Kontektualisasi Sila Pertama

38
Our Presentati on

Transcript of Kontektualisasi Sila Pertama

Page 1: Kontektualisasi Sila Pertama

OurPresentation

Page 2: Kontektualisasi Sila Pertama

Susi Damayanti M0312070Syaiful Ahmad Nurcahyo M0312071Tri Utami M0312073Uswatul Chasanah M0312075Windy Ayu Lestari M0312078Wulan Cahya Inayah M0312079Yessi Ihdina M0312081Yetti Suryandari M0312082Yoga Royandana Firdaus M0312083Yohan Aldi Ismoyo M0312084Yulianto Adi M0312085Zahratun Nur M0312086

Kelompok 1

Page 4: Kontektualisasi Sila Pertama

Kontekstualisasi Sila Pertama Pancasila

Page 5: Kontektualisasi Sila Pertama
Page 6: Kontektualisasi Sila Pertama

Latar Belakang

“Agama tidak pernah sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga

terlibat dalam urusan publik”

Page 7: Kontektualisasi Sila Pertama

Mengapa dalam trayek sekularitas negara modern

Indonesia, nilai-nilai ketuhanan dijadikan salah

satu dasar falsafah pengelolaan negara?

Rumusan Masalah

Page 8: Kontektualisasi Sila Pertama

Ketuhanan yang Berkebudayaan

Page 9: Kontektualisasi Sila Pertama

Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara kita

ialahKe-Tuhanan yang berkebudayaan

Ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhurKe-Tuhanan yang hormat menghormati satu

sama lain(Soekarno, 1 Juni 1945)

Page 10: Kontektualisasi Sila Pertama

“Bhineka Tunggal Ika, tan Hana Dharma Mangrwa.”

Berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua

(Mpu Tantular dalam Sutasoma)

Page 11: Kontektualisasi Sila Pertama

PERSPEKTIF HISTORIS KEPERCAYAAN DI INDONESIA

ANIMISME & DINAMISME

• Zaman batu-perungguPOLITEISTIK

HINDU & BUDHA• Abad 3-4 dari India.

ISLAM• Abad 7 dari Timur

Tengah.• Abad 13 tersebar luas.

KONGHUCU• Dari Cina.

KRISTEN• Abad 16 dari Eropa.

Page 12: Kontektualisasi Sila Pertama

NEGOISASI ANTARA SEKULARISASI DAN RELIGIONSASI NEGARA

Pada masa kolonial, VOC berasumsi “evolusi modernisme” (saat masyarakat Modern pasang, kepercayaan agama akan surut).

Namun tak lama pemerintah kolonial membatasi peran sosial-politik keagamaan (islam).

Akhirnya memicu sekularisasi politik & kebangkitan religiosasi publik

Page 13: Kontektualisasi Sila Pertama

Sekularisasi dan Religiosasi Politik Indonesia

Page 14: Kontektualisasi Sila Pertama

Perjumpaan komunitas agama dengan kolonialisme berikut proyek sekularisasinya justru merupakan pemicu utama munculnya kecenderungan ideologisasi agama dan pengerahan perannya dalam arena publik-politik.Ketika kehidupan corporate (masyarakat sipil) belum berkembang di Nusantara, kehidupan publik dipenuhi terutama oleh jaringan komunitas epistemik keagamaan. Komunitas agama menjadi simpul pemberontakan politik-terutama sepanjang abad ke-19 yang memberi dasar bagi munculnya kesadaran “nasionalisme purba”

Page 15: Kontektualisasi Sila Pertama

Kemunculan SI (kelanjutan SDI) merupakan titik paling menentukan dalam perkembangan ide kebangsaan Islam sebagai bentuk proto-nasionalisme. Untuk pertama kalinya kata “Islam” secara eksplisit digunakan sebagai nama perhimpunan, yang mengindikasikan bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagai basis identitas kolektif dan sebagai sebuah ideologi bagi gerakan proto nasionalisme.

Page 16: Kontektualisasi Sila Pertama

Dengan kemampuan untuk menyentuh pluralitas kondisi manusia, kehadiran Sarekat Islam mempersatukan ragam imajinasi sosio-politik. Sarekat Islam dengan segera menjadi perhimpunan pribumi pertama yang menjangkau gugusan kepulauan Nusantara, yang beroperasi dengan ideologi nasionalis berwarna agama.

