Laporan gbs pendahuluan
-
Upload
hanifa-nur-afifah -
Category
Documents
-
view
40 -
download
4
description
Transcript of Laporan gbs pendahuluan
LAPORAN PENDAHULUAN
Pengertian
Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 2007)
Guillain Bare Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 2005)
Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)
Etiologi
Menurut smeltzer (2007) Etiologi / Penyebab Guillain Bare Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathySubacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathyAcute motor axonal neuropathyAcute motor sensory axonal neuropathyFishers syndromeAcute pandysautonomia
ManifestasiKlinisGambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal: Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influenza
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya.Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala KlinisKelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral .Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII.Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis laringeus.
Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9.Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai .Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
Patofisiologi
GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik.GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya tidak diketahui.Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular.Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif.Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris atau cross-talk listrik antara akson abnormal yang rusak.Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi.Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator.Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia.Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot.Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai.Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan.Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
Proses autoimun
PATHWAY
Dx : gangguan perfusi jaringan b/d COP menurun
COP menurun
Resiko tinggi infeksi saluran nafas bawah dan parenkin paru
Sekresi mucus lebih kebawah jalan nafas
Dx : ketidak efektifan jalan nafas b/d penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi
Dx : Tidak efektifnya pola nafas b/d kelemahan otot pernafasan atau paralisis
Dx : Kelemahan mobilitas fisik b/d kelemahan otot, paralisis dan ataksia.
Bodi emage b/d perubahan estetika wajah
Dx : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kesulitan mengunyah dan menelan
Penurunan curah jantung
Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah
Gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan
Penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mukus
Kelemahan fisik umum, paralis otot wajah
Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan
Kurang beraksinya system syaraf simpatis dan para simpatis, perubahan sensori
Paralise lengkap, otot pernafasan terkena, mengakibatkan insufisiensi pernafasan
Parestesia (kesemutan) dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah
Paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan
Disfungsi otonom
Gangguan syaraf perief dan neuromuskular
Gangguan fungsi syaraf cranial :
III, IV, V, VI, VIII, IX dan XI
GBS
Gangguan fungsi syaraf perifer dan kranial
Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf
Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson
KOMPLIKASIGagal pernapasanPenyimpangan KardiovaskulerKomplikasi Plasmafaresis
PEMERIKSAANPENUNJANG
Pemeriksaan Neurologis :
kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
simetris
gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
Pada Lumbal Pungsi :
Didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) pada minggu II
Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
Penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf
Darah Lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Foto ronsen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)
Cara berjalan tidak mantap
SIRKULASI
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
INTEGRITAS/EGO
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
ELIMINASI
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen.
Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter.
MAKANAN DAN CAIRAN
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
NEUROSENSORI
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik.
Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan.
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara
NYERI/KENYAMANAN
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
PERNAPASAN
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
KEAMANAN
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda seangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus.
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
INTERAKSI SOSIAL
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parastesia, disestisia ) Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
INTERVENSI
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; ( kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
Intervensi:
Pertahankan ROM sendi.Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan demielinasi.Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.
Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.
Intervensi:
Auskultasi bunya napas dengan teratur.Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.Sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan diperlukan.Pasang alrm ventilator.
Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
Catat masukan dan haluaran.
Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.Kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu.
Diagnosa 4
Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensoriMempertahankan mental/orientasi umum.Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
Pantau status neurologis secara periodik Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal )Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi (berita/pertujukkan) bercakap-cakap santai.Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk memlihara keterikatan.
Diagnosa 5
Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi
Intervensi:
Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran.
Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi.Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah makanan.Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.
Diagnosa 6
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestesia )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10
Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik diri/menangis.Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan.Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn sesuai toleransi pasien.Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau selimut.Berikan latihan rentang gerak pasifInstruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.
Diagnosa 7
Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius.
Intervensi:
Catat frekuensi dan jumlah berkemih.
Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung.Lakukan menuver Crede.Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan.Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan.
Diagnosa 8
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi.
Intervensi:
Kaji kemampuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur.
Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman.Cata masukan kalori setiap hari.Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien.Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien membutuhkanAnjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi Timbang berat badan setiap hari.Kolaborasi pemberian diet TKTPPasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.
Diagnosa 9
Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya.
Menerima dan mendiskusikan rasa takut.
Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi:
Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya.
Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan.Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai kebutuhan.Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga.