Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

download Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

of 111

Transcript of Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    1/111

    Negara Hijau Ini ―Mengemis‖ Penghijauan 

    Oleh: IBNI SABIL A‘IFA ZAENAL MANAN - UNIVERSITAS INDONESIA 

    Ringkasan Esai:

    Sangat memilukan kondisi bangsa ini, semakin terdikte atau lebih tepatnya ―tertindas‖keinginan bangsa lain. Negara hijau dengan julukan populer paru-paru dunia ini sekarangdipaksa menjadi pengemis dalam penghijauan tubuhnya sendiri. Konsep REDD yang diusungmenjadi kesepakatan dunia dalam menangani perubahan iklim serta pemanasan global mulai

     berbau politik yang menyebabkan negara berkembang semacam Indonesia terus dipaksa

    ―memubadzirkan‖ buminya dengan kepentingan yang mayoritas hanya untuk bangsa-bangsamaju. Mubadzir karena saat hutan hijau kita mampu diolah dengan cermat, telah sangatcukup untuk memakmurkan rakyat pribumi.

     ————————————————— - 

    Saya sedikit akan memulai esai ini dengan cerita, cerita yang sewaktu itu saya banggakan.Pernah sewaktu saya menginjak tahun kedua berkuliah, saya mengikuti suatu forum se-Asiayang membahas mengenai karbon (sebutan untuk senyawa kimia yang sekarang tenarmenjadi kambing hitam akan munculnya global warming ). Setelah mengikuti forum tersebut,saya membentuk tim penelitian dan mengajukan sebuah proposal penelitian bertopik karbon,khususnya dalam kepentingan mengestimasi jumlahnya di Provinsi Riau. Saya dan tim cukup

     bangga waktu itu karena proposalnya disetujui untuk mendapat pendanaan, tetapi itu waktudulu (artinya sekarang tidak begitu). Mengapa tidak bisa lagi membanggakan? Karenasekarang mata saya terbuka, terutama mata hati bahwa kebanggaan dari penelitian inihanyalah prestasi semu.

    Meredam Kegagalan Pembangunan Global (Gagalnya Rezim Global)  

    OK, saya mencoba mengawali kronologisnya seperti ini. Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang sangat dekat dengan persoalan penguasaan akses ekonomi,alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Hal yang

     perlu ditekankan dari pengertian tersebut adalah soal siapa yang memperoleh manfaat(keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biayakerusakan/pencemaran lingkungan. Saya bisa katakan bahwasanya krisis lingkungan globaladalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.

    Secara umum sebagian besar penduduk negara-negara kaya (yang cenderung di belahan bumi

    utara) dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadapkekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta

    http://tempo-institute.org/negara-hijau-ini-mengemis-penghijauan/http://tempo-institute.org/negara-hijau-ini-mengemis-penghijauan/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    2/111

    terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi merekaharusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibateksploitasi yang berlebihan di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan.

    Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model

     pembangunan skala global. Karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah jugatidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individuyang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikankondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi.

    Dalam REDD, H utan = Tempat Sampah Pemanasan Global  

    Isu pemanasan global menjadi runyam karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan, dan sampai hariini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan hijau Indonesia tak ubahnya hanya

    ―tempat sampah‖ CO2 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagimasyarakat Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air,energi dan pangan, terutama teruntuk rakyat sekitar hutan.

    Kemudian muncullah tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions fromdeforestation and degradation), yang diharap mampu menjembatani mekanisme

     pembangunan bersih (clean development mechanism) dengan penanganan kerusakan hutan(deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban negara-negara ―Utara‖ untukmembayar kompensasi kepada negara-negara ―Selatan‖ guna mengurangi penggundulanhutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yangdimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi darideforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisikarbon di atmosfer dapat dikurangi.

    Tapi ada beberapa hal terpelenceng dan merugikan dari konsep REDD. Pertama, REDDterlalu menyederhanakan fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbondioksida (carbon sinks) dan mengabaikan fungsi penting lain hutan sebagai daerah tangkapanair (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood ) disekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan darisendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentuakan merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun

     politik.

    Kedua, REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan(termasuk Indonesia) untuk menjaga atau lebih tepatnya ―mengunci‖ kawasan hutannya

    dengan imbalan ―recehan‖. Tawaran ini dengan sendirinya akan membatasi akses dan

     partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common goods.

    Ketiga, REDD akan berpotensi mengaburkan proses penegakan hukum terhadap kasus-kasuskejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhikewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan begini,

     posisi Departemen Kehutanan pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasionaldan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Keprihatinan REDD justru lebih condong

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    3/111

     pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melaluimekanisme insentif yang ditawarkan.

    Saya sendiri geograf yang belajar cukup banyak mengenai kompleksitas ekosistem hutan.Konsep REDD sangat rawan memicu ketiga celah tadi dan bahkan masih mungkin berefek

    domino pada kemunculan kerugian, kecurangan, atau kerusakan yang lain.

     Mereka “Mencuci Tangan” dengan REDD 

    Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat diarahkan pada sistem klasifikasi hutan padaTataguna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi,hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidakterganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan(tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harusditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yangkondisi masih berupa hutan. Dengan pengkatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan

    semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD denganmelibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah.

    Dengan model klasifikasi ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini beradadalam ―kawasan hutan‖ berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan

    ―terusir‖ dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka PemerintahPusat melalui Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara ―liar‖menetapkan tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatashutan terpadu sampai dg 30%). Ini akan berdampak pada tersingkirnya masyarakat di―kawasan hutan‖. Secara tegas dalam IFCA ( Indonesia Forest Climate Alliance)memandatkan untuk menegosiasikan ―kebun kayu‖ (HTI), perkebunan kelapa sawit dan

    kawasan konservasi ke dalam skema REDD. Dan ini berarti tidak ada tempat lagi untukrakyat sekitar hutan. Sebab yang paling diuntungkan adalah para pebisnis sektor hutan, sektor

     perkebunan, dan sektor konservasi.

    Perubahan I kl im Selesai dengan REDD?  

    ―Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal

    REDD-I ( Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia)‖.Pernyataan tersebut banyak diungkap oleh berbagai pihak, termasuk saya yang setuju dengan

     pernyataan di atas. Mekanisme REDD menegaskan negara hijau ini untuk ―mengemis‖

    kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan kita sendiri, maka tak ada lagiyang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara jugamemiliki tanggung jawab besar daripada ―membagi‖ uang receh kepada negara-negara

     berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terusmemproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar.

    Mengulas kembali pernyataan saya di atas, pertama REDD tidak lebih dari upaya menutupakses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adatyang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatanmenyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung

     jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi (konotasi

    negatif) perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Keempat, REDDmerupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Hutan bukan sekedar penyerap

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    4/111

    karbon, tetapi juga sebagai ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagikehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon.

    Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Protokol Kyoto mengatur berbagai cara

    agar emisi karbon negara-negara industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yangmereka keluarkan pada tahun 1990. Protokol ini mengatur salah satu pengurangan tersebutdengan mekanisme perhitungan tertentu yang pada intinya memberi nilai moneter padakarbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yangmereka keluarkan.

    Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secarameyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasidana. Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap ataudicegah tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidakrusak/ditebang, dan inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.)

    sangat suka ide ini, karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri.

    Dilihat dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihakindustri tersebut terus melakukan polusi atmosfer kita yang pada akhirnya akan menjadimasalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar,mereka dapat melakukan ini. Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema iniakan menjadi semacam area ― status-quo‖ dimana masyarakat tidak boleh menebang atau

    memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untukmelayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanjut lagi, siapa yang akanmenentukan tanah/hutan mana untuk skema ini?

    Bukan hanya itu, ternyata menurut pemaparan Meneg KLH Rachmad Witoelar, taksirankompensasi untuk hutan di Indonesia hanya kurang lebih sebesar Rp 95.000,- per hektar pertahun. Bahasa kasar untuk mengumpamakan ―pelecehan‖ ini mungkin ibarat untuk uang jaga

    atau membeli kopi saja tak akan mencukupi, apalagi diandalkan sampai mencukupikebutuhan masyarakat yang tidak lagi diizinkan mengelola hutan. Padalah menurut

     perhitungan Suparmoko (seorang ahli kehutanan), jika hutan Indonesia dikelola baik-baikakan mampu menghasilkan US$ 191,25/ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/ha/tahununtuk hutan sekunder, US$ 301,85/ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$301,85/ha/tahun untuk hutan lindung. Melihat angka ini, saya sendiri merasa sangat dibodohikonsep REDD yang dulu pernah saya banggakan.

    Sudah saatnya bangun dan sadari bahwa negara hijau ini tidak harus mengemis untukmenghijaukan buminya. Indonesia kita, mampu hijau dan bermanfaat dengan mandiri.Masyarakat adat sekitar hutan yang sejak dahulu terus mewarisi budaya mereka untukmelestarikan hutan adalah orang-orang terbaik yang akan menjaga dan mengelola potensi

     besar hutan ini. Bukan orang-orang ambisius dengan harta, tapi masyarakat sekitar hutan inisecara nurani telah menyatu dengan hutan, cukup hormati hak mereka dan terus salingmembantu mengelola hutan kita, maka tidak akan ada lagi permasalahan yang terlalu rumit,apalagi hanya soal harus kembali hijaunya sang paru-paru dunia.

