Karut Marut Demokrasi
Transcript of Karut Marut Demokrasi
-
7/29/2019 Karut Marut Demokrasi
1/4
Karut marut demokrasi
Oleh mochtar naim
Almarhum Harry J Benda, profesor ilmu politik di Yale University, ketika saya menjadi peserta
mahasiswa-peserta dalam kuliahnya tentang Sejarah Perpolitikan di Indonesia, di universitastersebut pada penghujung 1950-an, secara datar mengatakan bahwa di Indonesia pada dasarnya
tidak ada dan tidak dikenal yang namanya demokrasi seperti yang dikenal di dunia barat.
Di Indonesia, sejak semula sampai era kolonial dan era pra kemerdekaan, malah tak ada dan tak
dikenal yang namanya hak asasi manusia dengan segala ranting dan ranggas parafernalianya dalam
sistem dan struktur pemerintahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan mereka. Yang ada ialah
feodalisme yang bersifat absolut, etatik, sentripetal, nepotik, bahkan despotik:kekayaan negara yang
kaya raya ini hanya dikuasai dan dinikmati oleh kelompok kecil triumvirat , yaitu kerja sama
himpunan penguasa politik sipil dan militer yang pribumi, yang berkolaborasi dengan penguasa
ekonomi, industri, dan perdagangan yang konglomerat nonpri dan kapitalis imperialis multinasional.
Di Jawa, yang sejak dulu juga telah jadi pusat jala dari jaringan politik dan budaya yang menguasai
Nusantara ini, yang namanya ratu atau raja itu, simbol-simbol feodalisme dengan segala embel-
embelnya itu bahkan dicantumkan dalam julukan gelar kebesaran dari rajanya yang tidak hanya
mencerminkan kekuasaan yang absolut dalam urusan mundane-keduniaan hamengku buwono,
tetapi juga sakral-keagamaan sayyidin panoto gomo, yang karenanya juga menguasai seluruh
kekayaan bumi dan dan alam serta sekalian rakyatnya yang statusnya adalah sebagai abdi atau
hamba sahaya raja.
Hubungan antara abdi dan raja adalah hubungan hierarkis-vertikal dan top-down, sementara
kepuasan tertinggi dari seseorang abdi adalah kalau dia dapat mencium kaki ratu, kiasan ataupun
nyata bagi sebuah pengabdian.
Pola M dan J
Di luar Jawa yang budayanya berpola M (Melayu)-sementara Jawa berpola J (Jawa)-, relatif
mengenal demokrasi tetapi tidak secara individual egosentrik seperti di Barat, tetapi komunal-
kolektif-sentrifugal. Karena itu, hak asasi manusia tidak juga dikenal secara individual egosentrik,
tetapi komunal-kolektif sentrifugal. Arti harfiah rakyat itu sendiri tidak individual-egosentrik, tetapi
komunal-kolektif-sentrifugal itu.
Sifat ideal raja, meskipun berkuasa, adalah raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Jadinya, populis, tidak absolut. Yang diutamakan adalah rightnan benar, bukan mightnan kuat,
kekuasaan karena right is might. Dalam demokrasi di Barat dan dalam demokrasi di dunia
perpolitikan di Indonesia yang mencontoh ke Barat sekarang ini might is right. Ujung-ujungnya
semua ditentukan kekuasaan yang dapat dibeli dengan uang. Budaya material pada gilirannya juga
menganakkan watak yang permisif dan koruptif sehingga nyaris tak ada yang tak mungkin.
Varian budaya M kebetulan memadu secara sintetis antara budaya adat yang sifatnya lokal dan
regional, di samping komunal-kolektif-sentrifugal, dengan unsur syariah dari teologi Islam dengan
adagium ABS-SBK adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Varian budaya M mnempatkan
-
7/29/2019 Karut Marut Demokrasi
2/4
adat di bawah supremasi syarak juga dengan patokan adagium : yang baik dari mana pun datangnya
dipakai, yang buruk dari manapun pula datangnya dibuang.
Budaya M yang sintetik-universal ini juga dipakai di seluruh dunia Melayu yang mencakup Malaysia
di Semenanjung; Patani di Siam; Serawak, Brunei, dan Sabah di Borneo; dan Moro dii Filipina. Di
Indonesia sendiri kajian budaya M terimpit oleh varian budaya J karena kalah dalam persaingan
hegemoni dan kalah kuat.
