Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

27
Makna Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam A. Pendahuluan Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini telah membawa hak dasar universal yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). 1 Ia tidak perlu diberikan, dibeli atau diwarisi, bahkan ia bersifat tetap pada diri seseorang dan lebih merupakan karena martabatnya sebagai manusia; 2 dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda- beda, ia tetap memiliki hak tersebut. 3 Inilah keuniversalitasan HAM. Dalam perjalanannya, universalitas HAM yang konseptualisasi dan deklarasinya bermula dari Barat ini mengalami perkembangan yang dirasakan perlu adanya analisa dan evaluasi ulang secara lebih komprehensif. Pasalnya, dominasi Barat dalam membenihkan HAM dan konsep-konsep pendekatan atas isu-isu yang berkaitan 1 Secara etimologi, Hak Asasi Manusia terbentuk dari tiga kata; hak, asasi dan manusia. Kata hak dan asasi merupakan kata yang diderivasi dari bahasa Arab. Hak yang dalam bahasa Arab haqq yang berasal dari haqqa-yahiqqu, berarti boleh, benar, nyata, pasti tetap dan wajib. Maka dapat dipahami bahwa hak adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan asasi berasal dari assa-yaussu yang berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Maka dapat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu terikat dengan objeknya. Lihat di Jumhûriyyah Misra al-‘Arobiyyah. “al-Mu’jam al-Wasith,” (Mesir: Maktabah as- Syurûq ad-Dauliyyah). cet.-4, hal.17 dan 187; dan Rohi Ba’al Baki. “al- Mawrid; a Modern English-Arabic Dictionary ”. (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al- Malayin 1995). Cet-7, hal. 480. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak asasi manusia ini diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka 1994), hal. 334. Sebagaimana dikutip Majda el-Muntaj. ”Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002”. (Jakarta: Kencana Prenada Media 2009). Ed. Pertama. Cet- ke 3, hal. 1. 2 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (tk: Asa Mandiri 2009), hal. 3 3 Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah. “Hukûku al-Insân fî al-Islâm”. (Madinah: Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah 2009), hal. 11. Juga pada pasal 2 DUHAM 1

Transcript of Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Page 1: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Makna Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam

A.Pendahuluan

Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini telah membawa hak dasar universal yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM).1 Ia tidak perlu diberikan, dibeli atau diwarisi, bahkan ia bersifat tetap pada diri seseorang dan lebih merupakan karena martabatnya sebagai manusia;2 dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap memiliki hak tersebut.3 Inilah keuniversalitasan HAM.

Dalam perjalanannya, universalitas HAM yang konseptualisasi dan deklarasinya bermula dari Barat ini mengalami perkembangan yang dirasakan perlu adanya analisa dan evaluasi ulang secara lebih komprehensif. Pasalnya, dominasi Barat dalam membenihkan HAM dan konsep-konsep pendekatan atas isu-isu yang berkaitan terhadap non-Barat menuai banyak kritik dan pertanyaan.4 Terlebih, kasus-kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang menimpa umat manusia pada saat ini kerap terjadi di negara-negara Barat.5 Namun yang paling

1 Secara etimologi, Hak Asasi Manusia terbentuk dari tiga kata; hak, asasi dan manusia. Kata hak dan asasi merupakan kata yang diderivasi dari bahasa Arab. Hak yang dalam bahasa Arab haqq yang berasal dari haqqa-yahiqqu, berarti boleh, benar, nyata, pasti tetap dan wajib. Maka dapat dipahami bahwa hak adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan asasi berasal dari assa-yaussu yang berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Maka dapat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu terikat dengan objeknya. Lihat di Jumhûriyyah Misra al-‘Arobiyyah. “al-Mu’jam al-Wasith,” (Mesir: Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah). cet.-4, hal.17 dan 187; dan Rohi Ba’al Baki. “al-Mawrid; a Modern English-Arabic Dictionary”. (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin 1995). Cet-7, hal. 480. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak asasi manusia ini diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka 1994), hal. 334. Sebagaimana dikutip Majda el-Muntaj. ”Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002”. (Jakarta: Kencana Prenada Media 2009). Ed. Pertama. Cet- ke 3, hal. 1.

2 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (tk: Asa Mandiri 2009), hal. 3

3 Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah. “Hukûku al-Insân fî al-Islâm”. (Madinah: Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah 2009), hal. 11. Juga pada pasal 2 DUHAM

4 Pada Desember 1994, Just World’s Trust (JUST), sebuah lembaga internasional yang bercita-cita untuk mewujudkan dunia yang adil, mengadakan sebuah Konfrensi Internasional di Kuala Lumpur yang bertajuk “Rethinking Human Rights” yang dihadiri oleh para aktivis dan pembela HAM dunia dari 60 negara termasuk Jepang, Cina, Inggris, Amerika. Di dalam konfrensi ini mereka mempertanyakan dan mengritisi makna HAM yang selama ini didominasi oleh Barat, yang pada akhirnya menyimpukan hasil konfrensinya menjadi suatu buku yang berjudul “Human’s Wrong”. Lebih lengkapnya lihat Candra Muzaffar, et.al. “Human’s Wrong; Rekor Buruk Ddominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia, Refleksi atas Dominasi Barat Secara Global atas Tafsir tentang HAM dan Dampaknya terhadap Konsepsi HAM di Dunia Ketiga”. (Yogyakarta: Pilar Media 2007). Cet. 1.

5 Contoh kasus baru-baru ini yang benar-benar telah menunjukan ketidak-berpihakan Barat terhadap HAM yang nota benenya sebagai pelopor konsepsi Hak Asasi Manusia Universal ialah, “The Root of Humiliation” seperti yang dilansir oleh Badan Pengawas Hak Asasi Dunia, Human Rights Watch (HRW), adalah pemeriksaan identitas yang dilakukan oleh Polisi Perancis terhadap warganya yang “berbeda” etnis dan ras sebagai alasan menjaga keamanan. Berita selengkapnya, beserta kasus-kasus lain yang berkaitan dengan penyelewengan terhadap HAM yang dilakukan negara-negara Barat dapat di browse di: http://www.hrw.org/ (diunduh tgl. 30-1-2012). Bukti pelanggaran ini juga dinyatakan oleh Tibor R. Machan. Dalam bukunya “Liberty and Culture: Essays on the Idea of a Free

1

Page 2: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

merisaukan adalah pasal kebebasan beragama yang didalamnya termuat kebebasan untuk berganti agama. Ini tentu saja sangat problematik apabila ditinjau dari kacamata agama. Karena dewasa ini, pasal tersebut dijadikan alat legitimasi bagi mereka yang berapostasi dari agamanya,6 disamping juga karena setiap pemeluk suatu agama tidak diperkenankan berganti agama menurut agamanya masing-masing sesuai yang ia kehendaki tanpa adanya faktor-faktor dan alasan tertentu secara pasti dan kuat yang mendukungnya.7 Selain itu, pasal tersebut juga berindikasi kepada kebebasan penafsiran agama bagi pemeluk suatu agama yang berimplikasi timbulnya sempalan-sempalan agama yang pada saat ini kerap bermunculan. Inilah alasan mengapa tinjauan ulang terhadap DUHAM mutlak diperlukan.

Semua hal diatas mengindikasikan adanya misinterpretasi dan misaplikasi dalam poin kebebasan DUHAM. Namun ini dapat dimaklumi karena bahwa kebebasan dalam HAM dipahami setelah adanya hegemoni Barat, yang bersentral pada kemanusiaan (Humanisme). Konsekuensi logis yang timbul darinya adalah, adanya anggapan bahwa seakan prinsip humanisme lebih relevan daripada agama.8 Ini menyiratkan pertanyaan yang cukup mendasar tentangnya; apakah batasan kebebasan dalam DUHAM?. Karena dalam Islam kebebasan berarti melepaskan diri dari penghambaan terhadap apapun atau siapapun, menuju penghambaan kepada Allah SWT sebab Dia-lah satu-satunya Zat yang berhak dan pantas disembah,9 selain tentunya, ada hal lain yang dapat dipahami darinya dengan batasan-batasan tertentu. Disamping itu mengingat bahwa secara filosofis, pemikiran HAM Universal yang diprakarsai oleh pandangan sekuler Barat ini10 tidak dapat dipertahankan dan memang problematik jika dihadapkan dengan persoalan lintas agama yang berada pada tiap-tiap bangsa.11 Dari itulah maka perlu adanya elaborasi pada pengertian kebebasan dan kebebasan beragama dalam

Society”, yang diterjemahkan oleh Masri Maris hasil kerjasama antara KEDUBES AS dengan Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia. Lihat Tibor R. Machan .“Kebebasan dan Kebudayaan; Gagasan Tentang Masyarakat Bebas”. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2006), hal. 63-70.

