Kisah Perjuangan Ki Hajar Dewantara

6
KISAH PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta. Sebagai golongan ningrat, Ki Hajar Dewantara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan yang layak dari kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), beliau meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), sayang sekali lantaran menderita sakit, ia tidak bisa meneruskan pendidikannya di STOVIA. Tak berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, tak membuat Ki Hajar Dewantara vakum, beliaupun mulai menulis untuk beberapa surat kabar sebagai wartawan muda. Selain itu beliau juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik. Sebagai seorang wartawan tulisan-tulisan beliau dikenal sangat patriotik dan mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal anatarlain "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel ini ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Sindiran Ki Hajar Dewantara melalui tulisan- tulisannya di beberapa surat kabar menyulut kemarahan Belanda, puncaknya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan agar Ki Hajar Dewantara di asingkan ke Pulau Bangka tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Atas permintaan kedua rekannya yang juga mengalami hukuman pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka dilaihkan ke negeri Belanda. Masa pembuangan di negeri Belanda tersebut tidak disia-siakan oleh KI Hajar Dewantara

description

Sejarah Pendidikan

Transcript of Kisah Perjuangan Ki Hajar Dewantara

KISAH PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA

Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara terlahir dalam keluarga kraton Yogyakarta. Sebagai golongan ningrat, Ki Hajar Dewantara memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan yang layak dari kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), beliau meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), sayang sekali lantaran menderita sakit, ia tidak bisa meneruskan pendidikannya di STOVIA.Tak berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, tak membuat Ki Hajar Dewantara vakum, beliaupun mulai menulis untuk beberapa surat kabar sebagai wartawan muda. Selain itu beliau juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik. Sebagai seorang wartawan tulisan-tulisan beliau dikenal sangat patriotik dan mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal anatarlain "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel ini ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis.Sindiran Ki Hajar Dewantara melalui tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar menyulut kemarahan Belanda, puncaknya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan agar Ki Hajar Dewantara di asingkan ke Pulau Bangka tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Atas permintaan kedua rekannya yang juga mengalami hukuman pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka dilaihkan ke negeri Belanda. Masa pembuangan di negeri Belanda tersebut tidak disia-siakan oleh KI Hajar Dewantara untuk mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh sertifikat Europeesche Akte.Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya melalui Taman siswa, sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan KI Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa.

Di Usia nya yang genap 40 tahun, Ki Hajar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Dimasa kemerdekaan Ki Hajar Dewantara dingkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tak berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.

THE STORY OF STRUGGLE KI HAJAR DEWANTARA

Born with the original name Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara born into the royal family of Yogyakarta. As a group of nobles, Ki Hajar Dewantara acquired the rights to a decent education from the Dutch colonial. After graduating from ELS (Dutch Elementary School), he continued his studies to STOVIA (Bumiputera medical school), unfortunately due to illness, he could not continue his education in STOVIA.Not successfully completing his education in STOVIA, Ki Hajar Dewantara not create a vacuum, beliaupun began writing for several newspapers as a young reporter. In addition, he is also active in various social and political activities. As a journalist known for his writings are very patriotic and capable of stimulating anti-colonial to readers. Posts Ki Hajar famous Dewantara anatarlain "If I'm A Dutch" (original title: Als ik eens Nederlander was), published in the newspaper de Expres belongs Dr. Douwes Dekker, 1913. This article was written as a protest against the Dutch government's plan to collect donations from the Dutch East Indies (Indonesia), who was still not free, for the celebration of Dutch independence from France.Ki Hajar Dewantara satire through his writings in several newspapers sparked outrage Netherlands, peak Governor General Idenburg ordered Ki Hajar Dewantara exiled to the island of Bangka without prior judicial proceedings. At the request of the two colleagues who also suffered the penalty of exile, dr. Douwes Dekker and dr. Cipto Mangoenkoesoemo, they dilaihkan exile in the Netherlands. The period of exile in the Netherlands is not wasted by KI Hajar Dewantara to explore the field of education and teaching, to finally obtain a certificate Europeesche Certificate.Upon returning to his homeland in 1918, Ki Hajar Dewantara devote his attention in the field of education as one of the forms of the struggle for independence. Alongside his compatriots others, Ki Hajar establish Onderwijs Nationaal Instituut Tamansiswa or better known as the National Education Tamansiswa on July 3, 1922. Student Park is a national patterned college that emphasizes a sense of nationalism and patriotism and the spirit of struggle to gain independence. Ki Hajar Dewantara struggle not only through Parks students, as a writer, Ki Hajar Dewantara remain productive writing for various newspapers. Only this time the writing was not political nuances, but switched to the field of education and culture. KI Hajar Dewantara article contains concepts of education and culture-minded nationalism. Through the concepts that he successfully laid the foundations of national education for the Indonesian nation.In his struggle against the education of his people, Ki Hajar has a motto which is tut Dewantara wuri Handayani (from the back of a teacher should be able to give impetus and direction), middle Mangun ing intention (in the middle or between pupils, teachers must create initiatives and ideas), and ing ngarsa sung tulada (in the front, an educator must give an example or examples of good action). This slogan is still used in our education, especially in schools Taman Siswa.Even at his age of 40 years, Ki Hajar Dewantara abolished the titles of nobility and replace its original name Raden Mas Soewardi Soerjaningrat into Ki Hadjar Dewantara. This is so that he can freely close to the people, both physically and liver. During the Japanese occupation, Ki Hajar Dewantara was appointed as one of the leaders of the organization Son together with Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta and K.H. Mas Mansur. The days of independence Ki Hajar Dewantara dingkat as Minister of Education and Culture of the first. Ki Hajar Dewantara struggle against Indonesia make him a decent education in Indonesia education bestowed the title of hero. No exaggeration anyway if his birth date, May 2 celebrated as National Education Day to commemorate and as an encouragement for us to continue the initiative and his thoughts on education in Indonesia.