Laporan Praktikum Fisiologi Git

12
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI Sistem Gastrointerstinal Kerutan Usus diluar Badan Kelompok B 17 Ketua : Wina Hanriyani (1102012307) Sekretaris : Siti Mutia Latifah (1102012281) Anggota : Maya Dwi Anggraeni (1102011157) Yolanda Syafitri (1102011296) Siti Farhanah Aulia (1102012279) Siti Miftahul Jannah (1102012280) Tesha Islami Monika (1102012293) Thirafi Prastito (1102012294) Tissa Noveria Azusna (1102012296) Winny Herya Utami (1102012308) Wiwiek Librani Soerye (1102012309)

description

kjkjkjkk

Transcript of Laporan Praktikum Fisiologi Git

Page 1: Laporan Praktikum Fisiologi Git

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

Sistem Gastrointerstinal Kerutan Usus diluar Badan

Kelompok B 17

Ketua : Wina Hanriyani (1102012307)

Sekretaris : Siti Mutia Latifah (1102012281)

Anggota : Maya Dwi Anggraeni (1102011157)

Yolanda Syafitri (1102011296)

Siti Farhanah Aulia (1102012279)

Siti Miftahul Jannah (1102012280)

Tesha Islami Monika (1102012293)

Thirafi Prastito (1102012294)

Tissa Noveria Azusna (1102012296)

Winny Herya Utami (1102012308)

Wiwiek Librani Soerye (1102012309)

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI

Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574

2014

Page 2: Laporan Praktikum Fisiologi Git

PENDAHULUAN

Dasar Teori

Pengaruh Epinefrin dan Asetilkolin Terhadap Otot Usus

Kontrol Saraf Terhadap Fungsi Gastrointestinal-Sistem Saraf Enterik

Traktus gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari esofagus dan memanjang sampai ke anus. Jumlah neuron pada sistem enterik ini sekitar 100 juta, hampir sama dengan jumlah pada keseluruhan medula spinalis; Sistem saraf enterik yang sangat berkembang ini bersifat penting, terutama dalam mengatur fungsi pergerakan dan gastrointestinal.

Sistem saraf enterik terutama terdiri atas dua pleksus:

1. Pleksus Bagian Luar, yang terletak diantara lapisan otot longitudinal dan sirkular yang disebut pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach

2. Pleksus Bagian Dalam, disebut pleksus submukosa atau pleksus Meissner yang terletak di dalam submukosa.

Pleksus mienterikus berfungsi mengatur pergerakan gastrointestinal. Sedangkan pleksus submukosa berfungsi mengatur sekresi gastrointestinal serta aliran darah lokal. Selain itu, terdapat serabut-serabut simpatis dan parasimpatis ekstrinsik yang berhubungan dengan kedua pleksus tersebut. Walaupun sistem saraf enterik dapat berfungsi dengan sendirinya, tidak bergantung dari saraf-saraf ekstrinsik ini, perangsangan oleh sistem parasimpatis dan simpatis dapat sangat meningkatkan atau menghambat fungsi gastrointestinal lebih lanjut.

Pada ujung-ujung saraf simpatis yang berasal dari epitelium gastrointestinal atau dinding usus dan mengirimkan serabut-serabut afferents ke kedua pleksus sistem enterik, lalu ke ganglia prevertebra dari sistem saraf simpatis, setelah itu ke medula spinalis, dan yang terakhir ke dalam saraf vagus menuju ke batang otak. Saraf-saraf sensoris ini dapat mengadakan refleks-refleks lokal di dalam dinding usus itu sendiri dan refleks-refleks lain yang disiarkan ke usus baik dari ganglia prevertebra maupun dari daerah basal otak.

