KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN DI …
Transcript of KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN DI …
KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF WELFARE STATE
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata II
Pada Jurusan Studi Magister Hukum Sekolah Pascasarjana
Oleh :
ACHMAT IRMAWAN
R100160040
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
i
HALAMAN PERSETUJUAN
KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF WELFARE STATE
TAHUN 2020
NASKAH PUBLIKASI
OLEH :
ACHMAT IRMAWAN
R. 100160040
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Dosen Pembimbing I
Prof. Dr. Absori, S.H., M.H.
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Harun, S.H., M.H.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF WELFARE STATE
TAHUN 2020
OLEH :
ACHMAT IRMAWAN
R. 100160040
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Program Studi Magister Pendidikan
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Senin,
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Dewan Penguji
1. Prof. Dr. Absori, S.H., M.H.. (......................................)
(Ketua Dewan Penguji)
2. Prof. Dr. Harun, S.H., M.H. (......................................)
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Dr. Wardah Yuspin, S.H., M.Kn., Ph.D. (......................................)
(Anggota II Dewan Penguji)
Direktur,
Prof. Dr. Bambang Sumardjoko, M.Pd.
iii
1
KOMPARASI HUKUM PERIJINAN PERTAMBANGAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF WELFARE STATE
Abstrak
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dimaknai sebagai Hak Penguasaan oleh negara terhadap aset
kekayaan alam. Pemerintah sebagai tangan kanan negara, baik dari tingkat pusat hingga daerah
melekat suatu hubungan keterlibatan langsung untuk mengelola hasil sumber daya alam.
Hubungan terseut mencakup mengatur, mengurus dan melakukan pengawasan. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan pengaturan perijinan pertambangan di Indonesia serta
mengkomparasikan hukum perijinan pertambangan di Indonesia dalam perspektif welfarestate.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dari data primer dan sekunder melalui studi
kepustakaan serta dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan
bahwa pengaturan perijinan tambang ada di Undang-Undang No 3 tahun 2020 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
(Minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ada perbedaan
dalam kedua Undang-Undang ini. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja
menunjukkan bahwa seluruh proses perizinan ada di tangan pemerintah pusat sementara peran
koordinasi berada di tangan pemerintah daerah. Sedangkan, Undang-Undang nomor 3 tahun 2020
tentang Mineral dan Batubara justru menyerahkan wewenang tambahan kepada Pemerintah daerah
yakni berupa kewenangan dalam menentukan area pertambangan pra perizinan. Dalam hal ini
Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara lah yang lebih dominan dengan
teori Negara kesejahteraan (Welfare State), dimana konsep negara kesejahteraan (welfare state)
yang sebelumnya meletakkan tanggung jawab yang besar kepada negara atas persoalan masyarakat
dan pasar.
Kata Kunci: Hukum Perizinan, Pertambangan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
Abstract
Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is interpreted as the
right of control by the state over natural assets. The government, as the right hand of the state,
from the central to regional levels, has a direct involvement in the management of natural
resources. this includes mining affairs which are concurrent affairs in terms of regulating,
managing scope and supervising scope. This study aims to describe the mining licensing
arrangements in Indonesia as well as to compare the mining licensing laws in Indonesia from the
perspective of self-regency. This research is a normative research. The types of data used are
primary and secondary data collected by literature study and analised qualitatively. The results of
research and discussion show that the mining licensing arrangement is in Law No.3 of 2020
concerning Amendments to Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining
(Minerba) and Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation and there are the difference in
these two laws, in Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, which shows that the entire
licensing process is in the hands of the central government while the role of coordination is in the
hands of local governments. Meanwhile, if Law number 3 of 2020 concerning Minerals and Coal
actually assigns additional authority to the regional government, namely in the form of authority to
determine mining areas even before the permit is issued. So in this case Law No. 3 of 2020
concerning Mineral and Coal which is more dominant with the theory of the welfare state, where
the concept of a welfare state previously required the expansion of state responsibility into
community and market affairs.
