Kerajaan Islam Mataram
-
Upload
larasdwinugrahani -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
description
Transcript of Kerajaan Islam Mataram
KERAJAAN ISLAM MATARAM
Kerajaan Mataram memiliki arti penting dalam sejarah peradaban islam di
nusantara. Mataram merupakan kerajaan islam atau dikenal dengan istilah
kesultanan yang berdiri pada abad ke 16 tepatnya 1588-1749 M, dengan pusat
pemerintahan berada di Kota Gede (dekat Yogyakarta). Kerajaan ini berdiri pada
mulanya dari sebidang tanah hutan mentaok yang merupakan pemberian sebagai
balas jasa terhadap Ki Ageng Pemanahan yang telah membantu kerajaan Pajang.
Dan seiring perkembangannya, Mataram dengan ekspansinya mampu
bertransformasi menjadi negara yang luas dan berkuasa atas Jawa dan Mataram
merupakan kerajaan berbasis agraris yang menguasi hampir seluruh pulau Jawa
berbeda dengan kerajaan lainnya di nusantara yang merupakan kerajaan maritim.
Namun secara tradisi kerajaan Mataram kental dengan tradisi pra-islam seperti
Hindu-Budha, hal ini tidak mengherankan karena kesultanann Mataram dibangun
diatas puing-puing kerajaan kuno sehingga islam yang terbentuk dikenal dengan
istilah islam sinkretisme, terlebih raja pertama Mataram, Penembahan Senopati
yang merupakan peletak dasar budaya Jawa-islam merupakan keturunan raja
Brawijaya yakni raja terakhir kerajaan Majapahit.
Awal Berdirinya Kerajaan Islam Mataram
Kerajaan islam Mataram sebagai kerajaan yang mampu menguasai hampir
seluruh Pulau Jawa dalam sejarah pendiriannya kerajaan Mataram berkaitan
dengan kerajaan Demak dan Pajang. Cikal bakal pendirian kerajaan Mataram ini
dipelopori oleh Ki Ageng Pemanahan yang berhasil membuka hutan yang lambat
laun menjadi desa dan dalam perkembangannya menjadi kerajaan yang kemudian
kita kenal dengan nama kerajaan Mataram. Lahan hutan tersebut sesungguhnya
didapatkan Ki Ageng Pemanahan dari Sultan Hadiwijaya yang merupakan raja
kerajaan Pajang sebagai imbalan atas jasa Ki Ageng Pemanahan membantu
menumpas Arya Penangsang dari Jipang dimana saat itu Pajang dan Jipang
terlibat konflik. Atas andilnya tersebut, Ki Ageng Pemanahan dihadiahi daerah
Mataram oleh raja Pajang dan dengan berakhirnya perang Pajang melawan Jipang
tahun 1558 M Ki Ageng Pemanahan mulai bekerja di Mataram dan tahun 1577 ia
menempati istana barunya di Kotagede. Namun berdasarkan sumber cerita babad
tidak memuat petunjuk bahawa Ki Ageng Pemanahan sudah bertindak sebagai
raja Mataram yang merdeka. Selama hidupnya ia seorang penguasa bawahan raja
Pajang yang taat dan patuh.1
Dalam perkembangannya, daerah hasil pembukaan hutan Mataram
berhasil menjadi kerajaan yang siap bersaing dengan kerajaan Pajang sebagai
atasannya. Hingga akhirnya sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, diteruskan oleh
putranya yang bernama Penembahan Senopati yang segera setelah menerima
tanah warisnya mengadakan persiapan memerdekanan Mataram dari Pajang
dengan diawali dengan membuat tembok sekeliling istana dan melakukan
pembangkangan terhadap titah raja Pajang serta membujuk penguasa setempat
untuk ikut membangkang terhadap raja. Kondisi ini memaksa Raja Pajang
mengambil tindakan kekerasan terhadap Mataram dan terjadilah pertempuran. Tak
lama setelah pertempuran raja Pajang meninggal dan penggantinya yakni
menantunya juga berhasil diusir oleh pangeran Benawa yang merupakan putra
raja Pajang yang paling muda yang bekerjasama dengan Senopati dan
menyerahkan kerajaan Pajang kepada Senopati. Atas peralihan kekuasaan inilah
tahun 1588 Senopati menempati tahta raja dengan gelar Panembahan dan mulai
memimpin Mataram menjadi Kerajaan yang semakin besar dengan berbagai
ekspansi terutama ke daerah timur maka tidak heran semasa Senopati memimpin
Mataram selalu terlibat pertempuran dengan daerah lainn karena obsesi Senopati
yang ingin menjadikan Mataram menjadi penguasa atas Pulau Jawa hingga
akhirnya Mataram tumbuh menjadi kerajaan agraris yang besar dan diteruskan
oleh keturunan Senopati.
