KESETARAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA...
Transcript of KESETARAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA...
i
KESETARAAN GENDER
DALAM NOVEL GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Bagus Saputro
NIM: 11713024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2017
ii
iii
KESETARAAN GENDER
DALAM NOVEL GADIS PANTAI
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Bagus Saputro
NIM: 11713024
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
TAHUN 2017
iv
v
vi
vii
MOTTO
﴾ ۱۱﴿ ب زدني علمار
My Lord! Increase me in knowledge
(Surah Taha/20:114)
﴾﴿ اا ني ا So remember Me, I will remember you
(Surah Al Baqarah/2:152)
When you have eliminated all which is impossible, then whatever remains, however improbable, must be the truth
(Arthur Conan Doyle, the case-book of sherlock holmes)
It is a great thing to start life with a small number of really good books which are your very own
(Arthur Conan Doyle)
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini merupakan wujud dari sebuah ikhtiar yang tidak akan pernah selesai
tanpa dukungan dari berbagai pihak.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ibu dan Bapak, Partilah-Kokok Saputro yang doa, kasih sayang, serta
dukungannya senantiasa menjadi napas disetiap langkah.
Bibi dan Om, Amalia Suciati-Haryanto yang selalu menjadi penyemangat.
Motivasi dari kalian telah menjadi penerang digelapnya hati. Nenek yang tidak pernah lelah dalam menyayangi cucu-cucunya.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Segala puji disertai pengagungan hanya kepada Allah. Rabb alam
semesta, penggenggam jiwa, pencipta langit dan bumi beserta isinya. Hanya
kepada-Nya kita memohon pertolongan dan perlindungan. Tempat berkeluh kesah
serta muara dari segala doa. Beriring nikmat Islam, iman, dan hidayah-Nya maka
skripsi yang berjudul “KESETARAAN GENDER DALAM NOVEL GADIS
PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Analisis Wacana
Menggunakan Metode Sarah Mills)” dapat terselesaikan. Tidak lupa shalawat
serta salam peneliti haturkan kepada panutan dalam segala perbuatan, Nabi Agung
Muhammad SAW., rasul akhir zaman.
Sesungguhnya peneliti menyadari bahwasanya dalam menyelesaikan
skripsi mengalami kesulitan. Sehingga peneliti tidak bekerja sendiri melainkan
bekerja sama dan mendapatkan bantuan berupa bimbingan dan motivasi dari
banyak pihak. Maka dengan terselesaikannya skripsi ini, peneliti mngucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr. Mukti Ali, M.Hum selaku dekan Fakultas Dakwah IAIN Salatiga.
3. Dra. Maryatin, M. Pd selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Drs. Muh. Choderin selaku dosen pembimbing akademik.
5. Dr. Rifqi Aulia Erlangga, S.Fil., M. Hum. selaku pembimbing skripsi yang
telah sudi meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi.
x
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Kepada teman-teman fakultas Dakwah angkatan 2013 khususnya jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah berbagi suka dan duka selama
menjadi mahasiswa, semoga kita senantiasa bersahabat.
8. Sekali lagi peneliti ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat
dalam penulisan skripsi ini, yang mana peneliti tidak dapat menyebutkannya
satu-satu.
Akhirnya, semuanya kembali kepada Allah SWT. Semoga bantuan pihak-
pihak yang telah membantu dicatat sebagia sebuah ibadah di sisi-Nya dan dibalas
dengan pahala berlipat ganda. Serta skripsi ini mudah-mudahan dapat
memberikan manfaat dan kebaikan. Âmîn yâ Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 9 Agustus 2017
Penulis,
Bagus Saputro
11713024
xi
ABSTRAK
Saputro, Bagus. 2017. Kesetaraan Gender Dalam Novel Gadis Pantai Karya
Pramoedya Ananta Toer (Analisis Wacana Menggunakan Metode Sarah
Mills). Skripsi Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr.
Rifqi Aulia Erlangga S. Fil, M. Hum.
Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Novel Gadis Pantai, Analisis Wacana Sarah
Mills.
Kesetaraan Gender merupakan sebuah wacana dan konsep mengenai
kedudukan perempuan terhadap laki-laki. Namun masih banyak orang yang belum
mengetahui istilah dari “kesetaraan gender”, akibatnya adalah banyaknya orang
yang memposisikan kesetaraan gender dengan jenis kelamin atau sex. Kondisi ini
lah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap nove
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera
Dipantara Jakarta pada tahun 2003, karena novel tersebut memuat kesetaraaan dan
ketidakadilan gender. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkap representasi
perempuan dalam novel Gadis Pantai. 2) Mengetahui nilai-nilai kesetaraan dan
ketidakadilan gender pada novel Gadis Pantai. 3) Menjelaskan pesan yang ingin
disampaikan Pramoedya Ananta Toer melalu struktur teori analisis wacana
metode Sarah Mills dalam novel Gadis Pantai.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis (descriptive of analyze research).
Data yang diperoleh peneliti dianalisis menggunakan analisis wacana Sara Mills.
Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam menganalisis data adalah: 1)
Membaca dan memahami novel Gadis Pantai. 2) Menganalisi kata demi kata
novel Gadis Pantai. 3) Menganalisis novel menggunakan teori Sarah Mills. 4)
Menyimpulkan hasil penelitian.
Hasil penelitian ini adalah: 1) Dalam novel tersebut perempuan
digambarkan dalam tiga golongan, yakni perempuan desa, priyayi, dan kota.
Perempuan kota dan priyayi dianggap sebagai wanita terhormat. Berbeda dengan
perempuan desa yang identik dengan kemiskinan, kebodohan, kotor, dan pekerja
kasar. 2) Terdapat diskriminasi dan kesetaraan terhadap perempuan, dimana
keduanya dipengaruhi oleh status sosial dan budaya patriarki. 3) Pembaca secara
aktif disapa, yakni dengan sapaan “sahaya” yang terdapat pada novel.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL .............................................................................................................. i
LEMBAR LOGO................................................................................................. ii
JUDUL ............................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN........................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................................ vi
MOTTO............................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
ABSTRAK ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian.................................................................................... 7
E. Penegasan Istilah ...................................................................................... 7
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 13
G. Metode Penelitian ................................................................................... 16
xiii
H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 18
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................... 20
A. Analisis Wacana Kritis ........................................................................... 20
B. Analisis Wacana Model Sarah Mills ....................................................... 24
C. Komunikasi Massa ................................................................................. 26
D. Gender ................................................................................................... 35
E. Feminisme .............................................................................................. 40
BAB III GAMBARAN UMUM NOVEL GADIS PANTAI ............................ 45
A. Pramoedya Ananta Toer ......................................................................... 45
B. Novel Gadis Pantai ................................................................................. 50
C. Sinopsis Novel Gadis Pantai ................................................................... 51
D. Kerangka Analisis ..........................................................................................56
BAB IV HASIL PENELITIAN ....................................................................... 59
A. Representasi Perempuan Dalam Novel Gadis Pantai ............................... 59
B. Nilai-nilai Kesetaraan dan Ketidak Adilan Gender Pada Novel Gadis
Pantai ..................................................................................................... 67
C. Pesan yang Ingin Disampaikan Pramoedya Ananta Toer ....................... 86
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 88
A. Kesimpulan ............................................................................................ 88
B. Saran ...................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kerangka ananalisis wacana Sarah Mills ............................................ 26
Tabel 2.2 Elements of interpersonal communication
and mass communication compared ................................................... 29
Tabel 2.3 Fungsi komunikasi massa Tan ............................................................ 33
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Komunikasi massa model Gamble dan Gamble .............................. 31
Gambar 2.2 Model komunikasi massa Schramm ............................................... 31
Gambar 2.3 Komunikasi massa model Black dan Whitney ................................. 32
Gambar 2.4 Faktor individu ............................................................................... 34
Gambar 2.5 Faktor sosial ................................................................................... 34
Gambar 2.6 Perbedaan sex dan gender ............................................................... 36
Gambar 2.7 Klasifikasi teori feminisme ............................................................. 41
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Curriculum Vitae peneliti
Lampiran 2 Foto Pramoedya Ananta Toer
Lampiran 3 Sampul Novel Gadis Pantai
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesetaraan gender merupakan sebuah wacana yang sering
dikemukakan dewasa ini. Namun banyak orang memahami konsep kesetaraan
gender mengacu kepada kesetaraan wanita dan laki-laki dalam hal
kedudukan. Hal ini diakibatkan oleh pandangan orang bahwa perempuan
memiliki tingkatan di bawah laki-laki, yang mana pihak perempuan dianggap
sebagai pihak lemah. Perempuan adalah pihak yang keberadaannya tidak
boleh lebih menonjol daripada laki-laki.
Diskriminasi terhadap perempuan banyak dianut oleh negara yang
masih mempertahankan budaya patriarki, yakni keadaan sosial yang
meletakkan laki-laki pada sisi otoritas. Beberapa sejarah juga mencerminkan
diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Kondisi ini terlihat diberbagai
sisi, M. Quraish Shihab dalam Umar (2010:xxiv) memaparkan kondisi
tersebut,
Pada era peradapan Yunani, laki-laki menjadikan perempuan sebagai
alat pemuas nafsu sex. Perempuan dipuja hanya untuk hal tersebut dan
laki-laki diberi keleluasaan untuk memenuhi selera dan kebutuhan itu.
Peradaban Romawi menempatkan ayah dan suami sebagai pemegang
kekuasaan atas perempuan. Sebelum menikah perempuan berada di
bawah kekuasaan ayah dan setelah menikah kekuasaan berada pada
suaminya. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya, dan membunuh, keadaan ini berlangsung sampai abad V
Masehi. Peradapan Cina dan Hindu beranggapan bahwa hak hidup
seorang perempuan telah berakhir ketika suaminya meninggal,
sehingga pada saat itu juga ia harus dibakar hidup-hidup. Kondisi ini
terjadi sampai abad XVII Masehi. Perempuan dianggap sebagai
2
pembantu pada pandangan Yahudi. Mereka juga menganggap
perempuan sebagai penyebab diusirnya Adam dari surga serta sebagai
sumber laknat.
Keadaan tersebut telah berlangsung berabat-abad lalu dan kini telah
mengalami pergeseran budaya, kebiasaan lama yang tidak bermoral telah
banyak ditinggalkan. Namun budaya patriarki ini masih dapat dijumpai
dibeberapa Negara. Setiap wilayah memiliki budaya patriarki yang berbeda-
beda, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Budaya patriarki masih dapat
kita jumpai di Indonesia. Patriarki di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti sistem budaya, ekonomi, sosial, dan politik.
Perempuan sering digambarkan sebagai makhluk yang lemah lembut,
penuh dengan kehalusan, seorang yang lamban, dan emosional. Perempuan
juga dianggap sebagi “objek” bagi laki-laki. Keadaan yang telah diterima oleh
masyarakat ini menempatkan laki-laki sebagai “subjek”. Laki-laki memiliki
kekuasaan lebih atas perempuan, sehingga menempatkan perempuan pada
posisi yang pantas untuk ditindas, hilangnya hak untuk berbicara, dan
hilangnya hak untuk mengembangkan diri. Kondisi tersebut juga didasari
oleh ketidakadilan gender, disamping hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Ketidakadilan gender mengakibatkan: 1) Terjadinya marjinalisasi terhadap
perempuan, perempuan menjadi pihak yang dipinggirkan. 2) Subordinasi
terhadap wanita, keadaan ini menganggap wanita tidak penting dan
kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. 3) Beban kerja yang berlebihan.
4) Streotipe terhadap perempuan. 5) Kekerasan terhadap wanita (TIM PSGK
IAIN SALATIGA, 2012:12).
3
Namun kita dapat melihat kondisi masyarakat saat ini, banyak
perempuan yang dipandang memiliki kemampuan melebihi laki-laki. Oleh
sebab itu, wacana kesetaraan gender tidak hanya menjadi konsep para
ahli/aktifis pengerak kesetaraan gender. Konsep ini telah menyebar kepada
masyarakat luas. Sementara itu, masih banyak orang yang belum mengetahui
istilah dari “kesetaraan gender”, akibatnya adalah banyak orang yang
memposisikan kesetaraan gender dengan jenis kelamin atau sex.
Peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan di dalam masyarakat merupakan perbedaan yang
dibentuk oleh konsep kultural dan diartikan sebagai gender (Umar, 2010:30).
Pendapat ini menjelaskan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam
konsep kesetaraan gender bukan terletak pada jenis kelamin melainkan pada
sosial-budaya. Gender menempatkan perbedaan laki-laki dan perempuan pada
kondisi yang dapat dirubah. Sementara itu, sex menempatan laki-laki dan
perempuan pada kondisi sebaliknya, yakni tidak dapat dirubah.
Diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi dalam produk budaya,
dimana perempuan mendapat posisi sebagai pihak yang tertindas. Seperti
dalam film, sastra, dongeng, hukum, dan agama. Keadaan yang
menggambarkan ketertindasan perempuan tersebut terjadi dengan
berkelanjuta dan terlihat sudah berjalan dengan wajar. Media massa juga
menempatkan perempuan dalam posisi yang sama, baik media massa
elektronik atau pun cetak.
4
Media massa yang merupakan produk dari budaya, memberikan peran
sebagai kontrol sosial. Peran media massa sebagai pihak yang dapat
mengontrol atau mengarahkan opini publik, sehingga berdampak pada
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Oleh sebab itu, apa saja yang
disampaikan oleh media massa akan dianggap sebagai kebenaran yang dapat
menciptakan pola pikir dan mempengaruhi kehidupan sosial dengan cara
mengubah pandangan, sikap dan perilaku keseharian.
Buku juga merupakan bentuk dari media massa, sehingga memiliki
peran yang siknifikan dalam membentuk pola pikir masyarakat. Oleh karena
itu, buku dipandang sebagai bahan referensi dan bahan ajar yang dapat
dipercaya. Buku juga merupakan produk atau bentuk dari wacana.
Sobur (2012:10) mengatakan, sebuah tulisan merupakan sebuah
wacana. Lebih tepatnya tulisan adalah bentuk dari wacana tulis, yang mana
wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel,
makalah dan sebagainya (Rani, 2006:26). Oleh sebab itu, novel dapat kita
kategorikan sebagai wacana. Novel sendiri merupkan sebuah karangan yang
berbentuk prosa panjang. Danesi (2010:75) mengatakan, novel adalah sebuah
naratif kisah yang mempresentasikan suatu situasi yang dianggap
mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang imajinasi.
Sementara itu wacana merupakan semua tulisan yang teratur, yang
menurut urutan-urutan yang semestinya, dan logis (Sobur, 2012:10). Menurut
J. S. Badudu dalam Eriyanto (2001:2), wacana merupakan kesatuan bahasa
yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan
5
koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, mempunyai awal
dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Novel merupakan salah satu produk dari wacana media massa yang
banyak memaparkan suatu masalah atau tema. Politik, percintaan, budaya,
sosial dan agama merupakan tema-tema yang sering diungkapkan dalam
novel. Tema merupakan hal pokok yang harus ada di dalam novel, karena
tema akan menentukan kemana jalan pikiran pembaca.
Pramoedya Ananta Toer menyajikan sebuah novel dengan tema
perempuan. Novel dengan judul Gadis Pantai memaparkan kehidupan
seorang perempuan muda yang lahir dan tumbuh disebuah kampung nelayan
di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis yang dipersunting seorang
priayi Jawa ini menghadapi permasalahan-permasalahan budaya.
Budaya tidak memihak gadis pantai yang merupakan wakil dari rakyat
kecil (wong cilik), sehingga Gadis Pantai mencoba melawan ketidak
berdayaan dan pertentangan-pertentangan stratifikasi sosial yang dialaminya.
Cultural yang sudah terlanjur diterima oleh masyarakat dan dianggap sebagai
hal biasa apabila wong cilik tunduk terhadap priayi. Kehendak priyayi
diartikan sebagai sebuah keharusan yang tidak boleh ditolak.
Novel Gadis Pantai menyajikan konfllik cultural yang dialami oleh
perempuan, sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai novel
Gadis Pantai. Melalui metode analisis wacana Sarah Mills peneliti tertarik
untuk menelitinya dalam bentuk skripsi dengan judul: Kesetaraan Gender
6
Dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer (Analisis
Wacana Menggunakan Metode Sarah Mills).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumuasn masalah pada penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana representasi perempuan dalam novel Gadis Pantai?
2. Terdapat dimanakah nilai-nilai kesetaraan dan ketidakadilan gender pada
novel Gadis Pantai?
3. Apa pesan yang ingin disampaikan Pramoedya Ananta Toer melalui
struktur teori analisis wacana metode Sarah Mills dalam novel Gadis
Pantai?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan dan untuk
menyajikan informasi yang jelas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengungkap representasi perempuan dalam novel Gadis Pantai.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai kesetaraan dan ketidakadilan gender pada
novel Gadis Pantai.
3. Untuk menjelaskan pesan yang ingin disampaikan Pramoedya Ananta Toer
melalu struktur teori analisis wacana metode Sarah Mills dalam novel
Gadis Pantai.
7
D. Manfaat Penelitian
Aspek teoritis maupun praktis merupakan manfaat yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini. Manfaat tersebut adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian yang menggunakan analisis kualitatif ini diharapkan
mampu berkontribusi dan memperkaya bahan kajian untuk perkembangan
ilmu komunikasi. Study analisis wacana yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam analisis
wacana, terutama dalam analisis wacana metode Sarah Mills.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini tidak lepas dari manfaat praktis. Penelitian ini
merupakan syarat bagi Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dalam meraih gelar Sarjana
(S1). Serta hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
mengenai kedudukan perempuan dalam novel Gadis Pantai.
E. Penegasan Istilah
Analisis wacana terdiri dari dua kata, yakni “analisis” dan “wacana”.
Kata analisis diambil dari bahasa Yunani, analyein yang bermakna
menyelesaikan atau menguraikan (Siswantoro, 2011:7). Analisis dapat
diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
melalui cara mengelompokkan atau memberikan makna. Kegiatan ini
didasarkan pada fungsi dan hubungan setiap unsur yang ada. Guna
8
memeperoleh kebenaran dari suatu hal, menguraikannya menjadi bagian yang
lebih sederhana adalah hal utama.
