku harus mendermakan hidupku, sehingga aku telah melakukan suatu alasan yang bisa diterima antara aku dengan para ahli hikmah sesudahku.

Kemudian aku arahkan pada kemungkinan-kemung-kinan yang bakal terjadi— kalau tidak tertipu tentu men-dapatkan apa yang aku inginkan. Sebab, sebagaimana di-kajakan dalam sebagian pepatah, seseorang tidak bakal bisa meraih suatu tingkatan kecuali dengan salah satu da­ri tiga perkara: bisa jadi dengan kesulitan yang menimpa dirinya, atau bisa jadi dengan kerugian yang menimpa har-tanya, atau kekurangan yang terjadi pada agamanya. Ba-rangsiapa tidak mau mengarungi kesulitan dan kondisi yang mengerikan, maka ia tidak bakal memperoleh apa yang diinginkan.

Sesungguhnya Raja Dabsyalim telah memberi izin dan mempersilakan aku berbicara secara leluasa dengan menulis kitab yang memuat bermacam-macam hikmah. Aku berharap agar setiap orang dari kalian bisa menulis sedikit sumbangan dalam bidang apa pun yang di kehen-

35

daki. Kemudian perlihatkan kepadaku, agar aku bisa me-lihat dan mengoreksi seberapa jauh akalnya dan sebera-pa jauh tingkat pemahamannya tentang hikmah."

Kemudian para muridnya mengatakan, "Wahai orang bijak yang memiliki banyak kelebihan, dan orang yang ber-akal cerdik. Demi Tuhan yang telah menganugerahimu hik­mah, akal, kecerdikan, adab, dan kelebihan, ini tidak per-nah terbersit dalam benak kami sesaat pun, padahal eng-kau adalah pemimpin dan guru kami. Bersamamu ke-muliaan kami, dan di tanganmu kami bisa bangkit dari ketergelinciran. Akan tetapi, kami akan berusaha sekuat kemampuan kami untuk melakukan apa yang guru perin-tahkan..."

Sementara itu, sang raja tinggal dalam kondisi baik, dan perilakunya juga baik selama kendalinya dipegang oleh Baidaba. Ketika kerajaannya menjadi tenang dan masalah-masalah musuh dan lawan-lawannya hilang dari perhatiannya karena merasa cukup dengan Baidaba yang mendampinginya, Raja Dabsyalim mencurahkan perhati­annya dengan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para filosof India untuk para orangtua dan nenek moyangnya. Kemudian terbersit dalam pikirannya bahwa ia juga meng-inginkan suatu kitab yang bisa dijelaskan, dan dinisbatkan kepada dirinya, sertamencatat sejarah tentang hari-hari yang dilaluinya, sebagaimana kitab yang menulis tentang sejarah para orangtua dan nenek moyangnya.

Ketika ia bermaksud demikian, ia tahu bahwa tidak ada yang sanggup melakukan tugas ini kecuali Baidaba, sang filosof bijak. Kemudian ia memanggil Baidaba, dan berbicara empat mata untuk menuturkan rencananya. Ia

36

berkata, "Wahai Baidaba, sesungguhnya engkau adalah seorang bijak dan filosof India. Sesungguhnya aku pernah berpikir dan melihat khazanah hikmah milik para raja se-belumku. Kemudian aku tidak melihat seorang pun dari mereka kecuali memiliki kitab yang memuat tentang se-jarahnya, menceritakan tentang adab dan keluarga ke-rajaannya. Diantara kitab-kitab itu ada yang ditulis oleh para raja sendiri dan untuk dirinya sendiri, karena me-mang mereka memiliki kelebihan hikmah. Akan tetapi juga ada kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli hikmahnya. Aku khawatir, aku juga akan mendapatkan sesuatu yang telah menimpa orang-orang sebelumku. Kemudian aku tidak menemukan cara lain, sementara dalam khazanahku t i ­dak ditemukan satu kitab pun yang dinisbatkan kepada-ku atau yang menulis dan menyebutkan tentang sejarah-ku, sebagaimana orang-orang sebelumku yang disebutkan dalam kitab mereka.