Keywords: Licensing Law, Mining, Central Government, Local Government
2
1. PENDAHULUAN
Kesejahteraan luar biasa telah dicapai oleh kehidupan manusia dengan adanya
kemajuan peradaban pembangunan di bidang industri. Modernisasi telah membuat
manusia dapat menmecahkan persoalan kehiduan dengan lebih praktis.1 Manusia
modern yang kapitalistik dan eksploitatif mempunyai andil besar mendorong
manusia untuk lebih serakah terhadap lingkungan hidup. Sayangnya, manusia
senantiasa memiliki rasa tidak puas atas pencapaian materi yang telah diraih nya.
Merekapun mengetahui kebutuhan materi konsumtif tersebut dapat diperoleh dari
eksploitasi sumber daya alam yang ada.2
Pelaksanaan terhadap ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya mineral dijadikan pedoman dalam penyusunan
Undang-Undang Minerba yang baru yaitu Undang-Undang No 3 tahun 2020
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagaimana yang dinyatakan
dalam ayat 2. Hal demikian dikarenakan pada tubuh negara itulah tugas untuk
memberikan kemakmuran kepada rakyatnya diletakkan yang ditegaskan dalam
Pasal 3.
Penguasaan atau penyelenggaran Undang-Undang Minerba diamanahkan
kepada Pemerintah Pusat, meskipun selanjutnya untuk hal yang sederhana seperti
usaha perseorangan, perizinannya dapat didelegasikan kepada Pemerintah Daerah.
Maksud kata penguasaan mengandung fungsi yang berat yaitu fungsi kebijakan,
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Di samping itu,
pemerintah pun menentukan produksi dan distribusi serta harga Minerba baik
logam maupun bukan logam serta menentukan wilayah darat maupun laut. Hal
tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Menteri ESDM seagaimana tertulis pada
pasal 5.
1
Absori,t2014,t“HukumtPenyelesaiantSengketa: SebuahtModeltPenyelesaiantSengketa
Lingkungan HiduptdengantPerspektiftPartisipatif”, Surakarta: MuhammadiyahtUniversitytPress,
hlm. 1. 2 AbsoritdantNuniktNurhayati,t2017, KebijakantPerizinan, SengketatLingkungan Hidup
Dan KepentingantInvestasi, Jurisprudence,tVol. 7, hlm. 7
3
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
sektor batubara tercatat diberi perhatian khusus. Terhadap Undang-Undang
Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 3 tahun
2020 tersebut. Undang-Undang Cipta Kerja hanya menyisipkan satu Pasal, yaitu
Pasal 128A di antara Pasal 128 dan Pasal 129, serta mengubah ketentuan Pasal
162.
Substansi dari Pasal 128A adalah memberikan insentif bagi pengusahaan
batubara. Dalam hal ini kegiatan usaha batubara mendapatkan pelayanan khusus
atas keharusan penerimaan Negara. Pelaku usaha di sektor batubara yang
melakukan peningkatan nilai tambah batubara akan dibebaskan dari kewajiban
membayar royalti. Adapun substansi dari Pasal 162 adalah mengatur sanksi bagi
pihak-pihak yang mengusik aktivitas pertambangan dari pemegang izin usaha
pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), izin pertambangan
rakyat (IPR), atau surat izin penambangan batuan (SIPB).
Mengenai perizinan, Undang-Undang Cipta Kerja mengisyaratkan bahwa di
tangan pemerintah pusatlah mekanisme perizinan diterbitkan sementara
pemerintah daerah (pemda) diberi peran koordinasi. Dalam hal ini, Undang-
Undang Minerba No. 3 tahun 2020 pada akhirnya justru menambah peran Pemda
khususnya dalam menentukan area pertambangan pra perizinan.