Berbeda dengan analisis, kata wacana diambil dari bahasa Ingris, yaitu
“discourse”. Sementara itu, kata discourse diserap dari bahasa latin discursus
yang bermakna lari kian-kemari (Sobur, 2012:9). Syamsuddin (2008:4)
menjelaskan, dalam Collins Concise English Dictionary, 1988, wacana
disebut discourse, yang memiliki arti:
Komunikasi verbal, ucapan, pecakapan.Sebuah perlakuan formal dari
subyek dalam ucapan atau tulisan. Sebuah yunit teks yang digunakan
oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat, sedangkan
dalam kamus Longman Dictionary of the English Language, 1984,
menjelaskan antara lain arti wacana: 1) Sebuah percakapan khusus
yang alamiah formal dan pengungkapannya diaturpadaide dalam
ucapan dan tulisan. 2) Pengungkapan dalam sebuah nasihat, risalah,
dan sebagainya; sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
Vass (1992) dalam Titscher (2009:42) memandang lebih jauh, dari
segi etimologis yang diadopsi dari bahasa latin tersebut, makawacana
memiliki makna discurrere (mengalir ke sana kemari) dari nominalisasi kata
discursus (“mengalir secara terpisah” yang ditransfer maknanya menjadi
“terlibat dalam sesuatu”, atau “memberi informasi tentang sesuatu”).Wacana
merupakan suatu unit bahasa yang tersusun dari kalimat atau pun sebagai
pembicaraan (diskursus). Syamsuddin (2008:2) berpendapat, wacana adalah
sarana transaksaksi sosial antara sumber dan penerima, dimana keduanya
saling menentukan bentuk, makna dan muatan, serta bentuk lain sesuai
kebutuahan sosilal yang berupa komunikasi lisan, tulis, dan semiotik.
Analisis wacana dapat diartikan sebagai analisis terhadap bahasa yang
digunakan, sehingga analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi
9
bentuk bahasa yang terikat pada tujuan atau fungsi yang dirancang untuk
menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia (Syamsuddin,
2008:2). McCarthy, Zellig Haris mengatakan bahwa perkembang analisis
wacana terjadi pada tahun 60-andan pada awal 70-an (Rani, 2004:10).
Sementara itu menurut Coulthard, analisis wacana berawal dari pemikiran
tentang linguistik konstektual oleh Firth (Rani, 2004:12). Stubbs dalam Rani
(2004:9), menjelaskan bahwa kajian bahasa yang digunakan secara alamiah,
baik lisan maupun tulis merupakan objek penelitian dari analisis wacana.
Oleh sebab itu, kegiatan menganalisis wacana tidak akan lepas dari
menganalisis bahasa. Sementara itu, bahasa adalah penghubung atau alat
dalam berkomunikasi yang dibutuhkan oleh setiap orang. Ketika individu
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dilakukan dengan
lisan, melainkan dapat dilakukan melalui tulisan. Bahasa yang memiliki sifat
arbitrer mengakibatkan terjadinya noise dalam penyampaian pesan. Namun
dengan sifatnya itu, bahasa memiliki banyak bentu (beragam).
Keberagaman dalam bahasa dapat kita lihat di Indonesia, setiap daerah
di Indonesia memiliki bahasa daerahnya sendiri. Akibatnya adalah terdapat
beberapa penyebutan untuk sebuah benda yang sama. Keberagam bahasa juga
mengakibatkan lahirnya berbagai dialek, yang biasanya menjadi salah satu
penyebab terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Serta setiap daerah
memiliki anturan-aturan tersendiri dalam penggunaan bahasa mereka.
Walaupun terdapat keberagam bahasa, masyarakat di Indonesia
memiliki satu budaya dalam bertutur kata. Budaya tersebut adalah sopan
10
santun dalam berkomunikasi pada situasi apa pun. Sebagai contoh:
Masyarakat Jawa, di daerah tersebut sopan santun dalam bercakap-cakap
sangat dijunjung tinggi. Orang Jawa menggunakan istilah ungah ungguh
bahasa, dimana istilah tersebut merupakan aturan dalam berkomunikasi.
Keberagaman bahasa dapat melahirkan keberagaman sastra. Oleh
sebab itu, satra hanya dimiliki pengarangnya. Hal ini dapat diartikan bahwa
sastrawan memiliki gaya bahasa tersendiri dalam penulisan karyanya.
Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam penterjemahan
sastra ke dalam bahasa lain (Samsuri, 1981:25). Sementara itu, baik linguistik
maupun estetik, sastra memiliki sifat kreatif (Pei:1971:255).
Bahasa dan Sastra dapat melahirkan beberapa produk seperti novel,
puisi, dan cerpen. Rampan (2013:278) mengatakan, bahwa sebuah karangan
yang berbentuk prosa panjang dapat disebut sebagai karya sastra dalam
bentuk novel. Novel merupakan sebutan dalam bahasa Inggris yang telah
diadaptasi kedalam bahasa Indonesia. Prancis lebih mengenalnya dengan
sebutan roman, sebutan ini juga digunakan di Belanda. Sebagai karangan
yang berupa prosa panjang, novel atau roman dapat diartikan sebagai karya
yang menguraikan cerita secara panjang dan komplek serta memiliki kisah
fiktif. Kisah yang diceritakan secara panjang dan detail, menjadikannya
sebuah karya yang memiliki tokoh atau pemeran lebih dari satu dan tokoh
utamanya pun dapat terdiri dari beberapa pemeran (Rampan, 2013:278).
Novel yang merupakan sebuah karya sastra, memiliki tema/ide. Tema
sendiri memiliki arti sebagai gagasan utama yang menyusun isi novel, yakni
11
merupakan sebuah persoalan yang pengarang tampilkan. Persoalan tersebut
dapat menyangkut beberapa aspek kehiduan manusia, baik itu berupa masalah
kemanusiaan, cinta, kasih sayang, kekuasaan, dan sebagainya. Karya ini
mampu menyajikan perkembangan karakter, kondisi sosial, hubungan yang
terjadi anta karakter, serta menyajikan beberapa peristiwa pada masa silam
dengan detail (Dewojati, 2015:4). Memahami sebuah topik dalam novel
memerlukan waktu yang tidak singkat. Oleh sebab itu, novel tidak memiliki
tanggung jawab dalam menyampaikan topiknya secara cepat.
Begitu pula dengan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang
berjudul Gadis Pantai. Novel ini sejatinya berbentuk trilogi. Namun dua buku
lanjutannya hilang ditelan keganasan penguasa. Gadis Pantai merupakan
novel pertama dari rangkaian trilogi ini mengisahkan kehidupan gadis belia
yang lahir dan tinggal di kampung nelayan. Seorang perempuan yang belum
dewasa dan cukup umur, harus mengakhiri masa mudanya dengan menerima
pinangan seorang lelaki kaya yang jauh lebih tua darinya. Menjadi istri
seorang priyayi Jawa menjadikannya dipanggil Bendoro Putri oleh orang lain,
baik itu dari tetangga maupun orang tuanya. Pernikan ini hanya
menjadikannya seorang wanita yang berperan sebagai perempuan pemuas
kebutuhan sex suaminya. Keadaan ini akan berlangsung sampai sang suami
menikah dengan perempuan yang sederajat atau sekelas dengannya. Peran
Bendoro Putri tidak hanya sampai disitu, ia harus membantu mengurus
keadaan rumah.
12
Pernikahan Gadis Pantai telah menaikan derajatnya diantara penduduk
kampung nelayan. Perkawinan yang meberikan prestise kepadanya harus
dibayar denga mahal, ia harus menikmati pernikahan dalam waktu singkat.
Dia harus rela diusir dari rumah Priyayi tersebut, meninggalkan anak
perempuan satu-satunya. Hidup sebatang kara karena menanggung malu
harus dicerakan oleh suaminya. Keadaan ini menjadikannya seorang yang
tidak memiliki pekerjaan, sehingga membuatnya pergi meninggalkan
kampung halaman.
Melalui novelnya ini, Pramoedya mengisahkan kehidupan perempuan
yang kurang beruntung karena budaya patriarki. Perempuan tidak memiki
peran yang dianggap penting dalam kehidupan masyrakat. Tidak adanya
kesetaraan dalam gender inilah yang mengakibatkan kedudukan perempuan
lemah dimata masyarakat. Pelemahan peran perempuan terjadi diberbagai
aspek, seperti dalam politik, pekerjaan, sastra, dll. Ketika isu-isu kesetaraan
gender ditampilkan dalam sebuah sastra/wacana, maka analisis wacana dapat
dijadikan landasan dalam mencari permasalah yang terkandung didalamnya.
Analisis wacana yang menjadikan sastra/wacana sebagai objek
penelitian dapat digunakan berbagai teori, yakni metode Theo Van Leeuwe,
Sarah Mills, Teun A. Van Dijk, dan lain sebagainya. Sementara itu metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana Sarah
Mills. Metode Sarah Mills menitik beratkan pada wacana feminisme, yakni
sebuah analisis mengenai perempuan, dimana perempuan dicerminkan atau
13
digambarkan dalam sebuah teks yang berupa novel, berita dan dapat
berbentuk gambar maupun foto (Eriyanto, 2001:199).
F. Tinjauan Pustaka
Sebelum menentukan judul penelitian ini, peneliti terlebih dahulu
melakukan tinjauan pustaka ke perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Tinjauan pustaka disini berguna sebagai informasi dasar bagi
peneliti untuk menyusun penelitiannya, guna menghindari penulisan yang
sama. Oleh sebab itu, peneliti menyajikan beberapa rujukan.
Elfa Rafika, 2016, skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan
Akidah Dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy”.
Rafika melakuakan penelitian terhadap novel Bumi Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy dengan tujuan: 1) Untuk mengetahui bentuk
pendidikan akidah yang terkandung di dalam novel Bumi Cinta. 2) Untuk
mendeskripsikan karakter tokoh yang terdapat dalam novel Bumi Cinta.
Menjadikan novel sebagai objek penelitian, sehingga tergolong menjadi
penelitian kepustakaan (library research). Serta dalam penulisan skripsinya,
Rafika menggunakan content analysis dalam menganalisis data yang
diperoleh. Sehingga penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan, yakni:
(1) Terdapatnya nilai-nilai pendidikan akidah dalam novel Bumi Cinta. Nilai-
nilai tersebut diperlihatkan oleh Ayyas selaku tokoh utama. Sikap Ayyas
dalam meyakini Allah Maha Esa dalam Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-
perbuatan-Nya, wujud-Nya, serta Allah Maha Esa dalam menerima ibadah
dan dalam menerima hajat manusia. Tidak hanya itu, Ayyas juga
14
mencerminkan sikap kepercayaan dan keyainan terhadap rukun iman. (2)
Terdapat beberapa karakter yang ditampilkan dalam novel Bumi Cinta. Serta
Ayyas yang memiliki sikap taat kepada Allah dan baik hati, Yelena dan Linor
merupakan seorang non muslim yang tidak percaya adanya Tuhan, Devid
seorang toko yang memiliki kepribadian mudah terpengaruh, Anastasia
sebagai seorang doktor yang taat terhada Kristen Ortodok sebagi
keyakinannya.
Nur Latifah, 2017, penelitian dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan
Akhlak Dalam Novel Moga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye”.
Penelitain yang bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan
akhlak, bagaimana karakter tokoh yang patut diteladani, mendeskripsikan
implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Moga
Bunda Disayang Allah karya Tere Liye. Penelitian yang termasuk dalam
kategori penelitian kepustakaan (library research) ini menggunakan
pendekatan deskriptif analisis (descriptive of analyze research). Dengan
melakukan penelitian terhadap novel Moga Bunda disayang Allah, Latifah
memperoleh kesimpulan: 1) Bahwasanya anak-anak berkebutuhan khusus
berhak mendapatkan pendidikan. 2) Novel tersebut juga menampilkan nilai-
nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, seperti percaya kepada
Allah, sabar, jujur, bersyukur, saling berkasih sayang, dan lain sebagainya. 3)
Nilai-nilai tersebut digambarkan melalui tokoh-tokoh dalam novel yang
memiliki karakter ramah, sabar, pekerja keras, penyayang. 4) Pendidikan
15
Akhlak hendaknya ditanamkan kepada anak-anak sejak dini dengan
menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti.
Rizki Septianingtiyas, 2017, skripsi yang berjudul “Nilai-nilai
Pendidikan Kasih Sayang Dalam Novel Jilbab In Love Karya Asma
Nadia”. Septianingtyas menyusun skripsinya dengan tujuan untuk
mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan kasih sayang, bagaiman karakter
tokok, relevansi nilai-nilai pendidikan kasih sayang dalam novel Jilbab In
Love karya Asma Nadia. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah
disebutkan, penelitian ini juga menggunakan library research dan deskriptif
analisis (descriptive of analyze research) dalam penyusunannya. Hasil yang
diperoleh Septianingtyas dalam penelitiannya adalah: 1) Nilai-nilai Kasih
sayang yang terdapat dalam novel meliputi kasih sayang terhadap Allah,
orang tua, lingkungan/masyarakat, dan diri sendiri. 2) Sifat dan nilai-nilai
kebaikan ditunjukan oleh Aisyah Putri sebagai tokoh utama, sifat tersebut
meliputi peduli, bijaksana, suka tersenyum, rendah hati. 3) Nilai-nilai kasih
sayang yang diperlihatkan dalam novel relevan dengan keidupan dalam
berbagai kegiatan.
Beberapa penelitian diatas memperlihatkan kesamaan dalam bidang
sumber data penelitian, yakni “novel”. Kesamaan dalam metode yang
digunakan, metode kualitatif. Hal itu juga yang digunakan peneliti dalam
penelitian kali ini, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, diantaranya
adalah dalam fokus penelitiannya. Penelitian kali ini berfokus pada analisis
16
wacana dengan menerapkan analisis wacana teori Sarah Mills, sehingga hasil
penelitian ini memiliki perbedaaan yang siknifikan dengan penelitian lainnya.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Study kepustakaan merupakan kategori yang dipilih oleh peneliti.
Kategori tersebut merupakan bagian dari jenis penelitian kualitatif.
Menggunakan metode kualitatif dapat memberi hasil penelitian berupa
data deskriptif (Bogdan, 1992:21). Oleh sebab itu, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis (descriptive of
analyze research) dengan cara mengumpulkan data, pengolahan data,
dan analisis data. Peneliti menggunakan analisis wacana Sara Mills
dalam menganalisis datanya. Fokus dari analisis Sarah Mills adalah
analisi teks yang menggambarkan seorang perempuan, sehingga teks
tersebut dipandang sebagai objek penelitian.
Analisis ini juga tidak digunakan untuk mencari data frekuensi,
melainkan untuk menganalisis data yang tampak, sehingga analisis ini
digunakan untuk memahami fakta (Jumroni, 2006:33). Peneliti dalam
penelitian ini berperan sebagai pengumpul data, baik dibantu orang lain
atau pun sendiri.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kata-kata
yang berwujud buku, dokumen, dan lain-lain. Kesemua data yang
digunakan merupakan data tulis. Penelitian ini tidak hanya menggunakan
17
data tulis yang tercetak, melainkan juga menggunakan data tulis
elektronik.
Keseluruhan data tersebut dipergunakan oleh peneliti untuk
menunjang penelitian ini, namun data primer atau data yang utama dari
penelitian ini adalah buku. Oleh karena itu, data primer merupakan data
yang memiliki kedudukan yang utama dalam penelitian (Yahya,
2010:83). Data primer merupakan data yang didapat dari subjek
penelitian dengan memakai alat ukur atau alat pengambilan data
langsung dari subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar,
2005: 91).
Sumber data yang digunakan adalah Novel:
Judul : Gadis Pantai.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta.
Tahun Terbit : 2003
3. Teknik Pengumpulan Data
Masalah-masalah yang diungkap dalam penelitian ini memicu
peneliti untuk dapat mengumpulkan data sesuai dengan permasalahan
tersebut. Data tersebut dipergunakan untuk menganalisis dan mengkaji
permasalahan yang ada. Tahapan yang dilakukan penulis dalam
mengumpukan data adalah: 1) Mengumpulkan data berupa novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan beberapa data yang berkaitan
18
degan objek penelitian. 2) Mempelajari dan mengkaji berbagai literatur
yang berkaitan dengan objek penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses dalam menyusun urutan data,
menggolongkannya dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar
(Moleong, 2011:103). Peneliti dalam menganalisis data penelitian, telah
memulainya sejak pengumpulan data. Serta dengan mempergunakan
analisi wacana Sarah Mills, peneliti melakukan analisi secara mendalam
dan intensif terhadap novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Tahapan yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data adalah: 1)
Membaca dan memahami novel Gadis Pantai. 2) Menganalisi kata demi
kata novel Gadis Pantai, sehingga menemukan pesan yang terkandung
didalamnya. 3) Menganalisis novel menggunakan teori Sarah Mills. 4)
Menyimpulkan hasil penelitian.
5. Pengecekan Keabsahan Data
Menggunakan literatur dan referensi dari buku, e-book, internet
yang berkaitan dengan judul penelitian sebagai bahan pengecekan
keabsahan data peneliti.
H. Sistematika Penulisan
Guna mengetahui apa saja yang diuraikan peneliti dalam penelitian
ini, kita dapat mengetahuinya dari sistematika penulisan. Peneliti
menuangkan sistematika penulisan ke dalam tiga kategori. Bagian
awal/pembukaan, bagian isi/inti, dan bagian akhir/penutup merupakan
19
sistematika dalam penelitian ini. Bagian awal dari penelitian ini memuat
sampul, lembar logo, judul, nota pembimbing, pengesahan kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar, abstrak,
daftar isi, daftar tabel, dan daftar gambar.
Bagian isi/inti, peneliti menuangkan kedalam lima bab. Setiap bab
memiliki fokus masing-masing dan saling berhubungan. Bab I merupakan
pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori atau konsep
yang mendukung penelitian. Bab III yang berfokus kepada gambaran umum
novel Gadis Pantai. Kemudia terdapat Bab IV yang menampilkan analisis
dan hasil penelitian. Bab V, penelitian ini memuat kesimpulan dan saran.
Untuk bagian terakhir pada penelitian ini, termuat daftar pustaka, lampiran,
dan riwayat hidup penulis.
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Analisis Wacana Kritis
Analisis merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni
analyein yang bermakna menguraikan, menyelesaikan (Siswantoro, 2011:7).
Berbeda dengan kata analisis, kata wacana diambil dari bahasa Inggris
“discourse”. Kata discourse berasal dari “discursus” yang mana kata tersebut
berasal dari bahasa Latin dengan arti lari kian-kemari (Sobur, 2012:9).
Sementara itu wacana merupakan istilah mengenai peristiwa
komunikasi yang mengacu kepada rekaman kebahasaan yang utuh (Cahyono,
1995:227). Pemikiran yang hampir sama dikemukakan oleh Samsuri dalam
Sobur (2012:10), bahwa wacana tersusun atas seperangkat kalimat dimana
maknanya saling terkait dan merupakan hasil dari rekaman kebahasaan yang
utuh tentang peristiwa komunikasi.
Ismail Marahimin dalam Sobur (2012:10), mendefinisikan wacana
sebagai hasil pemikiran dengan bentuk lisan maupun tulisan yang resmi dan
teratur, serta memiliki kemampuan untuk maju sesuai dengan urutan-urutan
yang teratur dan semestinya. Penggunaan kata “wacana” merupakan ide
umum mengenai penataan bahasa dalam pola-pola tertentu sesuai dengan
wilayah kehidupan sosial pengguna bahasa, seperti wacana medis dan wacana
politik (Jorgensen, 2007:1). Hal ini menjelaskan bahwa wacana memiliki arti
21
yang luas sesuai dengan lingkup dan disiplin ilmu yang mempergunakan
istilah wacana tersebut (Eriyanto, 2001:1).
