Panca Sila

25
Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 97 serta telah menciptakan suatu peradaban yang memerlukan pemahaman yang tepat. Berbagai perubahan landscape dunia tersebut berimbas pada ‘teralienasinya’ beberapa pihak ataupun kelompok tertentu yang pada akhirnya memicu tumbuhnya ideologi radikalisme global yang berusaha memaksakan kehendaknya melalui berbagai tindakan radikal dalam skala global yang harus disikapi dengan cermat dan tepat, di antaranya melalui peningkatan aktualisasi nilai-nilai ideologi bangsa. Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila di Seluruh Komponen Bangsa untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke- Indonesia-an dalam Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global PENDAHULUAN S ejak berakhirnya perang dingin yang diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang mempromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme- sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami berbagai perubahan landscape, baik landscape geoeconomy, geopolitics maupun geoideology yang sangat fundamental dan berdampak pada kehidupan berbagai bangsa, Foto: http://tinyurl.com/csr6zzx

description

memperkokoh nilai nilai Pancasila

Transcript of Panca Sila

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 97

    serta telah menciptakan suatu peradaban yang memerlukan pemahaman yang tepat. Berbagai perubahan landscape dunia tersebut berimbas pada teralienasinya beberapa pihak ataupun kelompok tertentu yang pada akhirnya memicu tumbuhnya ideologi radikalisme global yang berusaha memaksakan kehendaknya melalui berbagai tindakan radikal dalam skala global yang harus disikapi dengan cermat dan tepat, di antaranya melalui peningkatan aktualisasi nilai-nilai ideologi bangsa.

    Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila

    di Seluruh Komponen Bangsa untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an dalam Rangka Menangkal Ideologi

    Radikalisme Global

    PENDAHULUAN

    Sejak berakhirnya perang dingin yang diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang mempromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami berbagai perubahan landscape, baik landscape geoeconomy, geopolitics maupun geoideology yang sangat fundamental dan berdampak pada kehidupan berbagai bangsa,

    Foto: http://tinyurl.com/csr6zzx

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 201298

    Pancasila sebagai ideologi bangsa lahir melalui proses yang panjang dengan bersendikan keberagaman dalam Ke-Bhinneka-an dan seiring dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila dijadikan sebagai falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka, open ideology, living ideology dan bukan merupakan suatu dogma statis yang menakutkan (Yudhoyono, 2006). Pancasila sebagai falsafah kenegaraan dapat diterjemahkan bahwa Pancasila berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platform di antara sesama warga masyarakat dalam menyepakati secara konstitusionalisme bahwa hakikat Pancasila

    adalah sebagai ideologi terbuka di dalam konteks kehidupan bernegara.

    Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat diurai dalam pendekatan ontologi (pemahaman masyarakat diarahkan pada hakikat Pancasila dalam realitas kebangsaan dan kenegaraan), epistimologi (teori Pancasila yang mampu menjawab dan menganalisis berbagai persoalan), dan aksiologi (memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi), sehingga untuk menjamin tetap tegaknya konstitusionalisme dan memantapkan semangat kebangsaan serta jiwa nasionalisme ke-Indonesia-an di era keterbukaan dewasa ini, Pancasila harus merupakan landasan dalam membangun konsensus nasional yang mencakup elemen: the general goals of society of general acceptance of the same philosophy

    of government (tujuan dan cita-cita bersama), the rule of law (sebagai landasan penyelenggaraan negara), dan the basic of government (kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan).

    Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tepat disifatkan sebagai perjanjian luhur atau kontrak politik dari para pendiri negara, yang kemudian didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Core value Pancasila sebagai dasar negara ini tersirat dari pemaknaan terhadap nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila, di mana Sila ke-Tuhanan merupakan pemaknaan terhadap nilai-nilai religius yang berkaitan dengan hubungan antara individu dengan Tuhan. Sila Kemanusiaan berhubungan dengan aspek moralitas, keteraturan dan perwujudan pranata sosial yang beradab.

    Sila Persatuan Indonesia menyiratkan makna perwujudan kesatuan dan kasih sayang terhadap segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Sila Permusyawaratan dan Perwakilan menyiratkan makna perlunya demokrasi atas dasar konsensus dalam menyikapi berbagai persoalan. Dan sila Keadilan Sosial yang menyiratkan perilaku yang transparan, adil dan merata guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan 10721 etnik yang beragam dan plural. Adapun Pancasila sebagai sumber hukum nasional dimaknai sebagai dasar dan landasan bagi pembentukan segala hukum dan perundangan nasional, sehingga pada implementasinya segala bentuk perundangan harus mengarah pada menjaga integrasi bangsa, membangun demokrasi dan membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang didasarkan pada prinsip toleransi kemanusiaan dan keberagaman yang berkeadaban.

    Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki perbedaan yang mendasar dengan ideologi kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunisme, di mana Pancasila

    Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam

    Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tepat disifatkan sebagai

    perjanjian luhur atau kontrak politik dari para pendiri negara, yang

    kemudian didukung oleh seluruh rakyat Indonesia.

    1) Menurut Saafroedin Bahar (2008) pada Sensus Penduduk tahun 2000, ada sekitar 1.072 etnik di Indonesia yang 11 etnik di antaranya mempunyai warga di atas satu juta jiwa. (Saafroedin Bahar, 2008, Silabus dan Bahan Ajaran Sementara Prinsip-prinsip Organisasi dan Manajemen Pertahanan, Edisi 2, 21 Januari 2008).

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 99

    mengakui adanya hak-hak individu maupun hak masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Lain halnya dengan ideologi liberalis-kapitalis yang cenderung lebih mengedepankan kebebasan individual ataupun kelompok. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila membuka ruang penuh bagi negara dan masyarakatnya untuk mencapai cita-citanya dengan berlandaskan pada kesepakatan tentang rule of law sebagai landasan pemerintah atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

    Secara teoretis, ideologi dapat diartikan sebagai ideology is manner or content of thinking characteristic of an individual or class atau ideas charateristic of a school of thinkers a class of society, a political party or the like. Ideologi dapat dibedakan menjadi tiga pengertian yaitu ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam arti netral dan ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah2. Ideologi sebagai kesadaran palsu, sering dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial yang mempersepsikan ideologi sebagai teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan-kepentingan pihak yang mempropagandakannya dan merupakan sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk

    melegitimasikan kekuasaanya. Ideologi dalam arti netral diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu atau suatu negara yang menganggap penting adanya ideologi negara, dan baik buruknya tergantung pada isi ideologi tersebut3. Sedangkan ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik, di mana segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis matematis atau empiris adalah suatu ideologi, dan segala masalah etis serta moral, asumsi-asumsi normatif maupun pemikiran-pemikiran metafisika termasuk

    dalam wilayah ideologi4 (Asshidiqie, 2010). Dalam hal ini secara teoretis yang dimaksud Pancasila sebagai ideologi negara adalah ideologi dalam artian netral, di mana Pancasila merupakan landasan dalam sistem berpikir dan tata nilai yang disepakati bersama guna menjaga tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Pancasila dapat didudukkan pada empat pilar utama. Pilar pertama bahwa secara ideologis Pancasila harus dipahami secara terpadu dengan keseluruhan kandungan nilai yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pilar kedua, secara konstitusional

    Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki perbedaan yang mendasar dengan ideologi kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunisme, di mana Pancasila

    mengakui adanya hak-hak individu maupun hak masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Lain halnya dengan ideologi liberalis-kapitalis yang

    cenderung lebih mengedepankan kebebasan individual ataupun kelompok.

    2) Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992: 230), sebagaimana makalah Jimly Asshididqie (2010).3) ideology .. a set of ideas that an economic or political system is based on;(2) a set of beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt,Ideologi adalah the system of ideas and through which people come to see the word and define their needs and aspiration, dan a system of ideas, beliefs and values that individuals and societies aspire toward. Lihat, martin Hewitt, Walfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Walfare State, (Maryland: harvester Wheatsheaf, 1992).4) Karl Mannheim, sebagaimana disitir oleh Asshiddiqie, ..pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subjektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012100

    Pancasila harus dijabarkan ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta peraturan perundang-undangan lainnya, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, dan ditindaklanjuti dalam kebijakan dan strategi nasional.

    Pilar ketiga, secara politik Pancasila harus dilaksanakan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sistem pemerintahan demokrasi presidensial. Pilar keempat, secara kultural Pancasila dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi dan kepentingan dari masyarakat Indonesia yang amat majemuk dari segi ras, etnik, agama, suku, warna kulit dan golongan, sesuai dengan sesanti yang terdapat dalam lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika.

    Mencermati berbagai hal sebagaimana telah diuraikan di atas, tersirat jelas bahwa Pancasila merupakan salah satu pilar mutlak yang harus ada selama bangsa ini ada. Namun demikian, eksistensi Pancasila selalu diperhadapkan pada berbagai perkembangan, baik nasional, regional maupun internasional. Secara nasional, bangsa ini terbentuk dari beragam etnik, suku bangsa maupun agama, yang kesemuanya memiliki filosopi, maksud dan tujuan yang berbeda dan memiliki karakteristik yang serba multi.

    Secara regional dan global, Pancasila diperhadapkan pada perkembangan globalisasi yang dinamis dengan berbagai dampak, baik dampak yang membawa

    keuntungan bagi negara, maupun dampak rentannya pengaruh tersebut dari kemungkinan adanya penunggang bebas (free-rider) kepentingan tertentu. Perkembangan globalisasi telah menjangkau pada ranah borderless (tanpa batas), yang secara tangible maupun intangible akan mengalienasi negara-negara yang tidak bisa mengikuti gerak langkah perkembangan

    tesebut.

