KONSEP TA’DIB MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN...
-
Upload
doankhuong -
Category
Documents
-
view
251 -
download
2
Transcript of KONSEP TA’DIB MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN...
| 1
KONSEP TA’DIB MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN KARAKTER
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh
MUHAMAD HABIB ALWI
111 13 126
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
| 2
| 3
| 4
| 5
| 6
| 7
MOTTO
Artinya: “ Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barang siapa tidak beriman maka dia tidak
bertauhid dan iman mewajibkan syariat maka barang siapa yang tidak ada syariat padanya,
maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid dan syariat mewajibkan adanya adab,
maka barang siapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman dan
tiada tauhid padanya”
(Hasyim Asy’ari, Adabul Ailm wal Muta’alim, H. 11)
| 8
| 9
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada pihak-pihak yang penulis anggap mempunyai peran
penting dalam hidup-Ku
1. Bapak Muhammad Ja’far dan Ibu Munawaroh, serta keluarga yang selalu
mencurahkan segala usaha dan doa untuk kelancaran belajarku.
2. KH. Abdullah Faqih pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat Pringapus Ungaran;
K. Mursyidul Anam pengasuh Pondok Pesantren Al-Munir Pangkat Tegalrejo;
K. Bahrudin pengasuh Pondok Pesantren Nurul Maghfiroh Tegalrejo
Kab. Magelang; KH. Taufikul Hakim pengasuh Pondok Pesantren Darrul Falah
Amtsilati Bangsri Jepara; KH. Zoemri RWS pengasuh Pondok Pesantren
Al-Falah Salatiga yang selalu membimbing dan mengajariku ilmu dan adab.
3. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M. Ag., atas segala ilmu, waktu, tenaga dan
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dengan kesabaran dan
keikhlasannya.
| 10
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat
serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarata
guna untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Adapun jugul skripsi ini adalah
“KONSEP TA’DIB MENURUT SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN
IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN KARAKTER.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga
4. Bapak Dr. H. Miftahuddin. M. Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan secara
ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan pikiran dan tenaganya
memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna sejak awal proses
penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
| 11
5. Seluruh Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan PAI IAIN Salatiga yang telah
berkenan memberikan ilmu pengetahuan ketarbiyahan kepada penulis dan pelayanan
hingga studi ini dapat selesai.
6. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat semua yang telah membantu memberikan
dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam penulisan skripsi ini.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan myang berlipat ganda amien. Penulis sadar bahwa dalam penulisan
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnan. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya maupun pembaca pada umumnya dan memberikan sumbangan bagi
pengetahuan dunia pendidikan. Amien ya robbal ‘alamien.
Salatiga, 11 Agustus 2017
Penulis,
| 12
MUHAMAD HABIB ALWI
111 13 126
| 13
ABSTRAK
Alwi, Muhamad Habib. 2017. Konsep Ta’dib Menurut Syed Muhammad Naquib Al-
Attas dan Implikasinya Bagi Pendidikan Karakter. Skripsi. Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Dr. H. Miftahuddin, M.Ag.
Kata Kunci: Konsep Ta’dib, Pendidikan Karakter.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep ta’dib yang digunakan oleh
Syed M. Naquib Al-Attas sebagai makna pendidikan Islam dan implikasinya terhadap
pendidikan karakter, sehingga struktur konsep ta’dib telah mencakup unsur-unsur ilmu
(‘ilm), instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi
dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga
serangkai konsep tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Pokok masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana konsep ta’dib yang
digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas sebagai makna pendidikan Islam? 2)
Bagaimana implikasi konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas dalam
konteks pendidikan karakter? Mengingat kajiannya merupakan penelitian literarur/studi
pustaka maka metode yang digunakan adalah analisis isi dari buku tersebut.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) konsep ta’dib menurut Syed M.
Naquib Al-Attas yaitu mencakup ilmu dan amal dalam pendidikan serta adanya amal
(praktik) untuk menjamin ilmu agar dapat dipergunakan secara baik dalam kehidupan
masyarakat. 2) Implikasi konsep ta’dib dalam konteks pendidikan karakter yaitu; sebagai
kompetensi moral (akhlak) yang harus dimiliki oleh pendidik maupun peserta didik;
pembentukan kepribadian agar karakteristik psikologis seseorang yang berkaitan dengan
kecendrungan untuk berhubungan sosial dengan orang lain; pembentukan moral religius.
| 14
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN BERLOGO .......................................................................................... ii
HALAMAN DEKLARASI ........................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................................................... iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... vi
MOTTO ............................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ix
ABSTRAK ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI.......................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 5
| 15
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian............................................................... 6
E. Kajian Pustaka ...................................................................... 7
F. Metode Penelitian ............................................................... 16
G. Definisi Operasional ............................................................. 19
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 22
| 16
BAB II BIOGRAFI
A. Biografi Tokoh...................................................................... 24
B. Setting Sosial ....................................................................... 25
C. Karya-Karya.......................................................................... 34
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Konsep “Ta’dib” ................................................................... 40
B. Pendapat-pendapat Terhadap Konsep Ta’dib Yang
Digunakan Oleh Syed M. Naquib Al-Attas ............................ 68
C. Implikasi Konsep Ta’dib Terhadap Pendidikan Karakter ...... 75
BAB IV PEMBAHASAN
A. Signifikansi Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-
Attas .................................................................................... 88
B. Relevansi Pemikiran Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh
Syed M. Naquib Al-Attas dalam Konteks Pendidikan
Karakter ............................................................................... 95
C. Implikasi Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh Syed M.
Naquib Al-Attas dalam Konteks Pendidikan Karakter .......... 110
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 115
B. Saran .................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA
| 17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Pembimbingan
Lampiran 3 Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 4 Daftar SKK
Lampiran 5 Pernyataan Publikasi Skripsi
| 18
| 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu sarana terpenting dalam usaha
pembangunan sumber daya manusia dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan,
yang pada gilirannya akan menciptakan suasana dan tatanan kehidupan
masyarakat yang beradab dan berperadaban.
Masalah sumber daya manusia dan seribu satu permasalahan
pendidikan yang dihadapi umat ini menjadi rationale utama, yang
membidani kelahiran Konferensi Dunia I mengenai pendidikan Islam (First
World Conference on Islamic Education) yang diadakan di Makkah. Tujuan dan
harapan diselenggarakannya Konferensi Internasional Pendidikan Islam
Pertama tersebut sangat jelas, yaitu untuk memantapkan dan meningkatkan
mutu pendidikan umat yang tengah mengalami degradasi pasca dominasi Barat
(Wan Daud, 2003:24). Salah satu cara dalam peningkatan kualitas pendidikan
Islam dengan cara merumuskan definisi pendidikan Islam secara jelas karena
istilah yang digunakan dalam pendidikan tentulah membawa gagasan yang benar
dan implikasi positif terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
pendidikan, baik dari aspek pendidik, anak didik maupun kurikulum.
| 20
Konsep ta’dib adalah konsep paling tepat untuk pendidikan Islam
daripada istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, sebagaimana yang digunakan sampai
saat ini. Al-Attas (1999:33) mengatakan:
“Its conceptual structure the elements of knowledge (‘ilm), instruction (ta’lim)
and good breeding (tarbiyah), so that there os no need to refer to the concept of
education in Islam as tarbiyah-ta’alim-ta’dib all together” yang artinya struktur
konsep ta’dib telah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim) dan
pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa
konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai
konsep tarbiyah, ta’lim dan ta’dib).
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan pada
akhir abad ini seperti perkembangan teknologi komunikasi, transportasi dan
informasi yang sedemikian cepat telah menghadapkan masyarakat agama menuju
kesadaran kolektif bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama
adalah suatu keharusan. Pada abad ini disebutkan oleh kebanyakan orang,
sebagai abad sumber daya manusia (SDM), yang menuntut manusia untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dengan kecerdasan tinggi, yang ber-
IQ dan ber-EQ tinggi dan berperilaku produktif. Pada era sekarang, semua orang
secara individual maupun bersama-sama dalam ikatan organisasi di tuntut
untuk belajar terus menerus dalam proses interaktif yang bermutu. Dengan kata
lain, disamping dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual, tentunya setiap
individu dituntut belajar untuk mampu tinggal bersama dalam masyarakat
majemuk dan secara spiritual dapat memahami arti sesungguhnya dari hidup
bersama dengan orang yang memiliki perbedaan agama, etnis dan kelas sosial.
1
| 21
Oleh karena itu, sehubungan dengan persoalan tersebut, maka konsep
atau istilah pendidikan Islam perlu ditata ulang atau diadakan penyegaran
tujuannya agar mampu menghadapi segala tuntutan zaman sehingga akan
berimplikasi positif terhadap aplikasi proses pendidikan secara keseluruhan
baik yang berkaitan dengan pendidik, peserta didik maupun aspek kurikulum.
Konsep kurikulum pendidikan yang berjalan selama ini boleh jadi telah banyak
diwarnai oleh pendidikan Barat sehingga menyentuh esensinya, tanpa adanya
seleksi yang lebih ketat. Konsep pendidikan Islam yang telah diterapkan
selama ini telah dirasuki pandangan hidup Barat yang belandaskan nilai-nilai
dualisme dan sekularisme sehingga nilai-nilai adab menjadi semakin kabur dan
semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiah.
Pendidikan Islam yang selama ini telah diterapkan perlu diadakan kajian
ulang dalam rangka menghilangkan pengaruh-pengaruh sistem pendidikan Barat,
sehingga mampu menemukan konsep pendidikan yang jelas dan dapat
dijadikan pedoman dalam mengaplikasikan semua aktivitas yang terkait
dengan proses pendidikan. Ditinjau sudut masalah pendidikan Islam, dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu masalah dari dalam terletak pada konsep dan
praktikan, sedangkan dari masalah dari luar terletak pada tantangan masa depan.
Jadi paparan di atas menunjukkan urgensi adanya penataan ulang tentang konsep
pendidikan Islam agar dapat ditemukan konsep pendidikan Islam yang integral,
adaptif terhadap tuntutan zaman dan selektif terhadap pengaruh dari dunia luar
| 22
(Barat). Selain itu, juga dapat dijadikan pedoman dalam mempraktikkan segala
aktivitas berkaitan dengan proses pendidikan.
Sebagaimana dengan pendidikan karakter, sekarang ini dilakukan secara
sungguh-sungguh, sistematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan,
menguatkan kesadaran dan keyakinan bagi semua orang bahwa tidak ada masa
depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan
disiplin diri, kegigihan, semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa
tanggung jawab, memupuk persatuan di tengah-tengah keberagaman, semangat
berkontribusi bagi kemajuan bersama serta rasa percaya diri dan optimisme.
Pendidikan karakter seringkali timbul tenggelam dalam sejarah pendidikan
nasional. Era sekarang pendidikan karakter menjadi mata pelajaran khusus,
kemudian menjadi dimensi yang terintegrasi ke dalam seluruh mata pelajaran.
Adakalanya pendidikan karakter diintegrasikan dengan pendidikan agama,
pendidikan moral pancasila, atau pendidikan akhlak mulia. Namun, ada juga saat
dimana pendidikan karakter sama sekali hilang dalam kurikulum pendidikan
nasional.
Oleh karena itu, pengembangan pendidikan karakter dalam kontek ajaran
Islam diperlukan intelektual muslim yang memiliki pemikiran-pemikiran dan
karya yang besar pula. Dengan demikian, sangat diperlukan peran dari para
pemikir untuk merumuskan kembali konsep pendidikan Islam yang benar,
ilmiah dan filosofis berdasarkan visi Islam. Mencermati keadaan demikian, Syed
| 23
M. Naquib Al-Attas sebagai salah satu intelektual Muslim yang terkenal,
berusaha menawarkan pemikiran mengenai konsep ta’dib, dengan kemunculan
pemikiran tersebut akan membawa angin segar yang diharapkan membawa
dampak positif dalam dunia pendidikan Islam dalam menghadapi segala
persoalan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti berkeinginan mengkaji pemikiran
Syed M. Naquib Al-Attas tentang konsep ta’dib, maka skripsi ini mengambil
tema tentang “Konsep Ta’dib Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan
Implikasinya Bagi Pendidikan Karakter”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada sub bab latar belakang, maka penulis
hendak merumuskan masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas
sebagai makna pendidikan Islam?
2. Bagaimana implikasi konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib
Al-Attas dalam konteks pendidikan karakter?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam hal
ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib
Al-Attas sebagai makna pendidikan Islam.
| 24
2. Untuk mengetahui implikasi konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed
M. Naquib Al-Attas terutama terhadap pendidikan karakter.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun
praktis, antara lain:
1. Manfaat teoritis
a) Dapat mendiskripsikan konsep ta’dib pendidikan Islam
b) Kajian ini juga diharapkan agar dapat dijadikan acuan atau pedoman
oleh civitas akademika sebagai konsep pendidikan Islam yang benar dan
integral sehingga mampu menyelesaikan problematika makna pendidikan
Islam dan dapat berfikir kritis serta ikut berperan aktif dalam
memfilter konsep-konsep yang tidak sesuai dengan konsep-konsep
pendidikan Islam.
2. Manfaat praktis
a) Diharapkan skripsi ini dijadikan bahan acuan bagi remaja muslim agar
mempunyai akhlaqul karimah dan karakter yang baik.
b) Peneliti berharap agar telaah atau kajian ini bermanfaat untuk dunia
pendidikan Islam, agar tidak selalu menyadur atau mengadopsi konsep-
konsep pendidikan Barat.
E. Kajian Pustaka
| 25
Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pusat kajian atau penelitian,
maka perlu dikemukakan tentang ruang lingkup kajian. Terdapat beberapa istilah
yang digunakan dalam mengungkapkan makna pendidikan Islam, diantaranya
adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan riyadhah. Dari beberapa istilah pendidikan
Islam tersebut, penelitian ini hanya mengkaji satu istilah yaitu ta’dib.
Berdasarkan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian khususnya
skripsi, penulis menemukan beberapa skripsi yang berhubungan dengan
penelitian ini, diantaranya:
1. Konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, disusun oleh
Bintang Firstania Sukatno, UIN Sunan Kalijaga. Hasil penelitian ini
menunjukkan: 1) Pendidik bukan hanya seorang pengajar (mu’allim) yang
tugasnya mentransfer ilmu pengetahuan saja, melainkan juga seseorang yang
melatih jiwa dan kepribadian peserta didik dengan cara memiliki kepribadian
dan adab yang baik sehingga mampu dijadikan teladan bagi peserta
didiknya. 2) Relevansi konsep ta’dib dilaksanakan di Indonesia adalah untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam, dimana pendidik PAI tidak hanya sekedar
mahir dalam menghantarkan materi pelajaran PAI saja, namun juga
menjadikan peserta didik berakhlak mulia sesuai dengan Al-Qur’an dan
Sunnah.
2. Konsep Pendidikan Akhlak dan Implikasinya dalam Pendidikan Agama Islam
(Studi Atas Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas Dan Ibnu
| 26
Miskawaih) disusun Andika Saputra, UIN Sunan Kalijaga. Hasil penelitian
ini menunjukkan: 1) Konsep Pendidikan Akhlak Syed Muhammad Naquib
Al-Attas dalam pendidikan agama Isalam yaitu ta'dib, tauhid dan metafora,
cerita dan yang mencalup semu:mya baik yang bersifat realita maupun
spiritual.dan Ibnu Miskawaih konsep pendidikan ahlak dalam pendidikan ista
thariqun thabi'i dan al-'adat wa aljihad, 2) komparasi pendidikan akhlak Syed
Naquib Al-Attas dan Ibnu Miskawaih yaitu pendidikan yang rnencakup semua
sisi kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan, 3) Implikasi konsep
pendidikan akhlak menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ibnu
Miskawaih dalam pendidikan Agama Islam terwujudnya sikap batin yang
mampu mendorong bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga mencapai kesempumaan dan memperoleh kebahagiaan yang
sempurna (al-sa'adat).
3. Konsep Pendidikan Berbasis Pembebasan (Studi Komparasi Konsep
Pendidikan Paulo Freire dan Syed M. Naquib Al-Attas), penelitian ini
dilakukan oleh Atina Rohma. Hasil penelitian ini menunjukkan, 1) Konsep
pendidikan yang diciptakan oleh Paulo Freire berasal dari keadaan sosial
yang dia alami, baik mengenai dasar tujuan dan lain-lain, semua
berdasarkan pada keadaan lingkungannya. Keadaan sosial yang penuh dengan
penindasan dan pemaksaan, keadaan sosial yang menjadikan manusia
terampas kemanusiaannya. Konsep pendidikannya tidak mempraktikkan
| 27
bentuk penindasan terhadap peserta didik, memposisikan peserta didik dan
pendidik pada suatu derajat yang sama. 2) Konsep pendidikan yang
dicetuskan oleh Syed M. Naquib Al-Attas sesuai dengan konsep ta’dib yang
ia buat. Mengenai dasarnya, beliau menjadikan al-Qur’an, Hadits Nabi dan
ijtihad sebagai acuannya, sedangkan dalam hal tujuan, beliau lebih
menekankan pada penciptaan manusia yang baik daripada warga Negara atau
pekerja yang baik. Mengenai kurikulum, beliau mencoba memadukan
tentang ilmu agama dan ilmu umum, karena menurutnya di dalam Islam
sebenarnya tidak ada pemisahan antara keduanya. 3) Dalam hal pendidikan
memang seharusnya mempunyai dasar yang berfungsi sebagai pijakan untuk
bertumpu sebagaimana yang dilakukan oleh Paulo Freire dan Syed M.
Naquib al-Attas, Paulo Freire berdasarkan agamanya yaitu agama kristen,
demikian juga Syed M. Naquib Al-Attas berdasarkan agamanya yaitu Islam.
Tujuan pendidikan yang dicetuskan baik oleh Paulo Freire maupun Syed M.
Naquib Al-Attas adalah sama-sama memanusiakan manusia, namun di
sana terjadi perbedaan arah, kalau tujuan pendidikan Paulo Freire bertujuan
untuk memanusiakan manusia dari unsur penindasan dan pemaksaan,
sedangkan tujuan pendidikan Syed M. Naquib al-Attas adalah
memanusiakan manusia agar dia menjadi manusia yang baik dalam hal
ini dia bisa menjadi warga negara dan pekerja yang baik. Metode Paulo
Freire hanya terbatas pada metode dialog dan hadap masalah, namun dari
| 28
metode hadap masalah ini akan timbul berbagai metode-metode yang lain.
Sedangakan metode pendidikan Syed M. Naquib al-Attas disesuaikan
dengan keadaan murid.
4. Sekularisme dan Pendidikan Akhlak (Studi Atas Pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas Tentang Konsep Pendidikan Akhlak dalam Menghadapi
Sekularisme). Lailatus Sa’adah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Kajian ini menunjukkan
bahwa: menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas sekularisme adalah suatu
faham yang memisahkan antara kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi,
sehingga berakibat pada rusaknya aqidah yang berdampak pada hilangnya
adab. Sedang Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki
akhlak. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas pendidikan akhlak tidak
hanya berpusat pada pemahaman saja, melainkan pada praktik dan
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi seorang guru bukan hanya
bertugas memahamkan materi saja, akan tetapi juga mendidik dalam
pengaplikasian materi tersebut dalam segala etika seorang peserta didik,
sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai sempurna. Al-Attas
mengungkapkan dua metode dalam pendidikan, yakni metode metafora dan
bercerita sebagai metode dalam memahamkan peserta didik, dan metode
tauhid sebagai metode dalam mempraktekkan teori pendidikan akhlak
tersebut, sehingga pada praktiknya seseorang akan berpegang teguh pada
| 29
tauhid ke-Islaman. Di dalam pendidikan menurut al-Attas, guru layaknya
seorang ayah atau pemimpin, jadi hendaknya bertanggung jawab dan
mengevaluasi peserta didik, begitupun peserta didik hendaklah menghormati
gurunya sebagaimana ia menghormati orang tuanya dan pemimpinnya.
5. Konsep Adab dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, disusun oleh Syahri Kismanto Program
Pascasarjana (PPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.
Hasil penelitiannya: melahirkan manusia yang sadar insaf akan tanggung
jawabnya kepada Allah SWT yang senantiasa disembah; yang memahami dan
melaksanakan tanggung jawabnya kepada diri sendiri dan kepada masyarakat
dengan adil dan yang senantiasa berusaha memperbaiki setiap aspek dirinya
ke tahap yang lebih sempurna.
6. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas), disusun oleh Abdul Gofur Skripsi Jurusan PAI
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian bahwa gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan yang diformulasikan oleh Al-Attas merupakan
“revolusi episthemologi” sebagai jawaban terhadap krisis epistemologis yang
melanda bukan hanya dunia Islam akan tetapi juga budaya dan peradaban
Barat. Dalam operasionalisasi gagasan ini melibatkan dua langkah, yaitu;
pertama, mengenali dan memisahkan unsur-unsur yang dibentuk oleh
budaya dan peradaban Barat, kemudian dipisahkan dan diasingkan dari
| 30
tubuh pengetahuan modern, khususnya dalam pengetahuan humaniora.
Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dari konsep kunci kedalam
setiap cabang ilmu pegetahuan mas kini yang relevan. Proses Islamisasi
ilmi pengetahuan kontemporer ini tidakah mudah, menurut orang-orang yang
terlibat didalamnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
terhadap peradaban Islam dan Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer bukanlah suatu evolusi tetapi pengembalian manusia kepada
fitrahnya. Artinya Islamisasi ilmu ini dapat melindungi manusia khususnya
umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan menyesatkan yang dapat
menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan umat manusia.
7. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Konsep Metafisik dalam Islam,
disusun oleh Akhmad Rofii Damyati Dosen STIU (Sekolah Tinggi
IlmuUsuluddin) Al Mujtama’ Pamekasan merupakan paper yang
dipresentasikan pada Doktora Semineri per tanggal 08.05.2015 di İlahiyat
Fakültesi Seminar Salonu lt.1, Süleyman Demirel Üniversitesi, Türkiye,
dengan judul “Nakip El-Attas ’in Felsefe Düşüncesinde Metafizik Kavramı.
Dalam El-Furqonia Vol. 01 No. 01 Agustus 2005. Hasil yang diperoleh bahwa
Pandangan Al-Attas, metafisik dalam Islam tidaklah sekedar yang dipahami
oleh para filosof dan ahli teologi. Tapi merupakan pencapaian hakikat baik
yang hissi ‘aqli dan intuisi plus wahyu sekaligus, dengan pengertian bahwa
pencapaiannya ada di level ihsan. Baginya, ini adalah metafisik yang lebih
| 31
menyeluruh. Sebab dengan demikian, hakikat segala sesuatu bisa dengan lebih
sempurna diabstrak. Eksperimen dengan intuisi adalah eksperimen di
tingkatan ihsan yang meng-upgrade level-level di bawahnya menjadi lebih
terang dan akurat. Dari sudut pandang metafisik Islam ini, para Sufi yang
otentik, buka Sufi yang palsu, adalah ilmuan sejati. Sebab merekalah yang
langsung berinteraksi langsung dengan haqaiq al-ashya yang menyimpan
makna, hikmah dengan martabat masing-masing yang menuntut untuk
diperlakukan sewajarnya sesuai dengan tuntutannya. Pandangan spiritual
inilah yang menjadi framework dari seluruh pemikiran al-Attas yang
digaungkannya dengan istilah “Worldview Islam”. Oleh karena itu, pada
posisi itulah yang membedakan Al-Attas dengan ilmuan lain dalam metafisik
terutama jika dihadapkan dengan posisi ilmuan Barat sebagaimana ia banyak
mengkritisinya. Tentu saja Al-Attas tidak seratus persen membuat atau
mengkonsep baru konsep metafisiknya. Ia meramu ulang tradisi keilmuan
Islam yang sudah ada sebelumnya seperti tradisi filsafat, kalam dan tasawwuf.
Sehingga dari hasil racik ulang tradisi keilmuan Islam sebelumnya itu
melahirkan framework metafisis yang dianggap lebih menyeluruh.
8. Marâji‘: Jurnal Studi Keislaman Volume 1, Nomor 1, September 2014; ISSN
2406-7636; 115-145. Kritik Islamic Worldview Syed Muhammad Naquib Al-
Attas Terhadap Western Worldview oleh Nur Hasan Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini dinyatakan bahwa sekularisme
| 32
sebagaimana yang dinyatakan al-Attas hanya merupakan simbol keruntuhan
otoritas Kristen, musnahnya alam vital keagamaannya, peralihan keyakinan
Kristen kepada konsep-konsep duniawi, dan pemisahan antara keyakinan
agama dengan hak-hak sipil (dunia) dan kekuasaan konsep agama tanpa
negara dan negara tanpa agama. Paham sekularisme yang dekat dengan
ideologi positivisme jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam
(Islamic worldview). Menurutnya umat Islam tidak boleh sekadar ikut-ikutan
menerapkan konsep pengosongan nilai-nilai ruhani dan fisik (empirik) karena
konsep ini bertentangan dengan konsep pandangan hidup Islam (Islamic
worldview) tentang alam. Western worldview menurut Syed Muhammad
Naquib al-Attas merupakan worldview yang lahir dari imitasi gagasan praktik
gereja Barat terhadap citra Islam, dan imitasi ini telah dimulai bersamaan
dengan kemunculan Islam dan pembebasannya atas Timur dari dominasi
kekaisaran Romawi Byzantium, maka maksud teselubung Barat, yakni;
berupaya membaratkan atau westernisasi akal pikiran para intelektual dan
budayawan Islam agar mengadopsi model peradaban Barat sebagai ganti dari
model worldview Islam.
9. Tadrîs Volume 158 8 Nomor 2 Desember 2013, Spiritualitas Pendidikan Islam
Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas oleh Halimatus Sa’diyah
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Madura. Dalam tulisan ini
dinyatakan bahwa Konsep pendidikan al-Attas, yaitu ta’dîb dalam tatanannya
| 33
identik dengan aspek metafisika atau spiritualitas. Pada dasarnya, pendidikan
Islam dalam perspektif Al-Attas adalah proses penanaman adab. Adab yang
dimaksud al-Attas adalah ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan itu sendiri.
Ilmu di sini didefinisikan Al-Attas sebagai sampainya makna segala sesuatu
pada jiwa seorang penuntut ilmu. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan
yang dimaksudkan Al-Attas adalah insân kâmil. Hal ini merujuk pada pribadi
Nabi Muhammad SAW, yang merupakan perwujudan manusia sempurna,
sedangkan pendidikan diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan
manusia sehingga bisa sedekat mungkin menyerupai Nabi Muhammad SAW
Berdasarkan beberapa kajian pustaka diatas, belum ada satupun sumber
tulisan yang secara khusus meneliti tentang konsep ta’dib dalam pemikiran Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dan implikasinya bagi pendidikan karakter.
Penelitian-penelitian tersebut diatas berfokus pada konsep pendidikan, pendidikan
akhlak, pendidikan Islam dalam hal pemisahan antara urusan ukhrawi dan
duniawi serta konsep metafisik dan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Sedangkan fokus penulis dalam kajian ini adalah dibatasi hanya pada interpretasi
ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas baik secara etimologi
maupun terminologi dan implikasi konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M.
Naquib Al-Attas pada pendidikan karakter.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
| 34
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis yang sangat
relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol maupun nilai-
nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa (Kaelan, 2005: 80). Dalam hal
ini yang diungkap adalah konsep ta’dib dalam pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan implikasinya pada pendidikan karakter.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
yaitu suatu cara kerja tertentu yang bermanfaat untuk mengetahui
pengetahuan ilmiah dari suatu dokumen yang dikemukaan oleh ilmuan masa
lalu maupun sekarang (Kaelan, 2005:250). Jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata,
catatan yang berhubungan dengan makna, nilai dan pengertian.
2. Sumber Data
a. Data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti. Data
primer dalam penelitian ini adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh
tokoh yang diteliti, dalam hal ini Syed M. Naquib Al-Attas. Untuk
melihat konsep ta’dib Syed M. Naquib Al-Attas secara konkrit dan
komprehensip, maka peneliti mengupayakan buku-buku yang dikarang
oleh pakar pendidikan yang bersangkutan. Dari survei kepustakaan
tentang tokoh tersebut, maka sumber primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003, “Filsafat dan
| 35
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” (Bandung:
Mizan); Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 1993, “Islam and
Secularism” (Kuala Lumpur: Art Printing Work Sdn. Bhd) dan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, 1999, “The Concept of Education in
Islam: Framework for an Islamic Philosophy of Education” (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization/ISTAC).
b. Data sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya penulis lain yang
membahas tentang pendidikan Islam, baik dalam bentuk buku, jurnal,
artikel maupun karya ilmiah lainnya. Beberapa sumber yang penulis
gunakan sebagai data sekunder, antara lain: buku, jurnal, artikel dan
sumber lain yang relevan dengan penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data secara menyeluruh dan relevan dengan fokus,
maka teknik pengumpulan data yang akan dipakai menggunakan metode
dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui
dokumen. Dokumen disini bisa berupa buku, surat kabar, majalah, jurnal,
ataupun internet yang relevan dengan tema penelitian ini.
4. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan analisis isi atau tekstual dalam studi kepustakaan secara
interpretasi terhadap isi pesan suatu komunikasi yang terungkap dalam
| 36
literatur-literatur yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini,
berorientasi pada pendeskripsian sebuah konsep ide pemikiran melalui
langkah-langkah penafsiran terhadap pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-
Attas tentang ta’dib dan implikasinya terhadap pendidikan karakter.
Analisa data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab
pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat
digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan.
Secara definitif, analisa data merupakan proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dipahami dan dapat
diinformasikan kepada orang lain.
Teknik ini dapat dilakukan melalui pengolahan data dengan
pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan
atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas
dan dikritik. Dengan menggunakan analisis isi mencakup prosedur ilmiah
berupa obyektifitas, sistematis dan generalis. Maka, arah pembahasan skripsi
ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan
teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah pendidikan yang masih aktual
untuk dibahas.
G. Definisi Operasional
| 37
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam penulisan skripsi ini, perlu
penulis jelaskan mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam judul di atas.
Istilah-istilah tersebut adalah :
1. Ta’dib
Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata
krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral dan etika. Ta’dib yang seakar
dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban dan kebudayaan yang
berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.
Menurut Al-Attas, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan terhadap
realitas yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
kekuatan dan keagungan Tuhan (Wan Daud, 2003: 177). Pengertian ini
didasarkan Hadits Nabi SAW:
Artinya: “Tuhan Ku telah mendidik-Ku, sehingga menjadikan baik
pendidikanku”
Artinya: “Aku di utus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak” (HR. Malik dari
Annas
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa kompetensi Nabi Muhammad
sebagai seorang rasul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Karena
itulah, seluruh aktivitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi
dengan peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW.
| 38
Ta’dib sebagai upaya dalam pembentukan adab terbagi atas empat
macam: 1) ta’dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam
kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang
di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang
dengannya segala sesuatu diciptakan; 2) ta’dib adab al-khidmah, pendidikan
tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia
harus mengabdi kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata
krama yang pantas; 3) ta’dib adab al-syari’ah, pendidikan tata krama
spiritual dalam syariah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan
melalui wahyu. Segala pemenuhan syariat Tuhan akan berimplikasi pada tata
krama yang mulia; 4) ta’dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama
spiritual dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan berprilaku
baik di antara sesama (Mujib dan Mudzakkir, 2006:21).
2. Pendidikan Karakter
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas
tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pengertian yang sederhana
pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan
berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter
adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Samani & Hariyanto,
2011:43).
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem
yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung
komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha
| 39
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan
terwujud insan kamil (Aunillah, 2011:18-19).
Sementara itu sumber lain, wikipedia mendefinisikan pendidikan
karakter sebagai istilah payung (umbrella term) yang acap kali digunakan
dalam mendeskripsikan pembelajaran anak-anak dengan sesuatu cara yang
dapat membantu mereka mengembangkan berbagai hal terkait moral,
kewargaan, sikap tidak suka memalak, menunjukkan kebaikan, sopan santun
dan etika, perilaku, bersikap sehat, kritis, keberhasilan, menjunjung nilai
tradisional, serta menjadi makhluk yang memenuhi norma-norma sosial dan
dapat diterima secara sosial (Samani & Hariyanto, 2011:44).
Jadi, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang
baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati.
Berdasarkan pada uraian pengertian diatas dapat disimpulkan yang
dimaksud dengan konsep ta’dib dalam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-
Attas dan implikasinya pada pendidikan karakter adalah pemikiran Syed
| 40
Muhammad Naquib Al-Attas tentang pengenalan dan pengakuan terhadap realitas
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan yang berdampak
pada perkembangan manusia seutuhnya yang memiliki hati, pikiran, raga, rasa
dan karsa dalam kehidupan sehari-hari.
H. Sistematika Penulisan
Secara umum dalam penulisan skripsi ini terbagi dari beberapa bagian
pembahasan teoritis dan pembahasan empiris dari dua pokok pembahsan tersebut
kemudian penulis jabarkan menjadi lima bab. Adapun perinciannya, sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang membahas tentang
keseluruhan penulisan skripsi ini yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,
penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II Biografi, mencakup biografi tokoh, Setting Sosial dan karya-
karyanya.
Bab III Deskripsi Pemikiran, membahas tentang konsep ta’dib menurut
Syed M. Naquib Al-Attas yang mencakup tentang Pengertian ta’dib menurut
Syed M. Naquib Al-Attas baik secara etimologi maupun terminologi, Pendapat-
pendapat para cendikiawan baik yang Pro maupun Kontra terhadap konsep
| 41
ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas dan Implikasinya terhadap
pendidikan karakter.
Bab IV Pembahasan, terdiri dari signifikansi pemikiran Syed M. Naquib
Al-Attas mengenai ta’dib, relevansi pemikiran konsep ta’dib yang digunakan oleh
Syed M. Naquib Al-Attas dalam konteks pendidikan karakter dan implikasi
konsep ta’dib yang digunakan oleh Syed M. Naquib Al-Attas dalam konteks
pendidikan karakter.
BAB V Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan saran yang menjadi
akhir dari penulisan skripsi ini.
| 42
BAB II
BIOGRAFI
A. Biografi Tokoh
Syed M. Naquib Al-Attas merupakan ilmuwan berkewarga-negaraan
Malaysia, nama lengkap Syed Muhammad Naquib Ibn Ali Ibn Muhsin al-Attas,
lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat Indonesia. Silsilah
keluarga dapat dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah
“Sayyid” dalam keluarga Ba’dawi di Hadromaut dengan silsilah yang sampai
kepada Imam Husein, cucu nabi Muhammad SAW (Wan Daud, 2003: 431).
Leluhur Al-Attas ada yang menjadi wali dan ulama diantaranya yaitu
Syed Muhammad al-Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing rohani Syed
Muhammad Hafs ‘Umar bin Syaiban dari hadromaut, yang mengantarkan Nur
al-Din al-Raniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke
tarekat rifa’iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib yaitu Syarifah Raquan al-
Aydarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, Indonesia dan merupakan
keturunan ningrat Sunda di Sukapura. Pihak bapak, kakek Syed Naquib al-Attas
yang bernama Syed Ibn Muhammad al-Attas adalah seorang wali yang
pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga ke Negara Arab.
Muridnya, Syed Hassan Fad’ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik
menjadi penasehat Agama Amir Faisal, saudara raja Abdullah dari
Yordania. Neneknya bernama Ruqoyyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah
24
| 43
Aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik sultan Abu Bakar
Johor (wafat 1895) yang menikah dengan adik Ruqoyyah Hanum. Khodijah
yang kemudian menjadi ratu Johor setelah Ungku Abdul Majid wafat
meninggalkan dua orang anak), Ruqoyyah menikah yang kedua kalinya
dengan Syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al-Attas
yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara, yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan
mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed
Zaid, seorang insiyur kimia dan mantan seorang dosen Institute Tekhnologi
MARA. Adapun sekarang Syed Muhammad Naquib menjalani hidupnya bersama
keluarganya yang bahagia dan harmonis. Hari-harinya disibukkan dengan
aktifitas keilmihan dan sebagai rektor (International Institute Of Islamic Though
and Civilization ) Malaysia.
B. Setting Sosial
Latar belakang keluarga memberikan pengaruh terhadap pendidikan awal
Syed M. Naquib Al-Attas, berawal dari keluarga yang berada di Bogor, Al-Attas
memperoleh pendidikan keIslaman. Sedangkan dari keluarga di Johor, Al-Attas
memperoleh pendidikan yang sangat bermanfaat dalam mengembangkan dasar-
dasar bahasa sastra dan kebudayaan Melayu (Wan Daud, 2003: 46).
| 44
Umur 5 tahun, Al-Attas dikirim ke Johor untuk belajar di sekolah dasar
Ngee heng (936-1941). Di sana ia tinggal bersama pamannya Ahmad kemudian
dengan bibinya Azizah (Kholiq, 1999: 217). Keduanya adalah anak Ruqoyyah
Hanum dari suaminya yang pertama, Datuk Ja’far Ibn haji Muhammad (wafat
1919) kepala mentri Johor modern yang pertama pada masa pendudukan Jepang,
dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di madrasah al-‘Urwatu
al-Wustqa, Sukabumi (1941-1945), sebuah lembaga pendidikan yang
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Setelah perang dunia II
pada tahun 1946, Syed M. Naquib Al-Attas kembali ke Johor untuk
merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di bukit Zahrah School
kemudian di English College (1946-1951).
Al-Attas menghabiskan masa muda dengan membaca dan mendalami
manuskrip sejarah, sastra dan agama serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa
Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain. Lingkungan
keluarga berpendidikan dan bahan bacaan seperti itulah yang menjadi faktor
pendukung yang memungkinkan Syed M. Naquib Al-Attas mengembangkan gaya
bahasa yang baik dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak sangat
mempengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya.
Setelah Ungku Abdul Aziz pensiun, Syed M. Naquib tinggal bersama
dengan pamannya yang lain, Dato’ Onn Ibn dato’ Ja’far (kepala menteri Johor
modern ke VII), sampai menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Syed M.
| 45
Naquib menceritakan bahwa Dato’ Onn (salah seorang tokoh nasionalis) sangat
mengagumi bakat seninya dan memintanya untuk membuat gambar bendera
resmi UMNO (United Malaya National Organization), yaitu partai politik
yang menjadi tulang punggung kerajaan Malaysia sejak dimerdekakan oleh
Inggris dengan memasukkan kekuatan, kesetiaan dan Islam.
Setelah lulus dari sekolah menengah pada tahun 1951, Syed M. Naquib
mendaftar di sebuah resimen Melayu sebagai kader dengan nomor 6675, beliau
dipilih oleh sir Gerald Templer, ketika itu menjabat sebagai British High
Commissioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer pertama di Eton
Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Millitary Academy, Sandhurst,
Inggris (1952-1955). Selama di Inggris ia berusaha memahami aspek-aspek
yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Selain
mengikuti pendidikan militer, Syed M. Naquib Al-Attas juga sering pergi ke
negara-negara eropa lainnya, seperti: Spanyol dan Afrika Utara untuk
mengunjungi tempat-tempat terkenal dengan tradisi intelektual, seni dan gaya
bangunan keIslamannya. Kemudian di Sandhurst pula Syed M. Naquib Al-Attas
berkenalan untuk yang pertama kalinya dengan pandangan metafisika tasawwuf,
terutama dari karya-karya Jami yang tersedia di perpustakaan kampus. Tidak
mengherankan lagi bahwa pengalaman yang seperti ini meninggalkan kesan
yang mendalam dalam diri Syed M. Naquib Al-Attas.
| 46
Setelah lulus dari Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai
kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, federasi Malaya, yang ketika itu
sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan. Namun tidak lama
di sini, minatnya yang dalam untuk menggeluti dunia ilmu pengetahuan
mendorongnya untuk berhenti secara sukarela dari kepegawaiannya kemudian
membawanya ke Universitas Malaya, ketika itu di Singapura pada tahun 1957-
1959, tidak dapat dinafikan lagi bahwa latihan-latihan militer yang diterimanya,
terutama yang berkaitan dengan unsur-unsur keislaman, seperti ketaatan, disiplin
diri dan kesetiaan sangat berpengaruh dalam berbagai pandangan dan sikapnya
sebagai seorang sarjana dan administrator Muslim.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah menulis dua buah sewaktu masih
kuliah mengambil program SI di Universitas Malaya. Buku pertama adalah
rangkaian Ruba’iyat, buku yang sekarang menjadi karya klasik adalah Some
Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the Malays yang
diterbitkan di lembaga penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963.
Sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga pada tahun 1959
pemerintah Kanada melalui Kanada Council Fellewship, memberinya beasiswa
selama 3 tahun, terhitung sejak tahun 1960 untuk belajar di Institut of Islamic
Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan Wilfred Cantwel Smith.
Syed M. Naquib Al-Attas mendapat gelar M.A dari Universitas McGill pada
tahun 1962 setelah tesisnya yang berjudul “ Raniri and the Wujudiyah of 17
Century Acheh ”, beliau lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
| 47
Setahun kemudian atas dorongan beberapa sarjana dan tokoh-tokoh
orientalis yang terkenal, Syed M. Naquib al-Attas pindah ke SAOS (School
of Oriental and African Studies ), Universitas London, untuk meneruskan
pendidikan Doktornya. Pada tahun 1965 dia memperoleh gelar Ph. D setelah
dua jilid disertasi doktornya yang berjudul The Mysticism of Hamzah
Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Selama menjadi mahasiswa, di McGill dan London, Syed M.
Naquib Al-Attas sangat aktif mengeroksi pandangan negatif yang ditujukan
kepada Islam, selain itu dia juga terlibat dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam
yang murni. Syed M. Naquib Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965.
Beliau termasuk dari sedikit orang Malaysia yang memperoleh gelar Doktor
of Philoshophy yang didapatkannya dari London. Syed M. Naquib al-Attas
dilantik menjadi ketua jurusan di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya
Kuala Lumpur. Dari tahun 1968 sampai tahun 1970, dia menjabat sebagai dekan
fakultas sastra di kampus yang sama. Di sini dia berusaha memperbaharui
struktur akademis fakultas dan jurusan-jurusan lain yang sefakultas sehingga
mereka tidak berjalan sendiri-sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini. Dia
juga bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar di lingkungan fakultas dan universitas yang karenanya menghadapi
oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha tersebut.
| 48
Pada tahun 1970 Al-Attas menjadi pendiri senior UKM (Universitas
Kebangsaan Malaysia) menjabat sebagai dekan fakultas bahasa dan sastra
Melayu, Syed M. Naquib al-Attas telah mengajukan konsep dan metode baru
kajian bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu yang bisa digunakan untuk
mengkaji peranan dan pengaruh Islam serta hubungan dengan bahasa dan
kebudayaan lokal dan internasional dengan cara yang lebih baik. Untuk
merealisasikan rencana ini, pada tahun 1973 dia mendirikan dan mengepalai
IBKKM (Institut Sastra, Bahasa dan Kebudayaan Melayu) di UKM.
Syed M. Naquib Al-Attas, seorang pakar yang menguasai berbagai
macam disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah dan
sastra. Selain itu, Al-Attas juga peneliti produktif dan otoritatif yang telah
memberikan beberapa kontribusi baru dalam disiplin keIslaman dan peradaban
Melayu. Kepakaran Syed M. Naquib al-Attas dalam berbagai bidang ilmu sudah
diakui di kalangan internasional. Syed M. Naquib Al-Attas sering mendapatkan
penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari pakar peradaban
Islam dan Melayu misalnya Syed M. Naquib al-Attas pernah dipercaya untuk
memimpin diskusi panel mengenahi Islam di Asia Tenggara pada Conggres
International des Orientalistes yang ke 29 di Paris pada tahun 1973. Pada
tahun 1975 atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, ia dilantik sebagai
anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang
anggotanya, antara lain: terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal,
| 49
seperti Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr dan Toshihiko Izutsu. Diapun
pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam International
(World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun 1976, sekaligus
menjadi pembicara dan utusan dalm konferensi Islam Nasional (International
Islamic Conference ) yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
Syed M. Naquib al-Attas menjadi pembicara dan peserta aktif dalam
konferensi dunia pertama mengenai pendidikan Islam (First World Conference
on Islamic Education) yang dilangsungkan di Mekkah pada tahun 1977 dan dia
ditunjuk untuk memimpin komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan
Islam. Dari tahun 1976-1977 dia menjadi professor tamu, (visitting professor)
untuk studi Islam di Universitas Temple Philadelpia. Pada tahun 1978 dia
diminta UNISCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah Islam yang
diselenggarakan di Aleppo, Suriah. Setahun kemudian dia mendapatkan
anugerah medali seratus tahun meninggalnya Sir Muhammad Iqbal dari presiden
Pakistan, jenderal Muhammad Ziaul-Haq. Syed M. Naquib Al-Attas telah
menghadiri dan memimpin sesi-sesi penting dalam berbagai kongres
international, baik yang diselenggarakan oleh UNESCO maupun oleh badan-
badan akademi yang lain.
Posisi dan peranan Syed M. Naquib Al-Attas di Malaysia sebagai seorang
pakar yang handal tidak perlu diragukan lagi. Dari tahun 1970-1984, dia
dipilih menjadi ketua lembaga bahasa dan kesusasteraan Melayu di Universitas
Kebangsaan Malaysia. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua lembaga Tun
| 50
Abdur Rozak untuk studi Asia Tenggara (Tun Abdur Razak chair of South East
Asian Studies) di Universitas Amerika, untuk periode 1980-1982. Syed M.
Naquib Al-Attas adalah pendiri sekaligus rektor ISTAC (International Institut
of Islamic Though and Cavilization) Malaysia sejak tahun 1987.
Perjuangan dan aktifitas Syed M. Naquib Al-Attas di berbagai
Institut Pendidikan Tinggi yang terdapat di Malaysia, sebuah negara multi
Agama, tetapi didominasi oleh orang Islam yang sekarang sedang
mengalami perubahan sosial ekonomi yang cepat-tidak hanya memberikan
peluang untuk memahami dengan jelas isu-isu fundamental yang mendasari
permasalahan-permasalahan kompleks yang sekarang menghadang umat
Islam, tetapi juga mencarikan solusi yang tepat bagi permasalahan-
permasalahan tersebut.
Adapun prestasi dan jabatan-jabatan yang pernah disandang oleh Syed
M. Naquib Al-Attas, sebagai berikut:
1. Sebagai pegawai kantoran (letnan) di resimen tentara kerajaan Malaya,
federasi Malaya, yang ketika itu menghadapi serangan komunis yang
bersarang di hutan, pada tahun 1952-1955.
2. Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala
Lumpur, tahun 1965.
3. Dekan Fakultas Sastra Universitas Malaya, Kuala Lumpur pada tahun 1968-
1970.
| 51
4. Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu di UKM pada tahun 1970-
1973.
5. Pendiri sekaligus kepala IBKKM (Institute Bahasa, sastra, Kebudayaan
Melayu) di UKM pata tahun 1973.
6. Anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy pada tahun 1975.
7. Konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of
Islam Festival ) yang diadakan di London pada tahun 1976.
8. Professor tamu (visitting professor) untuk studi Islam di Universitas Temple,
Philadelphia, pada tahun 1976-1977.
9. Ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara (Tun Abdul
Razak Chair of South East Asian Studies ) di Universitas Ohio, Amerika,
untuk periode 1980-1982.
10. Ketua lembaga bahasa dan kesusastraan Melayu di Universitas Kebangsaan
Malaysia, pada tahun 1970-1984.
11. Pendiri sekaligus rektor ISTAC (International of Islamic Thought and
Civilization), Malaysia, sejak tahun 1987.
12. Ketua atau pemegang pertama kursi kehormatan Abu Hamid Al-Ghazali
dalam studi Islam (Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di
ISTAC pada tahun 1993.
13. Anggota royal academy of Philosophy pada tahun 1994 dan lain-lain.
| 52
C. Karya-Karya
1. Buku dan Monograf
Syed M. Naquib Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik
bahasa Inggris maupun bahasa Melayu dan banyak yang diterjemahkan
kedalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya,
Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania.
Karya-karyanya tersebut adalah:
a. Rangkaian Rubi’iyah, Dewan bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur,
1959.
b. Some Aspects of Sufism as Understood and Practised Among the
Malays, Malaysia Sociological Research Institute, Singapura 1963.
c. Raniri and The Wujudiyyah of 17th Centure Acheh, Monograph of
d. The Royal Asiatic Society, cabang Malaysia, No, III, Singapura,
1966.
e. The Origin of The Malay Syair, DBP, Kuala Lumpur, 1968.
f. Preliminary Statement One General Theory of The Islamization of
The Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
g. The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press,
Kuala Lumpur 1970.
h. Concluding Postcript to The Origin of The Malay Sya’ir, DBP,
Kuala Lumpur 1971.
| 53
i. The Correct Date of The Terengganu Inscription, Museums
Departement, Kuala Lumpur, 1972.
j. Islam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universitas Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
k. Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograf yang belum diterbitkan,
186 h., ditulis antara Februari-Maret 1973, (Buku ini kemudian
diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001-penerja).
l. Commenst on The Re-examination of Al-Raniri’s Hujjatun Al-
Shiddiq : Arefitation, Musems Departemen, Kuala Lumpur, 1975.
m. Islah The Concept Of Religion and The Foundation of Ethics and
Morality, Angkatan Belia Islam Malaysi, (ABIM), Kuala Lumpur,
1976.
n. Islam, Pahan Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur.
o. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
p. Anas and The objectives of Islamic Education: Islamic Education
Series, Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz university,
London, 1979.
q. The Consept of Education in Islami, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
r. Islam, Secularisme, and The Philosophy of The Future, Mansell,
London, dan New York, 1985.
| 54
s. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri,
Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
t. the Oldest Known Malay Manuscript A 16th Century Malay
Translation of The A’qoid of Al-Nafasi, Dept. Penerbitan University
Malaya, Kuala Lumpur, 1990.
u. Islam and The Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989.
v. The Nature of Man and The Psychology of The Human Soul, ISTAC,
Kuala Lumpur, 1990.
w. The Intuition of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990; On Quiddityand
Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990.
x. The Meaning and Experience of happiness in Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1993; The Degrees of Experiensice, ISTAC, Kuala Lumpur,
1994.
y. Prolegomena to The Metaphysicsof Islam: An Exposition of The
z. Fundamental Elements of The Word View of Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1995.
2. Artikel
Selain buku dan monograf, Syed M. Naquib Al-Attas juga menulis
banyak sekali artikel. Adapun artikel-artikel yang ditulis Syed M. Naquib
Al-Attas, antara lain:
| 55
a. “Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”,
Journal of The Malaya Branch of The Royal Asiatic Society
(JMBRAS), VOL 38, Pt 1, Singapura, 1965.
b. “Islamic Culture in Malaysia”, malaysian Society of Orientalist,
Kuala Lumpur, 1996.
c. “New Ligt on The Life of Hamzah Fanshuri”, JBRAS, vol. 40, Pt, 1,
Singapura, 1967.
d. “Rampaian Sajak’, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu University
Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
e. “Hamzah Fanshuri”, The penguin Companion to Literature, Classikal
and Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.
f. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,
edisi baru, EJ. Briil, Leiden, 1971.
g. “Comperative philosopy: A Southeast Asian Islam View Point”, Acts
of The Fee International Congres of medieva Philosophy, Madrid-
Cordova-Granada, 5-2 September 1971.
h. “Konsep Baru mengenai Rencana serta Caragaya Penelitian Ilmiah
Pengkajian Bahasa, Kesusastaraan, dan Kebudayaan Melayu”, buku
panduan jabatan bahasa dan kesusastraan Melayu, University
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur: 1972.
i. “The Art of Writing, Dept Museum”, Kuala lumpur, t.t.
| 56
j. “Perkembangan Tulisan Jari Sepintas Lalu’, Pameran Khat, Kuala
Lumpur, 14-21 Oktober 1973 dan “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, dan
Kesustraan Melayu”, asas kebudayaan kebangsaan, kementrian
kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973.
k. “Islam in Malaysia”, (versi bahasa jerman), kleines lexicon der
Islamichen welt, ed. K. Kreiser awa. Akakolhlhammer, berlin
(Barat), Jerman, 1974.
l. “Islam in Malaysia’, Malaysia panorama, edisi special, kementrian
luar negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. juga diterbitkan dalam
edisi bahasa Arab dan Perancis.
m. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, syarahan tun sri lanang, seri
kedua, kementrian kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur,
1974.
n. “Pidato penghargaan terhadap ZAABA’, Zinal Abidin ibn Ahmad,
kementrian kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
o. “A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago’,
profiles of Malay culture, historiography, religion, and politics, editor
sartono kartodiharjo, menteri pendidikan kebudayaan Jakarta, 1976.
p. “Preliminary thoughts on The nature of Knowledge and Definition
and Aims of Education”, first world conference on muslim education,
Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
| 57
q. “Some Reflections on The Philosophical aspect of Iqbal’s Thought”,
international congress on the centenary of Muhammad Iqbal, Lahore,
1977.
r. “The Concept of Education in Islam: it is Form, Method and Sistem of
Implementat on”, world symposium of al-Isro; Amman, 1979. Juga
tersedia dalam edisi bahasa Arab.
s. “ASEAN-kemana Haluan Gagasan kebudayaan mau diarahkan?”,
diskusi, jil. 4, no. 11-12, November-Desember, 1979.
t. “Hijrah: APA Artinya?”panji masyarakat, Desember, 1979.
u. “Knowledge and non-Knowledge”, Readings in Islam, no. 8, first
quarter, Kuala Lumpur, 1980.
v. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman. Edisi special memperingati
abad ke 15 hijriah, University Malaya, Desember 1979.
w. “The Concept of education in Islam”, second world conference on
Muslim education, Islamabad, 1980.
x. “Preliminary Thoughs on an islam Philosophy of Science”, Zarrouq
Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa
Arab.
y. “Religion and Secularity”, Congress of the World’s Religions, New York,
1985.
z. “The Corruption of Knowledge”, congress of the word’s religions,
Istambul, 1985.
| 58
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Konsep Ta’dib
1. Secara Etimologi
Adab menunjukkan pada pengenalan dan pengakuan akan kondisi
kehidupan, kedudukan dan tempat yang baik, layak dan disiplin diri ketika
ikut berperan aktif secara sukarela dalam menjalankan peranan seseorang
sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, pemenuhan diri seseorang
dan manusia secara keseluruhan mencerminkan kondisi keadilan sebagai
ilmu dari Tuhan yang memungkinkan menghasilkan tempat yang tepat dan
layak berkeseluruhan.
Konsep kunci dalam pendidikan, menurut al-Attas adalah adab. Syed
M. Naquib Al-Attas berpendapat bahwa istilah pendidikan lebih tepat
menggunakan kata ta’dib yaitu penyemaian dan penanaman adab dalam diri
seseorang. Beliau lebih cenderung menggunakan kata ta’dib dalam menyebut
istilah pendidikan daripada istilah tarbiyah dan ta’lim. Al-Qur’an menegaskan
bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW
yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai manusia sempurna
atau Muslim Universal/al-insan al-kulliyy (Wan Daud, 2003:174).
Oleh karena itu, pengaturan administrasi pendidikan dan ilmu
pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan manusia
sempurna. Secara kebahasaan, istilah ta’dib merupakan bentuk (masdar ) kata
kerja addaba yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai
banyak arti, sebagai berikut: mendidik, undangan, kebudayaan, tata tertib
40
| 59
sosial, berbudi, ketertiban, kebiasaan baik, kepantasan, kemanusiaan. Tafsir
(2004:29) berpendapat dalam bukunya bahwa “para lama klasik
menerjemahkan dengan kepintaran, kecerdikan dan kepandaian. Sedangkan
arti asalnya adalah sesuai dalam bahasa Indonesia adab berarti sopan,
kesopanan, kebaikan budi (budi pekerti) dan kehalusan. Dari kata addaba ini
diturunkan juga kata adabun yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang
hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai
dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat
seseorang dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang”.
Pengajaran dan proses mempelajari keterampilan betapapun ilmiahnya
tidak dapat diartikan sebagai pendidikan jika di dalamnya tidak ditanamkan
sesuatu, sebagaimana telah dikemukakan oleh Al-Attas (1999:16), “There is a
something in knowledge which if it is not inclucated will not make its
teaching and learning and assimilation an education” Lebih lanjut,
ditegaskan sesuatu yang harus ditanamkan dalam pendidikan tersebut adalah
ilmu. Menurut Al-Attas (1999:22), tujuan mencari ilmu terkandung dalam
konsep adab. Kecuali itu batasan makna pendidikan dari kata ta’dib
penekanannya cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau
nilai-nilai kehidupan manusia.
Upaya merefleksikan manusia sempurna dalam dunia pendidikan
Islam, pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Makkah, pada April 1971, ketika Al-Attas tampil sebagai
salah seorang pembicara utama dan mengetuai komite yang membahas cita-
| 60
cita dan tujuan pendidikan, secara sistematis Al-Attas mengajukan agar
definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah
pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib. Alasan yang dikemukakan ketika
mengajukan definisi dan istilah baru untuk pendidikan Islam tersebut sangat
konsisten dengan perhatiannya terhadap akurasi dan autentisitas dalam
memahami ide-ide dan konsep-konsep Islam. Disebabkan oleh perubahan
yang sangat mendasar dalam penggunaan istilah ta’lim, tarbiyah dan ta’dib,
yang berbeda dari yang selama ini dipakai orang, dapat dipahami mengapa
komite menerima usulan tersebut secara kompromis yaitu dengan
mengungkapkan bahwa arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam
konotasi istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan
(Wan Daud, 2003:175).
Al-Attas (1999:33), menyatakan kembali pendapatnya dalam The
Concept of Education in Islam yang disampaikan pada Konferensi Dunia
Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad tahun
1980, apabila benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, maka
konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam
daripada istilah tarbiyah atau ta’lim sebagaimana yang digunakan sampai saat
ini. Dia mengatakan bahwa struktur konsep ta’dib telah mencakup unsur-
unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah),
sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah
sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah, ta’lim dan
ta’dib.
Manusia merupakan makhluk rasional sehingga manusia mampu
merumuskan makna yang melibatkan penilaian, pembedaan dan penjelasan.
Kenyataan disini tidak dapat dikaitkan dengan istilah tarbiyah, karena istilah
tarbiyah ini lebih cenderung bermakna pemeliharaan dan pelatihan (yang
| 61
biasa terjadi karena hubungan kepemilikan) yang tidak hanya diberlakukan
kepada manusia, melainkan juga berlaku untuk hewan dan tumbuhan. Al-
Attas dalam bukunya Rosyadi (2004:141) secara jelas dan sistematik
menjelaskan, sebagai berikut:
a. Menurut tradisi ilmiah bahasa Arab, istilah ta’dib mengandung tiga unsur
yaitu pembangunan iman, ilmu dan amal. Iman adalah pengakuan yang
realisasinya harus berdasarkan ilmu. Sebaliknya, ilmu harus dilandasi
dengan iman. Sehingga iman dan ilmu dimanifestasikan dalam bentuk
amal.
b. Dalam hadits Nabi SAW terdahulu secara eksplisit digunakan istilah
ta’dib dari kata addaba yang berarti mendidik. Cara Tuhan mendidik
Nabi, tentu saja mengandung konsep pendidikan yang sempurna.
c. Dalam kerangka pendidikan, istilah ta’dib mengandung arti ilmu,
pengajaran dan pengasuhan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan
atau pemilikan terhadap obyek atau peserta didik, disamping tidak pula
menimbulkan interpretasi mendidik makhluk selain manusia. Karena
menurut konsep Islam yang bisa dan bahkan harus dididik adalah
manusia.
d. Al-Attas menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan santun,
adab dan semacamnya atau secara tegas akhlak terpuji yang hanya
terdapat dalam istilah ta’dib.
Penekanan ta’dib, mencakup pada ilmu dan amal dalam pendidikan
dan adanya amal (praktik) tujuannya untuk menjamin ilmu dapat
| 62
dipergunakan secara baik dalam kehidupan masyarakat. Al-Attas
mengkombinasikan secara harmonis antara ilmu, amal (praktik) dan adab
yang kemudian menamakannya dengan pendidikan. Istilah yang digunakan
untuk pendidikan dan proses pendidikan harus membawa gagasan yang benar
mengenai pendidikan tersebut, demikian juga mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan proses pendidikan. Oleh karena itu, istilah tarbiyah yang
berlaku selama ini perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat dan benar.
