Laporan Mitigasi_rizki Effendi_26020212110026 Jilid 2

download Laporan Mitigasi_rizki Effendi_26020212110026 Jilid 2

of 36

description

mitgasu

Transcript of Laporan Mitigasi_rizki Effendi_26020212110026 Jilid 2

LAPORAN PRAKTIKUMMITIGASI BENCANA PESISIR DAN LAUT

Oleh :Rizki Effendi26020212110026

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFIJURUSAN ILMU KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2015I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangKota Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia terutama di pulau Jawa dengan tingkat ancaman bencana yang cukup tinggi. Salah satu ancaman bencana di kota Semarang adalah banjir pasang-surut atau lebih dikenal dengan banjir rob. Selain karena tingginya air pasang di Laut Jawa, sejumlah akibat banjir rob diantaranya adalah kenaikan muka laut akibat global warming (Wirastriya, 2005) dan juga adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) (Gumilar, dkk, 2009), yang juga mempunyai peran dalam perluasan genangan banjir rob tersebut. Pada masa yang akan datang dampak genangan rob diprediksikan akan semakin besar dengan asumsi faktor kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah meningkat secara konstan. Dampak negatif dan kerugian dari peristiwa genangan rob akan semakin terasa dengan bertambahnya luas genangan banjir rob dari tahun ke tahun (Diposaptono, dkk, 2009). Perlunya suatu pengelolaan risiko bencana yang matang dalam penanggulangan permasalahan genangan banjir rob di kota Semarang yang cepat, tepat, dan efisien dengan teknik visualisasi yang mampu mengakomodasi tujuan peta dengan penggunanya. Pelabuhan yang terdapat di Semarang adalah Pelabuhan Tanjung Mas yang berada di sekitar wilayah pesisir menjadi pusat industri. Terdapat banyak bangunan pantai dan juga pabrik disekitarnya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya masalah yang menjadi musibah tahunan yang menyerang daerah pesisir di Semarang. Banjir rob atau banjir yang disebabkan oleh naiknya muka air laut ini sangat mengganggu kegiatan industri maupun kegiatan lainnya di wilayah Semarang. Ketinggian banjir rob mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penyebab adanya banjir rob ini selain karena adanya bangunan pantai, juga dapat terjadi karena naiknya muka air laut akibat adanya gelombang dan angin. Oleh karena itu, pasang surutnya muka air laut dapat menjadi acuan untuk penanganan masalah banjir rob ini. Dalam pengelolaan manajemen mitigasi bencana, salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan risiko bencana. Pemetaan ini meliputi pemetaan ancaman (hazard), pemetaan kerentanan, dan pemetaan kapasitas dari suatu daerah yang mempunyai potensi bencana.Dalam proses pemetaan risiko memerlukan penilaian dan klasifikasi yang sesuai dengan karakteristik kota Semarang. Hal ini tidak mudah dilakukan, mengingat keterbatasan data dan kevalidan data tersebut sulit didapatkan. Perlunya kajian pemodelan yang tepat dalam pemetaan risiko sehingga dapat dihasilkan peta risiko yang benar-benar sesuai dengan kondisi sebenarnya.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ditetapkan untuk membangun sistem penanggulangan bencana yang terencana, terkoordinasi dan menyeluruh dengan tetap menghargai budaya lokal, membangun kemitraan publik dan swasta, mendorong kesetiakawanan dan kedermawanan, serta menciptakan perdamaian dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana ini merubah paradigma penanggulangan bencana yang dulunya reaktif menjadi preventif dengan menitikberatkan pada pengurangan risiko bencana. Salah satu faktor penting yang harus dianalisis dalam upaya pengurangan risiko bencana yakni penilaian kerentanan wilayah terhadap bencana yang akan terjadi. Kerentanan ditujukan pada upaya mengidentifikasi dampak terjadinya bencana berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumber daya alam lainnya. Analisis kerentanan pada prinsipnya merupakan potret wilayah yang= difokuskan pada kondisi fisik kawasan dan dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal (Diposaptono, 2009). 1.2. Tujuan1. Melakukan analisis potensi bahaya dan potensi kerentanan di wilayah semarang.2. Melakukan analisis strategi adaptasi dan mitigasi terhadap muka air laut,

1.3. ManfaatMaksud dari penelitian ini adalah mengkaji kerentanan masyarakat di Kota Semarang terhadap bencana banjir dan rob. Dari penelitian ini, diharapkan dapat diketahui kondisi kerentanan wilayah terhadap bencana serta alternatif strategi dalam mengatasi kerentanan bencana tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pasang surut2.3.1 PengertianPasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sedangkan sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari. (Gross, 1993).Fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.Pasang surut yang terjadi di bumi ada tiga jenis yaitu: pasang surut atmosfer (atmospheric tide), pasang surut laut (oceanic tide) dan pasang surut bumi padat (tide of the solid earth) (Pariwono (1989).