Menurut Henry Tarigan (1993:23) dalam Sobur (2012:10) bahwa
istilah wacana tidak hanya mengenai percakapan saja, akan tetapi tulisan,
pembicaraan di muka umum, dan sandiwara atau lakon termasuk di
dalamnya. Menurut Teun A. Van Dijk, wacana merupakan sebuah bukti yang
harus diuraikan secara empiris serta sering dilihat sebagai teks dalam konteks
(Titscher, 2009:43). Wacana juga diartikan sebagai komunikasi tulis atau
lisan yang dipandang dari sudut nilai, kepercayaan, dan semua yang masuk
di dalamnya; kepercayaan pada pengertian ini mewakili pandangan dunia;
sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Eriyanto, 2001:2).
Menurut Guy Cook dalam Eriyanto (2001:9) ada tiga poin utama
dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan
keseluruhan bentuk bahasa, tidak hanya kata-kata yang tercetak di
lembar kertas, akan tetapi meliputi semua jenis ekspresi komunikasi,
perkataan, gambar, efek suara, musik, citra, dan sebagainya. Konteks
merujuk kepada hal-hal di luar teks dan semua kondisi yang dapat
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan, situasi dimana
teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya.
Wacana adalah gabungan antara teks dan konteks.
Secara sederhana, wacana mengacu kepada study kebahasaan baik melalui
verbal maupun non verbal.
Setelah menguraikan secara terpisah mengenai analisis dan wacana,
kita dapat mendefinisikan discourse analysis secara untuh. Apabila “analisis”
memiliki arti sebagai kegiatan untuk menguak kebenaran dan “wacana”
merupakan study tentang kebahasaan.
Analisis wacana (discourse analysis) kajian tetang bagaimana
penggunaan bahasa, memahami apa yang penulis tulis didalam buku-
22
buku, memahami apa yang diutarakan penyapa secara lisan dalam
percakapan, atau mengenal wacana yang koheren dan yang tidak
koheren, dan berhasil berperan percakapan (Cahyono, 1995:227).
Study mengenai analisis wacana mulai berkembang pada tahun 60-an dan
awal 70-an, pendapat ini dikemukakan oleh Zellig Haris (Rani, 2004:10).
Sementara itu, menurut Coulthard, study ini berawal dari sebuah ide dari Firth
mengenai linguistik konstektual (Rani, 2004:12). Seiring waktu analisis
wacana mulai berkembng, Stubbs dalam Rani (2004:9), menjelaskan bahwa
analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa
dalam bentuk lisan maupun tulisan yang digunakan secara alamiah.
Pada pembahasan awal telah dikemukakan bahwa wacana tidak hanya
berhubungan dengan teks semata, wacana juga berhubungan dengan konteks.
Analisis wacana kritis juga menjelaskan kembali masalah itu. Critical
Discourse Analysis/CDA (analisis wacana kritis) mengkaji bahasa tidak hanya
pada aspek kebahasaan saja, melainkan bahasa dikaji dengan
menggabungkannya dengan konteks. Konteks pada wacana memiliki arti
sebagai penggunaan bahasa untuk tujuan dan praktik tertentu. Bahasa dalam
analisis wacana kritis dipandang sebagai faktor penting, karena ketimpangan
kekuasaan di masyarakat dapat dilihat melalui bahasa (Eriyanto, 2001:7).
Menurut Fairclough dan Wodak dalam Eriyanto (2001:7) mengatakan
analisis wacana kritis melihat wacana sebagai wujud dari praktek sosial. Oleh
sebab itu, dalam produksi wacana dapat memiliki efek ideologis, yakni
terjadinya ketidak imbangan antara kelas-kelas sosial, kelompok mayoritas
dan minoritas, laki-laki dan perempuan. Mempergunakan analisis wacana
23
kritis dapat membantu kita dapat menyelidiki pertarungan kelompok sosial
dalam mempergunakan bahasa sebagai media untuk menyampaikan
pendapatnya mengenai ketimpangan sosial. Berikut ini karakteristik dalam
analisis wacana kritis:
1. Tindakan: Wacana merupakan bentuk interaksi, bukan hanya ditempatkan
dalam ruang tertutup dan internal. Orang menulis bukan untuk pribadi,
melainkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Wacana
dalam konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah
untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi dan
sebagainya. Tidak hanya sebagai tujuan, wacana juga dapat dipandang
sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu
yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, pristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang,
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Analisis
wacana juga mengkaji konteks dari komunikasi: siapa yang
mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak dan
situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing pihak.
Serta tidak semua konteks dapat dimasukkan ke dalam analisis wacana,
hanya yang berpengaruh dan relevan terhadap produksi analisis wacana.
Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis
kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama. Kedua, setting
24
sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau
lingkungan fisik.
3. Historis: Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti
wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti
tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting
untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam
konteks historis tertentu.
4. Kekuasaan: Setiap wacana yang muncul dalam bntuk teks, percakapan,
atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan
netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi: Teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi
atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:8-13).
B. Analisis Wacana Model Sarah Mills
Sarah Mills merupakan salah satu penulis teori analisis wacana. Pada
saat menganalisis wacana, Sarah Mills lebih tetarik terhadap analisis wacana
mengenai feminisme. Oleh karena itu, banyak orang mengartikan analisis
wacana yang dilakukannya sebagai perspektif feminis. Pandangan ini, wacana
dianggap dapat memperlihatkan atau menampilkan perempuan di dalam
sebuah teks. Wanita cenderung diperlihatkan sebagai pihak termarjinalkan
dan salah dibanding laki-laki (Eriyanto, 2001:199).
Analisis Sarah Mills memposisikan representasi sebagai bagian utama
dari analisisnya. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan seseorang mengenai
suatu berita yang menampilkan peristiwa, orang, gagasan, atau kelompok
25
tertentu. Oleh karena itu, Mills dalam analisis yang dilakukannya lebih
menekankan pada bagaimana posisi berbagai aktor sosial, peristiwa, atau
gagasan ditampilkan dalam teks, sedangkan critical linguistic lebih
berkonsentrasi kepada struktur kata, kalimat, atau kebahasaan (Eriyanto,
2001:200).
Gagasan Mills mengenai analisis wacana dapat diuraikan dengan
melihat penggambaran posisi aktor disebuah teks. Posisi aktor di dalam teks
berkaitan erat dengan objek dan subjek. Kedua posisi tersebut berkaitan
dengan siapa yang diceritakan dan siapa yang menceritakan. Seseorang yang
menempati posisi objek atau subjek penceritaan pada sebuah wacana dapat
mempengaruhi strutur dan makna sebuah teks. Hal ini terjadi karena adanya
sudut pandang yang berbeda dari setiap orang. Tidak hanya itu, pembaca
dalam analisis ini mendapat perhatian tersendiri. Pembaca akan diposisikan
sebagai salah satu aktor di dalam teks, lebih tepatnya diposisikan sebagai
objek atau subjek. Pembaca juga mengidentifikasi sebuah wacana sesuai
dengan posisi dimana mereka ditempatkan, sebagai objek yang diceritakan
atau subjek pencerita.
Teori Mills mengenai posisi pembaca banyak dipengaruhi oleh
gagasan Louise Althusser tentang ideologi. Ada dua gagasan Althusser yang
dipakai oleh Sarah Mills, yaitu:
Pertama, gagasan Althusser mengenai interpelasi yang berhubungan
dengan pembentukan subjek ideologi pada masyarakat. Dasar dari
pendapat ini adalah aparatus ideologis (ideological state apparatus),
yakni organ yang secara tidak langsung membuat kondisi-kondisi
produksi dalam masyarakat. Melalui gagasan tersebut individu
diposisikan sebagai subjek, yakni individu di dalam masyarakat
26
memiliki posisi tersendri. Kita menempati dua posisi, yakni sebagai
subjek individu dan subjek negara/kekuasaan. Keseluruhan kondisi
makna yang ada di masyarakat dapat mempengaruhipengakuan dan
subjek posisi kita. Gagasan Althusser yang kedua berkaitan dengan
kesadaran. Penerimaan individu mengenai posisinya diterima dengan
kesadaran, yakni orang-orang menerima posisinya sebagai sebuah
kebenaran dan sebuah kenyataan (Eriyanto, 2001:206-207).
Secara umum analisis ini memperhatikan bentuk pensubjekan seseorang. Satu
pihak dipandang sebagai penafsir sementara yang lain dipandang sebagai
objek yang ditafsirkan. Berikut ini adalah kerangka analisis wacana/diskursus
dari Sara Mills:
Tabel 2.1
Kerangka ananalisis wacana Sarah Mills (Eriyanto, 2001:221).
Tingkat Yang Ingin Dilihat
Posisi
Subjek-Objek
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa
itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek)
dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai
kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya
ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain.
Posisi Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang
ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasikan dirinya.
C. Komunikasi Massa
Istilah komunikasi tidak asing lagi ditelinga kita. Komunikasi
merupakan sebuah aktifitas, sehingga tidak akan lepas dari kehidupan
manusia. Namun masih banyak yang belum memahami makna dari istilah
tersebut. Komunikasi sejatinya berasal dari communicatio yang merupakan
bahasa Latin. Communicatio sendiri tersusun atas dua kata, “com” dan
“unio”, Com/cum memiliki arti “dengan”, sedangkan unio/union bermakna
27
“bersatu dengan” (Liliweri, 2007:3). Oleh karena itu, komunikasi merupkan
proses penggabungan atau bersatunya suatu tindakan, hal ini lebih jauh dapat
diartikan sebagai bergabungnya seorang komunikator dengan kominikan
dalam proses pertukaran informasi. Azriel Winnett dalam Liliweri (2007:4),
menegaskan bahwa komunikasi adalah semua tindakan/interaksi manusia
yang memiliki sifat human relationships dengan diikuti oleh peralihan
sejumlah fakta.
Communication is any process in which people share information,
ideals, and feelings, it involves not only the spoken and written word
but also body language, personal mannerisms, and style-anything that
adds meaning to a message (Komunikasi adalah proses orang berbagi
informasi, ide, dan perasaan, hal tersebut tidak hanya melibatkan
perkataan dan ditulisan, tetapi juga melibatkan bahasa tubuh, tingkah
laku/perangai, dan gaya-sesuatu itu dapat menambah makna pesan)
(Hybels, 2007:8).
Baran (2009:4) berpendapat, Communication is the trasmission of a message
from a source to a receiver, yakni komunikasi adalah pengiriman pesan dari
sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan).
Terdapat berbagai jenis komunikasi, salah satu dari jenis komunikasi
adalah komunikasi massa. Komunikasi ini diartikan sebagai: 1) Suatu proses
untuk menghasilkan dan mensosialisasikan atau institusionalisasi
(difusi/membagi) informasi kepada penerima/sasaran dari sebuah sumber. 2)
Komunikasi ini bersifat satu arah. 3) Komunikasi yang dalam penyebaran
pesannya bertujuan untuk mempengaruhi audiens secara luas dilakukan oleh
komunikator dengan mempergunakan teknologi pembagi. 4) Komunikator
dan komunikan yang berjumlah masal, bertempat tinggal jauh, heterogen,
dihubungkan dengan suatu media/saluran (Liliweri, 2011:874).
28
Pada definisi diatas telah dikemukakan, bahwasanya komunikasi
massa dalam penyampaian pesannya mempergunakan media/saluran. Alat
yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dapat berbentuk media massa
elektronik atau cetak. Beberapa jenis/bentuk dari suatu media yang dapat
dijadikan saluran dalam komunikasi massa dapat kita lihat dalam definisi
yang disampaikan oleh Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble. Mereka
berdua berpendapat, bahwa komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai
komunikasi massa apabila mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan
modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat
kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui
media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau
gabungan diantara media tersebut. 2) Komunikator dalam komunikasi
massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba
berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau
mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi
massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang
lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu
sama lain. 3) Pesan adalah milik publik. Artinya, bahwa pesan ini bisa
didapatkan dan diterima oleh banyak orang. 4) Sebagai sumber,
komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan,
ikatan, atau perkumpulan. 5) Komunikasi massa dikontrol oleh
gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan
atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga
tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. 6) Umpan balik dalam
komunikasi massa sifatnya tertunda (Nurudin, 2013:8-9).
Sebelum lebih jauh menyinggung tentang media dalam komunikasi
massa, alangkah lebih baik jika kita mengetahui lebih dalam mengenai jenis
komunikasi ini. Apabila kita ingin lebih mengetahui komunikasi massa, kita
dapat membandingkan komunikasi massa dengan interpersonal komunikasi.
Alaxis S. Tan dalam Nurudin (2013:9) mengatakan, kita bisa mengetahui
kominikasi massa apabila kita dapat membedakan komunikasi massa dengan
29
komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila kita
sedikit menyinggung komunikasi interpersonal.
Trenholm dan Jensen mendefinisikan komunikasi interpersonal
sebagai komunikasi yang dilakukan secara tatap muka (komunikasi
diadik) oleh dua orang. Serta kominikasi interpersonal memiliki sifat:
1) Spontan dan informal. 2) Saling menerima feedback dengan
maksimal. 3) Partisipan berperan fleksibel (Aw, 2011:3).
Tabel 2.2
Elements of interpersonal communication and mass communication compared
(Baran, 2009:8)
No Interpersonal Communication Mass Communication
Nature Nature
1 Message Highly flexible and alterable
Identical, mechanically
produced, simultaneously sent
Inflexible, unalterable
2 Interpreter
A One persone
A large, hierarchically
structured organization
3 Interpreter
B
One or few people, usually in
direct contact with you and to a
greater or lesser degree, known to you
A large, heterogeneous
audience known to
interpreter (A) only in the
most rudimentary way, little more than basic
demographics
4 Feedback Immediate and direct yes or no
response Delayed and inferential
Komunikasi massa merupakan komunikasi yang mempergunakan
media/saluran dalam penyampaian pesannya. Serta komunikan dalam
komunikasi massa bersifat luas dan heterogen. Namun media yang digunakan
30
oleh komunikasi massa bersifat modern. Saluran dalam komunikasi massa
merupakan hasil dari teknologi modern (Nurudin, 2013:4). Media di sini
dapat berupa media elektroni (televisi, radio), media cetak (koran, majalah),
buku, film. Tidak hanya bersifat modern, media massa dalam komunikasi
massa juga bersifat melembaga, satu arah, memakai peralatan teknis, terbuka,
meluas dan serempak (Cangara, 2014:140-141). Oleh karena itu, massa dalam
arti komunikasi massa lebih mengacu kepada penerima pesan melalui media
massa. Massa pada komunikasi ini adalah khalayak, audience, penonton,
pemirsa, atau pembaca (Nurudin, 2013:4). Media massa pada komunikasi
massa mengacu kepada alat-alat dalam komunikasi yang dapat menyebarkan
pesan secara serempak, berdampak luas dan heterogen.
Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble tidak hanya memberikan
syarat kepada komunikasi agar komunikasi dapat digolongkan sebagai mass
communication. Mereka juga menjelaskan bagaimana proses terjadinya
komunikasi massa, tahapannya dimulai dari sumber pesan. Masage kemudian
mengalir kepada audience, akan tetapai sebelum sampai ke audience pesan
akan diedit oleh penapis pesan dan disebarkan melalui media massa. Namun
dalam proses penerimaan pesan tersebut audience dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan. Kemudian audience dapat memberikan umpan balik
melalu berbagai macam saluran.
31
Gambar 2.1
Komunikasi massa model Gamble dan Gamble (Nurudin, 2013:149).
Untuk mempermudah memahami komunikasi massa maka Schramm
menggambarkanya sebagai berikut:
Gambar 2.2
Model komunikasi massa Schramm (Baran, 2009:7).
Black dan Whitney membagi proses komunikasi massa menjadi empat
wilayah, yakni sumber, pesan, umpan balik, dan audience.
32
Gambar 2.3
Komunikasi massa model Black dan Whitney (Nurudin, 2013:155).
Berbicara mengenai komunikasi massa, tidak akan lepas dari fungsi
media massa. Pada saat kita membicarakan mengenai fungsi komunikasi
massa, kita sekaligus membicarakan fungsi media massa. Hal ini dikarenakan
komuniksai massa berarti komunikasi lewat media massa. Sebab, tidak ada
komunikasi massa tanpa media massa.
Menurut Black dan Whitney dalam Nurudin (2013:64) komunikasi
massa mempunyai fungsi: 1) to inform (menginformasikan), 2) to entertain
(memberi hiburan), 3) to persuade (membujuk), 4) transmission of the culture
(transmisi budaya). Sementara itu Alexis S. Tan membagi fungsi komunikasi
dalam empat hal.
33
Tabel 2.3
Fungsi komunikasi massa Tan (Nurudin, 2013:65)
No.
Tujuan
Komunikator
(Penjaga Sistem)
Tujuan Komunikan
(Menyesuaikan diri pada sistem:
pemuasan kebutuhan)
1 Memberi informasi Mempelajari peluang dan ancaman, memahami lingkungan, menguji
kenyataan, meraih keputusan.
2 Mendidik
Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berguna
memfungsikan dirinya secara efektif
dalam masyarakatnya, mempelajari
nilai, tingkah laku yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya.
3 Mempersuasi
Memberi keputusan, mengadopsi nilai,
tingkah laku, dan aturan yang cocok
agar diterima dalam masyarakatnya.
4
Menyenangkan,
memuaskan
kebutuhan komunikan
Mengembirakan, mengendorkan urat
saraf, menghibur, dan mengalihkan
perhatian dari masalah yang dihadapi.
Beberapa pendapat mengenai fungsi komunikasi massa di atas dapat
disimpulkan bahwa fungsi komunikasi massa adalah sebagia pemberi
informasi, pendidikan, dan menghibur. Media juga sebagain penyedia
pelajaran tentang kesadaran identitas dan budaya yang masig dinegosiasi
(Yusuf, 2016:30).
Setelah membicarakan fungsi dari media massa, tidak ada salahnya
kalau kita mengetahui efek atau dampak yang dapat ditimbulkan oleh media
massa. Sebab komunikasi massa dapat menimbulkan dampak yang siknifikan
pada audience. Efek yang dapat ditimbulkan oleh komunikasi massa bisa
berwujud: efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan perasaan), dan
behavioral (perubahan pada perilaku) (Nurudin, 2013:228). Komunikasi
34
massa juga dapat mempengaruhi pengalaman budaya seseorang (Yusuf,
2016:30).