    Globalisasi juga membawa dampak perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexity yang membuat interpolasi menjadi sulit (Peter Senge, 1994) dan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, sehingga setiap pelakunya termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection dan confidence (Rossabeth, 1994).

    Pada dasarnya perkembangan globalisasi telah menjadi suatu kekuatan besar yang terus

    menggelontor dan memengaruhi berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta telah merubah landscape geopolitics, geostrategy, geoeconomy bahkan telah menciptakan pergeseran strategi geodefence and georesilience berbagai negara di mana penguasaan terhadap negara tidak lagi melalui perang dengan persenjataan namun melalui penguasaan ekonomi, pendegradasian ideologi dan budaya serta berbagai strategi yang memiliki karakteristik soft tanpa melalui kekerasan fisik seperti perang dengan penggunaan senjata.

    Pada dasarnya perkembangan globalisasi telah menjadi suatu

    kekuatan besar yang terus menggelontor dan memengaruhi

    berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta telah merubah landscape geopolitics, geostrategy,

    geoeconomy bahkan telah menciptakan pergeseran strategi

    geodefence and georesilience berbagai negara di mana penguasaan terhadap negara tidak lagi melalui

    perang dengan persenjataan namun melalui penguasaan

    ekonomi, pendegradasian ideologi dan budaya serta berbagai strategi yang memiliki karakteristik soft

    tanpa melalui kekerasan fisik seperti perang dengan penggunaan

    senjata.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 101

    Pada ranah global, Pancasila juga diperhadapkan pada tumbuhnya radicalism ideology yang terus berkembang dan mengarah pada penetrasi dan pemaksaan yang sering dilakukan melalui cara kekerasan dengan melibatkan state actor maupun non-state actor, dengan metode simetris maupun asimetris dan dalam bentuk terorisme nasional maupun transnational organized crime.

    Kondisi ini memaksa tumbuhnya suatu strategi untuk bertahan hidup (survival strategy) bagi berbagai kelompok dan masyarakat seluruh dunia (featherstone, 1991; hannerz, 1996). Globalisasi juga telah mengguncang masyarakat dan kebudayaan serta menciptakan adanya kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, urbanisasi dan konservatisme yang berdampak pada terjadinya kontradiksi budaya masyarakat kapitalis dan hilangnya kohesi sosial di berbagai negara (Kuntowidjoyo, 1999).

    Fenomena globalisasi yang mencakup ethnoscapes (aktor pelaku yang berperan dalam pergeseran dunia), mediascapes (media global yang mampu menyebarkan dan memanipulasi informasi), technoscapes (konfigurasi global yang melibatkan aspek teknologi dan informasi yang borderless), finanscapes (konfigurasi keuangan global yang melampaui batas-batas nasional) dan ideoscapes (proses globalisasi yang melibatkan aspek ideologi dan strategi kekuasaan serta penguasaan), dalam perkembangannya memosisikan nilai-nilai Pancasila untuk selalu siap dihadapkan pada keberadaan ideologi radikalisme global yang lebih bersifat asimetrik, sebagai dampak dari termaginalkannya suatu paham yang

    mensinergikan aspek religi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan.

    Dalam hubungan dengan ideologi radikalisme global, sungguh menarik untuk diperhatikan bahwa ideologi radikalisme global yang dianut pada tataran kenegaraan-seperti Marxisme-Leninisme/Komunisme--telah mengalami pasang surut dengan runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia; terjadinya revisionisme di Republik Rakyat Cina dan Republik Demokrasi Vietnam; serta lemahnya Republik Demokrasi Korea dalam bidang ekonomi.

    Namun, bersisian dengan pasang surutnya ideologi radikalisme global pada tararan kenegaraan itu, telah timbul gejala meningkatnya ideologi radikalisme global yang tidak beroperasi pada tataran kenegaraan, antara lain bermotifkan agama yang muncul pasca serangan terhadap menara kembar di New York tanggal 11 September 2001. Ditengarai yang berada di belakang keseluruhan perkembangan aksi ini adalah jaringan Al Qaeda

    di bawah pimpinan Osama bin Laden, yang juga mempunyai pengikut fanatik di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

    Indonesia dalam menuju peradaban yang lebih bermartabat diperhadapkan pada berbagai pengaruh ideologi-ideologi lain, termasuk ideologi radikalisme global yang mengganggu pencapaian dari berbagai kebijakan yang ditetapkan. Padahal sesungguhnya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah terbukti dan teruji mampu mempersatukan pluralisme dari berbagai suku, ras, etnis maupun agama yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

    Indonesia dalam menuju peradaban yang lebih bermartabat

    diperhadapkan pada berbagai pengaruh ideologi-ideologi lain,

    termasuk ideologi radikalisme global yang mengganggu pencapaian dari

    berbagai kebijakan yang ditetapkan. Padahal sesungguhnya Pancasila

    sebagai ideologi bangsa Indonesia telah terbukti dan teruji mampu mempersatukan pluralisme dari

    berbagai suku, ras, etnis maupun agama yang ada di seluruh wilayah

    Indonesia.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012102

    Oleh karena itu naskah kajian ini akan menjawab Mengapa ideologi Pancasila tidak lagi menjadi roh dan menjadi dasar oleh berbagai komponen bangsa dalam berpikir, bersikap dan bertindak menuju Indonesia yang memiliki peradaban yang lebih bermartabat dalam tataran masyarakat regional maupun global.

    Dasar

    a. Pasal 2.b. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tanggal 13 Juni 2006 tentang Tugas Lemhannas RI dalam membantu Presiden RI untuk menyelenggarakan pengkajian yang bersifat konsepsional strategis mengenai berbagai permasalahan nasional, regional maupun internasional.

    b. Surat Keputusan Gubernur Lemhannas RI Nomor: Skep/195/I/2010, tanggal 10 Februari 2010 tentang Pembentukan Tim Kajian Aktual dengan judul Memperkokoh Nilai-nilai Pancasila di Seluruh Komponen Bangsa untuk Menangkal Berbagai Pengaruh Ideologi Radikalisme Global dalam Rangka Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme.

    Maksud dan Tujuan

    a. Maksud

    Maksud dari pelaksanaan kajian ini adalah untuk memformulasikan berbagai rumusan kebijakan guna mendukung Presiden RI dalam menetapkan kebijakan terkait dengan eksistensi Pancasila dan pengaruh dari radikalisme global.

    b. Tujuan

    Tujuan yang ingin dicapai adalah memperkokoh nilai-nilai Pancasia dari pengaruh ideologi radikalisme global guna meningkatkan nasionalisme kebangsaan dan ketahanan nasional.

    Permasalahan

    a. Apakah ideologi radikalisme global dapat memengaruhi eksistensi nilai-nilai yang terkandung pada sila Pancasila?

    b. Bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat diaktualisasikan dalam berbangsa dan bernegara guna menangkal penetrasi ideologi radikalisme?

    c. Apakah core value yang terkandung pada sila Pancasila mampu diterima oleh masyarakat guna meningkatkan semangat kebangsaan dan nasionalisme?

    Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan

    a. Ruang Lingkup

    Ruang lingkup kajian ini difokuskan pada pembahasan tentang berbagai hal yang terkait dengan perkembangan dan berbagai dampak dari ideologi radikalisme global terhadap nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Adapun analisisnya dilakukan dengan menggunakan pisau analisis Asta Gatra yang terdiri dari gatra statis (demografi, geografi dan sumber kekayaan alam) dan gatra dinamis (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan).

    b. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan naskah ini sebagai berikut:

    1) Bab I Pendahuluan. Menguraikan tentang latar belakang perlunya penulisan kajian yang dilengkapi

    Indonesia dalam menuju peradaban yang lebih bermartabat

    diperhadapkan pada berbagai pengaruh ideologi-ideologi lain,

    termasuk ideologi radikalisme global yang mengganggu pencapaian dari

    berbagai kebijakan yang ditetapkan. Padahal sesungguhnya Pancasila

    sebagai ideologi bangsa Indonesia telah terbukti dan teruji mampu mempersatukan pluralisme dari

    berbagai suku, ras, etnis maupun agama yang ada di seluruh wilayah

    Indonesia.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 103

    dengan sub bab maksud dan tujuan, permasalahan, ruang lingkup kajian, sistematika dan pengertian-pengertian yang menjadi standar agar tidak terjadi persepsi atau penafsiran yang berbeda.

    2) Bab II Kondisi Awal dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi.Mengurai tentang data dan fakta kondisi pemahaman terhadap ideologi Pancasila. Di samping itu pada bab ini juga diuraikan faktor-faktor yang memengaruhi ditinjau dari perkembangan lingkungan strategis baik global, regional dan nasional.

    3) Bab III Analisis dan Upaya. Pada bab ini diuraikan tentang analisis strategis ditinjau dari aspek Asta Gatra (Tri Gatra dan Panca Gatra) serta upaya yang dilakukan dalam memperkokoh nilai-nilai Pancasila di seluruh komponen bangsa untuk menangkal berbagai pengaruh ideologi radikalisme global dalam rangka memantapkan semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme.

    4) Bab IV Penutup. Pada bab ini disajikan kesimpulan dan saran dari pelbagai rumusan.

