Kurikulum Pemuda GBKP Tinjauan Kritis terhadap ......asas-asas kurikulum yang perlu diperhatikan...
Transcript of Kurikulum Pemuda GBKP Tinjauan Kritis terhadap ......asas-asas kurikulum yang perlu diperhatikan...
-
1
KURIKULUM PEMUDA GBKP
(Tinjauan Kritis terhadap Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda
Gereja Batak Karo Protestan)
Oleh,
Indah Sriulina
NIM: 712009003
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi (S.Si Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2013
-
2
-
3
-
4
-
5
KURIKULUM PEMUDA GBKP
Tinjauan Kritis terhadap Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda
Gereja Batak Karo Protestan
Oleh : Indah Sriulina
Abstract:
Youth Ministry is an important thing that must be observed by the Church. Coaching
of young people is the duty and responsibility of the Church. Because the youth is the
managing agent duties and Church services, as well as the next generation of the Church in
the future. This paper reveals a critical review of the curriculum design of youth ministry in
the Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Youth in GBKP known as PERMATA that stands
for "Persadaan Man Anak Gerejanta" which means unity of our Church's children. The
process of curriculum design are still many of lack. Curriculum designers did not have a balanced attention to the principles of the curriculum, the approaches used are also not
vary, and curriculum design process also has not been effective. The curriculum designers
forget to evaluate the curriculum design every year. The author think that is a severe fault.
This is caused by a variety of factors, namely the causes of differences in the context of
youth, education, employment, and community development. Therefore, the author tried to
criticize the process of curriculum design of PERMATA, based on the theory of curriculum
development, with the goal to become the input for the development of coaching for GBKP’s
youth in the future.
Key Words: Youth Ministry, Curriculum Planning, Curriculum Design, PERMATA, The
Principle of Curriculum Design
Pendahuluan
Gereja memiliki peran penting dalam pendidikan dan pembinaan umatnya. Hal ini
diperkuat oleh salah satu fungsi gereja yakni, persekutuan belajar – mengajar; dimana
gereja menyediakan kesempatan belajar bagi orang dari segala kategori usia. Dalam Gereja,
orang mencari jawaban dari Injil terhadap pertanyaan yang ditimbulkan oleh pengalaman
hidup.1 Dalam Pelayanan Kategorial Gereja, terdapat kaum muda yang juga merupakan
bagian dari persekutuan Gereja. Kaum muda memiliki peran penting terhadap Gereja di
masa depan. Kaum muda haruslah dibina dengan bekal yang cukup agar dapat menjadi
pemimpin Gereja yang sesuai dengan kriteria Allah.
1 Dien Sumiyatiningsih, “Mengajar dengan Kreatif dan Menarik,” (Yogyakarta: ANDI, 2006), 28
-
6
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja yang mewarisi tradisi Calvinis
yang tidak jauh berbeda dengan gereja-gereja calvinis pada umumnya. Tradisi Calvinis yang
diwarisi GBKP antara lain tampak dalam sistem presbiterial sinodal. Kata presbiterial
menunjukkan adanya otonomi gereja setempat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat. Kata
sinodal menjelaskan bahwa gereja-gereja yang telah menggabungkan diri pada sinode dan
harus sejalan dengan sinode. Dalam sistem ini, GBKP secara keseluruhan memiliki tiga
jenjang, yang mempengaruhi setiap sistem dan struktur organisasinya, yakni Sinode, Klasis,
dan Runggun/Jemaat. GBKP merupakan Gereja suku yang berbasis di Tanah Karo,
Sumatera Utara. Namun, dikarenakan mobilisasi penduduk maka GBKP sudah menyebar
luas di beberapa daerah di luar Sumatera Utara – seperti Jakarta, Sumatera Selatan,
Sumatera barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan dan daerah lainnya – yang
anggotanya adalah orang Suku Karo yang merantau ke berbagai daerah tersebut.
Dalam GBKP, persekutuan pemuda dikenal dengan sebutan “Permata”, yang
merupakan singkatan dari “persadaan man anak Gerejanta” artinya, persatuan untuk anak
gereja kita. Permata memiliki lembaga internal sendiri yang terdapat dalam ruang lingkup
Runggun/Jemaat, Klasis, dan Sinode. Oleh karena itu, terdapat Komisi Permata dalam
struktur organisasi Gereja. Tujuan utamanya adalah untuk membina kaum muda.
Pembinaan terhadap kaum muda menjadi pelayanan yang sangat diperhatikan oleh
GBKP. Karena melihat pentingnya hal ini, GBKP merancang kurikulum dalam
pembinaan/pendidikan terhadap kaum muda. Kurikulum ini dibuat oleh Sinode dan dipakai
di seluruh GBKP se-Indonesia. Jadi, boleh dikatakan bahwa Kurikulum Permata dirancang
dan dikerjakan oleh Komisi Permata tingkat Sinode dibawah naungan Bidang Koinonia.2
Total Runggun GBKP se-Indonesia yakni berjumlah 506, terdapat 326 runggun yang berada
2 http://www.gbkp.or.id/ diakses pada tanggal 04 April 2013, pada pukul 14.25 WIB
http://www.gbkp.or.id/
-
7
di luar Tanah Karo, Kabanjahe. Itu berarti bahwa prosentase runggun/jemaat perantauan
lebih besar daripada runggun yang berada di sekitar Tanah Karo atau yang berdekatan
dengan kantor Sinode.3
Pada umumnya jemaat GBKP yang berbasis di Tanah Karo adalah jemaat/runggun
yang berada dalam konteks desa dan juga semi kota, seperti di beberapa runggun di daerah
Tigabinanga, Sibolangit, dan banyak daerah lainnya. Seperti yang dikatakan sebelumnya,
terdapat mobilisasi penduduk yang mengakibatkan banyak orang Karo yang merantau ke
luar Tanah Karo, tentu daerah-daerah tersebut memiliki konteks yang berbeda, yakni
konteks perkotaan. Contohnya runggun-runggun yang berada di daerah Jakarta, Yogyakarta,
Bandung, Semarang, dan sebagainya. Disinilah penulis melihat ada masalah yang timbul
dimana kurikulum yang dirancang secara seragam oleh Sinode, diperuntukkan bagi kaum
muda yang berada di pedesaan maupun perkotaan. Apakah kurikulum tersebut sesuai
dengan kebutuhan Permata? Apakah asas-asas yang digunakan oleh Sinode GBKP dalam
merancang kurikulum Permata? Pendekatan-pendekatan apa saja yang dipakai? Pertanyaan-
pertanyaan ini membawa penulis kepada sebuah kesimpulan untuk mengetahui lebih jelas
bagaimana proses perancangan Kurikulum Permata GBKP.
Jadi topik dalam tulisan ini dapat dirumuskan yaitu proses perancangan kurikulum
pembinaan Permata GBKP. Pertanyaan yang menuntun adalah bagaimana proses
perancangan kurikulum pembinaan Permata di GBKP, asas-asas apa yang mendasari
perancangan tersebut, dan pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan oleh perancang.
Oleh sebab itu, penulis memulai dengan definisi, asas-asas, pendekatan-pendekatan, dan
design kurikulum yang dikemukakan oleh Wyckoff. Teori dari Nasution juga mempertajam
asas-asas kurikulum yang perlu diperhatikan dalam proses perancangan kurikulum. Selain
itu, penulis juga melihat kepada definisi pemuda dan perkembangan pemuda menurut John
3 Sinode GBKP, Data Statistik GBKP tahun 2012.
-
8
W. Santrock, Elizabeth B. Hurlock, serta beberapa tokoh lainnya. Penulis juga
mengemukakan karateristik pembinaan pemuda Gereja yang dikemukakan oleh Doug Fields.
Dimana pembinaan pemuda harusnya mengutamakan hubungan, sumber ide yang kreatif,
kekuatan yang melebihi kepribadian, dan kejelasan tujuan orang-orang yang akan terlibat
dalam kepemimpinan. Pada akhirnya penulis mencoba mengkritisi proses perancangan
kurikulum pembinaan Permata berlandaskan teori yang digunakan guna terwujud
pembinaan yang kontekstual.