2.3.2. Gaya Pembangkit Pasang Surutgaya-gaya pembangkitan pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan; sedangkan untuk sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar) (Triatmodjo, 1999).Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya yang seragam di sepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa diamati sebagai suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999).Untuk memahami gaya pembangkit pasang surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan system bumi matahari. Pada teori kesetimbangan bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut atau GPP (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987).2.3.3. Klasifikasi Pasang SurutDikenal semi diurnal tides dengan dua kali pasang dalam sehari dan diurnal tides dengan sekali pasang dalam sehari. Di lapangan sering dijumpai adanya campuran atau kombinasi dua jenis pasang surut tersebut. Untuk mengelompokkan (klasifikasi) pasang surut berdasar dominasi salah satu dari dua jenis pasang-surut tersebut dikenal bilangan f (f-number) yaitu :

Jika f bernilai besar, maknanya adalah diurnal tide dominan. Sebaliknya jika f bernilai kecil, menunjukkan semi diurnal tide lebih dominan. Selanjutnya klasifikasi keadaan pasang surut di suatu tempat mengikuti batasan-batasan berikut ini.

f 0,25Semi diurnal

0,25 f 1,5mixed, mainly semi diurnal

1,5 f 3,0mixed, mainly diurnal

3,0 fdiurnal

Perlu dicatat bahwa tiap komponen pasang-surut (M2, S2,) mempunyai periode tetap untuk semua lokasi, amplitudo yang bervariasi dan selisih fase yang juga bervariasi dari tempat ke tempat.2.3.4. Muka air rata-rataMuka air laut rata-rata atau lebih dikenal denganMean Sea Level(MSL) adalah rata-rata nilai tinggi muka air laut selama pengamatan. Nilai tinggi muka air laut pada setiap titik pengukuran selama pengamatan dihitung untuk mencari nilai rata-ratapengukurannya. Pada perekaman data satelit, jarak antar rekaman 5 km, sedangkan untuk rekaman data pada titik yang seharusnya sama, terdapat perbedaan jarak 1 km percycle. Secara teori, perekaman data per titik untuk tiapcycleseharusnya sama. Namun karena banyak faktor dari kondisi lautan dan satelit yang dinamis, maka terjadi perbedaan posisi titik pengamatan.

2.2. Kelerangan PantaiPantai merupakan pertemuan antara daratan dan lautan. Pengukuran kemiringan pantai dilakukan untuk mengetahui jenis pantai dan penyebab terbentuknya pantai. Hasil pengukuran dapat digunakan sebagai pedoman pelestarian dan pemanfaatan pantai selanjutnya. Kemiringan pantai diukur berdasarkan jarak antara vegetasi yang mewakili batas daratan hingga bibir pantai sebagai batas lautan. Pengukuran dilakukan terhadap tiga vegetasi berbeda yang terdekat dengan bibir pantai (Anonim, 2012).Menurut Saribun (2007), kemiringan dapat dinyatakan dalam derajat maupun persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk kemiringan 10%. Kecuraman sebesar 100% sama dengan kecuraman 45o. Maka, perhitungan persen kemiringan pantai dilakukan dengan (Anonim, 2012).Pengukuran kemiringan pantai dilakukan dengan menggunakan water pass dan kompas geologi. Pengambilan data dengan water pass ditambah dengan peralatan lain seperti meteran, dan juga satu buah kayu range sepanjang 2 meter. Langkah pertama, kayu range yang berukuran 2 m diletakkan secara horizontal di atas pasir dan dilekatkan tepat pada batas pantai teratas. Kemudian waterpass diletakkan di atas kayu range berukuran 2 m, lalu kayu tersebut dipastikan horizontal sampai air pada alat water pass tepat berada di tengah. Setelah dipastikan horizontal, hitung ketinggian kayu range tersebut dengan meteran. Sehingga dapat diketahui kemiringan pantai tersebut dengan cara menghitung sudut yang dibentuk antara garis horizontal dan vertikal yang didapatkan. Pengukuran ini dilakukan dari batas pantai teratas sampai pantai yang tepat menyentuh air (Saribun, 2007).

Gambar 1.Kelerengan dalam persen dan derajat

2.3. Banjir RobBerbagai kajian tentang banjir rob kota Semarang telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian-penelitian tersebut sebenarnya mempunyai satu tujuan yaitu sebagai landasan dalam penanganan banjir rob. Penelitian-penelitian banjir rob yang telah dipelajari oleh penulis memberikan kesimpulan tentang penyebab, ancaman dan risiko dari daerah yang terdampak, dan penanganannya. Dalam penelitian Wirasatriya (2005) menyebutkan bahwa kenaikan muka laut akibat dari pemanasan global menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir rob kota Semarang. Penelitian tersebut didasari dengan melakukan analisis dari data stasiun pasang surut Semarang dalam 20 tahun terakhir penelitian tersebut. Kemudian dalam penelitian (Gumilar, 2009) yang menggunakan data GPS dan sipat datar, menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan muka tanah di wilayah Semarang, dimana hal tersebut menjadi penyumbang penyebab terjadinya banjir rob kota Semarang. Masih dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa penurunan muka tanah akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya populasi dan pembangunan perkotaan di wilayah ini melaui pengambilan air tanah yang berlebihan dan beban bangunan. Kajian tentang banjir rob kota Semarang selanjutnya adalah tentang pemodelannya. Penelitian yang dilakukan Marfai (2003) melakukan pemodelan banjir rob dengan pendekatan hidrografik dan penggunaan analisis spasial dengan SIG. Kemudian hal yang sama dilakukan dalam penelitian Sutanta, dkk (2005) yang melakukan pemodelan banjir rob menggunakan data peta topografi skala 1 : 5.000 dan sipat datar. Pada penelitian Bakti (2010) dan Frits (2010) juga melakukan pemodelan dengan mengakomodasi data topografi dari DEM SRTM dikombinasikan dengan penurunan muka tanah dankenaikan muka laut untuk menghasilkan peta sebaran banjir rob kota Semarang. Dari pemodelan banjir rob kota Semarang yang dimodelkan secara matematis dapat dijadikan prediksi daerah mana saja yang terdampak dari banjir rob tersebut untuk tiap tahunnya.

