Latihan Aerobik Intensitas Sedang Dengan Diet Rendah Kolesterol Lebih Baik Dalam Memperbaiki...

143
TESIS LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK YULIANA RATMAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

description

OO

Transcript of Latihan Aerobik Intensitas Sedang Dengan Diet Rendah Kolesterol Lebih Baik Dalam Memperbaiki...

  • TESIS

    LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN

    DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM

    MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS

    RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK

    YULIANA RATMAWATI

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • TESIS

    LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN

    DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM

    MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS

    RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK

    YULIANA RATMAWATI

    NIM 1190361035

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAH RAGA

    KONSENTRASI FISIOTERAPI

    PROGRAM PASCA SARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • ii

    LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN

    DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM

    MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS

    RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK

    Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

    Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga-Fisioterapi

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    YULIANA RATMAWATI

    NIM 1190361035

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAH RAGA

    KONSENTRASI FISIOTERAPI

    PROGRAM PASCA SARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • iii

    LEMBAR PERSETUJUAN

    TESIS INI TELAH DISETUJUI

    TANGGAL 3 Oktober 2013

    Pembimbing I Pembimbing II

    Prof. Dr.dr.J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And S. Indra Lesmana, SKM, SSt.Ft, M.Or

    NIP. 194402011964091001 NIDN.030 707 6801

    Mengetahui,

    Ketua Program Studi Magister Direktur

    Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    Universitas Udayana

    Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

    NIP. 194402011964091001 NIP. 195902151985102001

  • iv

    PENETAPAN PANITIA PENGUJI

    TESIS

    Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

    Oleh Panitia Penguji pada

    Program Pascasarjana Universitas Udayana

    Pada Tanggal 3 Oktober 2013

    Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

    No. : 1815/UN.14.4/HK/2013

    Tanggal : 25 September 2013

    Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah :

    Ketua : Prof. Dr. Dr. J. Alex Pangkahila,M.Sc.Sp.And

    Sekretaris : Syahmirza Indra Lesmana, SKM,SSt.FT, M.Or

    Anggota:

    1. Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M.Erg

    2. Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis

    3. dr. Ida Bagus Ngurah, M.For

  • v

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

    UNIVERSITAS UDAYANA

    Kampus Bukit Jimbaran

    Telepon (0361) 701812, 701954, 703138, 703139, Fax.(0361)-701907, 702442

    Laman: www.Unud.ac.id

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

    Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Yuliana Ratmawati

    Nim : 1190361035

    Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi

    Judul Tesis : Latihan Aerobik Intensitas Sedang dengan Diet Rendah

    Kolesterol Lebih Baik Dalam Memperbaiki Kognitif Daripada

    Intensitas Ringan Pada Penderita Sindroma Metabolik

    Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila

    dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini , maka saya bersedia

    menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No . 17 tahun 2010 dan Peraturan

    Perundang-undangan yang berlaku.

    Denpasar, 7 Oktober 2013.

    Pembuat pernyataan

    (Yuliana Ratmawati)

    Nim: 1190361035

  • vi

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat

    rahmat dan krunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul Latihan

    Aerobik Intensitas Sedang dengan Diet Rendah Kolesterol Lebih Baik Dalam

    Memperbaiki Kognitif Daripada Intensitas Ringan Pada Penderita Sindroma

    Metabolik dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai derajat

    Magister Fisiologi Olahraga (M.Fis) pada Program Studi Fisiologi Olahraga Program

    Pascasarjana Universitas Udayana.

    Pertama-tama perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut

    Suastika, Sp.PD,KEMD, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.

    Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S.(K). dan Ketua Program Studi Pascasarjana Fisiologi

    Olahraga Universitas Udayana Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And atas

    kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana

    di Universitas Udayana.

    Selama penyusunan tesis ini penulis memperoleh banyak bimbingan, dan

    bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat menyelesaikannya. Pada kesempatan ini

    penulis ingin menghanturkan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. dr. J.

    Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And, selaku pembimbing I, dan, bapak S. Indra Lesmana,

    SKM, SSt.Ft, M.Or selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk

    memberikan petunjuk, dorongan dan bimbingan serta memberikan ilmunya kepada

    penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dr. H.M. Iqbal,Sp.PD sebagai

    dokter penanggungjawab PERSADIA di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan

    Ibu Widiastuti,S.Kep.Ns ketua pengurus PERSADIA di RS PKU Muhammadiyah

    serta para Dosen Program Magister Fisiologi Olahraga, atas segala dorongan,

    semangat dan bimbingannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada

    para penguji tesis yaitu Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M.Erg, Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis, dan

    dr. Ida Bagus Ngurah, M.For atas saran-saran untuk perbaikan tesis ini.

