Koleksi+Puisi

download Koleksi+Puisi

If you can't read please download the document

Transcript of Koleksi+Puisi

KUMPULAN PUISI0100090000037800000002001c00000000000400000003010800050000000b020000000005000 0000c02c900c900040000002e0118001c000000fb021000070000000000bc02000000000102022 253797374656d0000c9000000d0c9110072edc630c0e316000c020000c9000000040000002d010 00004000000020101001c000000fb029cff0000000000009001000000000440001254696d657320 4e657720526f6d616e0000000000000000000000000000000000040000002d0101000500000009 02000000020d000000320a5a0000000100040000000000c800c80020002d00040000002d01000 0030000000000INIKAH KIAMAT ?

Pagi itu Dua enam Desember dua ribu empat Lamunan panjang tiba-tiba tersentak Nalar dan angan-angan menggurita Dengan sejuta misteri Tentang ribuan mayat bergelimpangan Antara reruntuhan bangunan Dan puing-puing berserakan Mulut terkunci rapat, rapat sekali Segumpal rasa terpojok jauh Merapat dan meratap Pada sudut-sudut hati yang sangat dalam Tak mampu menguntai keprihatinan Sepotong puisi pilu, syair lagu sendu Kehilangan nada, kehilangan makna Lukisan ekspresi dari ketakutan Yang tiba-tiba meraksasa di seantero bumi Membuat tubuh-tubuh kerdil itu Tak punya arti dibawah kuasa-Nya Ribuan wajah diterjang tsunami Adalah wajah-wajah kita yang terhempas Oleh gelombang laut, bagai raksasa Melumat perkotaan Melumat pedesaan Melumat Tanah Rencong Ribuan ekspresi wajah memelas Mencari perlindungan, meminta pertolongan Sedang matahari seperti tergelincir Menerpa bumi, retak-retak dan kelabu Segalanya gelap Segalanya pekat Dari sisa-sisa napas yang mengepak lelah Nadi berdenyut semakin tak nyata Sangat kelam, sangat kelam

Dari bibir yang pucat masih sempat teruntai Sebuah kalimat pasrah dibawah kuasa-Nya Tuhan ..... inikah kiamat ? Yang terkandung dalam firman-Mu ? Sebagai akhir dari segala langkah Dan perbuatan yang salah Bone, 26 12 - 2004 LANGITPUN BERDUKA Sekejap kehilangan Suami kehilangan isteri Isteri kehilangan suami Anak kehilangan ibu bapak Ibu bapak kehilangan anak Kakek dan nenek kehilangan cucu Cucu kehilangan kakek dan nenek Semua kehilangan semua Sekejap Nangru Aceh Darussalam Berantakan diguncang gempa Luluh lantak diterjang gelombang Tidak ada yang tersisa Rata dengan tanah Kapal tak lagi merapat dipantai Tempat maut berlabuh Bersama kabut hitam menggumpal Disana tak ada nelayan menanti Sementara gemuruh yang dahsyat Membawa berita tentang alam yang murka Langitpun berduka Matahari berduka Bulan dan bintang berduka Lalu kita membalut luka Menekan gunda, menekan air mata Disini ..... Sepotong bumi disepuh pilu Tak ada kekuatan Yang mampu menghalau bencana Menolak malapetaka Semua tak berdaya Kehilangan tenaga Bone, 27 12 2004 SEJUTA DAUN RONTOK Di atas tanah gembur Kelabu dan berbencah Kita gali liang-liang pekuburan Bagi ribuan mayat tanpa kain kafan

Rintihan kelaparan Dan jerit-jerit kesakitan Mencekik batang leher Menyumbat sisa-sisa napas Kepedihanpun semakin mengendap Merobek kelam Dilubuk hati makin dalam, makin dalam Sejuta daun kering diterpa angin Rontok berguguran Terapung diatas gelombang Terbawa arus ke laut lepas Makin jauh, makin lusuh Bone, 28 12 - 2004 MEREKA TERKAPAR KAKU Sepanjang jalan dan lorong Kota Banda Aceh dan Meulaboh Ribuan mereka terkapar kaku Juga dia bocah-bocah tak berdosa Kakek dan nenek renta Semua lemas Bercampur lumpur Kalimat-kalimat bertuah para leluhur Tak lagi berfungsi sebagai mantra Dan azimat kesaktian Membendung bencana Menolak malapetaka Dari alam yang murka Maut, tiba-tiba menyambar dan membentur