2.4. Perubahan IklimPerubahan iklim (climate changes) merupakan salah satu fenomena alam dimana terjadi perubahan nilai unsur-unsur iklim baik secara alamiah maupun yang dipercepat akibat aktifitas manusia di muka bumi ini. Sejak revolusi industri dimulai hingga sekarang telah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara global. Selain meningkatkan itu, perubahan iklim juga menyebabkan anomali iklim seperti fenomena Enso (El-Nino dan La-Nina), IOD (Indian Ocean Dipole), penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrem, curah hujan dan musim bergeser dari pola biasanya dan tidak menentu serta permukaan air laut meningkat dan terjadinya rob di beberapa wilayah. El-Nino adalah kejadian iklim di mana terjadi penurunan jumlah dan intensitas curah hujan akibat naiknya suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang mendorong mengalirnya massa uap air di wilayah Indonesia ke arah timur. Sebaliknya, La-Nina adalah kejadian iklim di mana terjadi peningkatan jumlah dan intensitas curah hujan hingga memasuki musim kemarau akibat penurunan suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang memperkaya massa uap air di wilayah Indonesia (Nurdin, 2013).Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industry industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi. Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8-4.0C di abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara 1.1- 6.4C.Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut.

2.5. Sea Level RiseNaiknya muka air laut (Sea Level Rise) merupakan satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh Negara-negara pantai atau Negara kepulauan di dunia. Fenomena alam ini perlu diperhitungkan dalam semua kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, karena dapat berdampak langsung pada pemunduran garis pantai serta dapat menggangu aset-aset penduduk, mengganggu perkembangan ekonomi penduduk bahkan menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk yang mendiami wilayah-wilayah rentan sepanjang pesisir (Fachruddin, 2007).Lingkungan pesisir merupakan daerah yang sangat rentan terhadap pengaruh aktivitas penduduk dan kondisi alam terutama naiknya muka air laut. Hamper setengah populasi menyebabkan terjadinya kerawanan yang serius terhadap naiknya tinggi muka air laut akibat pemanasan global (Global warming) (Fachruddin, 2007).

2.6. Mitigasi Kenaikan Muka Air LautMenghadapi ancaman hilangnya kawasan pantai dan pulau kecil yang kemungkinan akan terus berlanjut pada masa mendatang, Aris yang juga pengajar di IPB menyarankan penyusunan peta skala besar, yaitu 1:5.000 dan 1:1.000. Saat ini baru tiga kota besar, yaitu Jakarta, Semarang, dan Makassar, yang memiliki peta berskala tersebut, ujarnya. Pada peta tampak detail wilayah pantai yang terbenam di tiga kota tersebut. Peta ini disusun Bakosurtanal bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Selain itu, pembuatan peta skala besar juga dilaksanakan untuk wilayah barat Sumatera dan selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS).Sementara itu, untuk wilayah timur Sumatera dan wilayah lain yang tergolong rawan genangan air laut akibat pemanasan global peta yang ada masih berskala kecil, sekitar 1:25.000. Pembuatan peta genangan perlu menjadi prioritas agar setiap daerah dapat melakukan langkah antisipasi dan adaptasi pada wilayah yang bakal tergenang dalam 5 hingga 20 tahun mendatang, ujarnya. Data spasial dan penginderaan jauh yang merekam dampak pemanasan global juga akan menjadi materi untuk pengambilan kebijakan di setiap instansi terkait pada waktu mendatang.

Gambar 2. Ketinggian muka air laut di daerah Tanjung mas yang sudah sejajar dengan permukaan jalan.

2.7. Banjir Pasang (rob)Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap atau menggenangi daerah diluar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan air tersebut (Savitri, 2007). Banjir merupakan interaksi antara manusia dengan alam yang diakibatkan sistem penyesuaian manusia dalam kegiatannya menggunakan alam dan sistem alam itu sendiri. Banjir merupakan aspek interaksi antara manusia dan alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang merugikan manusia (Suwardi, 1999).Banjir merupakan salah satu bencana yang sering kali melanda Indonesia, terkecuali pada daerah pesisir seperti kota Semarang, yakni banjir pasang (rob). Banjir rob merupakan fenomena yang umum terjadi di kota yang terletak ditepi pantai, di Indonesia sendiri banjir rob sering terjadi dikota pantai. Banjir pasang atau dalam bahasa jawa yang lebih dikenal dengan istilah rob merupakan banjir yang diakibatkan oleh proses pasang surut air laut sehingga menggenangi lahan ataupun kawasan pesisir yang lebih rendah dari permukaan laut rata-rata dan pantai yang memiliki morfologi landai (Suryanti, 2008)