6 Abdullah Saeed dan Hassan Saeed. “Freedom of Religion, Apostasy and Islam”. (Burlington: Ashgate Publishing Company 2004), hal. 10-12.

7 Anis Malik Thoha. “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis”. (Jakarta: Perspektif 2005). Cet-1, hal. 24-40

8 Hamid Fahmi Zarkasyi. “Hak Dan Kebebasan Beragama (Dalam Perspektif Islam, DUHAM dan keindonesiaan)”. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 10 tahun Reformasi, Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia, Hotel Borobudur, Jakarta 8-11 Juli 2008, hal. 1.

9 Inilah arti dari syahadat tauhid, ”Lâ IlâHa Illa-Allâh”. Lihat Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah. Op. Cit., hal. 9

10 Panikkar Raimundo. “Is the Notion of Human Rights a Western Concept?”. Dalam Henry Steiner and Philip Alston. “International Human Rights in Contex: Law and Politics Moral”. (Oxford: Clarendon Press 1996). Ed. Kedua, hal. 209. Lihat pula di Antonio Cassese. “Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah”. Terj. Oleh A. Rahman Zaenuddin. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2005). Ed. Ke-2, hal. 71-89; seterusnya, untuk mengetahui lebih jauh mengenai persoalan-persoalan mengenai universalitas HAM lihat Anthony Bradney. “Religions, Rights and Laws”. (Leicester: Leicester University Press 1993); Jack Donnelly. “International Human Rights: Dilemmas in World Politics” (Boulder (Colorado): Westview 1998).

11 Lihat makalah Richard Falk. “ HAM dan Pola-Pola Dominasi di Barat: Cara Pandang yang Keliru dan Praktek yang Kacau”. Dalam Candra Muzaffar, et.al. Op. Cit, hal. 39—52.

2

Page 3: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

DUHAM. Makalah ini akan mencoba membahas hal tersebut beserta beberapa isu yang berkaitan dengannya pada HAM Universal dari perspektif Islam.

B. Pembahasan

1. Sejarah Konseptualisasi HAM Universal dan Syari’ah Islam

a. HAM Universal

Secara terminologis, HAM dapat dipahami sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan kekal, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.12 Selain merupakan refleksi dari eksistensi manusia,13 ia juga merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan (natural rights theory).14

HAM ini sedemikian penting sehingga perlu adanya suatu aturan khusus yang terkait guna menjamin keutuhan dan pelaksanaannya dengan baik. Wacana tentang aturan jaminan ini kemudian terealisasikan dalam suatu deklarasi yang diyakini bersifat universal tentang HAM yang selanjutnya dikenal sebagai Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal hak Asasi Manusia (DUHAM).15

Universalitas HAM dideklarasikan pada 10 Desember 1948, di Palais de Chaillot, Paris.16 Ia lahir dari pengalaman dan trauma negara-negara yang terlibat Perang Dunia II (1939-1945), secara langsung maupun tidak yang tidak menginginkan kejadian serupa terulang, dan inilah salah satu paradigma pembentuknya.17 Kemudian hal ini diakomodir oleh PBB, yang kemudian semenjak tahun 1956 meminta laporan kemajuan HAM tersebut dari negara-negara anggotanya setiap tiga tahun sekali.18 Darinya, dihasilkanlah dua

12 Biro Hukum & Humas BPKP Bagian Peraturan Perundang-undangan bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentanghak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya)”. (Jakarta, 28 Oktober 2005). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118

13 Hafid Abbas. Pengantar. Dalam Majda el-Muntaj. Op. Cit, hal. xi.

14 Lihat tentang natural righs theory versi John Locke. “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” (London: Rivington, 1824) ed. 12. Book I. Vol. 4 “Economic Writings and Two Treatises of Government [1691]”, hal. 67. Atau dilihat di http://oll.libertyfund.org/index.php?option=com_staticxt&staticfile=show.php%3Ftitle=763&layout=html#chapter_65196 (diunduh tgl 28-1-2012)

15 British Library of Congress Cataloging in Publication Data. “Humanism and Early Modern Philosophy”. Ed.by, Jill Kraye and M.W.F.Stone. (London: Taylor & Francis e-Library 2003). First ed. Preface, hal. xi

16 Susan Muaddi Darraj. “The Universal Declaration of Human Rights; Milestones in modern world history”. (Brainerd: Bang Printing 2010), hal. 88.

17 Deklarasi ini menurut Adnan Buyung Nasution tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah PD II, lihat Adnan Buyung Nasution “Kata Pengantar Edisi ke-1 dan Ke-2” dalam Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, “Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia”. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, YLBHI dan KKAA 2006), hal. xxx. Hal ini sesuai dengan pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia paragraf ke 2.

18 United Nation. “Universal Declaration of Human Rights” Microsoft ® Encarta ® 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation. All rights reserved.

3

Page 4: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

covenant (perjanjian) pada tahun 1966. Dua covenant itu meliputi Covenant Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Covenant Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), keduanya kemudian lebih umum dikenal dengan International Bill of Human Rights dimana setelahnya bermetamorfosa menjadi hukum internasional yang berkonsekuensi mengikat untuk negara anggota PBB.19

Adapun perumusan hak-hak dasar DUHAM, dilakukan oleh 8 orang sebagai tambahan dari utusan AS; Eleanor Roosevelt, istri mantan presiden Amerika F.D. Roosevelt.20 Hak-hak dasar tersebut ialah: pertama, hak-hak pribadi antara lain; hak persamaan, hak hidup, hak kebebasan, keamanan dan lainnya yang termuat di dalam pasal 3 sampai dengan pasal 11; kedua, hak-hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dimana ia ikut serta, yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 17; ketiga ialah kebebasan-kebebasan sipil dan hak-hak politik untuk memberikan kontribusi bagi pembentukan instansi-instansi pemerintahan atau ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, diatur dalam pasal 18 sampai dengan pasal 21; dan yang keempat, berkenaan dengan hak-hak ekonomi dan sosial yang diatur dalam pasal 22 sampai pasal 27.21

Secara historis kenegaraan, kronologi konseptualisasi HAM di Barat ini mengalami perbedaan filosofis yang cukup signifikan, karena HAM universal tersebut merupakan konsep yang lahir dari sebuah perjalanan sejarah yang panjang.22 Hal ini disebabkan karena paradigma pembentuk dan reaksi yang berbeda dalam perumusan HAM secara periodik.23 Masing-masing negara berbeda dalam segi nilai dan orientasi. Inggris yang pada waktu itu menekankan pembatasan pada raja berbeda dengan Amerika yang mengutamakan kebebasan individu. Begitu pula Perancis yang memprioritaskan persamaan kedudukan di muka hukum berbeda dengan Rusia yang tidak mengenal hak individu, pengakuan yang normatif hanya pada hak sosial dan kolektif.24 Dengan

19 Susan Muaddi Darraj. Op. Cit, hal 89. Pada pasal 26 Covenant Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ditegaskaskan hal tersebut. Adapun untuk isi kedua kovenan itu ihat juga Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, “Op. Cit”, hal. 144-175.