Bagai halilintar memecah gunung Mengobrak - abrik segala yang ada Hingga tangan-tangan perkasa Lunglai dan terkulai Berhenti membelai Masih adakah panorama alam yang menarik hati diatas bumi ini ? Atau seruling anak-anak gembala Yang melantumkan irama klassik dan purba Jawabnya, sedencing napas yang nyaris terputus Berkata dalam bayangan maut yang hitam sangat hitam Panorama alam dan seruling anak-anak gembala Adalah duka nestapa Menggamit dalam diri Hati yang menggeluti sedesah napas yang berdarah Takbir......mengagumkan kebesaran-Nya Tahmid......memuji kemuliaan-Nya Adalah jeritan yang tumpah Merambati celah-celah hidup yang semakin rapuh

Namun alam seperti tak mau mengerti Gempa tetap saja bergetar Gelombang tetap saja menerjang Menyapu perkotaan Meluluh lantakkan pedesaan Akankah lahir seketika, mujizat dan keajaiban Sementara di padang rumput Di alur-alur sungai Diendapan lumpur Di lembah-lembah dan pegunungan Mengendap mayat-mayat mereka Tercaplok oleh takdir Tuhan Diujung desah napasnya Diakhir detak jantungnya Meluncur dengan tulus takbir dan tahmid Laa ilaha illallah Mereka tak punya kekuatan Mereka tak lagi memiliki kekuasaan Buat membentuk pertahanan dan perlindungan Agar dapat menolak segalanya

Kini mereka terkapar kaku Terimalah disisi-Mu Dalam sorga-Mu Yang sejuk Kekal abadi disana Amien ya Rabbal alamin Bone, 29 12 2004

BERI AKU SETEGUK AIR Dalam berita pagi media elektronik Dan head line koran-koran lokal Kutangkap satu-satu wajah itu Lesu dalam derita Lesu dalam duka Kutatap dalam-dalam Bersama geliat naluri Lalu kutanam sedalam jiwa yang lara Sementara sukma dari syair-syair yang kugubah Syahdu menyayat hati Melebur pedih Dibawah tenda-tenda pengungsian Wajah-wajah itu memelas

Mengulur tangan-tangan gemetar Untuk disapa, untuk dipapah Lalu kurangkai sebaris puisi duka Walau kutahu Sejuta keprihatinan tak akan mampu Membalut lukanya yang menganga Berdarah dan bernanah Beri aku seteguk air yang jernih dan bening untuk membasahi kerongkonganku yang kering Dalam menatap wajah-wajah kering itu Tiba-tiba nalarku buyar seperti dalam mimpi Semua jadi bayang-bayang hitam ................................. menakutkan Lusuh dan tercabik-cabik dalam genangan duka Kutangkap lalu kutatap satu-satu Ternyata wajah-wajah itu Adalah wajah kita yang berlumuran darah 30 12 -2004 DIBAWAH LANGIT BIRU Pemandangan ini sangat mengerikan Air bah menyapu bumi hingga lenyap Membentuk genangan air mata bercampur darah

Seperti kisah nabi Nuh Dalam menebus dosa-dosa kaumnya Bumi menjerit terkikis-kikis Lalu mati ..... tak mampu menggeliat Akhirnya semua terlempar dan terhempas Pada pelataran kering berbatu Di Nangru Aceh Darussalam Terdengar jerit histeris memilukan hati Isak tangis dan teriakan menyayat kalbu Semua berlari....... entah mau kemana Akhirnya hilang satu-satu Ditelan laut Dijemput maut Laut biru memuntahkan gelombang tsunami Bumipun menggetarkan gempa sangat dahsyat Seperti saja murka, membentur segalanya Hingga habis Tak tersisa Dibawah langit biru Laut seakan membeku Menanti pagi, menanti matahari

Lalu sebaris generasi, sisa-sisa bencana Merangkak pelan dalam kelelahan Mencari kembali sekeping bumi yang retak Dan pokak poranda Buat ditempa seindah ilusi Hingga senja yang merah Datang buat menjemput dirinya Di Nangru Aceh Darussalam Sebaris generasi, sisa-sisa bencana Merangkak lelah buat menata masa depan 31- 12 2004 BIRUNYA BIRU LAUT ACEH Deru baling-baling helikopter Terbang rendah diatas tenda-tenda pengungsian Bunyi sirene kapal-kapal perang Yang merapat pelan dari pantai ke pantai gersang Adalah angin sejuk, angin kehidupan Berhembus sepoi-sepoi basah Membawa segenggam ilusi Buat menyulam pelabuhan dengan pelangi Bagi pengungsi-pengungsi Aceh