Page 17: Kontektualisasi Sila Pertama

Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila dan

Konstitusi

Page 18: Kontektualisasi Sila Pertama

Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi

Islam

Kebangsaan

Menjelang Akhir Penjajahan Jepan

g

Page 19: Kontektualisasi Sila Pertama

Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan, karena akan timbul golongan-golongan kecil yaitu golongan kristen, dan lain-lain yang tidak dapat bersatu dengan negara. Soepomo berpendapat bahwa : “Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan bersifat religius. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Page 20: Kontektualisasi Sila Pertama

Ada perbedaan pendapat antara yang memisahkan negara dan agama yang berasal dari lingkungan Barat yang terpengaruh modernisasi Eropa , ketika paham sekulerisme kuat sehingga kurangnya memahami agama, dan terdapat yang menyatukan agama dengan negara yang berasal dari lingkungan pendidikan islam dan tradisi politik masa kejayaan islam.

Lalu Hatta menyimpulkan bahwa : “Kita tidak akan mendirikan negara dengan dasar perpisahan antara agama dengan negara,melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas dasar perpisahan urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama akan menjadi perkakas negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.”

Page 21: Kontektualisasi Sila Pertama

Soekarno berpendapat tentang prinsip Pancasila mengenai “Ketuhanan” yang ia letakkan pada sila kelima adalah :“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat meyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Dan ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme - agama” dan hendaknya Negara Indonesia menjadi satu Negara yang ber-Tuhan.”

Menurut Roeslan Abdoelgani, “penyebutan dalam akhir itu hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci di dalam keempat dasar sebelumnya”

Page 22: Kontektualisasi Sila Pertama

Soekarno mengambil inisiatif informal lain dengan membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang (dikenal sebagai Panitia Sembilan).Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang di dalamnya termuat Dasar Negara. Diantaranya untuk mempertemukan pandangan antara dua golongan kebangsaan dan golongan islam menyangkut dasar kenegaraan. Titik temu antara kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”.

Page 23: Kontektualisasi Sila Pertama

Ujung kompromi itu bermuara pada alinea terakhir, yang mana mengandung rumusan dasar negara berdasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila. Prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”).

Page 24: Kontektualisasi Sila Pertama

Akan tetapi, hasil rumusan Piagam Jakarta itu mendapat tanggapan tajam dari Latuharhary. Dia menyatakan keberatan atas “tujuh kata” sebagai anak kalimat dari Ketuhanan.Dalam rapat besar Panitia Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soekarno, pada 13 juli, perdebatan sengit seputar ikutan “tujuh kata” Piagam jakarta kembali mencuat, dipicu oleh pernyataan K.H Waachid Hasjim yang mengusulkan agar “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama islam”. Dan pasal 29 diubah kira-kira manjadi “Agama Negara adalah agama Islam.”

Page 25: Kontektualisasi Sila Pertama

Persoalan ini menimbulkan kebuntuan yang hanya bisa diselesaikan pada 16 Juli setelah Soekarno dengan berlinang air mata menghimbau agar tidak setuju dengan hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia.

Suasana kebatinan seperti itulah yang akan mewarnai sidang PPKI. Panitia ini bertugas untuk mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk penetapan konstitusi.

Page 26: Kontektualisasi Sila Pertama

Akhirnya terdapat perbedaan pandangan antara relasi agama dan negara yang terjadi di sidang-sidang DPR maupun Dewan Konstituante mengenai penyusunan dan penetapan konstitusi permanen Republik Indonesia. Dan terjadi pengkubuan yaitu “pendukung Pancasila” dan “Pendukung Islam”.

Dewan Konstituante mengambil kesepatan mengenai Dasar Negara harus memenuhi hal berikut :

1. Sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia

2. Dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945

3. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian segala persoalan

4. Terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat

5. Berisikan jaminan-jaminan sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas, dan keadilan sosial.

Namun, tetap bagi pendukung Islam bersikukuh menyodorkan kata “Islam” dalam dasar negara.

Page 27: Kontektualisasi Sila Pertama

Kubu islam berpendapat selain umat islam yang menjadi elemen terpenting dalam perjuangan kemerdekaan, agama islam memiliki ajaran yang lebih lengkap dan rinci ketimbang pancasila. Islam bukan bagian pancasila, justru pancasila yang menjadi bagian islam

Golongan kebangsaan menyatakan usaha kemerdekaan merupakan hasil jerih payah bersama, islam dan sosial ekonomi belum mencakup semua nilai-nilai pancasila dan juga jika terjadi pertentangan dari golongan agama lain.