20 Eleanor Roosevelt pada waktu itu (Musim dingin) memang diminta oleh Harry Truman, Presiden pengganti suaminya Franklin Delano Roosevelt, untuk menjadi delegasi ke pertemuan internasional yang pertama PBB, diadakan di London, Inggris Januari 1946. Selengkapnya lihat Susan Muaddi Darraj. Op. Cit, hal. 7-8. Adapun kedelapan orang itu adalah: Charles Malik (Libanon), Renê Cassin (Prancis), P.C. Chang (China), John Humphrey (Kanada), William Hodgson (Australia), Geoffrey Wilson (Britania Raya), Hernân Santa Cruz (Chili), Vladimir Koretsky (Uni Sovyet). Susan Muaddi Darraj. Op. Cit, hal. 38.

21 Abdul Hakim G. Nusantara pada Kata pengantar dalam Antonio Cassesse. Op. Cit, hal xi. Juga dalam Microsoft ® Encarta. Loc. Cit. 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation. All rights reserved.

22 Majda el-Muntaj. Op. Cit, hal. 51

23 Untuk lebih lengkap mengetahui kronologi lahirnya DUHAM di peradaban Barat dalam konteks globalnya secara ringkas dapat dilihat di Majda el-Muntaj. Op. Cit, hal. 52-53. Juga A. Patra M. Zen. “Berkenalan dengan Instrumen-Instrumen Internasional dan Regional Hak Asasi Manusia” dalam Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Op. Cit, hal. 5. Atau di http://www. wikipedia/Human_Rights (diakses pada tgl. 05-02-2012).

24 Majda el-Muntaj. Ibid, hal. 53

4

Page 5: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

demikian, HAM yang lahir di tiap-tiap negara membawa ideologi dan filsafatnya masing-masing yang tidak sama antara satu dan lainnya.

b. Syari’at Islam

Islam sebagai agama merupakan sebuah konsep yang universal. Ini ditunjukkan dengan kesyumulannya dalam segala segi dan terhadap seluruh mahluk.25 Syari’at ini diturunkan oleh Sang Khaliq kepada manusia melalui perantaraan para nabi dan rasul-Nya. Dalam konteks ini, diutusnya nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, sebagai penyempurna syari’at Islam tersebut. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur`an bahwasanya Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil’âlamîn.26 artinya, maka syari’at Islam itu pun berlaku untuk seluruh alam. Inilah yang dimaksud dengan keuniversalitasan syari’at Islam.

Dalam konteksnya sebagai hukum yang terkonseptualkan, ia telah mengalami perjalanan yang cukup panjang. Adapun kronologi syari’at Islam sebagai hukum, secara singkat dapat dibagi kedalam empat fase;27 Pertama, periode Risâlah yaitu insya’` dan takwin (pertumbuhan dan pembentukan), berlangsung selama 22 tahun, sejak diutusnya sampai wafat beliau (610-632 M). Kedua, periode sahabat, yaitu periode tafsir dan takmil (penafsiran dan penyempurnaan), berlangsung selama 90 tahun, dari tahun 11 H hingga berakhirnya abad pertama Hijriah. Ketiga, periode tadwin (kodifikasi) dan Imam-imam Mujtahid, dan periode perkembangan dan pematangan berkisar 250 tahun (100- 350 H). Keempat, periode taklid dan kemunduran, dari abad pertengahan Hijriyah hingga sekarang. Yang perlu dicatat ialah bahwa dalam perjalanannya, konseptualisasi dan kodifikasi syari’at Islam selalu bersandarkan atas al-Qur`an dan as-Sunnah. Para ulama berijtihad mengoptimalkan akal mereka dalam rangka amal jâriyah dalam menderivasi nilai-nilai agung dari kedua sumber tersebut agar siapapun yang datang setelah mereka dapat mengenal agama yang mulia ini dengan harapan agar jauh dari kesesatan. Sikap tunduk inilah yang merupakan jaminan terhadap terjaganya syari’at Islam dari sejak semula sampai sekarang.28 Demikianlah perjalanan singkat konseptualisasi syari’at Islam.

Sehubungan dengannya, karena syari’at islam itu diturunkan khususnya demi kemaslahatan umat manusia, maka ia dapat mengakomodir legal philosophy atau hukum positif manapun yang sejalan dengannya dalam batasan-batasan tertentu.29 Batasan-batasan yang dimaksud adalah segala ketentuan (perintah atau larangan) yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan fitrah dan hati nurani manusia yang suci sebab

25 Yusuf Qardlawi.” Pengantar Kajian Islam, Studi Analistik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam”. Terj. Setiawan Budi Utomo. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2002). Cet. Ke-5, hal. 185-189.

26 Q.S. Al-Anbiyâ` (21): 107.

27 ‘Abdul Wahhâb al-Khallâf. “Khulâshotu at-Tasyrî’ al-Islâmiy”. (Kuwait: Daru al-Qolam tt), hal. 7-8.

28 Muhammad Ali al-Hasyimi. “Hakikat Masyarakat Muslim: Buku Masyarakat Muslim Dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah”. Terj. Muzzafar Sahidu. Makalah terbitan www.islamhouse.com. 2009, hal. 4. (diakses tgl. 28-2-2012).

29 Muhammad Imarah. “Islam dan keamanan sosial”. (Jakarta: Gema Insani 1999). Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Cet-1 ,hal. 33-36.

5

Page 6: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

alasan yang pertama, 30 karena selain merupakan akidah yang sesuai dengan fitrah manusia, ia juga merupakan undang-undang yang menjaga teraplikasikannya hak-hak, petunjuk etika bagi pelaksanaan kewajiban, aturan-aturan mu’amalah dan panduan hidup bagi seluruh umat manusia. 31 Maka ketika suatu aturan baik dalam tataran konsep (theory) maupun praktis selalu mengacu kepada prinsip-prinsip (sunnatullah) yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai hamba Allah SWT, hal yang dihasilkan darinya adalah sesuatu yang pasti baik, benar dan sesuai dengan pandangan manusia (maslahat). Pada tataran inilah ketika seorang manusia menjalankan suatu aturan, maka ia harus senantiasa menjaga tujuan ditetapkannya aturan tersebut. Tujuan penetapan inilah yang dalam syari’at Islam yang disebut maqashid syari’ah, yang bertendensi untuk menjaga kemaslahatan umat manusia seluruhnya sebagai hamba-Nya. Itulah alasan mengapa ia dapat mengakomodir hukum-hukum lain dengan batasan-batasan yang dimaksud.

Dalam memahami maqashid syari’ah, tentu saja pemaknaan tentangnya harus menjadi bahasan pendahuluan. Secara terminologi, menurut Ibnu Asyûr yang dimaksud dengan maqashid syari’ah adalah, “Segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum yang disyariatkan pada keseluruhannya atau sebahagian besarnya”.32 Adapun menurut Dr. Wahbah Zuhaili berarti “illah-‘illah yang terkandung dalam penyari’atan hukum Islam.”33 Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid syari’ah ialah maksud-maksud dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam syari’at Islam. Maka maqashid syari’ah yang mencakup 3 hal pokok; adh-dharûriyyah, al-hâjjiyyah dan at-tahsîniyyah34 ini, di dalamnya telah terkandung asas-asas yang mencakup fitrah, kebebasan, toleransi, egalitarisme, dan hak asasi manusia. Dengan demikian maka, konsep maqashid syari’ah dalam Islam sudah komprehensif tanpa diperlukan adanya penafsiran-penafsiran tertentu atasnya yang keluar dari kerangka dan kaidah yang telah ditetapkan.

