Kata Pengantar
-
Upload
harsyah-angga -
Category
Documents
-
view
9 -
download
0
Transcript of Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’aalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT Sang pencipta alam semesta beserta segala isinya yang Maha Besar, yang
berkat rahmat, bimbingan, izin dan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaiakan tugas makalah
ini. Shalawat serta salam tidak lupa kami sampaikan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, beserta segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya,serta seluruh pengikutnya hingga akhir
zaman.
Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Agama Islam pada prodi
Teknik Kimia semester Ganjil, Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang, di mana judul makalah
adalah “Korupsi Ditinjau dari Aqidah dan Budaya”..
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas tentang sebenarnya bagaimana
Korupsi jika Ditinjau dari Aqidah dan Budaya.
Dalam menyusun makalah ini ,kami menyusunnya dengan maksimal dan dengan segala
kemampuan kami berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Namun, kritik dan saran yang
bersifat konsrtruktif dan membangun kami terima dengan senang hati. Akhir kata makalah ini
dapat terselesaikan pada waktu yang diharapkan, dan penyusun berharap mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat. Amin.
Wabillihi taufik walhidayah wassalammu’alaikum Wr.Wb
Palembang,21 Januari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Kata pengantar....................................................................................................
Daftar isi..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.........................................................................................
B. Sistematika Penulisan..............................................................................
BAB II ISI
A. Pengertian Korupsi..................................................................................
B. Pengertian Aqidah...................................................................................
C. penyebab korupsi....................................................................................
D. kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi......................................
E. akibat/dampak korupsi............................................................................
F. cara menanggulangi korupsi...................................................................
G. Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam...............................................
H. Pintu-Pintu Korupsi.................................................................................
I. Hukum Syari’at Tentang Korupsi...........................................................
J. Budaya korupsi dan korupsi budaya.......................................................
BAB III PENUTUP
1. Kesmpulan...............................................................................................
2. Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk
berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri
manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah,
karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya
tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat
instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama),
maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia
dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self contor) dari pemuasan hawa nafsu
yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B. Sistematika penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu penulis
akan menguraikan sistematika penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam memecahkan
masalah yang ada,di dalam penulisan ini di bagi beberapa BAB sebagai berikut
BAB I : bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang..
BAB II : bab ini merupakan membahas isi dari makalah
BAB III : bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran
BAB II
A. Pengertian Korupsi
Asal kata korupsi berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa latin inilah kemudian diterima
oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt,
sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi corruptie. Arti harfiah dari korupsi adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti dari
kesucian, dapat disuap. Poerwadarminta mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi negara,
mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan
menyangkut tingkah laku pribadi.[1]
B. Pengertian aqidah
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-
Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu
biquwwah(pengikatan dengan kuat),at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di
antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan). Aqidah
artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan.
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut
diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah),
dan " ‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).
C. Penyebab Korupsi
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi
situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial akan mendorng berbagai kecenderungan
muncul sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi
cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk menutupinya.
Menurut Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban 11, korupasi terjadi
karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan atribut
kelembagaan (institutional attributes) dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal
attributes), dan secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah :
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu
memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
2. Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
3. Kolonialisme
4. Kurangnya pendidikan
5. Kemiskinan
6. Tiadanya tindak hukum yang keras
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan
9. Perubahan radikal
10. Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual
serta ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang dapat
dicatat adalah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin
korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam
kehidupan bangsa.
D. Kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial dalam arti
bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi pengurang
terjadinya korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi
yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi tersebut mencakup hal-hal berikut :
1. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung
kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
politik yang normal.
4. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
6. Lemahnya ketertiban hukum.
7. Lemahnya profesi hukum.
8. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
10. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
11. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan
kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan menghilangkan penyebab-penyebabnya, diperlukan
juga upaya mempersempit ruang gerak atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi,
agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan
kehidupan berbangsa.