    Referensi  

    http://basapindo.blogspot.com/  (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.15 WIB)

    http://basapindo.blogspot.com/http://basapindo.blogspot.com/http://basapindo.blogspot.com/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    5/111

    http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666 (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.10 WIB)

    www.rareplanet.org (diakses 5 Oktober 2012, pukul 10.10 WIB)

    http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666http://www.rareplanet.org/http://www.rareplanet.org/http://www.rareplanet.org/http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    6/111

    Lagu Daerah, Riwayatmu Kini 

    Oleh: DIAN NISITA - UNIVERSITAS INDONESIA 

    Rangkuman :

    Lagu –  lagu daerah kini kian tergerus oleh lagu-lagu kontemporer yang dianggap lebihmodern. Hal ini mengakibatkan lagu-lagu warisan nenek moyang tersebut kurangmendapatkan perhatian, kemudian ditinggalkan. Kasus klaim Rasa Sayange oleh negaraMalaysia merupakan suatu bukti dimana lagu-lagu daerah Indonesia sangat mudah untukdirebut oleh negara lain. Musisi dan peneliti telah melakukan berbagai usaha untukmelestarikan keberadaan lagu-lagu daerah, baik dengan mengaransemen ulang maupundengan menciptakan peta lagu. Kini, giliran pemerintah untuk memaksimalkan apa yangtelah dirintis oleh musisi dan peneliti dalam rangka mempertahankan eksistensi lagu-lagudaerah sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan,

    seharusnya dapat melakukan lebih banyak tindakan untuk melestarikan lagu-lagu daerah.Pelestarian tersebut dilakukan dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat akan

     berharganya lagu-lagu daerah tersebut melalui berbagai hal, diantaranya adalahmelaksanakan Festival Lagu Daerah di tingkat daerah, mengidentifikasi,mendokumentasikan, dan mematenkan lagu-lagu daerah tersebut, serta mengeluarkankebijakan bagi musisi pendatang untuk menyelipkan minimal satu buah lagu daerah ke dalamalbum baru yang akan diluncurkan.

     —————  

     Rasa sayange

     Rasa sayang sayange 

     Lihat Ambon dari jauh 

     Rasa sayang sayange 

    ……… 

    Lagu daerah Maluku ini marak terdengar di penjuru negeri. Bukan karena kesadaran darimasyarakat untuk mendengungkannya, namun karena mencuatnya kasus klaim Malaysia ataslagu daerah Indonesia bagian Timur ini pada tahun 2007 silam. Kasus ini berhasilmembangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan lagu tersebut sebagai

     bagian dari budaya Indonesia.

    Hidup segan, mati tak mau. Peribahasa tersebut sangat tepat untuk disematkan pada lagu-lagu ciptaan nenek moyang Indonesia. Di tengah maraknya karya anak bangsa dalam bidangmusik, sebagaimana terlihat dengan banyaknya penyanyi maupun band baru yang

     bermunculan, tidak ada satupun yang tampil dengan membawakan lagu daerah sebagai single 

    utama mereka.

    http://tempo-institute.org/lagu-daerah-riwayatmu-kini/http://tempo-institute.org/lagu-daerah-riwayatmu-kini/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    7/111

    Tak ayal, hal ini juga merupakan dampak akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadapkeberadaan musik-musik tradisional tersebut. Bahkan, tidak terdapat data pasti mengenai

     jumlah lagu daerah di Nusantara, padahal telah terdapat catatan bahwa bahasa daerah diIndonesia berjumlah 742 bahasa[1] dan suku bangsa di Indonesia berjumlah 1.128 suku[2]. Lalu bagaimana dengan lagu daerah Indonesia?

    Masyarakat meninggalkan lagu-lagu daerah karena dianggap ‗jadul‘ atau ketinggalan zaman.Mereka lebih menikmati musik kontemporer yang justru minim akan makna jikadibandingkan dengan lagu-lagu daerah. Yap, jika syair lagu daerah ditelaah dengan baik,maka akan tampak bahwa lagu-lagu tersebut mengandung nilai pendidikan yang sangatkental, contohnya adalah lagu daerah Jawa Tengah berjudul Dhondhong apa Salak dengansalah satu bagian liriknya :

    ……. 

     Adik ndherek Ibu tindak menyang pasar

    Ora pareng rewel ora pareng nakal  

     Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh 

     Kacang karo roti, adik diparingi 

    Dalam bahasa Indonesia, lirik lagu tersebut berarti :

    …… 

     Adik ikut Ibu pergi ke pasar  

    Tidak boleh rewel tidak boleh nakal  

     Ibu nanti pasti beli oleh-oleh 

     Kacang dan roti, Adik akan diberi 

    Lirik yang sangat sederhana, namun mengandung nasehat yang sangat besarmaknanya. Tentunya hal ini sangat kontras dengan industri musik Indonesia sekarang ini

    yang lebih banyak dihiasi dengan lagu-lagu bertemakan perselingkuhan atau patah hati.Lagu-lagu berbahasa asing pun saat ini kian menjamur di masyarakat, khususnya kaum muda.Padahal, kaum muda merupakan lapisan masyarakat yang memberikan kontribusi besar bagikeberlangsungan bangsa. Mereka merasa bangga ketika berhasil menciptakan ataupunmenyanyikan lagu berbahasa asing dengan fasih, namun kebanggaan tersebut tidaklahtampak ketika harus melantunkan lagu dalam bahasa daerah. Tidak perlu mengkritikmasyarakat kota, anak-anak muda yang tinggal di wilayah perbatasan dan jauh darikeramaian kota, seperti di Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Barat, bahkan tidakmengenal lagu daerah mereka, yaitu Cik Cik Periook. Mereka lebih mengenal dan hafal liriklagu-lagu populer, seperti lagu-lagu yang dibawakan oleh girlbands maupun boybands.

    http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn1http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn1http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn1http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn2http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn2http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn2http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn1

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    8/111

    Tantangan dan Usaha Pelestarian Lagu Daerah 

    Tantangan tidak akan pernah berhenti menghantam dan kita tidak akan pernah tahu kapan iadatang. Menilik kembali kasus klaim Rasa Sayange beberapa tahun silam, tentu menjadi‗sentilan‘ bagi bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mengingat

    kembali apa yang terlupakan dan mengantisipasi peristiwa yang sama agar tidak terulangkembali.

    Lagu Rasa Sayange mungkin merupakan salah satu lagu daerah yang cukup akrab di telingakita karena sering diperdengarkan, khususnya saat mata pelajaran seni musik, sehingga kitadapat segera mengenalinya sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia ketika lagu tersebutdiakui milik negara lain. Namun bagaimana dengan nasib lagu-lagu daerah lain yang kurangakrab di telinga kita? Sebutlah lagu Sintren dari Cirebon, Sayangkene dari Maluku, atauDung Dung Sera dari Riau. Tidak semua orang mengenal lagu-lagu tersebut.

    Jika salah satu dari ketiga lagu daerah tersebut diklaim oleh negara lain, sanggupkah kita

    melakukan pembelaan seperti yang kita lakukan saat terjadinya kasus klaim Rasa Sayange?Sebagai contoh, lagu Dung Dung Sera kemudian diklaim oleh negara Singapura, apakah kitalayak melakukan pembelaan jika kita sendiri tidak pernah mendengar lagu tersebut?Peribahasa berkata ―tak kenal maka tak sayang‖. Mampukah kita menunjukkan rasa sayang

    terhadap lagu tersebut jika kita bahkan tidak mengenalnya?

    Kesadaran untuk melestarikan lagu-lagu daerah telah ditunjukkan oleh Hokky Situngkit (34)yang berhasil menciptakan peta lagu dengan membedah lagu secara mekanika statistika[3]. Dalam peta lagu tersebut terdapat kluster Sumatera, Melayu, Maluku, Jawa Timur, JawaTengah, Jawa Barat, dan Bali. Lagu daerah yang berhasil dipetakan adalah lagu RasaSayange dan memberikan hasil bahwa lagu tersebut memang termasuk kluster Maluku, bukanMelayu. Maka klaim lagu Rasa Sayange yang merupakan budaya Malaysia dapat dipastikansalah.

    Keberadaan lagu-lagu daerah yang mulai punah juga disadari oleh beberapa musisi ternamatanah air. Mereka kemudian mengangkat kembali lagu-lagu daerah tersebut, seperti Ten 2Five yang mengaransemen ulang lagu daerah dalam balutan musik jazz , Addie MS yangmenyajikannya dalam bentuk orkestra, dan Trisum yang memberikan nuansa baru berupa

     balutan melodi gitar dalam lagu –  lagu tersebut.

     Namun usaha para musisi tersebut belumlah cukup untuk dapat mengangkat eksistensi lagu

    daerah dalam masyarakat secara penuh. Indonesia memiliki sangat banyak lagu daerah yangtidak mungkin dapat diabadikan hanya oleh beberapa musisi. Muchlis BA dan Azmy BA,dalam bukunya Lagu-Lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan, mencatat terdapat 201lagu daerah dari seluruh wilayah Indonesia. Namun jumlah ini bukanlah jumlah mutlak,masih sangat dimungkinkan terdapat banyak lagu daerah yang belum teridentifikasikeberadaannya.