Dibawah tenda, mereka menunggu Dengan napas lelah tersendat-sendat Dan denyut nadi terputus-putus Seteguk air bening dan sesuap nasi putih Bakal menyambung hidupnya yang tinggal sepemggal Menyumbat tenggorokannya Deru baling-baling helikopter Dan bunyi sirene kapal-kapal perang Menyentak tidurnya yang lelap Hingga mimpinya buyar dan patah Mereka berlarian Menadah botol-botol air mineral Merebut kardus-kardus indomie Biskuit dan roti tawar Dengan napas lelah melangkah terhuyung Menjemput pakaian bekas Selimut dan perban pembalut luka Dari tangan-tangan relawan kemanusiaan Disini, diatas bumi ini Birunya biru, laut Aceh Mulai membentuk bianglala warna warni

Tentang hidup yang mulai menggeliat Diujung mimpi 1 1 - 2005

LULUH DITERPA BENCANA Sepenggal kalimat istigfar Masih sempat meluncur dari mulutku Ketika tubuhku yang kerdil ini Luluh diterpa bencana Bumi dan laut Kalimat ini Adalah kekesalan dan penyesalan Yang mengumpat diriku habis-habisan Atas tingkah dan keangkuhan Yang pernah bertengger dijiwaku Hingga nyaris membenamkan Segala pengakuan Akan kebesaran dan keagungan-Nya Benaca ini sangat kejam, sangat kejam Tapi tak ada yang mampu menolaknya Sebab dari kedahsyatannya melumat bumi Mengobrak abrik segalanya

Menyentak hatiku, menyentak jiwaku Sudut-sudut kelabu dan ruang-ruang Yang kelam, sangat kelam Dilubuk hati yang paling dalam Tergugah dan melahirkan sejuta pengakuan Tentang diriku yang kerdil, sangat kerdil Bagai debu jalanan Yang melekat dikaki kebesaran-Nya Tuhan ..... Dari bencana dahsyat ini Memenggal segala tingkahku Yang angkuh Yang kikir Yang malas Yang kejam Yang boros Yang yah... Yang akh... Yang hmm.... 2 1 2005 MENCAKAR CAKAR PANTAI

Pancaran mata air yang bening Adalah sebuah ilusi, bisikan hati nurani Mengalir dari sebuah telaga Hingga mencampakkan dirinya Buat menggeluti kemanusiaan Tangannya yang berotot kekar Mencakar-cakar tumpukan sampah di pantai Mengacak-acak puing-puing bangunan di perkotaan Juga di selah-selah pegunungan Mobil-mobil keropos berkarat Perabot-perabot peot berhamburan Yang membuat wajah Tanah Rencong Luka parah dan mengerikan Diangkatnya ribuan mayat yang terjepit Antara reruntuhan bangunan dan di alur-alur sungai Diendapan lumpur yang kental Mayat-mayat dengan luka menganga Dan wajah yang tak lagi bisa dikenali Teriknya matahari dan derasnya hujan Adalah payung yang menaungi dirinya

Dinginnya malam yang menusuk jantungnya Adalah selimut yang membalut tubuhnya Namun tak nanpak gurat-gurat kelesuan Dan kerut-kerut penyesalan Membayang diwajahnya Dia Relawan Kemanusiaan Membawa hati nurani yang bening Dia Relawan Kemanusiaan Membawa naluri yang jernih Mengabdi dan mengabdi Tanpa menghitung jari Tanpa menghitung peri Kecuali segenggam niat suci Mengumpal dihatinya Untuk mengabdikan apa yang dia miliki Relawan Kemanusiaan Dari berbagai profesi Melangkah gontai menyusuri lembah, Mendaki gunung Menyeberangi sungai, memanjat tebing batu Mencari jejak gempa dan gelombang tsunami

Relawan Kemanusiaan Betapa mulia jasamu Betapa tinggi maknamu Terlukis abadi Pengabdianmu 3 1 2005

BACALAH SEPOTONG DARI AYAT-AYATNYA Bicaralah...... ! Kalau saja laut dan bumi bisa bicara Bacalah sepotong dari ayat-ayat-Nya Tentang kehidupan di dunia fana ini Pergantian siang dan malam ----- setelah kesulitan berlalu pasti muncul kemudahan Bernyanyilah Kalau saja angin dan rumput bisa bernyanyi Selamat tinggal kekasih Allah Syuhada-syuhada Tanah Rencong Menuju Jannatin Naim Becanda dengan bidadari