1. Pengembangan Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu currere yang berarti to run
(menyelenggarakan) atau to run the course (menyelenggarakan suatu pengajaran).4 Di
Indonesia istilah “Kurikulum” populer sejak tahun lima puluhan dan dipopulerkan oleh
mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat.5 Dahulu kurikulum lebih dikenal
dengan sebutan “rencana pelajaran.” Namun, dengan perkembangan zaman yang terjadi
“rencana pelajaran” tidak lagi relevan. Pengertian kurikulum bukan sesederhana pengertian
“rencana pelajaran,” kurikulum mencakup hal yang lebih luas yang berada di luar kelas
yang mempengaruhi perubahan perilaku anak didik. Kurikulum adalah sesuatu yang
direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.6 Secara umum,
kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar
mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta
staff pengajarnya.7 Dalam Gereja, Wyckoff mengatakan kurikulum dimengerti sebagai
rencana dan program yang diusahakan oleh Gereja untuk memenuhi tugas dalam mendidik
4 Rakhmat Hidayat, “Pengantar Sosiologi Kurikulum” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 2
5 Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum” (Jakarta: Bumi Aksara,2008), 2
6 Ibid., 8
7 Prof. Dr. S. Nasution M.A., “Kurikulum dan Pengajaran” (Jakarta: Bina Aksara, 1989), 5
-
9
jemaat.8 Kurikulum adalah pengalaman di bawah bimbingan menuju pemenuhan tujuan
Pendidikan Agama Kristen – tidak seluruh situasi sosial dalam seseorang itu diperhatikan,
contohnya tingkah laku orang tersebut dan dengan siapa ia berinteraksi, tapi bagian itu yang
secara sadar direncanakan.9 Rencana tersebut terdiri dari prosedur pendidikan yang dipilih
dan digunakan untuk membantu pelajar untuk melihat, menerima, dan memenuhi tujuan
Allah melalui penebusan Yesus Kristus.10
Itu berarti kurikulum adalah rencana pendidikan
yang membantu jemaat untuk melihat, menerima, dan memenuhi tujuan Allah melalui
penebusan Yesus Kristus, dengan merefleksikan pengalaman kehidupan mereka.
Dalam merancang kurikulum, Gereja memerlukan subjek sebagai perancang
kurikulum. Perancang kurikulum tersebut bisa terdiri dari beberapa ahli dari segala macam
bidang. Dalam upaya merancang kurikulum tersebut, terdapat empat asas yang harus
diperhatikan oleh perancang kurikulum, yakni yang pertama, Asas Filosofi; Asas Filosofi
ini berkenaan dengan tujuan pendidikan. Kurikulum dalam Gereja mengajarkan Kebenaran
Injil Allah dan hubungan antara manusia dengan Allah. Gereja dan Allah adalah pengajar
dalam Gereja.11
Pengajaran terbesebut dilakukan dalam otoritas Firman Allah dengan tujuan
penebusan dan pemenuhan, bahwa orang akan ditebus dalam Kristus dan hidup di dalam
Dia, dan mereka dapat menerima karunia hidup kekal dan bergabung dalam misi dan
pelayanan.12
Kedua, Asas Psikologis; Asas ini memberi perhatian kepada perkembangan anak
yang merupakan aspek penting untuk diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.
8 D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum” (Philadelphia: The
Westminster Press, 1961), 27 9 Ibid., 17
10 Ibid.., 27
11 D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum” 95
12 Ibid.
-
10
Perkembangan tersebut meliputi fisik, emosional, sosial, dan mental (holistik). Anak harus
dilihat sebagai sebuah kesatuan dan keutuhan. Anak harus dilihat secara keseluruhan.
Ketiga, Asas Sosiologis; Tiap masyarakat memiliki norma-norma, adat kebiasaan
yang harus dikenal dan diwujudkan oleh anak dalam pribadinya lalu dinyatakan dalam
kelakuannya. Tiap masyarakat berlainan corak dan nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak
akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Juga perubahan masyarakat akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pertimbangan dalam
kurikulum.13
Asas Sosiologis yaitu keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya,
kebudayaan manusia, hasil kerja manusia berupa pengetahuan dan lain-lain.
Asas terakhir yang harus diperhatikan adalah Asas Organisatoris; Asas ini
berkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana bahan pelajaran akan disajikan.14
Jemaat sebagai persekutuan orang percaya dalam misi Kristus merupakan petunjuk untuk
perancangan dan perorganisasian mata pelajaran. Mengajar dan pengalaman belajar harus
dilakukan oleh Gereja agar jemaat dapat merespon dengan Iman kepada Allah.15
Asas-asas Kurikulum yang telah dikemukakan merupakan pegangan dalam
pengembangan kurikulum, namun masih perlu pegangan terperinci yakni memilih
pendekatan kurikulum yang serasi untuk merancang kurikulum.16
Terdapat enam
pendekatan yang dapat Gereja gunakan, antara lain Pendekatan Teologis adalah interpretasi
dari Wahyu dan aplikasi dari isi Wahyu tersebut merujuk kepada seluruh permasalahan
kehidupan. Orientasi dari pendekatan ini adalah Firman Tuhan itu sendiri. Metode yang
dilakukan adalah analisa sumber utama – Kitab Suci, analisa pengalaman-pengalaman
13
Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum” (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 13 14
Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum,” 14 15
D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 96 16
Prof. Dr. S. Nasution M.A., “Kurikulum dan Pengajaran” (Jakarta: Bina Aksara, 1989), 43
-
11
religius, kesimpulan logis, sistematik, dan konsensus17
. Aktualisasi dari metode tersebut
adalah ibadah, persekutuan, pelayanan. Pendekatan kedua, Pendekatan Filosofis; berkaitan
dengan analisa dan interpretasi dari realitas, pengetahuan, dan nilai. Metode pengajaran
yang digunakan berpusat pada pengalaman, intuisi, dan analisa yang logis. Ketiga,
Pendekatan Historis; menekankan rekonstruksi bermakna dari setiap pengalaman yang
dialami dan mengantisipasi peristiwa mendatang. Metode pengajaran yang digunakan
memilah data-data berkompeten melalui berbagai hipotesis dan pengujian. Saat ini, sejarah
sangat produktif dalam memprediksi dan mengontrol peristiwa yang akan datang. Keempat,
Pendekatan Psikologi; menekankan kepada perkembangan dan kebiasaan dari setiap
individu. Metode pengajaran dilakukan secara eksperimental dan fenomenologis18
.
Pendekatan berpusat pada nara didik. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan kebutuhan,
minat, dan kemampuan siswa. Kelima, Pendekatan Sosial; menekankan kepada kelompok
sosial dan perkembangannya. Metode pengajaran yang digunakan adalah empiris dan logis.
Pendekatan Sosiologis memproduksi hipotesis yang berguna, berbicara tentang status
sosial, dinamika budaya, dan hubungan antarkelompok. Pendekatan yang berorientasi pada
kehidupan masyarakat. Pendekatan ini bertujuan mengintegrasikan masyarakat dan untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat. Pendekatan terakhir yakni Pendekatan Ilmu
Komunikasi yang merupakan interpenetrasi ide-ide, perasaan, dan perilaku antar orang dan
kelompok. Metode pengajaran yang digunakan adalah eksperimental dan logis.
Setiap pendekatan yang digunakan oleh Gereja akan mempengaruhi metode apa
yang digunakan. Pendekatan tersebut dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya, agar
terwujud pengajaran yang kreatif. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
pengembangan kurikulum akan membantu dan mempengaruhi dalam proses perancangan
17
Konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian,
dsb) yang dicapai melalui kebualatan suara. 18
Fenomenologis adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai
ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat.
-
12
kurikulum. Dalam perancangan Kurikulum, para perancang kurikulum perlu memperhatikan
setiap prinsip dasar yang dimasukkan dalam perancangan kurikulum, yakni: a) Konteks
Pendidikan Agama Kristen, b) Ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen, c) Tujuan dari
Pendidikan Agama Kristen, d) Proses Pendidikan Agama Kristen, dan e) Prinsip
Pengorganisasian Kurikulum.19
Terdapat empat desain kurikulum yang dapat Gereja gunakan, yakni pertama desain
kurikulum yang beorientasi pada anak; anak menjadi pusat dari isi kurikulum. Jadi, seluruh
isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan anak. Kedua, desain kurikulum yang
berorientasi pada pengetahuan; desain ini berpusat kepada pengetahuan yang akan
diajarkan, yakni konteks dari pendidikan agama Kristen itu sendiri dan Firman Tuhan.
Ketiga, desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat; desain ini berpusat kepada
kebutuhan masyarakat, dan keempat adalah desain kurikulum yang bersifat eklektik; desain
ini memilih dari berbagai sumber (Longstreet dan Shane 1993).20
Wyckoff mengemukakan
garis besar proses perancangan kurikulum Pendidikan Agama Kristen yang dapat digunakan
oleh Gereja, yakni21
:
1. Tentukan Topik
2. Motivasi dan kebutuhan pribadi yang berhubungan dengan topik:
a. Analisa pemahaman dan kesalahpahaman, pertanyaan, dan kebutuhan yang
diharapkan dijelaskan oleh topik.
b. Petunjuk untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan yang tersirat dan
menimbulkan motivasi lain.
3. Tujuan dari topik yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan Agama Kristen.
19
D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 187 20
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd., ”Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)” (Jakarta: Kencana Predana Media Group,
2008), 63 21
D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 190-192
-
13
4. Ruang lingkup dari topik tersebut:
a. Topik yang mencakup Pendidikan Agama Kristen.
b. Hubungan antara topik dengan keseluruhan Pendidikan Agama Kristen.
5. Hasil yang diharapkan dari pengajaran kelompok atau individual:
a. Bagaimana cara untuk mencapai tujuan/hasil dari pengajaran kelompok atau
individual.