    Penelitian yang dilakukan oleh Hokky dan aransemen ulang para musisi akan lagu -lagudaerah tersebut sudah seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan dari pemerintah. Denganadanya konsep peta lagu, maka lagu-lagu daerah Indonesia tidak akan dengan mudah diklaimoleh negara lain. Aransemen ulang yang dilakukan oleh para musisi juga menjadikan lagu  –  

    lagu daerah lebih modern dan sesuai dengan selera musik masyarakat masa kini.

    http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn3http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn3http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftn3

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    9/111

    Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seharusnyamemberikan dukungan terhadap usaha pelestarian lagu-lagu daerah tersebut. Pemerintahcenderung acuh terhadap keberadaan lagu-lagu daerah yang terancam punah. Seharusnya

     pemerintah dapat bekerjasama dengan para budayawan untuk melacak lagu-lagu daerah yanghampir hilang dari wilayah di Sabang hingga Merauke, kemudian memadukannya dalam

    sebuah lembar daftar lagu-lagu daerah Indonesia dan memublikasikannya sehinggamasyarakat dapat dengan mudah mengakses data tersebut. Pendokumentasian sangatdiperlukan untuk membuktikan bahwa lagu-lagu daerah tersebut memang ada dan akan tetapada. Selain itu, pemerintah juga perlu mematenkan lagu-lagu tersebut agar tidak kembalidiklaim oleh negara lain. Festival Lagu Daerah yang pernah diselenggarakan pada awal 2012

     perlu digiatkan, khususnya di tingkat daerah, dimana unsur budaya asli masih kental sehingga benar-benar mencerminkan kebudayaan daerah tersebut.

    Suatu kebijakan juga perlu dibentuk bagi para musisi pendatang agar menyelipkan setidaknyasatu lagu daerah yang diaransemen ulang sesuai aliran musik musisi tersebut dalam setiapalbum yang akan dikeluarkan. Dengan demikian, para musisi, khususnya musisi pendatang,

    tidak melulu menyanyikan lagu-lagu ‗galau‘, namun juga turut melestarikan lagu-lagu daerahIndonesia dengan talenta yang mereka miliki.

    Penutup

    Tidak ada yang dapat melestarikan keberadaan suatu budaya selain masyarakat yang hidupdalam budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat melestarikan lagu-lagu daerahIndonesia selain bangsa Indonesia itu sendiri. Lagu-lagu daerah semestinya menjadi suatu halyang dibanggakan, bukan ditinggalkan. Untaian lirik yang sarat unsur budaya dan nilai

     pendidikan tersebut dapat memberikan suatu kebanggan tersendiri bagi bangsa. Jika kita,yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, hanya diam melihat lagu-lagu daerah tersebut

     perlahan-lahan hilang, jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan kita akan mendengarlagu ini berkumandang :

    ………. 

     Rasa sayange 

     Rasa sayang sayange 

     Lihat Malaysia dari jauh 

     Rasa sayang sayange 

    …….. 

    Daftar Pustaka 

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    10/111

     

    Buku

    BA, Muchlis dan Azmy, BA. 2007. Lagu-lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan

     Lanjutan. Depok : Musika.

    Internet

    ―169 Bahasa Daerah Terancam Punah‖

    http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah  diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB

    ―Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa‖

    http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455  diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB

    ―Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing‖

    http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB

    [1] ―169 Bahasa Daerah Terancam Punah‖http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah  diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB

    [2] ―Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa‖http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455  diakses pada 3 Oktober 2012

     pukul 19.51 WIB

    [3] ―Hokky Memetakan Lagu Asli Agar Tidak Diklaim Asing‖http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB

    http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punahhttp://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punahhttp://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref1http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref1http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punahhttp://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punahhttp://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref2http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref2http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref3http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref3http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref3http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref2http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punahhttp://c/Users/Bramantya/Downloads/30%20BESAR%20ESAI%202012.doc%23_ftnref1http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agar-tak-diklaim-asinghttp://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    11/111

    Rintihan Pantura 

    Oleh: MUHAMMAD ISOMUDDIN - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nur

    Jati Cirebon 

    Ringkasan;

    Budaya merupakan harta kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Tumbuh berkembangnya bangsa ini, tidak terlepas dari budaya yang membentuk karakter bangsa. Arus modernitasmelintas tepat di garis khatulistiwa bangsa, menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadapkebudayaan sendiri. Mencoba merangkai Indonesia lewat puzzle kecil bernama kota Cirebon.Kota yang punya empat keraton, tak membuat nuansa erotis sensual kentara. Permasalahanekonomi yang menjepit pewaris kebudayaan, melakukan penyelewengan dengan menjualwarisan kebudayaan. Sapaan modernitas sudah terdengar oleh bangsa ini. Menggiring pada

     bentuk masyarakat konsumtif dan ada paradoks dari kebudayaan. Teks sudah diganti dengan

     praksis, bentuk asli dirubah menjadi imitasi, nilai guna diganti dengan nilai liyan : prestice,status. Ini realita yang penulis temukan di kota Cirebon. Budaya sedang kebingungandi persimpangan jalan. Harus segera menentukan arah kemana budaya akan dibawa.Penyusunan strategi dan langkah konkret merupakan keniscayaan bagi penempatan posisikebudayaan. Berangkat dari daerah, mengalisis sampai bertindak secara nyata untukmemperjelas rupa budaya. Dan dipersembahkan untuk Indonesia yang berbudaya luhurdalam menciptakan karakter bangsa.

     ———  

    Perbincangan mengenai Indonesia tidak akan lepas dari atmosfer kebudayaan yangmenyelimutinya. Budaya menjadi sebuah cerita indah dan panjang tak membosankan,melebihi dari apa yang ada dalam cerita negeri dongeng. Beberapa tahun ini, budaya menjadi

     barang langka untuk disaksikan di dunia nyata. Seolah cerita panjang tentang kebudayaanmenjadi riwayat akhir sebuah perjalanan selama ini, menjelma negeri dongeng tersendiri — 

     penuh keilusian untuk ditarik ke dunia nyata. Sapaan modernitas merasupi bangsa Indonesiasehingga tak sadar akan warna bajunya sendiri. Bila memang demikian, Indonesia bukan lagi

    sebuah bangsa yang kaya akan budaya tapi bangsa yang kaya akan ―cerita budaya‖. 

    Berangkat dari rangkaian Indonesia yang begitu kompleks, saya mencoba merangkai puzzle kecil dari Indonesia yaitu kota Cirebon. Kota persinggahan lintas pantura ini, mempunyaisegudang kebudayaan — lengkap dengan keperihatinannya. Ada empat keraton yang berada ditengah kota Cirebon, yang seharusnya kental dengan aura keerotisan kebudayaan. Justrunuansa kebudayaan terasa mampat dan monoton. Tuan rumah dari tari topeng, sintren, batik,tembang pantura dan naskah kuno kini terselip ditumpukan bata gapura keraton. Kesulitanuntuk meraba keberadaanya sekarang. Fakta mencuat ke permukaan minggu ini di hariankabar Cirebon, maraknya penjualan naskah kuno Cirebon ke luar negeri. Untuk merestorasikertas naskah kuno menjadi lembaran uang kartal. Perhatian pemerintah tak begitu melirik

    untuk menjaga naskah kuno, malah lebih memilih jilidan proposal siluman dari pengintaianmedia.

    http://tempo-institute.org/rintihan-pantura/http://tempo-institute.org/rintihan-pantura/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    12/111

    Permasalahan ekonomi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan.Terlihat dari rentetan peristiwa, tradisi ditumbalkan untuk sesajen pemberhalaan uang. Di sisilain, ada bentuk yang lebih halus namun menikam yaitu penjajahan budaya dilakukan olehkita sendiri tanpa disadari mengamini sebagai suatu keniscayaan. Penyingkiran budayadilakukan secara massal dengan merayakan pencitraan dalam menciptakan masyarakat

    konsumtif. Dimana kebudayaan direduksi dari bentuk asli ke bentuk imitasi, dari teks kesimbolik. Budaya tradisonal menghadapi tantangan industri kebudayaan yang begitu besar.

    Era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan.Pemuda yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akankeberlangsungan dan eksistensi budaya tersebut. Telah ternarik peran pemuda ke dalam porosarus modernitas. Percepatan dan pemadatan rupa kehidupan, dilipat-lipat sampai tidak bisadilipat dan tidak memperlihatkan wujud asli dari apa yang dilipat. Apa yang disebut sebagaideru mesin kapitalisme mutakhir yaitu differensiasi. Pembedaan-pembedaan telah diproduksisecara massal untuk membangun identitas dan gaya hidup. Konsumerisme dilepas secara

     bebas dengan melabelkan yang other  terhadap produknya.