1 De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa, 1985 hal. 282
Raja-Raja Yang Berkuasa Dan Masa Kejayaan
Dalam sejarah islam, Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup
penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia).
Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan
mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka
agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak islam di Jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan Mataram islam adalah sistem
Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak ada pada diri sultan.
Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang
kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada
tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan
penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang
bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya
adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Kerajaan ini semakin memperkokoh kekuasaannya pada masa
Panembahan Senopati. Ia membawa Mataram menjadi kerajaan independen yang
sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Pajang. Dengan
berkuasanya Kerajaan Mataram Islam atas penaklukan Kerajaan Pajang dan
jatuhnya Kerajaan Demak pada masa sebelumnya, maka daerah pusat
pemerintahan Kerajaan Islam juga berpindah. Semasa Kerajaan Demak pusat
pemerintahan berada di pesisir, sedangkan setelahnya berpindah ke pedalaman,
yaitu Pajang dan kemudian pindah ke Kota Gede. Berpindahnya pusat
pemerintahan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman sangat mempengaruhi
corak kehidupan sosial, budaya, dan terutama ekonomi pada saat itu. Panembahan
Senopati membawa Mataram menjadi kerajaan yang merdeka. Beberapa tindakan
yang dilakukan Senopati untuk memperkuat daerah-daerah yang telah ditaklukkan
dan mengambil hati rakyatnya adalah membuat beberapa legitimasi kekuasaan,
salah satunya dengan membuat garis keturunan para raja Mataram adalah
keturunan para wali sekaligus mengalir darah para dewa, sedangkan sebagai raja
Islam yang baru, Panembahan Senopati melakukan konsultasi dengan Sunan
Kalijaga dan membangun kerjasama dengan Ratu Kidul. Kepercayaan Senopati
kepada Sunan Kalijaga dan Ratu Kidul membuktikan bahwa Kerajaan Mataram
Islam berdiri dari pengabungan unsur-unsur Islam dengan kepercayaan Jawa asli.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan Senopati terus-
menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia
meninggal pada tahun 1601. Setelah Panembahan Senopati meninggal
kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau
Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-
1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman
Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau
meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. ia digantikan oleh
putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 – 1613). Peran
mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang
meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pangeran Jatmiko
atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung
Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil
membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan
bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan
Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada
tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”. Pada tahun
1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau “Sunan”. Pada
tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai
sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma
Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman. Pada masa pemerintahannyalah Mataram
menarik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun
agama dan kebudayaan.
Pada perkembangannya, ketika Sultan Agung berkuasa, wilayah
kekuasaan Mataram semakin bertambah luas. Untuk mengatur jalannya
pemerintahan, maka tatanan birokrasi harus dibentuknya dengan baik. Hal ini juga
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan kerajaan yang semakin bertambah
pulasehingga birokrasi memiliki arti penting sebagai pengatur jalannya
pemerintahan. Namun, masalah yang kemudian muncul adalah tentang sistem
pembiayaan kerajaan, terutama untuk memenuhi gaji para pejabat birokrasi yang
belum diatur dengan baik. Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, penertiban
dan penggiatan pajak belum dilakukan dengan baik. Padahal, pajak adalah sebuah
instrumen utama dalam kebijakan ekonomi dalam rangka menjamin pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas negara, dengan meratakan atau mengalihkan sumber
pribadi untuk kepentingan umum. Ketika Sultan Agung berkuasa, perekonomian
melalui sektor pajak saat itu sangat mempengaruhi situasi perpolitikan Mataram.
Meningkatnya aktivitas militer menyebabkan bertambahnya kebutuhan kerajaan
untuk membiayai militer dalam rangka penaklukan untuk memperluas wilayah
kekuasaan atau menghadapi pemberontakan sebagai upaya menjaga integrasi.