Berpuisilah ......! Kalau saja lumpur dan bebatuan bisa berpuisi Badai duka semoga cepat berlalu Bersama sejuta kepedihan Agar diesok pagi Dapat kugapai kembali Kedamaian abadi Di bumi Berbisiklah ...... ! Kalau saja mawar dan melati bisa berbisik Mengapa angin tak lagi berhembus Membawa berita kehidupan Padahal disini, di pantai ini Nelayan-nelayan berdiri Menatap bayang-bayang hitam Tentang perahu dan kapal yang karang Berteriaklah Kalau saja bulan dan matahati Serta bintang-bintang Bisa berteriak Bedamailah di atas bumi Jalin keakraban yang murni

Antara sesama umat bersaudara Berdoalah. Kalau saja sepotong hati yang pilu masih bisa berdoa Ya Allah Jernihkan hati mereka Yang berperang Yang memperkosa Yang merampok Yang menindas Yang menipu Yang memeras Agar mereka kembali kejalan yang benar Mengikuti segala kehendak-Mu Menjauhi segala larangan-Mu Bersyukurlah ......! Kalau saja semua umat manusia bisa bersyukur Maka bencana dan nikmat Dalam merenda kehidupan ini Pasti luluh dalam kesadaran Yang hakiki 4 - 1 2005

SERIBU BIDADARI (Pengakuan paling tulus buat; MAHARANI AULIA) Dalam pandangan mata batin Walau samar-samar dalam kegelapan Namun tetap terbayang Sorotan matanya yang tajam Menembus cakrawala Melukis bianglala Dia bergerak, lincah sekali Bermain bersama teman sebayanya Merebut boneka lucu Berlari dan menari Memegang setangkai melati Sambil bernyanyi dan berpuisi Dalam pandangan mata batin Senyumnya membingkai pedih dan nyeri Nampak ada pergulatan raga yang pecah Dan patah Dari usianya yang masih sangat belia Dari tubuh kecilnya yang sangat lemah Dia menampung rasa tak berdaya

Menyusuri lorong-lorong duka Meninggalkan ayah dan bunda Dengan luka menganga Maharani Aulia ! Adalah bait-bait puisi Yang lahir dari sejuta hati nurani Maharani Aulia ! Adalah permata bermutu intan baiduri Meluruhkan geliat naluri dan mimpi Tentang gemuruh membentur sunyi Tidurlah yang panjang Melelap warna bianglala Dilangit yang biru Ketika keajaiban tercipta Derai angin pagi menjemput bias-bias mentari Dan awan hitam yang menggumpal diudara Bergerak pelan menuju pembukitan Buat mengangkat senja yang terapung-apung Dalam pandangan mata batin Kulihat Maharani Aulia Memegang setangkai melati

Sementara dibalik pintu syorga Berbaris seribu bidadari Menjemput kedatangannya Maharani Aulia Juga teman-teman sebayanya Adalah permata hati nurani Tidurlah yang pulas Menanti ..... kami....... 5 1 2005

SEPENGGAL PUISI PILU Ketika ribuan tangan terulur Buat membalut luka Aceh Semua hati nurani terpanggil Menyapa dan memapah mereka Yang tersisa dari amukan bencana Akupun menulis sepenggal puisi pilu Kubaca sendiri dalam hati Walau kutahu............. Puisi ini tak punya arti Tak punya sukma untuk mengobati kepedihan Yang menggerogoti alur-alur kehidupan

Bagi mereka yang dibalut derita Namun tetap saja kuharap Sepemggal puisi pilu Dapat membelai hati menyulam mimpi Bagi mereka yang tersisa terjangan gelombang tsunami Dan getaran gempa yang dahsyat Kuharap puisi-puisi ini Bagaikan embun basah Sejuk dihati Menyambut pagi 6 1 20 DI LAUT YANG PERNAH MURKA Besok pagi Bila mentari tersenyum di upuk timur Akan kutabur bunga warna warni Di laut yang pernah murka Agar segala duka dan lara Tenang dan mengendap di dasarnya Besok pagi Bila senja mulai bersulam warna lembayung Aku akan bersujud pasrah