    Kini kemodernan merupakan kiblat baru bagi masyarakat yang ingin mencicipi perubahan.Ada banyak pembangunan hypermart, diskotik, café, hotel diamini sebagai gairah kemajuansuatu daerah. Pembungkusan menarik yang ditawarkan dengan menonjolkan hal liyan dariapa yang disuguhkan. Gaya hidup dan life style membangun bangunan kokoh segitiga kasta.Dari sebuah sabda iklan oleh sang produser yang menjelma Tuhan dan mewajibkan untukmengimaninya. Pemuda lebih mengikuti apa yang sekarang menjadi trend, dengan siklus

     pergantian dan tempo yang cepat, seolah mewajibkan diri untuk segera update. Tak ada pendirian kukuh hanya untuk mendapatkan apa yang dikatakan Heiddeger sebagai sublasi(pemberian pengakuan). Model kehidupan yang mengalir mengikuti arus bukan mengalir

     pada alur.

    Terlihat begitu kentara di kota Cirebon sebagai persinggahan supir pencinta tembang pantura.Ada kelucuan orientasi pemuda yang mengkiblatkan pada titik gerbang rujukan, yaituJakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kalau boleh kita sebut tiga kota tersebut sudah terbingkaisebagai: pragmatis, hedonis dan tradisionalis. Ditarik dengan menelan mentah-mentah apayang sedang menjadi trend  di kota tersebut. Berpengaruh besar dalam sosio-kultural kotaCirebon, khususnya para pemuja yang kehilangan orientasi asal. Dengan dalih membentukCirebon, tapi tak melihat bentuk yang sudah ada yang dimiliki Cirebon sendiri. Tidak adanya

     pijakan dari tanah sendiri, akultarasi lintas budaya ini hanya akan menciptakan formalismdisoriented. 

    Mengambil bentuk dari pada etos dalam melihat budaya lain, akan menimbulkan pengagung permukaan tanpa kedalaman. Terkecoh dengan kutang  perempuan dari isi yang kurang padat.Gaya hidup sudah seperti rukun dalam menjalani kehidupan dari sabda iklan Tuhan. Ketika

     praktik kebudayaan secara sosial dicumbu sebagai bagian dari gaya hidup. Menggiring pada bentuk paradoks antara yang inti dan luar, filosofis dan praksis. Masuk dalam bingkainihilism, terperangkap kesubjektifan palsu melalui dunia citra.

    Ada kerancuan representasi dari sebuah apresiasi terhadap budaya. dengan dalih inginmembudayakan apa yang dimiliki oleh kulturnya. Dengan memakai kaos ber tuliskan ― I loveCirebon”, “I love batik” dan lainya, seolah-olah dengan memakai itu sudah

    merepresentasikan masyarakat berbudaya. Gimana tidak keliru, cinta batik kok  pakai kaos?

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    13/111

    Kenapa tidak dengan memakai batiknya saja. mungkin ini yang dinamakan sebuah simulasioleh Jean Baudrillard, simbol mendahului dari apa yang disimbolkan.

    Berbicara bahasa jawa Cirebon jarang ditemui di tempat-tempat umum. Ada keminderanyang mendera di masyarakat. Jika berbicara bahasa jawa berkonotasi orang desa dan katro,

    lebih suka memakai bahasa Indonesia ala Jakarta. Apalagi musik tarling pantura, hampirtidak ada pemuda yang menyanyikannya. Lebih menggauli musik Mtv dan boy band berbeheldan pamer BB. Tak ada café menggelar live musik pantura, cuma ditemukan di acara nikahanatau pesta rakyat. Bahkan sampai di kampus sekelas negeri pun tidak ada. katanya sih,mengumbar nafsu, padahal kita tahu pejabat kampus pun nafsu akreditasi toh.Tersubordinasinya kultur Cirebon menempatkan titik terbawah dari garis vertikal statussosial.

    Membentuk sebuah oposisi biner antara tradisional dan modern. Tradisional yang bersifattua, kuno, Statis, lambat dan modern yang bersifat muda, baru, dinamis, cepat. Sudahmenghegemoni dikalangan pemuda, tradisi terlihat sebagai wabah virus lepra yang

    melumpuhkan dan lebih mengambil bentuk kemodernan sebagai vitamin perubahan. Anakmuda terjangkiti ―kepikunan dini‖ atas dirinya sendiri yaitu tradisi asal sebagai identitas

    otentik.

    Perlu adanya kesadaraan dan pengakuan bahwa kebudayaan kita sekarang sedangkebingungan di persimpangan jalan. Harus sigap dan cepat menentukan arah kemana akandibawanya budaya ini. Tindakan perubahan dengan wacana yang mengawang-awang dilangit harus ditarik ke bumi untuk tindakan yang konkret. Mendirikan dan menjalankan

     pusat-pusat kebudayaan di daerah perlu diadakan untuk mengkat kebudayaan lokal. Indonesiatidaklah berarti tanpa adanya budaya yang berada di daerah-daerah. Menjadi Indonesia

     bukanlah memuja Indonesia. Namun, bertindak mengangkat daerah untuk dipersembahkankepada Indonesia.

    Strategi pemerintah pun penting dalam menyusun strategi kebudayaan untuk memunculkankearifan lokal yang masih terselip dalam taradisi dan untuk meminimalisir penyelewengan

     budaya seperti penjualan naskah kuno. Mengubah karakter masyarakat yang konsumtifmenjadi produktif, peniru menjadi pencipta, pengikut menjadi kreator. Perlu ditanamkansecara dini dan aplikatif di lingkungan sekolah. Agar pembagunan karakter yang diharapkan

     bisa terwujud ketika tulisan ini lapuk.

    Kebudayaan tradisional tidaklah asketis dan konservatif terhadap dunia modern dan tidak

     juga mendistorsi kebaruan secara binal. Namun menempatkan pada satu tatanan yangmenjadi akar untuk menumbuhkan karya baru sehingga dapat berdiri tegak dari terpaan anginkumbang. Turut ambil aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, bukan menjadimayoritas yang diam dikuasi oleh segelintir elite.

    Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa revitalisasi kebudayaan bukan sekedar menggali puing-puing tradisi untuk diagung-agungkan semata, melainkan kearifan lokal yangtersimpan dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerahan dalam mengubahkarakter masyarakat konsumtif. Menjadi Indonesia yang berbudaya tidaklah mustahil dan

     bukan angan-angan yang terlalu muluk. Karena memang bangsa ini sudah mempunyairiwayat sejarah budaya nyata. Kita tinggal meneruskan dan mengolahnya dalam mengahadapi

     budaya modern. Pada umur Indonesia ke 100 tahun akan menjadi kiblat dari cerminan dunia. 

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    14/111

    ―Rekonstruksi Sistem Pendidikan

    Indonesia dengan Penerapan Sistem Focus

    on Subject‖ Oleh: RAHMAT HIDAYAT - UNIVERSITAS HASANUDDIN 

    Ringkasan Esai 

    Berbicara mengenai kehebatan serta kemajuan sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dariyang namanya peranan penting sebuah ―PENDIDIKAN‖. Pendidikan di semua negara

    merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian baik dari pemerintahmaupun masyarakat dalam negara tersebut. Tanpa adanya pendidikan, yakinlah bahwa negaratersebut tidak akan pernah mengalami yang namanya perkembangan. Oleh karena itu,diperlukan sebuah sistem yang betul-betul bagus untuk menata proses pendidikan yang akan

     berjalan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh masing-masing negara itu berbeda-beda,termasuk Indonesia. Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung diIndonesia sekarang ini, sepertinya perlu dievaluasi keberhasilannya. Sudah banyak sistemyang telah dicoba oleh bangsa kita, akan tetapi sistem tersebut belum bisa membuat negarakita maju dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru yang bisamemperbaiki kondisi pendidikan di negeri kita yang tersayang.

     —————— -

    Sistem yang saya maksudkan di sini adalah sistem pembelajaran focus on subject, maksudnyaadalah di dalam menempuh sebuah pendidikan, kita tidak boleh melakukan pemaksaankepada orang lain untuk mempelajari dan menekuni pelajaran yang mereka tidak inginkan

    atau sukai. Seharusnya kita memberikan kebebasan kepada seluruh pelajar untuk memilih bidang yang mereka sukai sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dengan begitu,mereka tidak akan tertekan dalam hal proses belajar mengajar, mereka akan belajar dengannyaman dan tanpa beban karena apa yang mereka pelajari adalah bidang yang memangmereka inginkan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga, akhirnya nantinya akanlahir pelajar-pelajar yang ahli di masing-masing bidangnya. Jadi, dengan begitu, dengan

     penerapan sistem ini, setiap siswa atau pelajar akan difokuskan untuk belajar sedikit sajayang penting mereka ketahui secara mendalam tentang apa yang mereka pelajari. Lagi pula,secara logika untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkanmengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalamilmu yang kita pilih.

    http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/http://tempo-institute.org/rekonstruksi-sistem-pendidikan-indonesia-dengan-penerapan-sistem-focus-on-subject/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    15/111

    Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyakyang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyak orang yang mengatakan bahwa kuantitasSumber Daya Manusia (SDM) di sebuah negara merupakan salah satu faktor yang dapatmempercepat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sebuah negara menuju negara maju.Semakin banyak penduduk sebuah negara, maka negara tersebut juga akan cepat mengalami

     perkembangan. Akan tetapi, jika kita bercermin ke negara kita yang tercinta yaitu Indonesia,hal tersebut tidak kita dapatkan. Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yangsangat banyak, tetapi sampai sekarang negara kita masih berada pada posisi negara

     berkembang. Menurut saya, kuantitas SDM dari sebuah negara memang tidak bisa kitaabaikan begitu saja, akan tetapi hal yang paling penting dari semua itu adalah kualitas yangdimiliki oleh masyarakat yang ada di negeri tersebut.