Kekuasaan terluas wilayah Kerajaan Mataram dicapai pada masa Sultan Agung,
yang meliputi sebagian besar pulau Jawa, terbentang dari Blambangan
(Banyuwangi sekarang) di ujung Jawa bagian timur sampai Karawang di Jawa
bagian barat, bahkan mencakup beberapa wilayah di luar Jawa seperti Palembang,
Sukadana, Banjarmasin, dan Makasar. Penaklukan-penaklukan yang dilakukan
merupakan usaha untuk menyatukan seluruh wilayah Jawa sebagai bagian dari
penciptaan stabilitas politik dan perekonomian negara. Sultan Agung membagi
wilayah tersebut menjadi empat bagian, yaitu kutagara atau siti narawita, negara
agung, mancanegara, dan pasisiran. Sistem pemerintahan dan birokrasi di
dalamnya mulai mengalami perkembangan yang lebih baik daripada pemerintahan
sebelumnya.
Pencapaian wilayah terluas tersebut, merupakan suatu prestasi tersendiri
pada masa pemerintahan Sultan Agung. Namun, Sultan Agung dihadapkan pada
kekuatan besar yang semakin merongrong kekuasaan kerajaan, yaitu VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang berpusat di Batavia. Mataram
memiliki hubungan yang kurang baik dengan VOC, yang kemudian berujung
pada pertempuran di tahun 1628 dan 1629 M dengan kekalahan Mataram. Kondisi
tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan politik sekaligus
perekonomian kerajaan. Intervensi VOC di kerajaan Mataram semakin
melemahkan pemerintahan. Apalagi dengan sistem monopoli perdagangannya
yang sudah lama diterapkan di berbagai wilayah Nusantara, yang ditunjang oleh
modal besar, organisasi yang baik, persenjataan serta tekonologi perkapalan yang
lebih maju,semakin menjadi saingan bagi Mataram dalam bidang ekonomi,
terutama di sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomian negara.
Adapun kebijakan ekonomi Sultan Agung yang terdiri dari tiga macam,
pertama meningkatkan pertanian dengan terlebih dahulu mendistribusikan tanah,
membentuk forum komunikasi bagi para petani, membangun bendungan beserta
saluran airnya, dan intensifikasi tanaman padi disertai pemberian modal untuk
memperbanyak produksi beras dalam pertanian. Kedua, membentuk petugas pajak
dan menentukan besaran pajak yang harus diserahkan kepada kerajaan. Ketiga,
membentuk Lembaga Keuangan yang mengurusi segala pemasukan untuk kas
kerajaan. Melalui ekonomi yang baik, Mataram dapat menguasai sebagian besar
wilayah Jawa(kecuali Banten dan Batavia) yang terbagi menjadi empat wilayah
bagian, yaitu kutagara, negara agung, mancanegara, dan pasisiran. Mataram juga
mampu menancapkan kekuasaannya di wilayah luar Jawa, seperti Madura,
Palembang (Sumatra), Sukadana dan Banjarmasin (Kalimantan), serta Makasar
(Sulawesi). Pemasukan kekayaan kerajaan didapat melalui aktifitas perekonomian
yang ditarik dari pajak, yaitu pajak penduduk, pajak tanah (sebagian besar dari
pertanian), pajak upeti, dan pajak bea cukai barang dan jasa dari kegiatan
perdagangan.
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram tetaplah menjadi kerajaan
yang kuat. Tetapi tidak untuk masa pemerintahan setelahnya, kekuatan Mataram
semakin melemah ketika masa Amangkurat I (1645-1677). Daerah-daerah pantai
wilayah negara berangsur-angsur dianeksasi oleh Belanda, seperti Karawang,
Semarang (1677), Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan, dan Madura
sehingga pusat negara makin dipisahkan dari pantai.Akibatnya, Kerajaan Mataram
kembali ke dalam kegiatan agraris dan mulai melepaskan tradisi perdagangan-
pelayaran.
Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang
berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan dan
kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan
ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama
dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan
Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya)
melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum,
(dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga
dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-
1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada
akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC,
dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram
harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian
akibat perang. Setelah Sunan Amangkuat II meninggal meninggal pada tahun
1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Mas (Sunan Amangkurat
III). Dia juga sangat menentang VOC. Karena pertentangan tersebut VOC tidak
setuju atas pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC mengangkat Paku
Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (perang perebutan mahkota
I) antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt III menyerah
dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan
diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi
dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini Voc
kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah perang Perebutan
Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal
tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa
pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan
benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan
Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini
membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC.
Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang
bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II
melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali
(1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan
kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
Raden Mas Said. Paku Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum
pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen sekarang).
Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II mengingkari janjinya
sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan
pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutn Mahkota III (1747-
1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan merea berdua dan
akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749. Setelah kematian Paku
Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III. Pengangkatan Paku Buwana III
tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi
telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi
perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan
VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan
itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai
Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah:
Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran
Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan
Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana
III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan
raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri
Susuhunan Paku Buwana III.
Masa Kejayaan
Runtuhnya Kerajaan Mataram Islam
Sultan Agung tidak mempunyai pengganti yang mumpuni sepeninggalnya.
Putra mahkota sangat bertolak belakang sifat dan kepribadiannya dengan sang
ayah. Kegemarannya pada kehidupan keduniawian telah mendorongnya ke jurang
kehancuran kerajaan. Maka dimulailah pemerintahannya sebagai raja Mataram
bergelar Sunan Amangkurat I (1646-1677). Raja ini mempunyai kebiasaan yang
berbeda dengan para pendahulunya. Gaya pemerintahannya cenderung alim, tidak
suka bergaul (terasing) dan terlalu curiga dengan semua orang. Para pejabat di
zaman pemerintahan ayahnya dihabisi dengan bengis, entah dengan hukuman
cekik sampai mati untuk perkara-perkara yang sudah diatur (jebakan) atau dengan
cara dikorbankan menjadi memimpin armada perang ke luar Mataram. Hubungan
antar kerabat pun tidak berjalan baik. Bahkan dengan putra mahkotanya, Sunan
Amangkurat I terlibat bersaing dalam urusan wanita pilihan sebagai istri. Kejadian
ini memunculkan tragedi berupa tewasnya mertua dan saudara-saudara raja.
Karena putra mahkota didukung oleh kakeknya, Prabu Pekik (mertua Amangkurat
I) untuk menikahi seorang gadis cantik bernama Rara Oyi, putri Ngabehi
Mangunjaya dari tepi Kali Mas Surabaya. P.rabu Pekik berasal dari Surabaya
terlibat membantu putra mahkota yang merupakan saingan sang raja dalam
perebutan putri tersebut. Kebengisan sunan dapat dilacak dari catatan pejabat
Belanda maupun dalam babad Jawa. Banyak kejadian tidak masuk akal pada
pemerintahannya. Pernah sang raja mengatur pembunuhan untuk adiknya, Prabu
Alit. Karena sang adik dihasut para pangeran di kerajaan untuk menuntut tahta.
Bahkan raja pernah melakukan genocide terhadap lima ribu ulama. Sifat bengis
sunan ini telah menimbulkan sikap anti pati dan ketakutan rakyatnya. Oleh sebab
itu ketika terjadi serbuan dari kelompok Prabu Trunajaya dari Madura, raja tidak
mampu menangkisnya. Karena rakyat bersatu padu menyerang istana. Sunan
Amangkurat I menyingkir hingga meninggal karena sakit dalam pelariannya di
Wanayasa, Banyumas utara. Konon pula, untuk mempercepat kematiannya, putra
mahkota yang kelak menjadi Amangkurat II memberi sebutir pil racun pada sang
ayah. Amangkurat I dimakamkan di Tegalwangi, dekat dengan gurunya yaitu
Tumenggung Danupaya.