2. Batasan Kebebasan dalam HAM Universal dan Islam

Ada perbedaan mendasar pada pemaknaan kebebasan di Barat dan Islam. Menurut pandangan hidup (worldview) Barat yang menjadi dasar poin kebebasan HAM universal ini, prinsip humanisme-sekuler dan rasionalisme-dualisme dalam memandang realitas begitu kental.35 Konsekuensi logis yang timbul darinya terhadap aplikasi kebebasan tersebut bersifat antroposentris,

30 Yusuf Qardlawi.Op. Cit, hal. 141.

31 Mannâ’ Qatthân. “Târîkh at-Tasyrî’ al-Islâmiy”. (Riyadh: Maktabah Ma’ârif 1996). Cet-2, hal. 13.

32 Mohammad al-Tahir al-Misawi. “Ibn Asyur wa Kitabuhu Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah”. (Kuala Lumpur: al-Basyâir li al-Intâj al-‘Ilmi, 1998), hal. 171

33 ‘Illah disini berarti sebab atau hikmah, lihat Ibnu Mandzur. “Lisânu al-‘Arab” (Kairo: Dâru al-Hadîts 2003) Jilid-6, hal. 468. Sedangkan pengertian maqâshid as-Syarî’ah lihat di Wahbah al-Zuhaili. “Usûl al-Fiqh al-Islâmiy”. (Dimasyq: Dar al-Fikr 1986). Jilid-1, hal. 646

34 Abu Ishaq Asy-Syâthibiy. “Almuwâfaqât Fî Ushûli as-Syari’at”. (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah 2005) Jilid-2, hal.7.

35 Nirwan Syafrin. “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam” dalam jurnal Tsaqafah, vol. 4. No 2. R. Tsani 1429, hal. 295. Lihat juga Hamid Fahmi Zarkasyi. “Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis)”. (Ponorogo: Central for Islamic and Occidental Studies (CIOS) 2009). Cet-2, hal. 11

6

Page 7: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

yang menjadikan manusia sebagai sumber nilai serta ukuran kebenaran dan kebaikan yang sekaligus menegasikan agama dari ranah publik. Ini berarti, bahwa batasan tersebut bersifat relatif, tergantung pada penafsiran individu dalam memahami kebebasan yang dimaksud. Bahkan dalam tataran praktis, kebebasan ini termanifestasikan dalam bentuk kesepakatan (konsensus) publik.36 Hasilnya, asas kebebasan tersebut seakan tanpa batas, dengan dalih asalkan orang lain tidak terganggu.

Bahkan Thomas W Patrick dalam bukunya Introduction to Philosophy, memaknai kebebasan sebagai ketiadaan paksaan, kewajiban atau beban bersifat eksternal yang membatasi diri.37 Ini berarti bahwa kebebasan adalah free from restrain atau bebas dari segala pengekangan, dengan kata lain kebebasan mutlak. Sebab itulah perkembangan pemikiran di Barat hanya berdasarkan pada rasio dan spekulasi filosofis yang bersifat terbuka dan selalu berubah (tanpa finalitas), dan pada akhirnya memandang kehidupan yang didalamnya terdapat nilai kebenaran sebatas kecocokannya dengan realitas sosial, kultural, empiris dan rasional.38Bahkan di Barat, institusi yang terbesar dalam sebuah negara yaitu pemerintahan pun harus menjamin dihormatinya kebebasan internal seseorang tanpa mencampurinya.39 Inilah batasan kebebasan yang menjadi dasar DUHAM.

Lain halnya dengan Islam, wahyu Allah SWT yang terimplentasikan dalam bentuk agama inilah yang menjadi dasar bagi pemaknaan kebebasan.40 Al- Buthi Dalam bukunya Hurriyatu-L-Insan Fi Zhilli ‘Ubudiyatihi Lillahi memaknai kebebasan (al-Huriyyah) dengan istilah at-Tansîq, yang berarti bahwa seseorang mengatur pembebasan diri dari hal-hal yang membatasinya secara eksternal maupun internal.41 Pengaturan itu menurut Shabir Ahmad ‘Abdul Baqi merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dimana manusia bebas melakukan apa yang ia mau dan ia sukai dengan syarat memelihara perbuatannya dari hak-hak Allah, Agama, dan orang lain- dimana kebebasan ini tidak melampaui batasan kebebasan orang lain.42 Maka batasan asas kebebasan dalam Islam, bukan hanya atas pandangan dan penilaian manusia tentang kebaikan atau keburukan semata, akan tetapi lebih jauh dari itu, merupakan sebuah nilai agung yang diderivasi dari konteks kewahyuan. Ini berarti bahwa keterbatasan akal manusia dalam mencapai makna kebebasan tersebut adalah mutlak dan karena itu, harus selalu berpegang teguh pada hukum Allah SWT dengan proses mencari yang terbaik (ikhtiar).43 Hal ini dapat dipahami karena al-Qur`an dan sunnah nabi-Nya SAW yang termanifestasikan dalam syari’at

36 Hamid Fahmi Zarkasyi. Ibid, hal. 14.

37 George Thomas W Patrick. “Introduction to Philosophy”. (London: Ruskin House, George Allen & Unwin Ltd tt), hal. 304

38 Hamid Fahmi Zarkasyi. Op. Cit, hal. 11

39 Tibor R. Machan. Op. Cit, hal. 60-61.

40 Lihat Tri Wahyu Hidayati. “Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama?: Perspektif Hukum Islam dan HAM”. (Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JPBOOKS, 2008), hal. 108-109.

41 Muhammad Sa’id Ramadhan al-buti. “Hurriyatu-L-Insan Fi Zhilli ‘Ubudiyatihi Lillahi”. (Daar-el FIkr), hal. 22

42 Lih: Artikel ditulis oleh: Dr. Shabir Ahmad ‘Abdul Baqi. “Al-Hurriyah Baina Alfawdha Wa Al-Iltizam”, hal. 1

7

Page 8: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Islam yang konseptualisasinya dari sang Nabi SAW sendiri melalui perantaraan pewarisnya yaitu ulama, memang bertujuan agar menjadi bimbingan bagi manusia dalam proses ikhtiar yang dimaksud, selain bahwa, syari’at Islam itu sudah mencakup seluruh tata nilai kehidupan umat manusia yang didalamnya juga terdapat nilai kebebasan yang suci. Maka dalam Islam, ulul amri berhak mengatur kebebasan intern seseorang demi kemaslahatan umum. Singkat kata, batasan kebebasan dalam Islam adalah syari’at Islam berdasarkan wahyu yang menjadi panduan kehidupan bagi seluruh umat manusia.

3. Makna Kebebasan Beragama DUHAM dalam Islam

Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui baik secara hukum internasional maupun Islam. Ini terbukti dalam kovenan-kovenan internasional khususnya DUHAM yang didalamnya diatur mengenai hal tersebut. Begitupun dalam Islam, ia mendapat jaminan dari al-Qur`an sebagai sumber hukumnya. Itulah mengapa, kebebasan beragama menjadi salah-satu hak yang paling asasi bagi manusia.

Walaupun demikian, interpretasi HAM Universal dan Islam tentang kebebasan beragama sangatlah bertolak belakang. Ini disebabkan karena menurut yang pertama, kebebasan beragama dipahami hanya dalam konteks humanisme-sekuler. Hal itu dibuktikan dengan pasal 18 DUHAM yang memuat rumusan kebebasan beragama. Pasal 18 DUHAM:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” 44

Darinya dapat dipahami bahwa kebebasan beragama dalam DUHAM lebih menekankan pada ranah privat yang berindikasi timbulnya relativisme pemahaman, karena ukuran kebaikan dan tidaknya sesuatu adalah manusia dengan akalnya. Sehingga konsekuensi yang timbul selain kebebasan dalam berganti agama adalah deviasi dari kaidah-kaidah yang mapan yang melahirkan penafsiran yang bebas tentang agama. Disinilah letak ketidak-cocokkan tersebut.

Selain itu, tendensi dari perumusan pasal diatas ialah agar terciptanya kerukunan internasional dengan mengatur kebebasan agama yang disini berarti keimanan.45 Ini didasari pandangan bahwa keimanan adalah satu-satunya hal yang paling berpotensi dalam menimbulkan konflik baik dalam skala kecil; antara teman, keluarga, lingkungan/ daerah tempat tinggal, sampai skala besar; antara provinsi, negara bagian, negara bilateral atau multilateral.46 Hal tersebut

43 Hamid Fahmi Zarkasyi. “Hak Dan Kebebasan Beragama...”. Loc. Cit, hal. 6.

44 Lihat isi Deklarasi Universal HAM PBB, Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Op. Cit, hal. 141.

45 Harvey Cox dalam Anis Malik Thoha. Op. Cit, hal.67.

46 Charles Kimball menyatakan hal ini bahkan pada pendahuluan di bukunya “When Religion Becomes Evil” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Ketika Agama Jadi Bencana”. Terj. Nurhadi. (Bandung: Mizan 2003). Cet. I, hal. 31.