Munculnya tata aturan yang saling silang ini tentu menyebabkan kebingungan
bagi pemilik usaha dalam mengajukan perizinan. Bukannya memberikan
kemudahan, justru semakin memperumit proses yang ada. Padahal izin
merupakan wujud dispensasi atas suatu larangan sehingga tentunya sangat
dibutuhkan oleh setiap pelaku usaha.3
Sementara itu, intervensionisme negara sebagai hal yang ideal dalam
perkembangan perekonomian masyarakat. Hal tersebut dilaksanakan demi
terciptanya masyarakat yang sejahtera.4
Pemerintah dalam menyelenggarakan
kewenangan pemberian izin harus pula berkoordinasi secara vertikal dari baik
3 Adrian Sutedi, 2010, HukumtPerizinantDalamtSektortPelayanantPublik, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 167. 4
JimlytAsshiddiqie,t2015,tGagasantKonstitusitSosial:tInstitusionalisasitdan
KonstistusionalisasitKehidupantSosial MasyarakattMadani, Jakarta:tPustaka LP3ES, hlm. 112.
4
pada tingkat pusat hingga tingkat daerah dalam kerangka negara kesatuan
sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 mengenai Otonomi
daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Keeradaan kewenangan Pemerintah dalam perizinan sesungguhnya
menimbulkan disparitas kewenangan secara yuridis karena pada Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja dikatakan bahwasanya seluruh
proses penerbitan izin ada di tangan Pemerintah Pusat sementara pemerintah
daerah mengantungi peran koordinasi. Di sisi lain, di dalam Undang-Undang No.
3 tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tugas dan peran yang
lebih besar berada di tangan Pemerintah Daerah yakni berkaitan dengan
penentuan wilayah penambangan bahkan sebelum izin tersebut dikeluarkan. Maka
dalam tataran Undang-Undang ini menimbulkan persoalan hukum yang mencakup
penafsiran kewenangan perizinan dalam bidang penambangan Mineral dan
Batubara serta efek sosiologis yang ditimbulkan sebagai konsekuensi penerapan
peran terkait. Hal yang menarik adalah wilayah ditempatkannya usaha
pertambangan merupakan wilayah otoritas pemerintahan kabupaten/kota dengan
adanya otonomi di dalamnya.
Kemudian, hal ini menarik pula apabila dikaji dalam sudut pandang teori
Negara Kesejahteraan (Welfare State). Regulasi hukum perijinan pertambangan
yang sudah diatur di Indonesia dapat menjadi indikator pencapaian kesejahteraan
Rakyat Indonesia dan dikomparasikan antara Undang-Undang Nomor 3 tahun
2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan Undang-Undang No.
11 tahun 2011 tentang Cipta Kerja mana yang lebih dominan kepada teori Negara
Kesejahteraan (Welfare State).
Persoalan yang dianalisis dalam karya penelitian ini adalah Pertama,
Bagaimana pengaturan mengenai hukum perijinan pertambangan di Indonesia?.
Kedua, Bagaimana komparasi hukum perijinan pertambangan antara Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam perspektif
Welfare State?.
5
2. METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan
doktrinal. Penelitian hukum normatif memberikan penekanan prosedur ilmiah
dalam menetapkan kebenaran atas dasar logika dan sisi normatif nya.5 Jenis dan
sumber bahan hukum meliputi bahan hukum primer yakni perundang-undangan
dan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian hukum yang relevan serta
jurnal hukum, artikel hukum dan makalah hukum. Bahan hukum penelitian ini
diperoleh melalui kajian pustaka dalam studi kepustakaan. Wujud Analisis bahan
hukum yang diadopsi oleh penulis setelah bahan hukum diperoleh selanjutnya
adalah mengkaji, mengolah dan menganalisa. Hasil yang diperoleh dari tahap
tersebut kemudian dinyatakan dalam suatu bentuk karya tulis menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan diperkuat dengan data-data kuantitatif yang
diperoleh.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengaturan Mengenai Hukum Perijinan Pertambangan di Indonesia
Secara Konstitusional, Undang-Undang Dasar RI 1945 memberikan
landasan tentang rumusan penguasaan oleh Negara dalam mengelola sumber
daya alam di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut pertambangan atau
usaha dibidang tambang juga harus mendapat izin operasi. Berikut pengaturan
hukum perijinan Pertambangan di Indonesia:
1. Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Merujuk pada Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Pasal 35 UU No. 4 tahun 2009
disebutkan ada beberapa jenis Izin yaitu dalam bentuk: (1) Izin
pertambangan Rakyat; (2) Izin Usaha Pertambangan; (3) Izin Usaha
Pertambangan Khusus.