- Tujuan utama yang berhubungan dengan topik dan permasalahannya meliputi
urutan kebutuhan tujuan tersebut, yakni, berbagai tujuan pengantar, berbagai
tujuan pembangunan, dan berbagai tujuan akhir.
b. Analisa yang sangat penting dari tujuan yang ingin dicapai. Dalam menganalisa,
perancang kurikulum perlu memperhatikan kepentingan dan kegunaan dari setiap
materi pembelajaran. Perancang mendasari analisa tujuan dengan melihat apa
manfaat dari kegiatan yang diajarkan, apa prosedur yang terlibat dalam
pelaksanannya, apa bahan yang digunakan, siapa yang terlibat didalamnya, hasil
yang bagaimana yang biasanya diharapkan, aspek apa yang berpengaruh di
dalam perancangan kurikulum, dan apa tujuan atau kegiatan yang sewajarnya
dapat dicapai atau dilaksanakan menurut topik yang diajarkan.
6. Prosedur pengajaran yang dijelaskan secara terperinci. Prosedur tersebut terdiri dari
berbagai macam metode, kegiatan, dan rancangan. Prosedur dimulai dengan
mengembangkan dan menyelidiki pengalaman nara didik, dan diakhiri dengan
penyatuan antara pengalaman dan topik yang telah diajarkan. Metode dijelaskan
secara terperinci. Hal ini berguna untuk mengukur perkembangan yang terjadi,
terutama untuk mencapai tujuan pengajaran. Hal ini juga dapat digunakan untuk
menunjukkan bagaimana motivasi dapat dikembangkan, bagaimana mereka dapat
berkembang dan apa yang harus dilakukan jika tidak berkembang.
-
14
7. Daftar sumber bahan bibliografi yang akan digunakan. Hal ini akan berisi materi
pembelajaran dan alat bantu lainnya.
8. Prosedur untuk evaluasi kurikulum, yang meliputi:
a. Sebuah pendekatan untuk evaluasi terus-menerus.
b. Sebuah pendekatan untuk evaluasi objektif, menimbang nilai-nilai kurikulum,
menimbang isi kurikulum dan prosedur, dan memeriksa kerja individu dan
kelompok.
c. Melakukan pemeriksaan ulang kemajuan yang terjadi dan prestasi yang didapat,
kemudian mempertimbangkan implikasi untuk langkah selanjutnya.
2. Definisi Pemuda
Istilah Adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adolescene –
adolescere – yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan.” Menurut Elizabeth B. Hurlock,
pemuda merupakan individu yang sedang memasuki masa dewasa awal atau dewasa dini.
Pada masa ini, pemuda juga mengalami masa pengaturan, yaitu suatu masa dimana pemuda
mempunyai kecenderungan untuk mencoba berbagai pola kehidupan sesuai dengan
perkembangan mereka atau dikenal dengan masa “coba-coba.”22
Oleh karena itu, orang
dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima
kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.23
Kaum muda dimulai
pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun.24
Setiap kebudayaan membuat
perbedaan usia kapan seseorang mencapai status dewasa secara resmi. Pada sebagian
kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau
22
Drs. Ridwan Max Sijabat, “Psikologi Perkembangan,” (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), 246. 23
Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan” diterjemahkan Dra. Istiwidayanti & Drs. Soedarjo, M.Sc., Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga,
1999), 246. 24
Ibid.
-
15
hampir selesai dan apabila organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi.
Di Indonesia batas kedewasaan dimulai sejak umur 21 tahun.25
Hal ini berarti bahwa pada
usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan bertanggung jawab akan perbuatannya.
Pemuda mengalami perkembangan yang terbagi dalam perkembangan fisik, mental,
spiritual, dan sosial. Awal perkembangan pemuda dimulai dari perkembangan fisik, dimana
pemuda akan mengalami suatu masa lanjut dari masa puber yang sudah dialami
sebelumnya.26
Puncak dari perkembangan fisik ini dicapai pada usia 19-26 tahun.27
Pada
usia ini mereka akan mengalami perubahan-perubahan hormon, salah satunya perubahan
pada bentuk dan konstitusi tubuh.28
Perkembangan mental pemuda ditunjukkan dari salah
satu aspek yaitu kemajuan dalam hal berkomunikasi.29
Hal lain yang juga membuktikan
bahwa pemuda semakin matang dalam perkembangan mentalnya yaitu bahwa mereka tidak
hanya berpikir secara konkrit, tetapi juga mulai berpikir secara abstrak. Kemampuan
berpikir secara abstrak ini merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan
kepercayaannya pada Tuhan. Kepercayaan pada Tuhan merupakan dasar dari konsep yang
abstrak. Dalam perkembangan spiritual, pemuda mulai untuk menentukan pandangan
pribadi akan kepercayaannya dan pemahamannya mengenai Tuhan.30
Periode usia
duapuluhan disebut juga sebagai periode dalam kehidupan yang paling tidak religius.31
Sikap kurang meminati agama ini tampak pada jarangnya pemuda pergi ke gereja, atau
sikap acuh terhadap ibadah.32
Perkembangan sosial pemuda ditandai dengan keterasingan
sosial. Berakhirnya masa pendidikan formal, seseorang memasuki pola kehidupan orang
25
F. J. Mönks & A.M.P. Knöers, “ONTWIKKELINGS PSYCHOLOGIE” diterjemahkan Siti R.
Haditono, Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1984), 242. 26
Jan Corbett, “Creative Youth Leadership” ( Valley Forge: Judson Press, 1977), 40. 27
John W. Santrock, “Perkembangan Masa Hidup” (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), 75. 28
Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, “Psikologi untuk muda-mudi” (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 28. 29
Jan Corbett, “Creative Youth Leadership” (Valley Forge: Judson Press, 1977), 42. 30
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 131. 31
Peacocke, A. R. The Christian Faith in a scientific era. Religious Education (Psikologi
perkembangan). (Jakarta: Erlangga, 1999), 257. 32
Drs. Ridwan Max Sijabat, “Psikologi Perkembangan,” 263.
-
16
dewasa yakni karir, perkawinan dan rumah tangga, sehingga hubungan dengan kelompok
teman sebaya masa remaja menjadi renggang. Sebagai akibatnya, mereka akan mengalami
keterasingan sosial. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat
kuat untuk maju dalam karir dan mereka juga harus mencurahkan tenaga mereka untuk
pekerjaan mereka, sehingga mereka memiliki waktu yang sangat sedikit untuk membina
hubungan-hubungan yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egonsentris dan tentunya
menambah kesepian mereka. Walaupun begitu, pemuda masih berusaha menjalin hubungan
akrab dengan teman yang mempunyai kepentingan dan nilai yang sama dengan
kepentingannya sendiri.
Perkembangan yang terjadi pada pemuda, mempengaruhi kehidupan dari pemuda itu
sendiri. Kehidupan pemuda adalah masa yang penuh dengan pengambilan keputusan, yang
meliputi pertama, memutuskan tentang Iman; sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda
mengalami perubahan tanggung jawab, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul
tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.33
Mereka mengambil
keputusan untuk memiliki komitmen pribadi dengan Tuhan yang sebelumnya masih
dipengaruhi oleh pengajaran orang tua dan teman seumuran. Kedua, memutuskan tentang
Pernikahan; masa dewasa dini sebagai masa produktif dikarenakan orang dewasa dapat
memilih untuk memiliki keluarga besar pada awal masa dewasa.34
Ketiga, memutuskan
tentang Pendidikan dan Pekerjaan; mereka beralih kepada masa pengaturan dimana mereka
harus menentukan pekerjaan yang paling tepat bagi mereka. Semua peralihan ini
memerlukan waktu. Oleh sebab itu, sekalinya seseorang menemukan pola hidup yang
diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku
sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya. Dan
yang terakhir, memutuskan tentang Hubungan Sosial; pemuda sangat memperhatikan
33
Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan,” 250. 34
Ibid.., 247.