Al-Attas juga mengungkapkan bahwa orang yang terpelajar adalah
orang baik. “Baik” yang dimaksudkannya di sini adalah adab dalam
pengertian yang menyeluruh dan meliputi kehidupan spiritual dan material
seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang
diterimanya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut
perspektif Islam didefinisikan oleh al-Attas sebagai orang yang beradab.
Dia mengatakan, “a good man is the one who is sincerely conscious of his
resposibilities towards the true God/insaf akan tanggungjawab dirinya kepada
Tuhannya yang hak; who understands and fulfills his obligations to himself
and others in his society with justice/memahami serta menyelenggarakan
penunaian keadilan terhadap dirinya dan diri-diri lain dalam masyarakat; who
constantly strives to improve every aspect of himself towards perfection as a
man of adab/insan adabi (Wan Daud, 1998:133).
Seseorang yang memiliki adab akan mampu mencegah dirinya dari
kesalahan penilaian. Karena manusia tersebut memiliki kepintaran,
kepandaian dan kecerdasan. Kecerdasan adalah kemampuan manusia
untuk mengetahui dan melihat problema serta memecahkannya dengan
baik. Dengan kecerdasan, orang mampu memberi sesuatu dengan benar
dan tepat, ia akan mampu mendisiplinkan diri memikirkan terlebih dahulu
segala perbuatannya. Singkat kata, adab penuh dengan pertimbangan
| 63
moral. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan
mentaati segala ketentuan, peraturan, tata tertib yang telah ada. Seseorang
tersebut sadar dan mengakui bahwa segala sesuatu di alam ini telah ditata
secara harmonis oleh Sang Pencipta sesuai dengan tingkatannya. Dengan
demikian, secara otomatis ia akan mampu menempatkan dirinya pada
posisi yang tepat sehingga tercerminlah kondisi keadilan (adl). Manusia
seperti ini yang diprediksikan sebagai manusia yang adil, yaitu manusia
yang menjalankan adab pada dirinya sehingga mewujudkan atau
menghasilkan manusia yang baik. Keadilan merupakan pencerminan dari
suatu kearifan (hikmah) yaitu ilmu yang diberikan Tuhan.
Perkataan adab memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, sebab pada
awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan, yang
di dalamnya sudah terkandung ide mengenai hubungan sosial yang baik dan
mulia. Akan tetapi, adab kemudian digunakan dalam konteks terbatas,
seperti untuk sesuatu yang merujuk pada kajian kesusastraan dan etika
profesional dan kemasyarakatan (Al-Attas, 1993:149).
Dalam sebuah jamuan tersebut, Al-Qur’an dianggap sebagai undangan
Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan makan di atas permukaan
bumi. Al-Attas menyamakan kata addaba dengan allama, pengertian yang
memperkuat posisinya dalam menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam
yang benar adalah ta’dib. Sehingga Al-Attas menjelaskan,
“The Holy Qur’an is God’s invitation to a spiritual banquet, and the
acquiring of real knowledge of it is the partaking of the fine food in it. In the
same sense that the enjoyment of the fine food in a fine banquet is greatly
enhanced by noble and gracious company, and that the food be partaken of
in accordance with the rules of refined conduct, behaviour and etiquette, so
| 64
is knowledge to be extolled and enjoyed, and approached by means of
conduct as befits its lofty nature” yang artinya kesucian sebuah Al-Qur’an
merupakan undangan Tuhan untuk sebuah jiwa pesta besar dan keperolehan
pengetahuan yang nyata itu adalah bagian dari makanan yang baik di
dalamnya itu. Pada rasa yang sama kenikmatan dari makanan baik dalam baik
pesta besar dengan besar ditingkatkan dengan kemuliaan dan perusahaan yang
keanggunan dan bahwa makanan mengambil bagian dalam persetujuan
dengan peraturan-peraturan dari dihaluskan hantar,perilaku dan tata cara,
begitu juga pengetahuan untuk dipuji dan dinikmati serta terdekat oleh
maksud-maksud penghantar sebagai keserasian alam tinggi sekalinya (Wan
Daud,1998:176).
Kandungan ta’dib memiliki pengertian akhlak. Sedangkan al-Attas
merupakan salah seorang pertama yang memahami dan menerjemahkan
perkataan addaba dengan makna “mendidikku”. Faktanya membuktikan
bahwa Allah SWT menjadikan pendidikan Nabi Muhammad SAW sebagai
pendidikan yang terbaik. Hal ini didukung oleh Al-Qur’an yang
mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram) dan teladan yang
paling baik. Hal ini kemudian dikonfirmasikan oleh hadits Nabi yang
menyatakan bahwa misinya di kehidupan ini adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia:
Artinya: “Aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak”. (HR. Malik
dari Anas).
Kesalahan semantik ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap
remeh, karena kesalahan semantik dalam penerapan simbol-simbol linguistik
tersebut akan melahirkan kesalahan dalam penafsiran Islam itu sendiri
dan pandangan dunianya. Oleh karena itu, konsep pendidikan Islam harus
dapat dirumuskan dengan benar dan tepat. Sebagaimana pendapat Al-Attas
| 65
yang mengatakan bahwa perumusan konsep pendidikan Islam yang benar
dan tepat yaitu dengan menggunakan istilah ta’dib. Jika konsep ta’dib ini
tidak digunakan dalam perumusan pendidikan Islam, maka sebagai
konsekuensinya adalah hilangnya adab yang berarti hilangnya kemampuan
membedakan tempat-tempat yang benar dan tepat dari segala sesuatu,
yang mengakibatkan rusaknya otoritas yang sah, yang mengakibatkan
pula ketidakmampuan untuk mengenali dan mengakui kepemimpinan
yang benar dalam semua bidang kehidupan (Badaruddin, 2007:32).
2. Terminologi
Adab mengarahkan kepada ta’zim (realisasi kebesaran Islam) dan
ta’zim tersebut akan mengantarkan kepada ta’mil/kehendak untuk
menyerahkan diri dengan sepenuh hati dan jiwa kepada Islam. Berdasarkan
analisis semantis dari perkataan abad tersebut, Al-Attas mengajukan definisi
adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya
ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai
dengan kategori dan tingkatannya sehingga seseorang tersebut mempunyai
tempat masing-masing sesuai realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan
spiritual. Yang dimaksud pengenalan dalam definisi di atas adalah
mengetahui kembali (recognize) perjanjian pertama (primordial covenant)
antara manusia dan Tuhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa semua materi
sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam berbagai macam
| 66
hierarki wujud. Akan tetapi manusia mengubah tempat-tempat tersebut
sehingga terjadilah ketidakadilan, hal ini dilakukan karena disebabkan
oleh kebodohan dan kesombongan manusia tersebut. Sedangkan kata
pengakuan yang dimaksudkan oleh Al-Attas adalah melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang telah dikenal di atas. Hal ini semacam “afirmasi” dan
“konfirmasi” atau “realisasi” dan “aktualisasi di dalam diri seseorang
mengenai apa yang sudah dikenalnya itu, yang tanpanya pendidikan
menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekadar proses belajar/ta’allum (Wan
Daud, 1998: 177).
Makna adab terkait dengan pendidikan manusia akan terasa ketika
disadari pengenalan meliputi ilmu, pengakuan, tindakan dan tentang tempat
yang pantas sangat berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam
pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl),
realitas dan kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran itu sendiri dipahami
memiliki korespondensi dan konherensi dengan tempat yang pantas. Al-Attas
memberikan beberapa contoh bagaimana adab tersebut hadir dalam berbagai
macam aspek pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika
seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat-
sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-
sifat kebinatangannya, maka ia telah meletakkan keduanya pada tempat yang
semestinya. Dengan demikian hal ini berarti ia telah meletakkan dirinya
| 67
sendiri pada tempat yang benar. Keadaan seperti itu adalah keadilan
bagi dirinya dan jika tidak, ia akan menjadi sesuatu yang tidak adil/zhulm
al-nafs (Wan Daud, 1998: 178).
Ta’dib dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti aturan
etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah seharusnya
memenuhi beberapa syarat yang didasarkan pada posisi seseorang,
misalnya dalam keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi seseorang
bukanlah sesuatu yang ditentukan manusia berdasarkan kriteria kekuatan,
kekayaan ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh Al-Qur’an
berdasarkan kriterianya terhadap ilmu pengetahuan, akal pikiran dan
perbuatan-perbuatan yang mulia menunjukkan sikap rendah hati, hormat,
kasih sayang, peduli dan lain-lain baik kepada orang tua, saudara, anak-
anak, tetangga maupun masyarakat lainnya, hal itu menunjukkan bahwa
seseorang telah mengetahui tempat yang tepat dan sebenarnya dalam
hubungannya dengan mereka.
Adapun adab dalam konteks ilmu berarti disiplin intelektual yang
mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-
tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan
mengakui bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu
Tuhan jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya
berdasarkan akal. Di samping itu juga, bahwasanya segala sesuatu yang
| 68
berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia daripada segala sesuatu yang
dipakai dalam kehidupan. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan
berbagai bidang sains yang berbeda. Seperti rasa hormat terhadap para
sarjana dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu
pengejawantahan langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, tujuan yang sebenarnya dalam upaya pencarian ilmu dan
pendidikan adalah agar seseorang mampu mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat (Wan Daud, 1998: 178).
Adab dalam kaitannya dengan alam berarti pendisiplinan akal praktis
dalam berhubungan dengan hierarki yang menjadi karakter alam semesta
sehingga seseorang dapat membuat keputusan yang tepat mengenai nilai-nilai
dari segala sesuatu, baik dalam konteksnya sebagai tanda-tanda Tuhan,
sumber ilmu pengetahuan maupun sebagai sesuatu yang berguna bagi
pengembangan ruhani dan jasmani manusia. Dalam konteks bahasa, adab
berarti pengenalan dan pengakuan akan adanya tempat yang benar dan tepat
untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun percakapan sehingga tidak
menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi dan konsep. Dalam Islam,
kesusastraan disebut dengan adabiyyah, semata-mata karena ia dianggap
sebagai penjaga peradaban dan penghimpunan ajaran yang dapat mendidik
jiwa manusia dan masyarakat dengan adab sehingga keduanya menduduki
| 69
tempat yang tinggi sebagai manusia dan masyarakat yang beradab. Sedangkan
secara spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-
tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual, pengenalan dan
pengakuan terhadap berbagai macam spiritual berdasarkan ibadah,
pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah
menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual ataupun akal.
Oleh karena itu, di sisi lain adab juga dianggap sebagai
representasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh kebijaksanaan (hikmah).
Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab,
dapat dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah
sebagaimana yang terkandung dalam istilah ta’dib , yang di dalamnya
terkandung tujuan, kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Al-Attas menolak peristilahan
tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang
lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau
ta’lim) maupun keduanya (ta’lim dan tarbiyah), sebab istilah tersebut
menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak istilah tarbiyah
sebab istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan
tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam
pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.
| 70
Pemakaian istilah ta’dib dan addaba di dalam konteks yang lain,
seperti yang terkandung di dalam istilah-istilah fiqh dan ‘ilm tidak menafikan
relevansi pendidikan di dalamnya, tetapi memberikan penekanan lebih
mendalam lagi. Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW memakai kata-kata
ta’dib, walaupun dipakai dalam bentuk metaforis, untuk menunjukkan
suatu usaha dalam menjinakkan hewan dengan cara mendisiplinkannya
agar mengikuti pengajaran dari tuannya. Kata-kata addaba juga dipakai
pada zaman permulaan Islam untuk menunjukkan suatu hukuman dan di
dalam bahasa Arab modern istilah majlis al-ta’dib sama dengan badan
penegakan disiplin. Karena berada dalam bidang semantik ta’dib, suatu
bentuk hukuman harus dilibatkan dalam pendidikan yang tepat, yang
diarahkan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran. Tentu saja pengertian
disiplin di sini tidak dapat dipahami secara terbatas pada tindakan
menghukum, tetapi lebih penting ditujukan pada aspek intelektual, spiritual
dan moral. Bahkan dalam bahasa Inggris, istilah discipline dipakai untuk
menunjukkan berbagai bidang pengetahuan. Dapat disimpulkan pengertian
adab menurut Al-Attas melibatkan hal-hal, sebagai berikut:
a. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran
b. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik
c. Perilaku yang benar dan sesuai, yang berlawanan dengan perilaku salah
dan buruk
| 71
d. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam
mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji
e. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat
f. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan
sesuatu secara benar dan tepat
g. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.
Dengan demikian peneliti menyimpulkn bahwa pendidikan yang
dimaksudkan Al-Attas berbeda dengan pengajaran dan pelatihan. Pembedaan
antara pendidikan dan pelatihan juga telah dilakukan oleh banyak pakar
pendidikan dari Barat. Tampaknya, mereka khawatir jika pendidikan
modern lebih menitikberatkan pada pelatihan pelajar untuk berbagai
profesi, bukan untuk pendidikan mereka. Sementara pelatihan dapat
dilakukan pada manusia dan binatang, sedangkan pendidikan hanya dapat
dilakukan untuk manusia. Hal ini berdasarkan pengamatan yang selalu
ditekankan oleh Al-Attas sendiri. Al-Attas menganggap bahwa banyak
kelompok yang tidak mengetahui perbedaan mendasar antara pendidikan
dan pelatihan, sebab mereka secara sadar atau tidak telah menghilangkan
batas-batas ontologis antara manusia dan hewan, suatu kondisi yang
berlawanan secara diametral dengan pandangan hidup Islam.
Beberapa ulama yang memakai terminologi ta’lim, tampaknya
menafsirkan makna pendidikan seperti makna yang dikandung oleh istilah
| 72
adab atau ta’dib , sebab istilah ini tidak terbatas hanya pada aspek
kognitif, tetapi juga meliputi pendidikan spiritual, moral dan sosial.
Terminologi ta’dib sebagai istilah pendidikan, pada awalnya telah dipakai
secara tepat oleh para tokoh sufi yang secara tipikal menonjol dalam
pengembangan pribadi Islam melalui pengembangan indra, akal dan moral.
Bagaimanapun adab seorang pelajar Muslim dan kelompok profesional
seperti hakim, jaksa, musikus, politisi dan guru telah ditekankan sebagai
bagian dari proses pendidikan.
Kenyataan bahwa adab telah dikaitkan dengan pendidikan profesional
dan moral di sepanjang sejarah Islam sudah cukup untuk menolak pendapat
bahwa ta’dib itu sebenarnya terbatas pada pendidikan tingkat rendah atau
pelajar muda yang dilaksanakan pertama-tama oleh keluarga di rumah yang
dilanjutkan oleh tutor atau guru. Al-Attas menyatakan bahwa tarbiyah
dalam konotasi sekarang adalah suatu terminologi yang komparatif,
sesuatu yang tampaknya diciptakan oleh mereka yang memiliki liansi
dengan pemikiran kalangan modernis, yang telah terpengaruh oleh konsep
Barat tentang pendidikan.
Konsep tarbiyah merupakan kontribusi masyarakat muslim yang
berpikiran memisahkannya secara signifikan dari pemahaman muslim
tardisional dan menyebarkan pengaruh sekularisasi. Pengenalan kembali
Al-Attas terhadap makna ta’dib secara kreatif sebagai konsep pendidikan
| 73
Islam yang komprehensif dalam bentuk yang integral dan sistematis adalah
sangat signifikan. Sebagaimana yang telah dipahami, ta’dib dapat
dilembagakan melalui bentuk pengajaran personal yang diberikan oleh
seorang guru (muaddib) kepada anak-anak raja, sultan, pemimpin, menteri,
militer, kaum terpelajar ataupun keluarga kaya. Bentuk ini memang secara
nyata berlaku pada zaman Dinasti Umayyah sampai Dinasti Utsmaniyyah dan
terbukti berhasil memproduksi pemimpin-pemimpin yang berkualitas dalam
segala bidang. Seperti halnya ma’rifah (illuminative knowledge) yang
dianggap sebagai ilmu khusus, yang terpisah dari arti ‘ilm yang lebih luas,
ta’dib harus dapat dianggap sebagai bentuk “khusus” pendidikan tipikal
Islam, dibandingkan bentuk pendidikan (ta’lim) lain. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, definisi adab mencakup ilmu dan hikmah. Kata-
kata “khusus” di sini tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang
berkembang dalam sejarah Islam belakangan dan interpretasikan
cendekiawan tertentu.
Konsep pendidikan dalam pengertian ta’dib, sebagaimana dipahami
dan dipertahankan oleh Al-Attas, pertama yaitu pendidikan sebuah proses
yang tidak akan menghasilkan spesialis, melainkan suatu proses yang akan
menghasilkan individu yang baik, yang akan mampu menguasai berbagai
bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan pandangan
hidup Islam. Menganggap bahwa adab (proses ta’dib) mengesampingkan
| 74
struktur dasar kehidupan spiritual Islam sama dengan menyetujui adanya
kontradiksi, sebab telah menjadi rahasia umum dalam Islam bahwa
menguasai satu cabang ilmu pengetahuan merupakan pengamalan
kewajiban beragama sekaligus prestasi yang tinggi. Oleh karena itu,
secara implisit berarti mengetahui beberapa cabang ilmu pengetahuan
merupakan prestasi keberagamaan yang lebih besar. Dalam sejarah Islam,
sebelum zaman modern sekuler sekarang ini, setiap cendekiawan termasuk
seorang adib diajari ilmu-ilmu agama dan diharapkan menguasainya
sebelum melanjutkan belajar di bidang studi yang lain. Seorang adib bisa
menjadi saleh dan tidak, tidak sesuai dengan makna dan kandungan adab
karena seorang adib pada masa yang sama dapat juga disebut faqih atau
‘alim dan sebagainya (Wan Daud, 1998: 186).
Para cendekiawan modern telah menemukan integrasi yang lebih
baik antara ilmu agama dan apa yang disebut ilmu sekuler di dalam
konsepsi dan praktik umat Islam tentang adab. Beberapa dari mereka
bahkan menunjukkan bahwa penggunaan beberapa kelebihan adab sebagai
konsep pendidikan terbaik dapat menolong memecahkan beberapa krisis yang
terjadi pada pendidikan barat modern.
Permasalahan mencari konsep pendidikan yang baik dan tepat dan
mencari cara terbaik untuk mendidik manusia masih merupakan persoalan
yang sulit dipahami dan secara tragis telah melahirkan justifikasi terhadap
| 75
kegagalan mendapatkan pendidikan kemanusiaan yang mendasar. Oleh
karena itu, konsep ta’dib yang dirumuskan oleh Al-Attas bertujuan untuk
dapat melahirkan manusia yang baik bukan masyarakat yang baik
sebagaimana Al-Attas menyatakan “ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu
pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud
untuk melahirkan masyarakat yang baik karena masyarakat terdiri dari
individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik.
Pendidikan adalah (pembuat) struktur masyarakat” (Wan Daud, 1998: 189).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa konsep pendidikan Islam
yang benar dan tepat untuk mendidik manusia adalah ta’dib yang selalu
mengutamakan dan memperhatikan tiap individu-individu agar mampu
mencetak seorang manusia yang baik. Seorang individu hanyalah individu
ketika secara simultan ia menyadari individualitasnya yang unik dan
kebersamaan dirinya dengan manusia lain yang dekat dengannya dan di
sekitarnya. Seorang individu tidak memiliki apa-apa dalam keadaan reisolasi,
sebab dalam keadaan itu ia tidak lagi menjadi individu, ia adalah segala
sesuatu.
Dengan demikian, dari makna adab sebagaimana seperti yang
dipahami Al-Attas menjelaskan bahwa manusia beradab (insan adabi)
merupakan seorang individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya
dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat dan alam
| 76
yang tampak maupun yang ghaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan
Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus
menjadi hamba baik untuk Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya,
suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga
yang baik dan warga negara yang baik bagi negaranya. Dengan kata lain, ia
harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah berbagai tingkatan
manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara
hierarkis dan logis ke dalam tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan
kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan dan kebaikan (ihsan)
dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif dan terpuji.
Landasan utama dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam Al-Attas
adalah konsep mengenai adab yang sangat komprehensif. Secara alami,
beliau menganalisis mengenai masalah pendidikan, intelektual dan
kebudayaan menunjukkan fakta bahwa permasalahn tersebut berakar pada
faktor-faktor eksternal dan internal. Penyebab eksternal disebabkan oleh
tantangan religius-kultural dan sosial-politik dari kebudayaan Barat,
sedangkan faktor internal tampak dalam tiga bentuk fenomena saling
keterkaitan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu dan
aplikasinya, ketidak-adaan adab dan munculnya para pemimpin yang tidak
layak memikul secara benar dalam berbagai macam bidang. Beberapa
faktor-faktor tersebut, yang harus di tinjau dan di koreksi secara efektif
| 77
adalah faktor ketidak-adaan adab jika ingin menyelesaikan permasalahan
kebingungan dan kekeliruan dalam bidang keilmuan dan menanggulangi
munculnya kepemimpinan palsu.