Aku ingin dan senang bila engkau mau menulis kitab untukku dengan bahasa yang fasih dan baik. Engkau bisa mencurahkan seluruh pikiran dan akalmu untuk menulis suatu kitab yang secara lahir merupakan polit ik bagi masyarakat umum dan mendidik mereka untuk taat kepa-da sang raja, sedangkan bagian dalamnya merupakan akhlak para penguasa dan politik mereka terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, banyak hal yang hi-lang dariku dan dari mereka. Hal-hal tersebut kita butuh-kan dalam kesabaran kekuasaan. Dan aku menginginkan agar kitab ini masih tetap dikenang sepanjang masa sete-lah aku tinggalkan nanti."

Ketika Baidaba mendengar apa yang dikatakan sang

37

raja, ia tersungkur untuk bersujud hormat kepadanya, mengangkat kembali kepalanya, dan mengatakan,"Wahai sang raja yang kakeknya menjadi orang yang beruntung dan bahagia! Bintang cita-citamu sangat tinggi, hilang hari-hari sialmu, dan semoga hari-hari kekuasaanmu langgeng. Sesungguhnya Tuhan yang telah mengkodrat-kan raja dengan baiknya karakter dan melimpahnya akal pikiran telah menggerakkannya untuk menggapai perka-ra-perkara yang tinggi, mengangkat diri dan cita-citanya pada tingkatan yang mulia dan tujuan yang jauh. Semo­ga Allah melanggengkan kebahagiaannya dan menolong-nya atas apa yang dia tuju, dan menolongku untuk men-capai apa yang ia inginkan. Maka, silakan raja memerin-tah sesuai dengan apa yang engkau kehendaki, Dengan pikiran dan pendapatku, aku bakal bersungguh-sungguh melakukan apa yang menjadi tujuannya."

Kemudian Raja Dabsyalim berkata, "Wahai Baidaba, sesungguhnya engkau senantiasa memiliki sifat-sifat yang baik, berpandangan baik, dan taat kepada apa yang di-perintahkan sang raja. Aku telah mengujimu, dan memi-lihmu untuk menulis kitab ini. Engkau bisa menggunakan pikiranmu dan mencurahkan seluruh tenagamu agar bisa mendapatkan jalan. Aku berharap kitab ini memuat ma-teri serius, lelucon, hiburan, hikmah, dan filsafat."

Kemudian Baidaba bersujud hormat, bangkit kem­bali, dan berkata, "Aku kabulkan. Semoga Allah melang­gengkan hari-hari kekuasaannya sampai aku bisa menye-lesaikan tugas berat ini. Akan tetapi aku ingin menetap-kan batas waktu yang disepakati antara aku dengan sang raja."

38

"Berapa lama batas waktu i tu?" tanya Baidaba ke-pada sang raja.

"Setahun," jawabnya. "Oke, aku sepakati," kata Baidaba. Kemudian sang raja memerintahkan agar Baidabi di-

beri hadiah dan bekal yang sangat berharga untuk mem-bantu menyelesaikan penulisan kitab ini.

Baidaba mulai berpikir tentang kitab ini, dalam ben-tuk apa dan bagaimana ia harus memulainya dan apa ju -dulnya. Kemudian ia mengumpulkan murid-muridnya, dan berkata kepada mereka, "Sesungguhnya rajatelah meng-utus dan memberiku mandat untuk melakukan suatu per-kara yang bakal menjadi simbol kemuliaanku, kemegah-an kalian, dan kebanggaan negeri kalian. Aku kumpulkan kalian untuk perkara ini..."

Kemudian Baidaba menjelaskan kepada mereka ten­tang materi kitab yang diinginkan sang raja dan tujuan penulisan kitab tersebut. Tidak terbersit pikiran apapun dalam benak mereka tentang kitab ini. Ketika ia tidak me-nemukan dalam pikiran mereka apa yang dia inginkan, maka dengan kelebihan hikmahnya, ia berpikir bahwa itu adalah perkara yang hanya bisa dilakukan dengan mengu-ras pikiran dan menggunakan akal.

Baidaba berkata, "Aku melihat perahu atau kapal t i ­dak bisa berlayar di permukaan laut kecuali dengan para pelayar dan pendayung. Sebab, merekalah yang melurus-kan jalannya. Sementara itu dalamnya air laut hanya bisa diarungi oleh kapal dengan seorang nahkoda yang ia sen-diri yang berhak mengendalikannya. Kapan kapal itu di-tumpangi oleh banyak orang, dan para pelaut yang me-

39

ngendalikan arah kapal juga banyak, Karenanya kapal itu tidak dijamin aman dari karam dan tenggelam."

la terus berpikir tentang apa yang bakal dikerjakan dalam menyusun dan menulis kitab ini, sampai akhirnya ia sendiri yang mengarang kitab ini dengan ditemani se-orang murid kepercayaannya. Kemudian ia mengajak mu­ridnya pergi ke suatu tempat (kamar tertutup) setelah ia mempersiapkan kertas yang biasa digunakan menulis ma-syarakat India. Ia melengkapi bekal dan kebutuhan-ke-butuhan lain yang ia perlukan bersama muridnya selama penulisan kitab ini.