Gambar 3. Genangan air di daerah Tanjung Mas . Banjir pasang (rob) merupakan genangan air pada bagian daratan pantai yang terjadi pada saat air laut pasang. Banjir pasang (rob) menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang lebih rendah dari muka air laut pasang tinggi (high water level). Banjir rob terjadi terutama karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya gravitasi. Gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasang surut. Terjadinya banjir rob akibat adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pasang surut, dan faktor-faktor atau eksternal force seperti dorongan air, angin atau swell (gelombang yang akibatkan dari jarak jauh), dan badai yang merupakan fenomena alam yang sering terjadi di laut. Selain itu, banjir rob juga terjadi akibat adanya fenomena iklim global yang ditandai dengan peningkatan temperatur rata-rata bumi dari tahun ke tahun (Yualelawati, 2008). Banjir rob akan semakin parah apabila pada lahan ataupun kawasan telah ada genangan air yang diakibatkan yang diakibatkan banjir local maupun luapan air dari drainase yang tidak berfungsi dengan baik.

III. MATERI DAN METODE

3.1. Metode PenelitianMetode penelitian merupakan serangkaian langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Metode pada penelitian ini ini terbagi atas pendekatan studi dan metode pelaksanaan studi. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang metode penelitian ini.

3.1.1. Pendekatan PenelitianPenelitian ini karena bersifat positivistik yang dibatasi oleh variabel - variabel tertentu yang kemudian dicek pada kondisi lapangan. Variabel-variabel penelitian sudah ditentukan sejak awal sehingga penelitian sudah memiliki batasan dan ruang lingkup secara jelas. Pendekatan ini lebih menekankan pada pembangunan pemahaman berdasarkan teori-teori/literatur-literatur yang sudah ada. Latar belakang teori merupakan inti dari pendekatan ini. Pembuktian tersebut dilakukan dengan cara menurunkan konsep-konsep pemikiran menjadi parameter-parameter dan variabel-variabel secara operasional.Adapun variable-variabel yang digunakan dalam perhitungan potensi bahaya dan juga klasifikasi dalam potensi bahaya tersebut yaitu mencakup sebagai berikut :Tabel 1. Analisis Potensi Bahaya(Sumber: USGS, 2007,dimodifikasi 2008)Tabel 2. Klasifikasi Potensi Bahaya

(Sumber: USGS, 2007,dimodifikasi 2008)

Table 3. Analisis Kerentanan Pantai

(Sumber : Ministry For Environment New Zeland Government, 2008,2007, dimodifikasi 2008)

Tabel 4. Klasifikasi Kerentanan Pantai

(Sumber : Ministry For EnvironmentNew Zeland Government, 2008,2007, dimodifikasi 2008)