Di bumi yang pernah mengamuk Agar segala cinta Mekar kembali diatasnya Besok pagi Aku akan kembali bercanda Dengan laut Dengan bumi Dengan angin Dengan awan Dengan bulan dan bintang Dengan matahari dan langit Agar darah-darah yang tercecer Mengendap lebih dalam 7 1 2005 DALAM BENCANA INI (Semoga terbaca oleh mereka yang bertikai) Tragedi ini adalah sebuah teka-teki Buat kita renungi Sangat pedih, sangat memilukan hati Bencana demi bencana Selalu saja menimpa negeri ini

Menolak segala pinta Melabrak segala cinta Mari kita membagi rasa dalam bencana ini Kepedihan dan kemiskinan, atau setitik harapan menggapai pantai Apa yang harus dilakukan bila dalam sekejap Semua hati pada lari mencari kesaksian yang serba palsu Melangkahi mayat-mayat berkaparan Sepanjang jalan dan lorong-lorong kota Mencium bau busuk menyengat hidung Dipesisir pantai dan alur-alur sungai Di padang datar dan puncak-puncak gunung Kita temukan setumpuk saja-sajak sepi Menggeliat untuk menggapai ekor sebuah mimpi Tentang igauan panjang seorang bocah ingusan Mengumpat bencana dengan tangisnya yang sesak Sementara garis-garis cakrawala Menukik ke pantai dan hancur ---- bersama dongeng purba yang kering ---Tragedi ini adalah sisa-sisa keperkasaan

masa lampau Dunia semakin renta, semakin renta Tak dapat meluluhkan segala kebencian Yang berlarut tanpa ujung Tragedi ini adalah isak tangis Dan jeritan histeris anak-anak bangsa Yang terjepit antara kekerasan dan kebekuan hati nurani ??? Luka dari bencana ini Dapatkah kita balut dengan sebuah solusi Menguntai kasih, memendam emosi Agar keakraban kembali terpatri Abadi dalam arti Abadi dalam diri ........ s e n d i r i 8 1 2005

DIATAS PUING-PUING CINTA Dipuncak langit yang biru Bayang-bayang maut datang tiba-tiba Melalap belantara hingga rata Bagai halilintar memecah pegunungan

Bulan dan bintang berguguran Kesendirian begitu sepi dan sunyi Gema dan kebisingan musik hilang pelan-pelan Dibenam kegelapan nalar Dan angan-angan Dalam kecemasan diguyur kelam Mimpi semakin kelabu dan bisu Gundapun mengeras Membentuk gundukan tanah Terasing dari matahari dan bulan Kemahiran merangkai cerita lucu Hilang ditelan halusinasi menyeramkan Seperti menatap bayang-bayang hitam diangkasa Setelah itu, kitapun lalu berpelukan Diatas puing-puing cinta Yang hancur terbentur Lebur jadi kubur 9 1 2007

EKOR DARI SEBUAH MALAPETAKA Gumpalan awan merah, diangkasa bebas ;

........................................beraraklah ! Deru angin di pedusunan ; .........................................gemulailah ! Curah hujan di pegunungan ; ..........................................gerimislah ! Hempasan ombak di pantai ; ...........................................perlahanlah ! Getaran bumi yang pecah ; ...........................................berhentilah ! Sebab semua itu membuat hati ini semakin pilu, kalau itu adalah pertanda datangnya ekor dari malapetaka yang pernah menimpa negeri ini Sesungguhnya ketenangan telah kugapai Dari keterasinganku Dengan hiruk pikuknya dunia Yang semakin kacau 10 1 2005 SETELAH GELOMBANG SURUT I Setelah gelombang surut Yang menghapus ekor senja kemarin Laut kembali tenang, kembali damai

Burung-burung camarpun mengepak lelah Mengitari kelam, amat kelam Sebab di pantai ini Nelayan-nelayan tergeletak mati Sebelum bencana menimpa pantai ini Seribu kedamaian lahir disini Tempat buruh-buruh pelabuhan Menghitung uang recehan Dari upahnya memanggang tubuh Membanting tulang, membanting harga diri Demi dirinya dan anak isteri Setelah gelombang berlalu Pantai ini Sepi 11 1 - 2005

SETELAH GELOMBANG SURUT II

Walau menyimpan luka dan duka Tetapi.................. Setelah gelombang surut Semua pasrah dibawah kuasa-Nya