Mereka duduk di kamar tertutup, dan kemudian mulai mengarang serta menyusun kitab ini. Ia yang terus men-dikte muridnya untuk menulis kitab. Kemudian ia mengo-reksi ulang sampai kitab ini benar-benar baik dan tersusun dengan indah. Ia menyusun kitab ini sebanyak lima belas bab,yang masing-masing bab memiliki judul dan masalah tersendiri, yang memuat pertanyaan dan jawaban, dengan harapan agar orang yang menelaah dan merenungkan ki­tab ini beroleh pengetahuan, keteladanan, dan petunjuk. Seluruh bab tersebut termuat dalam satu kitab yang diberi judul Hikayat Kalilah dan Dimnah ini.

Pembicaraan dalam kitab ini ditulis dengan lisan bi-natang ternak, binatang buas, dan burung, dengan harap­an agar secara lahiriah dianggap sebagai hiburan dan le-lucon bagi kaum awam maupun khusus,tetapi secara bati-niah merupakan pelatihan bagi akal orang-orang tertentu. Kitab ini juga memuat apa yang dibutuhkan manusia un­tuk mengatur dan menyiasati dir i , keluarga, orang-orang tertentu, dan kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut per-

40

kara dunia dan akhirat. Baidaba mendorong pembaca untuk taat kepada pa­

ra raja (penguasa) dengan baik dan menjauhkan mereka dari apa yang sebaiknya dijauhi. Kemudian ia kemas, baik bentuk luar maupun bagian dalamnya, sebagaimana la-yaknya kitab-kitab yang lain, dengan tulisan hikmah. Bi-natang-binatang yang menjadi tokoh, dijadikannya seba-gai hiburan dan lelucon, sementara apa yang diucapkan para adalah sebagai hikmah dan adab.

Ketika Baidaba mulai menulis, di awal kitab ini ia menjelaskan sifat seorang sahabat, dan bagaimana dua orang yang bersahaba. Kemudian tali persahabatan itu ter-putus oleh tipu muslihat orang yang berusaha memfitnah dan mengadu domba.

Ia memerintah muridnya untuk menulis atas lisan Bai­daba, sebagaimana yang disyaratkan sang raja, dengan menjadikan sebagai hiburan dan hikmah. Kemudian Bai­daba menuturkan bahwa, ketika dicampuri oleh pembica-raan yang dinukil, pembicaraan itu akan merusaknya, dan hikmahnya tidak diketahui.

I ia bersama muridnya terus berpikir dan melakukan apa yang diminta sang raja, sampai akhirnya akalnya ter-belah dan tersingkap dalam pembicaraan mereka dengan lisan binatang. Kemudian keduanya menemukan posisi hiburan dan lelucon dengan omongan binatang, sedang-kan hikmah yang terkandung adalah apa yang diucapkan mereka. Sementara itu, para ahli hikmah akan mende-ngarkan dengan serius hikmah-hikmah yang terkandung, dan menikmati hiburan, lelucon, dan binatang-binatang yang menjadi tokoh dalam kisah. Kemudian mereka me-

41

ngetahui sebab yang menjadikan Baidaba menulis kitab ini dalam bentuk fabel alegoris. Sementara itu orang-orang bodoh lebih menyukai cerita-cerita alegorisnya ka-rena kagum dengan dialog dua binatang. Mereka tidak pemah ragu bahwa hal itu benar-benar terjadi. Kemudi-an mereka jadikan hiburan dan bacaan ringan, tanpa memperhatikan makna yang terkandung di dalamnya, dan tidak mengetahui tujuan ditulisnya kisah tersebut.