Besarnya efek yang dialami oleh audience dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yakni faktor individu dan faktor sosial. Faktor individu
meliputi selective attention, selective perception, selective retention, motivasi,
pengetahuan, kepercayaan, pendapat, kebutuhan, nilai, pembujukan,
kepribadian dan penyesuaian diri.
Gambar 2.4
Faktor individu (Nurudin, 2013:229).
Gambar 2.5
Faktor sosial (Nurudin, 2013:234)
Source
selective attention, selective
perception, selective retention
Motivation and
learning
Beliefs, opinions,
needs, values
Persuability
Personality and
adjustment
Source
Umur dan jenis kelamin
Pendidikan dan Latihan
Pekerjaan dan PendapatanAgama
Tempat tinggal
35
D. Gender
Masyarakat telah berkembang sesuai dengan jaman, begitu pula
pemahaman akan makna gender. Namun masih banyak masyrakat yang
menganggap gender serupa dengan sex, pada dasarnya kedua intilah tersebut
memiliki pengertian yang berbeda. Gender pada dasarnya digunakan untuk
mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya (Umar,
2010:31). Sedangkan sex digunakan untuk mengetahui perbedaan laki-laki
dan perempuan dari segi biologis.
Study mengenai sex lebih menekankan kepada analisis biologis
manusia. Analisis tersebut diantaranya adalah mengkaji sistem reproduksi,
hormon, anatomi manusia, dll. Sedangkan gender lebih melihat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan melalui sosial, budaya, dan aspek non biologis
lainnya. Gender dan sex jelas memiliki perbedaan dalam memandang
manusia. Gender dapat berubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu,
sedangkan sex digunakan untuk mengartikan aktivitas seksual yang tidak
mungkin berubah.
Oleh sebab itu, ketika seorang anak dilahirkan maka mereka telah
memiliki beban gender dari masyarakat. Kondisi ini disebabkan oleh
pengidentifikasian masyarakat terhadap sistem reproduksi yang dibawa anak
tersebut. Beban ini terus berkembang di masyarakat dan setiap daerah
memiliki beban gender yang berbeda-beda.
36
Gambar 2.6
Perbedaan sex dan gender (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:10)
Oleh karena itu, pemahaman sex (jenis kelamin) dan gender harus
dipertegas, sehingga masyarakat dapat membedakan sex sebagai kodrat dan
gender sebagai kontruksi sosial. Pemahama tentang sex dan gender yang tepat
dapat melahirkan keadilan gender (kesetaraan gender). Pada dasarnya
kesetaran (keadilan) gender tidak menempatkan laki-laki dan perempuan
sama/sejajar dalam segala hal, namun yang dimaksud adalah pemberian akses
dan kesempata yang sama pada keduanya tanpa memandang jenis kelamin
(TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:26).
Kurangnya pemahaman gender di masyarakat dan menganggap geder
sama dengan sex dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Masalah-masalah
yang dapat ditimbulkan dari ketidakadilan gender dapat berupa: 1)
Marginalisasi terhadap perempuan, perempuan menjadi pihak yang
dipinggirkan. 2) Subordinasi terhadap wanita, keadaan ini menganggap
wanita tidak penting dan kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. 3)
SEX
•Ciptaan Tuhan
•Bersifat kodrat
•Tidak dapat berubah dan ditukar
•Berlaku sepanjang jaman dan dimana saja
GENDER
•"Buatan" manusia
•Tidak bersifat kodrat
•Dapat berubah dan dapat ditukar
•Tergantung waktu dan budaya setempat
37
Beban kerja yang berlebihan. 4) Streotipe terhadap perempuan. 5) Kekerasan
terhadap wanita baik secara fisik maupun mental psikologis (TIM PSGK
IAIN SALATIGA, 2012:12).
Berkenaan dengan study tentang gender, terdapat beberapa teori yang
menjelaskan perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Seperti teori
psikoanalisis, teori fungsionalis struktural, teori konflik, teori feminis:
1. Teori Psikoanalisis/Identifikasi
Pelopor dari teori ini adalah Sigmund Freud (1856-1939) yang
menyatakan bahwa perkembangan seksualitas pada laki-laki dan
perempuan menentukan perilaku dan kepribadiannya (Umar, 2010:41).
Sementara itu, kepribadian manusia terdiri dari tiga struktur id, ego, dan
superego. Id merupakan bawaan sejak lahir, ia bekerja diluar sistem
rasional dan bekerja dengan prinsip kesenangan untuk memberikan
kepuasan/kenikmatan. Ego berkembang sejak awal kelahiran bayi dengan
menggunakan prinsip realitas. Kepribadian ini berperan dalam berpikir,
mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan mengendalikan
tindakan. Superego merupakan aspek moral yang berkembang pada masa
kanak-kanak. Tahap ini merupakan wujud dari nilai benar dan salah yang
ada di masyarakat. Suatu nilai yang mempengaruhi individu karena
dicontohkan dan diajarkan oleh orang tua serta guru.
Perkembangan kepribadian tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan seksualitas. Pada teori Freud dikemukakan lima tahap
yang disebut dengan “lima tahap psikoseksual” (Umar, 2010:42).
38
Pertama, oral stage yakni kenikmatan berada pada mulut, tahap ini
dialami oleh bayi. Kedua, anal stage dimana kenikmatan terletak di
daerah anus. Ketiga, phallic stage merupakan tahapan dimana seorang
anak mulai mengidentifikasi genital/alat kelamin. Keempat, talency stage
yaitu penekana/penahanan gairah seksual anak sampai tahap pubertas.
Kelima, genital stage yakni tahap pubertas anak yang ditandai dengan
kematangan seksualitas.
Pedipal conflict akan tibul ketika anak berada pada tahap phallic.
Konflik ini merupaka ketertarikan seksual seorang anak kepada orang tua
yang memiliki jenis kelamin berbeda. Anak laki-laki akan tertarik kepada
ibu dan sebaliknya, seorang anak perempuan akan tertarik kepada
ayahnya. Kondisi ini berakibat kepada pengidentifikasian seorang anak
terhadap orang tua yang memiliki jenis kelamin sejenis. Proses dimana
seorang anak menginginkan menjadi pribadi lain dengan meniru perilaku,
mengadopsi keyakinan, dan nilai-nilai yang sama. Oleh sebab itu, dapat
tercipa identitas gender, yaitu laki-laki dan perempuan.
2. Teori Fungsionalis Struktural
Masyarakat yang tersusun atas beberapa elemen dan saling
mempengaruhi satu sama lain merupakan hal yang menjadi landasan dari
teori ini. Oleh karena itu, terciptalah pembagian peran secara seksual.
Menurut Talcott Parsons dan Robert Bales, dari hubungan laki-laki dan
perempuan akan melahirkan keharmonisan bukan persaingan (Umar,
2010:46). Ketika hubungan ini ternodai atau terjadinya penyimpangan,
39
sehingga melahirkan tumpang tindih antara keduanya, akibatnya sistem
keutuhan akan mengalami ketidak seimbangan. Sementara itu,
keseimbangan hanya akan tercapai apabila laki-laki dan perempuan
berjalan pada posisnya sesuai dengan seksualitas.
3. Teori Konflik
Teori konflik sering dihubungkan dengan faktor ekonomi. Hal ini
dikarenakan ekonomi dapat melahirkan ketidak adilan. Friedrich Engels
menjelaskan bahwa berbedaan biologis pada laki-laki dan perempuan
tidak melahirkan perbedaan dan ketimpangan gender, akan tetapi
ketimpangan dilahirkan dari penindasan yang dilakukan oleh kelas yang
berkuasa dalam hubungan produksi yang diterapkan dalam keluarga
(Umar, 2010:54). Ketimpangan gender tidak terlahir dari faktor biologis,
melainka terlahir dari konstruksi masyarakat (Umar, 2010:55). Pada
konsep ini hubungan suami isteri tidak ubahnya seperti, hamba dan tuan,
pemeras dan diperas, proletar dan borjuis (Umar, 2010:54).
Konsep tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat, yakni
kekuasaan berada pada laki-laki dan mereka mendominasi produksi.
Seorang laki-laki memperoleh peran dalam memproduksi barang-barang
konsumsi, dan perempuan berada pada kondisi pengguna. Hal ini
mengakibatkan posisi perempuan dipandang sebagai bagian dari harta.
Akibatnya adalah terjadinya penindasan terhadap perempuan. Teori ini
juga menekankan pada pembagian ekonomi yang tidak adil sehingga
40
melahirkan konflik dan perubahan sosial, akibatnya terjadi subordinasi
perempuan dan tumbuhnya hak milik pribadi (Umar, 2010:63).
E. Feminisme
Teori feminisme merupakan sebuah teori yang sering menjadi dasar
pemikiran tetang kesetaraan gender, alangkah baiknya jika mengetahu teori
feminisme lebih dalam. Feminisme merupakan sebuah kata yang berasal dari
bahasa latin femina atau perempuan (TIM PSGK STAIN SALATIGA,
2012:214). Gerakan feminisme ini didasari oleh ketimpangan antara
perempuan dan laki-laki di masyarakat. Menurut Bashin dan Khan dalam
Muslikhati (2004:17) mengatakan bahwasanya sulit untuk memberikan
definisi feminisme yang dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua
feminis disemua tempat dan waktu, karena definisi feminisme berubah-ubah
sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi
kelahirannya serta perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang
dilakukan feminis itu sendiri.
Menurut Lerner mendefinisikan istilah feminisme adalah sebuah
doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan politik yang setara bagi
perempuan; menyusun suatu deklarasi perempuan sebagai sebuah
kelompok dan sejumlah teori yang telah diciptakan oleh perempuan;
kepercayaan tentang perlunya perubahan sosial yang luas yang
berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan. Lerner juga
menyatakan bahwa feminisme dapat mencakup baik gerakan hak-hak
perempuan maupun emansipasi perempuan (TIM PSGK STAIN
SALATIGA, 2012:215).
Melalui gerakan feminisme, kaum wanita menolak segala sesuatu yang
mendiskriminasikan dan merendahkan. Baik dalam bidang politik, sosial, dan
41
ekonomi. Gerakan ini muncul dalam berbagai klasifikasi yang dapat kita lihat
pada gambar berikut:
Gambar 2.7
Klasifikasi teori feminisme (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:223).
1. Feminisme Liberal
Teori ini berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang
sama. Feminisme liberal melandaskan ide fundamentalnya pada pemikiran
bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran yang
menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan
kebebasan individu (TIM PSGK STAIN SALATIGA, 2012:225). Oleh
sebab itu, tidak ada suatu kelompok jenis kelamin yang lebih menonjol.
Sumber masalah yang sering dialami oleh perempuan timbul karena
adanya hambatan dari budaya atau adat dan hukum yang menghalangi
perempuan untuk tampil di publik. Perempuan dalam feminisme liberal
memperjuangkan perlakuan yang sepenuhnya sama dengan laki-laki,
pendidikan, hak suara, kesamaan dalam hukum, bekerja dalam sistem yang
Feminisme
Gelombang Awal
1. Feminsme Liberal
2. Feminisme Radikal
3.Feminisme Marxis/Sosialis
Gelombang Kedua
1. Feminisme Eksistensial
2. Feminisme Gynosentris
Gelombang Ketiga
1. Feminisme Post Modern
2. Feminisme Multikultural
3. Feminisme Global
4. Feminisme ekofeminisme
42
telah ada, serta bekerja sama dengan laki-laki. Inti dari ajaran feminisme
meliputi: a) Memfokuskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita. b)
Memperluas kesempatan dalam pendidikan. c) Kesetaraan politik antara
laki-laki dan perempuan.
2. Feminisme Radikal
Teori ini lebih memfokuskan pada keberadaan institusi keluarga dan
sistem patriarki. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegalkan laki-
laki sebagai pihak yang berkuasa. Lembaga perkawinan adalah lembaga
formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama feminis
radikal adalah untuk menolak institusi keluarga (Muslikhati, 2004:35).
Bagi feminisme radikal, dasar penindasan terhadap permpuan adalah
dominasi laki-laki (patriarki), dimana penguasaan fisik perempuan oleh
laki-laki merupakan bentuk dasar penindasan. Berdasarkan hal tersebut,
feminisme radikal berpandangan bahwa perempuan berhak untuk
memutuskan segala sesuatu yang bekaitan dengan tubuh mereka. Tidak
hanya itu, feminisme radikal menganggap bahwa patriarki yang
menjadikan laki-laki lebih dominan dari pada perempuan mengakibatkan
kekerasan terhadap perempuan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi terlihat alami dan layak.
3. Feminisme Marxis/Sosialis
Teori Marxis/Sosialis bersumber pada penindasan perempuan yang berasal
dari eksploitasi kelas. Perbedaan kelas dapat menimbulkan ketimpangan
43
antara laki-laki dan perempuan. Feminisme Marxis berpendapat bahwa
sistem kelas bertanggung jawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
4. Feminisme Eksistensial
Feminisme eksistensial merupakan pergerakan yang bertujuaan untuk
menyadarkan perempuan untuk dapat menentukan jati diri mereka. Teori
ini menganggap penindasan yang terjadi terhadap perempuan diakibatkan
oleh beban reproduksinya, sehinnga perempuan tidak memiliki
kesempatan untuk menawar kedudukannya. Akibatnya adalah perempuan
sulit mengembangkan eksistensi diri. Eksistensi perempuan menjadi
terkekang dan hilang karena dibatasi oleh laki-laki.
5. Feminisme Gynosentris
Feminisme gynosentris yaitu feminisme yang memandang ketertindasan
perempuan dari perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan, yang
menyebabkan perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Teori ini
beranggapan bahwa perempuan harus kuat dan menumbuhkan
pengetahuan sehinggaakan membekali mereka untuk melawan control
patriarkhial, baik secara fisik maupun kejiwaan.
6. Feminisme Post Modern
Feminisme post modern pada dasarnya sama dengan teori feminisme yang
lain, yakni perempuan merupakan kelompok yang termarjinalkan. Teori
post modern berfokus pada teks yang mana realitas dipandang sebagai
text/intertextual baik berupa lisan, tulisan, maupun imaji (gambar).
Dominasi laki-laki dan cara berpikirnya dihasilkan oleh bahasa. Mereka
44
beranggapan bahwa setiap masyarakat diatur oleh serangkaian tanda,
peranan, dan ritual. Marjinalisasi terhadap perempuan terjadi karena
budaya yang dibangun oleh bahasa laki-laki.
7. Feminisme Multikultural
Feminisme multikultural melihat ketertindasan perempuan sebagai satu
definisi dan tidak melihat ketertindasan terjadi di kelas dan ras, preferensi
sosial, umur, agama, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
8. Feminisme Global
Feminisme global menekankan ketertindasan dalam konteks perdebatan
antara feminisme di dunia yang sudah maju dan di dunia yang sedang
bekembang.
9. Feminisme Ekofeminisme
Teori ekofeminisme merupakan teori yang berupaya untuk menjelaskan
hubungan antara perempuan dan alam. Munculnya teori ini karena ketidak
puasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok.
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah perempuan memasuki dunia
maskulin yang didominasi oleh laki-laki adalah tidak menonjolnya lagi
feminisnya. Akibat yang timbul adalah terjadi adalah male clone (tiruan
laki-laki). Memudarnya kualitas feminisme (cinta, pengasuhan, dan
pemeliharaan) dalam masyarakat adalah rusaknya alam, menurunya
solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan
anak-anaknya.
45
BAB III
GAMBARAN UMUM NOVEL GADIS PANTAI
A. Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Anan Toer merupakan seorang sastrawan kelahiran Blora,
Jawa Tengah pada 6 Pebruari 1925 (Muhibbuddin, 2015:1). Beliau
merupakan anak pertama dari Sembilan bersaudara. Ayahnya bernama M.
Toer (Mastoer), sedangkan ibunya bernama Saidah (Hun, 2011:1). Terlahir
dari keluarga terpandang, yakni sang ayah merupakan anggota keluarga
Bupati Kediri dan ibunya adalah anak dari seorang penghulu Kabupaten
Rembang tidak lantas membuat Pramoedya bergelimang harta. Hal ini dapat
terlihat dari kehidupan keluarganya. Ayahnya yang berprofesi sebagai guru
tidak banyak mendapatkan gaji, sehingga ibunya harus membantu bekerja
sebagai penjual nasi, beras, kayu bakar, dan menggembala lembu guna
memenuhi kebutuhan rumah tangga (Muhibbuddin, 2015:2).
Keadaan ekonomi yang serba kekurangan mengakibatkan
pertengkaran dalam keluarga. Namun pertengkaran ini tidak berakibat kepada
perpencahan, hal ini dikarenakan oleh jiwa patriotik nasionalis kiri, dengan
jiwa ini Pramoedya tumbuh. Jiwa ini mengajarkan Pramoedya untuk menjadi
manusia bebas. Ia tidak harus menjadi pegawai negeri atau golongan priyayi,
sebagai mana pekerjaan yang diidam-idamkan pada masa itu. Melainkan ia
harus mau menerima segala pekerjaan dan tidak merasa malu akan pekerjaan
tersebut.
46
Walaupun dalam gejolak ekonomi, Pramoedya tetap mendapatkan
pendidikan. Pramoedya memulai pendidikannya di Sekolah Dasar Perguruan
Budi Utomo pada tahun 1929 (Hun, 2011:4). Ketika bersekolah, Pramoedya
merupakan murid yang tidak terlalu pandai, hal tersebut dapat dilihat pada
saat Toer harus menyelesaikan tiga kelasnya dalam kurun waktu tiga tahun
(Muhibbuddin, 2015:7). Akibat dari keadaan tersebut adalah kemarahan sang
ayah yang berujung pada keluarnya Prammoedya dari sekolah. Pramoedya
tidak serta merta meninggalkan pendidikan, ia menerima pengajaran dari
ayahnya sediri selama tidak bersekolah dilembaga pendidikan formal.
Setahun kemudian Pram bersekolah kembali, sehingga pada tahun 1939
Pramoedya berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya (Hun, 2011:4).
Setelah lulus dari sekolah dasar Toer berkeinginan melanjutkan
sekolah di Meer Uitgebreid Lager onderwijs (MULO). Namun keinginannya
tersebut harus pupus, karena mendapat penolakan dari ayahnya sendiri. Tidak
putus asa dengan keadaan tersebut, mengantarkan Pramoedya dalam meraih
pendidikan selanjutnya. Tepatnya pada 1940-1941, Radio Vakschool
Surabaya menjadi tempat belajarnya (Muhibbuddin, 2015:22). Sayangnya
setelah lulus Pramoedya tidak mendapatkan ijazah, dengan alasan bahwa
ijazahnya harus dikirim ke Bandung untuk disahkan. Namun ijazah tersebut
tidak kunjung dikembalikan.
Selang dua tahun dari kelulusannya, Pram harus rela ditinggal pergi
ibunya untuk selama-lamanya. Pada Mei 1942, ibunda tercintan
menghembuskan nafas terakhir diusia yang ke 34 tahun (Hun, 2011:8).