Walau semua kehilangan Tetapi................... Generasi yang tersisa Pasti bangkit kembali Melangkah tergesah berpacu dengan waktu 12 1 2005 SETELAH GELOMBANG SURUT III Pepohonan dan rerumputan Tumbuh kembali diatas bumi Yang terkulai Setelah gelombang surut Bumi ini kembali damai Dan damai ini Abadi 13 1 2005 SEMUA DICEKIK RINDU Kita semua tertegun dan merenung Memandangi laut tak berombak Yang pernah membawa badai Menyapu kehidupan di bumi Kita semua dicekik rindu, didera hati pilu

Karena dari laut tak berombak Melambai seribu sajak kembara Tersenyum memandangi dirinya ditepi pantai Di pantai ini seorang bocah bertutur Dalam kalimat yang sangat lugu Merangkai cerita purba yang usang Tentang sepotong bumi berpeluh Diujung paling barat Nusantara Seribu tahun kemudian Sepotong bumi berpeluh, berdarah Tetap akan dituturkan Oleh bocah-bocah mendatang Sebagai cerita yang mengerikan 14 1 2005 DIKEPUNG MISTERI Hati tersentak, lalu galau Mulut terkunci, lalu kaku Denyut nadi berhenti, lalu beku Disitu ada maut Mengintai dari ujung lorong yang sempit Jari-jari tangan dingin gemetar

Hati terbungkam dikepung misteri Harus memulai dengan kalimat apa? Buat menguntai keprihatinan dan kepedihan Melihat mereka terkapar-kapar Di Tanah Rencong Diguncang gempa, diterjang gelombang raksasa Dari bumi dan laut yang meraksasa Jerit histeris, tangis pilu terdengar dimana-mana Semua terbirit mencari perlindungan Semua berteriak minta pertolongan Hidup, ya...... hidup itu Dicarinya diselah ruang dan waktu Tapi secercah harapan untuk menggapainya Terasa semakin kabur dan semakin jauh Pudar dalam bayangan Pupus dalam angan-angan Hidup terasa sangat getir dan pahit Tetapi tetap juga dicarinya Sebab hidup itulah yang membuatnya berlari Terbirit memanjat dinding batu yang terjal Melompati jurang yang dalam dan merenangi

sungai Akhirnya............ Maut tetap juga menjemputnya 15 1 2005 SEMOGA TERPATRI ABADI

Benci dan dengki Semoga terkikis habis Dalam lubuk hati setiap makhluk yang bernama Manusia Damai yang abadi Semoga terpatri abadi Dalam jiwa manusia yang beriman kepada-Nya Bencana demi bencana Semoga berakhir menimpa bumi ini Agar manusia yang beriman kepada-Nya Saling memberi, saling memperingati Kejalan yang benar dan damai Hidup penuh kedamaian Semoga tercapai oleh mereka Yang pernah didera derita berkepanjangan Dari kesesatan ilusi membelenggu naluri

16 1 2005 WAJAH-WAJAH DIBAWAH TENDA

Wajah-wajah itu Adalah wajah kita, wajah bangsa Menggeliat dibawah tenda Antara hidup dan mati Dari setetes darah lukanya Dan sedesah napasnya Yang nyaris terhenti Ucapkan salam buat menyapa mereka Ulurkan tangan buat memapah mereka Yang menggeliat kesakitan Dibawah tenda yang kumal

Beri apa saja, tegur kapan saja Yang dapat membuat dirinya kembali tegak Yang dapat membuat nadinya berdenyut Yang dapat membuat napasnya berdesah kembali Sebab diatas kehancuran bumi ini Akan tanggal semua duka Dan esok pagi bersama matahari Dapat meneguk kembali setetes air yang bening

Dapat menghirup kembali kelembutan Udara yang segar 17 1 2005 CERITA DARI ACEH Seorang kakek dengan gurat-gurat usia yang renta Bermimpi indah, mengigau panjang Menebar senyum, menyebut seuntai nama Ternyata nama-nama itu Adalah nama dari anak cucunya yang hilang Ditelan bencana bumi ini Seorang bocah bermain boneka Sambil menekan tangisnya Yang terisak putus-putus Memanggil ibu dan bapaknya Yang raib entah kemana Seorang ibu berwajah kusut Menyusuri jalan dan lorong kota Siapa tahu, diantara mayat-mayat berkaparan Terdapat mayat suami dan anak-anaknya Yang belum juga ditemukan Seorang ayah berambut kusam