5 JhonygIbrahim,g2006, TeorigdangMetodegPenelitiangHukumgNormatif,gMalang:
Bayumedia,ghlm. 47.
6
Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 UU No. 4 tahun 2009 mengatur
tentang Izin Usaha Pertambangan atau sering di sebut IUP, sedangkan
syarat-syarat izin usaha pertambangan diataur dalam Pasal 64 sampai
dengan Pasal 73 UU No. 4 tahun 2009 dan untuk Izin Usaha Pertambangan
Khusus di ataur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 85 UU No. 4 tahun
2009 apabila persyaratan untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus diatur
dalam Pasal 85 sampai dengan pasal 89 UU No. 4 tahun 2009. Salah satu
materi di dalam Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara terdapat muatan materi tentang lelang yang berasal
dari wilayah potensi untuk bahan galian dengan menerapkan sistem
konsensi dengan jalur penetapan lelang, hal ini di lakukan untuk menekan
adanya mafia perizinan atau mafia pertambangan karena nantinya ada celah-
celah untuk oknum pejabat bertindak tidak sesuai hukum yang berlaku.6
Akan tetapi dengan terbitnya Undang-undang No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah membuat Undang-undang No. 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus di sesuaikan karena pada
UU No. 23 tahun 2004 telah mencabut kewenangan Pemerintah daerah
tingkat I untuk pengelolan Tambang, dan pengelolaan di kelola atau di urus
oleh Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah tingkat II sebagai tangan
panjangnya. Kewenangan tersebut dipertegas dengan bunyi Pasal 6
Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
2. Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang No. 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pemerintah lewat organnya menerbitkan Undang-undang Nomor 3
tahun 2020 sebagai perubahan atas Undang-undang No. 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berkaitan dengan hal tersebut,
dapat kita cermati bunyi Pasal 173C UU No. 3 tahun 2020. Dalam pasal
6
Sudrajat, 2010,tTeoritdantPraktektPertambangantIndonesiatMenuruttHukum,
Yogyakarta: PustakatYustisia, thlm. t54.
7
Dalam rangka peralihan peran dilakukan dengan menghentikan
kewenangan sementara oleh Pemerintah Daerah Tingkat I karena penerbitan
izin baru untuk jangka paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak UU No. 3
tahun 2020 ini diberlakukan yaitu pada tanggal 10 juni 2020.
Berkaitan dengan klausul Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara tata kelola pertambangan akan di akses
oleh Pemerintah Pusat. Sementara untuk hal sederhana seperti usaha
perseorangan perizinannya dapat di serahkan kepada Pemerindah Daerah
Tingkat I. Pemerintah akan menetapkan jumlah produksi, penjualan dan
harga mineral logam serta mineral bukan logam yang merupakan jenis
tertentu atau batubara, termasuk juga area izin usaha pertambangan batubara
dan logam yang ditetapkan oleh Menteri baik darat maupun lautan.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
sektor batubara tercatat diberi perhatian khusus. Terhadap Undang-Undang
Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 3
tahun 2020 tersebut. Undang-Undang Cipta Kerja hanya menyisipkan satu
Pasal, yaitu Pasal 128A. Pada ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemberian
perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara
dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
Substansi dari Pasal 128A adalah memberikan insentif bagi
pengusahaan batubara. Dalam hal ini kegiatan usaha batubara diberikan
perlakuan khusus terhadap kewajiban penerimaan negara. Untuk pelaku
usaha di sektor batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara
akan dibebaskan dari kewajiban membayar royalti. Adapun substansi dari
Pasal 162 adalah mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang mengganggu
kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin usaha pertambangan
(IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), izin pertambangan rakyat
(IPR), atau surat izin penambangan batuan (SIPB). Mengenai perizinan,
Undang-Undang Cipta Kerja yang mengindikasikan semua proses perizinan
8
nantinya akan berada di pemerintah pusat dan Pemda hanya mengantungi
peran koordinasi. Hal ini mengaju pada Pasal 129 ayat 5 Undang-undang
Cipta Kerja.