Bagaimanapun buruknya Amangkurat I, beliau tetap mempunyai karya
besar. Dalam bidang arsitektur, sunan membuat istana baru di Plered (selatan Kuta
Gede) dengan konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana Mataram tersebut
dilandasi oleh sifatnya yang tidak mau kalah dengan keberhasilan sang
ayah.Untuk pekerjaan ini, sunan mengerahkan para penduduk hingga luar ibu kota
agar membuat batu bata sebagai tembok kraton dan membendung sungai Opak
menjadi danau besar. Utusan VOC, Rijklof van Goens mencatat bahwa ia sangat
takjub dengan kraton Plered yang seolah-olah mengapung di lautan. Untuk
mencapai alun-alun sebelum ke istana, orang harus melewati jembatan batang
yang dibangun permanen. Wafatnya Amangkurat I, membuat Putra mahkota
mempunyai modal besar menggantikan tahta Mataram. Dengan bekal pusaka-
pusaka kerajaan, beliau berusaha mengusir gerakan Trunajaya dengan meminta
dukungan VOC. Putra mahkota naik tahta bergelar Sunan Amangkurat II (1677-
1703).Ibu kota Mataram dipindah, bergerak ke timur di Kartasura. Karena Prabu
Puger (adik Amangkurat II) tetap berdiam di istana Plered, setelah Amangkurat I
wafat. Beliau berpendapat bahwa dirinya yang berhak atas tahta Mataram. Karena
dirinya yang mendapat wahyu dari sang ayah (Amangkurat I) bukan putra
mahkota (Amangkurat II). Kejadian tersebut ketika P.rabu Puger menunggui ajal
sang ayah. Namun akhirnya Prabu Puger mengakui kekuasaan Amangkurat II di
Kartasura tahun 1680. setelah terjadi pertikaian alot. Meskipun pada masa-masa
sesudahnya, Prabu Puger tetap membara semangatnya untuk mencapai tahta
Mataram. Kelak akhirnya sang pangeran bertahta sebagai Sunan Paku Buwana I.
Pemerintahan Amangkurat II (1677-1703) di Kartasura dibangun dengan
dukungan penuh VOC. Oleh karena itu, dirinya terikat dengan segala macam
permintaan VOC. Di sisi lain, sang raja sangat melindungi para pejuang dalam
melakukan perlawanan terhadap VOC, diantaranya adalah Untung Suropati. Ia
merupakan mantan perwira VOC yang akhirnya memusuhi resimennya karena
tindakannya yang sewenang-wenang. Ketika VOC meminta sang raja untuk
menyambut Kapten Tack di Kartasura, muncullah ambivalensinya. Meskipun
Kapten Tack ini sangat berjasa dengan berhasil membunuh P.rabuTrunajaya di
Kediri, namun karena sifatnya yang arogan di mata sang raja, maka Amangkurat
II sangat membenci Kapten Tack. Apalagi kedatangannya ke kraton Mataram
adalah untuk mengusir gerakan Untung Suropati. Untuk menutupi sikap
ambivalensinya, Amangkurat II menyambut baik kedatangan Kapten Tack di
depan istana Kartasura. Namun, beliau telah mengatur siasat dengan pasukan
Suropati untuk menyamar sebagai prajurit Mataram. Tiba-tiba terjadi huru hara di
saat Kapten Tack datang di istana yang menyebabkan dirinya terbunuh (Feb
1686). Sayang, tindakan sunan tersebut diketahui oleh sang adik, Prabu Puger.
Kelak beliau menunjukkan bukti-bukti kuat kepada VOC soal keterlibatan sang
raja dalam peristiwa itu. Inilah senjata ampuh Prabu Puger dalam mendongkel
tahta keturunan Sunan Amangkurat II. Dalam kehidupan seni budaya, dukungan
kuat VOC telah mempengaruhi Amangkurat II untuk menerapkan etiket Eropa di
dalam istana. Tata cara adat sembah untuk menghormat raja mulai diubah tidak
dengan cara duduk bersila, melainkan dengan berdiri tegak lurus tangan dan kaki,
topi diletakkan di lengan. Ini berlaku bagi orang-orang Eropa. Bahkan mereka
diperkenankan duduk di bangku, bukan duduk bersila di lantai seperti layaknya
pada pejabat Mataram. Inilah revolusi sosial yang mulai berlaku di istana
Mataram.
Ketika Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan oleh putra
mahkota bergelar Amangkurat III (1703-1708). Raja ini juga menggalang
persahabatan dengan Untung Suropati, seperti ayahnya. Sementara itu, di istana
terjadi konflik lama. Sang paman, P.rabu Puger tetap ngotot menginginkan tahta.
Dengan bukti-bukti kuat keterlibatan Amangkurat II dan III soal wafatnya Kapten
Tack, maka Prabu Puger dinaikkan tahta sebagai raja Mataram oleh VOC,
bergelar Sunan Paku Buwana I (1704-1719). Beliau bertahta di Semarang.