-
17
kelompok sosial, pertemanan, hubungan bertetangga, dan lainnya. Gereja adalah tempat
dimana pemuda harus merasa tertantang untuk berhubungan dengan orang lain tanpa rasa
malu. Hubungan sosial orang kota berbeda dengan orang desa. Orang kota memiliki
hubungan sosial yang bersifat kompetitif, yang mendorong masyarakatnya mencapai
prestasi tinggi.35
Hubungan-hubungan sosialnya menjadi lebih bersifat sekunder36
. Begitu
sebaliknya dengan hubungan sosial orang desa, yang lebih bersifat gotong royong, dan
masyarakatnya bersifat homogen. Dalam perkembangannya, pergaulan kota lebih
mendominasi daripada pergaulan desa.37
Pembinaan Pemuda Gereja
Melihat kepada kebutuhan psikis pemuda seperti diatas, Gereja harus merancang
sebuah pembinaan yang membantu pemuda untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pembinaan-pembinaan pada pemuda gereja harus memiliki tujuan yang Alkitabiah. Tujuan-
tujuan yang dimaksudkan yaitu penginjilan, persekutuan, ibadah, pemuridan dan
pelayanan38
. Tujuan-tujuan ini merupakan komponen penting dalam pembinaan pemuda
sebagai dasar untuk merancangkan kurikulum yang efektif. Pertama, penginjilan adalah hal-
hal yang berkaitan dengan membagikan kabar baik tentang Yesus Kristus pada mereka yang
belum memiliki hubungan pribadi dengan-Nya. Pada prakteknya, penginjilan kurang
diekspresikan sebagai salah satu tujuan dalam pembinaan pemuda karena penginjilan
merupakan tugas yang tidak mudah dan dianggap sebagai ancaman untuk tidak diterima
bagi pemuda yang berpartisipasi di dalamnya. Kedua, berbeda dengan penginjilan yang
dianggap sebagai tujuan yang lemah, persekutuan biasanya menjadi tujuan utama dalam
pembinaan pemuda. Pada dasarnya Allah tidak ingin orang-orang Kristen hidup menyendiri,
35
S. Menno dan Mustamin Alwi, “Antropologi Perkotaan” (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 83. 36
Hubungan sekunder adalah hubungan yang terbatas pada bidang kehidupan tertentu, dan hanya menurut perhatian antar pihak.
37 S. Menno dan Mustamin Alwi, “Antropologi Perkotaan,” 91.
38 Doug Fields, “Purpose Driven Youth Ministry” (Jawa Timur: Gandum Mas, 2000), 64.
-
18
tetapi hidup dan memusatkan perhatian dalam persekutuan dengan orang-orang percaya
lainnya yang dikenali sebagai tubuh Kristus. Ketiga, Ibadah didefinisikan sebagai perayaan
kehadiran Allah dan memuliakan-Nya melalui gaya hidup setiap individu. Ibadah
diekspresikan dalam beberapa cara, seperti berdoa, puji-pujian yang dinaikkan melalui
nyanyian, mendengarkan Firman Allah, memberi persembahan, baptis, bersaat teduh dan
mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Keempat, pemuridan adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kegiatan membangun atau menguatkan orang-orang
percaya dalam pergumulan mereka menjadi seperti Kristus. Pemuridan dapat juga dikatakan
sebagai proses seumur hidup yang dipakai oleh Allah untuk membawa para pemuda pada
kedewasaan dalam Kristus. Tujuan terakhir, pelayanan didefinisikan sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan dengan kasih. Ketika tujuan pembinaan pemuda diterapkan, maka
akan dihasilkan para pemuda tidak hanya mampu membuat program-program saja akan
tetapi yang mau untuk melayani.
Tujuan-tujuan diatas merupakan hal yang penting dalam proses perancangan
kurikulum karena tujuan merupakan penentu arah dari perkembangan pemuda. Dalam
pembinaan pemuda, para pembina harus mengetahui tujuan yang akan dipenuhi melalui
kurikulum tersebut. Dengan demikian maka diharapkan pembinaan dapat berjalan dengan
baik dan maksimal.
Dalam mencapai tujuan ini, pembinaan pemuda gereja harus dirancang dengan
mengutamakan hubungan, sumber ide yang kreatif, kekuatan yang melebihi kepribadian,
dan kejelasan tujuan orang-orang yang akan terlibat dalam kepemimpinan.39
Pembinaan
perlu mengutamakan hubungan. Pembinaan melalui hubungan yang baik dapat membantu
menekankan dan memperkuat komitmen untuk bertumbuh dalam suatu komunitas. Oleh
39
Doug Fields, Purpose Driven Youth Ministry, 246.
-
19
karena itu sudah seharusnya para pemimpin membangun hubungan yang baik dengan para
pemuda karena hubungan ini membuat pelayanan menjadi lebih efektif.
Pembinaan memerlukan sumber ide yang kreatif. Inti dari penyusunan pembinaan
yang kreatif yaitu mengenai kemampuan seseorang dalam menemukan suatu gagasan dan
menyesuaikannya dengan situasi. Ada banyak para pelayan pemuda yang kreatif tetapi tidak
efektif. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kreativitas dan keefektifan di
dalam pelayanan kepemudaan.
Pembinaan memerlukan kekuatan yang melebihi kepribadian pemimpin. Pernyataan
ini merupakan hal yang penting karena ketika seorang pemimpin meninggalkan pelayanan
para pemuda yang dibangun tanpa landasan yang kuat dari kepemimpinan tambahan, maka
pelayanan tersebut akan segera berakhir. Pemimpin yang berkembang adalah seorang
pemimpin yang berbagi tanggung jawab, menjadwal ketidakhadiran yang direncanakan dan
melatih para pengganti.
Pembinaan membutuhkan orang-orang yang terlibat dalam pelayanan para pemuda.
Para pelayan yang bergabung di dalamnya adalah bagian penting bagi kehidupan para
pemimpin pemuda. Semakin mereka mendapatkan informasi lebih baik, semakin mereka
akan memberikan dukungannya. Orang-orang yang tidak mendukung seringkali adalah
orang-orang yang tidak mendapatkan informasi dengan baik. Jadi komunikasi yang baik
sangat mendukung dalam kerjasama para pelayan yang tergabung tersebut.
Dalam menciptakan pembinaan pemuda yang kreatif, perancang dapat
memperhatikan berbagai macam kecerdasan ganda yang dimiliki oleh setiap individu
pemuda. Howard Gardner mengemukakan teori tentang kecerdasan yang merupakan
pendobrakan dari tradisi yang umum. Dua asumsi dasar yang selama ini dikembangkan
adalah kognisi manusia bersifat suatu kesatuan dan setiap individu dapat dijelaskan sebagai
-
20
makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat dinilai dan diukur secara tunggal.40
Gardner
mengartikan kecerdasan ganda sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi dalam kehidupan manusia, kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan
baru untuk diselesaikan, kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa
yang akan menimbulkan penghargaan pada diri seseorang.
Gardner mengemukakan berbagai macam kecerdasan ganda yang terdiri dari
pertama, kecerdasan Bahasa yang merupakan kemampuan untuk memanipulasi tata dan
struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa dan penggunaan
bahasa secara praktis. Aktivitas pengajaran yang ditawarkan adalah memberi
kuliah/ceramah, berkhotbah, diskusi, permainan kata, mendongeng, bercerita, menulis
jurnal, dan membaca.
Kedua, kecerdasan Logis Matematis yang berarti kepekaan terhadap pola-pola
hubungan logis, pernyataan dan dalil (sebab-akibat, jika-maka), fungsi logika, dan
kemampuan berabstraksi. Aktivitas pengajaran terdiri dari brainstorming/curah pendapat,
pemecahan masalah, bereksperimen, kalkulasi data, permainan angka, berpikir kritis, dan
metode ilmiah.
Ketiga, kecerdasan Ruang yang berarti kepekaan terhadap bentuk, ruang, warna,
garis, dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Aktivitas pengajaran terdiri dari presentasi
secara visual, permainan secara imajinasi, aktivitas seni, membuat peta konsep, metafora,
dan visualisasi.
Keempat, kecerdasan Bodi Kinestik yang merupakan kemampuan menggunakan
tubuh untuk mengungkapkan ide maupun perasaan dan terampil menggunakan tangannya
untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Aktivitas pengajaran terdiri dari membuat
40
Dien Sumiyatiningsih, “Mengajar dengan Kreatif dan Menarik,” 139
-
21
pekerjaan tangan/prakarya, drama, tarian, olahraga, hal yang berkaitan dengan sentuhan,
relaksasi, latihan-latihan tubuh, membuat sesuatu, dan melakukan sesuatu.
Kelima, kecerdasan Musik yang berarti kepekaan terhadap suara/bunyi-bunyian dan
ritme, pola titik nada/melodi, dan warna nada/warna suara suatu lagu. Aktivitas pengajaran
terdiri dari menyanyi, memakai ritme, membuat jingle, menyanyikan lagu rapping, dan
mendengarkan musik saat belajar.
Keenam, kecerdasan Antarpribadi yang merupakan memahami dan bekerja dengan
orang lain, kemampuan mempersepsikan dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi,
dan perasaan orang lain. Aktivitas pengajaran terdiri dari belajar bersama, berdiskusi,
tutorial berpasangan, melibatkan komunitas, pertemuan sosial, simulasi, debat, dan tukar
peran.
Ketujuh, kecerdasan Intrapribadi yang mengartikan kemampuan memahami diri
sendiri, bertindak berdasarkan pengetahuan tentang diri pribadi yang sebenarnya, dan
mengetahui kekuatan maupun kelemahan diri. Aktivitas pengajaran terdiri dari intruksi
individual, belajar mandiri, tawaran untuk belajar mandiri, dan membangun harga diri.