    Ucapan yang sama juga ditujukan kepada para anggota PERSADIA di RS

    PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang telah bersedia menjadi subjek penelitian, serta

    rekan-rekan teman-teman yang telah ikut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

    Tidak lupa penulis juga sampaikan terima kasih kepada suamiku, Ayah dan Ibunda

  • vii

    tercinta, yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi perjuangan

    penulis selama ini serta sebagai penyemangat bagi penulis.

    Penulis sadar bahwa isi dari tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga bila

    terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain, penulis sangat

    mengharapkan saran dan masukan sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. Sebagai

    penutup penulis sampaikan semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia kependidikan

    terutama bidang fisiologi olahraga.

    Denpasar, Juli 2013

    Penulis

    Yuliana Ratmawati

  • viii

    ABSTRAK

    LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN DIET RENDAH

    KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM MEMPERBAIKI KOGNITIF

    DARIPADA INTENSITAS RINGAN PADA PENDERITA

    SINDROMA METABOLIK

    Sindroma metabolik merupakan sekumpulan faktor resiko penyebab terjadinya

    atherosklerosis. Adanya mikroemboli kolesterol dari plak karotis dianggap sebagai

    satu mekanisme yang dapat mengganggu kognitif. Latihan aerobik adalah salah satu

    intervensi yang dapat memperbaiki fungsi kognitif. Tujuan penelitian ini adalah untuk

    mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet kolesterol lebih baik dalam

    memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita sindroma metabolik.

    Metode penelitian ini eksperimental dengan rancangan randomized control trial

    pre and post test design. Sampel sebanyak 26 penderita sindroma metabolik. Sampel

    dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan latihan intensitas ringan

    sedangkan kelompok kedua diberikan latihan intensitas sedang yang keduanya

    ditambah dengan diet rendah kolesterol. Penelitian dilakukan selama dua belas minggu

    di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Subyek penelitian dengan rentang usia 45-

    55 tahun, indeks masa tubuh dengan rentangan 23-29.

    Hasil statistik uji beda sebelum dan sesudah kelompok perlakuan aerobik

    intensitas ringan dengan diet rendah kolesterol menggunakan uji paired sampel t-test

    didapatkan hasil p= 0,001 (p

  • ix

    ABSTRACT

    MODERATE INTENSITY AEROBIC EXERCISE WITH LOW

    CHOLESTEROL DIET MORE THAN IMPROVING COGNITIVE

    LIGHT INTENSITY ON THE METABOLIC SYNDROME PATIENTS

    Metabolic syndrome is a group of risk factors causing atherosclerosis. The

    presence of cholesterol microemboli carotid plaque is considered as one of the

    mechanisms that can interfere with cognitive. Aerobic exercise is one of the

    interventions that can improve cognitive function. The purpose of this study was to

    determine the aerobic exercise of moderate intensity with more cholesterol diet

    improve cognitive rather than light intensity in patients with metabolic syndrome.

    The experimental research method to design randomized control trial of pre and

    post test design. Sample of 26 patients with metabolic syndrome. Samples were

    divided into two groups. The first group was given exercise intensity light while the

    second group was given exercise intensity , both coupled with a low-cholesterol diet.

    The study was conducted over twelve weeks in RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

    Study subjects with an age range of 45-55 years old, with a body mass index 23-29

    range.

    The results of the different test statistics before and after the treatment with mild

    intensity aerobic low cholesterol diet using paired sample t - test test showed p = 0,001

    ( p < 0,05 ). Different test before and after the treatment of moderate-intensity aerobic

    with low cholesterol diet using the Wilcoxon p = 0,001 (p < 0,05). Different test

    groups after the treatment of mild and moderate intensity aerobics with low cholesterol

    diet using the Mann - Whitney U with p = 0,005 (p < 0.05) there is a significant

    difference between the two treatment groups. Moderate aerobic exercise group with

    low cholesterol diet improve cognitive 22,1 % more compared to the group treated

    with a mild intensity aerobic low-cholesterol diet.

    Conclusions in this study were of moderate intensity aerobic treatment group

    with low cholesterol diet for improving cognitive rather than light intensity aerobics

    with low-cholesterol diet.