    Metoda dan Pendekatan

    a. Metode kajian yang digunakan pada penulisan makalah ini adalah deskriptif analitis dengan mengambil berbagai materi dari sumber-sumber yang relevan serta data kepustakaan yang ditelaah secara komprehensif, integral dan holistik terhadap perkembangan situasi dan kondisi baik global, regional maupun nasional.

    b. Teknik Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan:

    1) Studi kepustakaan. Dimaksudkan untuk mendapatkan data-data sekunder yang dinilai faktual dan relevan dengan permasalahan kajian.

    2) Expert meeting. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan atau sumbang saran dari

    para pakar terutama dari para pimpinan Lemhannas RI sebagai pengambil kebijakan.

    c. Teknik Analisis Data

    1) Curah pikir awal. Hal ini dilaksanakan secara internal yang diperkuat dengan beberapa tenaga ahli dari lembaga kajian formal dan nonformal. Hasil curah pikir ini dijadikan untuk merumuskan kerangka berpikir dari kajian.

    2) Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptifanalitis yang dilakukan melalui desk study. Dimulai dengan penyajian berbagai data, fakta, ide dan gagasan berkaitan dengan permasalahan yang ada, kemudian dilakukan analisis atas data, fakta, ide dan gagasan tersebut.

    3) Uji Sahih. Kegiatan ini dilaksanakan melalui roundtable discussion dengan mengundang para pembicara dan penanggap yang menguasai permasalahan kajian ini.

    Pengertian

    a. Memperkokoh nilai-nilai Pancasila. Adalah upaya terencana untuk menjernihkan kandungan nilai-nilai

    Foto: http://tinyurl.com/bnfcbt8

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012104

    Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara dan ideologi nasional secara terpadu, konsisten dan koheren, juga mengamankannya dari ancaman ideologi tandingan, khususnya terhadap ideologi radikalisme global, serta menjabarkan dan menindaklanjutinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara berkelanjutan, sehingga terwujud cita-cita nasional untuk keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

    b. Ideologi negara. Adalah landasan falsafah bangsa sebagai ideologi nasional yang mengakui adanya kemajemukan, pluralisme dan sumber motivasi, sumber nilai dan inspirasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu ideologi Pancasila menempatkan keanekaragaman budaya, latar belakang sosial, struktur sosial dan berbagai potensi masyarakat sebagai realitas sosial yang harus ditumbuhkembangkan secara adil, demokratis dan egaliter.

    c. Ideologi Radikalisme Global. Adalah keseluruhan wawasan falsafah, keagamaan dan ideologi yang bersifat universal, yang menjadi alasan pembenar dan sumber motivasi bagi para pengikutnya untuk melakukan kekerasan--khususnya dalam bentuk aksi teror--terhadap segala pihak yang

    dipandangnya sebagai musuh yang harus dihancurkan. Ideologi radikalisme global ini bisa dianut secara formal pada tataran kenegaraan, juga bisa dianut secara nonformal pada tataran non-kenegaraan. Ideologi radikalisme global dalam segala bentuknya merupakan ancaman terhadap keseluruhan visi kenegaraan berdasar Pancasila.

    d. Semangat Nasionalisme Bangsa. Adalah semangat kebersamaan untuk membangun masa depan yang lebih aman dan lebih sejahtera bagi seluruh warga negara Indonesia, dengan tidak membedakan suku, agama, ras, warna kulit, gender atau golongan.

    KONDISI AWAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

    Pancasila merupakan ideologi negara, sebagaimana ideologi lain yang senantiasa memerlukan penyempurnaan, karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan sosial masyarakat yang sangat dinamis. Nilai-nilai sosial masyarakat saat ini cenderung demokratis dengan mengakomodasi kebebasan berbicara, bersikap dan bertindak sehingga memacu tumbuhnya kreativitas masyarakat.

    Namun demikian, di sisi lain juga tumbuh semangat primordialisme yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya benturan antarsuku, antarumat beragama maupun antarkelompok yang ditandai dengan tumbuh berkembangnya pengerahan massa dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

    Ego kedaerahan dan primordialisme sempit tersebut merupakan indikasi menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar falsafah, asas dan paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/prinsip/pandangan hidup)

    Dunia kini tengah mengalami perubahan drastis dengan berbagai kemajuan dan pergeseran landscape

    global, baik di bidang ideologi, ekonomi, politik maupun pertahanan keamanan. Berbagai perubahan yang terjadi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat perubahan

    tersebut mengandung kekuatan besar, baik accumulative strategy maupun penetrasi budaya yang

    menyangkut tata nilai, sikap dan tingkah laku.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 105

    merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai, yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk dari bermacam etnik/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika.

    Sejak awal reformasi dan seiring dengan meningkatnya liberalisasi dan demokratisasi dunia, nilai-nilai Pancasila cenderung mengalami decline (kemunduran). Sosialisasi Pancasila di masa lalu, yang menerapkan penataran guna memperoleh sertifikat dan menjadi persyaratan promosi jabatan telah menjadikan Pancasila sebagai suatu hafalan, dan tidak mewujud secara substansial pada perikehidupan sehari-

    hari. Namun demikian, pada prinsipnya ideologi itu tidak pernah mati. Yang terjadi adalah emergence (kemunculan), decline (kemunduran) dan resurgence of ideologies, yaitu kebangkitan kembali suatu ideologi, (Mustafa Rejai, Political Ideologies).

    Sejak reformasi digulirkan juga telah terjadi pendangkalan ideologi kenegaraan yang selanjutnya menyebabkan menipisnya semangat kebangsaan dan persatuan; legitimasi simbolis atas reformasi telah mencemari kemurnian dan kredibilitas gerakan tersebut. Pelaksanaan reformasi dalam kenyataannya lebih didominasi dengan tumbuhnya mindset yang terbalik, di mana masalah aksidental-prosedural dijadikan prinsip, sedangkan prinsip dan kebenaran diabaikan.

    Kepentingan politis dan monopoli kebenaran oleh partai yang berkuasa telah menyebabkan lemahnya komitmen terhadap Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai filsafat dasar kehidupan kenegaraan serta sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa. Pembenaran diri dan ketidakmauan rezim untuk mengakui kesalahan menimbulkan gejala pensakralan terhadap kekuasaan yang berdampak pada berkembangnya perasaan pesimisme, apatisme dan mutual distrust di kalangan masyarakat luas. Bahkan sistem politik yang saat ini cenderung berkembang ke arah paham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia.

    Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan

    sebagai kebebasan tanpa batas, hak asasi manusia (HAM) sering keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya paham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat saat ini, di mana konstelasi politik nasional serba tidak jelas dan para elite politik tampaknya hanya memikirkan kepentingan diri dan kepentingan kelompoknya semata.

    Dunia kini tengah mengalami perubahan drastis dengan berbagai kemajuan dan pergeseran landscape global, baik di bidang ideologi, ekonomi, politik maupun

    Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, sehingga berbagai perundangan dan peraturan baik di pemerintah maupun pemerintahan daerah seharusnya tidak boleh keluar dari koridor Pancasila

    dan UUD 1945. Namun demikian, sampai sejauh ini masih banyak perundangan yang tidak mengedepankan nilai-nilai sebagaimana terkandung dalam

    Pancasila dan UUD 1945. Bahkan uji materiil perundangan di Mahkamah Konstitusi hanya diuji pada batang tubuh (pasal-pasal) tetapi tidak diuji dari

    Pembukaan UUD 1945.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012106

    pertahanan keamanan. Berbagai perubahan yang terjadi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat perubahan tersebut mengandung kekuatan besar, baik accumulative strategy maupun penetrasi budaya yang menyangkut tata nilai, sikap dan tingkah laku.

    Bagi bangsa Indonesia yang membangun bangsa dan negara dengan kekuatan dan kepribadian sendiri, berbagai perubahan tersebut harus dapat direspons dan disikapi secara bijak dengan mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sehingga berbagai perubahan yang terjadi tidak berkecenderungan mengarah pada westernisasi atau kebarat-baratan.

    Dalam arus globalisasi saat ini, di mana tidak ada lagi batas-batas yang jelas antar setiap bangsa di dunia, bangsa Indonesia harus membuka diri. Dahulu, sesuai dengan sikap dasarnya, rakyat Indonesia dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya Hindu, Islam serta masuknya kaum Barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme.

    Pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk terulang kembali. Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Globalisasi atas penguasaan politik dan ekonomi oleh pihak asing akan berdampak sama seperti halnya penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan.

    Bangsa Indonesia sekarang ini, mau tak mau dan suka tidak suka, harus hidup dan berada di antara pusaran arus globalisasi dunia, namun demikian jati diri bangsa harus tetap dapat dipertahankan. Sehingga berbagai perubahan yang terjadi harus dapat dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern, di mana dengan kepribadiannya sendiri bangsa Indonesia harus berani dan mampu menyongsong serta memandang pergaulan dunia.

    Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain. Untuk itu, hal yang terpenting adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap.

    Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Namun demikian yang menjadi salah satu persoalannya adalah kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justru cenderung menjadikan jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir.

    Merujuk dari berbagai hal sebagaimana diuraikan di atas, semakin jelas bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting dalam menjaga eksistensi kepribadian bangsa Indonesia. Indonesia sebagaimana negara-negara lain di dunia sangat memerlukan ideologi sebagai pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, bangsa Indonesia mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi.