    Contohnya seperti negara China, selain memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak,kualitas masyarakatnya juga sangat bagus yang tidak jauh berbeda dari negara-negara Eropadan Amerika. Di negara ASEAN sendiri, kita bisa lihat bagaimana Singapore yang hanyasebuah negara kecil yang memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit dibandingkan

    Indonesia, akan tetapi Singapore lebih baik dan lebih maju dibandingkan Indonesia, begitupun dengan negara yang lainnya seperti Jepang, Korea dan yang lainnya. Apasebenarnya yang membuat mereka bisa seperti itu? tidak lain jawabannya adalah karenakualitas masyarakat atau SDM-nya yang sangat bagus dibandingkan dengan Indonesia. Disini, saya tidak mengatakan bahwa kualitas SDM atau masyarakat Indonesia itu sangat tidak

     bagus, akan tetapi kualitas tersebut masih perlu diperbaiki lagi dan ditingkatkan supaya kitatidak tertinggal dari negara-negara lainnya yang sudah maju.

    Indonesia memiliki potensi yang sangat bagus untuk dikembangkan, apalagi kita didukungoleh Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak dan melimpah. Banyak negara luar yangmengatakan bahwa Indonesia adalah surganya dunia. Jadi, apa lagi yang kurang dari negerikita yang tercinta ini, tinggal kita sebagai penghuninya yang harus cerdas dalammemanfaatkan semua itu. Kualitas SDM sebuah negara tidaklah langsung tercipta begitu saja,akan tetapi dibutuhkan sebuah proses yang panjang dalam pembentukannya. Singapore yangdulunya tidak mendapatkan perhatian dunia internasional, sekarang sudah menjadi salah satunegara yang dianggap berhasil memajukan negaranya, serta menjadi representative darikomunitas ASEAN di mata dunia internasional. Oleh karena itu, untuk menjadikan negarakita ini maju dan berhasil, maka yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kualitas SDMyang kita miliki.

    Dan menurut saya, cara yang paling bagus untuk meningkatkan kualitas SDM dari negara

    kita adalah dengan memperbaiki sistem PENDIDIKAN yang selama ini kita jalani danterapkan di negara ini. Pendidikan sangat berperan penting dalam hal pembentukan karakterdan kualitas masyarakat sebuah negara. Jika kita memang tidak ingin ketinggalan dari negaralainnya, dan ingin bersaing di kancah internasional, maka Indonesia perlu mengevaluasisistem pendidikan yang selama ini telah diterapkan. Kita mencari alternatif baru ataumemperbaiki sistem yang sudah ada, intinya sistem pendidikan di Indonesia harus segeradibenahi. Dan menurut saya, tidak masalah ketika kita mengadopsi ataupun belajar dari

     pengalaman negara-negara lain dalam hal sistem pendidikan yang diterapkan di negaranya.

    Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk peradaban bangsa setiap Negara didunia ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan hal yang sangat dinamis dan

    sangat peka terhadap perubahan berdasarkan perkembangan zaman. Pendidikan di Indonesiamengalami beberapa perkembangan sejak zaman perkembangan Hindu Budha sampai dengan

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    16/111

    zaman pasca reformasi sekarang. Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa perkembangan Hindu Budha sampai paska kemerdekaan berkembang secara stimultan. Darimulai perkembangan sastra yang dibawa oleh Hindu Budha, pesantren oleh masa

     perkambangan Islam, sampai sekolah yang dibawa oleh masa colonial Belanda sampaisekarang. Pendidikan di Indonesia mempunyai system semi disentralisasi. Yang dimaksud

    dengan semi disentralisasi adalah setengah disentralisasi setengah sentralisasi. Dalam konsepmanajemen sekolah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan sekolah diserahkansepenuhnya oleh sekolah, akan tetapi dalam system evaluasi masih menganut sentralisasidimana ujian Negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat.

    Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat inikurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum inidisinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwasekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikandisekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian

    nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembalilagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolahnegeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satuorang. Sungguh jauh panggang dari api atau bagai punguk merindukan bulan.

    Sesuatu yang harus kita perbaiki adalah paradigma pemikiran. Baik itu dari para pengambilkebijakan (para pejabat di kementerian), para pelaksana di tingkat managerial (Para pejabat ditingkat dinas baik propinsi maupun kabupaten) sampai pada para pelaksana di lapangan (paraguru). Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan.Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang

     pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, danteknisi sumber belajar. Semuanya itu harus berfungsi sebagaimana yang telah menjadi tugasdan tanggung jawabnya. Jika semuanya bisa berjalan sesuai dengan koridornya, makayakinlah, bahwa pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan yang terbaik di dunia.

    Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pendidikan yang ada di negeri ini,seperti yang saya sebutkan tadi bahwa tidak ada salahnya ketika kita mencoba meniru,

    mengadopsi serta belajar dari pengalaman negara lain dalam memajukan pendidikannya.Sudah banyak negara di luar sana yang telah berhasil mengembangkan pendidikan denganmetode yang mereka gunakan, dan salah satunya adalah negara Finlandia. Finlandia telahdiakui oleh dunia internasional sebagai sebuah negara yang berhasil memajukan pendidikandi negaranya. Sedikit saya berikan gambaran pendidikan di Finlandia sebagai bahan acuanatau pelajaran bagi kita untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Di Finlandiahanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi gurusendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusansekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah

     pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketatdaripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    17/111

    Jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yangsangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, testingitulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kitacenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru diFinlandia. Kita belajar di sekolah hanya ingin dapat nilai akademik yang bagus dan

    memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknyayang penting nilai kita bagu. Pada usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahuikualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruantinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak pra-TK. Hal inimembantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri.

    Semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent.Karena dengan adanya banyak pendiktean membuat para siswa akan merasa tertekan dansuasana belajar menjadi tidak menyenangkan. Bagaimana dengan siswa yang kurang cepattanggap ? Mereka akan mendapatkan bimbingan yang lebih intensif. Inilah yang membuatFinlandia berhasil menyandang gelar Negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia.

    Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai,contohnya: Pertama, masuk kelas, kemudian datang tepat waktu, berikutnya membawa buku,dsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang

     penting mereka berusaha. Dari sini, dapat dilihat sangat tercermin kalau guru di sana tidakmenuntut anak didiknya untuk mengerjakan dengan hasil yang harus benar, para guruFinlandia menghargai setiap usaha dari siswanya.

    Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jikakita mengatakan ―Kamu salah‖ pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu.

    Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswadiperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil merekadengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar

     bangga terhadap dirinya masing-masing. Adanya ranking hanya membuat guru memfokuskandiri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Dari gambaran ini, kita

     bisa belajar bahwa ternyata, negara yang tak diunggulkan bisa menjadi yang terbaik di dunia,tentu semua itu karena adanya kemauan & usaha yang keras serta kesolidan dari berbagai

     pihak.

    Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa

     belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaransiswa tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap siswamemiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua siswaharus suka belajar matematika, karena ada siswa yang tidak memiliki keahlian sama sekali di

     bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya.Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusanketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di

     bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, siswa bebas menentukan kelas jurusanapa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangatyakin bahwa siswa akan belajar dengan santai serta siswa tidak akan mengalami yangnamanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai,

    mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun.

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    18/111

    Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap siswa untukfocus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para

     pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitassiswa tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk

    apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajarantersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih.Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masing-masing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisamemahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnyauntuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orangyang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya.Tidak ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkanIndonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnyakhususnya dalam bidang pendidikan.

    let’s we move together and we change our nation to be better than before.. Never say give up! 

    DAFTAR PUSTAKA

    - Wahyudi blog

    - www.kompasiana.com 

    - www.ilmu pendidikan.net

    http://www.kompasiana.com/http://www.kompasiana.com/http://www.kompasiana.com/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    19/111

    Budaya Didik yang Belum ‗Mendidik‘ 

    Oleh: WAN ULFA NUR ZUHRA - UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 

    Rangkuman:

    Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Pertanyaannya adalah, sudahkahlembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakandialektika, dan menghaluskan perasaan? Di negeri ini, guru atau dosen hanya menjadi mesindistribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian,

     pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhirsemester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah

    dihafalnya. Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik,tanpa proses dialektika.

    Anak-anak Indonesia perlu diajarkan menjadi kritis sejak dini. Mereka harus dibiasakanmenanyakan segala hal. Peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untukmengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama, bukankesepakatan sepihak dari guru atau dosen.

     ——  

    Pertengahan Februari tahun 2010 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit diskusidengan Butet Manurung, perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan

     bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi. Saat itu kami berdiskusi tentang bagaimana perbedaan pola pikir anak-anak di kota dengan anak-anak di Suku Anak Dalam.

    ―Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,‖ begitu Butet membuka diskusi. Sebuah

    statement yang membuat saya — sebagai anak yang tinggal di Kota — sedikit malu. Lalu Butetceritakan pengalamannya mengajar anak-anak rimba.