3.2. Komparasi Hukum Perijinan Pertambangan antara Undang-Undang
No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan
Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Perspektif
Welfare State
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, kewenangan
di bidang Minerba tidak lagi berada di tangan Pemerintah Daerah. Hal ini
diperkuat melalui Pasal 173 B UU No 3 Tahun 2020. Namun demikian, masih
ada sedikit kewenangan bagi daerah antara lain: Pasal 9 ayat (2), Pasal 17 ayat
(1) dan Pasal 17 A ayat (3) dan 31A ayat (3). Jika dikomparasikan antara
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja yang
memberikan kewenangan proses perizinan kepada pemerintah pusat
sedangkan Pemerintah Daerah (pemda) hanya memegang peran koordinasi
dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara
yang justru memberikan peran yang lebih pada pemda dalam hal penentuan
area pertambangan pra perizinan maka hal tersebut menunjukkan perbedaan
dalam kedua Undang-Undang ini.
Menurut penulis, Pemerintah sebaiknya melakukan proses verifikasi,
pembinaan dan pengawasan. Dengan ditariknya kewenangan tersebut ke pusat,
nantinya dapat terjadi banyaknya antrian bagi para pihak yang melakukan
pengajuan permohonan izin. Dengan demikan pemerintah juga harus
menyediakan fasilitas derta sumber daya yang mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu juga menjerat
oknum yang menyalahgunakan wewenang dengan sanksi yang sesuai dengan
aturan yang berlaku. Hal tersebut menghindari adanya pola fikir untuk
mempersulit serta adanya nepotisme dalam memberikan izin. Hal ini
ditakutkan jika nantinya yang akan mendapatkan izin tambang hanyalah pihak
yang memiliki kedekatan pusat secara politik maupun finansial.
9
Hal ini tentu juga dapat mencederai prinsip desentralisasi yang telah
dipupuk bangsa Indonesia sejak lama. Asas desentralisasi yang
mengamanatkan kewenangan Kepala Daerah untuk mengurus daerahnya serta
bertujuan demokratisasi pemerintah daerah dengan melibatkan rakyat dalam
bertanggung jawab terhadap penyelenggara pemerintahan. Hal tersebut
sekarang tidak tercermin di dalam substansi Undang-Undang Minerba yang
baru yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 yang memuat perihal Mineral
dan Batubara dan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 dengan
lebih mengedepankan kesan yang sentralistis dan terpusat. Ketentuan dari pasal
169A UU Minerba juga telah bersimpangan dengan pasal 18A UUD 1945, hal
ini bisa dilihat dengan diterapkan pasal 169A UU Minerba justru meletakkan
kewenangan yang terlalu luas kepada Menteri dalam mengeluarkan garansi
perpanjangan menjadi IUPK untuk pelaku usaha yang telah memiliki KK dan
PKP2B tanpa mengindahkan keikutsertaan Pemerintah Daerah yang
merupakan pemegang kekuasaan yang bersinggungan secara langsung dengan
lokasi atau area pertambangan. Sehingga, hal tersebut secara langsung telah
melenyapkan hak daerah untuk mengatur area kekuasaannya, terutama
padabidang ESDM sehingga Pasal ini dapat dikatakan bertentangan dengan
pasal 18A UUD RI 1945.
Isi dari pasal 169A UU Minerba juga secara langsung mengebiri intisari
dari Pasal 33 UUD 1945 dengan tidak adanya keberpihakan terhadap organ
Negara dalam hal ini BUMN untuk mendapatkan hak istimewa dalam IUPK.
Namun, subjek yang mengantungi KK dan PKP2B akan mendapatkan garansi
untuk melakukan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi
Kontrak/Perjanjian dengan tidak disyaratkan untuk melaksanakan berbagai
aturan yang disyaratkan dalam Pasal 75 UU Minerba.
Pasal 33 UUD 1945 menunjukkan partisi cermin dari ideologi ekonomi
bangsa Indonesia karena di dalamnya mengatur tentang cabang-cabang
produksi Negara dan mengatur perekonomian yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, yakni perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan
10
demokrasi ekonomi, serta melakukan pengaturan eksplorasi sumber daya alam
demimkepentingan rakyat.