8

Page 9: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

tentu ada benarnya, namun lagi-lagi paradigma yang dipakai adalah humanisme semata. Sekularisme yang merupakan ideologi Barat tak ketinggalan dalam hal ini; karena dalam paham sekularisme, moralitas tak perlu didasarkan pada ajaran agama.47 Dalam bahasa sosial dapat dipahami bahwa kehidupan seseorang secara individu atau kelompok dalam ranah sosial terlebih bernegara tidak perlu disangkut-pautkan dengan nilai-nilai dan ajaran agama. Lebih jauh lagi, melihat bagaimana sejarah keagamaan di Barat yang berkaitan erat dengan sejarah tradisi pemikirannya yang mereduksi makna tuhan menjadi semangat kebangsaan dan hanya merupakan akal kolektif, maka disana kebebasan beragama juga dimaknai dengan bebasnya seseorang untuk beragama dan tidak beragama (atheist).48 Inilah makna kebebasan beragama di Barat yang sesungguhnya.

Adapun dalam pandangan Islam, kebebasan beragama tidaklah demikian, namun ia dapat dimaknai melalui tiga definisi yang bisa diderivasi dari terma tersebut :49

a. Kebebasan Memeluk Agama

Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agama yang diyakini tanpa ada ancaman dan tekanan dalam bentuk apapun. Tidak ada paksaan bagi non Muslim untuk memeluk Islam, seperti ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2), Yunus (10): 99, al-Kahfi (18): 29 dan al-Kâfirûn (109): 6. Sama halnya dengan kepapaan dan ketidak-tahuan, kondisi minoritas pemeluk agama lain dan perkara dalam rumah-tangga dilarang menjadi alasan atau dasar dalam menyiarkan agama yang mulia ini. Semua ini dijamin dalam teks-teks terdahulu (al-Qur`an dan as-Sunnah) yang secara konseptualnya dalam Deklarasi Cairo (1990) pada pasal 10 yang berbunyi:

“Islam adalah agama fitrah. Tidak ada paksaan yang diperbolehkan terhadap siapapun. Adalah terlarang untuk melakukan setiap bentuk tekanan pada manusia atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohannya demi memaksa dia untuk berganti agama dengan agama lain atau menjadi atheis.”50

dan pada pasal 18a yang berbunyi:

“Setiap orang mempunyai hak keamanan untuk menjaga dirinya, agamanya, keluarganya, kehormatannya dan hak miliknya.”51

Hal senada juga termaktub dalam Deklarasi Islam Universal HAM (1981) pada pasal X-a tentang Hak Minoritas:

47 Diterjemahkan melalui, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Offline versi 1.3. diunduh dari http://ebsoft.web.id. Seperti dikutip Adian Husaini. “Wajah Peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal”. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Cet- 1, hal. 269.

48 Hamid Fahmi Zarkasyi. ““Liberalisasi Pemikiran Islam...”, hal. 34-39.

49 Hamid Fahmi Zarkasyi. “Hak Dan Kebebasan Beragama...”Loc. Cit, hal. 7

50 http:/www.wikipedia/Cairo_Declaration_on_Human_Rights_in_Islam.htm. (diakses tgl. 11-02-2-12)

51 Ibid

9

Page 10: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

“Sesuai dengan prinsip al-Qur`an yang menyatakan: “Bahwasanya tidak ada paksaan dalam agama”, maka akan diterapkan pada aturan keberagamaan bagi kaum minoritas non-Muslim.”52

pasal XIII tentang Hak Kebebasan Beragama:

“Setiap orang mempunyai hak kebebasan hati-nurani dan beribadah sesuai dengan keyakinan agama dan kepercayaannya.” 53

dan pasal XIX-a tentang Hak Berumah-tangga dan Hal-hal yang Terkait Dengannya:

“Setiap orang berhak untuk menikah, untuk membentuk keluarga (rumah tangga) dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan agama yang dipeluknya beserta tradisi dan kebudayaan yang diyakininya. Masing-masing dari pasangan mempunyai hak dan keistimewaan tersebut sekaligus bertanggungjawab sebagaimana yang ditetapkan oleh aturan yang berlaku.”54

Hak-hak diatas mendapat jaminan dalam Islam karena pasal-pasal yang terkandung di dalam dua deklarasi tersebut, sekali lagi, diderivasi dari prinsip-prinsip al-Qur`an dan as-Sunnah yang merupakan pokok pegangan hidup umat Islam.55

b. Kebebasan Berganti Agama

Apabila seseorang telah menjadi Muslim baik sejak lahir ataupun karena konversi, maka ia tidak diperkenankan sebebasnya berganti agama. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 217, Ali ‘Imrân (3): 85, an-Nisâ` (4): 137 dan, ditegaskan oleh sabda Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dalam Shahîhnya pada hadits no. 285456 bahwa apabila seorang muslim mengganti agamanya, maka berarti ia telah menghalalkan sendiri darahnya,57 setelah diperingatkan untuk bertobat

52 www.al-bab.com/islamic_declaration.htm. (diakses tgl. 11-02-2-12)

53 Ibid

54 Ibid

55 Hal ini dinyatakan pada foreword (prakata) di Deklarasi tersebut. Lihat “Universal Islamic Declaration of Human Rights” 19 September 1981/21 Dhul Qaidah 1401. Ibid.

56 Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhâri al-Ja’fi. “al-Jâmi’ ash-Shohîh al- Mukhtashar”. (Beirut: Dâru Ibnu Katsir 1987). Di tahqîq oleh: Musthafa daib al-Baghâ. Cet.-3. Juz 6, hal. 2521. Juga pada Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrânya pada hadist no. 16597, 16635, 16637, 16654 dan 17841; Imam an-Nasâ`i dalam as-Sunan al-Kubrânya pada hadist no. 3522-3528 dengan beberapa perbedaan minor pada sanad dan matannya; Imam Abu dawud pada hadist no. 4351; Imam ibnu Mâjjah no. 2535; Imam at-Tirmidzy pada hadist no. 1458 semua pada Sunannya; sedangkan Imam ibnu Hibban pada hadist no. 4475 dan 4476

57 Adapun redaksi hadits tersebut:

ا ي ن عل رمة أ وب عن عك ي ان عن أ في ا س ن ه حدث د الل ن عب ا علي ب ن “حدثن قهم أل ر) ح(( م أ ا ل ن ت أ ن و ك :ل اس1 فقال ن عب غ اب ل ق قوم4ا فب ه حر ه عن ضي الل رال ا ق(( م(( هم ك ت ل قت ه ول ذاب الل(( ع(( وا ب ذ)ب ع(( ال ال ت م ق(( ل ه وس ي ه عل ي صلى الل ب الن

وه” ل ه فاقت دل دين م من ب ل ه وس ي ه عل ي صلى الل ب الن“Telah berkata kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah, telah berkata kepada kami Sufyan dari Ayyub

dari ‘Ikrimah bahwa ‘Ali r.a membakar suatu kaum. Hal ini terdengar oleh Ibnu ‘Abbas yang kemudian

10

Page 11: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

kemudian tidak mengindahkan peringatan tersebut, terlebih jika sampai terang-terangan menyatakan bahwa ia berpindah agama dan memusuhi umat Islam.58 Ayat-ayat dan hadits di atas merupakan dalil yang jelas yang menunjukan larangan berganti agama.