    Data dan Fakta

    Secara ideologis Pancasila telah dilegitimasikan sebagai dasar negara dan ideologi nasional, namun masih terdapat dua kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki, yaitu belum terdapatnya pemahaman yang sama tentang kandungan nilai Pancasila serta keterkaitannya dengan kebijakan dan strategi nasional, baik di kalangan para pemimpin maupun di kalangan rakyat banyak dan belum terwujudnya kondisi kehidupan

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 107

    bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; dan masih adanya kesenjangan antara idealisme yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan realita kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, sehingga berbagai perundangan dan peraturan baik di pemerintah maupun pemerintahan daerah seharusnya tidak boleh keluar dari koridor Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, sampai sejauh ini masih banyak perundangan yang tidak mengedepankan nilai-nilai sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Bahkan uji materiil perundangan di Mahkamah Konstitusi hanya diuji pada batang tubuh (pasal-pasal) tetapi tidak diuji dari Pembukaan UUD 1945. Alhasil Pancasila sebagai pusat kekuatan kurang berdampak pada kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan.

    Kalangan pembentuk dan penegak hukum terkesan sangat dikuasai oleh aliran legalistik, yang hanya memperhatikan aspek formal berupa pasal-pasal undang-undang dan mengabaikan aspek material hukum, yaitu keadilan sosial, yang berakibat teramat seringnya undang-undang yang telah diundangkan selain diajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi juga telah menimbulkan rangkaian protes dan demonstrasi di tengah-tengah masyarakat.

    Sejak tahun 1967 terdapat kesan bahwa perundang-undangan nasional telah dipengaruhi oleh pola pikir liberalisme dan atau neoliberalisme, yang selain mengabaikan perananp dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, juga memberi peluang bagi penguasaan sumber daya alam bagi kepentingan asing. Belum ada Undang-undang lembaga kepresidenan yang mengatur hubungan struktural dan fungsional antara presiden dan wakil presiden dengan seluruh jajaran cabang eksekutif pemerintahan, serta

    dengan lembaga-lembaga negara lainnya, sehingga lemahnya koordinasi pemerintahan selalu merupakan masalah berlarut yang sangat merugikan.

    Sampai saat ini masih belum terdapat keselarasan dan kesamaan paham tentang paradigma Pancasila yang akan dianut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, antara lain: (1) paradigma Soekarno yang pada tahun 1960-an memberi tempat bagi paham Marxisme-Leninisme/Komunisme5; (2) paradigma Notonagoro yang bersifat hierarkis-piramidal, dengan sila pertama pada puncak tertinggi; atau (3) paradigma Soeharto yang selain menitikberatkan pada penghayatan dan pengamalan sila-sila Pancasila tersebut secara perseorangan (36 butir P4) juga mengaitkan Pancasila dengan proses pembangunan nasional (Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan).

    Jajak pendapat yang dilaksanakan oleh Litbang Kompas terhadap 860 responden di sepuluh kota di Indonesia mendapatkan hasil bahwa mayoritas responden (79,8 persen) menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat; sebanyak 90,8 persen hanya hapal sila pertama; 27,8 persen lupa isi sila kedua; 23,8 persen lupa sila ketiga dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat serta mayoritas responden sepakat bahwa Pancasila tetap menjadi landasan terbaik bagi berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen) menyatakan bahwa Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan bahwa Pancasila sebagai landasan terbaik bagi bangsa ini.

    Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, rangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparatur negara, baik hak asasi manusia secara perseorangan

    5) Perlu diperhatikan bahwa sejak zaman kepresidenan KH Abdurrahman Wahid sampai sekarang ada upaya berkelanjutan untuk mencabut Keputusan MPRS Nomor TAP-XXV/MPRS/1966 tentang larangan terhadap Marxisme-Leninisme/Komunisme/Maoisme. Bersamaan dengan itu putra-putri eks anggota-anggota Partai Komunis Indonesia sudah mulai aktif menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan sebagai pimpinan di partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Bagaimana perkembangannya ke masa depan khususnya terhadap kemungkinan meluasnya pengaruh ideologi radikalisme global pada tataran kenegaraan masih perlu dikaji.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012108

    maupun hak asasi manusia secara kolektif, telah ikut menyebabkan menurunnya semangat nasionalisme bangsa, khususnya di daerah-daerah di mana telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat berlarut, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua6.

    Sejauh ini masih terdapat beberapa pola pikir dan praktik yang tidak sesuai dengan semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, antara lain adalah masih adanya pola pikir yang memandang dunia sebagai suatu ajang pertentangan kelas dan pertarungan bebas yang tidak mengenal kompromi seperti paham marxisme-leninisme dan anarkisme, serta paham liberalisme dan neo-liberalisme; pola pikir yang tidak memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang utuh sebagaimana yang diajarkan oleh paham federalisme; pola pikir tentang ajaran suatu agama adalah satu-satunya tafsiran yang benar sebagaimana diajarkan oleh paham fundamentalisme agama dan terorismel; pola pikir untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak buruknya terhadap keseluruhan semangat

    dan negara kebangsaan seperti paham yang mengajarkan dan mempraktikkan eksklusivisme ekonomi, praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme); berbagai praktik pelanggaran hak asasi manusia, praktik pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengacuhkan semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang 1945, seperti timbulnya berbagai peraturan daerah yang bersifat diskriminatif maupun tumbuhnya paham liberalisme dan atau neoliberalisme, praktik pengabaian rasa keadilan rakyat dalam penegakan hukum dan praktik kehidupan berpolitik yang terkesan bertujuan untuk mencari dan memanfaatkan kekuasaan bagi kelompok elite yang bersangkutan dan menjadikan rakyat sekadar objek belaka.

    Telah terdapat usaha sistematis dan berkelanjutan untuk mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor TAP-XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia; Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan

    6) Dalam jajak pendapat tahun 1999, rakyat eks Provinsi Timor Timur telah memilih untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia dan telah mendirikan Republik Timor Leste.

    Foto: http://tinyurl.com/bmozcac

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 109

    untuk Penyebaran dan Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Baik secara langsung maupun secara langsung upaya sistematis dan berkelanjutan ini membuka peluang bagi pola pikiran serta perbuatan yang menoleransi pertentangan kelas dan revolusi permanen yang secara ideologi bertentangan dengan idealisme kebersamaan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    Perlu diperhatikan bahwa setelah dibubarkannya BP-7 Pusat dan dihentikannya program penataran P4 pada tahun 1998, dan tidak atau belum dibentuknya sebuah lembaga pengganti sebagaimana dikehendaki oleh MPR RI, maka proses pengkajian terhadap Pancasila telah jauh merosot. Hal tersebut terlihat, antara lain, pada relatif minimnya tulisan-tulisan tentang Pancasila dibandingkan dengan tentang ideologi lain. Kuliah-kuliah ke-Pancasila-an sebagai bentuk diseminasi Pancasila yang masih diberikan pada berbagai perguruan tinggi lebih banyak bersifat historis dan deskriptif sehingga kehilangan maknanya sebagai ideologi yang akan menjadi rujukan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat indikasi yang jelas bahwa baik para mahasiswa maupun para dosen tidak bergairah mempelajari Pancasila.

    Penganut ideologi radikalisme global khususnya yang menganut aliran fundamentalisme agama telah menjadikan wilayah Indonesia untuk mencari pengikut baru dan melancarkan aksi-aksi teror, baik terhadap sasaran-sasaran asing maupun terhadap masyarakat Indonesia sendiri. Ideologi radikalisme global yang bermotifkan keagamaan terlihat masih mempunyai daya tarik dan masih mampu menarik rekrutan baru di kalangan kaum muda dengan semangat yang bersedia untuk mengorbankan nyawanya, antara lain dengan mengaitkannya dengan konsep jihad dalam

    agama Islam.

    Masyarakat Indonesia terkesan bukan saja belum waspada terhadap ideologi radikalisme global tersebut, tetapi juga terkesan masih memberikan perlindungan terhadap para pegiatnya dari kejaran aparatur keamanan. Ada tiga hal yang menarik dalam ideologi radikalisme global yang bermotifkan konsep jihad dalam agama Islam yang marak pada dasawarsa ini, yaitu:

    1) Agama Islam sendiri pada dasarnya mengajarkan perdamaian dan toleransi dan juga mengajarkan bahwa membunuh diri atau membunuh orang lain yang tidak berdosa adalah suatu dosa besar. Dengan demikian maka ada peluang untuk meniadakan dari ideologi radikalisme global ini sejak dari akar ajarannya yang paling dasar, dengan menyatakannya sebagai tidak sah menurut ajaran agama Islam. Hal ini sudah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia7.

    2) Walaupun demikian, juga ada pokok-pokok ajaran Islam yang membenarkan dilancarkannya tindakan kekerasan terhadap musuh Islam, khususnya dalam keadaan perang atau dalam wilayah perang, yang disebut sebagai jihad.

    3) Dewasa ini, para penganut ideologi radikalisme global dalam bentuk jihad tersebut mengaitkannya secara khusus pada dua isu sentral, yaitu (1) keberpihakan Amerika Serikat secara terus-menerus kepada Israel, yang dipandang sebagai agresor yang menduduki wilayah negara-negara Arab, dan (2) diskriminasi dan tekanan berlanjut yang dialami oleh migran dari kawasan Timur Tengah dan Asia di negara-negara Eropa Barat.