Kecerdasan terakhir adalah kecerdasan Naturalis yang merupakan kemampuan
mengenali bentuk-bentuk alam sekitar, mengenali dan mengklasifikasi spesies, mengetahui
flora/tumbuh-tumbuhan dan fauna/hewan, kepekaan terhadap fenomena alam, dan kepekaan
terhadap situasi perkotaan dan pedesaan. Aktivitas pengajaran yang terdiri dari mengenal
alam sekitar, mengidentifikasi bentuk-bentuk flora dan fauna, dan mengenali kekhasan
benda-benda mati dan hidup.
-
22
3. Sejarah Permata
Penulis mengambil Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sebagai lokasi
penelitian yang terletak di Kabanjahe, Sumatera Utara. GBKP berdiri pertama kali di daerah
Buluh Awar tahun 1890.41
Pada awal mula berdirinya, sangat terasa manfaat yang dapat
dirasakan langsung oleh para jemaat pertama. Perkabaran injil pun berkembang yang
disponsori oleh para Pendeta Zending Belanda ditambah dengan kader-kader yang
dipersiapkan oleh mereka. Dalam perkembangan yang semakin pesat, pada tanggal 31
Desember 1945, tercetus oleh Penatua Mbaba Bangun untuk membentuk suatu wadah bagi
para pemuda-pemudi Kristen, dikarenakan melihat pentingnya wadah untuk berorganisasi
bagi pemuda.42
Prakarsa ini kemudian ditindaklanjuti oleh perkumpulan Pemuda dan
Pemudi GBKP di Kabanjahe yang pada saat itu masih bergabung dengan Perkumpulan
Perende-rende “Gung Leto” di bawah pimpinan Penatua Pa Wangi. Saat itu disepakati
nama wadah tersebut adalah Permata (Pesatuan Memajukan/Mempertahankan Agama dan
Tanah Air). Pendirian Permata ini sendiri erat hubungannya dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Itu berarti pada masa awal wadah ini memiliki prinsip untuk
mempertahankan kemerdekaan RI dan memajukan GBKP. Segala macam program
dirancang dengan tujuan Kerajaan Allah dan Kepentingan Indonesia. Permata pada saat itu
sangat berperan dalam beberapa organisasi Gereja maupun Nasional. Sampai pada akhirnya,
pada tanggal 12 September 1948 diadakanlah Kongres/Konfrensi Permata se-GBKP di
Kabanjahe, dan diputuskan untuk mengganti kepanjangan Permata menjadi “Perpulungen
Man Anak Gerejanta” yang memiliki arti persekutuan anak gereja kita. Setelah Permata
dilembagakan, peran dan kinerjanya tak pernah surut. Permata turut aktif dalam kegiatan
Koor, PA, dan Perkabaran Injil ke dusun-dusun sebagai kegiatan rutin. Pada tahun 1950,
41
Gunawan S. Kembaren & Eva HandayaniS. Gurkie, “Bunga Rampai; Sejarah Permata GBKP;
Dahulu, Sekarang dan yang akan datang” (Sibolangit: Chek-Pro, 1998) ,2 42
Ibid., 4
-
23
Dewan Gereja Indonesia (DGI) mengesahkan Permata sebagai anggota dari Majelis
Pemuda Kristen Oikumene (MPKO). Permata adalah satu-satunya organisasi pemuda dalam
lingkungan GBKP. Pada kongres Permata XI tahun 1978, kembali terjadi perubahan
singkatan Permata menjadi “Persadaan Man Anak Gerejanta” yang memiliki arti
persatuan anak gereja kita. Singkatan inilah yang dikenal sampai dengan saat ini.
4. Proses Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda GBKP
Dalam perkembangannya, Permata semakin mandiri dalam menjalankan setiap
program dan pembinaan. Permata memiliki kurikulum secara mandiri dimulai sejak awal
tahun 2002, pada masa transisi dari kepengurusan Gemar Tarigan sampai kepengurusan
Benyamin Pinem, S.T.43
Pada saat itu, proses perancangan belum rapi, penekanan apa yang
akan direleasasikan dalam buku pembinaan belum jelas, telebih nilai-nilai dasar dari ajaran
teologi Calvinis yang dianut GBKP juga belum terangkum jelas dalam buku pembinaan
Permata. Sampai pada akhirnya tahun 2007 dicetuskan untuk membentuk sebuah Komisi
Teologi yang terdiri dari lima orang pendeta atau vikaris.44
Dengan tujuan, agar Komisi
Teologi dapat bekerja sama dengan Bidang Pembinaan dalam kepengurusan Permata untuk
merancang kurikulum Pembinaan Permata sehingga dasar ajaran Calvinis dapat
tereleasasikan dalam kurikulum pembinaan tersebut. Komisi Teologi memiliki masa jabatan
sesuai dengan masa kerja kepengurusan Permata Pusat yakni selama empat tahun. Komisi
Teologi disahkan oleh Pengurus Permata Pusat dibawah naungan Bidang Koinonia dan
Sinode. Sampai saat ini, Komisi Teologi masih berperan aktif dalam merancang Kurikulum
Pembinaan Permata GBKP.45
43
Hasil wawancara dengan Penatua Benyamin Pinem, S.T selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun
2002-2006 pada hari Jumat, 02 Agustus 2013 pada pukul 13.15 WIB 44
Hasil wawancara dengan Penatua Endriko Tarigan selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun 2006-
2010 pada hari Kamis, 01 Agustus 2013 pada pukul 09.52 WIB 45
Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt.
Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB
-
24
Perancangan kurikulum mengalami peningkatan yang cukup baik. Sejak tahun 2011,
proses perancangan dimulai dengan rapat internal yang membahas isu-isu yang terjadi
dalam kehidupan Permata se-Indonesia. Rapat Internal ini diadakan oleh Bidang Pembinaan
Permata Pusat, Pendeta Permata dan Komisi Teologi Permata.46
Setelah itu diadakan
Brainstroming yang mengundang Ketua Sinode, Sekertaris Umum Sinode, dan Ketua
(Pendeta) Pusat Pembinaan Warga Jemaat (PPWG). Brainstroming adalah teknik
pemecahan kelompok di mana anggota secara spontan berbagi ide-ide dan solusi. Dalam
brainstorming dilakukan pembahasan dan tanggapan dari Sinode mengenai isu-isu yang
telah dirangkum oleh Permata Pusat bersama dengan Komisi Teologia. Brainstroming ini
dilakukan selama 2 sampai 3 kali pertemuan.47
Isu-isu yang dibahas selalu disesuaikan
dengan Peristiwa Nasionalis, Tahun Gerejawi, Program tahunan Sinode, aspirasi dari
Permata Klasis, dan Program Permata Pusat.
Setelah brainstorming dilakukan, direncanakan sebuah pertemuan selama dua hari
satu malam untuk menyusun kurikulum pembinaan Permata secara lengkap. Pertemuan ini
dilakukan pada bulan April setiap tahunnya. Pertemuan ini dihadiri oleh Pendeta Permata,
Ketua Permata Pusat, Bidang Pembinaan Permata Pusat, Komisi Teologi (yang terdiri dari
lima orang Pendeta), Ketua (Pendeta) PPWG, dan tiga sampai lima orang Pendeta yang
memiliki perhatian terhadap perkembangan Permata. Pendeta-pendeta ini merupakan
Pendeta jemaat yang berada di daerah Sumatera Utara. Terdapat kurang lebih lima belas
orang yang menjadi perancang Kurikulum Pembinaan Permata. Lima belas orang tersebut
dibagi dalam lima kelompok yang terdiri dari tiga orang, agar lebih memudahkan dalam
merancang kurikulum. Dalam pertemuan ini, isu-isu yang telah dirangkum oleh Permata
Pusat dan Komisi Teologi melalui brainstroming, dijabarkan terperinci dalam bentuk thema,
46
Hasil wawancara dengan Pdt. Prananta Jaya Manik selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun
1994-1999 dan Wakil Sekertaris Umum Sinode GBKP tahun 2010-2015 pada hari Kamis, 01 Agustus 2013
pada pukul 11.34 WIB 47
Ibid.
-
25
tujuan khusus, metode, dan nats bimbingan untuk pembinaan dalam jangka waktu setahun.
Bagian ini disebut sebagai draft awal.
Setelah penyusunan kurikulum selesai dilaksanakan, draft awal tersebut disebar
kepada penulis. Penulis terdiri dari beberapa vikaris dan pendeta yang memiliki pengalaman
dan perhatian kepada Permata. Itu berarti bahwa sebelum menjadi vikaris atau pendeta,
penulis tersebut pernah terlibat aktif dalam kelembagaan Permata. Selain disebar, draft awal
ini juga diberikan kepada Ketua Bidang Koinonia, Pendeta PPWG, Pendeta Permata,
Komisi Teologi Permata bahkan Ketua dan Sekertaris Umum Sinode untuk turut menulis.