Melangkah gontai, memandang liar Menatap satu-satu wajah dibawah tenda Kalau disitu terselip Wajah isteri dan anak-anaknya Yang belum ada kabar beritanya Seorang relawan kemanusiaan yang berjaket loreng Membongkar puing-puing bangunan Mencakar-cakar lumpur yang mengendap Mencari mayat-mayat tertimbun Seorang dokter muda berbaju putih Membalut luka menganga dan berdarah Sementara diwajahnya yang bening Tergurat pengabdian yang tulus Seorang guru sukarela berkerudung biru Bercanda dengan bocah-bocah ingusan Dibawah pohon yang rimbun Beralaskan plastik kumal Sementara dilubuk hatinya yang dalam Berkobar-kobar naluri kemanusiaan Tut Wuri Handayani semboyannya

Seorang ulama berjubah putih Bertasbih dan berzikir, menyejukkan hati Menyeru umat untuk berdamai Saling memperingati kejalan yang benar 18 1 2005 MELIHAT WAJAH KITA YANG BOPENG Diujung barat Nusantara Sepotong bumi bersimbah darah Diamuk gempa, diterjang badai Hancur dan porak poranda Disini, diatas bumi yang tercabik-cabik Kita berdiri dan berkaca Pada cermin raksasa, cermin diri Melihat wajah kita yang bopeng dan tak lengkap Disini kita bangun terminal Kita bertolak dari sini Melewati jalan berbatu Di terminal ini pula kita kembali Mengakhiri sengketa Yang panjang tak berujung Mestinya kita mengumpat hati nurani

Yang mengeras seperti batu Lalu kita dengarkan bocah-bocah ingusan Bertutur dengan mimik yang lucu Ini dongeng purba Yang melukiskan kejayaan negeri ini Dimasa lampau 19 1 2005 MEMOLES KEMBALI SEPOTONG BUMI Dibawah tenda-tenda pengungsian Ribuan terlentang pasrah, tak berdaya Yang haus,..minta seteguk air Yang lapar,minta sesuap nasi Yang luka,.minta secarik pembalut Yang berduka,........minta setitik hiburan Sementara diluar tenda Anak-anak lincah berlari dan bernyanyi Seperti tak mengerti bencana demi bencana Yang melanda negeri ini Hingga hancur berkeping-keping Diwajahnya tak terlihat Gurat-gurat

Kesedihan Kepedihan Kepiluan Kerinduan Kesengsaraan Kemelaratan Ketidak mampuan Dan juga tak nanpak diwajahnya Gurat-gurat Kebencian Kedengkian Kekesalan Keangkuhan Bila malam tiba membalut hatinya yang dingin Mereka tertidur pulas hingga bermimpi indah Membagi rasa, membagi segala Buat memoles kembali sepotong bumi Dengan rupa lebih indah Dari hari kemarin Sebelum bencana Melanda negeri 20 1 2005

KEPADA YANG KHALIQ (Sedencing doa dikaki mimbar)

Akbar.....Allahu Akbar.....Allahu Akbar Dikaki mimbar masjid Baitur Rahman Kota Banda Aceh Hembusan angin pagi, dingin menyejuk hati Seperti berbisik membelai nurani Di langit dan di bumi Seluruh makhluk sujud berserah diri Mengagungkan kebesaran-Nya Memuji kemuliaan-Nya Laa ilaaha illallah Pengakuan yang sangat tulus kepada yang khaliq Allahu Akbar Walillahil Hamd Sejuknya angin pagi membalut luka melipur duka lara Hingga sedih dan pedih Hilang dibenam iman dan taqwa Allahu Akbar Walillahil Hamd Dari bumi Tanah Rencong yang luluh lantak Semua bersujud memohon ampunan-Nya

Tuhan...... beri kekuatan, agar diesok pagi Wajah-wajah itu kembali ceria Napas-napas itu kembali berdesah Jantung-jantung itu kembali berdetak Penglihatan kembali jernih Pendengaran kembali tajam ................................................................... Allahu Akbar, Tuhan yang memiliki langit dan bumi !