    Dengan kata lain, ideologi radikalisme global ini lebih merupakan reaksi terhadap

    7) Lihat dua penerbitan penting mengenai masalah ini, yaitu: 1) Majelis Ulama Indonesia: Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Terorisme (2005) dan 2) Tim Penanggulangan Terorisme melalui Pendekatan Ajaran Islam: Meluruskan Makna Jihad Mencegah Terorisme (2006, 2007). Jauh sebelum itu, dalam rangka menghadapi aksi-aksi radikal domestik yang berlangsung sekitar tahun 1997-1998, pada tahun 1998 Komando Wilayah Pertahanan II Jawa Madura sudah mengadakan kajian mengenai cara menghadapi aksi-aksi radikalisme yang bermotifkan keagamaan Islam ini, membahas masalah komunikasi dengan umat Islam. Hasil kajian ini telah dilaporkan kepada Departemen Pertahanan Keamanan, yang langsung mengesahkannya. Lihat Surat Keputusan Departemen Pertahanan-Keamanan Nomor Skep/459/IV/1981 Tanggal 28 April 1981 tentang Pengesahan Pedoman Komunikasi dengan Umat Islam, ditandatangani oleh Wapangab Laksamana TNI Sudomo.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012110

    suatu kebijakan politik negara terhadap suatu kelompok yang termarginalisasikan, yang selain dipandang tidak adil juga telah menimbulkan dendam kesumat.

    Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, terdapat kecenderungan bahwa masyarakat Indonesia telah terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan baik etnik, agama, ideologi maupun kelompok. Kondisi tersebut sangat memengaruhi bahkan menghambat proses integrasi dan pembangunan nasional. Salah satu dampak negatif dari feformasi nasional adalah mengemukanya konflik sebagai akibat dari fenomena kebebasan yang seolah tanpa batas. Kondisi tersebut juga telah melemahkan segenap komponen kekuatan bangsa dalam upaya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Dinamika globalisasi di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi yang begitu pesat dan borderless, semakin membuka

    peluang bagi tumbuh dan berkembangnya ideologi radikalisme khususnya pada generasi muda. Selain itu, generasi muda saat ini juga diperhadapkan pada perasaan anomali terhadap Pancasila, di mana paradigma Pancasila sampai sejauh ini belum menjawab akan freedom from poverty (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari ketakutan) dan freedom to live in dignity (kebebasan untuk hidup bermartabat).

    Globalisasi telah menarik sebagian dari kedaulatan bangsa-bangsa dan menciptakan tekanan baru bagi otonomi lokal yang berdampak pada melemahnya otoritas negara sehingga menjadi sasaran empuk dari penetrasi fundamentalisme pasar. Globalisasi menjadi kendaraan emas bagi liberalisasi perdagangan dan investasi yang bisa

    melemahkan ketahanan ekonomi nasional seraya menguatkan kesenjangan sosial sehingga semakin mempertinggi tingkat kesenjangan sosial, ketidakadilan sosial dan kemiskinan masyarakat, yang pada akhirnya membuka peluang bagi masuknya ideologi radikalisme.

    Secara geostrategi dan geopolitik posisi Indonesia terletak pada jalur yang strategis bagi lalu lintas arus deras kebudayaan dengan berbagai faktor baik positif maupun negatif yang dapat berakibat pada terbentuknya tata hidup masyarakat dalam ketimpangan di mana yang kaya semakin kaya dan yang berkuasa baik secara ekonomi maupun politik semakin meminggirkan yang tidak berdaya, dan pada akhirnya memunculkan aspek kerentanan permasalahan sosialitas, fundamentalitas maupun radikalitas.

    Faktor yang Memengaruhi

    a. Gleobal

    Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989 dan menjadi moderatnya Republik Rakyat Cina menyebabkan aksi kekerasan yang bermotif paham Marxisme-Leninisme pada tataran global telah jauh berkurang. Munculnya berbagai aksi radikalisme global yang bersifat aktual dan potensial pada saat ini justru muncul dari paham fundamentalisme agama yang antara lain dikendalikan oleh jaringan Al Qaeda, yang kelahirannya secara historis terkait dengan kebencian terhadap peranan Amerika Serikat di dunia Arab pada umumnya, dan dalam konflik teritorial antara bangsa Palestina dan negara Israel pada khususnya.

    Seluruh jejaring Al Qaeda ini menjadikan Amerika Serikat serta

    Penganut ideologi radikalisme global khususnya yang menganut aliran fundamentalisme agama telah menjadikan wilayah Indonesia untuk mencari

    pengikut baru dan melancarkan aksi-aksi teror, baik terhadap sasaran-sasaran asing maupun terhadap masyarakat Indonesia sendiri.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 111

    sekutu-sekutunya sebagai sasaran aksi teror, seperti serangan terhadap the Twin Towers di New York pada tanggal 9 September 2001. Tindak radikalisme juga muncul dalam bentuk konflik antarnegara, sebagaimana yang terjadi di Palestina, di mana dalam konflik teritorial tersebut Israel didukung penuh oleh Amerika Serikat dalam berbagai aspek, baik aspek politik, ekonomi maupun militer.

    Dukungan secara berkelanjutan oleh Amerika Serikat ini disebabkan oleh kenyataan bahwa lobi Israel yang amat kuat telah menguasai hampir seluruh kehidupan politik, ekonomi serta media massa di Amerika Serikat. Bahkan secara praktis dapat dikatakan bahwa tidak mungkin seorang calon presiden Amerika Serikat akan terpilih jika calon tersebut tidak memberikan dukungan penuh kepada Israel. Dengan demikian dukungan Amerika Serikat terhadap Israel akan terus berlangsung di masa mendatang terlepas siapapun yang akan menjadi presiden.

    Konfik teritorial antara bangsa Palestina dan negara Israel pada dasarnya bukanlah masalah agama. Akan tetapi pertarungan yang bersifat asimetris tersebut telah menimbulkan simpati dan rasa solidaritas kaum muslimin di seluruh dunia termasuk di Indonesia terhadap bangsa Palestina yang dipandang sama dan sebangun dengan umat Islam. Ideologi radikalisme global tersebut dengan mudah tersebar melalui teknologi informasi yang dengan cepat dan mudah dapat diakses oleh setiap orang. Pada perkembangan selanjutnya, muncullah berbagai strategi untuk merekrut anggota-anggota baru guna melakukan berbagai tindakan radikalisme. Hal itu sebagai bentuk perjuangan yang dikemas dalam bentuk jihad.

    Dalam bidang perekonomian, terdapat kelemahan sistemik yang bersifat mendasar pada sistem finansial dan perbankan dunia oleh karena berdasar perjanjian Bretton Woods

    (1944) jaminan emas terhadap mata uang dolar telah dihapuskan, dan sebagai gantinya telah dipergunakan mata uang kertas yang penggunaannya hanya berdasar kepercayaan saja (fiat money).

    Seluruh sistem finansial dan perbankan dunia yang mempergunakan fiat money ini dikendalikan oleh the International Monetary Fund (IMF) dan the World Bank yang dalam kebijakan kreditnya tidak selalu menguntungkan negara-negara yang sedang berkembang dan sangat rentan terhadap aksi

    spekulasi para spekulan yang dapat meruntuhkan sistem keuangan dan perbankan dengan sekejap mata. Selain itu landscape perekonomian dunia juga diwarnai dengan dinamika tumbuhnya perdagangan bebas yang mengandung kemungkinan penunggang bebasnya (free-rider) tersendiri.

    Beberapa institusi yang didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk tujuan sebaliknya, sebagaimana juga IMF dan World Bank

    Dinamika globalisasi di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi yang begitu pesat dan borderless, semakin membuka

    peluang bagi tumbuh dan berkembangnya ideologi radikalisme

    khususnya pada generasi muda. Selain itu, generasi muda saat ini juga diperhadapkan pada perasaan

    anomali terhadap Pancasila, di mana paradigma Pancasila sampai

    sejauh ini belum menjawab akan freedom from poverty

    (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari ketakutan) dan freedom to live in dignity (kebebasan untuk hidup

    bermartabat).

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012112

    yang telah menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan privatisasi serta mendorong kebijakan negara yang berbasis neoliberalisme. Kebijakan pro-neoliberalisme terasa sekali pemaksaannya melalui LoI Indonesia dengan IMF yang secara mendalam memengaruhi kebijakan dan administrasi publik lewat penyusunan dan perubahan perundang-undangan. Hal ini membuat pemerintah dan persoalan hajat hidup orang banyak semakin dikontrol oleh dikte-dikte kekuatan korporasi internasional.

    b. Regional

    Pada ranah regional Asia, perkembangan yang menonjol saat ini adalah pertumbuhan China dan India yang menjadi salah satu kekuatan baru di kawasan Asia, baik dari segi ekonomi, politik maupun militer. Pada masa lalu keberadaan China identik dengan pengaruh pengembangan paham komunisme, sehingga hubungan bilateral dengan China pernah terputus. Namun begitu perkembangan China dan India secara ideologi sampai sejauh ini belum berindikasi memengaruhi surutnya kondisi stabilitas Indonesia. Meski demikian berbagai isu pelanggaran hak asasi manusia, isu lingkungan hidup maupun berbagai peristiwa tindak radikal di kedua negara harus menjadi sorotan tersendiri bagi bangsa ini, sehingga ke depan tidak berimplikasi pada Indonesia.

    Hal ini dikarenakan etnik kedua negara tersebut banyak yang tinggal di Indonesia dengan tingkat perekonomian yang cukup memadai. Memanasnya kondisi keamanan Korea Utara dan Korea Selatan sebagai implikasi adanya benturan kepentingan nasional masing-masing negara secara tidak langsung berinterelasi dengan perkembangan lingkungan strategis kawasan termasuk Indonesia.