E. Akibat/dampak korupsi .
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan
investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait
birokrasi)yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih
banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi
dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003)
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal,
terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi,
hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan
politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai
berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah,
pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-
sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
F. Cara menanggulangi korupsi.
Kalau korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat
menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab
dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi
sebagai berikut :
1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas
adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional
maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan
adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan
(legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan
korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu
kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan
pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-
pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi
yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas,
pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan
dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan
termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi
dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun
bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu
ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems),
juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan
penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan
jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
G. Korupsi dalam Pandangan Syariah Islam
Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in,
termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada
seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah
Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam
(akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang
mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu
menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman
Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan
bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan
sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in
wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong
tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang
merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al
Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis
dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan,
seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda
(gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman
cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau
dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan
yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
H. Pintu-Pintu Korupsi
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang
diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-
hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita
selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi
tanggung jawab kita. Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :
(( �م�ا و�ل �ه�ا ب �ي� �ن �ب ي ن�� أ �ر�يد� ي و�ه�و� ة�
� أ ام�ر� �ض�ع� ب م�ل�ك� �ج�ل ر� �ي �ع�ن �ب �ت ي ال� �ق�و�م�ه� ل ف�ق�ال� �اء� �ي �ب ن� األ� م�ن� �ي. �ب ن ا غ�ز�
د�ه�ا و�ال� �ظ�ر� �ت �ن ي و�ه�و� �ف�ات� ل خ� و�� أ �م6ا غ�ن ى �ر� ت اش� �ح�د
� أ و�ال� ق�وف�ه�ا س� ف�ع� �ر� ي �م� و�ل 6ا �وت �ي ب �ى �ن ب �ح�د� أ و�ال� �ه�ا ب �ن� �ب ي
�م�ور� م�أ �ا ن
� و�أ �ة م�ور�� م�أ �ك� �ن إ م�س� �لش� ل ف�ق�ال� �ك� ذ�ل م�ن� 6ا ق�ر�يب و�
� أ �ع�ص�ر� ال ة� ص�ال� �ة� ي �ق�ر� ال م�ن� �ا ف�د�ن ا ف�غ�ز�
�م� ف�ل �ه�ا �ل ك� �أ �ت ل �ار� الن �ي �ع�ن ي ف�ج�اء�ت� �م� �ائ �غ�ن ال ف�ج�م�ع� �ه� �ي ع�ل �ه� الل �ح� ف�ت �ى ح�ت �س�ت� ب ف�ح� �ا �ن �ي ع�ل ه�ا �س� ب اح� �ه�م� الل
�م� ف�يك ف�ق�ال� �د�ه� �ي ب ج�ل� ر� �د� ي �ز�ق�ت� ف�ل �ج�ل ر� �ة� �يل ق�ب Sل� ك م�ن� �ي �ع�ن �اي �ب �ي ف�ل �وال6 غ�ل �م� ف�يك �ن� إ ف�ق�ال� �ط�ع�م�ه�ا ت
�ل� م�ث س�� أ �ر� ب اء�وا ف�ج� �غ�ل�ول� ال �م� ف�يك ف�ق�ال� �د�ه� �ي ب �ة� ث �ال� ث و�
� أ �ن� �ي ل ج� ر� �د� ي �ز�ق�ت� ف�ل �ك� �ت �يل ق�ب �ي �ع�ن �اي �ب �ي ف�ل �غ�ل�ول� ال
�ا ض�ع�ف�ن �ى أ ر� �م� �ائ �غ�ن ال �ا �ن ل �ه� الل ح�ل�� أ �م� ث �ه�ا، �ت �ل ك
� ف�أ �ار� الن ف�ج�اء�ت� ف�و�ض�ع�وه�ا الذ�ه�ب� م�ن� ة� �ق�ر� ب س�� أ ر�
�ا �ن ل �ه�ا ل ح�� ف�أ �ا ن ((و�ع�ج�ز�
"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh
mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin
menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah
membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang
telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu
(mengharapkan) peranakannya".
Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba
atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu
diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka
tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia
mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi
api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya):
"Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan
perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah
bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke
tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada
(yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku,"
kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada
nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka
mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya,
lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan
perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta). Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan
zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil
sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya
kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah
sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras
kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan
mengatakan :
(( ال� �م� أ �ك� ل �ه�د�ى ي� أ ت� �ظ�ر� ف�ن مSك�
� و�أ �يك� ب� أ �ت� �ي ب ف�ي ق�ع�د�ت� ف�ال�
� ((أ
"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah
kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi
penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
(( �ق�ه� ع�ن ع�ل�ى �ه� �ح�م�ل ي �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي �ه� ب اء� ج� �ال� إ 6ا �ئ ي ش� �ه�ا م�ن �م� ح�د�ك� أ �غ�ل ي ال� �د�ه� �ي ب م�ح�م�د� �ف�س� ن �ذ�ي ف�و�ال
�ع�ر� �ي ت �ه�ا ب اء� ج� اة6 ش� �ت� �ان ك �ن� و�إ �خ�و�ار �ه�ا ل �ه�ا ب اء� ج� ة6 �ق�ر� ب �ت� �ان ك �ن� و�إ �غ�اء ر� �ه� ل �ه� ب اء� ج� ا �ع�ير6 ب �ان� ك �ن� ((إ
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang
dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor
unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun)
bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara
…"
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang
menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
(( ��ول غ�ل �ع�م�ال� ال �ا ((ه�د�اي
"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul".
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang
mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang
lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul
(korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah
disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu
kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta
ghulul (korupsi).
I. Hukum Syari’at Tentang Korupsi
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an)
maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
�و�ف�ى �م�ت ث �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� �م�اغ�ل�ي ب ت�� �أ �ل�ي �غ�ل و�م�ن�ي �غ�ل� ي ن�
� �يbأ �ب �ن �ان�ل و�م�اك
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari
Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua
nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat
(setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang.
Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala
menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah,
pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam
urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari
perbuatan seperti itu.
Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam
ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan
rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu …”
Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.”
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia
dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam
firmanNya :
� �م �ث �األ� ب �اس� الن م�و�ال�� أ م�ن� 6 ف�ر�يقا �وا �ل ك
� �أ �ت ل � �ام �ح�ك ال �ل�ى إ �ه�ا ب �وا �د�ل و�ت �اط�ل� �ب �ال ب �م� �ك �ن �ي ب �م� �ك م�و�ال� أ �وا �ل �ك �أ ت و�ال
�م�ون� �ع�ل ت �م� �ت ن� و�أ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]
Juga firmanNya :
�اط�ل� �ب �ال ب �م� �ك �ن �ي ب �م� �ك م�و�ال� أ �وا �ل �ك �أ ت ال �وا آم�ن �ذ�ين� ال يه�ا
� أ �ا ي
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits
dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
J. Budaya Korupsi Dan Korupsi Budaya
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa
yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma
kehidupan sosial masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia
telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu
diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang
kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu
penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya
yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-
fase kehidupan sosial (August Comte) dari mulai fase teologis, metafisik dan positif. Budaya
dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna
mengendalikan berbagai kejadian yang merugikan/merusak kehidupan masyarakat,
pemberian sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk menenangkan dan
memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural
dapat melindungi kehidupan mereka. Nah kalau demikian apakah manusia berprilaku
menyogok (bribery) kepada kekuatan adi kuasa?, jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari
sudut pandang individu itu tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan
sebagai upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang
dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Dengan demikian prilaku menaklukan atau mengendalikan fihak yang menguasai melalui
berbagai upaya pemberian/sesajen telah menjadi bagian dari nilai kehidupan pada masa
animismen, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang terjadi dewasa ini bisa saja
di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi kompleks dalam konteks
perkembangan dunia modern dewaswqa ini.
Namun demikian, hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun
merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai
agama, sehingga dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap
atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi
korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan demikian jika pun benar
ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin
lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkat pribadi diatas kepentingan
publik pada saat mereka mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung
maupun tak langsung.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad,. Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta. 1968.
Bakar Atjeh, Abu. Mutiara Akhlak 1, Bulan Bintang, Jakarta.1968.
Hasan, Ali H.M. Agama Islam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelambagaan Agama
Islam. 1994/1995.
Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.. Psikologi Belajar Agama. Pustaka Bani Qurais. Bandung.
2003.
Graves, Elizabeth E. 2006. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia:
Michrob, Halwany. 1990. Catatan Masa Lalu Banten: Suatu Tinjauan Sejarah. Serang :
Saudara.
www.wikipedia.org/wiki/islam dan negara
http://hafizfirdaus.com/content/view/125/59/
http://www.hidayatullah.com/kolom/opini/pemikiran/10957-Hubungan islam dan negara
www.google.com