47
Pramoedya kemudian memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Kota ini menjadi
saksi ketika ia mulai menata hidup dengan belajar Bahasa Indonesia di Taman
Siswa (taman Dewasa Kelas II). Pendidikan ini berlansung selama satu tahun.
Sembari belajar, Pramoedya juga bekerja di Kantor Berita Jepang Domei
sebagai juru ketik. Pekerjaan ini dilakukan Pramoedya pada sore dan malam
hari.
Bekerja di Domei mengantarkan Pramoedya untuk bersekolah di
Stenografi Tjuo Sangiin yang dibiayai oleh kantornya. Pendidikannya ini
ditempuhnya dari Pebruari 1944 sampai Maret 1945 (Hun, 2011:9). Setelah
menyelesaikan pendidikan tersubut, ia melanjutkan sekolah ke Sekolah
Tinggi islam, Gondangdia. Ketika berada di sekolah tersebut ia belajar
sosiologi, filsafat, dan psikologi.
Kemudian majalah “Sadar” yang mana edisi Indonesia dari Majalah
The Voice of Free Indonesia menerima Pram bekerja. Mulai Januari 1947 ini
lah Pramoedya bekerja sebagai redaktur pada majalah tersebut (Hun,
2011:11). Setelah bekerja kurang lebih tiga bulan, tepatnya pada April 1947
ia memiliki jabatan baru. Pramoedya dipercaya untuk menempati jabatan
sebagai ketua bagian penerbitan Indonesia. Masih di tahun yang sama, yakni
pada 21 Juli 1947 aksi militer Belanda terjadi (Hun, 2011:12). Kemudian
Pramoedya mendapatkan tugas untuk mencetak dan menyebarkan risalah-
risalah dan majalah perlawanan dari atasannya. Pekerjaan ini mengtarkannya
ke tahanan tangsi Angkatan Laut di Gunung Sahari. Ia dimasukan ke penjara
oleh Angkatan Laut Belanda. Kemudia ia dipindahkan ke tangsi Polisi Militer
48
dan Pulau Edam. Penahanan yang dilakukan tanpa proses peradilan ini
berkhir pada 18 Desember 1949 karena adanya pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Belanda (Hun, 2011:13).
Sehabis keluar dari penjara dan selang beberapa tahun, pada Mei 1953
Pramoedya berkesempata belajar ke Belanda (Hun, 2011:14). Kali ini ia
dibiayai oleh Sticusa (Stichtung voor Culturele Samenwerking: Yayasan
Kerja Sama Kebudayaan Belanda-Indonesia). Tidak hanya Belanda, Pram
juga pergi ke Bejing pada Oktober 1956 atas undangan Lembaga Sastrawan
Cina Pusat guna memperingati meninggalnya pujangga Lu Sin yang ke-20
(Hun, 2011:15). Pramoedya juga mendirikan kelomok diskusi “Simpat
Sembilan” yang beranggotakan para seniman, wartawan, dan mahasiswa.
Kemudian pada tanggal 7 September 1958, ia memimpin delegasi Indonesia
pada Pertemuan Pengarang Asia-Afrika di Taskent.
Aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di luar negeri tidak menjadikan
Pramoedya melupakan Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan keikut
sertaannya dalam kongres-kongres di dalam negeri. Seperti Kongres Nasional
I Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakya) yang diadakan di Solo. Pramoedya di
sini bertindak sebagai peserta.
Pramoedya juga aktif menulis buku, pada Maret 1960, ia menerbitkan
buku Hoa Kiau (Hun, 2011:17). Akan tetapi buku tersebut dituduh berisi
pembelaan terhadap pedagang keturunan Cina yang saat itu dilarang
berdagang di tingkat kecamatan dan kabupaten. Akibatnya, ia harus dipenjara
selama sembilan bulan tanpa proses pengadilan.
49
Pramoedya kembali ditahan tanpa proses pengadilan pada 13 Oktober
1965, penangkapan ini terjadi setelah gagalnya pemberontakan G-30-S (Hun,
2011:19). Ia dituduh terlibat kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap oleh
Orde Baru sebagai badan yang disusupi komunisme. Selama dalam penjara
dan pengasingan ini Pramoedya tidak diizinkan untuk menulis, namun setelah
kedatangan Jenderal Soemitro ketempat pengansinganya di pulau Buru.
Pramoedya diizinkan menulis kembali. Pada kondisi ini lah Pramoedya
menghasilkan karya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah dan Rumah Kaca. Ia juga melahirkan Arok Dedes, Mata Pusaran,
Arus Balik, sebuah drama Mangir, dan nonfiksi Nyanyian Tunggal Seorang
Bisu. Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya dibebaskan (Gemilang,
2014:138). Walau pun telah dibebeskan, ia tetap dikenakan peraturan wajib
lapor, dan tidak memiliki hak memilih atau dipilih dalam Pemilu.
Namun karya-karya Pramoedya tersebut baru dapat diterbitkan setelah
ia bebas dari penjara dan pengasingan. Novel Bumi Manusia diterbitkan pada
17 Agustus 1980 dan Anak Semua Bangsa pada bulan Desember ditahun yang
sama (Hun, 2011:20). Kedua novel tersebut mendapat sambutan yang baik
dari pembaca, akan tetapi novel-novel tersebut segera dilarang beredar di
Indonesia karena dianggap berisi ajaran terlarang, yakni “pertentangan kelas”.
Begitu pula dengan karya-karyanya yang lain, mendapatkan perlakuan yang
sama. Karya tersebut diantara lain Jejak Langkah, Sang Pemula, Gadis
Pantai, Rumah Kaca, Hikayat Siti Mariah. Untuk tetralogi Bumi Manusia
50
telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Penguin Book,
Australia.
Atas kerjakerasnya, Pramoedya menorehkan prestasi yang
membanggakan Indonesia. Seperti pengangkatan Pramodya sebagai anggota
kehormatan dibeberapa organisasi sastra internasional. Sebagai contoh: (a)
Adopted Member of the Netherlands Center of P.E.N International. (b)
Honorary Member of the Japan Center of P.E.N International. (c) Honorary
Life Member of the International P.E.N. australia Centre. Tidak hanya
sebagai anggota kehormatan, Pramoedya juga menerima beberapa
penghargaan, diantaranya: (1) UNESCO Madanjeet Singh Prize dari
UNESCO, Paris, Prancis. (2) New York Foundation for the Arts Award,
Amerika Serikat. (3) Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
Tepat pada tanggal 30 April 2006, pada usia yang ke-81 tahun,
Pramoedya menghembuskan nafas terakhir (Muhibbuddin, 2015:1). Ia
meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit St Carolus.
B. Novel Gadis Pantai
Gadis Pantai, sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer. Novel
tersebut merupakan salah satu novel Pramoedya yang tidak selesai. Pada
mulanya novel ini dimuat pada surat kabar Bintang Timur sebagai cerita
bersambung. Serta dua buku lanjuta Gadis Pantai telah hilang ditelan
keganasan Orde Baru. Novel ini juga dilarang beredar pada tahun 3 Agustus
1988. Naskah ini juga pernah diterbitkan oleh:
51
1. Gadis Pantai, dalam cerita bersambung oleh Lentera/Bintang
Timur, 1962.
2. Gadis Pantai oleh Hasta Mitra, 1987.
Tidak hanya dalam bahasa Indonesia, novel ini juga telah
diterjemahkan dan diterbitkan dalam berbagai bahasa, yakni:
1. Meisje van het Strand oleh Unieboek, bv., 1989, edisi Belanda.
2. Meisje van het Strand oleh Manus Amici, 1990, edisi Belanda.
3. Meisje van het Strand oleh De Geus, 1989, edisi Belanda.
4. Die braut des Bendoro oleh Bastei Lubbe, 1996, edisi Jerman.
5. The Girl from the Coast oleh Select Books, 1991, edisi Inggris.
6. Die braut des Bendoro oleh Horlemann, 1995, edisi Jerman.
7. Dziewczynaz Wybrzeza oleh Amber, 2004, edisi Polandia.
8. La Noia de la Costa oleh La Magrama, 2002, edisi Barcelona.
9. La Joven de la Costa oleh Destino, 2001, edisi Catalan, Spanyol.
10. La Joven de la Costa oleh RBA Libros, 2002, edisi Spanyol.
11. The Girl from the Coast oleh Hyperion, 2002, edisi Amerika.
12. A Rapariga de Java oleh Quetzal Editores, 2002,edisi Portugal.
13. TO KOPITΣI AΠO THNAKHT oleh KEΔPOΣ, 2003, edisi Yunani.
C. Sinopsis Novel Gadis Pantai
Rembang merupaka sebuah kota di Jawa Tengah. Terdapat sebuah
kampung nelayan di pinggir kota, di sana hiduplah seorang gadis. Pramoedya
Ananta Toer dalam novelnya menyebut gadis itu “Gadis Pantai”. Ia
merupakan kembang desa dengan umur empat belas tahun, tubuh kecil, mata
52
sipit, kulit langsat. Hari-harinya yang ceria ditemani oleh laut dan ombak
harus hilang seketika, ketika seorang Pembesar atau Bendoro
memperisterinya. Namun ia hanya menjadi isteri latihan Bendoro. Istri yang
tidak resmi, karena ia hanya akan menjadi isteri selama bendoro belum
mempersunting seorang perempuan dari kalangan yang sederajat.
Ia berkeinginan menolak pernikahan tersebut, namun orang tuanya
bersikeras untuk menikahkannya dengan Bendoro. Hal ini disebabkan oleh
status sosial, karena menikahkan Gadis Pantai dengan seorang Bendoro dapat
mendatangkan kehormatan. Gadis Pantai yang tak kuasa menolak keinginan
orang tuanya, pada akhirnya menerima perkawinan tersebut. Kesanggupannya
tersebut membawanya kesebuh rumah megah. Bangunan megah tersebut
merupakan kediaman Bendoro.
Menikahi Bendoro telah menjadikanya Wanita Utama. Ia tak lagi
harus bergelut dengan amisnya ikan. Ia hanya perlu memerintah bujangnya
(pembantu). Tidak hanya memerintah, dia berkewajiban untuk mengabdi dan
melayani Bendoro saja.
Kedudukkan wanita utama menjadikannya dipanggil “Mas Nganten”
oleh pembantunya. Tidak hanya itu, ia harus menerima aturan yang selama ini
tidak ia mengerti. Aturan yang mengharuskannya berjauhan dengan orang
tuanya. Ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Emak dan Bapak sampai batas
waktu yang ditentukan Bendoro.
Gadis Pantai tidak sebebas dahulu, kini hidupnya bagaikan di dalam
sangkar. Merasa canggung di rumah yang ia tempati, suasana yang berbeda,
53
aturanya pun berbeda, sehingga membuatnya kesepian setiap saat. Untungnya
ada bujang wanita (pembantu) yang selalu menemaninya. Tidak hanya
menemani, bujang memiliki tugas yang amat penting, yakni membimbing
Gadis Pantai supaya menjadi wanita utama yang baik.
Malam telah tiba, sang Bendoro mendatangi kamar Gadis Pantai.
Perasaan gugup menghinggapi Gadis Pantai. Ia pun menyambut Bendoro dan
melakukan apa saja yang telah diajarkan oleh bujang. Lembut, sopan,
berpengetahuan agama sikap yang terlihat dari Bendoro. Sikap tersebut
membuat Gadis Pantai terkesima. Malam semakin larut dan hening, saat itu
merupakan malam pertama Gadis Pantai tidur bersama Bendoro. Setelah itu
hari-harinya dipenuhi dengan mengatur rumah, belajar mengaji, dan belajar
membatik.
Waktu terus berlalu, Gadis Pantai sudah meninggalkan kampung
halamannya selama satu tahun. Bendoro yang selama ini dianggapnya suami
sudah jarang di rumah dan mengunjunginya. Batinnya semakin tersiksa
dengan rasa rindu dan cemburu. Namun Gadis Pantai menyadari posisinya,
bahwa ia hanyalah budak Bendoronya saja. Oleh karena itu, ia tidak mungkin
mampu melarang atau bertanya kepada Bedoro tetang kepergiannya. Dia
hanya memiliki kewajiban melayani Bendoro yang merupakan suami
sekaligus tuannya. Untuk menghilangkan keresahannya, ia hanya mampu
menyibukkan diri dengan selalu bertanya kepada bujang. Apa pun ia
tanyakan, perihal priyayi atau mengenai hak dan kewajiban di dalam berumah
54
tangga. Hingga ia tumbuh menjadi wanita utama yang berpengetahuan luas
dan baik hati.
Perkawinannya telah memasuki usia dua tahun. Kali ini Gadis Pantai
mendapatkan tugas mengobati Bendoro menggunakan lintah. Cara yang
digunaka adalah menempelkan litah pada telapak kaki Bendoro. Lintah yang
tadinya kecil akan membesar karena menghisap darah dan terlepas dengan
sendiri dari kaki Bendoro. Lintah yang telah terlepas harus segera diambil
supaya tidak jatuk ke tanah dan mati sia-sia, ini lah tugas terpenting yang
diemban oleh Gadis Pantai saat mengobati Bendoro.
Hari demi hari telah berlalu, hingga pada suatu ketika Gadis Pantai
kehilangan dompetnya. Kejadian ini bermula ketika Gadis Pantai meminta
tolong kepada saudaranya untuk membersihkan kamarnya. Ketika semuanya
telah rapi, ia pun kembali ke kamar. Supaya kamarnya menjadi harum, Gadis
Pantai menaburkan kapur. Kemudian ia mendapati dompet yang berada di
dalam laci meja riasnya telah hilang. Ia pun merasa bingung, karena kejadian
seperti itu baru pertama terjadi. Pikirannya menjadi bekecamuk, memikirkan
uang belanja yang ada di dalamnya. Apabila dompet tersebut tidak dapat
ditemukan maka celakalah, karena Bendoro dan semua orang di rumah tidak
bisa makan.
Kejadian itu akhirnya ia ceritakan kepada bujang. Setelah mendengar
cerita Gadis Pantai, bujang segera memanggil para agus (bangsawan muda).
Seketika mereka berkumpul, Gadis Pantai diarahkan oleh bujang untuk
menanyai mereka dengan baik. Namun Gadis Pantai tidak memiliki
55
keberanian untuk bertanya kepada mereka. Kemudian tugas ini diambil alih
oleh bujang. Para agus pun ditanyai bujang perihal dompet yang hilang.
Mereka membantahnya dengan nada yang kasar. Penghinaan, adu mulut, dan
ancaman lah yang didapatkan Gadis Pantai dan bujang.
Kemudian bujang menyampaikan kasus tersebut kepada Bendoro.
Mendengar aduan, bendoro pun segera menyelesaikan permasalahan dan
yang terbukti mengambil dompet tersebut adalah agus Karim. Namun dengan
kejadian tersebut membuat bujang dipecat dan diusir dari rumah, karena
kelancangan bujang menggugat para agus.
Beberapa tahun telah berlalu, sikap Bendoro kini kembali berubah.
Tidak pernah berkunjung ke kamar Gadis Pantai dan berkata kasar
kepadanya. Gadis Pantai berharap Bendoro dapat menjenguknya, karena ia
tengah mengandung. Harapan hanya menjadi harapan, sampai Gadis Pantai
melahirkan, Bendoro tidak kunjung datang menjenguknya. Bendoro
mengunjunginya pada hari ketiga setelah ia melahirkan, namun Bendoro
hanya sebentar mengunjunginya. Hal tersebut dikarenakan jenis kelamin
anaknya adalah perempuan dan bukan laki-laki.
Setelah kelahiran anaknya tersebut, tidak lama Bapak dari Gadis
Pantai diundang Bendoro kekediamannya. Mendapat undangan secara
langsung dari Bendoro membuat Bapak senang, karena ia mengetahu bahwa
seorang anak dari keturunan priyayi telah lahir dari rahim anaknya.
Kesenang tersebut seketika hilang, karena hari itu juga gadis pantai resmi
diceraikan oleh Bendoro dengan sepihak.
56
Seketika Gadis Pantai meninggalkan kediaman Bendoro dan hendak
membawa anaknya untuk hidup di kampung nelayan. Keinginannya tersebut
ditolak oleh Bendoro, sehingga Gadis Pantai dengan berat hati menyerahkan
sang jabang bayi kepada Bendoro. Namun sang bayi tidak kunjung disentuh
oleh Bendoro. Gadis Pantai pun berontak kepada Bendoro karena melihat
perlakuaan suaminya tersebut. Pemberontakan Gadis Pantai berakibat kepada
pemukulan dan pengusiran dirinya dari kediaman Bendoro. Akhirnya, ia pun
menyerah dengan keadaan serta pergi sembari menangis dan berdarah.
D. Kerangka Analisis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan peneliti pada
bagian sebelumnya, sehingga diperoleh beberapa data yang relefan dengan
rumusan masalah tersebut. Data yang diperoleh berwujud penggalan kalimat
yang ada pada novel. Peneliti juga menerapkan metode descriptive of analyze
(analisis deskriptif), yang dalam menganalisis data temuan digunakan teori
analisis Sarah Mills. Teori ini diterapkan untuk menganalisis pesan yang
hendak disampaikan Pram kepada pembaca melalui posisi objek-subjek dan
pembaca.
Data yang telah dikumpulkan peneliti dapat digolongkan menjadi tiga
kategori. (1) Data yang berkaitan dengan gambaran perempuan pada novel.
(2) Data yang berkenaan dengan keadilan dan ketidak adilan perempuan. (3)
Data tentang posisi Gadis Pantai dan pembaca pada novel.
57
Tiga kategori data di atas merupakan kajian pokok pada penelitian ini.
Untuk mengetahui gambaran mengenai data-data tersebut peneliti menyajikan
temuannya, sebagai berikut:
1. Bagian ini berkaitan dengan representasi perempuan pada novel.
Perempuan merupakan pusat cerita dan perjalanan kisahnya selalu
dibayangi oleh budaya feodal, sehingga kebanyakan dari mereka
mengalami ketidakadilan. Feodal di sini menjadi pemisah bagi kaum
bangsawan dan jelata, sehingga pada novel tersebut dapat kita jumpai tiga
representasi perempuan, yakni perempuan desa, kota, dan priyayi. Tiga
representasi tersebut juga membawa stereotipe masing-masing.
2. Menjelaskan tentang keadilan dan ketidakadilan yang diterima oleh
perempuan. Beberapa sisi yang menunjukkan ketidakadilan gender dapat
diihat ketika perempuan mengalami kekerasan baik secara fisik maupun
non fisik, sebagai pemuas nafsu sex, sulitnya mengenyam pendidikan, dll.
Ketidakadilan tersebut tidak lantas menghilangkan keadilan terhadap
perempuan. Keadilan masih dapat kita jumpai walau pun hanya terbatas
pada golongan tertentu saja.
3. Pembahasan pada bagian ini berkaitan dengan pembaca dan tokoh utama
pada novel.