Jenis-Jenis Neurontransmiter yang Disekresi oleh Neuron-Neuron Enterik

Dalam usaha untuk lebih memahami berbagai fungsi sistem saraf enterik gastrointestinal, para peneliti dari seluruh dunia telah mengidentifikasikan selusin atau lebih zat-zat neurontransmiter yang berbeda yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf dari berbagai

tipe neuron enterik. Dua dari neurontransmiter yang telah kita kenal adalah asetilkolin, dan norepinefrin. Yang lain adalah adenosin trifosfat, serotonin, dopamin, kolisistokinin, substansi P, polipeptida intestinal vasoaktif, somatostatin, leu-enkefalin, metenkefalin, dan bombesin. Fungsi-fungsi khusus dari banyak neurontransmiter ini tidak terlalu dikenal untuk dibahas disini, selain pembahasan hal berikut:

Asetilkolin paling sering merangsang aktivitas gastrointestinal. Norepinefrin, hampir selalu menghambat aktivitas gastrointestinal. Hal ini juga berlaku pada epinefrin, yang mencapai traktus gastrointestinal terutama lewat aliran darah setelah disekresikan oleh medula adrenal ke dalam sirkulasi. Substansi transmiter lain yang disebutkan tadi adalah gabungan dari bahan-bahan eksitator dan inhibitor.

Asetilkolin (Ach) merupakan neurontransmiter yang dikeluarkan oleh semua serat pragan-glion otonom, serat pascaganglion parasimpatis, dan neuron motorik.

Epinefrin hormon primer yang dikeluarkan oleh medula adrenal.

1

Page 3: Laporan Praktikum Fisiologi Git

Tempat pengeluaran Asetilkolin dan Norepinefrin

ASETILKOLIN NOREPINEFRIN

Semua ujung (terminal) praganglion Sebagian besar ujung

sistem saraf otonom pascaganglion simpatis

Semua ujung pascaganglion Medulla adrenal

parasimpatis

Ujung pascaganglion simpatis di Susunan saraf pusat

kelenjanr keringat dan sebagian

pembuluh darah di otot rangka

Ujung neuron aferen yang

mempersarafi otot rangka (neuron

motorik)

Susunan saraf pusat

Pengaturan Otonom Traktus Gastrointestinal

Jalur saraf otonom terdiri dari suatu rantai dua neuron, dengan neurotransmitter terakhir yang berbeda antara saraf simpatis dan parasimpatis. Setiap jalur saraf otonom yang berjalan dari SSP ke suatu organ terdiri dari SSP ke suatu organ terdiri dari suatu rantai yang terdiri dari dua neuron. Badan sel neuron yang pertama di rantai tersebut terletak di SSP. Aksonnya, serat preganglion, bersinaps dengan badan sel neuron kedua, yang terdapat di dalam suatu ganglion di luar SSP. Akson neuron kedua, serat pascaganglion, mempersarafi organ-organ efektor.

Sistem saraf otonom terdiri dari dua divisi-sistem simpatis dan parasimpatis. Serat-serat saraf simpatis berasal dari daerah torakal dan lumbal korda spinalis. Sebagian besar serat preganglion simpatis berukuran sangat pendek, bersinaps dengan badan sel neuron pascaganglion didalam ganglion yang terdapat di rantai ganglion simpatis yang terletak di kedua sisi korda spinalis. Serat pascaganglion panjang yang berasal dari rantai ganglion itu berakhir di organ-organ efektor. Sebagian serat praganglion melewati rantai ganglion tanpa membentuk sinaps dan kemudian berakhir di ganglion kolateral simpatis yang terletak disekitar separuh jalan antara SSP dan organ-organ yang dipersarafi, dengan serat pascaganglion menjalani jarak sisanya.

Serat-serat praganglion parasimpatis berasal dari daerah cranial dan sacral SSP. Serat-serat ini berukuran lebih panjang dibandingkan dengan serat praganglion simpatis karena serat-serat itu tidak terputus sampai mencapai ganglion terminal yang terletak di dalam atau dekat dengan organ efektor. Serat-serat pascaganglion yang sangat pendek berakhir di sel-sel organ yang bersangkutan itu sendiri.

2

Page 4: Laporan Praktikum Fisiologi Git

Serat-serat praganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yang sama, yaitu asetilkolin (Ach), tetapi ujung-ujung pasca ganglion kedua system ini mengeluarkan neurotransmitter yang berlainan (neurotransmitter yang mempengaruhi organ efektor). Serat-serat pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin. Dengan demikian, serat-serat itu bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut serat kolinergik. Sebaliknya sebagian besar serat pascaganglion simpatis disebut serat adrenergic, karena mengeluarkan noradrenalin, lebih umum dikenal sebagai norepinefrin. Baik asetilkolin maupun norepinefrin juga berfungsi sebagai zat perantara kimiawi di bagian tubuh lainnya.