Hal tersebut merupakan rumusan yang cukup baik untuk mencapai tujuan
bernegara yaitu menyejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun,
apabila melihat Undang-Undang Minerba yang baru dan Undang-Undang
Cipta Kerja ini, begitu bertolak belakang dengan rumusan Pasal 33 UUD 1945
karena pengelolaan Negara begitu minim. Sebagaimana disampaikan oleh
Roscoe Pound yang menyatakan ahwasanya hukum memiliki tugas sebagai
alat untuk menjalankan rekayasa sosial dalam rangka mendukung
kesejahteraan sosial. Hal tersebut seyogyanya mendorong dinamika yang
positif di dalam tubuh masyarakat. Pertimangan tersebut dijalankan
berdasarkan kebutuhan akan kepastian yang diinginkan masyarakat. Sehingga,
selain ketentuan normatif, salah satu indikator utama yang menjadi landasan
pemerintah dalam menerbitkan pertambangan adalah instrumen asas.
Hal ini sangat kontradiktif dengan teori Negara kesejahteraan (Welfare
State). Negara kesejahteraan menganut konsep birokratis yang memberikan
penekanan atas kewajiban negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Dalam hal ini negara berperan untuk mengelola pemerataan
kekayaan Negara sehinga terjadi pemerataan dan menghindari kesengsaraan
rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa konsep Negara ini meruntuhkan adanya
kesenjangan sosial khususnya di bidang ekonomi dan politik.
Maka dari itu, peran Negara menjadi sangat penting dan diharapkan tidak
mempersulit rakyat dengan birokrasi yang rumit dan tidak efisien. Sebagai
bentuk konsekwensi atas perkembangan ruang lingkupnya, Negara
kesejahteraan selanjutnya mendapatkan sebutan sebagai intervensionist state.7
Hal ini dikuatkan dengan bukti-bukti lapangan atas kegagalan upaya negara
untuk menggapai cita-cita Negara Kesejahteraan.8
7
JimlytAsshiddiqie, HubungantAntartLembagatNegaratPascatPerubahantUUD 1945,
twww.jimly.com, ditaksesttanggalt24tNovembertPukult11:30tWIB. 8 Absoritdkk, 2018, tThetFormulationtoftWelfare Statet: tThetPerspektiftoftMaqasidtal-
Shari’aht IndonesiantHournaltoftIslamtandtMuslimtSocietiestVolt 8, No. t1 2018, tpp. t117-146,
hlm. t119.
11
Terkait Negara Kesejahteraan, sebenarnya UU Minerba yang lama sudah
cukup mengakomodir dengan Pasal 33 UUD 1945, artinya yang menjadi hal
penting dalam merumuskan produk Undang-Undang mengenai Negara
Kesejahteraan atas sumber daya alam adalah pasal 33 UUD 1945 harus
dijadikan pijakan paling mendasar bagi setiap produk hukum, terutama UU
Minerba, agar kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan sepenuhnya.
Tetapi, dalam hal ini Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Mineral
dan Batubara lah yang lebih dominan dengan teori Negara kesejahteraan
(Welfare State), dimana rumusan negara kesejahteraan (welfare state)
meletakkan tanggungjawab yang besar kepada negara atas persoalan
masyarakat dan pasar. Pada Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang
Mineral dan Batubara memberikan peran yang lebih pada pemda, tidak hanya
sekedar peran koordinasi namun juga pada penentuan area pertambangan pra
perizinan.
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja dirasa telah melakukan pelanggaran
hak konstitusi masyarakat adat khusunya sebagaimana dicantumkan di Pasal
18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD NRI 1945. Sementara itu, Undang-
Undang ini menyebabkan para pekerja masyarakat kota semakin berkurang
daya tawarnya.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Peraturan tentang perizinan tambang telah di atur melalui Undang-undang
Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal 173
C Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 adalah pencabutan wewenang
Pemerintah daerah tingkat I dalam hal izin pertambangan. Dengan di
cabutnya wewenang daerah sudah semestinya kemudian mekanisme kelola
usaha tambang menjadi wewenang dari Pemerintah pusat, hanya saja untuk
usaha-usah perorangan atau yang tidak terlalu kompleks tetap di serahkan
kepada pemerintah daerah, kemudian didalam paragraf 5 pasal 40 Undang-
12
undang Nomor 11 tahun 2020 di jelaskan bahwa setiap orang yang
mengajukan permohonan ijin berusaha harus mendaftarkan pada sistem
usaha online yang di kelola oleh pemerintah pusat.