    Mereka, anak-anak rimba selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan ―Untuk apakami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.‖ Butet lalu menjelaskan tentang

    konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan merekacukup logis, ―Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.‖ Butet

     pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian.

    Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar  — karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian,lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet.

    Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak di

    Kota bertanya megapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu?

    http://tempo-institute.org/budaya-didik-yang-belum-mendidik/http://tempo-institute.org/budaya-didik-yang-belum-mendidik/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    20/111

    Mengapa harus belajar ini itu? Bahkan saya tak pernah bertanya pada orang tua saya,mengapa saya harus sekolah? Semua itu sudah seperti ritual yang memang harus dilakukan.

    Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi menurut saya ini esensial. Ketika seorang anak bertanyatentang sesuatu, berarti ia berpikir, dan berpikir adalah awal ditemukannya ilmu pengetahuan.

    Tanpa berpikir, James Watt tak akan pernah bisa menciptakan mesin uap.

    Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir,membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Bayangkan apa jadinya peradabanmanusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikanformal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik.

    Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh Negara diDunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakanmanusia-manusia yang bermutu.

    Pertanyaannya adalah, sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali bolehsaya bilang ‗Tidak‘. 

    Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan, meminimalkan prosesceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan, namun proses pembelajaransemestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuankalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal?

    Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah adakepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebutharuslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harusmenuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya.

    Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik, tanpa prosesdialektika. Ya bagaimana bisa mengkritik, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan

     perguruan tinggi hanyalah budaya menghapal?

    Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam proses belajar- mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarangmakan selama proses belajar-mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan

     baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu.

    Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jikamereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya

     begitu, tak boleh protes, tak boleh mengkritik. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturansepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus.

    Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untukmengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yangdiyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan

    tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir.

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    21/111

    Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator, bukandiktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru sepertidimaksud Tan Malaka.

    Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah

    untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didoronguntuk memiliki keberanian berbicara.

    Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan.PP 19/2005 pasal 19 menyebutkan bahwa ―Satuan pendidikan diselenggarakan secarainteraktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

     berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dankemandirian sesuai bakat, minat, dan perk embangan fisik dan psikologis peserta didik‖. 

     Namun, pada prakteknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih

    mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itumemang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator.Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam

     belajar.

    Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalahdalam pendidikan di negeri ini sebenarnya, mulai dari dana pendidikan hingga usahakomersialisasi pendidikan. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikankita, pada praktek pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada

     petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Takcukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak padatataran praktek di kelas. Memikirkan dengan serius!

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    22/111

    Bersua Dengan Bhinneka 

    Oleh: HAPSARI KUSUMANINGDYAH - UNIVERSITAS INDONESIA 

    Rangkuman:

    Konflik yang terjadi atas nama perbedaan memunculkan sejumlah kegelisahan tersendiri akanmakna persatuan dalam keberagaman. Bhinekka Tunggal Ika yang selama ini menjadi

    semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara dicari keberadaanya, secuil perayaan Imlek dikampung Sudiroprajan dianggap penulis sebagai salah contoh peristiwa yang merefleksikan

     Bhinekka Tunggal Ika. Perayaan ini menggambarkan sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah etnis untuk saling bertemu dalam kedamaian, bila dianalogikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebuah tujuan superordinat juga perlu di desain guna mencipta

    sebuah tujuan yakni persatuan.

     ——————–  

    Perkenalan saya dengan Bhinneka Tunggal Ika  bermula di bangku sekolah dasar ketikamenghafal lima sila Pancasila berserta isi gambar Burung Garuda merupakan sebuahkewajiban. 15 belas tahun lalu saya masih mempertanyakan apa pentingnya pelajaran tentang―persatuan‖ ini, yang disajikan secara membosankan dan di kemas dalam narasi panjang yang

    tak tahu rimbanya dengan kehidupan. Namun kini saya sangat rindu akan makna pelajaranini, ketika sering sekali saya dengar berita mengenai konflik antar suku, etnis, dan agama.Konflik Syiah dan Sunni di Sampang di Madura, Teror Bom di Solo, Kampanye berbumbusentimen agama menjelang Pilkada DKI, tawuran antar pelajar sekolah hingga konflik-konflik berbau sentimen suku, etnis, agama dan antar golongan. Semua peristiwa inimembuat saya sangat rindu, rindu untuk bersua dengan ― Bhinekka Tunggal Ika‖ yang

    sebenarnya.

    Adalah seorang siswa taman kanak-kanak yang membantu saya untuk berjumpa dan melihatapa itu Bhinnekka Tunggal Ika. Wahyu, bocah TK berusia 4 ini mungkin tidak tahu, apa ituarti persatuan dalam keberagaman, toleransi antar suku,ras, dan agama. Namun di sudut-

    sudut rumanhnya,di tiap gang sempit dikampungnya di Sudiroprajan adasemerbak aroma keberagaman dan keharmonisan yang berusaha dijaga oleh penduduknyayang mayoritas etnis Jawa dan Tiong Hoa. Wajahnya sangat sumringah saat menyambutImlek, walaupun dia tidak secara langsung merayakan Imlek karena Bapak Ibunyamerupakan seorang muslim turunan Jawa. Sepupu kecil saya ini selalu membawa ceritagembira tiap Imlek tiba. Dialah yang menceritakan tentang senangnya mendapat angpaoumerah, melihat arak-arakan parade kebudayaan, pertunjukkan Liong dan Barongsai yangmeriah, dan gunungan kue keranjang.

    Seluruh narasinya tentang Imlek ini menjadi indah walaupun disajikan terbata-bata karenanaratornya saja baru baru belajar bicara. Narasi Wahyu tentang Grebeg Sudiroprajan

    merupakan secuil kisah romantis tentang persatuan. Sebuah perayaan yang ihwalnya milikorang Tiong Hoa namun turut di semarakkan oleh orang Jawa. Tidak hanya di isi

    http://tempo-institute.org/bersua-dengan-bhinneka/http://tempo-institute.org/bersua-dengan-bhinneka/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    23/111

    oleh  Barong Sai dan Liong  saja, namun juga di percantik dengan pertunjukkan tari Manggala Yudha. Semua berbagi, menari dalam persatuan, bahkan Gunungan yangmerupakan ciri khas perayaan adat Jawa pada akhirnya menurut untuk dikawinkan dengankue keranjang. Ceritanya tidak berhenti sampai situ saja, namun berlanjut ketika saban hariyang dia sambangi adalah teman-teman mainnya yang bermata sipit, budhe dan bulik nya

    yang beragama Katholik hidup damai walau tinggal satu atap dengan bapak ibunya yangmuslim. Semua cerita bocah kecil tentang perbedaan itu merupakan sebuah gambaran kecil,sebuah subsistem dari sebuah kehidupan kampung di Sudiroprajan di kota Solo yangmerefleksikan semboyan Bhineka Tunggal Ika 

    Sebuah Persatuan Bukan Kesatuan 

    Sebuah pesan singkat dalam sebuah frasa Bhinekka Tunggal Ika ternyata menyeret sebuahnarasi panjang bernama ―persatuan‖. Nilai bernama ―persatuan‖ ini sudah berusaha di

    doktrinasi kepada para anak-anak sejak dini, melalui mata pelajaran kewarganegaraan.Didalamnya terdapat instruksi untuk menghafalkan kelima sila beserta berbagai pasal tentang

    kenegaraan dan terkadang stuktur mengenai pemerintahan. Namun esensi nilai persatuan iniseakan kabur, karena di kubur oleh kesalahan pemaknaan akan kata persatuan itu sendiri.

    Segala nilai persatuan pada akhirnya di reduksi ke dalam kata keseragaman dan kesamaanyang berarti bahwa hanya ada satu nilai yang benar dan di legitimasi. Dahulu sewaktu masihduduk di bangku sekolah dasar Bapak Guru mengajarkan kami untuk mengasihi ―sesama‖.―Sesama‖ yang sama agama, sama sukunya, sama bahasanya, sama pemikirannya, sama

    kelompoknya. Saya ingat bagaimana Bapak Guru menceritakan baiknya agama dan sukukami namun tidak pernah menyingung perihal kebaikan dari kelompok lain. Kami tidakdiedukasi untuk tahu atau mengerti ada agama lain di luar agama kami, yang saya ingat hanyakalimat ―YANG LAIN KAFIR‖. Semua yang makna persatuan jadi kabur karena berisi

    ajaran tentang dominasi, hegemoni, kesenangan akan subordinasi, dan minimnya pengetahuan akan eksistensi kelompok lain.

    Padahal Menurut Fromm dalam bukunya The Art of Love konsep persatuan dan konsepkesetaraan dapat dibahas dalam konteks cinta kasih antar sesama. Cinta inilah di cirikandengan minimnya ekslusivitas karena adanya perasaan kesetaraan merasa sama-sama menjadimanusia. Inilah yang mendasarkan manusia untuk saling mengambil tanggung jawab,menolong, membantu, dan menghargai sesama manusia (Fromm,1956). Bahkan konsepkesetaraan dan persatuan ini mendapatkan tempat dalam konteks religiusitas bahwa kitasama-sama hamba Tuhan sama-sama manusia yang di ciptakan olehnya. Kesetaraan sekarang

    telah berubah menjadi keseragaman bukannya persatuan ― atau rasa menjadisatu‖(Fromm,1956). 