Sedikit pemaparan di atas diharapkan dapat membantu dalam memahami
hasil penelitian yang akan dipaparkan pada bab berikutnya. Tidak hanya itu,
peneliti juga menyajikan beberapa/sebagian data yang kiranya dapat
membantu dalam memahami bab selanjutnya. Serta data peneliti lebih lanjut
58
dapat dilihat pada bab berikutnya. Data tersebut diantaranya dapat kita lihat di
bawah ini: pertama, “Dengan sendirinya kakinya yang tak pernah bersandal,
tak pernah berterompah, tak pernah bersepatu dijulurkan dan tiba-tiba saja
selop rumput buatan Jepang telah terpasang pada kakinya” (Toer, 2003:28).
Kedua, “...Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas
Nganten” (Toer, 2003:87). Ketiga, “Jangan ke mari nanti kotor” (Toer,
2003:183). Keempat, Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari
beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar
sendiri pada hormat” (Toer, 2003:70). Kelima, “...dirinya sendiri-orang
kampung diseret ke kota dan diupetikan pada seorang Bendoro” (Toer,
2003:229). Keenam, “Sahaya Bendoro.” (Toer, 2003:32).
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Representasi Perempuan Dalam Novel Gadis Pantai
Representasi pada penelitian ini mengacu kepada penggambaran. Pada
penelitian ini “representasi perempuan” merupakan pemaknaan terhadap
perempuan. Bagaimana seorang perempuan digambarkan oleh Pramoedya
Ananta Toer dalam novel Gadis Pantai. Pramoedya menggambarkannya
dalam keadan sosial yang berbeda.
Novel tersebut menggolongkan perempuan kedalam tiga kategori,
yakni perempuan desa, kota dan priyayi. Pramoedya menampilkan masing-
masing golongan dengan permasalahan sosial yang mengiringinya. Salah satu
permasalahan yang terdapat di dalam novel adalah permasalahan gender.
1. Perempuan Desa
Perempuan desa oleh Pramoedya digambarkan sebagai seorang
yang tidak berpendidikan, kotor, dan pekerja kasar.
“Sst. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar,
nak. Tidak lagi di gubug. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak
lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sss, ssst. Jangan
nangis” (Toer, 2003:13).
Gadis pantai adalah tokoh sentral dalam novel Gadis Pantai, ia
merupakan perempuan yang harus bekerja pada usia 14 tahun. Kondisi ini
lah yang membedakan dirinya dengan kebanyakan anak, dimana pada usia
tersebut kebanyakan anak disibukan dengan pendidikan formal. Sementara
itu, Gadis Pantai harus merelakan tangannya untuk bekerja. Pramoedya
60
menggabarkannya dengan kebiasan Gadis Pantai yang harus menjahit
layar dan jala.
“Tak mampu ia nyatakan, ia nangis melihat anaknya keluar selamat
dari kampung nelayan jadi wanita terhormat, tak perlu berkeringat,
tak perlu berlari-larian mengangkat ikan jemuran bila rintik hujan
mulai membasuh bumi” (Toer, 2003:14).
“Dengan sendirinya kakinya yang tak pernah bersandal, tak pernah
berterompah, tak pernah bersepatu dijulurkan dan tiba-tiba saja
selop rumput buatan Jepang telah terpasang pada kakinya” (Toer,
2003:28).
“Betapa kasarnya tanganmu” (Toer, 2003:32).
Pramoedya menampilkan Gadis Pantai sebagai seorang perempuan
pekerja dan kotor. Ia memiliki tubuh yang tidak terawat layaknya
perempuan yang berdandan, berkulit halus dan putih. Tidak hanya
perempuan yang kotor, Gadis Pantai yang notabennya seorang perempuan
desa dipandang layaknya seorang perempuan yang tidak terhormat. Status
sosila telah menjadikanya sebagai perempuan kelas bawah.
“Dengan kepala masih menunduk Gadis Pantai mengangkat tapuk
matanya, kemudian mengerutkan kening. „Sudah?‟ emak
mendesak. Ternyata Gadis Pantai tak tahu apa itu haid” (Toer,
2003:24).
“Tak mungkin ia menghitungnya, karena ia tak pernah dalam
hidupnya menghitung sampai limapuluh (Toer, 2003:32).
“Mereka seakan makhluk-makhluk dari dunia lain, apalagi kalau
mereka sudah bicara dalam bahasa Belanda yang sepatah pun tak
dikenalnya” (Toer, 2003:237).
Sebagai perempuan kelas bawah, pendidikan tidak lagi menjadi hal
utama. Begitu pula dengan Gadis Pantai, perempuan tanpa pengetahuan,
sehingga perihal haid saja ia tidak mengetahui. Terlebih untuk pengetahun-
61
pengetahuan lainnya, sama sekali ia tidak mengenal. Hal tersebut dapat
kita lihat pada kutipan berikut.
“Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri
dengan air wudu dan dengan sendirinya bersiap untuk
bersembahyang” (Toer, 2003:34).
“... Bendoro telah menyelesaikan “Bismillahirohmanirrohim”,
sekali lagi menatapnya dari atas permadani sana. Ia tak mampu
mengulang menirukan. Ia tak pernah diajarkan demikian” (Toer,
2003:37).
“.... Selamanya memang begini, Mas Nganten” (Toer, 2003:34).
Berwudu, sembahyang/sholat, mengaji yang merupakan bagian dari
pendidikan agama pun ia tidak pernah mandapatkannya. Oleh karena itu,
berakibat kepada tindakan Gadis Pantai yang tidak pernah mengerjakan
kewajibannya sebagai umat Islam. Sesuai dengan tuntuna Al-Qur‟an, surah
Al-Ma‟idah/5:6.
ي ا ي ها لذين من و ا قمت لى لصلوة اغسلو جوىك يديك لى لم ق ن نت م ض ى مسحو ب ء سك رجلك لى لكعب ين ن نت جنبا اطه
مو ط لمست لنسا ء ل تجد ما ء ت يم على سف جا ء حد منك من لغا ىو ليجعل عليك من ح ج صعيد طيبا امسحو بوجوىك يديك منو ما ي يد لل
﴾٦﴿ لكن ي يد لي ه ليت نعمتو عليك لعلك ت ك ن
Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua
kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu junub maka
mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu
dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
62
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur
(Al-Ma‟idah/5:6).
Telah jelas bahwasanya ayat tersebut memberikan edukasi kepada kita.
Ketika hendak melaksankan shalat diwajibkan berwudhu terlebih dahulu.
Wudhu yang merupakan kegiatan mensucikan diri sebelum
dilaksanakannya shalat, menjadi salah satu syarat sahnya shalat. Oleh
sebab itu, berwudu atau mensucikan diri sebelum shalat merupakan salah
satu tolak ukur diterima atau tidaknya shalat.
Tidak hanya berwudhu, Gadis Pantai kali ini mendapatkan
pengetahuan mengenai shalat. Ia mulai mempelajari shalat dari Bendoro,
dengan cara menirukan gerakan shalat yang dilakukan oleh suaminya.
Gerakkan-gerakkan shalat ia ditirukan satu persatu. Melalui ini Gadis
Pantai mulai menyadari kewajibannya sebagi seorang muslim. Allah telah
berfirman pada Al-Qur‟an surah Al Baqarah/2:43, yaitu:
﴾۷﴿ قيمو لصلوة تو لل وة ر عو م ل عين
Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat da nrukuklah beserta
orang-orang yang rukuk (Al Baqarah/2:43).
Ayat tersebut merupakan salah satu perintah yang diberikan Allah kepada
hambanya, tidak lain adalah perintah untuk mengerjakan Shalat. Ibadah
yang tadinya tidak diketahui dan tidak dikerjakan oleh Gadis Pantai, kini ia
mulai melakukanya.
63
Pengetahuan tersebut didapat setelah ia menjadi isteri seorang
Bendoro. Ketika masih tinggal di desa nelayan, ia harus menerima keadan,
yakni sebagai perempuan yang tidak berpendidikan. Kondisi dimana ia
tidak mengerti agama dan pengetahuan lain diakibatkan oleh budaya
patriarki yang begitu kental pada masyarakat Jawa saat itu. Budaya ini
memberi batas yang jelas antara sikaya dan simiskin.
2. Perempuan Kota
Perempuan kota dipandang lebih terhormat daripada perempuan
desa. Sepertihalnya kekayaan, wilayah tempat seseorang tinggal dapat
memberikan status sosial. Beberapa kebiasaan menempatkan orang yang
tinggal di desa pada tingkar sosial rendah dan yang tinggal di kota berada
pada tingkat atas. Perbedaan diantara keduanya tidak hanya terletak pada
tingkat ekonomi, tetapi juga pada kebiasaan atau tingkah laku. Telah
dijelaskan bahwa perempuan desa dianggap memiliki tingkah laku yang
kurang terhormat/sopan. Perempuan yang tinggal di kota memiliki
stereotipe yang melekat, yakni berpendidikan, beradap, dan terhormat.
Oleh karena itu, kehormatan menjadi tuan dari segalanya. Kondisi ini
dapat terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Di kota, Mas Nganten, barangsiapa sudah bersuami, sanggulnya
sebaiknya dihias kembang” (Toer, 2003:55).
“...Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki,
Mas Nganten” (Toer, 2003:87).
“Mas Nganten,” Katanya perlahan. “Sahaya bisa baca bisa tulis,
Mas Nganten bisa?” (Toer, 2003:125).
64
“Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, orang-orang
berbangsa itu, begitu takutnya kalau orang tidak lagi
menghormatinya” (Toer, 2003:156).
Perempuan yang tinggal di kota dan telah menikah memiliki
kebiasaan menyanggul rambut, serta menghiasnya dengan bunga. Berbeda
dengan keadaan di desa, dimana menyanggul rambut dan menghiasnya
dirasa tidak penting. Perempuan desa tidak memiliki waktu untuk
menyanggul, karena meraka telah disibukkan dengan pekerjaan dari pagi
hingga petang. Namun bagi perempuan kota, menyanggul menjadi
keharusan dan menjadi salah satu tanda kehormatan. Tidak hanya itu,
kehormatan perempuan kota berada pada kehormatan suaminya.
Maksudnya adalah seorang suami diibaratkan sebagai tuan bahkan raja
bagi isterinya.
3. Perempuan Priyayi
Priyayi merujuk kepada kalangan bangsawan di tanah Jawa. Gelar
priyayi merupakan gelar kehormatan dan disegani oleh setiap orang. Tidak
semua orang dapat menyandang gelar ini, hanya orang-orang tetentu saja
yang dapat dipanggil dengan sebutan priyayi. Gelar priyayi biasanya
disandang golongan elit, yakni siapa saja yang berdiri diatas rakyat jelata.
Mereka memiliki kedudukan di pemerintahan, pemimpin dan penuntun
masyarakat atau yang berpengaruh.
“Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?” (Toer, 2003:27).
“Kembali bujang itu tertawa terkekeh ditahan. Membenarkan.
„Pada aku ini Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata
hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten‟” (Toer,
2003:27).
65
Apabila seorang laki-laki menjadi pembesar dan mendapatkan
gelar priyayi, maka dengan sendirinya isterinya mendapat gelar yang
serupa. Walaupun isterinya hanya seorang rakyat jelata. Seperti yang
diperlihatkan oleh Pramoedya, Gadis Pantai yang merupakan perempuan
golongan bawah dinikahi seorang Bendoro. Oleh sebab itu, Gadis Pantai
tidak lagi seorang perempuan kotor, melainkan seorang wanita terhormat
dengan gelar priyayi. Predikat atau gelar priyayi ini tidak hanya ditentukan
oleh keturunan saja. Gelar ini dapat disandang oleh mereka yang
berkedudukan dan diberi hak oleh pemerintah kolonial, sehingga gelar
tersebut tanpa sengaja menjadi identitas bagi beberapa orang dan menjadi
salah satu budaya yang ada di Jawa, terutama Jawa Tengah.
Pada penggalan novel di atas dapat dilihat jelas peningkatan status
sosial. Gadis Pantai yang tadinya bergelar sahaya (sebutan bagi rakyat
jelata) memiliki panggilan baru Mas Nganten (panggilan untuk perempuan
kalangan atas yang baru menikah).
“Dimana emaknya?” bapak bertanya.
“Sst. Sst. Dia tak ber-emak, anak priyayi ber-ibu” (Toer, 2003:18).
Secara otomatis gelar priyayi mempengaruhi segalanya dalam
kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan di atas. Seorang anak yang
terlahir dari perempuan golongan priyayi hanya memiliki ibu bukan emak.
Ibu dan emak pada dasarnya memiliki arti yang sama. Keduanya
merupakan panggilan bagi seorang anak kepada orang tua perempuannya.
66
Bagi priyayi “emak” merupakan panggilan yang menghina dan hanya
dipakai oleh golongan bawah (status sosial rendah).
“Ceh, ceh, ceh. Itu tidak layak bagi wanita utama, Mas Nganten.
Wanita utama tinggal menggerakkan jari dan semua akan terjadi”
(Toer, 2003:28).
Banyak hal yang boleh dilakukan priyayi dan tidak boleh
dilakukan. Sepertihalnya ketika Gadis Pantai menghentakkan kakinya
kelantai, hal tersebut dianggap tidak bermoral. Seorang perempuan dari
golongan priyayi tidak ada yang melakukan tindakan demikian.
“Sahaya Bendoro.” Gadis Pantai berbisik dengan sendirinya. “Di
sini kau tak boleh kerja. Tanganmu harus halus seperti beludu.
Wanita utama tak boleh kasar” (Toer, 2003:32).
“Selama tiga bulan, sebenarnya Mas Nganten tidak boleh berbuat
apa-apa” (Toer, 2003:68).
“Jangan ke mari nanti kotor” (Toer, 2003:183).
Perempuan priyayi juga dilarang bekerja keras. Dia hanya perlu
memerintah para bujangnya. Priyayi juga diidentikkan dengan kulit yang
halus. Suatu keharusan priyayi memiliki kulit yang halus, karena kulit
yang kasar hanya pantas bagi golongan sahaya yang tidak bermoral.
Seperti pada kutipan berikut:
“Sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu.
Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela,...”
(Toer, 2003:41).
Perempuan/wanita utama (priyayi) tidak dibenarkan bekerja. Pada konteks
ini pekerjaan yang tidak boleh dilakukan adalah pekerjaan kasar
sebagaimana perempuan desa, seperti menjemur ikan, merajut jala,
menumbuk udang, dll.
67
“Wanita utama mesti belajar-mesti bisa melegakan hati Bendoro,
ingat-ingatlah itu” (Toer, 2003:35).
“Tak boleh punya sahabat, cuma boleh menunggu perintah, cuma
boleh memerintah” (Toer, 2003:46)
Wanita utama tidak serta merta terlepas dari pekerjaan. Wanita
utama memiliki pekerjaan, yakni untuk setia melayani Bendoro. Ia
memiliki hak memerintah bujang, di sisi lain ia diperintah oleh Bendoro.
Wanita utama juga tidak diperbolehkan memiliki sahabat selain dari
kalangan yang sederajat. Hidup wanita utama hanya dihabiskan untuk
menerima perintah dan melayani Bendoro.
B. Nilai-nilai Kesetaraan dan Ketidak Adilan Gender Pada Novel Gadis
Pantai
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai kesetaraan
dan ketidakadilan gender pada novel Gadis Pantai alangkah baiknya jika kita
menyimak Al Qur‟an surah A-Ahzab/33:35. Ayat ini mengajarkan kepada
kita tetang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Berikut bunyi
ayatnya:
دقت ن دقين لص لمسلمين لمسلمت لمؤمنين لمؤمنت لقنتين لقنتت لصب ت ل عين ل عت ب ين لص مين لص قت لصا ى قين لمتصد لمتصد
و له لذ ت عد لل و ثي مت لحفظين جه لحفظت لذ ين لل لص ى ﴾۳۵﴿ مغف ة ج عظيما
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
68
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banya menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar (A-Ahzab/33:35). Namun pada kenyataannya masih banyak wanita yang mengalami
ketidakadilan. Perjuangan wanita dalam menghadapi ketidakadilan, terutama
di Indonesia sering dikaitan dengan R.A. Kartini. Perjuangan membela kaum
perempun dalam meraih pendidikan. Pada masa R. A. Kartini pendidikan
hanya diperuntungkan bagi kaum laki-laki. Perjuangan tersebut sedikit
disinggung dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.
Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau?
Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar
sendiri pada hormat” (Toer, 2003:70).
Pada kutipan tersebut R.A. Kartini disebut dengan Den-ajeng Tini. R.A.
Kartini dianggap sebagai perempuan satu-satu yang berani melawan ketidak
adilan yang dilakun para pembesar Belanda dan priyayi Jawa.
Tidak hanya itu, Pramoedya Ananta Toer dalam novel Gadis Pantai
menampilkan kehidupan perempuan dengan konflik sosial yang dihadapinya.
Permasalahan-permasalahan yang dibalut tradisi dan budaya patriarki.
Budaya yang menjadi pemisah antara kota dan desa.
Permasalahan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, kota dengan
desa, priyayi dan sahaya digambarkan dengan apiknya. Namun novel tersebut
mengambil tema utama berupa “Ketidakadilan terhadap perempuan”.
Walaupun diperlihatkan ketidakadilan terhadap perempuan, novel ini
menampilkan kesetaraan terhadap perempuan dibeberapa bagian. Kesetaraan
tersebut dapat kita jumpai pada kelas-kelas sosial tertentu.
69
Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dapat kita lihat pada
kutipan berikut:
“Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah
keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan
anak emaknya lagi. Kini ia anak sebilah keris, wakil seseorang yang
takpernah dilihatnya seumur hidup” (Toer, 2003:12).
Pernyataan diatas menyatakan terjadinya ketimpangan sosial antara kelas atas
dan bawah. Perempuan dari kelas bawah (Gadis Pantai) dapat dinikahi oleh
seorang priyayi (Bendoro) hanya dengan menggunakan sebilah keris.
Pernikahan yang tidak pernah diharapkan oleh seorang perempuan, sehingga
terlihat jelas ketidak berdayaan perempuan melawan kekuasaan. Perihal
pernikahan seorang muslim dapat kita lihat dalam surah Ar. Rum/30:21.
نك مودة رحمة ن ها جعل ب ي من يتو ن خلق لك من ن فسك ز جا لتسكن و لي ن ﴾﴿ ي ال يت لقوم ي ت فك
Arinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Ar.
Rum/30:21).
Gadis Pantai memang dinikahi seorang Bendoro, namun pernikahan itu
diwakili oleh sebilah keris. Islam telah menjelaskan bahwa pasangan kita
diciptakan dari yang sama, bukan dari makhluk lain apalagi sebuah benda.
