KAUM MU'TAZILAH

download KAUM MU'TAZILAH

If you can't read please download the document

Transcript of KAUM MU'TAZILAH

BAB I PENDAHULUAN Kaum Mutazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang di bawa kaum Khawarij dan Murjiah. Dalam membahas persoalan-persoalan teologi, mer eka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama Kaum Rasionalis Islam.1 Sebelum Mutazilah hadir dalam arena alam pikiran Islam telah timbul ber bagai aliran yang nantinya amat besar pengaruhnya terhadap Mutazilah ; antara l ain adalah aliran Musyabbihah, yang memahami ayat-ayat Al Quran, tentang Allah bertangan, bermata, bersinggasana, melihat, mendengar dan sebagainya. Secara har fiyah kata Musyabbihah berarti aliran yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan m anusia. Aliran ini tokoh-tokohnya dari aliran Syiah ekstrim dan ahli hadits Has ywiyah, yang memahami kulit bukan isinya.2 Ada lagi aliran Mujassimah yang beranggapan bahwa Allah berjisim (bertub uh) seperti halnya manusia berjisim. Berikutnya adalah aliran Shifatiyah, yang b eranggapan bahwa sifat-sifat Allah adalah azali (tanpa permulaan) disamping Dzat -Nya yang azali. Apabila diantara mereka yang berpendapat bahwa sifat-sifat Alla h sama dengan sifat-sifat manusia, seperti halnya aliran Musyabbihah.3 1.Harun Nasution, Teologi Islam aliran-aliran Sejarah Perbandingan, Jakarta, 197 2 hal 38 2. A. Hanafi, Theologi Islam, Jakarta, 1977 hal 29 3. JWM. Bakker Sy, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta, 1978, hal 17-18 Ketika terjadi pentakhiman (arbitrase) dalam usaha mewujudkan perdamaian dalam p ertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, ada golongan y ang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Karena mereka merasa tidak puas deng an hasil takhim tersebut yakni yang dinamakan golongan Khawarij.4 Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menjadi kafir. Lalu muncul aliran Murjiah yang melawan pendapat Khawarij; mereka berpen dapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar tetap mukmin, tidak jadi kafir. Tent ang nasibnya kelak di hadirat Allah, diserahkan saja kepada Allah untuk menentuk annya. Lain halnya dengan aliran Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali ; semua perbuatannya telah ditentukan sebelumnya oleh takdir Allah ; ini berlawanan dengan pendapat aliran Qadariyah yang mengat akan bahwa manusia mempunyai kebebasan penuh untuk menciptakan perbuatannya. Hal yang disebutkan belakangan ini mengingatkan kita kepada perbedaan pendapat di k alangan filusuf sejak dulu, antara lain Determinisme (serba paksa) dan indetermi nisme (serba bebas).5 Terhadap masalah-masalah yang dikemukakan oleh berbagai aliran tersebut maka datanglah aliran Mutazilah untuk mengemukakan pendapat yang tengah-tengah, tidak terlalu keras seperti pendapat Khawarij, tidak pula terlalu lunak seperti golongan aliran Murjiah dengan kecenderungannya mengutamakan kedudukan akal. B agaimanakah pendapat-pendapat kaum Mutazilah serta apa jawaban yang diberikan t erhadap mereka. 4. Abd.al-Rahman Azzam, The Eternal Massage of Muhammad, 1979, hal 48 5. Joesoef Souyb, Determinism dan Indeterminism, 1976, hal 9 BAB II MATERI PEMBAHASAN A. Sejarah Munculnya Mutazilah Nama Mutazilah dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang ta k mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman Kha lifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan dari kalangan Bani Umay ah sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah Usman dari Bani Umayah yang kemudian

digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golong an yang saling bertikai, dan tidak ingin terlibat dalam pertikaian tersebut. Mer eka tidak membaiat Ali sebagai Khalifah, tapi memilih sikap netral. Tokoh-tokoh kelompok ini ialah Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Masla mah, Utsman bin Said, dan lain-lainnya. Penduduk Madinah banyak juga yang mengik uti jejak mereka. Orang-orang itu disebut kelompok Mutazilah, karena mereka men gasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi. G olongan ini mempunyai corak politik. Tetapi nama Mutazilah yang disebut dalam konteks aliran-aliran teologi atau fal safat, adalah para pengikut orang yang mengasingkan atau memisahkan diri dari gu runya, karena adanya beda faham dalam sesuatu hal. Orang tersebut ialah Washil b in Atha yang memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al Bashri, karena berbeda pend apat tentang kedudukan orang mukmin yang berdosa besar, apakah or ang tersebut masih mukmin atau telah menjadi kafir, sebagaimana pernah menjadi perbedaan pendirian antara kaum Khawarij dan Murjiah sebelumnya. Secara singkat terjadinya pemisahan antara murid dengan gurunya sebagai berikut : Suatu hari Washil bin Atha (sang murid) dalam majlis gurunya, Hasan al Bisri, mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pendapat gurunya itu mengenai orang mu kmin yang mengerjakan dosa besar apakah menjadi kafir atau tidak. Washil menegas kan pendapatnya bahwa orang itu sudah tidak mukmin, tetapi belum sampai kafir, i a berada disuatu posisi antara dua posisi (manzilat bainal manzilatain) Menurut Washil, posisi antara dua posisi itu ialah fasiq, sedangkan sang guru berpendapat bahwa orang itu munafiq. Setelah mengemukakan pendapat itu, Wa shil memisahkan diri dari majlis gurunya, yang diikuti juga oleh orang-orang yan g mendukung pendapatnya. Kemudian Washil pun bertindak sebagai guru yang dikerum uni murid-muridnya, dan salah seorang yang bergabung dengan Washil adalah Amr bi n Ubaid. Dua tokoh inilah yang kemudian dipandang sebagai tokoh aliran Mutazila h angkatan pertama. Adapun angkatan kedua yang dimulai sejak kaum muslimin kenal dari dekat dan mempelajari filsafat Yunaninterhadap Mutazilah. Murid Washil yang terkenal ialah AbuI Hudzail al Allaf, yang digelari filusuf Mutazilah, karena pengethua nnya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Muta zilah secara teratur.6

6. Harun Nasution, op cit. hal 45 B. Al-Ushul Al-Khamsah (lima pokokajaran) Sebagaimana telah disebutkan dimuka, bahwa kaum Mutazilah menghadapi berbagai m acam ajaran teologi dari berbagai aliran yang telah ada sebelumnya, dan mereka m emberikan jawaban terhadap berbagai macam ajaran aliran-aliran tersebut. Pokok-pokok ajaran Mutazilah yang mencerminkan jawaban terhadap ajaran sebelumn ya, dikenal dengan Al-Ushul al-Khamsah (lima pokok ajaran) yang diberi urutan me nurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut : 1. Al Tauhid 2. Al Adl 3. Al wadu wa al Waid 4. Al Manzilat Baina Al Manzilatain 5. Al Amr bi al Maruf wa al Nahy an Al Munkar.7 Isi dari pokok ajaran teologi Mutazilah tersebut dapat diuraikan sebagai beriku t : 1. Al Tauhid Ke Esaan atau lebih tepat meng Esakan Allah adalah inti ajaran Mutazilah. Allah adalah Esa mutlak, demikianlah inti ajaranaqidah dalam Islam. Kaum Mutazilah t idak memberikan ajaran baru dalam hal ini ; hanya mempertahankan kemurnian aqida

h serta mencari esensi isi ajaran tauhid dan menolak keras segala macam ajaran y ang akan mengotori pengertian ke Esaan mutlak dan kesucian sempurna Allah. 7.Ibid, hal 52 Menurut Mutazilah, Allah adalah Esa, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Ia bukan jisim, tidak bertubuh, tidak berdaging, tidak bergerak, tidak dalam rua ng dan tidak dalam waktu. Allah ada sebelum ciptaan-Nya, bukan Bapak, bukan Anak , tiada Ketuhanan selain Dia; tiada yang abadi kecuali Dia, tiada yang menyerupa i-Nya dan tiada menolong-Nya. Ungkapan bahwa tiada sesuatu pun yang menyerupai Allah merupakan bantahan terh adap kaum Musyabbihah, dan sekaligus membuka pintu tafsiran allegoris (kiasan) t erhadap kata-kata dalam Al Quran yang sepintas lalu memberikan pengertian adany a kesamaan antara Allah dan manusia. Tekanan mereka mengenai ke Esa an mutlak Al lah dihadapkan kepada ajaran dualisme Persia dan Trinitas Nasrani, oleh karena i tu aliran Mutazilah menolak konsepsi agama tersebut.8 Ada tiga masalaha yang langsung berhubungan dengan pendirian Mutazilah tentang tauhid yaitu tentang sifat-sifat Allah, kemakhlukan Al Quran, dan tenta ng mungkin atau tidak Allah dilihat dengan mata kepala. Sebagai konsekwensi ajaran Mutazilah, mereka menolak adanya sifat-sifat Allah yang azali disamping Dzat-Nya yang azali pula. Sifat-sifat Allah yang dit olak hanyalah sifat-sifat (positif), baik dari arti katanya maupun dari makna ka ndungan isinya, seperti : ilmu, kehendak dan kalam. Adapun sifat-sifat Salabiyah (negatif), sifat yang meniadakan, diakui adanya. Misalnya Allah disifati dengan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran su rat Asy Syura : 11.

8. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta, 1980 hal 76 Demikian juga diakui adanya sifat salabiyah ditinjau dari isi kandungan dan ijab iyah ditinjau dari arti katanya, seperti sifat ke Esaan Allah sebagaimana disebu tkan dalam Al Quran surat Al Ikhlas : 1, yang mengajarkan Katakanlah : Dialah Allah Yang Maha Esa. Secara positif disebutkan bahwa Allah Maha Esa, tetapi sec ara negatif diartikan bahwa Allah tidak terbilang. Kaum Mutazilah tidak dapat menolak adanya sifat-sifat Allah yang nyatanyata disebutkan dalam banyak ayat-ayat Al Quran, tetapi mereka menolak jika ad anya sifat-sifat itu azali dan merupakan tambahan Dzat Allah. Mereka berpendiria n bahwa mengakui sifat-sifat Allah azali disamping Dzat-Nya yang azali berarti m enetapkan adanya dua hal yang azali dan ini adalah Syirik (menyekutukan Allah) y ang bertentangan dengan aqidah tauhid. Selain itu kaum Mutazilah mengakui bahwa diantara sifat Allah adalah ka lam (firman). Sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Quran surat An Nisa : 164, b ahwa Allah telah berbicara (berfirman) kepada Musa dengan langsung. Pertanyaan yang mereka ajukan ialah apakah firman Allah itu azali atau b aru (ciptaan). Menurut Mutazilah, orang yang menyatakan bahwa kalam Allah itu a zali menyerupai pendirian kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Isa Al Masih Kalima t Alah, oknum kedua dari Trinitas yang kudus itu adalah azali. Agar jangan sampa i ada golongan orang-orang mukmin yang dikira merupakan salah satu aliran dari k aum Nasrani karena mengatakan Kalam Allah adalah azali, maka kaum Mutazilah men entang keras pendirian yang mengatakan bahwa kalam Allah adalah azali, dan dikat akan bahwa pendirian demikian itu berlawanan dengan aqidah tauhid. Jadi Al Quran adalah tetap kalam (firman) Allah, yang diterima Nabi Muh ammad SAW dengan perantara Jibril, baik lafaz maupun maknanya. Nabi Muhammad SAW hanya menirukan bacaan Jibril ketika menyampaikan Kalam Allah itu. Al Quran ti dak mungkin mengalami perubahan sedikitpun juga atas jaminan Allah sendiri, Kam i lah yang menurunkan Al Quran, dan Kami juga lah yang memeliharanya, Al Qura n surat Al Hijr : 19.

Sejalan dengan pendirian Mutazilah tentang kesucian Allah dari sifat-si fat kemanusiaan, mengatakan bahwa Allah bukan substansi dan bukan aksidensi, pad a-Nya tiada panjang dan lebar, tiada bagian-bagian dan tiada anggota, dan tiada mungkin terlihat. Jika Allah mungkin dilihat, berarti Allah berada di suatu temp at, di depan orang yang diperlihatkan-Nya, padahal Allah tidak bertempat di temp at manapun. Sebagaimana firman Allah :

Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat meliha t segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al Anam : 103) 2. Al Adl adalah al Adl al Illahi (Keadilan Allah) Keadilan Allah dibicarakan dalam konteks tanggung jawab manusia kepada Allah. Ji ka manusia dituntut tanggung jawab, maka manusia harus berkebebasan untuk menen tukan perbuatan-perbuatannya sendiri, tidak telah ditakdirkan Allah sebelumnya. Allah tidak akan memberikan pahala atau menjatuhi siksa kepada hamba-Nya kecuali jika hamba-Nya melakukan perbuatan-perbuatannya dengan bebas atas pilihannya se ndiri tanpa ada ketentuan takdir Tuhan terhadapnya. Adalah tidak adil jika Allah telah menentukan takdir kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan jahat kemudi an menyiksanya di akhirat kelak. Kaum Mutazilah berpendapat bahwa termasuk keadilan bahwa Allah berbuat yang pal ing baik (al Ashlah) bagi hamba-hamba-Nya. Allah tidak menghendaki bagi hamba-ha mba-Nya kecuali yang baik. Ajaran dasar kedua al-Adl ada hubungannya dengan al Tauhid. Kalau dengan al Tauh id kaum Mutazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, ma ka dengan al-Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Allah dari persamaan dengan p erbuatan makhluk. Hanya Allah lah yang berbuat adil ; Allah tidak bisa berbuat z alim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kalau al-Tauhid m embahas keunikan diri Allah, al-Adl membahas keunikan perbuatan Allah.9 3. Al Wadu Wa al-Waid ( Janji dan Ancaman ) Kaum Mutazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman pasti terjadi. Janji Allah u ntuk memberi pahala kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat kebajikan pasti terjadi, demikian pula ancaman Allah untuk menurunkan siksaan terhadap hamba-hamba-Nya y ang berdosa pasti terjadi pula. Pendapat Mutazilah ini didasarkan atas adanya k eyakinan bahwa Allah wajib berbuat adil. Keadiilan Allah menentukan bahwa Allah akan melaksanakan janji dan ancaman-Nya, sebab Alah telah mewajibkan demikian te rhadap diri sendiri.

9. Harun Nasution, op. Cit. Hal 53 Ajaran dasar ketiga ini merupakan lanjutan dari ajaran dasar kedua diatas. Allah tidak akan dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang b erbuat baik dan jika menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki up aya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Allah.10 Oleh karena itu, kaum Mutazilah mengingkari ada nya Syafaat (pengampunan) pada hari kiamat, dengan mengenyampingkan ayat-ayat yang menetapkan Syafaat (Q.S. Al Baqarah 254 dan 48), karena Syafaat menurut mer eka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.11 Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah mesti terjadi. Jad i wajib bagi-Nya menepati janji dan ancaman-Nya karena tidak melaksanakan janji dan ancaman berarti ketidak sempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Tuhan.12 4. Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi antara dua posisi) Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kaum Mutazilah tidak sependapat den gan kaum Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar, juga tidak sependapat dengan kaum Murjiah yang berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin. Menurut kaum Mutazilah orang itu berad

a dalam posisi antara dua posisi ; kafir dan mukmin, yaitu fasiq. Meskipun merek a berpendapat juga bahwa orang fasiq jika sampai mati tidak bertobat akan kekal di neraka. 10. Ibid, hal 55 11. Hanafi, op.cit. hal 78 12. Harun Nasution, Muhammad Andih dan Teologi Rasional Mutazilah, Jakarta, 198 7. Hal 88 Yang dimaksud dengan dosa besar ialah selain dosa syirik (menyekutukan Allah den gan yang lain). Dosa syirik adalah dosa terbesar yang tidak akan memperoleh ampu nan sama sekali, dan nyata-nyata bertolak belakang dengan aqidah tauhid. Orang m usyrik adalah kafir. Macam-macam dosa besar selain syirik sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dan hadits ialah ; membunuh tanpa alasan yang syah, berzina, durhaka kepada orang tu a, persaksian palsu, sihir, makan harta anak yatim, makan riba, melarikan diri d ari medan pertempuran dan menuduh zina wanita yang berkelakuan baik.13 Perbuatan dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Allah dan Na bi Muhammad ; tetapi bukanlah mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga dan karena bukan kafir pula, ia sebenar nya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surge dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat se lain dari surga dan neraka, maka perbuatan dosa besar, harus dimasukan ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham Mut azilah tentang Iman. Iman bagi mereka bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisa n, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian perbuatan dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu ia tak da pat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi tidak dapat masuk surg a. Tempat tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat deng an kafir. 13. Hanna al Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al-Tarbiyah, 1975, hal 142 Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Inilah menurut Mutazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pula keadilan.14 5. Al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahy an an-Munkar Amar Maruf adalah memerintahkan orang lain berbuat kebaikan dan Nahi Munkar ada lah melarang orang lain berbuat keburukan. Pokok ajaran Mutazilah ini tidak lan gsung hubungannya dengan akidah, tetapi merupakan perintah yang disebutkan dalam Al Quran dan Hadits. Kaum Mutazilah berpendirian bahwa amar maruf dan nahi munkar itu menjadi kewaj iban atas tiap-tiap mukmin. Tetapi dalam pelaksanaan pokok ajaran ini , Mutazil ah terlalu keras. Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dala m menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Yang maruf adalah yang sejalan dengan pendap at-pendapat Mutazilah, sedangkan yang menyalahinya adalah munkar yang harus dib erantas. Demikian uraian tentang ajaran-ajaran dasar kaum Mutazilah. Dengan memperhatika n ajaran-ajaran mereka dalam bidang akidah dapat diperoleh kesimpulan bahwa akal lah yang memperoleh tempat yang pertama, kecuali jika akal tidak mungkin baru b erpegang kepada nash. Hanya rasa wajib hormat kepada syara lah yang membatasi me reka menggunakan akal. Setiap masalah yang mereka hadapi mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal mereka akui dan yang tidak dapat diterima akal me reka tolak. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution15, bahwa kaum Mutazilah tidak hany a memakai argumen rasional tapi juga memakai ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi untuk mempertahankan pendirian mereka. 14. Harun Nasution, op.cit. hal 56 15. Ibid