Sebagaimana Al-Attas menjelaskan permasalahan yang pertama kali
harus diselesaikan adalah ketidak-adaan adab karena suatu ilmu tidak dapat
diajarkan atau disalurkan kepada pelajar kecuali orang itu telah memiliki
adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan, berbagai disiplin dan
otoritasnya yang legitimatif. Metode atau cara-cara untuk menciptakan
disintegrasi adab dalam masalah-masalah spiritual, intelektual dan kultural
adalah melalui sikap dan proses penyamaan, misalnya: kitab suci Al-Qur’an
dianggap sama dengan kitab lain, Islam dianggap sama dengan agama lain,
Nabi Muhammad disetarakan derajatnya dengan nabi-nabi lain, ilmu agama
disamakan dengan ilmu-ilmu lain, hidup di dunia ini disamakan dengan
hidup di akhirat kelak, dan lain sebagainya. Dalam pendidikan, setiap subjek
pada umumnya dianggap sama dengan subjek lain sehingga ilmu
pengembangan spiritual dan moral yang lebih mendasar dan penting bagi
seseorang dianggap sama pentingnya dengan ilmu-ilmu yang memenuhi
tujuan ekonomi dan pragmatis lainnya, bahkan dalam beberapa kasus
dianggap lebih rendah (Wan Daud, 1998: 199).
Secara integral, ketidak-adaan adab akan mengakibatkan kedzaliman,
kebodohan bahkan kegilaan secara alami. Kedzaliman adalah meletakkan
| 78
sesuatu tidak pada tempatnya. Kebodohan adalah melakukan cara yang salah
untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kegilaan adalah perjuangan
berdasarkan tujuan dan maksud yang salah. Sesuatu akan menjadi lebih gila
jika tujuan utama mencari ilmu bukan untuk mencapai kebahagiaan yang
sebenarnya atau kecintaan kepada Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang
benar, yaitu untuk dapat melihat Allah pada hari kemudian. Demikian pula,
merupakan salah satu kebodohan jika beruapaya mencari kebahagiaan di
dunia dan akhirat nanti tanpa ilmu dan amal yang benar.
Secara esensial, ketiadaan adab akan memicu munculnya segala
bentuk sofisme. Berlakunya ketidakadilan disebabkan oleh ketiadaan adab
dan kebingungan dalam bidang ilmu pengetahuan tentu akan merusak
tatanan moral dan pendidikan suatu masyarakat. Adab sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Attas, menanamkan rasa keberaturan dan disiplin dalam
pikiran yang secara alami akan tercermin dalam fenomena yang berkaitan
dengan pribadi, sosial dan kebudayaan. Ketidakadilan yang disebabkan
oleh ketiadaan adab dapat dilihat dari perjalanan historis umat Muslim
yaitu lebih dari tiga dekade sebelum penghapusan Kekhalifahan
Ustmaniyyah oleh Mustapha Kemal Ataturk pada 1924, Mustapha Ali,
seorang pejabat dan penulis, pada 1581 telah mengamati berlakunya
ketidakadilan dalam kekhalifahan tersebut karena orang-orang yang tidak
berkualitas dan amoral ditunjuk untuk menduduki posisi penting.
| 79
Kebingungan yang akut karena ketiadaan dan disintegrasi adab, tidak
hanya berarti rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga
ketidakmampuan mengakui pemimpin yang benar dalam segala bidangnya.
Kecenderungan populer yang terus meningkat dalam menjalankan lembaga
pendidikan dengan gaya manajemen perusahaan pada beberapa masyarakat
Muslim dapat mendorong para pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan
materi yang akan diajarkan di sekolah dan universitas dengan tuntutan pasar.
Hal ini juga didorong oleh media dan dikontrol oleh kepentingan politik
dan bisnis.
Al-Attas menerangkan pengaruh negatif dari ketiadaan adab ini,
Definisi yang autentik menjadi hancur dan, sebagai gantinya, mewarisi
slogan yang kabur berkedok konsep. Ketidakmampuan untuk
mendefinisikan, mengidentifikasikan dan mengangkat masalah, kemudian
memberikan solusi yang benar; pemunculan pseudo-problem; reduksi
masalah menjadi sebatas faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan
hukum sudah menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika situasi
seperti ini dapat menyuburkan tumbuhnya berbagai bentuk ekstremisme
yang modal utamanya adalah kebodohan.
Konsep dari pendidikan sebagai penanaman adab (ta’dib),
sebagaimana dijelaskan oleh al-Attas, berupaya menghasilkan Muslim
yang terdidik secara benar, jelas identitasnya, jujur, berani, moderat dan
adil dalam menjalankan kewajibannya dalam berbagai realitas dan
masalah kehidupan sesuai dengan urutan prioritas yang dipahaminya.
Adalah suatu truisme bahwa dunia ini secara perlahan-lahan berfungsi
| 80
seperti sebuah kampung global tempat pendidikan yang secara intrinsik
membentuk laki-kaki dan perempuan yang baik, yaitu laki-laki dan
perempuan yang beradab, secara definitif pasti lebih bermanfaat
dibandingkan pendidikan yang hanya untuk menciptakan warga negara
terlatih dan berguna. Sebab kebanyakan proyek penting, baik ekonomi,
pendidikan maupun politik semakin lama akan semakin bersifat dan
berperan internasional, sementara agenda nasionalistis yang sempit dengan
partisipan multinasional akan meremehkan keberhasilan proyek seperti itu
(Wan Daud, 1998: 201).
Ide dan program pendidikan ini sangat mendesak, sebab kemajuan
luar biasa telah dicapai manusia modern dalam bidang teknologi, medis
dan ekonomi, ia tidak mampu meningkatkan taraf kebebasan, pencapaian
moral dan etika, keadilan dan kebahagiaan manusia secara berarti dan
signifikan. Seorang yang terdidik atau seseorang yang beradab dalam
pengertian ini adalah manusia universal yang memahami dan
mengamalkan adab dalam diri, keluarga, lingkungan dan masyarakat.
Manusia secara definitif, sebagaimana dijelaskan dan diamalkan al-Attas,
dapat menghadapi dunia yang plural dengan sukses tanpa harus kehilangan
identitasnya.
Berhadapan dengan tingkatan realitas dengan cara yang benar dan
tepat akan mendorongnya meraih kebahagiaan spiritual baik di dunia maupun
di akhirat (Wan Daud, 1998: 202). Hal ini berimplikasi bahwa kurikulum
pendidikan harus mencerminkan penekanan pada pengamalan adab,
demikian pula sebagai seorang pendidik dan peserta didik harus mampu
| 81
menjadi manusia yang beradab sebagaimana hal ini merupakan orientasi
atau tujuan dari penerapan konsep ta’dib dalam pendidikan.
Sebagaimana telah diuraikan oleh Al-Attas bahwa adab mencakup
suatu pengenalan dan pengakuan mengenai tempat sesuatu secara benar
dan tepat, pencapaian kualitas, sifat-sifat dan perilaku yang baik untuk
mendisiplinkan pikiran dan jiwa, penonjolan tingkah laku yang benar dan
tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai,
maka yang menjadi tujuan pendidikan dalam Islam berdasarkan adab
tersebut adalah menciptakan manusia yang baik, seorang manusia beradab
dalam pengertian yang komprehensif. Oleh karena itu, adab mensyaratkan
ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar agar mampu
menjaga manusia dari kesalahan penilaian dan perbuatan sehingga
manusia dapat memposisikan dirinya pada tempat yang benar dan sesuai.
Ilmu pengetahuan yang dapat mendorong lahirnya perilaku mulia
ini adalah kebijaksanaan (hikmah) yang menghasilkan keadilan (‘adl)
pada diri individu dan negara, masyarakat dan alam sekitarnya. Pendidikan
adalah pengenalan dan pengakuan mengenai tempat sesuatu sesuai
dengan tatanan penciptaan yang ditanamkan secara progresif ke dalam diri
manusia sehingga menghantarkan pada pengenalan dan pengakuan Tuhan
dalam tatanan wujud dan maujud. Pendidikan merupakan proses ganda,
bagian pertamanya melibatkan masuknya unit-unit makna suatu objek
| 82
pengetahuan ke dalam jiwa seseorang, yang kedua melibatkan jiwa pada
unit-unit makna tersebut. Ini semua menunjukkan pengetahuan mengenai
realitas individu, hakikat yang sesungguhnya, daya pikir, jiwa dan
kecenderungan etikanya, juga peranan serta tanggung jawabnya di dunia dan
tujuan akhirnya di akhirat.
Sebelum perkembangan zaman sekarang ini, masalah-masalah ini
sangat penting dalam semua komponen pendidikan baik yang menyangkut
kurikulum pendidikan maupun pendidik dan peserta didik. Dengan
begitu, sangat jelas bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai
realitas tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab serta
pendidikan sebagai ta’dib. Mendasarkan pada pernyataan yang disampaikan
Al-Attas bahwa pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri seseorang
sebenarnya proses yang tidak dapat diperoleh melalui suatu metode khusus.
Di dalam proses pembelajaran, peserta didik akan mendemonstrasikan tingkat
pemahaman terhadap materi secara berbeda-beda. Hal ini karena ilmu
dan hikmah yang merupakan dua komponen utama dalam konsepsi adab
benar-benar merupakan anugerah Allah SWT.
Sebagaimana halnya semua tindakan atau perbuatan dalam Islam,
pendidikan juga harus didahului oleh niat yang disadari, seperti pernyataan
yang sering didengar dalam hadits Nabi;
| 83
Artinya: “Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada
niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan
apa yang ia niatkan. (riwayat.Imam Bukhori dan Imam Muslim,
dalam kitab hadist Arba’in Nawawi Nomor 1)
Prinsip dasar tindakan tersebut tidak dapat diberi penekanan secara
berlebihan sebab konsep keikhlasan, kejujuran dan kesabaran juga sangat
penting dalam Islam. Abu Sa’id Al-Kharraz, seorang sufi terkenal abad ke-9
M, mengatakan bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan,
kejujuran dan kesabaran. Peserta didik harus mengenal prinsip ini sejak
dini dan harus mampu mempraktikkannya dalam kehidupannya sehari-hari
sehingga kualitas imannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di
samping amal perbuatannya yang baik dan ikhlas (Wan Daud, 1998: 256).
Al-Attas menekankan keikhlasan dan kejujuran niat dalam mencari
dan mengajarkan ilmu. Kejujuran adalah sifat dari ucapan atau pernyataan,
seperti kesesuaianya dengan fakta-fakta eksternal dan realitas serta
keseuaiannya dengan niat dalam hati. Hal ini berarti, di samping
kesesuaian tipe pertama ada pula kesesuaian tipe kedua, yaitu kesesuaian
antara statemen yang diucapkan dan niat dalam akal dan hati. Tingkah
laku eksternal (termasuk yang diucapkan secara lisan atau tertulis) dan
fakta-fakta atau realitas yang tampaknya benar dapat menjadi bias jika
hal itu tidak sesuai dengan niat dalam hati dan akal.
Selain itu, kesabaran juga signifikan dalam menuntut jenis ilmu yang
akan membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kesabaran dalam hal
ini merupakan cara untuk menahan diri dalam melakukan apa yang dibenci
| 84
oleh jiwa dan dimanifestasikan ketika jiwa menghadapi sesuatu yang
dibencinya untuk menolak ketidaksabaran, keluh kesah dan menahan untuk
tidak menggerutu serta menutupi apa yang telah terjadi. Kesabaran terbagi
dalam dua tingkat yaitu; pertama, kesabaran dalam menjalankan segala
yang diperintahkan oleh Allah dalam kehidupan sehari-hari; kedua, kesabaran
dalam meninggalkan segala yang dilarang Allah dan dalam menahan nafsu.
Sebagaimana umumnya intelektual Muslim pada masa lalu terdapat sifat
spiritual yang mendasar dalam pendidikan. Bagi seorang pendidik atau
guru, menempatkan keikhlasan sebagai kewajiban kedua setelah
membimbing peserta didik dengan penuh rasa simpati seakan-akan sebagai
anak sendiri. Seperti halnya tokoh-tokoh masa lampau, memberikan nasihat
kepada peserta didik dan pendidik untuk menumbuhkan sifat keikhlasan
niat dalam belajar dan mengajar. Dengan kata lain, peserta didik wajib
mengembangkan adab yang sempurna dalam ilmu pengetahuan karena
pengetahuan tidak dapat diajarkan pada siapa pun tanpa adab. Selain itu, adab
yang sempurna harus selalu diingatkan oleh pendidik. Di samping itu,
al-Attas menekankan bahwa penuntut ilmu harus melakukan internalisasi
adab dan mengapliasikan sikap tersebut pada setiap sendi kehidupan.
B. Pendapat-pendapat Terhadap Konsep Ta’dib Yang Digunakan Oleh Syed M.
Naquib Al-Attas
Konsep ta’dib yang dirumuskan dan digunakan oleh Al-Attas sebagai
makna pendidikan Islam telah memunculkan berbagai macam pendapat yang
| 85
berbeda di kalangan cendekiawan muslim baik yang setuju maupun tidak setuju
dengan pemikirannya. Adapun para cendekiawan Muslim yang sependapat
dengan pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas mengenai konsep ta’dib adalah
mereka yang juga satu pemikiran dengan ide atau gagasan Al-Attas tentang
“Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of sains) karena proses islamisasi
ilmu juga dipahami secara akademis dan para peserta didik diarahkan agar
mengetahui bagaimana membedakan kebenaran (al-haqq) dan kebathilan (al-
bathil), kebetulan (al-shawab) dan kesalahan (al-khatha’), ilmu dan informasi
dan lain-lain. Salah satu dari para cendekiawan muslim yang sependapat dengan
konsep ta’dib Al-Attas adalah Ismail Raji Al-Faruqi, seorang cendekiawan
Muslim kelahiran Pakistan. Segala bentuk proses pengajaran keterampilan tidak
dapat dikatakan sebagai pendidikan jika tidak tanamkan ilmu di dalamnya.
Dengan begitu, ilmu merupakan hal yang paling mendasar dan krusial dalam
sistem pendidikan. Bagi al-Faruq ilmu pengetahuan saat ini harus dilakukan
redefinisi untuk menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan
membangun kembali disiplin ilmu, sains kemanusiaan dan sains ilmiah
dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke dalam
ilmu tersebut” (Abdullah, 2007:45).
Permasalah lama yang tetap aktual dan masih dibicarakan oleh para pakar
pendidikan Islam yakni adanya dikotomi dalam sistem pendidikan. Dualisme
dikotomik ini telah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan modern
yang sesuai dengan zaman, tidak dapat ditolerin karena dualisme dikotomik
yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah
beberapa mata pelajaran agama (Islam) dan sistem pendidikan Islam yang berasal
dari zaman klasik (tradisional) yang telah diperbaharui secara mendasar,
mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting bertolak
belakang. Dengan demikian, diperlukan sistem pendidikan yang baru dalam
rangka menghilangkan dampak negatif dari sistem dualisme dikotomik tersebut.
| 86
Sistem pendidikan selalu berhubungan dengan konsep yang diterapkan dalam
proses pendidikan tersebut.
Oleh karena itu, konsep yang digunakan dalam sistem pendidikan harus
mampu memecahkan semua persoalan-persoalan di atas sehingga hasil yang
didapatkan dari pendidikan akan melahirkan individu-individu yang mampu
mencerminkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya. Di samping itu,
cendekiawan muslim yang juga mendukung terhadap pemikiran al-Attas adalah
Sayyed Hossein Nasr dalam Maksum (2003: 170), pemikiran mengenai konsep
islamisasi ilmu yang diluncurkan oleh Al-Attas. Dalam pengamatan Nasr, sains
Islam lengkap dengan hierarki ilmu pengetahuannya mulai terobrak-abrik ketika
terjadi kemajuan pesat sains Barat abad 19. Akhir-akhir ini dibutuhkan
perumusan kembali sains yang ada sehingga dapat mencegah tertutupnya hal-hal
sakral oleh yang profan dan yang lebih penting yaitu menyegarkan kembali
gagasan tentang tujuan akhir semua ilmu pengetahuan, yakni membawa manusia
lebih dekat ke pusat eksistensinnya dan untuk mengenal Tuhannya.
Gagasan mengenai tujuan akhir ilmu tersebut yang bertujuan untuk
mengenal Tuhan dan dekat dengan-Nya terdapat dalam konsep ta’dib yang
telah dirumuskan oleh al-Attas. Pendidikan yang merupakan institusi strategis
dalam proses transmisi intelektual, spiritual dan kultural umat Islam dari
satu generasi ke generasi selanjutnya telah mengalami konfrontasi langsung
antara sistem Barat dan Islam. Nasr merinci lebih jauh, pada satu pihak
terdapat saluran tradisional dan klasik, sejak dari pengajaran Al-Qur’an oleh
orang tua sendiri di rumah, maktab, madrasah sampai kepada pusat-pusat sufi,
seperti khanqah dan zawiyah , dimana seni dan keterampilan diajarkan. Di
pihak lain, terdapat saluran pendidikan modern, khususnya media elektronik
| 87
seperti radio, televisi atau media cetak seperti: surat kabar, majalah dan tataran
formal, terdapat sistem pendidikan modern.
Pertentangan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat modern
tersebut, secara jelas terletak pada pertama, sistem hubungan orang tua dengan
anak atau guru dengan murid. Dalam sistem pendidikan Islam, pola hubungan
orang tua dengan anak atau guru dengan murid harus benar-benar terjadi
kontak batin yang kuat. Aspek perilaku, tawadhu’ dan sopan santun benar-benar
ditanamkan. Sementara dalam pendidikan modern, hubungan guru dengan
murid hanya sebatas hubungan lahiriah. Kedua, media penyampaian informasi.
Dalam pendidikan Islam tradisional, dikenal media penyampaian lewat kisah-
kisah atau cerita-cerita tradisional yang mengandung kebijaksanaan dengan
contoh-contoh yang baik ( uswatun hasanah ) yang disampaikan oleh para orang
tua atau guru. Suasana demikian tidak dijumpai lagi dalam sistem pendidikan
modern. Dalam dunia modern, anak-anak setiap hari disuguhi oleh informasi-
informasi tentang kriminal melalui televisi sehingga jiwa anak sejak usia dini
sudah tertanam benih-benih kekerasan. Ketiga, kurikulum pendidikan. Dalam
sistem pendidikan Islam tradisional dikenal hierarki sains yang diajarkan dan
sains tertinggi adalah pengetahuan tentang Ketuhanan. Sedangkan pada sistem
pendidikan modern tidak terdapat pembidangan antara sains-sains sakral.
Keempat, tujuan pendidikan. Pendidikan Islam bertujuan untuk mengenal
kebesaran Tuhan dan dekat dengan-Nya. Sementara dalam pendidikan
modern, tidak terdapat orientasi transendental dalam pendidikannya.
| 88
Pendidikan Islam saat ini perlu dirumuskan kembali mengenai konsep
pendidikan yang benar dan tepat untuk dapat diterapkan dalam proses
pendidikan. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk melahirkan lulusan-lulusan
yang mampu menerapkan nilai-nilai ilahi dalam setiap perilaku kehidupannya.
Dengan demikian, konsep ta’dib merupakan suatu konsep pendidikan
yang sesuai dengan harapan, di mana pada konsep ta’dib ini telah mengandung
tentang tujuan pendidikan yang berorientasi pada adab setiap peserta didik
sehingga dapat menjadi individu yang beradab dalam makna komprehensif.
Pendidikan Islam merupakan pengenalan dan pengakuan mengenai tempat-
tempat sesuatu secara benar dan tepat, sifat-sifat dan perilaku yang baik
dan benar sehingga menjadikan individu yang baik dan beradab yang pada
akhirnya mampu memosisikan segala sesuatu secara benar dan tepat.