Persarafan Parasimpatis

Persarafan parasimpatis ke usus dibagi atas divisi kranial dan divisi sakral. Kecuali untuk beberapa serabut parasimpatiske regio mulut dan faring dari saluran pencernaan, serabut saraf parasimpatis kranial hampir seluruhnya di dalam saraf vagus. serabut-serabut ini memberi inervasi yang yang luas pada esofagus, lambung, pankreas, dan sedikit usus sampai separuh bagian pertama usus besar.

Parasimpatis sakral bersal darisegmen sakral kedua, ketiga, dan keempat dari medula spinalis serta berjalan melalui saraf pelvis ke seluruh bagian distal usus besar dan sepanjang anus. Arean sigmoid, rektum, dan anus diperkirakan mendapat persarafan parasimpatis yang lebih baik daripada nagian usus yang lain. Fungsi serabut ini terutama untuk menjalankan reflak defekasi.

Neuron-neuron postganglionik dari sistem parasimpatis gastrointestinal terletak terutama di pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Perangsangan saraf parasimpatis ini menimbulakan peningkatan umum dari aktivitas seluruh sistem saraf enterik. Hal ini kemudian akan memperkuat aktivitas sebagian besar fungsi gastrointestinal.

Persarafan Simpatis

Serabut-serabut simpatis yang berjalan ke traktus gastrointestinal bersal dari medula spinalis antara segmen T-5 dan L-2. Sebagian besar serabut preganglionik yang mempersarafi usus, sesudah meninggalkan medula, memasuki rantai simpatis yang terlatak di sisi lateral kolumna spinalis, dan banyak dari serabut ini kemudian berjalan melalui rantai ke ganglia yang terletak jauh seperti ganglion seliaka dan berbagai ganglion mesenterica. Kabanyakan badan neuron simpatik postganglionik berada di ganglia ini, dan serabut-serabut post ganglionik lalu menyebar melalui saraf simpatis postganglionik ke semua bagian usus. Sistem simpatis pada dasarnya menginervasi seluruh traktus gastrointestinal, tidak hanya meluas dekat dengan rongga mulut dan anus, sebagaimana yang berlaku pada sistem parasimpatis. Ujung-ujung saraf simpatis sebagian besar menyekresikan norepinefrin dan juga epinefrin dalam jumlah sedikit.

Pada umumnya, perangsangan sistem saraf simpatis menghambat aktivitas traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung sekresi norepinefrin untuk menghambat otot polos traktus intestinal (kecuali otot mukosa yang tereksitasi oleh norepinefrin), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibisi dari norepinefrin pada neuron-neuron pada seluruh sistem saraf enterik.

Perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menginhibisi peregerakan motor usus begitu hebat sehingga dapat benar-benar menghentikan pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.

Efek Sistem Saraf Otonom Pada GIT

Organ Jenis Reseptor Efek Stimulasi Efek Stimulasi

Simpatis Simpatis Parasimpatis

3

Page 5: Laporan Praktikum Fisiologi Git

Saluran α, β2 (organ-organ) ↓ motilitas (gerakan) ↑ motilitas

Pencernaan

Pengaruh Ion Kalsium Terhadap Kontraksi Otot Usus (Otot Polos Visceral)

Dasar Molekul Kontraksi

Kalsium berperan penting dalam kontraksi otot polos, seperti halnya yang terjadi pada otot rangka. Namun, karena secara umum retikulum sarkoplasma otot polos visceral kurang berkembang, peningkatan konsentrasi kalsium yang disebabkan oleh influks kalsium dari CES melalui kanal kalsium bergerbang voltase dan bergerbang ligan. Disamping itu, miosin otot polos harus terfosforilasi untuk dapat mengaktifkan miosin ATPase. Fosforilasi dan defosforilasi miosin juga terjadi pada otot rangka, tetapi fosforilasi tidak diperlukan untuk pengaktifkan ATPase. Pada otot polos, kalsium berikatan pada kalmodulin dan kompleks yang terbentuk akan mengaktifkan miosin kinase rantai ringan yang bergantung pada kalmodulin (calmodulin-dependent myosin light chain kinase). Enzim ini mengkatalis fosforilasi rantai ringan miosin pada serin diposisi 19. Fosforilasi ini akan mengaktifkan ATP.