    Anasir Perjalanan Bangsa 

    Runyam segala runyam, karena semboyan bangsa jadi kabur dan tak tahu rimbanya dalamkehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal ihwal semboyan Bhinekka Tunggal Ika lebih tuadibandingkan ihwal negara kita, karena 800 tahun yang lalu jauh sebelum Pancasila lahir,kalimat itu telah tertulis dalam sebuah kitab Purusadha Santa atau yang lebih di kenal dengan

    kitab Sutasoma di zaman Majapahit. Semboyan ini bukanlah sekedar rangkaian frasa ataugantungan kaki burung garuda, tapi juga sebuah refleksi sejarah Nusantara. Hubungan antara

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    24/111

    agama Budha dan Hindhu yang harmonis saat itulah yang mengilhami sang penulis EmpuTantular untuk menggambarkan bagaimana persatuan dapat di bangun dalam pondhasi yang

     beragam.

    Bahkan sebelum teori multikulturaisme yang popular dari Kanada 50 tahun yang lalu lahir,

    semboyan ― Bhinekka Tunggal Ika‖ yang isinya hampir sama sudah mbrojol terlebih dahuluke Bumi Nusantara. Semboyan ini telah di tempa oleh ratusan peristiwa sejarah, pergantiandinasti kerajaan, peperangan, kolonisasi dan akhirnya berhasil mencuri perhatian para

     panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Semboyan ini adalah sebuah refleksi panjang perjalanan sebuah bangsa yang dulunya berasal dari chauvinis-chauvinis kecil kerajaan-kerajaan, dari pecahan berbagai suku, budaya dan agama yang beragam.

    Beban sebuah Konflik  

    Sebagai sebuah landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Bhinekka Tunggal Ika seharusnya dapat hadir dalam keseharian kita, untuk itu memerlukan usaha para

    manusia-manusia Indonesia untuk menjaganya. Namun nyata sangat sulit hanya untuk bersuadengan Bhinekka Tunggal Ika di ―alam‖Indonesia. Tumpukan kesedihan mulai tumpah ketika

     banyak sekali konflik terjadi atas nama perbedaan mencuat. Larangan beribadah bagi umatminoritas beragama tertentu seperti Ahmadiyah, konflik suku yang tak berkesudahan di Posodan Papua, saling serang mulai dari pelajar hingga mahasiswa, sampai cerminan pestademokrasi yang di gentayangi dengan isu SARA. Selain menyita perhatian, konflik-konflikini seakan lingkaran setan yang tak ada habisnya diulang dan di bumbui dengan korban,kematian, darah, isak tangis, kerugian fisik dan psikologis. Berapa harga yang harus kita

     bayar untuk konflik atas nama perbedaan, berapa rumah yang harus dibakar? Berapa pemudayang harus meregang nyawa karena paradigma primordial kesukuan, kegamaan,keanggotaan,atau apapun itu namanya. Konflik-konflik ini merupakan sampah tersendiri bagi aruskemajuan bangsa, hitung saja berapa energi yang kita habiskan untuk memikirkan hal-halyang kontraproduktif ini.

    Mencipta Sebuah Tujuan Superordinat 

    Seorang psikolog sosial bernama Sherif tahun 1961 pernah melakukan sejumlah eksperimenmengenai dinamika kelompok (Forsyth,2010). Ada 2 kelompok yang di desain oleh untuksaling bermusuhan dalam sebuah setting  tertentu yakni kompetisi dan sabotase. Namun ditengah jadwal yang telah di rencanakan,eksperimen hampir di hentikan karena hasilnyamelebihi apa yang di harapkan. Kedua kelompok ini telah berkonflik sedemikian hingga

    hingga memunculkan tindakan kekerasan. Pada akhirnya sebuah resolusi di ciptakan yaknidengan membuat sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok. Eksperimenterhadap kelompok ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah konflik dapat di desainkarena adanya rekayasa dan manipulasi akan ―perbedaan‖ namun juga tidak menutupkemungkinan untuk diselesaikan dengan sebuah tujuan bersama yakni tujuan superordinat.

    Kembali ke narasi Wahyu, bahwa sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompokdapat mempererat hubungan antara dua kelompok. Misalnya antara etnis Jawa dan etnis Cinadi kampung Sudiroprajan yang akhirnya memiliki sebuah tujuan bersama. Merayakan Imlekdengan menggabungkan kedua unsur budaya, dan mengajak segenap etnis yang berada disanauntuk turut memeriahkan Imlek. Dari sebuah bingkai kecil kehidupan di kampung

    Sudiroprajan membawa sebuah pesan besar akan persatuan. Persatuan akan sebuah bangsa

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    25/111

    yang tersusun atas enigma-enigma suku bangsa yang berbeda, walaupun berbeda sebenarnyakita semua sama, sama-sama manusia, manusia Indonesia!

    Daftar Pustaka

    Forsyth, D. R. (2010). Group Dynamics. Belmont: Cenggage Learning.

    Fromm, E. (1956). The Art of Loving. New York: Harper & Row Publisher.

    Purwadi, D. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogjakarta: Media Abadi.

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    26/111

    Melihat Indonesia Lebih Dekat 

    Oleh: UTOMO PRIYAMBODO - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 

    Ringkasan Esai: 

    Berdasarkan pengamatan terhadap teman-teman sekampus saya, saya menemukan fakta bahwa teman-teman kampus yang ketika kecil tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan, pedesaan, dan daerah-daerah sejenisnya yang mayoritas dihuni ‗‖rakyat‖,memiliki sikap dan pemikiran yang lebih nasionalis dibandingkan teman-teman kampus yangketika kecil tumbuh dan besar di perumahan-perumahan kota yang justru terkesan bersikapdan berpermikiran kapitaslis. Kata ―rakyat‖ di sini secara khusus ditujukan untuk lapisan

    masyarakat kelas bawah.

    Dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia ini, saya merasa bahwa mata pelajarankewarganegaraan yang diajarkan di tiap-tiap instansi pendidikan masih sangat kurang

     berperan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada tiap-tiap diri peserta didiknya.Pelajaran itu, bagi saya sendiri, hanya menjadi pelajaran sampingan yang sifatnya formalitas.Semakin lama, semakin banyak peserta didik yang justru meremehkannya.

    Menurut saya, untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, rasa cinta kepada bangsa dan negaraIndonesia, kita haruslah terlebih dulu mengenal bangsa dan negara ini. Unsur utama suatu

     bangsa dan negara adalah rakyatnya. Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan tiap instansi pendidikan di negeri ini memiliki kurikulum yang memungkinkan adanya kegiatan-kegiatan bagi peserta didiknya untuk dapat melihat kehidupan rakyat Indonesia secara lebih dekat.Mulanya memang hanya sekedar melihat, tapi kemudian mengenal, lalu sayang, dan akhirnyacinta.

     ————————— -

    Ketika dulu masih kecil, saya sering merasa malu dengan lokasi rumah saya yang berada didaerah perkampungan. Kebetulan, teman-teman sekolah saya yang lain, kebanyakanrumahnya berada di daerah perumahan, di kompleks, atau yang sejenisnya.

    Saat mengisi kolom alamat biodata pribadi, hampir semua teman mengisinya dengan nama jalan, nama kompleks, ataupun nama perumahan. Sedangkan saya ketika itu harus secaramalu-malu mengisinya dengan rangkaian tulisan berkata pertama ―Kampung‖.Kenyataannya, rumah saya memang berada di sebuah kampung bernama KampungKebantenan, Jatiasih, pinggir kota Bekasi. Sejak awal, ibu saya telah mencontohkan kepadasaya untuk menuliskan ―Kampung‖ atau bila disingkat ―Kp.‖ sebagai kata pertama tulisan di

    setiap kolom alamat biodata saya. Baik itu untuk biodata TK, SD, maupun biodata kuliahsaya sekarang, meski kini tak perlu lagi dicontohkan oleh beliau karena saya sudah terbiasamenuliskannya sendiri.

     Namun, perasaan malu itu kian lama kian hilang seiring bertambahnya usia saya, juga

    (mungkin) kedewasaan saya. Kini saya justru merasa beruntung karena sejak kecil sayatumbuh dan besar di daerah perkampungan. Kenapa? Karena banyak pengalaman yang saya

    http://tempo-institute.org/502/http://tempo-institute.org/502/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    27/111

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    28/111

    Contoh serupa, ketika di kampus, teman-teman kuliah saya yang sejak kecil tumbuh dan besar di lingkungan perumahan atau kompleks, terlihat lebih senang bergaul dengan sesama―anak gaul kota‖ dan cenderung hura-hura. Sedangkan teman-teman lain yang sejak kecilseperti saya tumbuh dan besar di lingkungan rakyat, sekalipun bisa saja mengikuti gaya hidupanak gaul kota dengan menghamburkan harta orang tua, justru lebih senang bergaul secara

    lebih sederhana dengan teman-teman yang berasal dari wilayah-wilayah daerah. Ketikateman-teman saya yang ―anak gaul kota‖ tadi memiliki cita-cita untuk bekerja di perusahaanasing swasta dengan gaji puluhan juta; teman-teman yang ketika kecil seperti saya danteman-teman yang berasal dari daerah tadi justru berniat untuk bekerja membangun

     perusahan milik negeri sendiri saja, atau di perusahaan-perusahan yang memungkinkanmereka untuk membangun dan kembali ke daerah setelah lulus nanti.