Amangkurat III diserang oleh VOC dan Sunan Paku Buwana I. Beliau melarikan
diri ke Jawa Timur, akhirnya dapat ditawan VOC (1708) kemudian diasingkan ke
Sri Lanka. Sunan Paku Buwana I kemudian bertahta di Kartasura. Masa-masa
pemerintahannya dibayar mahal dengan menyerahkan daerah-daerah pesisir
kepada VOC. Suatu kesalahan besar. Karena sumber pendapatan Mataram
berkurang drastis. Ianilah yang memancing konflik intern berkepanjangan.
Kondisi kerajaan tidak pernah stabil. Para pangeran merasa bahwa pengaruh dan
kebijakan VOC sangat menancap di Mataram. Terjadi beberapa pemberontakan
yang dilakukan para pembesar kerajaan yang tidak puas dengan kondisi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung terus bahkan hingga wafatnya Sunan
Paku Buwana I dan digantikan sang putra dengan gelar Sunan Amangkurat IV
(1719-1726).
Catatan Belanda menunjukkan bahwa Amangkurat IV seperti seorang raja
yang telah ditinggalkan rakyatnya. Kerajaan sangat rapuh, potensi perpecahan dan
konflik intern merebak. Bahkan hingga wafatnya, sang raja pengganti (Sunan
Paku Buwana II) mewarisi kerapuhan tersebut.
Sunan Paku Bawana II (1726-1749) memegang tampuk pemerintahan
dalam usia muda belia, 16 tahun. Hal itulah yang membuat sang bunda, Ratu
Amangkurat IV yang mendukung VOC melakukan intervensi pada
pemerintahannya. Sementara itu patihnya, Danurejo sangat anti VOC.
Sebagaimana sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan tidak solid, Sunan
Paku Buwana II pun dirongrong oleh hutang-hutang yang harus dibayarkan
kepada VOC. Bahkan kerajaan mengalami perang besar, yaitu pemberontakan
orang-orang Cina yang semula terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet
hingga Kartasura. Perang yang dikenal sebagai Geger Pacina ini telah membuat
sunan bersama gubernur pesisir van Hohendorff harus melarikan diri ke Jawa
Timur karena istana Mataram diduduki kaum pemberontak. Beruntung, VOC
dapat menyusun kekuatan dan berhasil menduduki kembali Kartasura tahun 1742.
Namun kondisi istana yang sudah poranda tidak layak sebagai ibukota kerajaan
dan paham Jawa mengatakan bahwa istana yang sudah diduduki musuh, tidak lagi
suci sebagai ibukota. Dengan dukungan VOC, Sunan Paku Buwana II
membangun istana baru. Desa Sala atau kemudian dikenal dengan Surakarta
Hadiningrat terpilih dari 3 alternatif yang diajukan dan sunan mulai mendiaminya
pada 1745(1746). Arsitek pembangunan kraton adalah adik sunan, Prabu
Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I). Harga mahal yang
harus dibayar raja kepada VOC karena berhasil memadamkan perang pacina
adalah kesepakatan bahwa VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu Madura,
Sumenep dan Pamekasan. Selain itu, VOC lah yang menentukan pejabat patih
Mataram serta penguasa pesisir. Akibat jatuhnya pesisir ke tangan VOC, para
pejabat Mataram geram. Bermunculan para pemberontak yang merongrong istana
Surakarta Hadiningrat. Diantaranya yang terkenal adalah pasukan Raden Mas
Said (1746), keponakan raja. Untuk memadamkan pemberontakan itu, sunan
mengadakan sayembara berupa pemberian tanah Sokawati bagi yang berhasil
memadamkannya. Maka tampillah adik raja, Prabu Mangkubumi. Dengan
kemampuannya mengatur strategi perang dan penguasaan medan yang jitu,
akhirnya gerakan Mas Said dapat ditumpas. Namun sunan mengampuni
keponakannya itu. Masalah timbul, ketika dalam pertemuan agung kerajaan,
langkah sunan hendak menyerahkan hadiah tanah Sokawati kepada Prabu
Mangkubumi dihalangi oleh patihnya, Pringgalaya dan gubernur van Imhoff.