Hal ini selaras dengan pemikiran Rahman yang menganggap bahwa
“Ilmu pengetahuan tidak dapat disalahkan karena tidak ada yang salah
dalam ilmu pengetahuan. Permasalahannya hanya terdapat dalam
penyalahgunaan ilmu pengetahuan tersebut. Bagi Rahman, ilmu pengetahuan
memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan
dengan hati-hati dan bertanggung jawab sekaligus sangat penting menggunakan
secara benar ketika memperolehnya” (Abdullah, 2007: 47).
Pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai toleransi yang sejak awal
ditanamkan kepada setiap peserta didik. Adab yang menjadi tujuan akhir dari
konsep ta’dib sudah mengadung nilai-nilai religius tersebut. Konsep ta’dib
bertujuan untuk menanamkan kebaikan dan adab dalam diri setiap individu
peserta didik akan menghasilkan manusia yang dapat menggunakan ilmu
pengetahuannya yang telah diperoleh dengan benar, tepat dan bertanggung
| 89
jawab, sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Di sisi
lain, terdapat sebagian cendekiawan Muslim yang kontra atau tidak sepakat
dengan penggunaan istilah ta’dib sebagai makna pendidikan Islam sebagaimana
yang telah dirumuskan dan digunakan oleh Al-Attas.
Salah satu dari cendekiawan tersebut adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid
(dikenal dengan sebutan Cak Nur), mengatakan bahwa konsep ta’dib Al-Attas
tersebut arbitrer dan tidak memiliki dasar, karena hadits digunakan oleh Al-Attas
sebagai dasar dari konsep ta’dib tersebut merupakan hadits dhaif. Ukuran
ta’dib Al-Attas tersebut sangat dipengaruhi oleh pendidikan sastranya, karena
secara substansial terma ta’dib itu melekat sebagai jargon sastra.
Menurut Cak Nur, dalam menguraikan terma ta’dib itu Al-Attas
terlihat tidak dapat menghindarkan diri dari rasionalisasi sastra, di mana
adab dijelaskannya sebagai pengetahuan yang mencegahnya dari nilai-nilai
kesalahan, terkadang dikaitkan sebagai realisasi moral, nilai keindahan dan
sebagainya, bahkan sangat terlihat makna sastranya saat proses pendidikan itu
diartikan dengan “undangan kepada suatu perjamuan”. Dengan demikian,
batasan ta’dib ini perlu dipertanyakan kembali kerelevansiannya ketika
diaplikasikan ke dalam disiplin pendidikan, yang tentu saja pola analisisnya
memiliki perbedaan yang spesifik.
Bagi Cak Nur, analisis filosofis terhadap penggunaan istilah ta’dib
akan menimbulkan kekaburan bagi pendidikan Islam. Asumsi awal yang harus
dimunculkan apakah pendidikan Islam itu bersifat doktrinal (berujung
dogmatis) atau sebatas pengenalan atau transformasi pengetahuan tanpa
| 90
adanya otoritas pemaksaan. Pemahaman terhadap asumsi itu, barulah dapat
diletakkan sebenarnya yang paling tepat untuk pendidikan Islam itu.
Kata ta’dib sebenarnya mengandung makna to creat the personality yang
berarti membentuk kepribadian, seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad
SAW. Al-Attas secara spesifik memberikan tendensi pendidikan itu secara
implisit hanya untuk manusia, sedangkan menurut mayoritas pemahaman para
pakar pendidikan mengemukakan bahwa manusia terbagi dua dalam pandangan.
Pertama, manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak keterbatasan,
pasif dan fatalis, sehingga dapat diterapkan pola doktrinal dalam
menjalankan proses pendidikan tersebut (dogmatis dan otoriter). Kedua,
manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan serta mampu
mengembangkan inovasi dan kreativitasnya, maka penerapan proses
pendidikannya hanya sebatas transformasi atau pengenalan pengetahuan tanpa
penggunaan otoritas atau pemaksaan. Pendidikan dalam studi sastra lebih
dominan menggunakan pendekatan tekstual dan dalam memahami hadits yang
digunakan Al-Attas sebagai dasar dari konsep ta’dib. Sedangkan pendekatan
kontekstual agar mendapat makna yang sebenarnya dari istilah ta’dib tersebut.
Berbagai penelitian yang ada ternyata ta’dib ini hanya untuk Nabi Muhammad
SAW sebagai istilah untuk pematangan.
Al-Attas menghendaki, pendidikan Islam adalah usaha agar orang
mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini. Definisi ini
bersifat abstrak, sulit dipahami dan juga sulit untuk dioperasionalkan (Tafsir,
2004: 29). Dengan demikian, konsep ta’dib ini masih diragukan relevansinya
| 91
dengan disiplin ilmu pendidikan oleh sebagian para pakar pendidikan karena
definisi yang digunakan sangat universal dan abstrak.
C. Implikasi Konsep Ta’dib Terhadap Pendidikan Karakter.
Secara umum dalam khasanah dan diskursus pendidikan dalam Islam
terdapat sejumlah istilah yang merujuk langsung pada pengertian pendidikan
dalam Islam yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Adalah Syed M. Naquib al-Attas
salah seorang sarjana dan intelektual Muslim yang menawarkan istilah atau
konsep ta’dib sebagai istilah yang menandai proses pengajaran dan pendidikan
dalam Islam. Ta’dib istilah yang digunakan oleh al-Attas untuk menunjuk
pengertian pendidikan dalam Islam merupakan bentuk mashdar dari Addaba yang
secara letterlijk artinya memberi adab, mendidik. Al-Attas sendiri memberi
makna ta’dib dengan pendidikan (Al-Attas, 1980:26). Dalam artikelnya yang
berjudul Aims and Objevtives of Islamic Education, ia menuliskan bahwa
pendidikan adalah “instilling and inculcation of adab in man-it is ta’dib” (Al-
Attas, 1979:37).
Dari pemaparan singkat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan ta’dib dalam terminologi al-Attas secara sederhana adalah sebagai suatu
usaha peresapan (instilling) dan penanaman (Inculcation) adab pada diri manusia
dalam pendidikan. Dengan begitu adab dapat diartikan sebagai content atau
kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan Islam. Selanjutnya
Al-Attas mengatakan bahwa adab dapat diartikan sebagai masyhad (lukisan)
keadilan yang dicerminkan oleh kearifan (wisdom), ini adalah pengakuan atas
| 92
berbagai hierarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud (being), eksistensi,
pengetahuan dan perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu (Al-Attas,
1981:221). Adab dapat berarti pula discipline of body, mind and soul. Al-Attas
kemudian merujuk hadits yang berbunyi: “Tuhan telah mendidikku (addabanii,
yang secara literal berarti telah menanamkan adab pada diriku), maka sangat
baiklah mutu pendidikanku (ta’dibi)”. Al-Attas secara berhati-hati
menerjemahkan kata kerja addabanii yang terdapat dalam hadits tersebut dengan
“telah mendidikku” kemudian mengartikan terminologi ta’dib dengan pendidikan.
Dari sini terjemahan hadits tersebut adalah: “Tuhan telah mendidikku dan
menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”.
Al-Attas adalah orang pertama yang memahami dan menerjemahkan
perkataan addabanii dengan mendidikku. Menurut sarjana dan intelektual
Muslim terdahulu, diantaranya adalah Syauqi Daif dalam bukunya al-‘Asr al-
Jahili “kandungan ta’dib (dalam redaksi hadits tersebut) adalah pendidikan
akhlak”. Fakta bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad saw dijadikan Allah
swt sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur’an yang
mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), suri teladan (role
model) yang paling baik. Hal ini kemudian dikonfirmasikan oleh hadits Nabi saw
yang menyatakan bahwa misi profetisnya ke dunia ini adalah untuk memperbaiki
atau menyempurnakan akhlak (al-Imam Ahmad Ibn Hambal, t.th: 504).
| 93
Seseorang yang paling sempurna imannya, menurut Rasulullah adalah
orang yang paling baik akhlaknya (al-Imam Jalal al-Din Ibn Abi Bakr as-Suyuti,
t.th: 88). Dari sini, dapat dipastikan bahwa aktivitas Nabi saw berupa pengajaran
Al-Qur’an (ya’limu al-Kitab) dan al-Hikmah serta penyucian adalah manifestasi
langsung dari peranan ta’dib. Dengan demikian, menurut Al-Attas, sejak awal
kedatangan Islam, adab secara konseptual telah diisi dengan ‘ilm yang benar dan
‘amal yang tulus dan terlibat aktif dalam wacana intelektual Sunnah Nabi saw.
Berdasarkan arti terminologi adab yang telah diislamisasikan itu dan
berangkat dari analisis semantiknya, al-Attas mendefiniskan adab sebagai:
Recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are
ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank,
and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical,
intellectual and spiritual capacities and potentials (Al-Attas, 1980: 27) yang
artinya: pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu
[pengetahuan] dan segala sesuatu yang wujud yang ada terdiri dari hierarkhi
yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatantingkatannya, dan bahwa
seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam hubungannya dengan
realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya.
Agar bisa lebih memahami makna adab, maka perlu dijelaskan pengertian
recognition (pengenalan) dan acknowledgement (pengakuan). Yang dimaksud
“pengenalan” dalam definisi di atas adalah mengetahui kembali (recognize)
perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dengan Tuhannya. Hal
ini menunjukkan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-
masing dalam berbagai hierarkhi wujud (being), tetapi karena disebabkan oleh
kebodohan (ignorance) dan kesombongan (arrogance) manusia kemudian
| 94
mengubah tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidakadilan. Sedangkan
“pengakuan” yang dimaksudkan al-Attas adalah “concomitant action (‘amal)
resulting from discovering the proper place in relation to what is recognized”
(melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenalnya di atas). Ini
semacam afirmasi dan konfirmasi atau realisasi dan aktualisasi didalam diri
seseorang mengenai apa yang telah dikenalnya itu (Al-Attas, 1980: 21-24).
Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai
tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang
mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat-sifat
kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-sifat
kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya
dan, karenanya, ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar. Keadaan
seperti itu adalah keadilan bagi dirinya; dan jika tidak, ia menjadi seusatu yang
tidak adil.
Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-
norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya memenuhi
beberapa syarat yang didasarkan pada posisi seseorang, misalnya dalam keluarga
dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi seseorang “bukanlah sesuatu yang
ditentukan manusia berdasarkan kriteria kekuatan, kekayaan, ataupun keturunan,
melainkan ditentukan oleh Al-Qur’an berdasarkan kriterianya terhadap ilmu
pengetahuan, common sense, dan perbuatan-perbuatan yang mulia”. Jika dengan
tulus menunjukkan sikap rendah hati, kasih sayang, hormat, empati, dan lain-lain,
| 95
kepada orang tua, saudara, anak-anak, tetangga, dan pimpinan masyarakatnya, hal
itu menunjukkan bahwa seseorang mengetahui tempat yang sebenarnya dalam
hubungannya dengan mereka.
Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan
mengakui adanya hierarkhi ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran
dan kemuliaan. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara
yang tepat dan benar dalam belajar dan aplikasi pelbagai bidang sains yang
berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap para sarjana, ulama, dan guru
dengan sendirinya merupakan salah satu implementasi langsung dari adab
terhadap ilmu pengetahuan. Adab dalam ilmu berarti ilmu harus digunakan dan
diaplikasikan untuk kemaslahatan umat manusia dan seluruh alam semesta.
Kaitannya dengan alam, adab berarti pendisiplinan akal praktis dalam
hubungannya dengan hierarkhi yang menjadi karakter alam semesta sehingga
seseorang bisa membuat keputusan yang tepat mengenai nilai-nilai dari segala
sesuatu, baik dalam konteksnya sebagai tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu
pengetahuan, maupun sebagai sesuatu yang berguna bagi pengembangan ruhani
dan jasmani manusia. Tambahan pula, adab terhadap alam dan lingkungan berarti
bahwa seseorang harus meletakkan tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai,
lembah, gunung, danau, binatang, dan habitat-habitat lainnya pada tempat-
tempatnya yang semestinya.
Adab, sebagaimana dijelaskan Al-Attas, menanamkan rasa keberaturan
dan disiplin dalam pikiran yang secara alami akan tercermin dalam fenomena
yang berkaitan dengan pribadi, sosial, dan kebudayaan. Konsepsi pendidikan
| 96
sebagai penanaman adab (ta’dib), sebagaimana dipahami dan dijelaskan Al-Attas,
berupaya menghasilkan Muslim terdidik secara benar, jelas identitasnya, jujur,
berani, adil dalam menjalankan kewajibannya dalam pelbagai realitas dan
masalah kehidupan sesuai prioritas yang dipahaminya.
Satu hubungan yang mendalam antara sosial dan individual, pemikiran
dan aksi, jiwa dan materi, dalam adab sebagai teori dan praktik pendidikan
yang komprehensif dijelaskan oleh Lapidus yang bersesuaian dengan pendapat
Al-Attas. Lapidus meneliti bahwa “tradisi Sunni-sufi” telah menolak pengasingan
diri dari kehidupan dunia. Dia juga mengkritik ide-ide monastic dalam disiplin
keagamaan Kristen dan ide-ide yang tidak realistis dalam membuka potensi
individu melalui pemikiran dan aksi bebas dan kreatif, ide-ide ilmiah dalam
mencari ilmu pengetahuan baru untuk kepentingan ilmu itu sendiri, dan bentuk-
bentuk kontemplatif dari mistikisme yang pasif yang ideal lebih cenderung pada
adab sebuah cara hidup di dunia tanpa terlena oleh dunia atau lari darinya. Ini
adalah perjalanan hidup menuju realisasi-diri dan penyelamatan keagamaan yang
hanya dapat dicapai dengan mengembangkan visi yang jelas, tanggung jawab
moral, hubungan yang terhormat dengan manusia lain, dan ibadah dengan penuh
keikhlasan. Seorang paideia muslim par excellence adalah integrasi segala
tingkatan pengalaman, ilmu pengetahuan, karakter, perasaan, dan tindakan (amal)
pada kehidupan yang harmonis yang mengarah pada kesejahteraan di dunia dan
persiapan untuk kehidupan di masa mendatang (Wan Daud, 2003:459).
| 97
Penjelasan tentang adab dan manusia yang beradab atau baik, kini jelas
bahwa manusia yang beradab atau yang baik adalah “individu yang sadar
sepenuhnya akan individualitas dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan,
masyarakat, dan alam sekitarnya”. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam,
manusia yang baik dan beradab harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya,
ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik
bagi orang tuanya, tetangga yang baik, murid yang baik, guru yang baik, dan
warga yang baik bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Atau meminjam kata-
kata al-Attas:
“He must know his place in the human order, which must be understood as
arranged hierarchically and legitimately into various degrees (darajaat) of
exellence based on the Quranic criteria of intelligence, knowledge, and
virtue (ihsan), and must act concomtantly with the knowledge in a positive,
commendable and praiseworthy manner” (Al-Attas, 1980: 27). Artinya: Ia
harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan
manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara
hierarkhis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang
berdasarkan kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan, dan
kebaikan (ihsan) dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu
secara positif, terpercaya dan terpuji.
Seorang yang terdidik atau seseorang yang beradab, dalam pengertian ini,
adalah manusia universal yang memahami dan mengamalkan adab dalam diri,
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan sekitarnya, dan masyarakat dunia.
Manusia yang beradab dapat menghadapi dunia yang serba plural dan dengan
sukses tanpa harus kehilangan identitasnya. Berhadapan dengan pelbagai
tingkatan realitas, dengan cara yang benar dan tepat, akan mendorongnya meraih
kebahagiaan spiritual dan permanen, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini
| 98
berimplikasi bahwa perencanaan, content, dan metode pendidikan harus
mencerminkan penekanan pada pengamalan adab yang benar dan tepat secara
konsisten dalam pelbagai tingkat realitas.
Mendasarkan dari paparan di atas, dapat diambil benang merah bahwa
secara makro orientasi konsep pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada
pendidikan yang bercorak moral-religius (pendidikan akhlak) yang tetap menjaga
equilibrium dan keterpaduan sistem. Hal tersebut seperti tersirat dalam konsepsi
tentang ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal
sekaligus. Di atas telah dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan
posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapkan dapat
mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan
ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi dengan pertimbangan nilai-nilai
dan ajaran agama.
Paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas mengacu atau
menekankan pada aspek moral-transendental (afektif) tanpa mengabaikan aspek
kognitif (sensual logis) dan psikomotorik (sensual empiris). Hal ini relevan
dengan aspirasi pendidikan Islam, yakni bernafaskan akhlak (moral) dan agama.
Karena dalam taksonomi pendidikan Islam, dikenal adanya aspek transendental,
yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik.
Domain iman sangat diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam
tidak hanya menyangkut hal-hal yang rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal
| 99
yang supra rasional, dimana nalar manusia tidak akan mampu menangkapnya,
kecuali didasari iman, yang bersumber dari sumber otoritatif, yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Domain iman merupakan titik sentral yang akan menentukan sikap
dan nilai peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan
amal yang dilakukan.
Pandangan bahwa ilmu harus dibarengi dengan nilai (adab) memang
cukup mendasar, karena kepemilikan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi semata tanpa dilandasi dengan adab akan mengakibatkan kesalahan
dalam penggunaan dan pengaplikasiannya. Maka pendidikan dalam Islam sudah
seharusnya dihindarkan dari hal demikian dengan keharusan memperhatikan
masalah adab. Banyak pakar Muslim salaf maupun kontemporer yang memiliki
pandangan yang serupa, seperti Muhammad Athiyah al-Abrasyi, ia mengatakan
bahwa “pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam”. Konsep pendidikan
akhlak menekankan arti pentingnya masalah akhlak atau adab dalam pendidikan
Islam. Secara substansial konsep akhlak sebenarnya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam pendidikan umum, tak terkecuali pendidikan Islam.
Inti pendidikan dalam Islam adalah wahana pembentukan manusia yang
berakhlak tinggi. Dalam ajaran Islam, akhlak, adab atau moral tidak dapat
dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah
pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain
| 100
akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak), sedangkan akhlak
adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran
dan karena Allah semata. Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa akhlak tidak
akan terpisahkan dari keimanan, dalam Al-Qur’an juga sering dijelaskan bahwa
setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman”, maka langsung diikuti oleh
“beramal saleh”. Dengan kata lain, amal saleh adalah manifestasi akhlak yang
merupakan perwujudan dari keimanan seseorang yang dituangkan dalam
kehidupan sehari-hari baik terhadap diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial.
Persoalan karakter adalah persoalan yang sangat krusial dan urgent dalam
kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam, masalah akhlak merupakan salah satu
hal yang wajib diajarkan dan ditanamkan kepada setiap anak (peserta didik) sejak
kecil. Sedangkan orang tua dan guru (dan para pendidik lainnya) merupakan
pihak-pihak yang sangat bertanggung jawab dalam menentukan baik-buruknya
akhlak generasi muda. Pendidikan akhlak tidak mengenal tempat dan waktu. Era
millennium (alaf baru) ini memerlukan manusia-manusia yang berakhlak tinggi
demi menjaga keutuhan pamor kemanusiaan di bumi ini. Apabila manusia ini
tidak lagi memiliki akhlak yang tinggi dan mulia maka akan terjadi malapetaka
tidak saja terhadap dirinya, tetapi akan merembet luas ke lingkungan sekitarnya.
Kehancuran sebuah negara sangat ditentukan oleh akhlak atau moral para
pemimpin dan rakyat negara tersebut. Ketika nilai-nilai akhlak atau moral tidak
lagi dijunjung tinggi oleh manusia, maka ketika itulah keruntuhan akan terjadi.
| 101
Oleh karena itu, peran orang tua di dalam rumah tangga dan para guru di sekolah
merupakan conditio sine qua non dalam rangka memperdulikan akhlak/karakter
anak-anak yang akan mewarisi generasi tua di masa yang akan datang.
Proses mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju ke
arah tujuannya, karena kegiatan (proses) tanpa tujuan yang jelas akan
menimbulkan suatu indenterminisme (ketidakmenentuan) dalam prosesnya.
Lebih-lebih proses mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis manusia
didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan
faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu, oleh karena itu dengan
adanya tujuan yang jelas, materi pendidikan dan metode-metode yang
dipergunakan, mendapat corak dan isi serta potensialitas yang sejalan dengan
cita-cita yang terkandung dalam tujuan pendidikan.
