Kewajiban Berjamaah
-
Upload
cikgu-nor-ummu-iman -
Category
Documents
-
view
74 -
download
1
Transcript of Kewajiban Berjamaah
Kewajiban Berjama'ahat 12:04:00 PM
Posted by Kang Yosep Saezh
Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antara
mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran
imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.
“Aku sama sekali tidak pernah absent mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali
dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian
diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari
sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta,
akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau
merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam
kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh,
serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas sekali bagi
kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan
yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk
ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa
melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai
meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka
timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya,
kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin
sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku
merasakan keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan
keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk
uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan
bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika
beliau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin
Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin
Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti
melainkan kebaikannya saja!”Rasulullahsaw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada
dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan
Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari
beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi
saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak
akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan
menemui Rasulullah saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.
Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali
dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. Demikian pula usai dari
Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-
orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu
untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw.
menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau
memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku,
aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas
terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian
berkata, “Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab,
mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain,
tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya.
Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima
alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian
karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni
kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku
aku tidak pernah stabil disbanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan
keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami
belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat
alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap
Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat.
Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana
keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut
diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami
bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga
rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku
itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan
tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang
pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah
saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-
tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau
tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau
aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan
mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap
dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu
Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam
kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai
Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku
itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinag. Tiba-tiba datanglah orang awam dari
negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya,
“Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan
sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya
sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak
menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kamu akan
menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu
ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan
turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan
pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku
kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya
dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama.
Aku langsung memerintahkan kepada istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah
memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah,
sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang
pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah,
yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu
melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa
katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak
orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat
subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan
mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan
orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik,
bergembiralah!”
Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan
hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah
telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami,
hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang
dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku
berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki
pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak
orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang
pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak
mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah
dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik
bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi
hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air
matanya berderai membasahi kedua pipinya.
�ه�م� �ي �ذ�ا ض�اق�ت� ع�ل %ى إ � ح�ت *ف�وا ل %ذ�ين� خ� �ة� ال �ث %ال و�ع�ل�ى الث�ت� ح�ب �م�ا ر� ر�ض� ب
� األ
% �ال =ه� إ � م�ن� الل أ �ج� % م�ل �ن ال � أ Cوا ه�م� و�ظ�ن �نف�س� �ه�م� أ �ي و�ض�اق�ت� ع�ل� �وا �وب �ت �ي �ه�م� ل �ي �اب� ع�ل �م% ت �ه� ث �ي �ل إ
ح�يم� %و%اب� الر% =ه� ه�و� الت �ن% الل إ
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa)
oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)
)|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|(
Gimana setelah membaca kisah di atas?
Sekarang kita hubungkan dengan kehidupan saat ini. Kalau Ka’ab bin Malik absen dari perang, kalau
kita saat ini kita hubungkan dengan amanah-amanah kita. Bagaimana sikap kita ketika mendapat
seruan untuk dakwah? Bagaimana sikap kita ketika mendapatkan amanah? Apakah kita memiliki
ruhul istijabah dan bersegera untuk melaksanakannya? Apakah justru sebaliknya kita merasa
enggan, malas dan akhirnya tidak berangkat seperti kisahnya Ka’ab bin Malik itu?
Kondisi yang dialami Ka’ab bin Malik saat itu adalah contoh kondisi ketika mengalami futur, ketika
kondisi keimanannya lemah. Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang mengudzurkan
dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah
menyadari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas
menerima hukuman apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan mengudzurkan diri kita
dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya karena kemalasan
kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat-buat alasan. Apakah kita
sering gak datang syuro tanpa alasan yang syar’i karena kita males atau mendahulukan yang lain
yang tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja telat karena menunda-nunda
keberangkatannya tanpa ada udzur apapun. Padahal dalam sebuah ayat Al Qur’an, kita disuruh untuk
berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.
Coba kita simak surat At-Taubah:41-49
� وا �ف�ر� L ان L خ�ف�افا �ق�اال � و�ث �م� و�ج�اه�د�وا �ك م�و�ال� �أ �م� ب ك �نف�س� �يل� ف�ي و�أ ب =ه� س� �م� الل �ك �رU ذ�ل ي خ� �م� %ك �ن ل �م� إ �نت �م�ون� ك �ع�ل ت
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang
tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa
oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami
berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu
ketahui orang-orang yang berdusta?
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang
bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keraguannya.
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu,
tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan
dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.”
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari
kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk
mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka
mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai
macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan
menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.
�ه�م �ق�ول� م%ن و�م�ن �ذ�ن ي � ل*ي ائ �ن*ي و�ال �ف�ت � ت �ال �ة� ف�ي أ �ن �ف�ت � ال ق�ط�وا �ن% س� %م� و�إ ج�ه�ن Uم�ح�يط�ة� �اف�ر�ين� ل �ك �ال ب
"Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan
janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah
terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang
kafir". (QS.At-Taubah:41-49)
Dan bagaimana pula sikap kita jika kita ditegur terhadap kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas
menerimanya dan berusaha memperbaikinya serta bersikap tajarud seperti halnya Ka’ab ataukah kita
justru mutung, merasa kecewa dan akhirnya keluar dari jalan ini.
Wallohu a'lam bis- showab.