Page 28: Kontektualisasi Sila Pertama

Titik temu dalam pro kontra mengenai pancasila adalah dengan meyakini atau setidaknya menghargai pentingnya dasar Ketuhanan dalam kehidupan publik lebih khusus lagi dalam pengelolaan negara Indonesia. Di samping masih terdapatnya penyanggahan golongan islam dalam menamai dasar negara dengan Islam.Konflik berakhir setelah pembubaran konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno akibat ketdiaksabaran dan kegentingan atmosfer politik Indonesia.Berdasarkan kenyataan ini, negara Indonesia berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang terpisah sama sekali dari agama namun juga tidaklah menyatu dengan negara. Sehingga dapat dikatakan “Indonesia bukan negara sekuler dan juga negara agama”

Page 29: Kontektualisasi Sila Pertama

PERSPEKTIF TEORETIS-KOMPARATIF

Page 30: Kontektualisasi Sila Pertama

Dalam trayek ini bisa diamati bahwa proses modernisasi dan demokratisasi memerlukan prakondisi berupa adanya kompromi antara otoritas sekuler dan keagamaan. Versi positivistik dari teori-teori modernisasi, terutama menyangkut proses “sekulerisasi” yang meniscayakan pemisahan agama dan negara, dan kemunduran agama, lebih merupakan mitos yang dibangun melalui generalisasi secara serampangan, ketimbangan kenyataan empiris. Kunci demokratisasi terletak pada konstruksi dan rekonstruksi politik yang secara konstan mengembangkan yang disebut toleransi kembar. Dan kunci demokratisasi politik bukan pada “tabir pemisah” antara agama dan negara.

Page 31: Kontektualisasi Sila Pertama

Toleransi kembar adalah situasi ketika institusi agama dan negara meyadari batas otoritasnya untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya masing-masing. Dalam kaitan ini, institusi-institusi agama tidak boleh memiliki prerogative istimewa secara konstitusional yang membolehkan mereka untuk memaksakan kebijakan public atas pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Sebaliknya, individu-individu dari komunitas agama harus memiliki kebebasan penuh untuk beribadah secara privat.

Page 32: Kontektualisasi Sila Pertama

Negoisasi antara proses sekularisme dan religiosasi mengandung konsekuensi bahwa agama tidak disudutkan hanya melulu mengurusi ruang privat, tetapi juga mungkin terlibat dalam ruang publik. Namun, karena kepercayaan sekularisme terjadi privatisasi agama.

Penyusutan agama ke ruang privat bersifat kontraproduktif karena justru bisa memberi peluang bagi kebangkitan fundamentalisme sebagai kekuatan politik, yang tidak tertandingi oleh wacana keagamaan lain yang berkeadaban karena terkerangkeng di ruang privat.

Untuk mengatasi dampak buruk keterlibatan agama di ruang publik, hubungan antara agama dan negara perlu menemukan konteks relasi baru yang disebut “diferensiasi” yang dapat menjamin terwujudnya toleransi kembar.

Page 33: Kontektualisasi Sila Pertama

Dengan proses diferensiasi ini, terjadi pembedaan ranah sosial ke dalam ragam fungsi yang didalamnya agama tidak lagi menjadi pendefinisi tunggal semua realitas yang mungkin bidang sekuler menemukan tempatnya yang pas.

Dengan konsep diferensiasi ini, agama bisa turun ke ranah publik dan bisa memberikan pengaruh pada kehidupan politik, tetapi tetap memiliki batasan-batasan tertentu dimana didalamnya agama tidak bisa ikut campur.

Page 34: Kontektualisasi Sila Pertama

Membumikan Ketuhanan dalam Kerangka Pancasila

Page 35: Kontektualisasi Sila Pertama

Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dan busi pekerti luhur. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila meyerupai konsepsi “agama sipil” yaitu bagaimana menjadikan nilai-nilai moral Ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam masyarakat multikultural-multiagama, tanpa menjadikan salah satu agama mendikte negara.

Page 36: Kontektualisasi Sila Pertama

Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.

Page 37: Kontektualisasi Sila Pertama

KesimpulanKetuhanan dalam kerangka Pancasila meupakan

usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas ketuhanan. Dalam kerangka pencarian titik temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat kaena sila pertama pancasila jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari setiap kehidupan publik-politik.

Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positi f yang digali dari nilai-nilai profeti s agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka pengisian eti ka sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Page 38: Kontektualisasi Sila Pertama

Sekian dan Terima Kasih