BAB III KESIMPULAN Aliran Mutazilah lahir ditengah-tengah umat Islam menghadapi banyak per soalan politik, teologi, falsafah dan sosial. Yang mendorong kelahiran Mutazila h yang paling menonjol adalah persoalan teologi, meskipun tidak dapat dielakan h anya faktor politik. Amat kompleksnya permasalahan yang dihadapi, membawakan Mutazilah membe rikan jawaban mengenai banyak masalah. Dalam memberikan jawaban itu nampak kecen derungan Mutazilah mengutamakan kedudukan akal. Akal diberikan tempat yang pert ama, wahyu yang kedua. Oleh karena itu aliran ini masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari Islam, dan dengan demikian ia tak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama di Indonesia. Ajaran-ajaran Mutazilah Al Ushul Al Khamsah telah berjasa dalam usaha mereka mempertahankan kemurnian ajaran Islam meskipun disana sini terdapat kele mahan dalam penerapannya. Jasa Mutazilah dalam bidang ini patut dihargai sebaga imana layaknya. Sejalan dengan kedudukan akal dalam ajaran Mutazilah, aliran ini merupa kan aliran yang pertama-tama disebut rasionalisme dalam Islam. Menurut hemat pen ulis, amat banyak ajaran Mutazilah yang bermanfaat bagi pengembangan alam fikir an Islam dewasa ini.

Lebih-lebih pada waktu ini, akhir-akhir ini banyak kalangan yang memandang bahwa alam pikiran Mutazilah amat relevan dikembangkan dalam masa pembangunan yang t engah kita lakukan sekarang ini atas dasar kebebasan berfikir yang mereka lakuka n dalam memahami agama Islam. Untuk itu ajaran-ajaran Mutazilah sangat perlu di baca dan dikaji secara mendalam untuk memperluas cakrawala pemikiran kita.

DAFTAR PUSTAKA Abd, al-Rahman Azzam, The Eternal Massage of Muhammad. New York: Quarter Books, 1979. Dalam makalah Jubaedah, al-Mutazilah: al-Ushul al-Khamsah, 1995. A. Hanafi, Theologi Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977. Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al-Tarbiyah, Beirut : Dar al-Maarif, 1975. Dalam makalah Jubaedah, al-Mutazilah : al-Ushul al-Khamsah, 1995 Hasbi Ash Shidiqie dkk, Al Quran dan terjemahannya, Depag, Jakarta, 1989 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah analisa Perbandingan, Jakart a, UI Press, 1977.

Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jillid II, Jakarta : UI Press, 1986 Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, Jakarta : UI Press, 1987. Joesoef Souyb, Determinism dan Indeterminism, Jakarta : Waspada, 1976 JWM. Sy Baker, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kanisius, 1978.

KAUM MUTAZILAH ( Sejarah, Tokoh-tokoh dan Ajarannya ) Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah : Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Muhaimin, MA Didin Nurul Rasyidin, Ph.D

Disusun oleh: ABDU AZIS AHMADI Konsentrasi : Psikologi Pendidikan Islam

PROGAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2010