    Dalam ranah regional ASEAN, berbagai linkage kerja sama terus diupayakan melalui ASEAN Community dengan pilar ASEAN Security Community,

    ASEAN Economic Community dan ASEAN Social and Cultural Community. Kerjasama tersebut merupakan bentuk integrasi negara-negara di Asia Tenggara yang dibangun secara evolusioner dan fleksibel berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan ASEAN sesuai dengan Deklarasi Bangkok 1967 serta code of conduct hubungan antar anggotanya yang tercantum dalam Traktat Kerjasama dan Persahabatan 1976.

    Dengan ditandatanganinya the Asean Charter pada tahun 2007, telah terdapat kerangka kelembagaan kerja sama dalam pembentukan Komunitas Politik-Keamanan; Komunitas Sosial-Budaya dan Komunitas Ekonomi. Namun demikian, berbagai permasalahan di antara negara-negara anggota ASEAN masih banyak yang belum terselesaikan dan strategi penguatan ketahanan dan pertahanan setiap negara anggota, baik melalui militer maupun nonmiliter terus saling dikembangkan.

    Berbagai persoalan internal anggota ASEAN seperti sengketa perbatasan, perjanjian ekstradiksi, pekerja migran maupun berbagai tindak radikalisme global masih menjadi permasalahan yang sering mengemuka. Berbagai tindak radikalisme global yang terjadi di berbagai negara anggota ASEAN belum sepenuhnya dapat ditangani secara optimal dengan melibatkan kerja sama antaranggota ASEAN.

    Nasional

    Fenomena yang terjadi secara umum di masyarakat bahwa terdapat sikap ambivalen yang meluas terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai ideologi nasional, yaitu menghormati Pancasila secara konseptual, tetapi mengabaikannya dalam kenyataan. Sikap ambivalen tersebut bahkan juga telah merasuk dalam sendi-sendi beberapa pemangku kebijakan yang seharusnya menjadi panutan dan keteladanan bagi masyarakat.

    Keberadaan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pengacara dan lembaga pemasyarakatan)

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 113

    telah banyak mengalami krisis kewibawaan yang parah di dalam masyarakat, oleh karena telah terbukti secara meyakinkan bahwa tidak satu pun yang kebal terhadap suap.

    Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional, telah terabaikan oleh kepentingan kelompok maupun golongan, sehingga berbagai perundangan banyak yang tidak lagi mengedepankan aspek nilai-nilai yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945. Kehidupan perekonomian belum dirancang dan belum dioperasikan sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, tetapi tunduk sepenuhnya pada hukum permintaan dan penawaran pasar bebas. Hukum pasar bebas ini selain menafikan peranan pemerintah dalam bidang ekonomi juga mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

    Biaya pendidikan dan pemeliharaan kesehatan juga dihitung berdasar prinsip permintaan dan penawaran dari pasar bebas. Hal ini telah menyebabkan fasilitas pendidikan dan pelayanan kesehatan lebih berpihak pada sekelompok kecil penduduk yang kaya dan mengabaikan aspirasi dan kepentingan sebagian besar rakyat yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

    Berbagai aksi terorisme yang telah berhasil ditumpas gembong-gembongnya ternyata belum berhasil memangkas sampai akar-akarnya yang terus tumbuh dan berkembang di masyarakat. Mayoritas aksi terorisme dilakukan berdasarkan atas keyakinan keagamaan yang sangat fundamental yang menganggap bahwa teror yang mereka lakukan dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah adalah absah menurut ajaran jihad dalam agama Islam.

    Dalam penanganan berbagai tindak radikalisme global, pemerintah masih diperhadapkan pada kondisi belum adanya Dewan Keamanan Nasional sebagai lembaga negara yang membantu presiden dalam merumuskan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan terpadu dalam bidang keamanan dalam arti yang luas. Belum terbentuknya lembaga tersebut dalam jangka menengah dapat berdampak pada timbulnya kesimpang-siuran kebijakan dalam bidang keamanan nasional, yang dapat dimanfaatkan oleh

    aksi-aksi radikalisme global dengan indikasi antara lain tingkat kewaspadaan rakyat dalam menghadapi ancaman ideologi radikalisme global sangat rendah terutama di daerah perbatasan, dan tingkat kriminalitas cenderung meningkat, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat transnasional, seperti pencucian uang, trafficking, dan narkoba.

    ANALISIS DAN UPAYA

    Kekuatan atau kelemahan suatu ideologi terletak pada dua aspek, yaitu aspek internal berupa koherensi dan konsistensinya ke dalam, serta pada aspek eksternal, yaitu kemampuannya untuk mewujudkan janji-janji yang terkandung dalam sistem nilainya. Ideologi yang mempunyai kesenjangan antara kedua aspek ini secara pelahan-lahan akan kehilangan relevansi. Aspek internal ideologi Marxisme-Leninisme jauh lebih kuat daripada aspek eksternalnya, sehingga walaupun mampu membangun negara yang kuat dengan dukungan polisi rahasia dan kekuatan militer, seperti di bekas Uni Soviet namun tetap runtuh dari dalam oleh karena proses pembusukan dan oleh karena tidak mampu bersaing dengan negara lain.

    Pengalaman pahit bekas Uni Soviet ini

    Fenomena yang terjadi secara umum di masyarakat bahwa terdapat sikap

    ambivalen yang meluas terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan

    sebagai ideologi nasional, yaitu menghormati Pancasila secara

    konseptual, tetapi mengabaikannya dalam kenyataan. Sikap ambivalen

    tersebut bahkan juga telah merasuk dalam sendi-sendi beberapa

    pemangku kebijakan yang seharusnya menjadi panutan dan keteladanan

    bagi masyarakat.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012114

    dimanfaatkan oleh Republik Rakyat Cina dengan memperbaiki aspek eksternalnya dan mengkompromikan aspek internalnya. Baik pada aspek internal maupun pada aspek eksternal, ada tidaknya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat merupakan faktor penentu dari relevansi ideologi serta kewibawaan pemerintah.

    Setiap dasar negara dan setiap ideologi yang dilembagakan dalam wadah kenegaraan menjadikan dasar negara dan ideologi tersebut sebagai kerangka referensi bagi seluruh kegiatan bermasyarakat dan para pemangku kebijakan yang harus selalu mengutamakan kepentingan nasional baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Ditinjau dari perspektif aspek internal dan aspek eksternal ideologi tersebut di atas, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional berada pada posisi yang rentan. Selain itu eksistensi Pancasila juga semakin diuji dengan semakin tumbuh dan berkembangnya ideologi radikalisme global.

    Analisis Strategis

    a. Ideologi Pancasila

    Pancasila yang telah dilegitimasikan sebagai sebagai dasar negara dan ideologi nasional semestinya menjadi rujukan dalam segala bentuk perundangan maupun rujukan bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat dalam bertindak, sehingga tidak terjadi resistensi antara idealisme yang terkandung dalam sila Pancasila, UUD 1945 dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai pasal dalam perundangan yang tidak seiring dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 telah menimbulkan serangkaian kegelisahan dan protes dari masyarakat. Berbagai resistensi yang terjadi tersebut jika dibiarkan akan berdampak pada terjadinya pergeseran ke arah degradasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

    Dari berbagai jajak pendapat yang dilakukan berbagai kalangan dalam waktu yang berbeda-beda, ternyata

    Pancasila masih mendapatkan dukungan yang kuat dari mayoritas bangsa Indonesia. Dukungan yang kuat ini harus dipertahankan dan diperkuat dengan mengembangkan kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya serta kondisi pertahanan keamanan yang akan mengukuhkan dukungan itu.

    Empat tugas pemerintah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terkait dengan kedaulatan rakyat dan Pancasila-yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dasar Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial belum terlaksana secara optimal.

    Fundamentalisme agama yang merupakan salah satu bagian dari ideologi radikalisme global sangat berpotensi mengancam eksistensi Pancasila. Walaupun mayoritas umat Islam Indonesia mendukung Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun dukungan mayoritas umat Islam ini belum dilibatkan secara optimal dan melembaga dalam upaya penangkalan, pencegahan, serta penanggulangan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung

    Dari berbagai jajak pendapat yang dilakukan berbagai kalangan dalam waktu yang berbeda-beda, ternyata

    Pancasila masih mendapatkan dukungan yang kuat dari mayoritas bangsa Indonesia. Dukungan yang kuat ini harus dipertahankan dan

    diperkuat dengan mengembangkan kondisi sosial politik, sosial

    ekonomi, sosial budaya serta kondisi pertahanan keamanan yang akan

    mengukuhkan dukungan itu.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 115

    ideologi radikalisme global ini.

    b. Politik

    Pelaksanaan reformasi tanpa suatu grand design sejak tahun 1998 terkesan hanya berhasil dalam melakukan pergantian kepemimpinan politik dan pemerintahan, kebebasan pers yang semakin luas serta jaminan formal terhadap hak asasi manusia, tetapi belum banyak berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Walaupun demikian, bentuk negara kesatuan serta sistem pemerintahan demokrasi presidensial memberi peluang kepada presiden Republik Indonesia untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan terhadap kelemahan kinerja pemerintah melalui reformasi birokrasi pemerintahan yang mampu merancang, mengorganisasi, melaksanakan serta mengendalikan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat strategis dan berjangka panjang.

    Era reformasi yang ditandai dengan berbagai pergeseran dan perubahan termasuk bertambahnya jumlah partai politik yang sangat banyak serta dianutnya sistem pemilihan presiden, gubernur, bupati dan wali kota secara langsung, sampai sejauh ini belum optimal dalam meningkatkan kualitas dalam proses pemerintahan. Namun demikian harus diakui bahwa reformasi tersebut juga membawa berbagai dampak positif, di antaranya semakin adanya ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan semakin banyaknya rangkaian kasus korupsi di kalangan aparatur penegak hukum yang terungkap.