Seperti dalam bab pertama Hikayat Kalilah dan Dim-nah, sang filosof hanya bertujuan ingin memberi tahu ten-tang hubungan saudara dan sahabat, bagaimana seharus-nya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan, dan memeliharanya dari ancaman orang-orang yang berusa-ha mengadu domba dan memfitnah serta bagaimana ca-ra menjaga dari orang-orang yang menyulut api fitnah dan permusuhan antara dua orang yang saling menjalin tali persaudaraan dan cinta kasih agar bisa bermanfaat bagi dirinya.

Baidaba bersama muridnya terus melakukan tugas berat ini di dalam kamar tertutup, sampai kitab ini sem-purna, yang kira-kira menghabiskan waktu setahun. Keti-ka genap setahun, sang raja mengirim utusan untuk mena-gih janji dengan mengatakan, "Apa yang sudah engkau ker­jakan?"

Kemudian dia mengatakan kepada utusannya, "Se-sungguhnya apa yang aku kerjakan sesuai dengan janjiku kepada sang raja. Maka, silakan sang raja memerintahku untuk membawanya, setelah sang raja mengundang dan mengumpulkan seluruh warga kerajaan, agar kitab ini aku bacakan di depan mereka." Ketika utusan ini kembali

42

kepada sang raja dengan membawa berita yang meng-gembirakan, hati sang raja sangat senang, dan menjadwal-kan bahwa pada hari tertentu ia bakal mengundang selu-ruh warga kerajaan untuk hadir mendengarkan pembaca-an kitab ini. Kemudian sang raja mengundang hadir selu-ruh warga kerajaannya dari seluruh pelosok India untuk mendengarkan pembacaan kitab.

Ketika hari yang telah ditentukan tiba, sang raja me-merintah agar disiapkan singgasana kerajaan untuk tern-pat duduk Baidaba seperti singgasana sang raja dan me-nyiapkan kursi-kursi kerajaan untuk tempat duduk put-ra-putra raja, para menteri, dan ulama. Kemudian perin-tah itu dilaksanakan dan Baidaba pun siap hadir.

Ketika utusan yang menjemput Baidaba tiba, Baida­ba berdiri dan mengenakan pakaian khas Brahmana yang biasa ia kenakan ketika masuk menemui para raja, yakni baju hitam yang terbuat dari bulu. Kemudian kitabnya di-bawakan muridnya.

Ketika ia memasuki ruangan yang telah disiapkan, maka hadirin menyerbunya, dan sang raja berdiri meng-hormatinya dengan bersyukur. Ketika ia dekat dengan po-sisi sang raja, ia menundukkan kepala kemudian bersu-jud, dan lama tidak mengangkat kepalanya, sehingga sang raja berkata, "Wahai Baidaba, silakan engkau bangkit kembali dan angkat kepalamu. Sebab, hari ini adalah hari kebahagiaan dan kesenangan..."

Sang raja memerintahkan agar ia duduk di tempat yang telah disiapkan. Ketika tiba saatnya membacakan Ki­tab, sang raja bertanya tentang makna masing-masing bab dari bab-bab yang ada dalam kitab. Apa tujuannya me-

43

nulis bab-bab tersebut? Kemudian Baidaba menjelaskan-nya, sehingga membuat sang raja semakin kagum dan ba-hagia.

"Wahai Baidaba, engkau tidak meluputkan apapun yang ada dalam diriku. Inilah yang aku minta. Sekarang silakan engkau meminta apa saja yang engkau inginkan-...," kata sang raja.

Kemudian Baidaba mendoakan kebaikan bagi sang raja baik, semoga diberi kebahagiaan dan mendapatkan kebesaran yang cukup lama, dan kemudian berkata, "Wa­hai sang raja, akan halnya harta dan kekayaan. Aku tidak butuh. Kalau pakaian mewah maka aku tidak bakal me-milih untuk menggantikan pakaianku ini. Aku tidak perlu apa-apa, tetapi ini bukan berarti menolak."

"Wahai Baidaba, apa pun kebutuhanmu akan dipenu-h i , " kata sang raja.

"Raja telah memerintahkan agar mencatat kitabku ini dalam sejarah, sebagaimana para orangtua dan nenek moyangnya telah mencatat buku-buku mereka, dan me­merintahkan agar dijaga dengan baik. Sebab, aku kha-watir buku ini akan keluar dari negeri India dan diambil oleh orang-orang Persia bila mereka mengetahuinya," ka­ta Baidaba berpesan kepada sang raja.

Kemudian sang raja mengundang murid-murid Bai­daba dan memberi mereka hadiah sebaik mungkin.[]

44