DARI LIANG-LIANG PEKUBURAN Dari liang-liang pekuburan massal Di Nangru Aceh Darussalam Ribuan kami berbaring kaku Menyepi tak punya arti Kami hanya segenggam bayang-bayang Tak bisa bangkit dan berdiri Kaki dan tangan kami semuanya rontok Disini kami hanya mendengar Suara-suara gemuruh Sementara sunyi dan sepi bersua jadi satu

Tetapi............. Walau kami terbaring kaku Tetap mencoba untuk bertutur Menyampaikan kalimat bertuah Dengan suara yang parau putus-putus Kepada umat sejagat ; Ulurkan tangan buat berdamai Dengan bumi Dengan laut Dengan matahari dan bulan Dengan bintang dan awan Dengan segala yang ada Karena itu adalah sedencing dari napas kami Yang terbaring kaku di liang-liang pekuburan maal

DOA YANG TAK SEMPAT TERUCAPKAN

Alangkah sulitnya perjalanan ini Bagai memanjat bukit terjal dan licin Akhirnya mencampakkan diri ini

Pada suatu tempat yang asing dan menakutkan Memekik........ hingga denyut nadi berhenti Tinggal segenggam doa yang tak sempat terucap Dari nasib terkatung-katung mencari sesuatu Yang kabur antara gelap dan samar Sementara matahari menukik tergesah Sujud ke peraduannya Suara-suara yang parau Melambung ke garis lengkung langit yang biru Awan jingga seperti tertegun Meratapi teja yang merah-merah kuning Yang tinggal sejengkal menghiasi bumi Rangkaian doa yang tak sempat terucap Membara dan membahana Dalam naluri yang putih Tuhan.........timpakan kepadaku Nikmat dari kasih sayang-Mu Jangan timpakan kepadaku Laknat dari kemurkaan-Mu 23 1 2005

ANAK-ANAK ACEH DIPANGKUAN KITA

Anak-anak Aceh.............. Adalah lembaran-lembaran bening Tanpa noda, tanpa noktah Adalah kertas putih tanpa coretan hitam ------ hitam dan merah -------------Tak ada garis-garis yang nyata Melingkari dirinya Disini, tangan-tangan kita menulis dan melukis Wajah kita, wajah bangsa Anak-anak Aceh................ Adalah logam mulia bermutu emas murni Dari kandungan Tanah Rencong yang asri Bagai manikam dan intan baiduri Adalah bibit unggul Yang ditabur diatas tanah gembur dan subur Akar-akarnya menembus bumi, kokoh sekali Anak-anak Aceh dipangkuan kita Biarkan mereka tertidur pulas Sampai larut dalam mimpi yang indah Tentang matahari dan pelangi Di pantai ini

Adalah anak-anak bangsa Yang bakal tumbuh dan berakar Di atas sekeping bumi Warisan leluhurnya yang asri Jangan campakkan eksistensinya Buat menyentuh bianglala diluar dirinya Sebab dalam denyut nadinya Yang masih sangat belia Tergurat garis-garis budaya yang nyata Terbayang sendi-sendi iman yang kokoh Anak-anak Aceh dipangkuan kita Belai rambutnya dengan sentuhan budaya Rangkul tubuhnya dengan dekapan ------------ iman dan taqwa--------------Sapa jiwanya dengan napas kebangsaan Dalam tidurnya yang lelap dimalam kelam Terdengar samar-samar alunan irama purba Menyulam desah napasnya yang masih terisak Aku anak Indonesia, pewaris sepotong bumi Diujung paling barat Nusantara Mari kita lindungi mereka

Dari segala bencana 24 1 2005

KUTUTUP SEMENTARA LEMBARAN DUKA Pagi ini .. Dua lima Januari dua ribu lima Genap tiga puluh hari luka Aceh Yang berdarah dan bernanah Walau masih pedih dan pilu Tapi lembaran-lembaran duka Yang kutulis setiap hari Kututup buat sementara Sebab terasa aku nyaris kekeringan air mata Buat melukiskan semua derita , duka dan lara Esok pagi ................. Bila embun mulai membasahi bumi Akan kutulis lebih banyak lagi Tentang Aceh yang bangkit dari kehancuran Tentang Aceh yang jauh dari kemiskinan Tentang Aceh yang aman dari kekacauan Tentang Aceh yang terhindar dari segala bencana Semoga.....................

Amin!

KUMPULAN PUISI ANG BERSUMBER DARI SALAH SATU SENIMAN TEATER DARI TANAH RENCONG ACEH TAHUN 2005 NoteSebagai Penerbitan Ulang pada Blogsite Saya Mohon Maaf Dan yang jelas dalam Bentuk kalimat dan kata itu tidak ada dimodrenisasi . Sebagai bahan Inspirasi bagi kaula muda untuk berekspresi dalam menulis dan berkarya seni Yatno Zigana s http://yatno-yatno.blogspot.com/