Yang Kemudian Kedua analisis tersebut akan diketahui nilai resiko. bahaya dari perhitungan tersebut dengan klasifikasi sebagai berikut: Dengan Klasifikasi yang digunakan dalam analisis resiko ini adalah :(Sumber: USGS, 2007, dimodifikasi 2008)Pengamatan parsial ini mengenai mitigasi bencana rob terhadap masyarakat yang dapat menyebabkan beberapa wilayah Kota Semarang tergenang. Selain itu penelitian ini dilakukan secara objektifitas karena sudah ditentukan dahulu variabel-variabel yang akan diuji di lapangan.3.1.2. Proses Penelitian dan Alat Analisis Proses penelitian berawal dari masalah dan ingin menjawab permasalahan tersebut. Untuk memahami permasalahan dengan baik, maka peneliti mempelajari teori Pengurangan Risiko Bencana dalam kaitannya dengan analisis risiko dan analisis kerentanan sebagai dasar pemahamannya. Kemudian, pemahaman literature dibandingkan dengan studi sebelumnya. Perbandingan ini menghasilkan beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam sebuah hipotesis yang ingin dibuktikan. Begitupula, rumusan masalah yang akan dijawab melalui pertanyaan penelitian (research question). Adapun teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :1. Pertama, Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Metode kualitatif secara deskriptif maupun sebab-akibat digunakan dengan cara mendeskripsikan atau menjelaskan secara mendalam tentang kondisi kerentanan pantai akibat bencana rob. Meskipun teknik analisis ini bersifat kualitatif, namun tidak menjadi teknik analisis dominan. Teknik ini digunakan untuk memahami lebih luas wilayah studi dengan wawancara dan observasi. Sehingga teknik ini bukan untuk mencari makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam informasi tertentu.2. Kedua, Teknik Analisis Deskriptif Kuantitatif. Analisis deskriptif kuantitatif merupakan analisis yang bersifat kuantitatif karena menggunakan angka-angka sebagai dasar melakukan analisis/ penilaian. Menurut Danim (2002), studi deskriptif (descriptive research) dimaksudkan untuk menjelaskan suatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual secara sistematis dan akurat serta dimaksudkan untuk memotret fenomena individual, situasi, atau kelompok tertentu yang terjadi secara kekinian dan akurat.3. Ketiga, Statistik Deskriptif Statistik adalah metode ilmiah untuk menyusun, meringkas dan menyajikan dan menganalisa data sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar dan dapat dibuat keputusan yang masuk akal berdasarkan data tersebut. Teknik ini dilakukan pada penilaian aspek-aspek kerentanan sehingga dapat dilakukan pembobotan aspek mana yang lebih kuat terhadap kerentanan dan potensi bahaya bencana rob tersebut.3.1.3. Tahap Penelitian Tahapan penelitian merupakan suatu kesatuan sistem yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Tahapan dalam metode penelitian ini secara garis besar terdiri dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan, dan tahap analisis.3.1.4. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini dengan mengumpulkan data-data sekunder dari instansi- instansi terkait dan pengamatan langsung di lapangan sebagai penguatan data sekunder yang tidak didapatkan. Adapun dalam hal ini teknik pengumpulan data tersebut secara garis besar dapat dijabarkan berikut ini : Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data ini dapat dilakukan sebelum melakukan survei primer. Pengumpulan data sekunder ini dengan mengumpulkan data dari sumbersumber sekunder berupa kajian teoritis mengenai kerentanan bencana, data kerusakan akibat rob, maupun telaah dokumen yang ada. Teknik pengumpulan data sekunder yang pertama yaitu melalui kajian literatur ini bersifat data normatif yang merupakan batasan atau teori yang terkait dengan mitigasi bencana dan analisis kerentanan bencana terhadap bencana rob. Teknik berikutnya yaitu melalui survei instansi yang dilakukan untuk mendapatkan datadata melalui instansi yang terkait dengan penelitian ini. Instansi tersebut yakni diantaranya Bappeda, BPBD, DKP, Dinas Tata Kota maupun BPS. Data-data yang dicari berupa fisik wilayah pesisir, kondisi sosial ekonomi masyarakat, infrastruktur wilayah pesisir dan sebagainya yang bias dilihat dari website yang disediakan oleh instansi tersebut. Teknik berikutnya yaitu melalui telaah dokumen teknik yang terkait dengan kerentanan bencana perubahan iklim. Dokumen tersebut dipahami berdasar pada materi-materi yang dapat digunakan dalam penelitian. Dokumen tersebut dapat berupa situs- situs di internet bertema penanggulangan bencana, kerentanan serta bidang-bidang lain yang relevan terhadap penelitian ini. Pengumpulan data primer, teknik ini dilakukan melalui survei primer dengan melakukan observasi langsung di lapangan. Cara yang dapat dilakukan ketika survei primer, yakni pertama, wawancara yang dilakukan guna melengkapi data-data sekunder yang belum didapatkan. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi bersemuka (face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah studi, kepada responden (Kerlinger, 2000). Adapun poin pertanyaannya yakni pemahaman masyarakat tentang isu bencana rob, dampak akibat bencana rob, bentuk kekerabatan yang telah/akan dilakukan dalam rangka penanganan bencana tersebut, serta sikap masyarakat jika bencana tersebut terjadi. Pengambilan sampelnya dengan menggunakan teknik sampel bertujuan (purposive sampling). Teknik ini dilakukan dengan mengambil koresponden- koresponden yang sekiranya mengetahui karakteristik populasi tersebut. Pada penelitian ini walaupun sampel yang diambil sekiranya relatif kecil kuantitasnya namun wawancara ditujukan pada stakeholders kunci (stakeholders masing- masing daerah) yang sekiranya paham terhadap hal ini dengan pertimbangan informasi signifikan dan ringkas. Pedoman/aturan yang digunakan yakni jika sudah terjadi pengulangan informasi maka penarikan sampel sudah bisa dihentikan. Sampel kunci berada pada stakeholders yang daerahnya diprediksi terkena dampak tersebut dan tidak menutup kemungkinan wawancara dilanjutkan melalui snowballing berdasarkan arahan stakeholders tersebut. Dalam studi ini, setidaknya dilakukan wawancara terhadap stakeholders daerah yang terkena dampak langsung akibat bencana rob (Tambak Lorok, Tambak Harjo,Tanjung Mas, Pantai Marina, Pantai Maron). Teknik yang kedua yaitu melalui pengamatan langsung (direct observation). Cara ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung kondisi fisik. Hal ini dilengkapi kamera digital, lembar pengamatan, maupun alat tulis.3.1.5. Tahap Pengolahan Data yang telah didapat, selanjutnya direkapitulasi. Adapun langkah- langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut ini: Pertama, tahap pengelompokan data. Tahap ini merupakan pengolahan data dengan cara mengelompokkan data sesuai analisis yang ingin dilakukan. Data yang didapat secara garis besar dibagi menjadi 2 kategori analisis tedebut. Kedua, tahap verifikasi data, tahapan ini bertujuan untuk mengetahui validitas data yang diperoleh dari hasil survey. Verifikasi ini dilakukan terhadap data sekunder yang didapat. Data sekunder tersebut dapat ditanyakan kepada informan maupun mengadakan crosscheck di lapangan. Ketiga, tahap penyajian. Hasil olahan data yang dilakukan perlu ditampilkan secara representatif dan informatif, tujuannya adalah agar mudah dipahami dan dimengerti maksud yang disajikan.3.1.6. Tahap Analisis Pada penelitian ini, kerangka analisis disusun berdasarkan tujuan penelitian yang sudah dirumuskan sebelumnya. Pada tahap awal, dilakukan analisis kerentanan masyarakat dengan input komponen petensi bahaya dan kerentanan pantai : Geomorfologi, erosi/akresi garis pantai, kemiringan pantai, Perubahan elevasi muka air relative, rata-rata tinggi gelombang, rata-rata kisaran pasang surut, perpindahan penduduk, dampak ekonomi, jasa pelayanan penting, inrastruktur, jasa pelayanan komersial, dan ekosistem. Setiap komponen dinilai kemudian disimpulkan analisis tersebut melalui prinsip progression of vulnerability. Selanjutnya, tahap kedua adalah menggali preferensi masyarakat terhadap komponen tersebut. Hal ini dilakukan untuk memahami makna kerentanan dari masyarakat serta mengetahui seberapa besar dampak masing-masing aspek ke dalam masyarakat. Terakhir, tahap ketiga adalah mendialogkan tahap1 dan tahap 2 dengan prinsip progression of safety secara deskriptif kualitatif. Kemudian, menyimpulkan alternatif strategi penanganan bencana rob di Kota Semarang.Pada proses analisis ini tidak terlepas dari penetapan aspek dan indikator- indikator kerentanannya. Pengelompokkan dan pemilihan indikator kerentanan dijabarkan dari sintesis beberapa elemen yang tertuang dalam beberapa teori yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasar pada beberapa ketentuan/aturan/arahan yang termuat dalam berbagai hal tersebut serta ketersediaan data di lapangan maka kerentanan bencana dapat dikategorikan dalam aspek tersebut diatas.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

