LAPORAN JURNAL EPILEPSI

27
TUGAS JURNAL EBN : DUKUNGAN SOSIAL “ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL dengan SINERGI KOPING KLIEN EPILEPSI DEWASA “ DISUSUN OLEH: KELOMPOK 9 Pembimbing: AKHMADI, S.Kp., M.Kes., M.Kep., Sp.Kom 1. FIFI DWI ANDIKA (15291) 2. POLICARPUS BALA R K (15296) 3. FIYADIKA NAELA (15297) 4. INDAH PERMATA SARI (15298) 5. JANTI DWI APRIATI (15299) 6. TUTIK KUSDARYATI (15305) 7. MAWADAH SETYA R (15310) 8. DIAN AYU NINGTYAS (15312) 9. REKA SEPTIARA (15352) 10. KURNIA PRASETYANING (15354) 11. DIAN RIZKI RAMADHANI (15355) 12. ARIFAH (15356) 1

description

edukasi

Transcript of LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Page 1: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

TUGAS JURNAL EBN : DUKUNGAN SOSIAL

“ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL dengan

SINERGI KOPING KLIEN EPILEPSI DEWASA “

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 9

Pembimbing: AKHMADI, S.Kp., M.Kes., M.Kep., Sp.Kom

1. FIFI DWI ANDIKA (15291)

2. POLICARPUS BALA R K (15296)

3. FIYADIKA NAELA (15297)

4. INDAH PERMATA SARI (15298)

5. JANTI DWI APRIATI (15299)

6. TUTIK KUSDARYATI (15305)

7. MAWADAH SETYA R (15310)

8. DIAN AYU NINGTYAS (15312)

9. REKA SEPTIARA (15352)

10. KURNIA PRASETYANING (15354)

11. DIAN RIZKI RAMADHANI (15355)

12. ARIFAH (15356)

13. ULHY FANDANI (15358)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2012 / 2013

1

Page 2: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Marpaung (2003) menyatakan bahwa epilepsi adalah suatu gangguan yang

berhubungan dengan sistem saraf pusat, yang ditandai dengan adanya kejang yang

disebabkan oleh hiperaktifitas muatan listrik dari neuron otak secara spontan. Harsono

(2004) dan Mardjono (1979) menjelaskan bahwa epilepsi dikenal sebagai salah satu

penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM) dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf

setelah gangguan peredaran darah otak.

Selain sebagai masalah kesehatan yang sangat rumit, epilepsi juga merupakan suatu

penyakit yang dapat menimbulkan dampak / stigma sosial bagi penderita dan

keluarganya. Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang dipandang

sebagai penyakit kutukan merupakan suatu hal yang menyebabkab sulitnya mendeteksi

jumlah kasus ini di masyarakat karena biasanya keluarga sering menyembunyikan

keluarganya yang menderita penyakit ini.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan

medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana

meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga

maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.

Wasim, dkk. (Leny, 2009) memaparkan hasil survey terhadap 220 responden

mengenai pengetahuan, sikap dan perlakuan tentang epilepsi, hasil survey tersebut

menunjukkan bahwa ada 41% menganggap epilepsi sebagai penyakit berbahaya, 20%

yang mengganggap epilepsi bukan penyakit, 12% menganggap epilepsi penyakit turunan,

3% menganggap epilepsi penyakit menular, sedangkan masyarakat yang berpersepsi

negatif terhadap penderita epilepsi ada 44%. Hasil survey tersebut bisa menjadi

penjelasan mengapa penderita epilepsi bisa menderita tekanan, baik internal maupun

eksternal (Harry, 2007).

Dan dalam hal ini kami akan membahas mengenai pentingnya sebuah dukungan

moral dari keluarga dan lingkungan sekitar kepada penderita. Hal ini merupakan bagian

yang sama pentingnya dengan pemberian obat dari dokter. Dukungan sosial dapat

berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam mengurangi stres dan

menghindarkan timbulnya masalah lebih lanjut.

2

Page 3: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang

lain, apalagi apabila orang tersebut sedang menghadapi masalah. Seperti halnya manusia

normal, pasien tentunya ingin berkompetisi di masyarakat untuk peningkatan status

sosialnya. Akan tetapi keinginan tersebut seringkali terhambat oleh penyakitnya sendiri

dan problema-problema psikososial yang dideritanya :

• Adanya rasa ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang dirasakan klien epilepsi

saat pertama kali diagnosa ditegakkan.