Pengurus Permata Pusat juga menyebar draft awal ini kepada beberapa ahli dalam bidang-
bidang tertentu untuk menjadi penulis, seperti contohnya Ahli Teknologi, HIV AIDS, dan
lainnya. Itu berarti tidak semua penulis buku pembinaan adalah seorang Pendeta.48
Penyebaran draft awal ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus. Akhir Agustus
sampai dengan awal September dikumpulkan kembali oleh Bidang Pembinaan Permata
Pusat. Namun, pada kenyataannya sering kali pengumpulan tulisan mengalami
keterlambatan dikarenakan kesibukan penulis.
Demi mewujudkan pembinaan yang kontekstual dan relevan, Permata pusat
mencoba menjaring aspirasi dari Permata Klasis melalui email dan Rapat Sidang Pengurus
Lengkap (SPL). Penjaringan aspirasi dari Permata Klasis melalui email dilakukan sebelum
penyusunan Kurikulum pada bulan April, sedangkan Sidang Pengurus Lengkap diadakan
satu kali setiap tahunnya. Biasanya Sidang Pengurus Lengkap diadakan sebelum buku
Pembinaan Permata siap untuk diterbitkan dan disebarluaskan.
Dalam merancang Kurikulum, perancang perlu memperhatikan asas-asas yang
mendasari proses perancangan. Begitu juga dengan Kurikulum Pembinaan Permata GBKP.
48
Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt.
Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB
-
26
Asas Filosofis yang berkaitan dengan tujuan pengajaran dan pembinaan telah mendasari
perancangan kurikulum. Perancang harus memperhatikan tujuan dari pembinaan pemuda.
Doug Fields mengemukakan bahwa tujuan-tujuan yang dimaksudkan yaitu penginjilan,
persekutuan, ibadah, pemuridan dan pelayanan. Penulis beranggaan bahwa tujuan ini sudah
tereleasasikan dengan baik dalam kurikulum pembinaan Permata. Perancang memberi
perhatian yang baik terhadap tujuan dari kurikulum tersebut, karena tujuan ini yang akan
menentukan arah dari kurikulum pembinaan. Hal ini terlihat dengan materi pembinaan yang
mengungkap thema-thema yang dirancang guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Selain itu ajaran Calvinis, kini sudah mulai mewarnai kurikulum pembinaan
Permata dengan tujuan untuk mengungkapkan identitas dari Permata itu sendiri yang
adalah bagian internal dari GBKP. Oleh sebab itu, thema-thema yang diangkat selalu
dikaitkan dengan ajaran Calvinis dan sangatlah bersifat Alkitabiah. Tentu Alkitab menjadi
pedoman terhadap perancangan kurikulum pembinaan Permata. Kurikulum pembinaan
Permata lima tahun terakhir tidak bisa dipisahkan dari visi Permata GBKP tahun 2010-
2014, yakni “Berlaku sebagai Tubuh Kristus,”49
; visi yang mengacu kepada visi GBKP
tahun 2010-2015. Oleh sebab itu, setiap tahunnya Permata berupaya merancang kurikulum
yang akan mewujudkan visi tersebut. Seperti pada tahun 2011 dan 2012, proses perancangan
kurikulum didasari dengan tujuan pendidikan yang mengacu pada misi GBKP, yakni
meningkatkan Teologia, Spiritualitas dan Mutu Ibadah; menghargai kemanusiaan;
melakukan keadilan, kebenaraan, kejujuran, dan kasih; mewujudkan warga yang dapat
dipercaya; dan meningkatkan perekonomian jemaat.50
Perancang kurikulum juga mengacu
kepada thema tahunan GBKP, dimana tahun 2011 adalah tahun peningkatan Teologia,
Spiritualitas dan Mutu Ibadah; dan tahun 2012 adalah tahun peningkatan solidaritas internal
49
Permata GBKP Pusat, “Pokok-pokok Peraturan Rumah Tangga dan Garis Besar Pelayanan
Permata GBKP 2010-2014” , 30 50
Budiman Sitepu, “Draft kurikulum Pendalaman Alkitab Permata thn 2012”
-
27
GBKP.51
Perancang kurikulum mengadopsi visi dan thema tahunan guna mencapai tujuan
pembinaan pemuda.
Penulis dapat mengatakan bahwa perancang sudah memperhatikan Asas Sosiologis
sebagai dasar perancangan kurikulum. Hal ini tampak dengan proses perancangan
kurikulum, dimana perancang menjaring aspirasi dari Permata Klasis dan
mendiskusikannya agar dapat terwujud dalam pembinaan. Penulis dapat mengatakan bahwa
pada tahun 2012, Asas Sosiologis lebih ditekankan oleh perancang kurikulum daripada pada
tahun 2011. Hal ini disebabkan oleh thema tahunan yang sangat mempengaruhi. Dalam
thema mingguan tahun 2011 yang telah diterbitkan dan disebarkan kepada setiap Permata
Runggun, sangat jelas bahwa perancang hanya menekankan kepada ajaran dan tujuan tanpa
terlalu memperhatikan perkembangan sosial yang terjadi dalam kehidupan Permata.
Dikarenakan dari 44 thema mingguan yang telah dirancang, hanya tujuh thema yang
mencoba menjelaskan perkembangan sosial yang terjadi.52
Hal ini berbeda jika
dibandingkan kurikulum pembinaan pada tahun 2012 yang lebih memperhatikan
perkembangan sosial, terlihat dari 13 thema mingguan dari jumlah keseluruhan yakni 42
thema.53
Perancang juga memperhatikan Asas Organisatoris, dimana Permata Pusat mencoba
melibatkan Komisi Teologi beserta Pendeta lainnya untuk turut merancang bagaimana
ajaran itu akan diajarkan kepada Permata. Berbicara tentang pengorganisasian materi yang
akan diajarkan, dalam kurikulum pembinaan telah dijelaskan secara terperinci apa yang
ingin disampaikan, bagaimana untuk menyampaikan ajaran tersebut (metode pengajaran),
51
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misi diakses pada tanggal 20 Agustus 2013
pada pukul 17.58 WIB 52
Permata GBKP Pusat, ”Bahan Pendalaman Alkitab Permata GBKP tahun 2011.” 53
Permata GBKP Pusat, “Bahan Pendalaman Alkitab Permata GBKP tahun 2012.”
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misi
-
28
dan tujuan dari pembinaan tersebut. Dalam asas ini, perancang kurikulum berusaha sebaik
mungkin, agar dapat membuat pembinaan jauh lebih menarik dari sebelumnya.
Sayangnya, perancang kurikulum tidak terlalu menekankan pada Asas Psikologis.
Mengapa penulis berkata demikian? Penulis mencoba mengungkapkan beberapa alasan,
yakni, pertama adalah sering kali terjadi gap-gap diantara Permata. Gap-gap tersebut terdiri
dari Permata yang sudah bekerja dan Permata yang masih duduk di Perguruan Tinggi
maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada upaya untuk menjawab permasalahan ini,
dimana Permata Pusat mengesahkan Pendalaman Alkitab (PA) Mahanaim bagi Permata
yang sudah bekerja. Permata pusat memberi kebebasan kepada setiap runggun jemaat untuk
mengadakannya atau tidak. Mengartikan PA Mahanaim ini tidak secara seragam terjadi di
GBKP se-Indonesia. Ia hanya terjadi sesuai kebutuhan dari Permata Runggun atau Klasis.
PA Mahanaim ini disahkan pada tahun 2010 dibawah Bidang Pembinaan Permata Pusat.
Dengan kebebasan seperti ini, kurikulum tidak dirancang oleh Pengurus Permata Pusat guna
PA Mahanaim. Mengartikan setiap pengurus Permata Runggun atau Klasis dapat
merancang atau mengadopsi kurikulum pembinaan sendiri.54
Alasan kedua adalah dimana perancang kurikulum tidak mendasarkan perancangan
kurikulum pada teori batasan umur dan perkembangan psikologis dari Permata. Hal ini
mengakibatkan perancang tidak mengelompokkan kebutuhan-kebutuhan psikis dari
Permata. Sudah banyak ahli yang dapat menggelompokkan kebutuhan pemuda sesuai
dengan batasan umurnya. Seperti contohnya, Hurlock yang mengelompokkan masa dewasa
dini dimulai dari usia 18 tahun sampai dengan kira-kria 40 tahun.55
Dari batasan ini akan
terlihat kebutuhan-kebutuhan apa yang ingin dipenuhi oleh orang-orang dalam masa ini.
Seperti yang dikemukakan oleh Fred Jobb bahwa pemuda berada dalam kehidupan yang
54
Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt.
Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB 55
Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan,” 246
-
29
penuh dengan pengambilan keputusan. Keputusan perihal iman, pendidikan dan pekerjaan,
hubungan sosial, dan pernikahan. Jika perancang memperhatikan setiap kebutuhan ini dalam
merancang kurikulum, pembinaan pemuda akan membantu pemuda dalam pengambilan
keputusan. Hal ini akan berdampak positif dimasa mendatang, dimana pemuda dapat
menjalankan tugas panggilannya sebagai generasi penerus Gereja.