0. Hasil0. Analisis Potensi Bahaya

Klasifikasi Potensi Bahaya :Kelas Potensi Bahaya

KelasDeskripsi

0.1-1.0Rendah

1.1-2.0Sedang

2.1-3.0Tinggi

0. Analisis Kerentanan Pantai

Variabel-variabel yang digunakan dalam perhitungan kerentanan pantai :

Klasifikasi Potensi Bahaya :

0. Analisa resiko

Klasifikasi yang digunakan dalam analisis potensi bahaya :

0. Pembahasan1. Analisis potensi bahaya dan Kerentanan PantaiDalam menganalisis potensi bahaya dan kerentanan pantai bisa dilakukan menggunakan beberapa metode maupun sumber yang didapat dari berbagai peneliti. Pada analisis yang kami lakukan menggunakan tabel-tabel yang isinya adalah merupakan pengelompokan dari hasil survey yang dilakukan.Penilaian kerentanan masyarakat merujuk pada aspek-aspek pembentuk kerentanan yang terdiri dari fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penilaian fisik lebih menitik beratkan pada penilaian kerentanan fisik buatan yaitu kepadatan bangunan dan kondisi infrastruktur tergenang. Kemudian, penilaian ekonomi yaitu pada tingkat kemiskinan dan kepemilikan lahan. Penilaian aspek sosial dilakukan melalui indikator penduduk rentan dan kepadatan penduduk. Selanjutnya, penilaian lingkungan dimaksudkan untuk mengetahui kerentanan masyarakat dilihat dari indikator luasan hutan mangrove dan kawasan fungsional di Kota Semarang.Dari hasil yang didapat adalah analisis potensi bahaya pesisir kota semarang memiliki tingkat erosi garis pantai yang tinggi, dan kemiringan pantai yang tinggi maka akan menyebabkan pada saat pasang, maka air laut akan memasuki daratan. Hal tersebut yang dapat menyebabkan banjir rob disemarang dikatakan tinggi. Perubahan elevasi muka air relative tinggi, sehingga rata-rata kisaran pasut juga tinggi pula. Pesisir semarang merupakan pantai yang terletak di pantai Utara Jawa yang memiliki tingkat sedang maka gelombang yang dihasilkan itu rendah karena terhalang oleh profil kedalaman pantai. Dari hasil perhitungan rata-rata dan dibagi dengan banyaknya jumlah data maka analisis potensi bahaya di pesisir kota semarang tepatnya di pelabuhan Tanjung Emas adalah sebesar 2,4. Dalam klasifikasi potensi bahaya termasuk kedalam kelas 2,1 3,0 yaitu Tinggi.Selanjutnya adalah analisis kerentanan pantai kota Semarang, dari hasil yang didapat melalui beberapa survey langsung ke lapangan dan wawancara dari beberapa warga yang tinggal di wilayah tersebut. Perpindahan penduduk yang kecil, karena sebagian besar penduduk yang berada disana tingkat ekonomi yang rendah maka meraka tinggal walaupun banjir pasang rob sudah lama menggenangi wilayah tersebut. Penduduk terdampak dari banjir pasang rob ini memang tinggi karena sebagian besar wilayah dari hasil survey memang terkena banjir pasang air laut tersebut. Walaupun sebagian besar terkena banjir rob untuk tingkat korban jiwa termasuk kecil. Dampak yang dialami oleh banjir rob di pantai kota semarang adalah sedang karena dari beberapa bagunan diantaranya adalah PT. Pulau Laut yang pada awalnya perusahaan tersebut dibangun tidak tergenang oleh air laut. Tetapi pada saat ini perusahaan tersebut sudah digenangi oleh air laut akibat banjir rob. Polsek pelabuhan semarang bertempat di kawasan BPPI tempat bersandar kapal-kapal kecil merupakan salah satu jasan pelayanan penting (masyarakat) di halaman depan tergenang air laut pada saat pasang dampaknya tinggi sehingga dapat mengganggu dalam melayani masyarakat. Infrastruktur yang rusak diakabiatkan dari banjir rob bisa dilihat diatas termasuk kedalam kategori tinggi. Jasa pelayanan komersil kategori rendah dan ekosistem di sekitar pantai semarang khususnya di wilayah pelabuhan Tanjung Emas terbilang sangat sedikit jumlahnya. Salah satunya adalah ekosistem mangrove yang kemungkinan besar ditebang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menjadikan lahan untuk membuat pabrik-pabrik yang berdiri kokoh di pinggiran pantai jadi ekosistem dikategorikan tinggi. Dari hasil perhitungan rata-rata dan dibagi dengan banyaknya jumlah data maka analisis kerentanan pantai di pesisir kota semarang tepatnya di pelabuhan Tanjung Emas adalah sebesar 2,25. Dalam klasifikasi potensi bahaya termasuk kedalam kelas 2,1 3,0 yaitu Tinggi.Analisis resiko dengan menggunakan formula didapat hasil 1,65 jika dimasukan dalam klasifikasi analisis potensi bahaya termasuk kedalam kelas 1,5 2,1 yaitu kategori Tinggi.Berdasarkan peta kerawanan Diposaptono (2009), diketahui adanya prediksi bahwa wilayah pesisir Kota Semarang yang tergenang setelah kenaikan paras muka air laut dalam 20 tahun mendatang sebesar 16 cm yakni seluas 2672,2 Ha. Sedangkan berdasarkan Miladan (2009) berdasarkan interprestasi data SIG yang ada diketahui bahwa dari 6 Kecamatan Pesisir Kota Semarang hanya 5 kecamatan yang diprediksikan sebagian wilayahnya akan tergenang banjir dan rob akibat kenaikan permukaan air laut.Berdasarkan data yang didapat dari instansi terkait dapat diketahui bahwa Kecamatan Semarang Utara merupakan kecamatan dengan jumlah bangunan tergenang terbanyak. Kondisi geografis Kecamatan Semarang Utara yang berbatasan langsung dengan laut. Kepadatan di Kecamatan Semarang Utara relatif padat karena pada kecamatan ini merupakan kawasan campuran pemukiman, industri, budaya, perdagangan maupun sarana transportasi (pelabuhan). Pada kecamatan ini pula terdapat kelurahan yang memiliki jumlah bangun tergenang terbanyak pula yakni Kelurahan Tanjung Mas. Pada Kelurahan Tanjung Mas tersebut jumlah bangunan yang tergenang terdapat 1.038 unit. Sedangkan kelurahan yang tidak memiliki kerentanan bangunan berdasarkan data bangunan eksisting pada RDTRK Kota Semarang Tahun 2011-2031 yakni terdapat di Kelurahan Terboyo Wetan dan Kelurahan Tambakrejo. Pada Kelurahan Terboyo Wetan mayoritas merupakan kawasan tambak. Sedangkan pada Kelurahan Tambakrejo, wilayah tergenang yang adaanya sekitar 3,75 Ha dan keberadaannya saat ini diperuntukkan sebagai lahan pertambakan/terbuka hijau.1. Adaptasi MasyarakatAdaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya Adaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Banjir pasang (rob) yang hampir terjadi setiap tahun memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terus menerus. Adaptasi ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Proses adaptasi yang sangat dinamis karena lingkungan dan manusia berkembang dan berubah secara terus-menerus. Umumnya masyarakat yang telah tebiasa terkena banjir enggan untuk pindah. Mereka tetap memilih tinggal di daerah asal meskipun tiap tahun mengalami langganan banjir rob. Faktor yang menyebabkan masyarakat tidak mau untuk berpindah tempat tinggal antara lain : 1. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun buruh industri disekitar daerah pelabuhan.2. Sebagian masyarakat berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki modal untuk berpindah ketempat lain. Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kobayashi (2001) adaptasi yag dilakukan oleh masyarakat yang terkena banjir rob antara lain : pindah kelokasi yang lebih aman, membangun polder dan pompa, menambah tanah tempat yang rendah merubah jenis bangunan (rumah panggung atau rumah susun).Sukamdi (2010) mengemukakan bahwa beberapa adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap banjir rob antara lain :1. Adaptasi pada tempat tinggal yang dilakukan masyarakat yakni dengan membuat tanggul, meninggikan rumah dan atapnya, meninggikan lantai rumah dengan cara mengurug , membuat saluran air disekitar rumah.

Peninggian lantai rumah oleh warga1. Adaptasi pada ketersediaan air bersih dilakukan karena banjir rob berdampak pada salinitas dan kualitas air di daerah tersebut. Sehingga masyarakat membutuhkan air bersih layak konsumsi yang diperoleh dan dipasok dari daerah lain, baik dari PAM maupun dari truk tangki air bersih, untuk hal tersebut masyarakat harus mengeluarkan biaya.

Bak Penampungan air bersih oleh warga1. Adaptasi pada lahan tambak dilakukan untuk mengurangi dampak dan kerugian akibat banjir rob yang dilakukan dengan membuat tanggul, memasang jarring atau waring disekeliling tambak, peninggian tanggul, pembuatan saluran air penghubung antar kolam tambak serta penanaman dan perawatan tananaman bakau di sekitar pantai dan tambak. Penanaman bakau berfungsi pula untuk mengurangi dampak banjir rob lainnya seperti kehilangan lahan dan abrasi pantai.