• Pasien yang terdiagnosa epilepsi memiliki masalah yang serius secara fisik dan sosial

yang menjadikan sumber stresor. Karena itu, banyak pasien epilepsi yang mengisolasi

diri sendiri tanpa melakukan apapun agar sembuh. Untuk itu sangat diperlukan

adanya dukungan yang diterima klien dari keluarga dan tetangga yang sebagian besar

berupa perhatian, saran, nasihat dan informasi, maka klien merasa tentram dan merasa

diperhatikan sehingga secara tidak langsung mendorong semangat klien epilepsi

untuk berusaha mencari pertolongan untuk kesembuhan penyakitnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk dukungan sosial yang diterima klien epilepsi?

2. Siapa sajakah yang memberikan dukungan sosial bagi klien epilepsi?

3. Bagaimana bentuk strategi koping yang digunakan bagi klien epilepsi?

4. Bagaimana hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping?

C. Tujuan

1. Mengetahui bentuk dukungan sosial yang diterima klien epilepsi.

2. Mengetahui siapa saja yang memberikan dukungan sosial pada klien epilepsi.

3. Mengetahui bentuk strategi koping yang digunakan klien epilepsi.

4. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping.

D. Manfaat

Dari jurnal ini dapat dipelajari tentang pentingnya dukungan sosial terhadap

penderita agar mampu menjalani hidupnya tanpa terbebani dengan penyakitnya dan

tidak merasa sendiri atau terkucilkan dari lingkungan sosialnya.

3

Page 4: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

BAB II

ANALISIS JURNAL

Jurnal dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Sinergi Koping Klien

Epilepsi Dewasa” didasarkan pada penelitian yang dilakukan di poli saraf RSUD Banyumas

selama bulan November-Desember 2006. Karakteristik responden mencakup jenis kelamin,

tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, serta aktivitas sosialnya yang berkaitan dengan epilepsi.

Kemudian akan dijabarkan mengenai bentuk dan sumber dukungan sosial yang diterima klien

epilepsi. Koping sebagai strategi penyelesain serta keterkaitannya dengan dukungan sosial

akan menjadi dasar bagi penentuan bentuk dukungan sosial yang diberikan. Berikut analisis

jurnal tersebut :

A. Karakteristik Responden

Tabel 1. Karakteristik klien epilepsi di poli saraf RSUD banyumas bulan November-

desember 2006

Karakteristik Jumlah (n) Frekuensi (%)

Jenis kelamin

Laki-laki 27 54

Perempuan 23 46

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 3 6

SD 16 32

SLTP 17 34

SLTA 14 28

Akademi/PT 0 0

Pekerjaan

Buruh 9 18

Pelajar 5 10

Swasta 8 16

Tani 10 20

Tidak bekerja 17 34

Wiraswasta 1 2

Umur

4

Page 5: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

10-20 16 32

21-39 21 42

31-40 7 14

41-50 6 12

>50 0 0

Sumber : data primer

Selama kurun waktu 28 november – 27 desember 2006 didapatkan 50 orang responden

yang memenuhi kritreria. Adapaun gambaran umum karakteristik responden dapat dilihat

pada tabel 1.

Berdasarkan tabel 1., dapat disimpulkan bahwa :

Mayoritas responden adalah laki-laki dengan jumlah 27 orang atau 54%.

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden terbanyak berpendidikan SLTP dengan

jumlah 17 orang atau 34%. Dari jumlah tersebut, dapat dianalisa bahwa klien epilepsy

masih banyak yang berpendidikan rendah. Anak-anak yang menderita epilepsy sering

tidak disekolahkan atau dikeluarkan dari sekolah karena mendapat serangan kejang.

Hal ini sangat disayangkan, karena mereka mungkin akan dapat sekolah, meraih gelar

kesarjanaan, bekerja, serta hidup bahagia apabila tidak terkena serangan kejang.