Miosin mengalami defosforilasi oleh miosin fosfatase rantai ringan dalam sel. Namun, defosforilasi miosin kinase rantai ringan tidak selalu menyebabkan relaksasi otot polos. Berbagai mekanisme berperan. Salah satunya adalah mekanisme latch bridge, yang menyebabkan jembatan silang miosin tetap terikat ke aktin beberapa lama setelah menurunnya konsentrasi kalsium sitoplasma. Hal ini menimbulkan kontraksi yang menetap dengan penggunaan energi yang sedikit, yang sangat penting pada otot polos pembuluh darah. Relaksasi otot kemungkinan terjadi ketika kompleks kalsium-kalmodulin akhirnya terurai atau ketika mekanisme lain bekerja.

4

Page 6: Laporan Praktikum Fisiologi Git

Sistem Gastrointerstinal

Kerutan Usus diluar Badan

Tujuan:

Pada akhir latihan ini mahasiswa harus dapat :

1. Memasang peralatan perfusi usus dan pencatat gerakan usus.2. Memasang sediaan usus dalam tabung perfusi dan menghubungkannya dengan pencatat

sehingga kerutannya dapat dicatat pada kimograf.3. Menjelaskan pengaruh pelbagai faktor dibawah ini pada frekuensi dan amplitudo kerutan

serta tonus sediaan usus dalam tabung perfusi:a. Epinefrin b. Asetilkolin c. ion kalium

d. Pilokarpin e. Ion barium

Alat sediaan dan bahan kimia yang diperlukan:

1. Kaki tiga + kawat kasa + pembakar busen dengan pipa karet + statip2. Gelas beker pireks 600 cc +tabung perfusi usus dengan klemnya.3. Pipa kaca bengkok untuk perfusi usus + balon rangkap + thermometer kimia4. Pencatat gerakan usus +sinyal maknit +kawat listrik + kimograf rangkap5. Sepotong usus halus dengan panjang ±5 cm ( ini akan dibagikan oleh asisten yang bertugas)6. Larutan : - Locke biasa dan locke bersuhu 35o C

- Epinefrin 1:10.000- Locke tanpa kalsium- CaCl2 1 %- Asetilkolin 1:1.000.000- Pilokarpin 0,5%- BaCl2 1%

7. Es + Baskom

Tata kerja

1. Susunlah alat menurut gambar2. Hangtkan air dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke didalam tabung perfusi

mencapai suhu 350 C3. Mintalah sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas4. Pasang sediaan usus sebagai berikut:

a. Ikatkan dengan benang salah satu ujung sediaan usu pada ujung pipa gelas bengkok

5

Page 7: Laporan Praktikum Fisiologi Git

b. Ikatkan ujung yang lain pada pencatat usus. (usahakan dalam hal ini supaya sediaan usus tidak terlampau tegang)

5. Alirkan udara kedalam larutan Locke dalam tabng perfusi dengan memompa balon dan mengatur klem sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan sediaan usus yang telah dipasang itu.

6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan Locke dalam tabung perfusi yang hars dipertahankan pada suhu 350 C, kecuali bila ada petunjuk-petunjuk lain.P-V.1.1 Apa tujuan mengalirkan udara kedalam cairan perfusi?

Agar perfusi oksigen di jaringan usus tetap baik, dan tidak terjadi nekrosis.

I. Pengaruh Epinefrin

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap kerutan masih tercatat terpisah

2. Catat waktunya dengan interval 5detik3. Tanpa memhentikan tromol, teteskan 5 tetes larutan epinefrin 1;10.000 kedalam cairan

perfusi4. Teruskan pencatatan, sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas P-V.1.2

Apa pengaruh epinefrin dalam percobaan ini?Pemberian epinefrin dapat menurunkan kerutan usus dikarenakan kerja dari epinefrin yang mempengaruhi saraf simpatis.

5. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin sebagai berikut:a. Pindahkan pembakar Bunsen, kaki tiga + kawat kasa dan gelas beker pireks dari tabung

perfusib. Letakkan sebuah Waskom dibawah tabung perfusi.c. Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habisd. tutup kembali tabng perfusi dan isilah dengan larutan locke yang baru (tidak perlu yang

bersuhu 350 C)d an besarkan aliran udara seingga usus bergoyang-goyang.e. buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan locke nyaf. ulangi hal diatas 2 kali lagi, sehingga dapat dianggap sediaan usus telah bebas dari

pengaruh epinefrin.g. Sesudah selesai hal-hal diatas, tutup kembali tabung perfusi, dan isilah dengan larutan

locke baru yang bersuhu 350 C (disediakan) serta atur kembali aliran udaranya.h. Pasang kembali gelas beker piraks, kaki tiga + kawat kasa dan pembakar Bunsen.

II. Pengaruh Asetilkolin

2. Catat 10 kerutan usus sebagai control3. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan aetilkolin terlihat jelas.4. Teruskan dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas.5. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin seperti

pada ad I.P-V 1.3. Apakah pengaruh asetilkolin pada sediaan usus ?Asetilkolin menyebabkan peningkatan kerutan usus.

III. Pengaruh ion Kalsium

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control.2. Hentikan tromol dan gantilah larutan locke dalam tabung perfusi dengan larutan locke tanpa

Ca yang bersuhu 350 C (disediakan).3. Jalankan kembali tromol dan catatlah terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca terlihat

jelas.

6

Page 8: Laporan Praktikum Fisiologi Git

4. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 CaCl2 1% kedalam cairan perfusi. Beri tanda saat penetesan.

5. Teruskan dengan pencatatan, sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna, gantikanlah cairan dalam tabung perfusi dengan cairan locke baru yang 350CP-V.1.4. Apa pengaruh kekurangan ion ca terhadap kerutan usus ?

Ion kalsium menyebabkan penurunan kerutan usus.

IV. Pengaruh Pilokarpin

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control.2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan pilokarpin 0,5% kedalam cairan perfusi3. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas P-V.1.5. Apa pen-

garuh pilokarpin terhadap kerutan usus?Pilokarpin merupakan obat kolinergik sehingga pemberian pilokarpin dapat mengaki-batkan peningkatan kekuatan kerutan usus disertai dengan penurunan frekuensi kerutan usus (interval menjadi lebih panjang).

4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin seperti pada ad. I.4

V. Pengaruh Suhu

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control pada suhu 350 C2. Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi sebanyak 50C dengan jalan memindahkan

pembakar Bunsen dan mengganti air hangat didalam Gekas pireks dengan air biasa.3. Segera setelah sampai suhu 300 C ,jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus.4. Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu cairan

perfusi sebanyak 50 C, sampai tercatat 200 C dengan jalan memasukkan potongan-potongan es kedalam gelas beker pireks. Sangen demikian didapat pencatatan keaktifan berturut-turut pada suhu 350 C, 300 C ,250 C dan 200 C.

5. Hentikan tromol perfusi dan naikkan suhu cairan perfusi sampai 350 C dengan jalan mengganti air es didalam gelas beker pireks dengan air biasa kemudian memanasakan air itu.

6. Segera setelah suhu mencapai 350 C, jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus.P-V.1.6 Apa pengaruh suhu pada keaktifan suhu?

Besarnya suhu berbanding lurus dengan kerutan usus. Oleh karena itu, semakin rendah suhu, semakin ‘tidak aktif’ kerutan usus.

VI. Pengaruh Ion Barium

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan I tetes BaCl2 1% kedalam cairan perfusi. Bila 1 tetes

tidak memberikan hasil setelah 5-10kerutan, lanjutkan penambahan BaCl2 tetes demi tetes yang diberikan setiap sesudah 5-10 kerutan yang tidak jelas.P-V.1.7. Apa pengaruh yang diharapkan terjadi pada penambahan larutan BaCl2 ?

Pada penambahan BaCl2 terjadi peningkatan kontraksi usus.

KESIMPULAN

7

Page 9: Laporan Praktikum Fisiologi Git

DAFTAR PUSTAKA Sherwood, L. (2001). “Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem”., Edisi 2. EGC : Jakarta

8