Tanggul beton dan jarring pada tambakStrategi adaptasi dapat dikelompokkan sebagai langkah perlindungan/proteksi yang mengikutkan berbagai jenis pilihan. Pilihan perlindungan terdiri dari teknologi fisik dan non fisik. Untuk pengembangan adaptasi sebenarnya, penting untuk disesuaikan dengan perencanaan, kebijakan dan respon teknis berkaitan dengan tindakan mundur dan akomodasi. Teknologi ini dapat dijadikan sebagi acuan sebagai penentuan strategi adaptasi dalam perubahan iklim yang menimbulkan dampak terhadap wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

Dari strategi adaptasi diatas, dapat direkomendasikan bagi masyarakat pada daerah yang terkena banjir pasang (rob) melakukan adaptasi akomodasi. Yaitu dengan cara meninggikan rumah untuk menyesuaikan kondisi tingginya banjir pasang (rob) yang semakin tahun akan semakin naik. Kondisi rumah sebenarnya dapat merepresentasikan karakter dan kemampuan perekonomian penghuninya. Masyarakat yang mampu secara finansial memiliki kondisi rumah yang lebih layak dibandingkan yang kurang mampu. Namun kondisi bangunan juga seringkali berbanding lurus terbalik dengan kepadatan bangunan kawasan. Semakin padat suatu kawasan, rata- rata kondisi bangunan juga semakin buruk. Hal ini dikarenakan penduduk yang mampu secara finansial akan memilih untuk menempati kawasan yang nyaman artinya tidak terlalu padat dan lebih memiliki aksesibilitas yang lebih baik. Kawasan yang terlalu padat juga memiliki kerentanan yang relatif tinggi, terutama terkait bencana kebakaran yang sering terjadi karena hal-hal kecil, seperti hubungan pendek arus listrik atau kompor meledak.Ketinggian suatu rumah di wilayah pesisir Kota Semarang juga dapat merepresentasikan kapasitas ekonomi rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan rutin tiap minimal 5 tahun sekali untuk meninggikan rumah dikarenakan bencana rob yang juga semakin sering dan semakin tinggi. Biaya tanah urug saat ini adalah kurang lebih Rp. 135.000,- per colt (pick up). Minimal 1 rumah ukuran 6 m x 12 m membutuhkan 5 8 colt setiap 5 tahunnya (Sariffuddin, 2009). Jika halaman dan jalan menuju rumah juga ditinggikan paling sedikit ditambah 4 colt. Sehingga kebutuhan tanah urug setiap lima tahun ada 12 colt atau seharga Rp. 1.620.000,-. Kebutuhan itu masih ditambah semen untuk plester dan sebagainya sehingga menurut masyarakat menghabiskan Rp. 5.000.000,- per lima tahun. Angka demikian termasuk besar bagi masyarakat di pesisir Kota Semarang dikarenakan pendapatan mereka yang rata-rata hanya sebagai buruh industri.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan1. Analisis potensi bahaya sebesar 2,4 masuk kedalam kategori tinggi.2. Analisis kerentanan pantai sebesar 2,25 masuk kedalam kategori tinggi.3. Analisis resiko sebesar 1,65 masuk kedalam kategori tinggi.

5.2. Saran1. Sebaiknya survey dilakukan pada saat pasang tertinggi sehingga mengetahui seberapa besar pengaruh pasang surut terhadap wilayah yang tergenang banjir rob.2. Membawa kamera digital untuk mendokumentasikan wilayah yang tegenang banjir rob.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. http://agridtooceanographers.blogspot.com. Diakses tgl 22 Desember 2014 pukul 15.39..Anonim. 2012. http://dhayatgeo.blogspot.com. Diakses 22 desember 2014 pukul 16.20Diposaptono, S., Budiman, & Agung, F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer. BogorFachruddin, A. 2007. Indikasi kenaikan muka air laut di pesisir kabupaten bangkalan Madura. Universitas TrunojoyoGumilar, I., Abidin H.Z., Andres, H., Mahendra, A.D., Sidiq, T.P., & Gamal, M. 2009. Studi Potensi Kerugian Ekonomi (Economic Losses) Akibat Penurunan Muka Tanah. Prosiding Seminar Nasional FIT ISI 2009. Teknik Geodesi UNDIP. SemarangGross M. G. 1993. Oceanography: A View of Earth. 6th Edition. Prentice Halls. Englewood Cliffs, New Jersey.Nurdin. 2013. Antisipasi perubahan iklim untuk keberlanjutan ketahanan pangan. Universitas Negeri Gorontalo. GorontaloPariwono, J. I. 1985. Australian Cooperative Programmes In Marine Sciences: Tides And Tidal Phenomena In The ASEAN Region. Flinders University of Australia, Flinders.Saribun, Daud S. 2007.PENGARUH JENIS PENGGUNAAN LAHAN DAN KELAS KEMIRINGAN LERENG TERHADAP BOBOT ISI, POROSITAS TOTAL, DAN KADAR AIR TANAH PADA SUB-DAS CIKAPUNDUNG HULU. BandungTriatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset: YogyakartaWirasatriya, A. 2005. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai Landasan Penanggulangan Rob di Pesisir Kota Semarang. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumber Daya Air. Pascasarjana UNDIP. Semarang

LAMPIRAN