Berdasarkan pekerjaan, responden terbanyak adalah tidak bekerja yaitu 17 orang atau

34%. Hal ini menunjukkan bahwa klien epilepsy banyak yang tidak bekerja karena

terhambat oleh penyakit yang mereka derita. Dalam suatu penelitian, dari 14 orang

yang bekerja, 5 orang diantaranya (35,7%) mendapat perlakuan yang kurang wajar

dari teman sekerja maupun pimpinan tempat ia bekerja. Hal tersebut seharusnya tidak

perlu terjadi karena kemungkinan cedera kerja antara pekerja epilepsy dan pekerja

normal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bahkan,data presensi

menunjukkan bahwa absensi pekerja epilepsy lebih rendah dibandingkan pekerja

normal.

Berdasarkan umur, responden terbanyak adalah yang berumur 21-30 tahun yaitu 21

orang atau 42%.

Tabel 2. Karakteristik klien epilepsy berdasarkan aktivitas social di poli saraf rsud banyumas

bulan November-desember 2006

5

Page 6: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Karakteristik aktivitas kegiatan sosial Jumlah (n) Frekuensi (%)

Aktif 38 76

Tidak aktif 12 24

Berdasarkan data aktivitas kegiatan social, ternyata penderita epilepsy mayoritas

melakukan aktivitas social yaitu 38 orang atau 76%. Beberapa faktor membuat penderita

epilepsy tidak aktif dalam kegiatan social, baik faktor dari penderita sendiri, masyarakat,

maupun tenaga medis. Faktor internal antara lain karena malu dan takut akan penyakitnya

sehingga penderita epilepsy menarik diri dari masyarakat, tidak berobat, bosan akan

pengobatan atau berobat tidak teratur sehingga serangan kejang masih tetap berlanjut.

Mengingat hal tersebut, maka pengetahuan mengenai epilepsy kepada masyarakat perlu

ditingkatkan. Salah satunya adalah memberi penerangan bahwa penyakit epilepsy dapat

diobati dan di luar serangan epilepsinya, penderita dapat hidup normal dalam masyarakat

sehingga klien dapat belajar,bekerja,dan mengikuti kegiatan social bilamana klien

mendapat serangan yang tidak membahayakan dirinya maupun orang lain. klien juga

diberi penerangan bahwa klien dapat terbebas dari serangan kejang apabila melaikan

pengobatan yang optimal dan rutin.

B. Bentuk Dukungan Social yang Diterima Klien Epilepsi

Tabel 3. Rerata dukungan social yang diterima klien epilepsy di poli saraf RSUD

Banyumas bulan November-Desember 2006

Karakteristik Dukungan

informasi (mean)

Dukungan

emosi (mean)

Dukungan

instrumental (mean)

Jenis kelamin

Laki-laki 45,15 31,33 38,15

Perempuan 34,74 43,57 39,35

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 36 39,3 38,33

SD 43,38 37,81 39,81

SLTP 37,88 36,65 37,24

SLTA 42 35,86 39,29

Akademi/PT 0 0 0

6

Page 7: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Pekerjaan

Buruh 42 35,89 37,89

Pelajar 41,2 36,2 38,4

Swasta 41,88 36,75 40,75

Tani 43,5 38,2 40,8

Tidak bekerja 37 37,82 37,65

Wiraswasta 35 25 28

Umur

10-20 38,06 38,25 38,81

21-39 41,05 36 38,48

31-40 43 39 40,57

41-50 41 34,5 37

>50 0 0 0

Aktivitas sosial

Aktif 39,84 37,68 38,68

Tidak aktif 42 34,67 38,75

Sumber : data primer

Berdasarkan tabel di atas, ternyata dukungan social yang diterima klien epilepsy terdiri

dari dukungan informasional, dukungan emosional, dan dukungan instrumental.

Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh analisis data :

Laki-laki mendapatkan dukungan informasional dalam kategori tinggi, yaitu dengan nilai

rerata sebesar mean = 45,15

Perempuan mendapatkan dukungan emosional dalam kategori sedang, yaitu dengan nilai

rerata sebesar mean = 43,53

Perempuan mendapatkan dukungan instrumental dalam kategori tinggi, yaitu dengan nilai

rerata sebesar mean = 39,35

Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi perbedaan dukungan social. Asumsi umum

menunjukkan bahwa wanita lebih banyak mencari dan menyediakan dukungan social

daripada pria. Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa perempuan menerima dukungan

emosional dengan level lebih tinggi daripada laki-laki serta penelitian yang menunjukkan

7

Page 8: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

bahwa perempuan cenderung menerima dukunagn instrumental lebih sering dariapada

laki-laki.

Dalam masyarakat, diharapkan perempuan dapat bersikap lebih hangat, ekspresif,

lembut, sensitive, dan suportif sedangkan laki-laki diharapkan lebih mandiri, tegar,

kompetitif, logis, dan ambisius. Beberapa penelitian tentang dukungan social

menunjukkan bahwa orang cenderung menawarkan bantuan yang konsisten dan sesuai

dengan harapan peran gender mereka. Alasan inilah yang mendukung perempuan

menerima dukungan emosi lebih besar daripada laki-laki. Laki-laki dituntut lebih mandiri

secara financial sesuai peran gendernya sebagai kepala keluarga dibandingkan perempuan

yang sebagian besar hanya berprofesi sebagai ibu rumahtangga yang tidak mempunyai

pendapatan financial, oleh karena itu laki-laki cenderung tidak membutuhkan dukungan

isntrumen dari oranglain.

Berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan rata-rata total dukungan social terhadap

responden bahwa tingkat pendidikan SD dan SLTA lebih tinggi dibandingkan rata-rata

total dukungan terhadap responden SLTP dan yang tidak sekolah. Responden yang

berpendidikan SLTP mempunyai rata-rata dukungan social yang rendah dibandingkan

lulusan SD. Hal ini bertentangan dengan pernyataan bahwa tingginya tingkat pendidikan

sebanding dengan besarnya dukungan social.

Jika dilihat dari dukungan emosional, ternyata semua tingkat pendidikan mendapatkan

nilai rerata dalam kategori sedang, sedangkan dukungan instrumentalnya mendapatkan

rerata dalam kategori tinggi.

Berdasarkan pekerjaan, didapatkan bahwa klien dengan pekerjaan buruh, pelajar,

swasta, dan tani mendapatkan dukungan informasi dalam kategori tinggi. Sedangkan pada

pekerja wiraswasta dan tidak bekerja mendapatkan dukungan informasi dalam kategori

sedang. Dukungan instrumental diperoleh klien epilepsi dengan pekerjaan wiraswsta

dalam kategori sedang, pada tipe pekerjaan buruh, pelajar, swasta, tani, dan yang tidak

bekerja memperoleh dukungan instrumental dalam kategori tinggi.

Perbedaan jenis pekerjaan mengandung arti bahwa kompetensi dan kemampuan yang

dibutuhkan juga berbeda. Pekerjaan swasta dan wiraswasta dituntut untuk memiliki

kemampuan komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan petani dan buruh. Kunci

penting dari dukungan social adalah komunikasi, karenanya kemampuan koordinasi yang

8

Page 9: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

baik akan meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga akan

memperluas struktur jaringan social seseorang. Semakin luas jaringan social yang

dimiliki seseorang, maka semakin banyak kemungkinan dukungan social yang diperoleh.

Berdasarkan usia, secara umum rata-rata dukungan social terbanyak yaitu pada responden

dengan rentang usia 31-40 tahun. Jika dilihat dari tipe dukungan social, ternyata

responden pada umur di atas 21tahun mendapatkan dukungan informasi dalam kategori

tinggi. Sedangkan umur 18-20 tahun dalam kategori sedang. Semua kelompok umur

mendapatkan dukungan emosional dalam kategori sedang. Dukungan instrumental

diperoleh responden dalam semua umur dalam kategori tinggi. Hurlock menyebutkan

bahwa pada umumnya peran serta dalam kegiatan social diluar rumah meningkat

menjelang usia setengah baya yaitu sekitar pertengahan usia tigapuluhan, selain hubungan

social yang terbentuk pada usia ini lebih stabil dan kuat, sehingga secara tidak langsung

akan meningkatkan jumlah dukungan yang diterima.

Berdasarkan data dari jenis kegiatan social yang diikuti responden menunjukkan

bahwa klien yang aktif dan yang tidak aktif dalam kegiatan social ternyata memperoleh

dukungan instrumental yang tinggi, memperoleh dukungan emosi dalam kategori sedang.