Alasan yang ketiga adalah, terfokusnya perancang pada perihal ajaran yang akan
diajarkan dan perkembangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Perancang kurikulum tidak melihat Permata secara holistik (mental, spiritual, fisik, dan
sosial). Seperti yang dikemukakan oleh Santrock perihal perkembangan yang terjadi pada
pemuda secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Perkembangan ini tidak terlalu
diperhatikan oleh perancang dalam proses perancangan. Padahal dengan memperhatikan
perkembangan dari pemuda, perancang dapat merancang sebuah kurikulum yang sesuai bagi
pemuda. Hal ini mengakibatkan pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh perancang
tidak begitu bervariasi. Karena perancang hanya berorientasi pada pengetahuan dan
perkembangan masyarakat saja. Tidak melihat kepada perkembangan kualitas dari Permata
itu sendiri, melainkan hanya kepada kwantitas. Asas Psikologis akan membantu perancang
untuk mengetahui bagaimana proses belajar yang baik sesuai dengan rentan umum dari
pemuda. Dengan mengetahui hal tersebut, perancang kurikulum akan memiliki kemudahan
untuk menentukan pendekatan-pendekatan apa saja yang dapat dituangkan dalam kurikulum
dan sesuai.
Penulis telah mengungkapkan beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh
Wyckoff. Pendekatan tersebut terdiri dari Ppendekatan Teologis, Filosofis, Historis,
Psikologis, Sosial dan Ilmu Komunikasi. Dalam kurikulum Pembinaan Permata GBKP,
perancang kurikulum hanya menggunakan pendekatan Teologis dan Sosial. Dengan
pendekatan Teologis, perancang mencoba menginterpretasikan dan mengaplikasikan isi dari
-
30
Wahyu kepada seluruh permasalahan kehidupan pemuda. Sedangkan dengan pendekatan
Sosial, perancang melihat kepada perkembangan suatu kelompok masyarakat yang terjadi
dalam kehidupan pemuda. Keduanya dikombinasikan oleh perancang guna pembinaan yang
efektif. Hal ini terlihat dari metode-metode yang sering kali digunakan dan disarankan yakni
diskusi dan pernenungan atau ibadah. Namun, sayangnya harapan untuk menciptakan
pembinaan yang efektif, belum tercapai. Penulis melihat bahwa pendekatan-pendekatan
yang digunakan oleh perancang kurikulum sangatlah minim. Menghasilkan bahan yang
kurang menarik perhatian Permata. Hal ini bisa terjadi berulang-ulang setiap tahunnya.
5. Tinjauan Kritis
Penulis mencoba mengkritisi proses perancangan kurikulum pembinaan Permata
berdasarkan teori pengembangan kurikulum dan pemuda yang telah dikemukakan
sebelumnya. Setiap langkah yang dilakukan oleh perancang sudah cukup baik. Namun,
penulis melihat beberapa kekurangan yang terjadi. Pertama, tidak adanya evaluasi terhadap
kurikulum yang telah dirancang. Dua tahun terakhir (2011-2012), minat Permata Klasis
maupun Runggun di daerah konteks Kota terhadap penggunakan Buku Pendalaman Alkitab
(PA) sangat minim. Hal ini dikarenakan bahan yang dianggap tidak lagi relevan dengan
konteks jemaat. Seperti contohnya Permata Klasis Jakarta – Banten hanya menggunakan
125 buku bagi 900 jumlah Permata Klasis.56
Penulis beranggapan, hal ini merupakan
masalah yang harus diperhatikan. Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi terhadap nilai-nilai
kurikulum, mengoreksi secara objektif terhadap isi dan prosedur kurikulum, dan memeriksa
kemajuan yang terjadi. Dengan adanya evaluasi, akan terlihat bagian kurikulum yang perlu
dikembangan atau bahkan perlu dihilangkan. Proses evaluasi kurikulum bagi kurikulum
56
Hasil wawancara dengan Tulus Barus selaku Ketua Umum Permata Klasis Jakarta – Banten tahun
2010-2013 pada tangal 29 April 2013 pukul 20.00 WIB
-
31
pembinaan Permata dapat dilakukan secara terus-menerus setiap tahunnya, agar terwujud
pembinaan yang semakin kontekstual dan relevan.
Kedua, ketidakseimbangan dalam memperhatikan asas-asas kurikulum sebagai
dasar perancangan kurikulum. Telah dikemukakan bahwa dalam merancang kurikulum
keempat asas (Filosofi, Sosiologis, Psikologis, Organisatoris) harus diperhatikan secara
seimbang, bukan hanya berfokus kepada salah satu asas saja. Hal ini mengakibatkan
kurikulum yang timpang dan tidak sesuai konteks. Dalam kurikulum pembinaan Permata
GBKP, perancang kurang dalam memperhatikan Asas Psikologis, sehingga pembinaan yang
ingin diajarakan tidak sesuai dengan kebutuhan psikis dari Permata itu sendiri. Padahal
dengan Asas Psikologis, perancang akan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan pemuda,
yang sebenarnya belum tentu diketahui oleh Permata sendiri sebagai pemuda. Penulis
beranggapan bahwa sebenarnya Asas Psikologis sama pentingnya dengan ketiga asas
lainnya, dikarenakan keempatnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, struktur kurikulum yang mendahulukan thema daripada tujuan. Kurikulum
pembinaan Permata tahun 2011 dan 2012, memiliki struktur penulisan yang dimulai dengan
menentukan thema kemudian tujuan khusus. Penulis beranggapan bahwa hal ini kurang
efektif untuk dilakukan, walaupun ini bukan suatu kesalahan besar. Namun, lebih baik
ketika tujuan umum yang telah dirancang dengan memperhatikan keempat asas kurikulum,
diikuti dengan tujuan khusus yang akan merujuk kepada thema mingguan. Tujuan khusus
yang digunakan setiap minggunya mengacu kepada tujuan umum kurikulum, bukan kepada
thema mingguan. Dengan begitu, thema yang dirancang merupakan usaha demi mencapai
tujuan umum dan tujuan khusus dari kurikulum tersebut, bukan sebaliknya dimana tujuan
dirancang untuk menjelaskan thema tersebut.
-
32
Keempat, pendekatan yang monoton. Ada enam pendekatan yang dikemukakan
oleh Wyckoff, namun yang digunakan oleh perancang kurikulum pada pembinaannya hanya
dua pendekatan, yakni pendekatan teologis dan sosial. Metode-metode yang ditawarkan oleh
perancang sangat mononton, hanya diskusi dan perenungan atau ibadah. Hal ini banyak
terjadi pada tahun 2011, dimana metode yang ditawarkan hanya diskusi. Dari jumlah
keseluruhan thema selama setahun yakni 44, terdapat 39 thema yang memakai metode
diskusi. Alangkah lebih baik ketika perancang menggunakan pendekatan yang beragam,
demi mewujudkan pengajaran yang kreatif. Memang tidak dapat langsung dipersalahkan
kepada perancang kurikulum di tingkat pusat, karena metode yang digunakan tergantung
kepada majelis Gereja yang akan memimpin pembinaan tersebut. Namun, penulis
beranggapan bahwa sebaiknya perancang dapat menyediakan berbagai macam pendekatan
dan metode pengajaran yang kreatif di setiap buku pembinaan Permata. Doug Fields
mengemukakan bahwa pembinaan memerlukan sumber ide yang kreatif. Inti dari
penyusunan pembinaan yang kreatif yaitu mengenai kemampuan seseorang dalam
menemukan suatu gagasan dan menyesuaikannya dengan situasi. Ada banyak para pelayan
pemuda yang kreatif tetapi tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara
kreativitas dan keefektifan di dalam pelayanan kepemudaan. Dengan menyediakan berbagai
metode pengajaran proses pembinaan akan semakin lebih menarik dan kreatif. Selain
membantu pemenuhan kebutuhan psikis pemuda, hal ini juga akan membantu pemimpin
pembinaan. Melalui pendekatan yang kreatif, Permata akan terdorong untuk meningkatkan
kreatifitasnya sebagai pemuda. Karena pemuda berada dalam masa yang penuh dengan
kreatifitas, dimana kreatifitas tersebut akan berkembang berdasarkan minat dan
kemampuan, dan akan tertuang dalam pekerjaan mereka.