2) Komparasi Hukum Perijinan Pertambangan antara Undang-Undang Nomor
3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan Undang-
Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam perspektif Welfare
State bahwa dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta
Kerja yang menunjukkan bahwa seluruh proses perizinan ada di tangan
pemerintah pusat sementara peran koordinasi berada di tangan pemerintah
daerah. Sedangkan, jika pada Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang
Mineral dan Batubara justru menyerahkan wewenang tambahan kepada
Pemerintah daerah yakni berupa kewenangan dalam menentukan area
pertambangan bahkan sebelum izin diterbitkan. Hal ini menunjukkan bahwa
ada perbedaan mengenai dari kedua Undang-Undang ini, maka dalam hal ini
Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara lah yang
lebih dominan dengan teori Negara kesejahteraan (Welfare State) dengan
peran seluas – luasnya atas negara dalam mencapai kesejahteraan
masyarakatnya..
4.2 Saran
1) Mengembalikan peranan penting daerah untuk menentukan kebijakan
perizinan yang berada di wilayahnya dengan kontrol serta pengawasan dari
Pemerintah daerah tingkat II serta pemerintah Pusat. Hal serupa akan
menghindari kekacauan yang akan timbul akibat tata kelola yang salah
terhadap perizinan usaha tambang.
2) Membentuk tim independen untuk mengkaji setiap proses perizinan dengan
melibatkan seluruh steakholder yang ada terutama berkaitan dengan
persoalan analisi dampak ingkungan (amdal).
3) Pemerintah mempuyai peranan penting sebagai fasilitator, supervisior
maupun sebagai regulator yang diharapkan pola pertambangan di dasari
dengan semangat kebangsaan dan bersifat terbuka untuk kesejahteraan
rakyat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Absori dkk,t2018,tThe Formulation oftWelfare State: The Perspektiftof Maqasid
al-Shari’ah, IndonesiantJournaltoftIslam andtMuslim SocietiestVol. 8, No.
1 2018, pp. 117-146.
Absori,t2014,t“HukumtPenyelesaian Sengketa: Sebuah Model Penyelesaian
Sengketa Lingkungan HiduptdengantPerspektif Partisipatif”, Surakarta:
Muhammadiyah UniversitytPress.
Absori dantNunik Nurhayati, 2017,tKebijakan Perizinan,tSengketa Lingkungan
Hidup DantKepentingan Investasi,tJurisprudence, Vol. 7.
Asshiddiqie,tJimly,t2015, GagasantKonstitusitSosial: Institusionalisasi dan
KonstistusionalisasitKehidupan SosialtMasyarakat Madani Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Asshiddiqie,tJimly,tHubungan Antar Lembaga NegaratPasca Perubahan UUD
1945, www.jimly.com, ditakses tanggalt24 NovembertPukul 11:30 WIB.
Ibrahim,tJhony, 2006, Teoritdan MetodetPenelitian HukumtNormatif,tMalang:
Bayumedia.
Sudrajat,tNandang, 2010,tTeori dantPraktik PertambangantIndonesia Menurut
Hukum, Yogyakarta:tPustaka Yustisia.
Sutedi,tAdrian,t2010, HukumtPerizinan DalamtSektor PelayanantPublik, Jakarta:
SinartGrafika.
Undang-Undang DasartNegara Republik IndonesiatTahun 1945.
Undang-UndangtNomor 4 Tahun 2009ttentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Undang-UndangtNomort3 Tahun 2020ttentangtPerubahan atas Undang-Undang
Nomor 4ttahun 2009 tentangtPertambangan Mineraltdan Batubara.
Undang-UndangtNomor 11 tahunt2020 tentangtCiptatKerja.