Pada klien yang aktif dalam kegiatan social memperoleh dukungan informasi dalam

kategori sedang, yang tidak aktif dalam kegiatan social memperoleh dukungan informasi

dalam kategori tinggi. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa klien epilepsy masih

membutuhkan kegiatan social yang meliputi arisan, pengajian, PKK, dan perkumpulan

dusun.

C. Sumber Dukungan Sosial Klien Epilepsi

Tabel 4. Sumber dukungan social klien epilepsy di poli saraf RSUD Banyumas bulan

November-Desember 2006

Sumber dukungan sosial Jumlah (n) Frekuensi (%)

Anak 1 2

Istri/suami 17 34

Keluarga 12 24

Orangtua 8 26

Orangtua dan keluarga 12 24

Lain-lain 0 0

9

Page 10: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Sumber : data primer

Sumber dukungan social yang paling besar adalah pasangan (suami/istri) sebesar

34%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mempunyai hubungan dekat

dengan pasangan memiliki tingkat depresi yang rendah daripada mereka yang tidak

mempunyai hubungan dekat.

Dukungan social terbesar kedua adalah keluarga, bersama orang tua dan keluarga

sama-sama sebsar 24%. Sumber dukungan social , merupakan aspek paling penting untuk

diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan

tahu kepada siapa ia akan mendapatkan dukungan social sesuai dengan situasi dan

keinginan yang spesifik, sehingga dukungan social mempunyai makna yang berarti bagi

kedua belah pihak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber dukungan social terbanyak adalah

pasanagan (suami/istri), keluarga dan orangtua karena mereka merupakan pihak yang

paling dekat dan berkepentingan dengan responden. Hal ini sesuai dengan model

dukungan social intimacy yang menekankan kualitas hubungan daripada kuantitas.

Dukunghan yang diperoleh dari orang yang memiliki hubungan dekat berpengaruh

terhadap peningkatan kesehatan.

D. Bentuk Strategi Koping yang Digunakan Klien Epilepsi

Tabel 5. Rerata strategi koping yang digunakan klien epilepsy di poli saraf rsud banyumas bulan

November-desember 2006

Karakteristik Strategi koping PFC

(mean)

Strategi koping EFC

(mean)

Jenis kelamin

Laki-laki 63,11 53,93

Perempuan 55,74 65,22

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 66,67 60

SD 61,13 59,9

SLTP 57,71 58,41

10

Page 11: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

SLTA 60,36 58,86

Akademi/PT 0 0

Pekerjaan

Buruh 58,89 57

Pelajar 58,4 56

Swasta 59,38 58,63

Tani 67,5 64

Tidak bekerja 56,06 59,29

Wiraswasta 52 46

Umur

10-20 57,06 58,19

21-39 59,76 58,29

31-40 62,71 63,86

41-50 63,17 59

>50 0 0

Aktivitas sosial

Aktif 59,26 59,84

Tidak aktif 61,17 56,83

Sumber : data primer

Berdasarkan karakteristik responden yang dicurigai dapat membuat variasi strategi

koping yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan.

JENIS KELAMIN

Berdasarkan data, dapat diartikan klien epilepsy laki-laki mempunyai strategi koping PFC

dalam kategori tinggi, sedangkan strategi koping PFC responden perempuan

mendapatkan rerata dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian billing

dan moos yang menunjukkan bahwa laki-laki pada umumnya menggunakan strategi

koping PFC lebih banyak dibanding perempuan, sedangkan perempuan lebih banyak

menggunakan strategi koping EFC. Namun sarafino menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan penggunaan strategi koping antara laki-laki dan perempuan bila keduanya

mempunyai tingkat pendidikan dan pekerjaan yang sama.

11

Page 12: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Menurut lazarus, folkman cit, radiastanti, perbedaan karakteristik kepribadian antara laki-

laki dan perempuan adalah factor yang mempengaruhi perbedaan pemilihan

kecenderungan orientasi strategi koping. Hal ini merefleksikan adanya perbedaan

sosialisasi dan laki-laki diharapkan memiliki karakteristik kepribadian yang lebih

mandiri, kompetitif, dan tidak membutuhkan perlindungan, sedanglan wanita cenderung

emosional, sensitive, dan lebih memerlukan perlindungan orang lain. Namun hal ini tidak

sepenuhnya sesuai, karena factor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau

sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat

stress dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya.