    Walaupun pemberantasan korupsi merupakan kebijakan yang mendasar untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan berwibawa, namun kenyataan menunjukkan bahwa belum terdapat dukungan yang kukuh untuk berfungsinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara optimal. Kemerosotan wibawa hukum serta aparatur penegak hukum harus diimbangi oleh sosialisasi kesadaran hukum ke kalangan

    masyarakat serta penindakan tegas terhadap aparatur penegak hukum yang telah menyalahgunakan jabatan dan wewenangnnya.

    Negara mengakui kemajemukan masyarakat Indonesia, namun belum ada upaya sistematis untuk mengkaji sistem nilai serta struktur kelembagaan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut, serta upaya terencana untuk mewadahi aspirasi dan kepentingan mereka dalam kebijakan pemerintahan. Di beberapa daerah masih banyak terdapat perspektif bahwa aspirasi dan kepentingannya telah terabaikan oleh pemerintah pusat.

    c. Ekonomi

    Kebijakan ekonomi Indonesia sejak tahun 1967 bertumpu pada aspek fiskal dan moneter serta ekonomi makro yang dipengaruhi oleh the International Monetary Fund dan the World Bank, yang ternyata masih terkesan mengabaikan sektor riil. Sebagai akibat dari kebijakan ekonomi tersebut, sumber daya alam dan lingkungan telah mengalami kerusakan yang amat parah dan sebagian besar telah dikuasai oleh pihak asing untuk jangka waktu yang lama. Kemerosotan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan ini telah mengakibatkan terjadinya berbagai bencanan alam seperti kekeringan, banjir atau longsor.

    d. Sosial Budaya

    Untuk melaksanakan salah satu tugas konstitusional pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Undang-Undang Dasar 1945 telah menetapkan bahwa 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dialokasikan untuk bidang pendidikan. Namun demikian, dalam waktu yang bersamaan telah dianut asas bahwa biaya pendidikan harus dipikul oleh masyarakat yang diartikan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran, sehingga anak-anak dari kalangan yang berpendapatan menengah dan rendah mengalami kesukaran untuk melanjutkan

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012116

    pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.

    Teknologi informasi telah menyebabkan terbukanya akses langsung terhadap unsur-unsur sosial budaya asing yang langsung atau tidak langsung telah mengakibatkan perubahan sosial budaya di daerah-daerah yang dapat berdampak positif maupun negatif di mana jalur teknologi tersebut juga digunakan oleh para pendukung ideologi radikalisme radikal.

    e. Pertahanan dan Keamanan

    Sejak dilancarkannya gerakan reformasi pada tahun 1998, seiring dengan kuatnya tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI, telah terjadi kemerosotan perhatian yang luar biasa terhadap masalah pertahanan dan keamanan. Bidang pertahanan dan keamanan dipandang sebagai masalah militer dan kepolisian belaka. Fungsi teritorial Tentara Nasional Indonesia, khususnya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, yang secara doktrin termasuk dalam tugas pertahanan, telah disamakan dengan fungsi sosial politik ABRI, dan dituntut untuk dihapuskan. Dengan demikian, telah terbuka peluang besar bagi para pendukung ideologi radikalisme global untuk menanamkan

    pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat.

    Dengan belum terbentuknya Dewan Pertahanan Nasional dan/atau Dewan Keamanan Nasional yang beranggotakan pejabat tinggi negara dan unsur-unsur masyarakat, maka presiden tidak dapat memperoleh masukan analisis intelijen yang bersifat komprehensif tentang ancaman ideologi radikalisme global serta saran kebijakan yang mendasar untuk menangkal, mencegah serta menanggulanginya. Operasi pemberantasan terorisme secara taktis belaka ternyata bukan merupakan jawaban yang efektif terhadap ancaman

    ideologi tersebut.

    Upaya

    a. Memperkokoh Nilai-nilai Pancasila

    1) Upaya terpenting dalam memperkokoh nilai-nilai Pancasila adalah dengan membuktikan dalam kenyataan bahwa pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasar Pancasila telah membawa rasa aman dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    2) Sesuai dengan dasar kedaulatan rakyat yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945, pada setiap upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan, rakyat perlu diberi kebebasan untuk menilai dan mengkritisi pelaksanaan kinerja penyelenggara negara dalam melaksanakan empat tugas pokoknya menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    3) Oleh karena republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut sistem pemerintahan demokrasi presidensial, maka

    Foto: http://tinyurl.com/c2ked3d

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 117

    presiden republik Indonesia adalah penyelenggara negara yang mempunyai peranan sentral dalam memperkokoh nilai-nilai Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, baik secara konseptual maupun dalam pelaksanaannya.

    4) Agar presiden republik Indonesia dapat menunaikan tugas ideologis dan tugas konstitusionalnya itu secara efektif dan efisien, presiden republik Indonesia perlu dibantu oleh sebuah lembaga staf umum pendukung yang mampu memantau, mendorong, mengawasi, serta mengarahkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah terwujudnya semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    5) Dalam kantor kepresidenan perlu dibentuk sebuah staf kepresidenan yang secara berkelanjutan mengkaji aspek ideologis dari kebijakan pemerintahan dan memberi masukan kepada presiden republik Indonesia tentang rancangan undang-undang.

    6) Dalam proses pembentukan undang-undang oleh dewan perwakilan rakyat RI dan oleh pemerintah, wajib disusun naskah akademik yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi ideologis dan konstitusional.

    7) Terhadap undang-undang yang sudah ada perlu dilakukan pengkajian terhadap keabsahan ideologisnya berdasar semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    8) Dalam pengujian materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, mahkamah konstitusi selain merujuk pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 juga harus merujuk pada semangat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

    b. Memantapkan Semangat Kebangsaan dan

    Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an

    1) Perlu dilanjutkan pengkajian terhadap sejarah, sistem nilai, struktur sosial serta aspirasi dan kepentingan dari 1.072 suku bangsa Indonesia yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, sebagai latar belakang kultural mendasar dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara.

    2) Untuk menjamin semangat ke-Indonesia-an dalam proses pembentukan rancangan undang-undang dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara, perlu diberikan kewenangan yang seimbang antara dewan perwakilan rakyat RI yang beranggotakan partai politik yang mempunyai struktur internal yang bersifat sentralistik dengan dewan perwakilan daerah RI yang mewakili daerah-daerah pemilihan berdasar prinsip teritorial.

    3) Untuk memantapkan semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme ke-Indonesia-an, perlu dipelajari perkembangan proses pembentukan kesadaran kebangsaan dalam menghadapi kolonialisme Belanda sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1945, serta pasang naik dan pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari pelajaran sejarah ini ditimba kearifan tentang faktor penyebab keberhasilan yang harus dimantapkan serta faktor penyebab kegagalan yang harus dihindari.

    4) Perlu direncanakan agar para pelajar sekolah lanjutan tingkat atas terpilih dapat mengalami belajar selama satu tahun di luar daerahnya atas biaya negara.

    5) Para calon pemimpin yang akan berkiprah di tingkat nasional harus telah mengalami pengalaman bertugas di berbagai daerah di Indonesia di luar daerah asalnya sendiri.

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012118

    6) Sebagai lembaga pendidikan kepemimpinan nasional pada bangsa yang bermasyarakat majemuk, lembaga ketahanan nasional perlu melengkapkan sesanti pada lambang lembaga, dengan mengutip lengkap seloka Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, Tan hana Dharmma Mangrva.

    c. Menangkal Ideologi Radikalisme Global

    1) Upaya mendasar yang paling efektif untuk menangkal ideologi radikalisme global adalah dengan memperkuat ketahanan nasional dalam bidang ideologi, antara lain dengan meningkatkan relevansi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga rakyat bukan saja memahaminya secara kognitif, tetapi juga menerimanya secara afektif dan menindaklanjutinya secara psikomotoris. Dengan cara demikian, bukan saja kewibawaan Pancasila semakin meningkat oleh karena didukung oleh kenyataan, tetapi juga daya tarik ideologi radikalisme global semakin menurun.

    2) Upaya mendasar berikutnya untuk menangkal ideologi radikalisme global adalah dengan mengkaji pola pikir yang paling dalam dari ideologi radikalisme global tersebut dan membuktikan kekeliruan dan kelemahan dalil-dalil yang dianutnya, bukan saja dari aspek internal tetapi juga dari aspek eksternalnya.

    3) Upaya pencegahan yang sangat efektif dalam mencegah timbulnya minat terhadap ideologi radikalisme global adalah dengan meniadakan kondisi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ideologi tersebut, antara lain dengan menegakkan keadilan dan kebenaran, menghargai harkat dan martabat manusia, mencegah terjadinya diskriminasi dan mencegah dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran hak asasi

    manusia.

    4) Mengambil tindakan preventif serta represif yang tepat dan cepat terhadap indikasi telah adanya aksi-aksi radikalisme di dalam masyarakat.