Ini berarti bahwa kebebasan berganti agama tidak diterima dalam Islam, bahkan hal itu merupakan dosa besar dan suatu bentuk kekufuran yang paling buruk. Bahkan kufur setelah Islam lebih buruk dari pada kufur yang asli.59 Darinya dapat dipahami bahwa agama tidak boleh dipermainkan karena menyangkut keyakinan, dimana banyak orang rela kehilangan nyawa demi mempertahankannya, selain hal ini juga dapat menimbulkan keraguan di kalangan kaum muslimin sendiri terhadap seorang Muslim yang berganti agama. Implikasi logis dari paham ini adalah putusnya tali silaturrahim diantara dia dengan saudara-saudaranya, kerabat, bahkan orang tua, dan dengan pandangan masyarakat terhadapnya, hal ini semakin menambah deretan tekanan bagi batin yang bersangkutan. Belum lagi, apabila ia begitu mudah menerimanya, maka hal ini merupakan gejala kurang sehatnya nalar, karena suatu keyakinan –dalam konteks ini iman (agama)- yang sudah mengakar dalam jiwa tidak begitu saja dapat berubah dengan mudahnya.60 Itulah alasan mengapa dalam Islam kebebasan beragama tidak dapat diterima.

Sedikit mengkaji dalam konteks lebih luas tentang kebebasan berganti agama, bukan hanya dalam Islam, ternyata isu ini juga tidak diterima oleh agama-agama besar dunia. Hal ini didukung oleh tiap-tiap agama dalam konsep Theological (teologis), the Divine Chosennes (keterpilihan) dan Salvation (keselamatan).61 Berikut fakta singkat dari ajaran beberapa agama yang menolak ide kebebasan ini:

Bagi kaum Yahudi Talmudik (senantiasa berpegang teguh pada kitab yang diyakini Talmud), mereka menyebut kaum diluar mereka (baik yang asli maupun konversi), beriman (pada agama yang dianutnya) atau tidak sebagai “gentiles” yang artinya, kedudukan seseorang yang tidak lebih dari hewan dan harus didepopulasi. 62 Anggapan ini erat hubungannya dengan keyakinan “keterpilihan” kaum mereka atas yang lain. Adapun Kristen yang

berkata: “Kalau aku, aku tidak membakarnya, karena Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah. (Namun) aku akan tetap membunuh mereka sesuai sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam: Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ””

58 Hadist di atas lebih bertumpu kepada berpindahnya loyalitas seorang Muslim dari jamaah Muslim kepada kaum Kafir apabila ia murtad, dimana dikala itu kaum muslimin masih minoritas dan dalam situasi perang, sehingga orang-orang murtad bisa sangat membahayakan karena akan membocorkan rahasia-rahasia jamaahnya (Muslim) terhadap kaum kafir. Lihat Ahmad ibnu ‘Ali ib Hajar Abu al- Fâdlil al-‘Atsqalani as-Syafi’i. “Fathu al-Bâriy: Syarhu Shohîh al-Bukhari”(Beirut: Dâru al-Ma’rifah 1379). Juz. 12. Hal. 269 (al-Maktabah asy-Syâmilah)

59 Yusuf Al Qardhawy. “Fiqh Prioritas; Sebuah kajian Baru Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah”. Terj. Bahruddin F. (Jakarta: Rabbani Press, 1999), hal. 188

60 Hal ini berdasarkan penelitian di Amerika yang kemudian dikutip oleh Heinz Streib & Constantin Klein. Lihat Heinz Streib & Constantin Klein. “Atheists, Agnostics, and Apostates (Chapter draft for the APA Handbook of Psychology, Religion and Spirituality)”, hal. 12-14.

61 Anis Malik Thoha. Op. Cit, hal. 26

11

Page 12: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

berkonsep “keselamatan” dan “keterpilihan” meng-klaim dalam konsili Nicea pertamanya pada tahun 325, bahwa tidak ada keselamatan diluar gereja dan Kristus (Extra Ecclesiam nulla salus Christi),63 hal ini disebabkan ayat yang menyatakan; Kata Yesus kepadanya, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”64 Klaim ini mengakibatkan siapapun diluar mereka dianggap heresy,65 yang pada sejarahnya terjadi inkuisisi. Selanjutnya dalam agama Budha dikenal dengan adanya istilah enlightenment (pencerahan), yang berindikasi bahwa siapapun yang menginginkan keselamatan dan mencapai nirvana pada dirinya haruslah mengalami pencerahan ini melalui jalan tengah “the Middle Path” yang hanya ada pada agama Budha. Mereka memandang jalan tengah ini sebagai pedoman hidup yang bersifat universal dan dapat diterima oleh semua orang.66 Lain halnya dengan Hindu, jalan keselamatan ialah ketika menyatunya ruh dengan Brahma, demikian ini menurut mereka hanyalah jalan yang dimiliki oleh Brahma sendiri, itu berarti bahwa siapapun yang ingin selamat, maka haruslah mengikuti ajaran Hindu.67 Jadi kebebasan agama ini bukan hanya problematik dalam pandangan Islam, namun juga pada agama-agama lain.

c. Kebebasan Menafsirkan Agama

Islam memberi kebebasan kepada Muslim untuk menjalankan agamanya sepanjang tidak keluar dari kaidah-kaidah yang tetap (al-ma’lûm

62 “Gentiles” adalah sebutan bagi mereka yang keluar dari bangsa Yahudi, dan ini merupakan hinaan yang bermaksud merendahkan martabat seorang manusia diluar agama mereka dengan menyamakannya dengan hewan bahkan lebih rendah lagi, karena dianggap kotor dan tidak berharga. David Vaughan Icke, seorang penulis dan orator kenamaan berkebangsaan Inggris yang telah menulis banyak buku yang salah satunya berjudul "...and the truth shall set you free", Bridge of Love Press, Cambridge, September 1995. Beberapa kutipan penting didalamnya dirangkum oleh Will Offley dalam “David Icke And The Politics Of Madness Where The New Age Meets The Third Reich”, di karyanya tersebut ia mengutip bahwa, "The Talmud, the Jewish book of law, contains among other little gems, the following: "Just the Jews are humans, the non-Jews are no humans, but cattle" (Kerithuth 6b, page 78, Jebhammoth 61a); "The non-Jews have been created to serve the Jews as Slaves" (Midrasch Talpioth 225); "Sexual intercourse with non-Jews is like sexual intercourse with animals" (Kethuboth 3b); "The non-Jews have to be avoided, even more than sick pigs" (Orach Chaiim, 57, 6a); "The birth rate of non-Jews has to be suppressed massively" (Zohar II, 4b); "As you replace lost cows and donkeys, so you shall replace non-Jews" (Lore Dea 377,1). And so it goes on and on. So how often do the "anti-racist" protesters demonstrate outside Talmudic events. Never. Exactly", hal. 136. Lihat: http://www.publiceye.org/Icke/Ickequotes.htm

63 Lihat Adian Husaini. Op. Cit, hal. 49.

64 Teks Yohanes 14:6. http://www.bit.net.id/SABDA-Web/Yoh/T_Yoh14.htm (diunduh dari internet tgl 13-2-2012)

65 Heresy bermakna bid’ah, Adian Husaini. Op. Cit, hal 49.

66 Upa Sasanasena Seng Hansen. “Ikhtisar Ajaran Buddha; Basic Buddism, What Should We Know About Buddhism”. (Yogyakarta: Insight 2008). Cet. Ke-2, hal. 12

67 Bhagavad Gita. Bab 4. Ayat 11. Tentang “Mencapai Kebenaran Hakiki” asli dari terjemahan ayat tersebut; “They who, in whatever way take refuge in me, them I reward. Men everywhere son of Pritha, follow My Path” juga "Whether one is without desire or is desirous of all fruitive results, or is after liberation, one should with all efforts try to worship the Supreme Personality of Godhead for complete perfection, culminating in Krishna consciousness." Disini dapat dipahami bahwa Krisna, seorang Kepala Dewa mengajak siapapun untuk menuju keselamatan dengan melalui jalannya. Lihat di Winthrop Sargeant. “The Bhagavad Gita, English and Sanskrit- Foreward”. (Albany: State University of New York 1984). Foreward ix. Foreward oleh Swami Samatananda.