UMUR

Jika dilihat dari umur ternyata semakin tua umur semakin menggunakan koping PFC

yang lebih besar. Hal ini bisa dilihat pada hasil penelitian bahwa umur antara 18 – 20

tahun menggunakan koping PFC dalam kategori sedang, pada usia diatas 20-50 tahun

mereka menggunakan PFC dalam kategori tinggi. Sekitar awal atau pertengahan umur 30-

an kebanyakan orang mampu melakukan penyesuaian pribadi dan social, serta mampu

memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan

tenang secara emosional.

PENDIDIKAN

Berdasarkan penelitian, dapat diartikan bahwa klien epilepsy yang berpendidikan SLTP

menggunakan strategi koping PFC dalam kategori sedang. Pada tingkat SLTA, SD, dan

klien yang tidak sekolah ternyata menggunakan strategi koping PFC dengan kategori

tinggi. Klien epilepsy dilihat dari semua tingkat pendidikan menggunakan koping EFC

dalam kategori sedang. Menaghan menemukan bahwa orang-orang yang lebih tinggi

tingkat pendidikan lebih realistis dan lebih aktiv memecahkan masalah dari pada orang

berpendidikan rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat diatas bahwa

pendidikan lebih tinggi justru menggunakan strategi koping PFC yang lebih rendah yaitu

pendidikan SD, lebih besar menggunakan PFC dibanding SLTP dan SLTA.

PEKERJAAN

Pada tingkat pekerjaan klien epilepsy didapatkan hasil bahwa klien yang bekerja sebagai

tani dan swasta mempunyai koping PFC dalam kategori tinggi, pada tipe pekerjaan

buruh ,pelajar, wiraswasta, dan klien yang tidak bekerja mereka menggunakan koping

12

Page 13: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

PFC dalam kategori sedang. Pada klien dengan semua tipe pekerjaan ternyata

menggunakan koping EFC dalam kategori sedang. Menurut billing dan moos orang

dengan status pekerjaan lebih tinggi pada umumnya menggunakan strategi koping yang

berupa penyelesaian masalah dibandingkan dengan orang yang status pekerjaannya

rendah.

E. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Strategi Koping

Analisis bivariat pada penelitian tersebut menggunakan statistik parametrik dengan

bantuan sistem komputerisasi yaitu menggunakan koefisien korelasi product moment,

hasil analisis korelasi yang diperoleh antara dukungan sosial terhadap strategi koping

adalah mencapai korelasi rxy = 0,749. Hasil korelasi tersebut memiliki arti bahwa

hubungan tersebut kuat. Jika dibandingkan dengan r tabel, maka r hasil lebih besar dari r

tabel, berarti bahwa semakin tinggi skor dukungan sosial yang diterima maka akan

meningkatkan strategi koping klien epiliepsi dewasa. Jadi hipotesis penelitian diterima

yaitu ada hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping klien epilepsi dewasa.

Korelasi antara subvariabel dukungan sosial dengan strategi koping didapatkan bahwa

antara dukungan informasi dengan strategi koping PFC dengan nilai koefisien korelasi r =

0,559 nilai tersebut masuk dalam kategori sedang. Dukungan emosional terhadap strategi

koping PFC didapatka nilai korelasi r = 0,194 termasuk dalam kategori sangan rendah.

Dukungan instrumentasi terhadap strategi koping PFC didapatkan hubungan yang sedang,

dengan nilai koefisien korelasi r = 0,524.

Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa klien epilepsi mengharapkan dukungan

berupa informasi dan saran, teruatama dari petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang

berkaitan dengan kondisi pasien, misal efek pengobatan dan cara menghindari agar bebas

dari kejang. Hasi tersebut sesuai dengan pendapat Niven22 bahwa dukungan sosial dapat

membantu meningkatakan strategi koping individu dengan memberikan saran strategi-

strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan dengan mengajak

orang lain berfokus pada aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.

Hubungan subvariabel dukungan sosial terhadap strategi koping EFC yaitu dukungan

informasi terhadap strategi koping EFC dengan nilai korelasi r = 0,070 , hal ini berarti

bahwa korelasinya sangat rendah. Dukungan emosional terhadap strategi koping EFC

didapatkan nilai koefisien korelasi r = 0,585 dapat diartikan bahwa korelasinya sedang.