Kelima, penulis pembinaan kurikulum pembinaan. Dalam proses perancangan
kurikulum pembinaan Permata, terdapat perbedaan antara perancang dan penulis. Draft
-
33
awal yang telah dirancang yang berisikan thema, tujuan khusus, metode, dan nats
bimbingan, disebarkan kepada penulis selama kurang lebih dua bulan lamanya. Pada proses
penyebaran ini, penulis beranggapan akan terjadi sebuah kesalahpahaman dimana penulis
kurikulum tidak memiliki konsep yang sama seperti perancang kurikulum. Mengartikan,
tujuan umum tidak sampai kepada penulis kurikulum. Oleh sebab itu, tulisan dalam buku
pembinaan jauh dari harapan maupun target perancang kurikulum. Hal ini telah diakui oleh
beberapa perancang, namun hal ini tidak ditindaklanjuti. Sebaiknya perancang kurikulum
adalah yang juga berjabat sebagai penulis kurikulum. Karena perancang sudah
memperhatikan asas-asas yang mendasari proses perancangan dan merancang tujuan umum
dari kurikulum pembinaan tersebut. Memang penyebaran kepada penulis merupakan hal
yang memudahkan perancang dalam menyelesaikan kurikulum pembinaan, tetapi ini tidak
menjamin sebuah penulisan yang efektif. Mengapa? Karena penulis juga tidak diberi sebuah
pelatihan bagaimana cara menulis yang baik guna pembinaan Permata. Penulis beranggapan
belum tentu semua penulis kurikulum pembinaan yang adalah seorang Pendeta dan
beberapa orang yang ahli dalam bidangnya, dapat menulis dengan baik. Oleh sebab itu,
alangkah baiknya yang menulis kurikulum pembinaan adalah perancang dari kurikulum
tersebut. Kalaupun hal ini tidak dapat terwujud, penulis menyarankan untuk diselenggarakan
sebuah pelatihan khusus bagi para penulis kurikulum pembinaan.
Selain itu, penulis kurikulum tidak memiliki keahlian khusus dalam hal pemuda.
Penulis hanya memiliki penerawangan umum perihal kehidupan pemuda di masyarakat. Hal
ini mengakitbatkan tulisan yang hanya mengena pada perihal umum saja yang sering terjadi,
dan cenderung membosankan. Akan jauh lebih baik jika penulis memiliki pengetahuan yang
baik tentang pemuda. Seminim mungkin, penulis mengetahui perkembangan spesifik dari
pemuda, yakni perkembangan fisik, sosial, mental dan spiritual. Hal ini merupakan salah
-
34
satu bukti, betapa pentingnya asas Psikologi mendasari perancangan maupun penulisan
kurikulum pembinaan.
Keenam, sering terjadi pengulangan materi pembinaan. Dalam kurikulum
pembinaan tahun 2011 dan 2012, terdapat materi kurikulum yang sama dan memiliki tujuan
yang sama pula. Memang dalam setiap tahunnya akan ada materi yang sama sehubungan
dengan Tahun Gerejawi seperti Paskah, Natal, HUT kaum Ibu, Bapa, Pemuda, dan Sekolah
Minggu, serta peristiwa Nasionalis. Namun, hal yang menarik terjadi yakni, terdapat satu
thema mingguan yang sama pada tanggal 28 Maret – 03 April 2011 dan 28 Oktober – 03
November 2012 dengan thema “Hidup Dalam Keanekaragaman.” Tujuan khususnya adalah
agar Permata dapat mengetahui, memahami, dan menghargai keanekaragaman dalam hidup,
dan dapat menyuarakan kasih Allah dalam keanekaragaman tersebut. Kedua tanggal ini
memiliki thema dan tujuan khusus yang sama. Walaupun memang nats bimbingan kedua
thema ini berbeda; pada tahun 2011 memakai nats Yohanes 4:1-42 sedangkan tahun 2012
memakai nats Galatia 6:9-10. Namun, jelas bahwa hal ini merupakan kerugian besar dalam
perkembangan pembinaan Permata. Hal ini merupakan akibat daripada tidak adanya
evaluasi kurikulum pembinaan.
6. Penutup
Kaum muda adalah generasi penerus Gereja di masa mendatang. Oleh sebab itu,
pembinaan terhadap kaum muda merupakan tugas penting yang harus diperhatikan secara
serius oleh Gereja. Pembinaan terhadap kaum muda tidak terlepas dari kurikulum yang
mendasari pembinaan tersebut. Kurikulum yang memiliki tujuan untuk membantu kaum
muda melihat, menerima, dan memenuhi tujuan Allah melalui penebusan Yesus Kristus.
Dalam mewujudkan pembinaan yang efektif memang tidaklah mudah. Terlebih perbedaan
konteks kehidupan, pendidikan, pekerjaan, sosial dan lainnya yang terjadi ditengah-tengah
-
35
jemaat, terkhusus kaum muda. Hal ini akan terus menjadi tantangan Gereja untuk dapat
menyederhanakan perbedaan yang ada dan merancang sebuah kurikulum pembinaan yang
kontekstual dan relevan. Setiap tahunnya, Gereja harus memiliki peningkatan dalam
mewujudkan pembinaan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Perhatian Permata Pusat dan Komisi Teologia terhadap perancangan kurikulum
pembinaan masih kurang baik dalam mewujudkan pembinaan yang efektif. Masih banyak
hal yang perlu diperbaiki dan dikoreksi kedepannya. Setiap tahunnya haruslah diadakan
evaluasi guna perkembangan kurikulum pembinaan. Ini menjadi tantangan Permata sebagai
wadah pemuda Kristen Karo satu-satunya dibawah naungan GBKP. Permata memiliki
peran penting demi masa depan Gereja. Perancang juga belum memperhatikan asas-asas
kurikulum sebagai dasar perancangan dengan seimbang. Terkhusus dalam memperhatikan
asas Psikologis. Keempat asas kurikulum yang mendasari harus diperhatikan secara
seimbang agar terwujud pembinaan yang baik.
Tinjauan kritis yang telah dibuat diharapkan menjadi sebuah kritikan yang positif
guna perkembangan pembinaan Permata GBKP. Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi
masukan bagi Permata Pusat bahkan Sinode GBKP. Bagaimana pentingnya sebuah proses
perancangan kurikulum yang akan berdampak bagi perkembangan pembinaan pemuda dan
masa depan Gereja. Masa depan Gereja dibentuk sedini mungkin dengan pembinaan yang
baik dan efektif terhadap warga gereja, terkhusus pemuda yang merupakan agen
pelaksanaan tugas panggilan Gereja.
-
36
DAFTAR PUSTAKA
Budiman Sitepu. Draft kurikulum Pendalaman Alkitab Permata thn 2012.
Corbett, Jan. Creative Youth Leadership. Valley Forge: Judson Press, 1977.
Creasy Dean, Kenda & Ron Foster. The God Bearing Life; The Art of Soul Tending for
Youth Ministry. Nashville: Upper Room Books, 1998.
D. Gunarsa, Y. Singgih. Psikologi untuk muda-mudi. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Fields, Doug. Purpose Driven Youth Ministry. Jawa Timur: Gandum Mas, 2000.
F. Pinar, William & William M. Reynolds. Understanding Curriculum as
Phenomenological and Deconstructed Text. New York: Teacher College,
Colombia University, 1992.
Hidayat, Rakhmat. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2011.
Homrighausen, Dr. E. G. dan Dr. I. H. Enklaar. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1985.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Diterjemahkan Dra. Istiwidayanti & Drs. Soedarjo, M.Sc., Edisi Kelima.
Jakarta: Erlangga, 1999.
Max Sijabat, Drs. Ridwan. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980.
Menno, S. dan Mustamin Alwi. Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Mulyasa, M.Pd., Dr. E. Kuriukulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karateristik, dan
Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004.
Mönks, F. J. & A.M.P. Knöers. ONTWIKKELINGS PSYCHOLOGIE. Diterjemahkan Siti R.
Haditono. Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Nasution, M.A., Prof. Dr. S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Natsir, Mo. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia 1988.
Nuhamara M.Th, Dr. Daniel. Pendidikan Agama Kristen Dewasa. Bandung: Jurnal Info
Media, 2008.
O. Richards, Lawrence. Youth Ministry is Renewal in The Local Church. Michigan:
Zondervan Publishing, 1972.
Permata GBKP Pusat. Pokok-pokok Peraturan Rumah Tangga dan Garis Besar Pelayanan
Permata GBKP 2010-2014.
-
37
R, Peacocke, A.. The Christian Faith in a scientific era. Religious Education (Psikologi
perkembangan). Jakarta: Erlangga, 1999.
S. Kembaren, Gunawan & Eva HandayaniS. Gurkie. Bunga Rampai; Sejarah Permata
GBKP; Dahulu, Sekarang dan yang akan datang. Sibolangit: Chek-Pro, 1998.
Sanjaya, Prof. Dr. H. Wina, M.Pd. Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
Predana Media Group, 2008.
Santrock, John W. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar. Jakarta: PT Indeks, 2012.
Sumiyatiningsih, Dr. Dien. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik. Yogyakarta: ANDI,
2006.
Slattery, Patrick. Curricilum Development in the Postmodern Era. New York & London:
Garland Publishing, Inc, 1995.
White, Roger Crombie. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice.
Jakarta: Grasindo, 2005.
Wyckoff, D. Campbell. Theory and Design of Christian Education Curriculum.
Philadelphia: The Westminster Press, 1961.
Fred Joob. Introducton for Christian Education.
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misi diakses pada tanggal 20 Agustus
2013 pada pukul 17.58 WIB
http://www.gbkp.or.id/ diakses pada tanggal 04 April 2013, pada pukul 14.25 WIB
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misihttp://www.gbkp.or.id/