12

Page 13: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

bidl-dlorûrah) dalam akidah dan syari’ah,68 termasuk pemahaman tentangnya. Ini wajib karena Islam bukan hanya agama yang berdasarkan konsensus pada tataran tsawâbit, bukan pula agama yang hanya berdasarkan rasio. Islam merupakan agama wahyu yang langsung dari Allah SWT, sehingga batasan-batasan dan kaidah-kaidah didalamnya juga merupakan sesuatu yang ‘taken for granted’ melalui lisan rasul-Nya yang mulia. Inilah batasan kebebasan pemahaman agama dalam Islam.

Perihal menafsirkan agama, Islam menetapkan standar baku yang tidak bisa ditawar lagi yaitu ijtihad, yang berarti bahwa tidak bebas mutlak. Dalam ijtihad, seorang mujtahid mempunyai kriteria tertentu sekaligus tanggungjawab moral terhadap ummat,69 oleh karenanya, ia tidak lantas sembarangan dalam mensarikan dan menginterpretasikan sebuah hukum atau kaidah agama sehingga sampai pada kesalahan penafsiran yang berujung pada penyimpangan nilai. Kriteria tersebut berarti seorang mujtahid mempunyai kapasitas, kapabilitas, kredibilitas dan otoritas dalam ilmu yang berkaitan, ini bermakna bahwa tidak akan diterima pernyataan seseorang tentang perkara ijtihad apabila karena ia tidak memahami betul kerangka dan konsep dasar dalam berijtihad.70 Yang tak kalah penting ialah kehati-hatian dan ketelitian dalam konteks tunduk pada metodologi yang melingkupinya serta siap mempertanggung-jawabkannya baik di dunia maupun di akhirat kelak.71 Ini semua menunjukan bahwa hak untuk menafsirkan agama bagi Muslim terhadap agamanya tidaklah bebas mutlak.

Dalam bukunya ‘Ijtihad, antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial’, Ahmad al-Raysuni menegaskan bahwa ijtihad adalah amanat dari Allah SWT kepada manusia, dan merupakan amanat yang tertinggi derajatnya. Hal ini karena ia sebuah tradisi yang membutuhkan akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar.72 Pemikiran dan penalaran ini sejalan dengan perintah Allah SWT yang tertuang dalam Al-Qur`an agar umat manusia menggunakan akalnya untuk selalu berpikir dalam mencari al-Haqq.73 Namun dari sini dapat dipahami bahwa ada metodologi khusus dalam prosesi ijtihad, yang mana akal saja tidak cukup dalam menginterpretasikan ayat-ayat-Nya. Sikap tunduk dan rendah hati dihadapan wahyu Allah SWT dalam proses ijtihad merupakan hal yang wajib bagi setiap mujtahid sehingga kebenaran dapat diraih.74 Ini merupakan adab (interaksi) seseorang terhadap ilmu yang tidak boleh disepelekan, bahkan para sahabat, tâbi’un dan tâbi’ut tâbi’în radliyaLâhu ‘anhumpun, apabila ada diantara mereka yang tidak memahami suatu perkara dalam agama, mereka tidak segan untuk bertanya kepada yang dianggap mampu dan lebih tahu dalam perkara tersebut. Hal ini

68 Hamid Fahmi Zarkasyi. “Hak Dan Kebebasan Beragama...”Loc. Cit, hal. 7.

69 Yusuf Qardlawi. “Al-Ijtihâd fî as-Syarî’ah al-Islâmiyyah”. Makalah, hal. 20. www.al-mostafa.com (diakses tgl. 03-01-2012)

70 Ahmad Raysuni dan Jamal Barut. "Ijtihad: antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial". terj. Ibnu Rusydi-HAyyin Muhdzar. (Jakarta: Erlangga 2002), hal. 6.

71 al-Isrâ` (17) : 36

72 Ahmad Raysuni dan Jamal Barut. Op. Cit, hal. 5.

73 Q.S. Az-Zumâr (39):18

74 Yusuf Qardlawi. “Al-Ijtihâd... hal. 93.

13

Page 14: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

sangat mereka jaga agar senantiasa jauh dari kesesatan. Semua perintah yang berkenaan dengan hal ini dapat di Firman Allah SWT tersebut dapat ditemukan pada surat al-A’râf (7): 33, an-Nahl (16): 43 dan an-Nisâ` (4): 83. Inilah yang dimaksud dengan amanat tertinggi.

Begitulah makna kebebasan beragama dalam Islam. Semua hal diatas diatur dengan harmonis dalam Islam agar seorang Muslim tidak sebebasnya dalam memahami Islam yang sangat mungkin sekali berujung pada penodaan terhadap agamanya.75 Hak Asasi Manusia yang merupakan pemberian dari Allah SWT adalah peryataan-Nya bahwa manusia mendapat keistimewaan berupa kemulyaan.76 Namun yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa dalam Islam, hak selalu bergandengan dengan kewajiban dan tanggung-jawab, karena tidak ada hak yang sapat dikatakan seimbang tanpa disertai kewajiban.77 Maka tidak ada alasan untuk memaknai hak kebebasan beragama ini tanpa ada batasan-batasan yang mengaturnya sehingga mengurangi kemulyaannya sebagai Muslim.

Darinya, fakta bahwa Islam mengakui kebebasan dalam beragama namun kemudian juga memberi aturan-aturan terkait adalah demi kemaslahatan Muslim khususnya dan manusia umumnya. Demikian dalam suatu negara apabila ia menerapkan syari’at Islam sebagai dasar hukumnya, maka semua aturan-aturan itu dipegang oleh seorang pemimpin ummat sebagai wakil Allah SWT di bumi. Ia berhak sekaligus berkewajiban mengatur segala perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum karena merupakan landasan kemanusiaan (at-taklîf).78 Maka penerapan aturan tersebut adalah suatu hal yang sesuai dengan setiap ruang dan waktu.

C.Kesimpulan

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa poin kebebasan beragama yang terkandung pada DUHAM problematik. Bukan hanya dalam Islam, namun juga dalam ajaran agama-agama dunia yang telah mapan dan telah berabad-abad lalu muncul. Dicantumkannya poin ini pada pasal 18 Duham, nampaknya merupakan suatu bentuk lain dari upaya sekularisasi Barat dalam pembatasan keberagamaan agar nilai-nilai agama diterapkan hanya dalam wilayah individu (private-area), tanpa memungkinkan untuk diterapkan pada ranah sosial.

Dalam memaknai kebebasan beragama dalam DUHAM, seorang Muslim hendaknya lebih mengedepankan cara pandang (worldview) Islam. Kesalahan menerapkan cara pandang ini akan mengakibatkan ketidak-syumulan

75 Hal ini dijelaskan secara lugas oleh Adian Husaini dalam: artikel_republika.co.id. Lihat Adian Husaini “Relativisme Dan Penodaan Agama”. Kamis, 11 Maret 2010 pukul 15:14:00 (diakses tgl. 28-03-1431)

76 Q.S. al-Isrâ` (17): 70

77 Makalah Richard Falk. “ HAM dan Pola-Pola Dominasi di Barat: Cara Pandang yang Keliru dan Praktek yang Kacau”. Dalam Candra Muzaffar, et.al. Op. Cit, hal. 43.

78 Dalam hal ini berlaku kaidah ushul al-Fiqh: “Segala tindakan seorang pemimpin akan ummat harus berlandaskan atas kemaslahatan ummat”. Lebih jauh lagi lihat Ismail Raji al-Faruqi. “Tawhîd: Its Implications for Thought and Life”. (Herndon: The International Institute of Islamic Thought 1982). No. 4, hal. 13.

14

Page 15: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

(Komprehensifitas) pemahaman terhadap wacana kebebasan ini dalam perspektif Islam, selanjutnya yang kemudian terjadi ialah tradisi dan worldview Barat-lah yang akan menghegemoni. Darinya, tentu saja hak yang dimaksud tidak dapat diterima bagi umat Islam secara khusus dan memang layak adanya interpretasi ulang, kecuali mungkin bagi mereka yang tidak ikhlas hatinya dalam beragama.

Daftar Pustaka

Buku

Al-Qur`ân al-Karîm

Al-Maktabah Asy-Syâmilah.

Al-‘Âlamiyah. Jâmi’ah al-Madînah. “Hukûku al-Insân fî al-Islâm”. (Madinah: Jâmi’ah al-Madînah al-‘Âlamiyah 2009).