Al-Attas, salah seorang sarjana Muslim yang mendefinisikan arti
pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan dalam Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik (good
man), bukan seperti dalam peradaban Barat menghasilkan warga negara yang
baik (good citizen). Al-Attas berpendapat bahwa warga negara yang baik dalam
sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya,
manusia yang baik sudah pasti seorang warga negara yang baik. Batasan “baik”
dalam frasa manusia yang baik (good man) maksudnya adalah adab dalam
pengertian yang komprehensif, yang meliputi kehidupan spiritual dan material
| 102
seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.
Menurut al-Attas orang baik adalah: Orang yang menyadari sepenuhnya tanggung
jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan
keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakat terus berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia
yang beradab.
Berdasarkan pemaparan adab dan manusia yang baik, peneliti bisa
memberi kesimpulan bahwa pengertian manusia yang beradab dan yang baik,
yakni individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya
yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam sekitarnya. Sejalan dengan
di atas, dalam pandangan Islam, manusia yag beradab dan yang baik harus
menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya,
suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang
baik, murid yang baik, guru yang baik, dan warga yang baik bagi bangsa dan
negaranya.
| 103
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Signifikansi Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Pendidikan menjadi kian penting karena berurusan langsung dengan
manusia. Manusialah yang berkepentingan mulai dari input, proses sampai output
pendidikannya. Manusia menjadi nilai, nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku
universal tanpa terikat perbedaan bangsa, bahasa, agama untuk mencipta
pendidikan berlandaskan manusia. Pendidikan yang memanusiakan berupaya
mencipta pemahaman baru yang lebih manusiawi. Sebuah pemahaman akan
pendidikan yang mampu menghadirkan manusia-manusia yang baik. Berbagai
teori pendidikan muncul antara pandangan idealism dan realism, antara keturunan
hereditas dan lingkungan, antara tabularasa dan pengalaman. Tak pelak lagi
pemahaman makna pendidikan dapat merujuk ranah agama. Terlebih Islam
sebagai worldview, keuniversalitas ajaran solusi bagi manusia guna mewujudkan
kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Banyak para cendekiawan muslim
merumuskan konsep pendidikan Islam.
Menurut al-Attas penggunaan ta’dib untuk pendidikan ini timbul karena
dengan berbekal pemahaman yang utuh, komprehensif tentang pendidikan.
Terlebih pemahaman pendidikan yang selaras dengan Islam, segala hal yang
terkait tentang pendidikan, baik tujuan, strategi, metode dan unsur-unsur
pendidikan lainnya mencerminkan pandangan pendidikan yang lebih pas dan
85
| 104
sesuai seharusnya pendidikan. Dengan penggunaan istilah ta’dib, Al-Attas
berupaya merekonstruksi pemahaman pendidikan yang selama ini terabaikan.
Al-attas menekankan maksud dan tujuan pendidikan bahwa negara atau
pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang
baik; sebaliknya manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga
Negara yang baik. Tujuan pendidikan Islam tiada lain menciptakan manusia yang
baik. Penekanan pendidikan adalah nilai-nilai manusia sebagai manusia sejati,
sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, dan
sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Pendidikan bukan semata berdasarkan
kegunaannya bagi masyarakat, negara dan dunia. Nilai manusia yang bukan
sebatas entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian
berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia. Al-Attas
mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. Dalam artian baik
yang menyeluruh, meliputi: kehidupan spiritual dan material seseorang, yang
berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Al-attas menyebut
orang yang benar-benar terpelajar menurut persfektif Islam didefinisikan sebagai
orang yang beradab. Pendidikan menciptakan manusia yang beradab ada dalam
pengertian yang komprehensif yang menekankan pada adab. Adab adalah
cakupan suatu pengenalan dan pengakuan mengenai tempat secara benar dan
tepat, dalam pencapaian kualitas, sifat-sifat, dan perilaku yang baik untuk
mendisiplinkan pikiran dan jiwa.
| 105
Adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar
agar mampu menjaga manusia dari kesalahan. Ilmunya adalah yang dapat
mendorong lahirnya perilaku mulia ini adalh kebijaksanaan (hikmah) yang
menghasilkan keadilan pada diri individu dan masyarakat serta Negara. Al-Attas
menggunakan konsep ta’dib sebagai konsep yang tepat untuk pendidikan Islam,
ia lebih lanjut mengatakan, “struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur
ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga
tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana
yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi tarbiyah-ta’lim-ta’dib”. Terminology
ta’dib sendiri sebagai istilah pendidikan telah dipakai oleh para tokoh sufi. Para
tokoh sufi yang menonjol dalam pengembangan pribadi Islam melalui
pengembangan indera, akal dan moral. Menggunakan ta’dib dengan menekankan
sebagai bagian daripada proses pendidikan, adab seorang pelajar muslim dan
kelompok professional, seperti: hakim, jaksa, politisi, perwira militer, musikus,
guru, dan pelajar menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Al-Attas mengatakan, setidaknya ada tujuh konsep dalam pendidikan,
yaitu: pertama, konsep din (agama); kedua, konsep insan (manusia); ketiga,
konsep ilmu dan makrifat; keempat, konsep hikmah (kebijakan); kelima, konsep
keadilan; keenam, konsep amal dan adab; ketujuh, konsep kuliyyah jami’ah
(perguruan tinggi). Dalam Metodologi pendidikan menurut Al-Attas memiliki
satu tujuan, yakni: islamisasi dari tubuh, pikiran dan jiwa yang berpengaruh pada
| 106
kehidupan pribadi dan kolektif muslim serta yang lain, termasuk spiritual dan
lingkungan non-fisik manusia.
Konsep ta’dib yang di usung oleh Al-Attas dapat mudah kita pahami jika
kita merujuk pada gagasannya secara keseluruhan. Al-Attas satu di antara para
cendekiawan muslim terkemuka dalam upayanya, islamisasi ilmu pengetahuan.
Baginya islamisasi berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas
dari nilai atau netral, sehingga pemahaman ta’dib mengajak kita memahami
islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Attas mengenalkan ta’dib ini sebagai konsep
yang asli, integral, komprehensif dan merupakan framework yang kokoh bagi
teori dan praktek pendidikan Islam kita.
Adab dalam konteks ilmu berarti disiplin intelektual yang mengenal
dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkatannya
(Al-Attas, 1999: 22), dan keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya
mengenal dan mengakui bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan
wahyu Tuhan jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya
berdasarkan akal (Al-Attas, 1999: 16). Adab terhadap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan
berbagai bidang sains yang berbeda. Seperti rasa hormat terhadap para sarjana
dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari
adab terhadap ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penekanan ta’dib di sini
adalah mencakup ilmu dan amal dalam pendidikan dan adanya amal (praktik)
| 107
ialah untuk menjamin ilmu agar dapat dipergunakan secara baik dalam kehidupan
masyarakat. Karena alasan inilah, maka Al-Attas mengkombinasikan secara
harmonis antara ilmu, amal (praktik) dan adab yang kemudian menamakannya
dengan pendidikan.
Setelah ilmu dipelajari dengan baik dan benar yang dilandasi dengan iman
serta dipraktikan langsung dalam bentuk amal itu semua adalah bentuk
manifestasi dari konsep ta’dib. Setelah memperoleh ilmu dengan proses ta’dib
akan melahirkan peradan Islam sebagaimana yang dikatakan oleh F. Rosenthal;
‘ilm is one those that have dominated Islam and given Muslim civilization ist
distinctive shape and complexion. In fact there is one other concept that has been
operative as of Muslim civilization in all its aspect to the same extent as ‘ilm
artinya ilmu adalah salah satu konsep yang mendominasi Islam dan yang
memberi bentuk dan krakter yang khas terhadap peradaban Muslim. Sebenarnya
tidak ada konsep lain yang setanding dengan konsep ilmu yang secara efektif
menjadi faktor penentu dalam peradaban muslim dalam berbagai aspek (Rosental,
1970: 2).
Dalam konteks tarbiyah yang diartikan sebagai pendidikan belum cukup
untuk menghantar peserta didik untuk menjadi orang beradab. Sebab bentuk
penekatanan dalam tarbiyah hanya sekedar pemeliharan dan pengasuhan jasmani
semata. Aspek ta’dib dalam tarbiyah hanya sedekar pengenalan ilmu dasar yang
tidak sampai pematangan mental sebagaimana yang telah disinggung dalam
| 108
definisi diatas. Konsep ta’dib, titik tekan pada penguasaan ilmu yang benar dalam
diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik
yang berlandaskan keimanan. Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil
suatu analisa. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara
satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat
keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan
mendidik anak.
Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa
kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran
pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas,
sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak
dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di
implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Pada dasarnya ta’dib merupakan
konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan,
menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius. Secara ilmiah
Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah
konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif
bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam
menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog
dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis
maupun aksiologis.
| 109
Konsep ta’dib ini, ketiga realita, (1) manusia, (2) alam dan (3) Tuhan
diakui keberadaannya, dengan Tuhan sebagai sumber dari segalanya (alam dan
manusia). Tuhan dipahami sebagaimana diinformasikan al-Qur'an, sebagai Rabb
al-Alamin (Q.S al-Fatihah: 2) dan Rabb al-Nash (Q.S. al-Nash: 1). Peserta didik
harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai Tuhannya,
penciptanya, pemilik, pengatur, pengawas, pendidik, pemberi dan lain
sebagainya. Pada saatnya nanti lahirlah manusia-manusia 'abid yang penuh
kesadaran, memiliki kemampuan intelektual maupun spiritualnya. Selanjutnya
akan lahirlah berbagai pandangan hidup tauhid, baik rububiyah, uluhiyah,
maupun ubudiyah, yang meyakini kesatuan ciptaan/unity of creation, kesatuan
kemanusiaan/unity of purpose of life), yang semua ini merupakan derivasi dari
kesatuan ketuhanan/unity of Godhead (Rais, 1987: 13-14). Dengan demikian,
dalam definisi Al-Attas tentang pendidikan ini yang menjadi titik tekan adalah
nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai manusia yang bersifat spiritual, dan
bukan hanya nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks
pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat dan
dunia.
Berdasarkan paparan bab sebelumnya penulis berpendapat bahwa konsep
ta'dib Syed. M. Naquib Al-Attas merupakan suatu gagasan pendidikan dalam
Islam yang membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang seutuhnya, yang
menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang haqq,
| 110
yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sebagai hamba
yang sekaligus sebagai khalifah di muka bumi. Dalam konsep ta'dib juga
dijelaskan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan
kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya
dengan baik di masyarakat berdasarkan nilai-nilai moral dan ajaran Islam.
Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai moral dan
ajaran agama.
B. Relevansi Pemikiran Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh Syed M. Naquib
Al-Attas dalam Konteks Pendidikan Karakter
Karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Akhlak dalam
pandangan Islam adalah kepribadian. Kepribadian itu komponennya tiga yaitu
tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku. Yang dimaksud kepribadian utuh ialah
bila pengetahuan sama dengan sikap, sama dengan perilaku. Kepribadian pecah
ialah bila pengetahuan sama dengan sikap tetapi tidak sama dengan perilaku atau
pengetahuan tidak sama dengan sikap, tidak sama dengan perilaku. Dia tahu jujur
itu baik, dia siap menjadi orang jujur, tetapi perilaku sering tidak jujur, ini contoh
kepribadian pecah. Akhlak itu sangat penting menjadi penanda manusia, bila
akhlak baik maka adalah manusia.
Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju
pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
| 111
ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A., karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri/karakteristik/gaya/sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang di terima dari
lingkungan, misalnya: keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir.
Memang, karakter dan kepribadian sering digunakan secara rancu. Ada yang
menyamakan antara keduanya. Menurut M. Newcomb, kepribadian merupakan
organisasi dari sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar
belakang terhadap perikelakuan. Kepribadian menunjuk pada organisasi dari
sikap-sikap seseorang untuk berbuat, mengetahui, berpikir dan merasakan secara
khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu
keadaan. Karena kepribadian tersebut merupakan abstraksi dari indiidu dan
kelakuannya sebagaimana halnya dengan masyarakat dan kebudayaan, ketiga
aspek tersebut mempunyai hubungan yang saling memengaruhi. Sementara itu,
menurut Roucek and Warren, kepribadian adalah organisasi dari faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku individu-individu.
Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas
dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan
orang lain (Mu’in, 2011: 161).
Pendidikan karakter mengemuka menjadi isu utama di dunia pendidikan
saat ini, terlebih di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Merujuk UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa fungsi
| 112
pendidikan adalah membentuk watak serta peradaban bangsa, agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia. Hal ini bisa jadi sebagai reaksi dan kekhawatiran bersama atas kondisi
pendidikan di Indonesia yang justru banyak melahirkan manusia cerdas namun
bermoral rendah.
Puncak karakter seorang muslim adalah taqwa dan indikator ketaqwaan
terletak pada akhlak. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang maju. Tujuan
pendidikan yaitu manusia berkarakter taqwa yaitu manusia yang memiliki akhlak
budi pekerti yang luhur. Karakter dibangun berdasarkan pemahaman tentang
hakikat dan struktur kepribadian manusia secara integral. Sehingga manusia
berkarakter taqwa adalah gambaran manusia ideal yaitu manusia yang memiliki
kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Kecerdasan spiritual seharusnya paling
ditekankan dalam pendidikan. Hal ini dilakukan dengan penanaman nilai-nilai
etis religius melalui keteladanan dari keluarga, sekolah dan masyarakat,
penguatan pengamalan peribadatan, pembacaan dan penghayatan kitab suci
Al-Qur’an, penciptaan lingkungan baik fisik maupun sosial yang kondusif.
Apabila spiritualitas anak sudah tertata, maka akan lebih mudah untuk
menata aspek-aspek kepribadian lainnya. Maksudnya, kalau kecerdasan spiritual
anak berhasil ditingkatkan, secara otomatis akan meningkatkan kecerdasan-
kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosional (emotional quotient),
kecerdasan memecahkan masalah (adversity quotient) dan kecerdasan intelektual
| 113
(intellectual quotient). Inilah sebenarnya kunci mengapa aktifitas pendidikan
yang berbasis agama lebih banyak berhasil dalam membentuk kepribadian anak.
Konteks tujuan pendidikan, hal ini akan mampu membentuk anak didik
yang memiliki kekokohan akidah (quwwatul aqidah), kedalaman ilmu (quwwatul
ilmi), ketulusan dalam pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi
(akhlakul karimah). Pendidikan Islam bertujuan untuk memberikan keperibadian
sebagai khalifah Allah SWT. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada
Allah dan tunduk serta patuh secara total kepadanya yang didasarkan pada sifat
dasar manusia, yaitu tubuh, ruh, dan akal yang masing-masing harus dijaga.
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia:
fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu
(jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi
konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat
tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain:
tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut
kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan
intelektual (intellectual quotient); tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih
sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait
dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah
terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
adversity quotient).
| 114
Metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang
hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada
anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa
kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan
untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan
memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya. Pendidikan yang menghargai
keunikan individu, serta menekankan kesadaran karakter dirinya sebagai manusia.
Hal ini sesuai yang ditegaskan Al-Attas dalam Filsafat pendidikannya sangat jelas
menekankan kepada pengembangan individu. Individu yang kebersamaan dengan
itu sebagai bagian dari sosial dalam upaya pengembangan dirinya. Lebih lanjut
Al-Attas mengatakan, “ketika kami menyatakan bahwa tujuan dari pada ilmu
pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, bukanlah berarti bahwa kami
tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang baik, sebab masyarakat
adalah terdiri daripada individu, maka melahirkan seseorang akan melahirkan
masyarakat yang baik. pendidikan adalah pembuat struktur masyarakat”.
Al-Attas menekankan pendidikan dalam rangka manusia beradab adalah
individu yang sadar sepenuhnya akan individualitas dan sadar akan hubungan
yang tepat dengan diri, Tuhan dengan masyarakat dan dengan alam yang nampak
maupun yang ghaib. Al-Attas selanjutnya memberikan ilustrasi betapa Adab hadir
dalam berbagai tingkat pengalaman manusia. pertama, Adab terhadap diri sendiri.
Bermula ketika seseorang itu mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur,
| 115
yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangannya, maka ia sudah meletakkan keduanya
pada tempat yang semestinya dan oleh sebab itu dia telah meletakkan dirinya
pada tempat yang benar. kedua, adab dalam kontek ilmu, berarti ketertiban budi
yang mengenal dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-
tingkat keluhurusan dan kemulian. Kita mengenal fardhu ‘ayn (kewajiban bagi
dirinya) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) yang berarti bahwa
segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia dari segala
sesuatu yang yang dipakai dalam kehidupan. Sebagai konsekuensinya adab
terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar
dalam belajar dan penerapan berbagai bidang sains bagi kehidupan. Dengan
kerangka ini maka rasa hormat terhadap guru sebagai salah satu wujud langsung
dari adab terhadap ilmu pengetahuan. ketiga, adab berkaitan dengan alam, berarti
pendisiplinan akal dalam berhubungan dengan susunan tingkatan yang menjadi
karakter alam semesta sehingga seseorang itu bisa membuat keputusan yang tepat
tentang nilai-nilai yang sejati dari segala sesuatu baik dalam kontesnya sebagai
tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang berguna
untuk perkembangan rohani dan jasmani manusia.
Konsep ta’dîb digunakan untuk membangkitkan raksasa tidur, kalbu (EQ)
dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan
pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah
terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan
| 116
out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid.
Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa
terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini
Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi
pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi
pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau
jabatannya”.
Konsep ta’dib dalam kontek pendidikan yang baik tidak bisa dilepaskan
kemanfaatannya dan sangat berhubungan dengan kata-kata kunci dalam
pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl),
realitas dan kebenaran (haqq). Ta’dib sebagai konsep Pendidikan Islam,
pendidikan karakter manusia-manusianya, agar lebih beradab dan manusiawi.
Gagasan-gagasan Al-Attas tentang ta’dib tiada lain konseptualisasi pendidikan
Islam. Mempraktikkan gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan dalam pendidikan.
Manusia-manusia baik yang layak menghuni bumi. Sebuah upaya mengungkap
makna ta’dib bagi pendidikan agar menjadi arah dan bahan dalam rangka
membangun pendidikan karakter manusia Indonesia.
Sebagai dasar acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter
dalam Islam, firman Allah SWT QS. Ar-Rum ayat 30:
| 117
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantara pengaruh lingkungan]. (Departemen Agama RI,
1985:645).
Dari ayat di atas dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia
dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran
yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif. Adapun
keempat aliran tersebut dapat dipaparkan, sebagai berikut:
1. Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu
karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Faktor-faktor eksternal,
termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena
setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya.
Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum
dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2. Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan
sempurna, suatu keadaan kosong. Sama dengan teori tabularasa yang
dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada
sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik
| 118
itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan
buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter
yang terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika
pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu
pula sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka
karakter yang terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil
argumen dari QS. Al-Nahl (16):78:
Artinya: “…dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Departemen Agama
RI, 1985:413).
3. Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah
berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkungan yang membelenggu
manusia sehingga menjauh dari sifat bawaan.
4. Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuat.
Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan
yang baik atau buruk. Jika dekat dengan teman yang berkarakter baik, maka
seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya dan sebaliknya. Penanaman
kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter
atau sifat baik lebih kuat. (http://maragustamsiregar.wordpress.com/ di akses
8 Juni 2017).
| 119
Dasar pembentukan karakter adalah nilai baik (disimbolkan sebagai nilai
malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai nilai setan). Karakter manusia
merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan
nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif
itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut/setan
(http://tobroni.staff.umm.ac.id/pendidikan_karakter_dalam_perspektif_Islam diakses 26
Juni 2017).
Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual yang berupa îmân,
islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan
kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat),
qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari
dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu
merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar
biasa. Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis.
Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal
saleh.
| 120
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang
yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-
mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam
hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena
memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan)
dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif
itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif atau nilai-nilai material) yang berfungsi sebagai pembusukan, dan
penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi
negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa
kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan)
yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari
makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk
yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu
pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa),
qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa
yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada
ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thâghût). Ketiga, sikap
dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi
dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian
| 121
melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya
busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-
dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang
yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk,
nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang
bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela,
yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan
pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang
dimiliki.