Menurut gubernur VOC tersebut, Mangkubumi tidak layak mendapat hadiah 4000
cacah. Seakan-akan hendak menandingi kekuasaan raja. P.rabu Mangkubumi
kecewa, dipermalukan dihadapan umum oleh van Imhoff. Maka 19 Mei 1746,
beliau berontak pada VOC , keluar dari Surakarta, lalu mendiami Sokawati
dengan kekuatan 2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta 13000 anak buah dan
punggawa yang mendukungnya. Beliau melancarkan serangan kepada VOC di
Grobogan, Juana, Demak, Jipang (Bojonegoro). Pasukannya bertambah kuat
dengan bergabungnya RM. Said, sang keponakan yang sempat ditundukkannya.
Persatuan paman dan keponakan ini bahkan hampir menguasai istana Surakarta
(1748). Kondisi kerajaan yang tidak stabil membuat Sunan Paku Buwana II jatuh
sakit. Seakan sudah pasrah dengan kerajaannya yang tidak solid, beliau
menyerahkan Mataram kepada gubernur Baron von Hohendorff (11 Desember
1749). Inilah kesalahan terbesar yang dilakukan raja. Keputusan tersebut
menyulut Prabu Mangkubumi untuk bergerak, agar dapat menarik kembali
kerajaan tetap dalam pangkuan dinasti Mataram. Beliau mengangkat dirinya
sebagai Sunan Pakubuwana di desa Bering, Yogyakarta (12 desember 1749).
Tindakan ini sebagai langkah mendahului keponakannya (putra mahkota Paku
Buwana II yang baru 16 tahun), yang akan dinaikkan tahta oleh VOC sebagai
Sunan Paku Buwana III.
Inilah babak baru periode kerajaan Mataram terbagi dua. Prabu
Mangkubumi sebagai raja didampingi RM. Said sebagai patihnya. Kedua tokoh
ini merupakan dwi tunggal kekuatan yang sulit ditembus VOC maupun Surakarta
Hadiningrat dibawah Paku Buwana III. Sayang persekutuan sultan dan patihnya
yang juga merupakan menantu, akhirnya pecah di tahun 1753 akibat benturan
konflik pribadi soal tahta Mataram yang masih dipegang Sunan Paku Buwana III.
VOC yang sudah lelah dengan panjangnya peperangan, mulai menempuh jalur
perundingan. Bahkan RM. Said pernah menulis surat ke VOC bersedia berunding
dengan syarat diangkat sebagai sunan. Rupanya VOC tidak mengindahkannya,
namun melirik pada Prabu Mangkubumi. VOC mendekatinya bahkan mengganti
pejabatnya yang tidak disukai P. Mangkubumi dalam upaya perundingan, yaitu
van Hohendorff. VOC menggantikannya dengan Nicolaas Hartingh. Seorang
Belanda yang sangat mengerti tata krama Jawa, pribadi yang lebih disukai Prabu
Mangkubumi. Dalam hal ini Hohendorff sadar diri, ia tidak akan bisa kontak
dengan Mangkubumi dan hal tersebut sangat merugikan VOC. Selain itu, citranya
sudah buruk di Surakarta. Oleh karena itu pengunduran diri Hohendorff
merupakan langkah maju bagi VOC guna membuka perundingan dengan Prabu
Mangkubumi.
Kesepakatan tercapai melalui Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755).
Menyatakan Mataram dibagi dua. Sunan Paku Buwana III tetap bertahta di
Surakarta Hadiningrat dengan kekuasaan meliputi : Ponorogo, Kediri, Banyumas.
Prabu Mangkubumi bertahta di desa Bering yang lebih dikenal dengan
Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan wilayah meliputi Grobogan, Kertasana,
Jipang, Japan, Madiun. Sementara Pacitan dibagi untuk keduanya, termasuk
Kotagede dan makam Kerajaan Imogiri.
Sunan Paku Buwana III yang tidak diikutkan dalam perundingan tersebut
tidak dapat berbuat banyak, hanya bisa menerimanya. Sementara itu, RM. Said
semakin kecewa karena tidak mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu dirinya
semakin gencar melakukan perlawanan baik kepada Sultan HB I, Sunan PB III,
dan VOC. Merasa tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan jalan
damai, melalui perundingan Salatiga (1757). Dalam perundingan tersebut Mas
Said menyatakan kesetiaannya pada raja Surakarta Hadiningrat dan VOC. Sunan
Paku Buwana III memberikan tanah 4000 cacah dengan wilayah meliputi
Nglaroh, Karanganyar, Wonogiri. Sementara, Sultan Hamengku Buwana I tidak
memberikan apa-apa. Kemudian RM. Said dinobatkan sebagai adipati
Mangkunegara I. Kerajaannya bernama Mangkunegaran.