Al-‘Arobiyyah. Jumhûriyyah Misra. “al-Mu’jam al-Wasith,” (Mesir: Maktabah as-Syurûq ad-Dauliyyah). cet.-4.

15

Page 16: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Al-buti. Muhammad Sa’id Ramadhan. “Hurriyatu-L-Insan Fi Zhilli ‘Ubudiyatihi Lillahi” (Daar-el Fikr).

Al-Faruqi. Ismail Raji. “Tawhîd: Its Implications for Thought and Life”. (Herndon: The International Institute of Islamic Thought 1982). No. 4

Al-Ja’fi. Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah al-Bukhâri. “al-Jâmi’ ash-Shohîh al- Mukhtashar”. (Beirut: Dâru Ibnu Katsir 1987). Cet.-3. Juz 6.

al-Khallâf. ‘Abdul Wahhâb. “Khulâshotu at-Tasyrî’ al-Islâmiy”. (Kuwait: Daru al-Qolam tt).

Al-Misawi. Mohammad al-Tahir. “Ibn Asyur wa Kitabuhu Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah”. (Kuala Lumpur: al-Basyâir li al-Intâj al-‘Ilmi, 1998).

Al-Qardhawy. Yusuf. “Fiqh Prioritas; Sebuah kajian Baru Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah”, diterjemahkan oleh Bahruddin F. (Jakarta: Rabbani Press, 1999).

Al-Qardhawy. Yusuf.” Pengantar Kajian Islam, Studi Analistik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam”. Terj. Setiawan Budi Utomo. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2002). Cet. Ke-5.

Al-Zuhaili. Wahbah. “Usûl al-Fiqh al-Islâmiy”. (Dimasyq: Dar al-Fikr 1986). Jilid-1.

As-Syafi’i. Ahmad ibnu ‘Ali ib Hajar Abu al- Fâdlil al-‘Atsqalani. “Fathu al-Bâriy: Syarhu Shohîh al-Bukhari”(Beirut: Dâru al-Ma’rifah 1379). Juz. 12.

Asy-Syâthibiy. Abu Ishaq. “Almuwâfaqât Fî Ushûli as-Syari’at”. (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah 2005) Jilid-2.

Baki. Rohi Ba’al. “al-Mawrid; a Modern English-Arabic Dictionary”. (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin 1995). Cet-7.

Bradney. Anthony. “Religions, Rights and Laws”. (Leicester: Leicester University Press 1993); Jack Donnelly. “International Human Rights: Dilemmas in World Politics” (Boulder (Colorado): Westview 1998).

British Library of Congress Cataloging in Publication Data. “Humanism and Early Modern Philosophy”. Ed.by, Jill Kraye and M.W.F.Stone. (London: Taylor & Francis e-Library 2003). Ed-I.

Cassese. Antonio. “Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah”. Terj. Oleh A. Rahman Zaenuddin. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2005). Ed. Ke-2.

Darraj. Susan Muaddi. “The Universal Declaration of Human Rights; Milestones in modern world history”. (Brainerd: Bang Printing 2010).

El-Muntaj. Majda. ”Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002”. (Jakarta: Kencana Prenada Media 2009). Ed. Pertama. Cet- ke 3.

Hansen. Upa Sasanasena Seng. “Ikhtisar Ajaran Buddha; Basic Buddism, What Should We Know About Buddhism”. (Yogyakarta: Insight 2008). Cet. Ke-2.

Hidayati. Tri Wahyu. “Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama?: Perspektif Hukum Islam dan HAM”. (Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JPBOOKS, 2008).

16

Page 17: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Husaini. Adian. “Wajah Peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal”. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Cet- 1.

Imarah. Muhammad. “Islam dan keamanan sosial”. (Jakarta: Gema Insani 1999). Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Cet-1.

Kimball. Charles. “Ketika Agama Jadi Bencana”. Terj. Nurhadi. (Bandung: Mizan 2003). Cet. I.

Locke. John. “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration in Economic Writings and Two Treatises of Government [1691]” (London: Rivington, 1824) ed. 12. Book I. Vol. 4.

Machan. Tibor R. .“Kebebasan dan Kebudayaan; Gagasan Tentang Masyarakat Bebas”. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2006).

Muzaffar. Candra, et.al. “Human’s Wrong; Rekor Buruk Ddominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia, Refleksi atas Dominasi Barat Secara Global atas Tafsir tentang HAM dan Dampaknya terhadap Konsepsi HAM di Dunia Ketiga”. (Yogyakarta: Pilar Media 2007). Cet. 1.

Nasution. Adnan Buyung dan A. Patra M. Zen, “Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia”. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, YLBHI dan KKAA 2006).

Patrick. George Thomas W. “Introduction to Philosophy”. (London: Ruskin House, George Allen & Unwin Ltd 2000)

Qatthân. Mannâ’. “Târîkh at-Tasyrî’ al-Islâmiy”. (Riyadh: Maktabah Ma’ârif 1996). Cet-2.

Raysuni. Ahmad dan Jamal Barut. "Ijtihad: antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial". terj. Ibnu Rusydi-HAyyin Muhdzar. (Jakarta: Erlangga 2002).

Saeed. Abdullah dan Hassan Saeed. “Freedom of Religion, Apostasy and Islam”. (Burlington: Ashgate Publishing Company 2004).

Sargeant. Winthrop. “The Bhagavad Gita, English and Sanskrit- Foreward”. (Albany: State University of New York 1984).

Steiner. Henry and Philip Alston. “International Human Rights in Contex: Law and Politics Moral”. (Oxford: Clarendon Press 1996). Ed. Kedua.

Thoha. Anis Malik. “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis”. (Jakarta: Perspektif 2005). Cet-1.

Zarkasyi. Hamid Fahmi. “Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis)”. (Ponorogo: Central for Islamic and Occidental Studies (CIOS) 2009). Cet-2.

Lain-Lain

‘Abdul Baqi. Shabir Ahmad. “Al-Hurriyah Baina Alfawdha Wa Al-Iltizam”. Makalah.

Al-Hasyimi. Muhammad Ali. “Hakikat Masyarakat Muslim: Buku Masyarakat Muslim Dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah”. Terj. Muzzafar Sahidu. Makalah

17

Page 18: Kebebasan Beragama DUHAM Dalam Perspektif Islam.docx

Al-Qardlawi Yusuf. “Al-Ijtihâd fî as-Syarî’ah al-Islâmiyyah”. Makalah, hal. 20. www.al-mostafa.com

Biro Hukum & Humas BPKP Bagian Peraturan Perundang-undangan bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentanghak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya)”. (Jakarta, 28 Oktober 2005). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. (Jakarta: Balai Pustaka 1994)

http://oll.libertyfund.org/index.php?option=com_staticxt&staticfile=show.php%3Ftitle=763&layout=html#chapter_65196

http://www. wikipedia/Human_Rights

http://www.hrw.org/

http://www.publiceye.org/Icke/Ickequotes.htm

http:/www.wikipedia/Cairo_Declaration_on_Human_Rights_in_Islam.htm

Husaini. Adian “Relativisme Dan Penodaan Agama” www.republika.co.id

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Offline versi 1.3. http://ebsoft.web.id.

Microsoft ® Encarta. Loc. Cit. 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Streib. Heinz & Constantin Klein. “Atheists, Agnostics, and Apostates (Chapter draft for the APA Handbook of Psychology, Religion and Spirituality).

Syafrin. Nirwan. “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”. Jurnal Tsaqafah, vol. 4. No 2. R. Tsani 1429

Teks Yohanes 14:6. http://www.bit.net.id/SABDA-Web/Yoh/T_Yoh14.htm

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (tk: Asa Mandiri, 2009).

www.al-bab.com/islamic declaration.htm

www.islamhouse.com. 2009

Zarkasyi. Hamid Fahmi. “Hak Dan Kebebasan Beragama (Dalam Perspektif Islam, DUHAM dan keindonesiaan)”. Jakarta: 2008.

18