13

Page 14: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Dukungan instrumentasi terhadap strategi koping EFC didapatkan nilai koefisien r =

0,513 berarti ada hubungan tingkat sedang. Semua korelasi mempunyai angka yang

positif berarti mempunyai hubungan yang positif bahwa semakin tinggi nilai dukungan

sosial semakin meningkatkan strategi koping klien epilepsi.

Dukungan sosial dapat memepengaruhi kesehatan melalui tiga cara, yaitu : pengaruh

langsung, pengaruh tak langsung, dan pengaruh hambat (buffer). Dukungan bersifat

positif bila dukungan sosial tersebut bermanfaat bagi kesehatan kita sebagai dukungan

yang layak dan sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dukungan instrumental dan

informasi merupakan dukungan sosial yang penting untuk klien epilepsi utamanya dalam

hubungan dengan peranannya dalam strategi koping.

Dukungan emosi terhadap strategi koping PFC didapatkan hasil bahwa tidak ada

hubugan yang bermakna. Hal tersebut berlawanan dengan pendapat dari Atkinson et.al 23

bahwa salah satu upaya yang sering dilakukan orang untuk membantu beradaptasi secara

emosional adalah dengan mencari dukungan emosi dari orang lain. Dukungan sosial yang

positif akan membantu orang untuk beradaptasi dengan baik secara emosional dengan

mencegah terjadinya perasaan sedih berlarut-larut.

Hubungan antara dukungan sosial dengan strategi koping dapat dijelaskan dengan

teori matching hypothesis, sesuai dengan pernyataan Sarafino15bahwa dukungan sosial

tidak akan mempunyai makna bila tipe dukungan yang diperoleh tidak sesuai (match)

dengan kebutuhan dari stressor yang kita hadapi. Kemudian hal ini dikuatkan dengan

matching hypothesis yag dikemukakan oleh S.Cohen & Mckay ; S.Cohen & Wilis 2 .

Matching hypoyhesis menyatakan bahwa dukungan sosial hanya berpengaruh sebagai

penghambat stress bila terdapat kecocokan antara kebutuhan yang dihasilkan oleh

kejadian yang membuat stress dengan tipe dukungan sosial yang tersedia. Cutrona &

Russel mengidentifikasi kualitas kejadian yang penuh stress dan kemudian membuat

prediksi mengenai tipe dukungan sosial yang mungkin diperlukan orang saat menghadapi

stressor jenis tertentu. Dukungan instrumen lebih bernilai saat orang menghadapi stressor

yang dapat dikontrol yang berarti kita dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan

atau mencegah situasi bertambah buruk, seperti saat sedang sakit.

14

Page 15: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

Penjelasan lanjut mengenai matching hypothesis dapat dipahami lebih lanjut melalui

penelitian Dakof & Taylor pad klien kanker yang didapatkan kesimpulan versi yang

sedikit berbeda dengan matching hypotesis. Mereka menemukan bahwa bermacam tipe

dukungan yang dapat dinilai sebagai sesuatu yang berharga bila dukungan yang ada dapat

dinilai sebagai sesuatu yang berharga bila diberikan oleh orang yang tepat, karena

masing-masing pemberi dukungan mempunyai kemampuan yang unik yang bermanfaat

pada dimensi tertentu. Sebagai contoh dukungan emosi akan lebih berarti bila diberikan

oleh seorang yang dekat dengan kita dan sebaliknya dukungan informasi lebih berarti bila

diberikan oleh mereka yang kompeten, dalam hal ini adalah dokter dan perawat.