Gagasan ta’dib adalah ingin mencetak ilmuan yang beradab. Manusia
beradab sebagaimana diterangkan di atas adalah manusia yang menerapkan adab
dalam setiap aspek. Adab terhadap Tuhan, diri sendiri, lingkungan sosial,
hubungan antar sesama manusia, bahasa, alam, dan ilmu. Adab kepada ilmu, akan
berpengaruh besar terhadapa adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-
Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa
seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain
dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya.
Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memperoleh ilmu.
Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan
oleh Al-Attas. Menurutnya, adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak
| 122
keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat
martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat
semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal, maka, pengenalan
tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan
seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu mensifatkan
keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketidaksadaran dan
kejahilan. Konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang
wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu
pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah.
Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan,
bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Al-Attas dalam bukunya, Islam and
Secularism, menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose
for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man
and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a
goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education
is the inculcation of adab…” (Al-Attas, 1993: 150-151).
Istilah adab sejatinya merupakan salah satu istilah kunci (Islamic basic
vocabulary) dalam ajaran Islam, yang berhasil dimasukkan oleh para pendiri
Bangsa Indonesia ke dalam Pancasila. Karena berasal dari kosa kata Islam, maka
seyogyanya istilah adab yang sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif
pandangan alam (worldview) Islam. Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun,
| 123
baik budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam ajaran
Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui segala sesuatu sesuai
dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT.
1. Konsep ta’dib relevansinya dengan pendidik dan peserta didik
Konsep ta’dib yang diformulasikan al-Attas mempunyai relevansi
dengan pendidikan akhlak, maka dengan sendirinya konsep ta’dib mempunyai
relevansi dengan pendidik dan peserta didik. Dalam konteks pendidikan
akhlak, ta’dib bisa diartikan sebagai kompetensi moral (akhlak) yang harus
dimiliki oleh pendidik maupun peserta didik, disamping komptenesi-
kompetensi yang lainnya. Sebagai contoh pendidik harus suci baik jasmani
maupun rohaninya, ikhlas, pemaaf, sabar, bijaksana, adil, mencintai dan
menyayangi peserta didik seperti anaknya sendiri, memberikan teladan yang
baik, dan sebagainya. Begitu pula dengan peserta didik, ia harus mempunyai
kriteria akhlak (moral) sebagai berikut: memurnikan niat, ikhlas, tekun dan
giat dalam belajar, disiplin, sabar, rendah hati, lapang dada, hormat terhadap
guru, dan sebagainya.
Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai subjek dan objek
pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan dan mengaktualisasi
potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasinya dalam
pengembangan dan aktualisasi tersebut. Sedangkan peserta didik disebut
objek karena ia menjadi sasaran transformasi ilmu pengetahuan dan nilai
Islam, agar ilmu dan nilai itu tetap terjaga dari generasi ke generasi
| 124
berikutnya. Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan dan pengembangan potensi, maksudnya, tugas pokok pendidikan
adalah memberikan pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan dan pengembangan potensi peserta didik agar terbentuk dan
berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa mengabaikan potensi
dasarnya. Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan
akhirat, artinya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah tercipta insan kamil
(manusia sempurna), yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan
memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat, kebutuhan fisik, psikis, sosial dan
spiritual.
2. Konsep ta’dib relevansinya dengan pendidikan karakter
Konsep ta’dib berimplikasi pada kepribadian dan adab seorang
pendidik yang mengharuskan pendidik memiliki adab yang baik sehingga
menjadi panutan bagi peserta didiknya. Selain itu, dalam konsep ini juga
terdapat kecenderungan untuk selalu memperhatikan kepribadian atau adab
peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan sehingga ia dapat
mengamalkan pengetahuannya dengan benar dan tepat. Peserta didik harus
memiliki keikhlasan niat dalam menuntut ilmu yang bertujuan untuk mencari
ridha Allah dan membersihkan hati. Pada konsep ini, dalam muatan
kurikulum terdapat kategorisasi ilmu pengetahuan atau hierarki ilmu
pengetahuan.
| 125
C. Implikasi Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh Syed M. Naquib Al-Attas
dalam Konteks Pendidikan Karakter
Mendasarkan pada paparan yang telah terurai secara lebih mendalam
tentang konsep ta’dib yang diformulasikan oleh al-Attas tampak sangat erat
kaitannya dengan tujuan pendidikan akhlak yakni tercapainya akhlak al-Karimah.
Akhlak al-Karimah merupakan essensi, elan vitale dan ruh ajaran Islam itu
sendiri. Tujuan ini konsiderans dengan misi profetisnya Rasulullah saw yakni
disamping menyebarkan ajaran Islam juga memperbaiki dan menyempurnakan
akhlak manusia. Al-Attas mendefinisikan ta’dib sebagai “pengenalan dan
pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatu
yang wujud yang ada terdiri dari hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori
dan tingkatan-tingkatan dan bahwa seseorang itu memiliki tempat masing-masing
dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan
spiritualnya”. Dapat diambil kesimpulan bahwa formulasi Al-Attas tentang
konsep ta’dib mempunyai relevansi dengan materi pendidikan akhlak, dimana
materi pendidikan akhlak terdiri dari hubungan antara manusia dengan dirinya,
manusia dengan sesamanya, manusia dengan sang Khaliqnya, dan manusia
dengan lingkungan (alam) sekitarnya. Sebagai contoh, ta’dib dalam konteks
hubungan sesama manusia berarti norma-norma etika (akhlak/ adab) yang
diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya memenuhi beberapa syarat
yang didasarkan pada posisi seseorang, misalnya dalam keluarga dan masyarakat.
| 126
Jika dengan tulus menunjukkan sikap rendah hati,, kasih sayang, hormat, empati,
dan lain-lain, kepada orang tua, saudara, anak-anak, tetangga, dan pimpinan
masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa seseorang mengetahui tempat yang
sebanarnya dalam hubungannya mereka.
Pembentukan kepribadian dilakukan agar karakteristik psikologis
seseorang yang berkaitan dengan kecendrungan untuk berhubungan sosial dengan
orang lain, khususnya yang berkaitan dengan; keramahan, pengendalian diri,
keaktifan, kegembiraan, dan kegairahan. Pendidikan merupakan faktor yang
starategis untuk menanamkan nilai-nilai, norma-norma, tanggung jawab,
kemandirian serta pembentukan karakter atau kepribadian anak. Masing-masing
pola tersebut memiliki cirik has tersendiri, ada orang tua yang mengasuh anaknya
dengan gaya pengasuhan demokratis yakni memberikan kebebasan untuk
memilih dan melakukan suatu tindakan, bersifat hangat.
Orang tua menunjukkan kasih sayang yang mendalam, terbuka, saling
menghormati, kerja sama, saling mempercayai, bertanggung jawab bersama.
Orang tua yang memiliki sikap responsif pada kebutuhan anak dan
mendorongnya untuk mengungkapkan keinginan dan pendapat. Pendidikan
berkaitan dengan karakteristik setiap individu dan inilah yang sekaligus
membedakan dalam berbagai bidang seperti bidang akademik, sosial, kepribadian
atau keterampilan lain, yang menjadikan anak memiliki sesuatu yang bernilai
tinggi dan akan mengembangkan kepribadian. Anak yang diasuh secara akan
| 127
mengembangkan kepribadian rasa percaya diri, dapat bekerja sama,
bersosialisasi, empati, menghargai orang lain, terbuka, dan bertanggung jawab.
Sebaliknya anak yang diasuh dengan pola asuh permissive akan mengembangkan
kepribadian lebih egois, cuek, sering ingin mau menang sendiri dan berharap
semua keinginannya akan terpenuhi. Kurang mampu bersosialisasi,
menyesuaikan diri, selalu merasa gelisah atau berperasaan tidak menentu,
menggunakan banyak mekanisme pembelaan diri.
Karakteristik yang dimiliki jika dididik dan diasuh secara demokrasi maka
akan lebih efektif, baik secara sosial maupun dalam perolehan keterampilan sosial
seperti kerjasama, prososial, berempati, kontrol diri, rasa mencintai, menyayangi,
menghormati, menghargai, membedakan hak, kewajiban, benar dan salah, yang
pada gilirannya akan menjadi anak menjadi manusia yang meiliki prilaku, moral
dan kepribadian yang kharimah.
Berdasarkan paparan tentang implikasi ta’dib dalam kontek pendidikan
karakter, penulis menyimpulkan bahwa konsep ta’dib diperlukan dalam
pembentukan perilaku merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak. Melalui kegiatan diharapkan anak
dapat melakukan kebiasaankebiasaan yang baik. Pembentukan perilaku melalui
pembiasaan yang dimaksud meliputi pembentukan moral Agama,
perasaan/emosi, kemampuan bermasyarakat dan disiplin. Tujuan dari
pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam
| 128
mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai-nilai moral agama
dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kompetensi yang ingin
dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah
kemampuan melakukan ajaran agama, ibadah, mengenal dan percaya akan
ciptaan Tuhan dan mencintai sesama.
Potensi yang muncul seyogianya kita kembangkan dengan jelas dan
terprogram dengan baik. Tidak hanya perkembangan bahasa, daya pikir,
keterampilan dan jasmani saja, namun aspek moral dan keagamaan pun
seharusnya menjadi salah satu pokok pengembangan dan pembinaan yang harus
dikelola, diprogram dan diarahkan dengan sempurna. Perlu dipahami bahwa
semuanya harus berorientasi pada fungsi pendidikan yaitu sebagai fungsi
adaptasi, fungsi pengembangan dan fungsi bermain dan didasari pada 6 prinsip,
yaitu prinsip pengamatan, peragaan, bermain sambil belajar, otoaktivitas,
kebebasan dan prinsip keterkaitan dan keterpaduan. Pengembangkan nilai-nilai
moral keagamaan anak diupayakan mampu mewarnai pertumbuhan dan
perkembangan diri mereka, sehingga muncul dampak positif perkembangan fisik,
akal pikiran, akhlak, perasaan kejiwaan, estetika, dan kemampuan sosialisasinya
yang diwarnai nilai-nilai keagamaan.
Selain itu saya sebagai peneliti setuju dengan konsep ta’dib dari Al-Attas
karena pendidikan karakter penekanannya sangat luas jadi ketiga struktur konsep
yang terkandung dalam ta’dib merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan
| 129
di era sekarang ini. Adapun pengembangan dan pendidikan moral dalam
membentuk kepribadian anak bertujuan untuk latihan hidup tertib dan teratur;
aturan dalam melatih sosialisasi; menanamkan sikap tenggang rasa dan toleransi;
merangsang sikap berani, bangga dan bersyukur, bertanggung jawab; latihan
pengendalian emosi dan melatih anak untuk dapat menjaga diri sendiri;
menanamkan rasa empati, simpati, gotong royong, menghargai dan menerima.
| 130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis dapat merumuskan
beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Adapun hasil
kesimpulan tersebut, sebagai berikut:
1. Konsep ta’dib menurut Syed M. Naquib Al-Attas yaitu mencakup ilmu dan
amal dalam pendidikan serta adanya amal (praktik) untuk menjamin ilmu agar
dapat dipergunakan secara baik dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
konsep ta’dib titik tekan pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri
seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik
yang berlandaskan keimanan. Jadi istilah ta’dib ini tidak hanya terbatas pada
aspek kognitif, tetapi juga meliputi pendidikan spiritual, moral dan sosial.
2. Implikasi konsep ta’dib terhadap pendidikan karakter yang digunakan oleh
Syed M. Naquib Al-Attas, yaitu pertama, sebagai kompetensi moral (akhlak)
yang harus dimiliki oleh pendidik maupun peserta didik (sebagai contoh:
pendidik harus suci baik jasmani maupun rohaninya, ikhlas, pemaaf, sabar,
bijaksana, adil, mencintai dan menyayangi peserta didik); kedua,
pembentukan kepribadian agar karakteristik psikologis seseorang yang
berkaitan dengan kecendrungan untuk berhubungan sosial dengan orang lain,
khususnya yang berkaitan dengan; keramahan, pengendalian diri, keaktifan,
kegembiraan, dan kegairahan; ketiga, pembentukan perilaku (pembentukan
112
| 131
moral agama, perasaan/emosi, kemampuan bermasyarakat dan disiplin)
diharapkan dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik bertujuan untuk
mempersiapkan sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan perilaku
yang didasari oleh nilai-nilai moral agama dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat sesuai dengan ajaran agama dan percaya akan ciptaan
Tuhan serta mencintai sesama.
B. Saran
Dari pembahasan yang telah dikaji, maka penulis dapat memberikan
saran-saran kepada para pembaca baik sebagai pemimpin atau praktisi
pendidikan. Adapun saran-saran, sebagai berikut:
1. Ketika menjalankan aktivitas pendidikan selayaknya terlebih dahulu
merumuskan konsep pendidikan secara jelas, tepat dan benar. Karena konsep
tersebut merupakan unsur penting dan utama akan berimplikasi terhadap
segala sesuatu yang terkait dengan pendidikan terutama dari segi pendidik,
peserta didik maupun kurikulum. Penerapan konsep yang tepat dan benar
akan memberikan implikasi yang positif terhadap segala praktik pendidikan.
Begitu juga sebaliknya, penggunaan konsep yang tidak tepat akan
mengakibatkan kekaburan isi, kandungan dan tujuan pendidikan yang
pada akhirnya mempengaruhi terhadap pendidik dan peserta didik sebagai
salah satu komponen penting dalam pendidikan.
2. Pendidikan karakter dan pendidikan agama Islam sangat berperan untuk
mewujudkan manusia yang seutuhnya maka dari itu guru PAI “dituntut tidak saja
| 132
perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga
memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang
bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang
melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, ilmu-ilmu
Islam, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga
ekologi”. Dalam kaitannya dengan ini, maka guru PAI harus terus menyegarkan,
memperluas dan memperdalam pengetahuan yang dimiliki.
| 133
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2007. Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi Interkoneksi-
Sebuah Antologi (Yogyakarta: Suka Press).
Al-Abrasy, M. Athiyah. 1987. Dasar Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan
Bintang).
Departemen Agama RI. 1985. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemahan/Pentafsiran Al-Qur’an).
Ismail SM. 2002. “Konsep Pendidikan Islam ( Studi Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib al-Attas)” (Semarang: Pepustakaan Pascasarjana IAIN
Walisongo Semarang, 2002).
Kholiq, Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset).
Ma’arif, Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu).
Maksum, Ali. 2003. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah
Signifikansi Konsep “Tradisional Islam” Sayyed Hossein Nasr (Surabaya:
Pustaka Pelajar).
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya).
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada).
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media).
Naquib Al-Attas, Muhammad Syed. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Art
Printing Works Sdn. Bhd.
_____________________. 1999. The Concept of Education in Islam: A
Framework for An Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization/ISTAC)
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis (Jakarta: Ciputat Pers).
| 134
Rosental, Franz. 1970. Knowledge Triumphant, The Concept of Knowledge in
Medieval Islam (Leiden E.J. Brill)
Samani, Muchlas & Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2011).
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya).
Usa, Muslih. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana).
Wan Daud, Mohd Noor Wan. 1998. The Educational Philosophy and Practice of
Syed M. Naquib Al-Attas: An Exposition of the Original Concept of
Islamization. Kuala Lumpur: Kuala Lumpur: International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
__________________. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas (Bandung: Mizan).
http://maragustamsiregar.wordpress.com/telaah dalam perpektif filsafat pendidikan di
akses 8 Juni 2017.
http://tobroni.staff.umm.ac.id/Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam” di akses
26 Juni 2017).
| 135
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : MUHAMAD HABIB ALWI
Tempat/Tanggal lahir : Temanggung 11 Februari 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Krajan II RT. 005, RW 002, Desa Ngipik, Kecamatan Pringsurat,
Kabupaten Temanggung
No. Hp : 085640966193
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri Ngipik Kab. Temanggung 2006/2007
MTs Negeri Grabak Kab. Magelang 2009/2010
Madrasah Aliyah Negeri Tegalrejo Kab. Magelang 2012/2013
Pondok Pesantren;
1. Al-Hidayat Pringapus Ungaran Kab. Semarang
2. Nurul Maghfiroh Tegalrejo Kab. Magelang
3. Darrul Falah Amtsilati Bangsri Jepara
4. Al-Falah Salatiga
2003
2009-2013
2013-2014
2014-2017
| 136
Riwayat Organisasi :
- Ketua Pondok Nurul Maghfiroh Tahun 2010/2013
- Ketua IKBMA (Organisasi Sosial Agama) Tahun 2013/2014 dan 2017/2018
- Pengurus Pondok Pesantren Al-Falah Tahun 2016/1017
- Ketua Pengawas KOPMA FATAWA Tahun 2015/2016
- Wakil ketua FORMATAS Tahun 2015/1016
- Anggota GP Ansor Salatiga Tahun 2017
| 137
| 138
DAFTAR NILAI SKK
| 139
Nama : Muhamad Habib Alwi Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/PAI
Nim : 111-13-126 Dosen PA : M. Gufron, M.Ag.
No Nama kegiatan Tanggal
Pelaksanaan Status Skor
1 Opak DEMA STAIN Salatiga 20-22 Agustus
2011 Peserta 3
2 SK.Pengurus Mapala
MITAPASA Masa Bakti 2014 Ketua umum 8
3 SK.Pendakian Masal Mapala
MITAPASA
11-12 Oktober
2014
Penanggung
Jawab 3
4 Sk.MapalaMITAPASA
Berbagi Sesama 19 Juli 2014
Penanggung
Jawab 3
5 SK.MMEF Mapala
MITAPASA
1-3 Oktober
2015 Panitia 3
6 SK OPAK DEMA
IAIN Salatiga
18-19 Agusus
2014 Panitia SC 3
7
Sk.Panitia HUT RI 68 Tahun
2013 Karang taruna Dsn. Batur
wetan
17 Agustus 2013 Panitia 3
8
Sk.Panitia HUT RI 69 Tahun
2014 Karang taruna Dsn. Batur
wetan
16 agustus 2014 Panitia 3
9
Sk.Panitia HUT RI 70 Tahun
2015 Karang taruna Dsn. Batur
wetan
17 Agustus 2015 Panitia 3
10 Sk.Panitia Destro Cup IV 2012
Dusun Batur wetan
17 Oktober – 12
September 2012 Panitia 3
11 Sk.Panitia Destro Cup V 2014 26 November – Panitia 3
| 140
Dusun Batur wetan 19 Desember
2014
12 Opak DEMA
IAIN Salatiga
18-19 Agusus
2014 Panitia SC 3
13 Sirkuit Panjat Tebing FPTI
Jawa Tengah
13-15 November
2015 Panitia 4
14 Seminar Asean Economic
Community IAIN Salatiga 28 Februari 2015 Peserta 8
15 ODK STAIN Salatiga 24 Agustus 2011 Peserta 2
16 Public Hearing Senat
Mahasiswa 10 Juni 2014 Peserta 2
17 SSC Cup STAIN Salatiga 4-5 mei 2013 Juara II 3
18 IPPBMM IAIN surakarta 12 – 14 Juni 2014 Juara III 6
19 AMT STAIN Salatiga 23 Agustus 2011 Peserta 2
20 User Education PERPUS
STAIN Salatiga Upt Perpustakaan Peserta 2
21 HOC.2 Mpa.Himalaya
UNIMUS Semarang 6- 7 Juli 2013 Peserta 4
22 MENPORA
ORIENTERINGCHALLENGE
24-25 November
2012 Peserta 4
23 Granat Rescue Orienterring
Jawa Tengah 2014 8 Juni 2014 Peserta 4
24 Pendakian Masal Mapala
Mitapasa
26-27 November
2011 Peserta 2
25 Pendidikan lanjut VIII
Mpa.MITAPASA 26-28 April 2013 Panitia 3
26 Seminar enterpreneuership 11 September
2012 Panitia 3
| 141
27 Seminar enterpreneuership
KOPMA, KSEI 25 Agustus 2011 Peserta 2
28 MKM VII Mapala pasca
STAIN Ponorogo
01-06 September
2014 Peserta 2
29
Seminar harmonissasi
lingkungan Mapala
MITAPASA
27 Desember
2014 Peserta 2
30 Seminar pendidikan HMI 28 Desember
2011 Peserta 2
31 Workshop Nasional HMPS
PAI`
16 Desember
2014 Peserta 8
32 Pendidikan lanjut
Mpa.MITAPASA VII 02 – 05 Mei 2012 Peserta 3
Jumlah 106
| 142
| 143