Varian Budaya J di Jawa, kendati secara etnografis adalah juga etnik Melayu, orientasi budayanya
adalah sinkretik, bukan sintetik seperti di kawasan budaya M di luar Jawa itu. Dalam varian budaya J,
adagium yang berlaku adalah sadaya agami sami kemawon, semua agama sama baik dan sama
benarnya. Demikian juga unsur budaya lainnya yang diperlakukan sebagai sama dan setara. Karena
itu, silahkan pilih dan tak masalah kalau kawin-mawin antaragama dalam satu trah atau keluarga
yang sama.
Secara bernegara, karena semua agama diakui sebagai setara, maka aspirasi kelompok Islam,kendati mayoritas, dan Islam sendiri mengharuskan umatnya melaksanakan syariat Islam secara
bermasyarakat dan bernegara. Demi kesatuan dan persatuan bangsa, tidak boleh mendirikan negara
Islam atau menjadikan syariat untuk juga berlaku secara bernegara walau hanya khusus untuk umat
Islam (ingat nasib Jakarta Charter). Yang muncul dan mendapat tempat di lingkungan penguasa
adalah kelompok liberal multikultural yang menolak konsep negara Islam dan menyatakan Pancasila
adalah final.
Citra sinkretisme
Citra sinkretisme budaya J inilah yang jadi tipe ideal sekaligus idealisme kenegaraan yang terpantul
dalam filosofi NKRI: Pancasila, yang memang berada di bawah atmosfer naungan budaya J atau
Kejawen. Kendati sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tak hanya Islam sebagai
agama yang murni berketuhanan Yang Maha Esa yang diakui negara, tapi semua agama.
Pada zaman Orde Lama, yang menolak adanya Tuhan pun, seperti komunisme yang ateis, dibolehkan
dan diberi hak dan peluang yang sama untuk eksis dan berkegiatan seperti yang lain. Sederhana
alasannya: presiden pada waktu itu tak mau menunggang kuda berkaki tiga. Yang keempatnya
adalah PKI dengan komunismenya itu.
Walau pada masa persiapan dan awal kemerdekaan aspirasi budaya M yang relatif demokratis cukup
santer dan menjiwai demokrasi yang diperjuangkan di awal kemerdekaan, begitu sistem politik di
NKRI ini berpindah tangan pada era orde lama ke tangan proklamatorpendiri Republik itu sendiri,
untuk menjadi presiden seumur hidup dengan kekuasaan absolut tak terbatas, jadi Pemimpin Besar
Revolusi, Bapak Bangsa, dan seterusnyamaka demokrasi seperti yang dicita-citakan itu pun sirna,
hablur, dan meleleh.
Yang terjadi, penjungkirbalikkan demokrasi yang masih berupa bibit muda yang dicangkokkan dari
luar itu. Pada zaman orde lama dibabat dan sistem kekuasaan dikembalikan ke cara semula yang
diwarisi dari nenek moyan yang feodal-etatik-sentripetal-sinkretik dan nepotik itu.
Kendati istilah teknis-yuridis-formal yang dipakai tetap sama seperti yang dipakai di negarademokrasi maju dan modern, baik di bidang eksekutif, legislatif,yudikatif, dan alat kelengkapan
-
7/29/2019 Karut Marut Demokrasi
3/4
formal kenegaraan lainnya, hanya botolnya yang baru. Anggur tua tadi dimasukkan ke dalam botol
baru sehingga yang tua sudah kadaluwarsa dan tidak lagi terpakai dimana-mana, itu yang terpakai
dan berlanjut di NKRI ini.
Ada yang sudah berubah?
Kecuali istilah dan jargon yang dipakai baru itu, adakah secara fundamental yang sudah berubah di
NKRI, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari perjalanan sejarah bangsa dan tanah air
yang sudah panjang ke belakang itu?
Jawabnya, secara teknis tentu saja ada. Kita termasuk suku bangsa di dunia ini yang ikut menikmati
kecanggihan sains dan teknologi sehingga kita ikut menikmati manfaat kemajuan sains dan teknologi
yang luar biasa itu. Namun, kitakah atau mereka yang membikinnya? Kita ternyata hanyalah suku
bangsa yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri. Kita lebih suka menerima
daripada memberi. Dan kita adalah pangsa pasar yang besar dengan 240-an juta penduduk, tetapi
kita pula yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri.