F. Jurnal Pembanding

Judul : FACTORS CONTRIBUTING TO DEPRESSION IN PATIENTS WITH EPILEPSY

Penulis: Sang-Ahm Lee, Sun-Mi Lee, dan Young-Joo No Tahun terbit: 2010 Subjek berumur 18-60 tahun. Subjek tidak diikutkan jika mengalami kejang di 48

jam sebelumnya. Penelitian dilakukan di Korea Berdasarkan pada penelitian sebelumnya mekanisme patogenik dalam epilepsi

dipengaruhi neurogeni serta psikososial faktor. Depresi menjadi faktor yang berpengaruh besar dalam kualitas hidup klien epilepsi. Hal tersebut didasarkan pada stressor lingkungan yang mungkin muncul mencakup maslah kesehatan, pekerjaan, maupun proses koping individual terhadap epilepsi. Dukungan sosial tampaknya menjadi penyangga diantara beban sehari-hari dan masalah adaptasi, terbukti berguna hanya pada saat stress level tinggi. (von Weiss et al, 2002)

15

Page 16: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

BAB IV

IMPLIKASI

Masalah sosial, psikologi, dan perilaku sering menyertai epilepsi yang dapat menjadikan

penderita menjadi nampak berbeda dan kadang menarik diri karena merasa malu dengan

lingkungan sekitarnya. Epilepsi disertai dengan perasaan takut, asing, depresi, dan tidak pasti.

Pasien harus mengatasi perasaan takut terhadap kejang secara kontinue serta konsekuensi

yang memalukan. Sebagian anak dengan epilepsi ada yang diasingkan, dipisahkan dari

sekolah, dan kelompok aktivitas. Hal seperti ini menjadi beban psikologis yang berkelanjutan

bagi sorang anak. Dan akan bertambah saat menginjak remaja dan dewasa. Dimana ia

dihadapkan pada kenyataan untuk bekerja seperti pada orang normal lainnya dan berkeluarga.

Namun, dalam hal ini jarang ada yang mampu menerima mereka dengan tangan terbuka.

Beban keluarga menjadi berat dan memunculkan masalah yang menyeluruh berupa

penolakan semu sampai terlalu melindungi. Akibatnya dari semua faktor ini, beberapa

individu epilepsi mengalami masalah psikologis dan perilaku.

Konseling merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk membantu individu dan

keluarga untuk memahami kondisi dan keterbatasan yang diakibatkan oleh epilepsi.

Kesempatan sosial dan rekreasi perlu untuk kesehatan mental yang baik. Beberapa orang

tidak mampu melakukan koping terhadap epilepsi, sedangkan yang lain mengalami masalah

psikologis yang disebabkan oleh kerusakan otak.

Dari semua pelayanan yang dilakukan oleh perawat yang merawat pasien epilepsi, yang

paling bermanfaat adalah upaya untuk mengubah sikap pasien dan keluarga terhadap

penyakit itu sendiri. Serta konseling genetik dan evaluasi perlu dilakukan secara teratur.

16

Page 17: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dukungan sosial sangat diperlukan bagi pasien penderita epilepsi, terutama dukungan

dari keluarga.

Dukungan sosial terbanyak pada pasangan suami istri.

Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan dalam hal pemberian dukukungan

sosial ini, dalam strategi koping diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu PFC dan

ESC.

Dalam hal ini keluarga diharapkan mau mencari informasi mengenai epilepsi agar

tidak menimbulkan pemahaman yang salah dan dapat memberikan asuhan yang benar

bagi penderita sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

Managemen stress menjadi cara mengatasi depresi yang berdampak bagi penanganan

klien epilepsi, utamanya aspek psikologis dan emosional klien

B. SARAN

Tenaga Medis, dalam hal ini dokter dan perawat hendaknya menjadi sarana edukatif

bagi pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai epilepsi sehingga mencegah

stigma yang muncul tentang epilepsi.

Dukungan sosial dari pasangan, keluarga maupun lingkungan memberikan dampak

postif bagi klien epilepsi, sehingga pemberian asuhan sesuai kebutuhannya dapat

terlaksana.

Bagi penelitian mendatang diharapkan dapat lebih menggali secara mendalam

mengenai epilepsi di daerah terpencil dengan keterbatasan sarana kesehatan sehingga

pemahaman mengenai epilepsi dapat lebih jelas.

17

Page 18: LAPORAN JURNAL EPILEPSI

BAB VI

REFERENSI

Sujono,dkk.(2008). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Sinergi Koping Klien Epilepsi Dewasa. Dalam Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol.03/n0.01/Januari/2008.

Sang-Ahm Lee,dkk.(2010). Factors Contributing to Depression in Patients with Epilepsy. Vol.51(7):1305–1308. Diakses ://ebsco.com/

18