    5) Khusus untuk menangkal ideologi radikalisme global yang terkait dengan fundamentalisme keagamaan-khususnya agama Islam-perlu difasilitasi upaya para alim ulama, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, untuk meningkatkan intensitas dakwah tentang Islam sebagai ajaran rahmat bagi seluruh alam, serta upaya deradikalisasi secara mendasar dan mendalam terhadap mereka yang pernah terlibat dalam aksi-aksi radikal.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    a. Ideologi Pancasila pada tataran implementasinya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai internal (seperti primordialisme/fanatisme kedaerahan yang sempit) dan nilai-nilai eksternal (seperti ideologi new liberal, sosio demokrat dan fundamentalisme, di mana ketiganya saling bertentangan). Nilai-nilai internal dan eksternal tersebut dapat memengaruhi eksistensi persatuan dan kesatuan bangsa.

    b. Indonesia yang memiliki keberagaman etnik dan suku bangsa (1072 etnik) dengan beragam pemikiran, keinginan dan kesenjangan perekonomian, bahkan dengan mayoritas masyarakatnya yang masih berada pada tingkat perekonomian menengah ke bawah sangat mudah dan rentan dimasuki berbagai ideologi khususnya ideologi fundamental dan radikal.

    c. Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, terdapat kecenderungan bahwa masyarakat Indonesia telah terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan baik etnik, agama,

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 119

    ideologi maupun kelompok. Kondisi tersebut sangat memengaruhi bahkan menghambat proses integrasi dan pembangunan nasional. Salah satu dampak negatif dari reformasi nasional adalah mengemukanya konflik sebagai akibat fenomena kebebasan yang seolah tanpa batas. Kondisi tersebut juga telah melemahkan segenap komponen kekuatan bangsa dalam upaya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

    d. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, sehingga berbagai perundangan dan peraturan baik di pemerintah maupun pemerintahan daerah seharusnya tidak boleh keluar dari koridor Pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, sampai sejauh ini yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan uji materiil perundangan di Mahkamah Konstitusi (MK) hanya diuji pada batang tubuh (pasal-pasal) tetapi tidak diuji dari Pembukaan UUD 1945. Alhasil Pancasila sebagai pusat kekuatan kurang berdampak pada kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan.

    e. Generasi muda saat ini diperhadapkan pada perasaan anomali terhadap Pancasila, di mana paradigma Pancasila sampai sejauh ini belum menjawab akan freedom from poverty (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari rasa ketakutan) dan freedom to live in dignity (kebebasan untuk hidup bermartabat).

    f. Dinamika globalisasi di bidang teknologi khususnya teknologi informasi yang begitu pesat dan borderless, semakin membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya ideologi radikalisme khususnya pada generasi muda.

    g. Globalisasi telah menarik sebagian dari kedaulatan bangsa-bangsa dan menciptakan tekanan baru bagi otonomi lokal, yang berdampak pada melemahnya otoritas negara sehingga menjadi sasaran empuk dari penetrasi fundamentalisme pasar. Globalisasi menjadi kendaraan emas bagi liberalisasi perdagangan dan investasi yang bisa melemahkan

    ketahanan ekonomi nasional seraya menguatkan kesenjangan sosial, sehingga semakin mempertinggi tingkat kesenjangan sosial, ketidakadilan sosial dan kemiskinan masyarakat, yang pada akhirnya membuka peluang bagi masuknya ideologi radikalisme.

    h. Perilaku dan janji-janji yang tidak dilakukan oleh para petinggi negeri ini mendorong terjadinya kesenjangan sosial dan ketidakadilan sosial yang berimplikasi terhadap terbentuknya sikap fundamentalis tertutup, sehingga mendorong munculnya radikalisme dalam masyarakat. Sebab akar masalah terjadinya radikalisme adalah perbedaan kepentingan dan tujuan ditinjau dari perspektif subjektif baik internal (sikap introvert (tertutup), fanatisme sempit, iri hati dan psikopat sehingga menafikan kondisi pihak lain karena tidak sesuai dengan tolok ukur yang bersangkutan) maupun eksternal (upaya provokatif dan adu domba dari kelompok oportunis, sebagai aktor intelektual dengan memanfaatkan kondisi kesenjangan masyarakat)

    i. Secara geostrategi dan geopolitik posisi Indonesia terletak pada jalur yang strategis bagi lalu lintas arus-arus deras kebudayaan dengan berbagai faktor baik positif maupun negatif yang dapat berakibat pada terbentuknya tata hidup masyarakat dalam ketimpangan di mana yang kaya semakin kaya dan yang berkuasa baik secara ekonomi maupun politik semakin meminggirkan yang tidak berdaya. Pada akhirnya hal ini memunculkan aspek kerentanan permasalahan sosialitas, fundamentalistas maupun radikalitas.

    Saran dan Rekomendasi

    Memperhatikan latar belakang dan permasalahan di atas, beberapa rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:

    a. Membangun kembali kesadaran para pemimpin ataupun para pemikir bangsa untuk dapat menjadi jembatan yang mampu meneruskan berbagai kepentingan bangsa yang sangat plural

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012120

    dan majemuk dengan mendasarkan pada berbagai tindakan dan kebijakan yang selaras dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

    b. Kemasan diseminasi Pancasila harus dirumuskan dengan tepat dan selaras dengan perkembangan (seperti dengan memanfaatkan teknologi informasi ataupun media), sehingga Pancasila dapat menjadi margin appreciation to stain (sebagai penjaga peradaban), integration mechanism (mekanisme pengintegrasi dalam pengembangan peradaban), basic predictability concept (sebagai determinan partikularistik yang bisa menjadi perekat national values). Dengan demikian nilai-nilai Pancasila akan mampu diterima, disadari dan diimplementasikan secara take for granted oleh berbagai kalangan masyarakat khususnya oleh para pemangku kebijakan.

    c. Mengaktualisasikan Pancasila khususnya pada generasi muda melalui kementerian pendidikan nasional dengan mengemas materi dan metode pembelajaran yang tidak bersifat indoktrinasi.

    d. Mendorong perguruan tinggi dan institusi terkait untuk meningkatkan pengkajian dan penelitian tentang Pancasila serta mendorong terwujudnya perguruan tinggi sebagai pusat pengkajian dan penelitian mengenai Pancasila.

    e. Pemerintah melalui kementerian komunikasi dan informasi perlu meningkatkan filtering terhadap globalisasi arus informasi yang dikemas dalam berbagai media, khususnya teknologi informasi (internet), untuk menangkal berbagai susupan informasi yang berbau radikalisme.

    f. Mempercepat program pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, pendidikan maupun ekonomi serta mengeliminasi jurang kesenjangan di masyarakat guna menangkal masuknya ideologi radikalisme. Sebab munculnya radikalisme dalam masyarakat merupakan efek dari sikap

    termarginalisasi ataupun teralienasinya sebagian kelompok masyarakat sehingga berujung pada fundamentalisme yang membentuk sikap tertutup.

    g. Penegasan kembali terhadap hari lahirnya Pancasila guna mengantisipasi terhadap kemungkinan pihak-pihak tertentu yang menginginkan tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila. Hal ini dikarenakan secara historis perumusan Pancasila dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tanggal 1 Juni 1945 secara individual oleh Ir. Soekarno, tanggal 22 Juni 1945 secara kelompok dan 18 Agustus 1945 secara kesepakatan bersama (konstitusional).

    h. Pemerintah melalui institusi terkait perlu menelaah secara mendalam implementasi dari berbagai kebijakan khususnya yang menyangkut pemanfaatan sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup rakyat (bumi, air, dll.) yang seharusnya dikuasai oleh negara, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3.

    i. Perlu adanya pengkajian, penelitian ataupun penyempurnaan kembali terhadap berbagai perundang-undangan agar semangat, roh, dan materi muatannya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

    j. Pancasila merupakan muara dari permata-permata budaya bangsa yang adiluhung yang harus disosialisasikan secara praksis dan membumi dalam tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    k. Pemerintah dan DPR secepatnya menetapkan pengganti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan sekaligus menentukan Lembaga sebagai pengganti BP7 lengkap dengan perundangan yang memayunginya. Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978 mengenai P4 yang telah dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII Tahun 1998 menjadikan negara seperti kehilangan arah dan pedoman dalam bertindak maupun menjalankan sistem pemerintahan. Bahkan berbagai

    Internasional

  • Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 14 | Desember 2012 121

    perundangan dan peraturan daerah (Perda) banyak yang tidak bernapaskan Pancasila dan menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat.

    l. Memanfaatkan Lemhannas RI sebagai salah satu institusi yang ikut dalam menelaah keterkaitan antara berbagai perundangan dengan Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini guna mengantisipasi terjadinya perundangan yang keluar dari koridor roh Pancasila, seperti selama ini yang terjadi di mana uji materiil perundangan di mahkamah konstitusi hanya diuji pada batang tubuh (pasal-pasal) tetapi tidak diuji dari Pembukaan UUD 1945. Alhasil Pancasila sebagai pusat kekuatan kurang berdampak pada kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan.

    m. Mengaktualisasikan dan memprofesionalkan nilai-nilai Pancasila guna terciptanya code of personal integrity melalui seleksi komponen

    yang dimulai pada ranah state actor (para pimpinan negara), private sector (pimpinan sektor swasta), mahasiswa (kurikulum perguruan tinggi) dan para pemimpin civil society. Dengan demikian akan berdampak pada multiplayer effect dalam memperkokoh pancasila.

    n. Menegakkan supremasi hukum secara konsisten terhadap para pelaku radikalisme yang merusak dan nyata-nyata melanggar hukum, mengedepankan keadilan hukum dan keadilan masyarakat tanpa diskriminatif.

    o. Mengembangkan pemahaman bahwa pluralisme kebudayaan (cultural pluralism) bagi bangsa Indonesia adalah suatu kondisi taken for granted, kelompok etnik, suku, pemeluk agama didorong untuk mengembangkan sistem budaya dalam kebersamaan guna memperkaya kehidupan masyarakat majemuk yang dimulai sejak dini dari bangku sekolah dasar.[2010]

    Internasional