Mungkin karena faktor geografis, karena iklim atau zona khatulistiwa yang tongkat ditanam pun bisa
tumbuh subur, unsur budaya malas dan segan berjerih payah ada di sana. Dengan tanahnya yang
subur, udaranya yang berawan, dan langitnya yang suka menurunkan hujan, dengan iklim tropis,
Indonesia telah menjadi incaran dunia kapitalis Barat dan Timur untuk menguasainya dari sekian
abad yang lalu sampai hari ini.
Dengan menguasai ekonomi sekaligus sumber daya alamnya, dari hulu sampai ke muara, di darat,
laut , dan udara, penguasaan politik ,sosial, dan budaya menjadi menurun.itu yang persis para
kapitalis-imperialis mancanegara lakukan. Dari dulu sejak zaman para penjajah dari BaratPortugis,
Spanyol, Inggris, Belandadan secara tak langsung juga Amerika, Jepang, Korea, China sekarang
lakukan.malah, Indonesia sekarang ini telah masuk ke dalam kawasan emporium ekonomi China,
yang dari sono semua dikendalikan.
Pertanyaannya, sekali lagi, apa yang telah berubah? Yang jelas kita tetap jadi objek, bukan subjek.
Kita dikendalikan, bukan mengendalikan. Kita diatur, bukan mengatur diri sendiri. Kemerdekaan kita
karenanya adalah kemerdekaan semu. Kelihatannnya merdeka, tapi tidak atau belum merdeka
walau sudah 67 tahun merdeka. Boleh dikatakan di semua bidang kehidupan! Demokrasi yang kita
bangga-banggakan itu adalah juga demokrasi semu,pseudo democracy. Kelihatannya seperti kita
yang mengelola sendiri, sementara kita dikelolakan atau dikendalikan. Makanya, pemilu yang juga
kita lakukan setiap kali sebagai syarat berdemokrasi kita hanya membuang duit yang hasil bersihnya
kembali ke tangan kelompok triumvirat tadi.
Yang rakyat? Hanya datang sebentar ke kotak suara, membawa jari bertinta pulang, dan lalu
mengulangnya kembali sekali lima tahun. Selebihnya tinggal urusan mereka para wakil rakyat yang
terhormat yang lolos terpilih dan bermain demokrasi seperti yang diinginkan oleh kelompok
triumvirat yang bekerja sama menjalankan roda kendali negara ini di semua bidang kegiatan dan
kehidupan.
Yang rakyat? Tetaplah tinggal jadi rakyat yang dikendalikan dan hidup seperti sediakala yang dibalut
kemiskinan dan keterbelakangan seperti selama ini. Dengan ukuran perhitungan Bank Dunia bahwa
mereka yang tergolong ke dalam penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 2
-
7/29/2019 Karut Marut Demokrasi
4/4
Dollar AS (Rp20.000) per hari, maka lebih dari separuh penduduk Indonesia yang 240-an juta itu
masih tergolong ke dalam penduduk miskin. Statistik kemiskinan di Asia Tenggara menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia tergolong ke dalam kelompok penduduk yang termiskin.
Demokrasi yang artinya adalah kekuasaan di tangan rakyat, tetapi yang terjadi adalah bahwa
kekuasaan itu ada di tangan kelompok triumvirat yang bekerja sama secara hangat dan saling
menguntungkan. Dan mereka itu, sekali lagi, adalah : (1) para penguasa negara, sipil maupun
miliiter, di pusat sampai ke daerah, yang etnik pribumi; (2) para konglomerat China yang merupakan
0,8 persen penduduk tetapi menguasai 80 % kekayaan nasional, yang menguasai jalur ekonomi dari
hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan udara; (3) para kapitalis multunasional yang menguasai
sumber daya alam Indonesia yang tersembunyi di bawah permukaan bumi persada dan di atasnya.
Ketiga kelompok triumvirat yang bekerja sama secara erat dan mesra inilah yang menggelindingkan
ekonomi Indonesia dan yang memungkinkan yang lain-lain juga berjalan.
Yang rakyat? Yang rakyat menunggu godot yang tak kunjung keluar dari persembunyiannya untukterhindar dari malapetaka berkepanjangan yang tidak diinginkan.
Diketik ulang dari artikel kompas, Jumat 30 November 2012