Islam juga memperbolehkan mewakilkan akat nikah, baik dalam ijab maupun
qabul. Tetapi mereka harus memenuhi beberapa syarat. Dapat kita lihat,
70
bahwa syarat qabul adalah: ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab, tidak
ada perkataan sindiran, dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya atas sebab-
sebab tertentu, tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (seperti
nikah kontrak), tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul
dilafalkan), menyebut nama calon istri, tidak ditambahkan dengan perkataan
lain (https://id.wikipedia.org/). Telah jelas bahwa tidak dimungkinkan
seorang wakil dalam qabul adalah benda mati, seperti keris yang terdapat
pada kutipan di atas.
“Dia? Siapa dia? Gadis Pantai menutup mata. Ia tak bisa bayangkan.
Baik manakah ia dengan Tumpon, abangnya yang hilang dilaut waktu
badai menerjang perahu? Baik mankah dia dari Kantang, abangnya
yang seorang lagi, yang waktu angkat jala yang tersangkut pada batu
karang, tidak timbul untuk selamanya, dan hanya warna merah yang
timbul ke atas? Dan itu adalah darah yang dihisap laut setelah ikan
cucut membelah perutnya. Maukah orang itu memberikan dirinya buat
hidup seluruh keluarganya? Seperti Kantang?” (Toer, 2003:14).
“...dirinya sendiri-orang kampung diseret ke kota dan diupetikan pada
seorang Bendoro” (Toer, 2003:229).
Gadis Pantai hanya dapat diam dan menerima ketidakadilan tersebut.
Menerima perkawinan tersebut dengan penuh kebimbangan. Sikap
lahiriyahnya menerima tetapi batinnya menolak. Hal ini ditunjukkan dengan
perkataan dalam hatinya. Batinnya menunjukkan ketidak puasan terhadap
perkawinan tersebut. Dia merasa tidak mempunyai harapan terhadap
suaminya, karena ia tak bisa melihat wajah suaminya dipernikahan.
Perlakuan tidak adil juga datang dari keluarganya sendiri. Bapak dari
Gadis Pantai sering melakukan kekerasan derhadap dirinya. Perlakuan yang
tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang ayah.
71
“Tubuh yang kecil mungil itu meriut seperti keong, ketakutan, ia tahu
bapaknya pelaut, kasar berotot perkasa. Ia tahusering kena pukul dan
tampar tangannya” (Toer, 2003:13).
Perlakuan kasar Bapak terjadi selam Gadis Pantai belum menikah, karena
setelah Gadis Pantai menikahi Bendoro, status sosial anaknya tersebut berada
di atasnya. Oleh karena itu, apabila Bapak melakukan kekerasan terhadap
Gadis Pantai, itu merupakan tindak kejahatan. Walaupun ketika Bapak
melakukan pemukulan terhadap Gadis Pantai pada saat belum menikah
merupakan kejahata pula. Namun kekerasan tersebut dianggap wajar dan
menjadi tidak wajar karena adanya status sosial yang berbeda. Sikap ini lah
yang menimbulkan keraguan di masyarakat, dimana status sosial dapat
menghapuskan hubungan antara anak dan orang tua.
Status sosial dapat memberika keadilan dan ketidakadilan terhadap
perempuan. Gadis Pantai yang mana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ia
mengalami peningkatan status sosila. Kondisi tersebut berakibat kepada
keadilan dan ketidakadilan yang harus dialaminya. Keadaan tersebut dimulai
semenjak ia harus meninggalkan rumah orang tuanya dan berangkat menuju
ke kediaman Bendoro. Sebagaimana budaya pada masyarakat Jawa,
bahwasanya setiap perempuan yang telah menikah diharuskan tinggal di
rumah suaminya. Pada saat itu pula mulai timbul bibit-bibit otoritas. Seorang
suami akan mendapatkan posisi yang dominan dan penting didalam keluarga.
Keselamatan, keutuhan dan kelangsungan keluarga sekarang menjadi
tanggung jawab suami. Serta sebagai seorang isteri, perempuan berperan
sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu, seorang suami biasanya
72
mendapatkan hak yang lebih atas isteri, hal ini didasarkan pada tanggung
jawab suami yang begitu banyaknya.
Terkadang kondisi inilah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran
dan sosial budaya untuk menindas salah satu pihak, sehingga berujung pada
pendiskriminasian. Akibatnya adalah posisi perempuan tidak menonjol di
dalam keluarga maupun masyarakat. Apabila kita lihat dalam Al Qur‟an surah
Al Hujurat/49: 13.
ل لت عار و ن مك عند ي ا ي ها لناس نا خلقنك من ا ن ثى جعلنك شعوبا ق با ىو علي خبي و ت قك ن لل ﴾۱۳﴿ لل
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha mengenal (Al Hujurat/49: 13).
Ayat ini memberikan definisi tentang laki-laki dan perempuan. Pada
dasarnya mereka memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang terdindas
maupun menindas, namun dalam praktek nyatanya terkadang masih
melenceng.
“Wanita utama mesti belajar-mesti bisa melegakan hati Bendoro,
ingat-ingatlah itu” (Toer, 2003:35).
“Wanita utama mesti belajar bijaksana” (Toer, 2003:38).
“Dan pada suatu sore, datang seorang guru mengaji mengajar Gadis
Pantai membaca huruf-huruf suci, yang tercetak di atas kertas suci”
(Toer, 2003:60).
“Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit”
(Toer, 2003:70).
73
“Cuma dua, Mas Nganten, tidak banyak: mengabdi pada Bendoro
dan memerintah para sahayadan semua orang yang ada di sini” (Toer,
2003:58).
Seperti pada kutipan di atas, perempuan memiliki kesempatan untuk
menimba ilmu. Hal ini wujud dari kesetaraan dibidang pendidikan. Kembali
lagi pada kasus nyatanya, pendidikan pada masa itu sulit untuk digapai rakyat
jelata dan pendidikan saat itu diperuntungkan bagi kaum elit. Setidaknya
keadaan inilah yang yang hendak disampaikan Pramoedya melalui novel
Gadis Pantai.
Sebagai seorang Priyayi dan Wanita Utama, Gadis Pantai harus mulai
menata diri. Pelajaran demi pelajaran ia dapatkan demi memenuhi tanggung
jawab sebagai wanita terhormat. Sopan santun dalam bertingkah laku dan
bertutur kata menjadi sebuah keharusan.
Kembali lagi pada kutipan sebelumnya, kesetaraan terdapata disana.
Namun apabila kita melihat lebih jauh, masih dapat ditemukan budaya
patriarki. Budaya tersebut menjadi jurang dalam hubungan suami-isteri.
Suami dianggap sebagai tuan dan isteri merupakan hamba/pelayan. Untuk
memeperkuat anggapan bahwa wanita berada pada taraf sebagai pelayan
seorang laki-laki. Dapat kita lihat pada kalimat berikut.
“.... Dirasainya hatinya ciut waktu diketahuinya benar-benar Bendoro
mentapnya dan dengan bilah bambu penunjuk menghalaunya. Ia
berlutut, membungkuk, berlutut berjalan mundur...” (Toer, 2003:38).
“...bahwa satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah
mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain dari suaminya
sendiri” (Toer, 2003:67).
“Semuanya, Mas Nganten, untuk mengabdi pada Bendoro” (Toer,
2003:69).
74
“Kewajiban menjaga setiap milik lelaki.”
“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”
“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik lelaki” (Toer,
2003:88).
Wanita tak ubahnya sebagia seorang pekerja yang bertugas untuk
memenuhi kebutuhan/kepuasan saorang bendoro/tuan. Tidak hanya itu, isteri
ibarat harta benda yang tidak memiliki hak atas suaminya dan sebaliknya
seorang suami berhak atas segala yang dimiliki isteri. Apakah dengan ini
seorang suami berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya dalam upaya
memenuhi hasrat diri? Allah berfirman dalam Al Qur‟an Surah An
Nisâ‟/4:34.
و ب عضه على ب عض بما ن فقو من مو له ل جال ق و مون على لنسا ء بما ضل للو لتي ت ا ون ن وزىن عظوىن لحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ لل الص
و ان عليا غو عليهن سبيل ن لل ىج ىن ى لمضاج ض ب وىن ان طعنك ل ت ب ﴾۳﴿ بي
Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka peremuan-perempuan
yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuznya, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka,
tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau
perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (An Nisâ‟/4:34).
Tidak dibenarkan adanya kekerasa terhadap seorang perempuan
(isteri) dalam bentuk apa pun. Peran laki-laki dalam ayat ini adalah
75
pelindung/pengayom bagi perempuan. Serta apabila kita lihat kembali kepada
surah An Nisâ‟ ayat 34, disana terdapat kata “memukul”. Ayat ini lantas tidak
berarti memberikan kesemptan kepada laki-laki guna melakukan kekerasan
terhadap wanita. Al Qur‟an terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia (RI), menjelaskan bahwa memukul disini memiliki arti melakukan
pemukulan terhadap isteri tanpa meninggalkan bekas/menyakiti.
Lebih dari itu, ayat tersebut tidak memberikan celah kepada
marjinalisasi perempuan. Lihatlah pada kata “melebihkan”, dengan
menguankan kata “sebagian” yang mengiringi kata “melebihkan”. Hal ini
menandakan bahwa tidak semua dan ada beberapa laki-laki yang tidak
memenuhi perannya. Begitu pula dalam kemampuan dan kepemimpinan di
masyarakat, laki-laki mungkin memiliki kelebihan dibeberapa bagian dan
memiliki kekuranga dibeberapa bagian. Berlaku juga untuk perempuan,
karena keduanya diciptakan untuk saling melengkapi. Sesuai Al Qur‟an surah
An Nisâ‟/4:32.
و و ما ضل لل بو ب عضك على ب عض لل جال نصيب مما تسب و للنسا ء نصيب ت تمن و ان بكل شيء عليما ﴿ و من ضلو ن لل ﴾مما تسبن سألو لل
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah diberikan
Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi
perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (An Nisa/4:32).
Porsi laki-laki dan perempuan yang berkenaan dengan gender itu
sama. Hanya akan menjadi berbeda ketika telah bersinggungan dengan sosial
budaya masyarakat setempat. Lantas hal ini tidak tepat apabila dijadikan
76
dasar dalam menindas perempuan. Perempuan sejatinya bukan makhluk yang
lemah sehingga harus mengalami ketidakadilan. Seperti ketika perempuan
telah bersuami. Isteri disini bukan untuk dijadikan sebagai pelayan atau
boneka oleh suaminya. Sebagai mana yang ditunjukkan oleh Bendoro dan
Gadis Pantai.
“...Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai ke tanah pada
Bendoro” (Toer, 2003:99).
“Gadis Pantai menjatuhkan diri, menciumkaki Bendoro, kemudian
memeluknya” (Toer, 2003:100).
“Subuh hari waktu ia terbangun, didengarnya suara Bendoro yang
sedang mengaji. Suamiku! Ah, suamiku! Tidak, dia bukan suamiku,
dia Bendoroku, yang dipertuanku, rajaku. Aku bukan isterinya. Aku
Cuma budak sahaya yang hina-dina” (Toer, 2003:248).
“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak
boleh, harus dan mesti kerjakan” (Toer, 2003:136).
Hubungan suami-isteri yang dijalin oleh Bendoro dan Gadis Pantai
mengisaratkan sebuah subordinasi terhadap perempuan. Keadan yang tidak
menguntungkan bagi perempuan. Mereka dianggap sebagai mahkluk yang
tidak penting dan keberadaannya hanya sebagai pelayan laki-laki. Al Qur‟an
sendiri telah menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai
seorang suami-isteri, ini dapat kita lihat dalam surah Al Baqarah/2:187.
و نك لة لصيام ل ث لى نسا ئك ىن لباس لك ن ت لباس لهن عل لل حل لك لي و ن باش ىن ب ت غو ما تب لل نت ت تان ون ن فسك تاب عليك عفا عنك الى لك لو ش ب و حتى ي تب ين لك ل يط ب يض من ل يط سود من لفج ث و ل تمو لصيام لى ليل ت باش ىن ن ت عا فون ى لمسجد تل حد د لل
قون ﴿ و يتو للناس لعله ي ت ﴾ت ق ب وىا ذل ي ب ين لل
77
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamua; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan
kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanyakamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah,
maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nyakepada manusia, supaya mereka
bertakwa (Al Baqarah/2:187).
Cermatilah pada ( yang artinya adalah ( ه ن ل ب اس ن ه م ب ب نم ه م ل ب اس نه ن
“mereka (isteri) itu adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pun adalah
pakaian bagi mereka”. Oleh sebab itu, seorang suami-isteri menjalin
hubungan bukan untuk saling merendahkan, melainkan untuk melindungi satu
sama lain. Serta sebuah pernikahan tidak dilandasi oleh rasa ingin menyakiti
seseorang. Pernikahan yang demikian dilarang dalam Islam. Seyogyanya
suami dan isteri hidup dalam keadaan sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Kondisi tersebutah yang diharapkan di dalam Islam, sesuai surah Ar
Rum/30:21.
نك مودة رحمة ن ها جعل ب ي من يتو ن خلق لك من ن فسك ز جا لتسكن و لي ن ﴿ ﴾ ي ال يت لقوم ي ت فك
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar
Rum/30:21).
78
Sakinah sendiri merupakan keadaan dari sebuah keluarga yang diciptakan
atas dasar kedamaian, kebahagiaan, dan ketentraman. Mawaddah adalah rasa
cinta, jadi sebuah hubungan suami dan isteri selalu dilandasi dengan rasa
cinta. Bersedia menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangan. Selalu
bersama dikala sedih mau pun senang. Kemudian adalah warahmah yang
memilik makna kasih sayang. Warahmah juga merupakan buah dari sakinah
dan mawaddah, sehingga berimbas terhadap sikap saling melindungi,
menjaga, menolong, menghargai kewajiban dan hak masing masing.
Namun keadan seperti ini tidak terlihat di kehidupan Bendoro dan
Gadis Pantai. Hari-hari Gadis Pantai dihabiskan dengan keragu-raguan akan
suaminya. Kekhawatiran akan nasib diri dan anaknya di kemudian hari.
“Seorang Bendoro dengan isteri orang kebanyakan tidaklah dianggap
sudah beristeri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian
hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita
dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang
kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan isteri dari
karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan isteri asal orang
kebanyakan-itu penghinaan bila menerimanya” (Toer, 2003:80).
“Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa
sedikit pun mengurangi perbawa Bendoro” (Toer, 2003:97-98).
“Apakah perlu sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum
beristeri wanita bangsawan” (Toer,2003:155).
“...Apakah sampai mati aku Cuma pegang lap, bulu ayam, dan sapu?
Canting sayur, dan piring-piring bekas makan Bendoro?” (Toer,
2003:242-243).
“Ia tahu beso atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai melahirkan
anaknya yang pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin
akan langkahi dan lalu jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi:
jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini lebih menderita dari
padanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak
boleh bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi
79
bendoronya, orang yang harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya
perasaan sendiri, dan dengan lemah-lembut dicobanya juga
memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang”
(Toer, 2003:98).
Kehidupannya sebagai seorang isteri hanya dianggap sebagai bahan latihan
seorang Bendoro muda sebelum mendapatkan isteri yang sederajat. Kondisi
seperti ini akan terus dialami oleh Gadis Pantai sampai ia melahirkan
keturunan dari tuannya tersebut.
“Tapi ini bukan rumahmu lagi, nak” (Toer, 2003:261).
“Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak” (Toer,
2003:258).
“Anak itu? Apa gunanya kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia.
Jangan pikirkan si bayi” (Toer, 2003:258).
“Tak boleh sekali-kali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah
kau bila melanggarnya. Kau dengar?” (Toer, 2003:258).
“Mari Pulang, nak” (Toer, 2003:256).
Tidak berhenti disitu, ketika ia telah melahirkan seorang anak maka
mau tidak mau harus meningalkan kediaman Bendoro. Sehingga ia telah
diceraikan dan hak asuh anak berada pada tuannya. Akhir menjadi isteri
sekaligus akhir seorang ibu, karena apabila ia berani bertemu dengan
anaknya, maka hal itu dianggap sebuah kejahatan oleh Bendoro. Namun ia
tetap berharap bahwa anaknya kelak tidak bernasib sama dengan ibunya.
“Tapi anak ini, anak ini, dia akan bernasib lebih dari ibunya. Dan
takkan dilahirkan di sebuah kampung nelayan. Dia takkan diantarkan
dari kampung pada seorang Bendoro kota. Dia akan dilahirkan di
sebuah gedung besar yang kukuh, tak sepotong pun angin
menerobosinya. Dia akan dilahirkan dalam kerajaan Bendoro,
bapaknya sendiri. dia akan ikut berkuasa bersama bapaknya, dia akan
ikut memerintah. Dan dia akan turunkan bendoro-bendoro baru, tanpa
perlu turun ke laut menangkap ikan, menantang ombak dan kegelapan
80
malam, tak perlu rasai jilatan air laut pada kakinya” (Toer,2003:249-
250).
Penantian akan lahirnya buah hati telah usai. Kini ia telah melahirkan
seorang anak perempuan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dua
mengenai gender, disana diterangkan bahwasanya beban gender telah dimiliki
seseorang semenjak ia dilahirkan. Hal ini diakibatkan dari pengidentifikasian
gender melalui jenis kelamin. Keadaan ini juga yang dialami oleh anak dari
Gadis Pantai.
“Jadi Cuma perempuan?”. “Seribu ampun, Bendoro”. “Bendoro
membalikkan badan, keluar dari kamar sambil menutup pintu” (Toer,
2003:253).
“Saya ini emak si bayi. Kalau bapaknya pegang pun tak mau, apa pula
merawatnya” (Toer, 2003:263).
“Bendoro tak pernah menengoknya” (Toer, 2003:253).
Kalimat diatas menunjukkan sikap penolakan terhadap anak
perempuan dan lebih mengharapkan seorang putra. Sikap seperti ini lah yang
diperlihatkan oleh masyarakat pada masa Jahiliyah. Perilaku menyimpang ini
terekam di dalam Al Qur‟an surah An Nahl/16:58-59 dan surah At
Takwir/81:8-9.
Berikut bunyi dari surah An Nahl/16:58-59.
ىو ظي ﴿ حدى با ن ثى ظل جهو مسود ورى من لقوم من سو ء ﴾ ا ب ي ت ب سا ء ما يحكمون ﴿ و ى لت بو يمسكو على ىون م يدس ﴾ما ب
Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah
dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
81
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (An Nahl/16:58-
59).
Surah At Takwir/81:8-9.
لت ﴿ ﴾﴾ باي انب قتلت ﴿ ا لموءدة سى
Artinya: (8) Apabila bayi-bayi perempuan yang dikuburkan hidup-hidup
ditanya, (9) Karena dosa apakah dia dibunuh (At Takwir/81:8-9).