    Saya tidak bermaksud tinggi hati menceritakan hal di atas. Namun, itu adalah fakta di antarateman-teman saya, meski tidak bisa juga menggeneralisasi semua teman. Sebab ada juga anakgaul kota tapi tetap nasionalis, atau anak daerah tapi kapitalis (maaf). Tapi, sebagian besar

     pembagian klasifikasi di atas adalah benar yang saya temukan.

    Dua orang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban, melakukan sebuah rangkaian perjalananmengelilingi Indonesia untuk memotret fenomena kehidupan rakyat dan alam di segenapdaerah. Mereka menamakan rangkaian perjalanan tersebut ―Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa‖.

    Hasil rangkaian perjalanan tersebut diabadiakan dalam sebuah buku oleh Ahmad Yunus.Buku itu berisi ringkasan tulisan, foto, dan video catatan perjalanan mereka berdua.[3]

    Berdasarkan pengakuan mereka berdua, rasa cinta mereka kepada Indonesia menjadi semakin bertambah setelah melakukan ekspedisi tersebut. Sebab, mereka telah melihat sendiri bagaimana kenyataan kehidupan rakyat di segenap penjuru tanah air, di berbagai pelosokdaerah di Indonesia. Kenyataan itulah yang membuat mereka pun menghimbau para pembaca

     buku itu untuk pergi melihat Indonesia secara lebih dekat, melihat fenomena rakyat jugaalamnya.

    Saya ingin mengutip sebuah pepatah yang sering kita dengar bersama, ―Tak kenal maka tak

    sayang, tak sayang maka tak cinta.‖ Begitu benar isi pe patah itu menurut saya. Jika kita takmengenal bangsa dan negara ini bagaimana mungkin kita bisa mencintainya? Lengkapnyalagi, bagaimana mugkin kita bisa mengenal sesuatu jika kita tak pernah mengamatinya,melihatnya. Dan unsur utama sebuah bangsa dan negara adalah rakyatnya.

    Saya yakin bila semua warga negara ini mau melihat Indonesia secara lebih dekat dengan

    melihat, mengenal, dan membiasakan diri untuk dekat dengan rakyat Indonesia, niscaya rasacinta yang ada pada diri tiap-tiap warga kepada bangsa dan negara ini akan muncul dan bertambah. Siapapun dan apapun profesi warga negara tersebut. Baik itu pelajar, pengusaha, pejabat pemerintahan, maupun lainnya. Sehingga, bangsa dan negara ini pun akan menjadi bangsa dan negara yang sejahtera sebab selalu diperhatikan dan dicintai oleh segenap warganegaranya.

    Melihat Indonesia lebih dekat tidaklah harus ekspedisi keliling Indonesia seperti yangdilakukan dua jurnalis di atas. Tidak juga harus memiliki pengalaman masa kecil seperti sayayang hidup tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan yang banyak berpenduduk―rakyat‖. 

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    29/111

    Jika kebetulan Anda adalah orang kota, Anda tak perlu juga jauh-jauh pergi ke desa-desa atauke kampung-kampung untuk melihat ―rakyat‖, untuk melihat Indonesia lebih dekat. Sebab, dikota-kota besar banyak juga terdapat rakyat. Coba saja ke kawasan pemukiman pendudukkelas bawah di kolong-kolong jembatan kota atau di pinggir rel kereta api stasiun kota. Takmengapa hanya melihat-lihat saja ketika di sana, belum sempat atau belum mampu

    membantu. Dari sekadar melihat-lihat itulah, niscaya kian lama akan bertumbuh dan bertambah rasa simpati dan empati kita kepada rakyat Indonesia. Akan semakin tumbuh rasacinta kita kepada bangsa dan negara ini.

    Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di Indonesia, saya masih merasa kurang dengansekadar adanya mata pelajaran kewarganegaaran. Menurut saya, itu hanyalah terkesansebagai sebuah mata pelajaran formalitas dalam kurikulum pendidikan yang sudah turuntemurun. Bagi saya pribadi, efek mata pelajaran tersebut untuk meningkatkan rasanasionalisme dalam diri saya sangatlah sedikit. Apalagi, berdasarkan pengamatan saya,semakin beranjak usia, peserta didik semakin menganggap remeh mata pelajaran tersebut.Bahkan di kalangan mahasiswa, mata kuliah kewarganergaraan hanya dianggap sebagai mata

    kuliah sampingan sekaligus mata kuliah ―paket A‖ sebab saking mudahnya untukmendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah tersebut.

    Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan pemerintah beserta tiap-tiap instansi pendidikan dinegeri ini untuk membuat sebuah kurikulum pendidikan baru yang memungkinkan adanya

     jadwal praktik kegiatan di luar kelas tiap minggu atau minimal tiap bulan bagi para pesertadidiknya untuk mengunjungi dan melihat kehidupan rakyat secara lebih dekat – melihatIndonesia lebih dekat. Seperti yang telah saya utarakan, tak perlu jauh-jauh berpergian,seperti halnya kegiatan study tour dan lainnya. Cukup ke lingkungan rakyat yang terdekatdengan gedung sekolah yang bersangkutan.

    Agar peserta didik lebih terkesan dengan kunjungan kegiatan tersebut, para pendidik dapatsecara kreatif mengadakan kegiatan sederhana dengan penduduk di lingkungan rakyattersebut untuk para peserta didiknya agar dapat berinteraksi dengan rakyat. Akan menjadinilai plus lagi apabila kegiatan yang diadakan tentunya dapat bermanfaat juga bagi penduduksetempat.

    Jikapun para pendidik tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan kegiatan untuk dapatmelibatkan para peserta didik dengan rakyat, kunjungan untuk sekadar melihat-lihatkehidupan rakyat pun menurut saya sudah lebih bagus daripada sekadar hadir di kelas mata

     pelajaran kewarganegaraan. Mata pelajaran yang materinya yang semakin sering ditemui

    semakin membuat ngantuk dan diremehkan peserta didik.

    Dalam proses menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, tahapan awalnya cukup dilakukandengan melihat-lihat terlebih dulu kehidupan rakyatnya secara lebih dekat, lalu mengenal,kemudian sayang, dan akhirnya cinta. Inilah cara mudah lagi sederhana, tapi mampumenggugah rasa nasionalisme kepada bangsa dan negara. Silakan dicoba!

     ___________________________________________________________________________

    [1] Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    30/111

    [2] Gie, Soe Hok. 1989. Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.

    [3] Yunus, Ahmad. 2011. Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara. Jakarta:Serambi.

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    31/111

    Kotak Pandora Bernama Toleransi 

    Oleh: DANIEL HERMAWAN - UNIVERSITAS PARAHYANGAN 

    Rangkuman:

    Dewasa ini, keberagaman masih dianggap sebuah jurang pemisah dalam masyarakatIndonesia. Perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan bahasa memberikan persepsi bahwa kita

     berbeda dan kita tak mungkin bersatu. Semboyan ―Bhinneka Tunggal Ika‖ seolah masih

    menjadi utopia dan hiasan dinding sekolah semata tanpa realisasi praktik nyata di lapangan.Jika gejala perpecahan akibat keberagaman ini terus terjadi, bukan mustahil 50 hingga 100

    tahun ke depan, nama Indonesia mungkin sudah tinggal dalam catatan sejarah. Maka dari itu,kita harus membuka kotak Pandora bernama toleransi untuk menyelamatkan dan melakukanrevitalisasi terhadap makna keberagaman itu sendiri. 

    I. Prolog 

    Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelumakhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolommendatar: Apakah arti ―Bhinneka Tunggal Ika‖? Aku ingin menjawab ―persatuan‖ padakolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanyadalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawaboleh pembuat teka-teki silang ini?

    Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagimasyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kitamasih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai

     bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakarkarya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadapkeberagaman itu.

    Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampaikita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan

     bernegara.

    II. Refleksi 

    Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Akutinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budayaSunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda.

    Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun

    terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki kesekolah melewati rumah warga sekitar. ― Eta aya si Cina. Cina!‖ (Itu ada si Cina. Cina!)

    http://tempo-institute.org/kotak-pandora-bernama-toleransi/http://tempo-institute.org/kotak-pandora-bernama-toleransi/

  • 8/19/2019 Kumpulan 30 Besar Esai Tempo Institute

    32/111

    Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepatlangkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada.

    Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala akumenuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. ― Haiya, ada orang Cina mau ikutan

    seminar!‖ Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkahaku bukan bagian dari Indonesia yang katanya ―Bhinneka Tunggal Ika‖? 

    Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna―Bhinneka Tunggal Ika‖ itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket

     pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat ―Bhinneka

    Tunggal Ika‖ itu selama ini belum pernah ku rasakan. Konsep kebanggaan terhadap

    keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan.

    Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkalaterjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di

    ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibatkerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadartatkala kerus