Demikianlah kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3 kekuasaan yang
diperintah Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I, dan
Mangkunegara I. Konflik antar pangeran mulai mereda, keamanan relatif stabil.
Namun dalam kedua perundingan yang telah disepakati tersebut tidak
dicantumkan hal pengganti tahta. Oleh karena itu masih terbuka peluang untuk
menyatukan tahta Mataram. Mangkunegara I berharap akan tahta Surakarta. Oleh
karena itu, putranya (Prabu Widjojo) dinikahkan dengan putri Paku Buwana III,
GKR Alit. Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang putra, Namun
harapan Mangkunegara I pupus, karena Paku Buwana III kemudian mempunyai
putra mahkota. Kelak putra Ratu Alit dan Prabu Widjojo bertahta sebagai
Mangkunegara II.
Demikian pula upaya Mas Said menikah dengan GKR Bendara, putri
sulung Hamengku Buwana I. Sayang sang putri menceraikannya (1763) yang
kemudian menikah dengan Prabu Diponegara (dari Yogyakarta). Oleh karena itu,
terputuslah harapan Mangkunegara untuk merajut tahta Mataram dalam satu
kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga penyatuan Mataram akan merumitkan
VOC karena sukar mengendalikan satu kekuatan besar di Jawa. Dengan terbagi-
baginya kerajaan, maka akan mudah bagi VOC menancapkan hegemoni dan
superiornya di Tanah Jawa.
Pengaruh Agama Islam Dan Hindu Pada Sistem Pemerintahan Kesultanan
Mataram
Dapat dilihat bahwa pengaruh dari agama Islam dan Hindu memiliki peran
masing-masing didalam pemerintahan kerajaan Mataram dimana ajaran dari
agama Islam dan Hindu mempengaruhi berbagai Aspek yang ada, antara lain:
a. Sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem
Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak ada pada diri sultan.
Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang
kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang
tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun
istana. Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang
merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima
perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara.
Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
b. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang.
Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris
karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga
memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas
penduduknya bermata pencaharian sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang
berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram adalah seni
tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah
Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-
Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan
memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending
yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang
disebut Hukum Surya Alam.
c. Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram sangat tertata dengan baik
berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma yang sudah lama
berlaku begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah
pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan
surantana yang bertugas dalam memimpin upacara-upacara keagamaan. Di
bidang pengadilan terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan
pengadilan istana. Tugasnya untuk menciptakan ketertiban dalam dan seluruh
kerajaan dan menciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus
dipatuhi oleh seluruh penduduk.
d. Aspek Kemajuan dalam Bidang sosial Budaya
Pertama, Timbulnya kebudayaan kejawen Unsur ini merupakan akulturasi dan
asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg
yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan
dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg
Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya. Kedua, Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M,
Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari
(tarikh syamsiyah).Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke
tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun
1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah.
Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai“tahun Jawa”.
Berkembangnya Kesusastraan Jawa Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu
pengetahuan dan seni berkembang pesat,termasuk di dalamnya kesusastraan
Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending
yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.Kitab-kitab yang lain
adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang
ajaran-ajaran budi pekerti yang baik. Pengaruh Mataram mulai memudar
setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
De Graaf H.J, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1985.
de Graaf, H.J, Awal Kebangkitan Mataram; Masa Pemerintahan Senapati,
Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985.
Graaf. Dr H.J. De. Runtuhnya Istana Mataram. Penerbit PT Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta. 1987.
Skripsi:
http://digilib.uinsby.ac.id/ MATARAM PADA MASA SULTAN AGUNG
(RAJA KETIGA KERAJAAN ISLAM MATARAM).pdf
http://digilib.uin-suka.ac.id/ KEBIJAKAN EKONOMI SULTAN AGUNG
PADA MASA KERAJAAN MATARAM ISLAM TAHUN 1613-1645
M.pdf
Sumber Online:
https://www.academia.edu/9309756/KERAJAAN_MATARAM_ISLAM
http://www.astalog.com/324/telusuri-sejarah-kerajaan-mataram-islam.htm
http://www.astalog.com/2179/kerajaan-mataram-islam.htm