Kedua ayat diatas menerangkan sikap penolakan terhadap perempuan
(anak perempuan). Peringatan-peringatan tersebut bertujuan untuk
menyadarkan orang tua bahwa tidak ada perbedaan antara bayi laki-laki dan
perempuan. Ayat tersebut juga hendak menyadarkan bahwa jenis kelamin apa
pun itu tetap memiliki keistimewaan. Pada bayi, di dalam Islam tidak ada
pengkhususan terhadap jenis kelamin tertentu. Al Qur‟an Surah Al
A‟raf/7:172.
ا خذ رب من بني دم من ظهورى اري ت ه شهدى عل ى ن فسه لست ب بك ﴾قالو ب لى شهدنا ن ت قولو ي وم لقيمة نا نا عن ىذ غفلين ﴿
Artinya:Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?”Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”
(Al A‟raf/7:172).
Sejak awal Islam tidak mengenal diskriminasi jenis kelamin, sehingga tidak
ada alasan untuk membenci anak perempuan, karena sejak awal wanita dan
laki-laki terlahir dengan janji yang sama. Seharusnya ayat tersebut dijadikan
82
landasan dalam memperlakukan kelahiran seorang anak. Kelahiran anak
harus disambut dengan lapang dada, bukannya sebuah penyesalan. Ayat di
bawah ini akan menjelaskan kepada kita, mengapa kita harus bergembira
karena kelahiran seorang anak. Al-Qur‟an surah Al-Baqarah/2:233.
لو لد ت ي ضعن دىن حولين املين لمن ر د ن يت ل ضاعة على لمولود لو رزق هن سوت هن بالمع ف تكلف ن فس سعها تضآر لدة بولدىا مولودلو
هما ت ا ر ل جناح بولده على لو رث مثل ال ان ر د صا عن ت ض من عليهما ن ردت ن تست ضعو د ل جناح عليك ا سلمت مآ ت يت بالمع ف
﴾﴿ ت قو ا علمو ن ا بما ت عملون بصي
Artinya: Dan ibu-ibu hendaklah menyususi anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban
ayah menangguh nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Jangan
lah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang
ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban)
seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya. Dan jika kamu
ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah/2:233).
Ayat yang mengajarkan tetang sikap orang kepada anaknya. Namun
sikap Bendoro dengan jelas menunjukkan penyesalan akan kelahiran putrinya
tersebut. Perhatikan pada kalimat ( yang ( ب ه ب آن ب ل ب س ل ب ب ل ب ب ب ب م ه م س ن ه ل ب ب ل ل
memiliki arti “Jangan lah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan
pula seorang ayah (menderita) karena anaknya”. Berbeda dengan sikap
Bendoro, Gadis Pantai sebagai seorang ibu tetap mencintai anaknya apa pun
83
jenis kelaminnya. Sikap seperti inilah yang harusnya ditunjukkan oleh setiap
orang tua. Mereka menyayangi, merawat, menjaga amanah dan karunia Allah.
“Apa yang takkan kuberikan kepadamu nak? Apa yang takkan
kukurbankan?” (Toer, 2003:259).
“Susui dia di bawah pohon tanjung di tepi alun-alun” (Toer,
2003:261).
Pengorbanan apa pun siap dilakukan untuk anaknya, setidaknya inilah sikap
yang tercermin dari Gadis Pantai.
Kasih sayang, pengalaman, dan ketidakadilan yang Gadis Pantai
terima, mengajarkannya untuk melakukan pemberontakan. Ia mulai tidak
sanggup menerima perlakuan yang selalu menyudutkannya. Kini dia berani
berdiri menantang Bendoro. Mulai berani membela hak-haknya atas seorang
ibu.
“Gadis Pantai mengangkat muka, menantang mata Bendoro. Perlahan-
lahan ia berdiri dengan bayi dalam gendongannya” (Toer, 2003:263).
“Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhiasan, bukan cincin,
bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap orang” (Toer,
2003:263).
“Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro. Apalagi sahayaini-
seorang manusia, biar pun sahaya tidak pernah mengaji di surau”
(Toer, 2003:263).
Bukan untuk membela haknya saja, penggalan novel di atas juga sebuah
gerakan untuk membela hak seorang ibu. Lebih dari itu, sikap Gadis Pantai
yang secara tidak langsung merupakan sebuah pembelaan untuk perempuan
dengan status yang sama. Wanita-wanita yang hanya dijadikan pemuas
kesenang Bendoro kota dan apabila dia telah bosan, wanita itu lantas
dibuangnya.
84
Perempuan dan laki-laki di mata Allah memiliki derajat yang sama.
Allah telah memuliakan anak cucu Adam tanpa membedakan jenis kelamin,
suku, ras, bangsa, warna kulit. Al-Qur‟an surah Al-Isra/17:70.
ه على ثي ا لقد منا بني ه من ل يبت ضلن ن ه ى لب لبح رزق دم حملن ﴾۷۰﴿ ممن خلقنا ت فضيل
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di darat dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang biak-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (Al-
Isra/17:70).
Sementara itu, mereka memiliki derajat yang berbeda ketika berada
pada lingkungan masyarakat. Baik laki-laki atau perempuan, keduanya dapat
berada pada posisi menindas atau tertindas sesuai dengan sosial budaya
setempat. Oleh karena itu, janganlah kalian memiliki pemikiran untuk
melakuakan ketidakadilan. Lihatlah di dalam Al Qur‟an, Allah telah
memposisikan manusia sedimikian rupa. Surah Az Zariyat/51:56.
﴾ ما خلقت لجن نس لي عبد ن ﴿
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku (Az Zariyat/51:56).
Tidak ada pengkhususan terhadap salah satu pihak. Laki-laki dan perempuan
berada pada tingkat sebagai hamba yang memiki keharusan untuk
menyembah Allah. Mereka memilik potensi yang sama, lihat pada surah Al
Hujurat/49:13 yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Pada ayat
tersebut terdapat perbedaan, tetapi bukan di Mata Allah. Mereka tetap sama di
hadapan Allah, serta yang paling mulia diantara mereka adalah yang paling
85
bertakwa. Bukan laki-laki atau pun perempuan. Tidak hanya itu, Qur‟an surah
Ali Imran/3:195, menegaskan lagi permasalahan tersebut.
استجاب له رب ه ني ضي عمل عامل منك من ا ن ثى ب عضك من ب عض ه سياته ت لو قتلو ف ن عن الذين ىاج خ جو من ديارى ا ي سبيلي ق
و عنده حسن و لل ه جنت تج ي من تحتها ن ه ث و با من عند لل دخلن ﴾ لث و ب ﴿
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-
orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari
kampong halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
berperang dan yang dibunuh, pasti akan Ku hapus kesalahan-
kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam
surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala
di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik” (Ali
Imran/3:195).
Manusia memiliki kesempatan yang sama dalam meraih penghargaan (pahala
dan surga) dari Allah. Itulah porsi yang Allah berikan kepada manusia
sebagai hamba-Nya.
Hendaknya kita ingat kembali bagaimana kisah manusia sebagai
hamba Allah yang hendak dijadikan Kalifah di muka bumi. Bahwa Allah
tidak menyebutkan secara khusus, siapakan yang hendak Dia jadikan
khalifan. Apakah itu laki-laki atau perempuan. Al Qur‟an surah Al
Baqarah/2:30.
ها ها من ي فسد ي كة ني جاعل ى رض خليفة قالو تجعل ي ا قال رب للمل ىس ل قال ني عل ما ت علمون ﴿ ما ء نحن نسبح بحمدك ن قد ﴾ يسف لد
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
86
bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui” (Al Baqarah/2:30).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kekhususan-kekhususan yang terdapat
pada laki-lakidi dasarkan pada kondisi masyarakat. C. Pesan yang Ingin Disampaikan Pramoedya Ananta Toer
Menggunakan metode analisis wacana Sarah Mills, peneliti hendak
mengungkap pesan yang ingin disampaikan Pramoedya dalam novel Gadis
Pantai. Sarah Mills menggunakan dua kerangka analisis, yakni posis subjek-
objek dan posisi penulis-pembaca. Keduanya saling berkaitan satu sama lain,
karena kerangka tersebut mengarahkan kemana pemahaman kita akan
dibawa.
Memahami posisi subjek-objek, kita dapat melihat pokok kejadian
yang terdapat pada novel. Peristiwa-peristiwa pada novel menggambarkan
suatu tindak diskriminasi terhadap kelompok tertentu setelah masa Kolonial
Belanda di Indonesia. Kondisi tersebut menimpa seorang gadis pantai di
pesisir kota Rembang. Budaya patriarki yang berkembang pada masa tersebut
dengan jelas dipaparkan Pramoedya. Novel Gadis Pantai jelas memaparkan
budaya dominasi masyarakat berdasarkan status sosial.
Pramoedya mengambil tokoh sentral seorang Gadis Pantai dan bukan
Bendoro, Agus atau Bapak dikarenakan pada masa tersebut perempuan
mengalami ketidakadilan yang lebih dibandingkan laki-laki. Pramoedya
hendak mengkritik sistem yang mendiskriminasikan perempuan dengan
87
menghadirkan Gadis Pantai sebagai sosok yang menerima ketidak adilan.
Namun tidak selamanya ketidak adilan tersebut dapat diterima dengan lapang
dada.
Gadi Pantai sebagai tokoh sentral memiliki peran sebagai pencerita.
Melalui perannya ini, dia menceritakan semua ketidakadilan yang di
alaminya. Kisah kehidupannya diceritakan secara pribadi olehnya dengan
dibalut rasa penyesalan. Setiap aktor dalam novel diceritakan dengan runtut.
Peran Gadis Pantai sebagai pencerita telah memposisikan pembaca
pada titik Gadis Pantai. Tidak hanya itu, pembaca secara lansung disapa
melalu penggunaan kata “sahaya”. Seperti terlihat dalam kutipan berikut:
“Sahaya Bendoro.” Gadis Pantai berbisik dengan sendirinya. “Di sini
kau tak boleh kerja. Tanganmu harus halus seperti beludu. Wanita
utama tak boleh kasar” (Toer, 2003:32).
Pengguaan kata sahaya mengarahkan pembaca pada nasib yang dialami oleh
Gadis Pantai. Melalui sapaan ini Pram ingin memperlihatkan ketidak
berdayanya Gadis Pantai dihadapan Bendoro.
Dapat dikatakkan bahwa pembaca diposisikan pada tokoh utama.
Sehingga kisah yang dipaparkan dalam novel tersebut terkait dengan pembaca
dan mengarahkan pembaca kepada pemikiran-pemikiran tokoh utama. Olek
sebab itu, tidak akan ada protes dari pembaca, karena pemikiran pembaca dan
penulis menjadi sejalan. Akhirnya penulis dan pembaca memiliki pemikiran
atas keadilan dan ketidak adilan yang dialami oleh perempuan karena status
sosialnya.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Novel Gadis Pantai, melaluinya Pramoedya hendak menyampaikan
permasalahan sosial yang ada dan berkembang di masyarakat. Banyak
ketidakadilan yang dialami oleh beberapa orang. Melalui karyanya ini, ia
ingin mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak menghargai hak-hak
individu. Setiap individu hendanya memiliki hak yang sama walau bagaimana
pun keadaannya. Serta setiap orang harus menghormati hak-hak tersebut,
tanpa memandang agama, status sosial, pendidikan, dll.
Permasalahan sosial yang dipaparkan Pram berkaitan erat dengan
kesetaraan gender, yang mana hak-hak perempuan termasuk di dalamnya.
Persoalan gender tidak akan lepas dengan sudut pandang seseorang mengenai
kedudukan laki-laki dan perempuan. Banyak orang yang berpendapat bahwa
gender adalah jenis kelamin. Pandangan ini hendaknya dikaji ulang, karena
jenis kelamin lebih cenderung kepada sex. Sementara itu, gender cenderung
melihat perempuan dan laki-laki dari sudut pandang sosial budaya.
Perbedaan perempuan dan laki-laki harus dilihat dari segi non biologis
bukannya dari segi biologis.
Persoalan pokok di sini adalah pemikiran masyarakat tentang jenis
kelamin, yang mana pemikiran tersebut dapat menimbulkan beban gender.
89
Masyarakat cenderung memberikan beban gender dengan menggunakan
atribut biologis.
Research terhadap novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan, kesetaraan dan ketidak
adilan gender, serta pesan yang hendak disampaikan pengarang novel dengan
menggunakan pendekatan analisis wacana Sarah Mills. Peneliti dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Seperti yang terlihat di dalam novel Gadis Pantai, perempuan pada novel
tersebut digambarkan ke dalam tiga kategori. Pertama, perempuan desa,
dari sudut pandang ini seorang wanita digambarkan sebagai makhluk yang
kotor, pekerja kasar, dan tidak berpendidikan. Kedua, perempuan kota,
pada golongan ini wanita dianggap sebagai sosok yang terhormat dan
berpendidikan. Ketiga, perempuan priyayi, pada kategori ini seorang
wanita telah memiliki gelar kebangsawanan dan terhormat. Gelar ini tidak
serta merta didapat, gelar ini dapat diperoleh karena faktor keturunan atau
karena keberuntungan seorang perempun disebabkan pernikahanya denga
laki-laki priyayi.
2. Novel ini juga menampilkan kesetaraan dan ketidakadilan gender,
keduanya dipengaruhi oleh budaya patriarki dan status sosial. Novel
tersebut menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan karena
budaya patriarki yang cenderung mendiskriminasikan perempuan. Sebagai
contoh, laki-laki diberi kekuasaan lebih atas perempuan terdapat pada
hubungan rumah tangga. Suami dalam hubungan rumah tangga dianggap
90
sebagai raja, tuan, dan majikan, sehingga isteri merupakan budak yang
dapat diperintah sesuka hati. Ketidak beruntungan dialami perempuan,
namun di sana masih terdapat keadilan. Hal ini tidak dapat dirasakan
semua wanita, karena keadilan di sini hanya dapat dinikmati oleh
perempuan dengan status sosial tertentu. Seperti yang dialami oleh
perempuan-perempuan desa, mereka tidak memiliki kesempatan untuk
bisa mengenyam pendidikan. Berbeda denganya, perempuan priyayi dan
perempuan kota diberi kesempatan untuk bersekolah.
3. Menggunakan metode analisis wacana Sarah Mills, Pram juga hendak
menyampaikan pesan kepada pembaca yang secara aktif disapa pada
novelnya. Melalui Gadis Pantai pembaca disapa dengan sapaan “Sahaya”.
Secara aktifdi sini memiliki arti, bahwa pembaca tidak hanya berperan
sebagai penikmat dan penerima pesan. Melainkan pembaca pada novel
Gadis Pantai diposisikan sebagai salah satu karakternya. Novel tersebut
menempatkan pembaca pada pihak yang mengalami pendiskriminasian,
yakni sebagai “Gadis Pantai”. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa
dialog Pramoedya menggunakan sapaan “Sahaya”, karena sapaan tersebut
memiliki makna abdi, budak, dan hamba.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memiliki beberapa saran
yang diharapkan dapat berguna bagi semua orang.
1. Hendaknya setiap orang mampu menghargai hak-hak orang lain, karena
tidak ada kerugian dari sikap menghargai orang lain. Menghargai orang
91
lain, dengan cara itu kita secara tidak langsung juga menghargai diri
sendiri. Sikap menghargai orang lain dapat menimbulkan dampak positif,
seperti terciptanya perdamaian, saling melindungi satu sama lain, dll.
2. Pemahaman akan gender harus dipertegas lagi. Gender yang memiliki
perbedaan pengertian dengan sex, hendaknya dipahami dengan baik.
Walaupun keduanya hampir sama, namun memiliki perbedaan yang
mendasar. Gender yang terjadi akibat sosial-budaya dan sex terjadi akibat
perbedaan jenis kelamin. Pentingnya memahami dasar yang membedakan
keduanya dikarenakan setiap daerah memiliki perbedaan sosial-budaya.
Setiap orang hendaknya mampu menggunakan dan menempatkan istilah
keduanya.
3. Status sosial bukan merupakan suatu kejahatan. Oleh sebab itu,
diskriminasi terhadap suatu kelompok dengan mengatas namakan status
sosial mereka tidaklah benar. Sebagai hamba Allah bukankah kita telah
mengetahui, bahwa yang membedakan kita satu sama lain adalah amal
perbuatan dan bukan status sosial yang kita sandang. Tidak sepatutnya
seorang manusia bersikap sombong, mendiskriminasikan orang lain, dan
menghina karena merasa status sosialnya lebih tinggi dari orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Aw, Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Azwar, S. 2005. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cangara, Hafied. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta:
Jalasutra.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Semarang: PT.
Karya Toha Putra Semarang.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta.
Gemilang, Jingga. 2014. Rahasia Dibalik Kesuksesan Para Maestro Penulis
Besar Dunia. Yogyakarta: Parasmu.
Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Membaca Jejak Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hybels, Saundra dan Richard L. Weaver. 2007. Communicating Effectively. New
York: McGraw-Hill.
Jumroni. 2006. Metode-metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press.
Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana.
Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif EdisRefisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Muhibbuddin, Muhammad. 2015. Catatan Dari Balik Penjara Goresan Pena
Revolusi Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Zora Book.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Nurudin. 2013. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali pers.
Pei, Mario. 1971. Kisah Bahasa. Jakarta: Bhratara.
Rampan, Korrie Layun. 2013. Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Narasi.
Rani, Abdul, Bustanul Arifin, Dan Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah
Kajian Bahasa Dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Samsuri. 1981. Analisis Bahasa Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Malang:
Erlangga.
Siswantoro. 2011. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsuddin, Munawar. 2008. MAKIWA: Metode Analisis Kritis Komunikasi
Interpretasi Wacana. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan
(LPP) UNS.
TIM PSGK STAIN SALATIGA. 2012. Menelisik Jender Dalam Kontruksi
Sosial. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Titscher, dkk. 2009. Metode Analisis Text & Wacana. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Umar, Nasaruddin. 2010. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Dian Rakyat.
Yahya, M. 2010. Dasar-Dasar Penelitian Metodologi dan Aplikasi. Semarang:
Pustaka Zaman.
Yusuf, Muhamad Fahrudin. 2016. Komodifikasi: Cermin retak Agama Di Televisi:
Perspektif Ekonomi Politik Media. INJECT, 1:25-42.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam/diakses pada 5 Maret
2017/jam 7:59 WIB
CURRICULUM VITAE
Nama : Bagus Sapuro
Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 15 Januari 1992
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Wiru Rt 02/Rw 01, Kec. Bringin, Kab. Semarag.
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Riwayat Pendidikan :
a. TK PGRI Wiru : Lulusan 1996-1998
b. SD Negeri 02 Wiru : Lulusan 1998-2004
c. SMP Negeri 1 Bringin : Lulusan 2004-2007
d. SMA Negeri 1 Bringin : Lulusan 2007-2010
Salatiga, 9 Agustus 2017
Penulis,
Bagus Saputro
NIM 11713024
Pramoedya Ananta Toer
Sampul Novel Gadis Pantai