    Key words: metabolic syndrome, cognitive function, aerobic exercise

  • x

    DAFTAR ISI

    Halaman

    SAMPUL DALAM ............................................................................................. i

    PRASYARAT GELAR ...................................................................................... ii

    LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii

    PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................. v

    UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi

    ABSTRAK .......................................................................................................... viii

    ABSTRACT ........................................................................................................ ix

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... x

    DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

    DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xiv

    DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xv

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 7

    1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7

    1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8

    BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 9

    2.1 Gangguan Kognitif Pada Sindroma Metabolik .................................... 9

    2.1.1 Definisi Sindroma Metabolik ..................................................... 9

    2.1.2 Klasifikasi Sindroma Metabolik ................................................ 10

    2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Sindroma Metabolik ........................ 12

    2.1.4 Komplikasi Sindroma Metabolik ................................................ 15

    2.2 Kognitif ................................................................................................. 17

    2.2.1 Struktur Otak .............................................................................. 18

    2.2.2 Hubungan Struktur Otak dengan Fungsi Kognitif ..................... 20

    2.3 Penurunan Kognitif Pada Sindroma Metabolik .................................... 22

    2.4 Latihan Aerobik .................................................................................... 24

  • xi

    2.4.1 Latihan Aerobik Intensitas Ringan .............................................. 27

    2.4.2 Latihan Aerobik Intensitas Sedang ............................................. 27

    2.4.3 Sumber Energi Pada Pelatihan Fisik ............................................ 29

    2.4.4 Kolesterol Sebagai Sumber Energi .............................................. 30

    2.4.5 Diet Rendah Kolesterol ............................................................... 31

    2.4.6 Adaptasi Latihan Aerobik ........................................................... 33

    2.4.7 Manfaat Latihan Aerobik terhadap Fungsi Kognitif

    Pada Sindroma Metabolik ........................................................... 36

    2.5 Mini Mental State Examination (MMSE) .............................................. 47

    BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................... 50

    3.1 Kerangka Berfikir ................................................................................... 50

    3.2 Konsep Penelitian ................................................................................... 53

    3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 53

    BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 55

    4.1 Rancangan Penelitian .............................................................................. 54

    4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 56

    4.3 Penentuan Sumber Data ........................................................................ 56

    4.3.1 Penentuan populasi ...................................................................... 56

    4.3.2 Penentuan sampel ......................................................................... 57

    4.3.3 Kriteria egilitas ............................................................................. 57

    4.3.4 Besar sampel ................................................................................. 58

    4.3.5 Tehnik pengambilan sampel ......................................................... 59

    4.4 Variabel Penelitian .................................................................................. 60

    4.4.1 Variabel penelitian ......................................................................... 60

    4.4.2 Definisi operasional variabel ........................................................ 60

    4.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 63

    4.6 Prosedur Penelitian ................................................................................. 62

    4.6.1 Cara penelitian ................................................................................ 62

    4.6.2 Alur penelitian ............................................................................... 64

    4.6.3 Prosedur pengukuran ..................................................................... 66

    4.6.4 Prosedur pengumpulan data ........................................................... 67

    4.7 Analisis Data ........................................................................................... 68

  • xii

    BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 71

    5.1 Deskripsi Karakteristik Subyek ............................................................. 71

    5.2 Diagnosa Sindroma Metabolik .............................................................. 73

    5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas .................................................... 74

    5.4 Uji Hipotesis .......................................................................................... 76

    5.4.1 Uji Hipotesis I dan II.................................................................... 76

    5.4.2 Uji Kompatibilitas ........................................................................ 77

    5.4.3 Uji Hipotesis III ........................................................................... 78

    BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 79

    6.1 Karakteristik Subyek .............................................................................. 79

    6.2 Distribusi Varian dan Hasil MMSE ....................................................... 82

    6.3 Efek Pelatihan Aerobik Ringan Dengan Diet Rendah Kolesterol

    Terhadap Peningkatan MMSE ................................................................. 82

    6.4 Efek Pelatihan Aerobik Sedang Dengan Diet Rendah Kolesterol

    Terhadap Peningkatan MMSE ................................................................. 84

    6.5 Efektifitas Pelatihan Aerobik Intensitas Ringan Dengan Diet

    Rendah Kolesterol Dibandingkan Pelatihan Aerobik Intensitas Sedang

    Dengan Diet Rendah Kolesterol Terhadap Peningkatan MMSE ........... 87

    6.6 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 90

    BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 91

    7.1 Simpulan .................................................................................................. 91

    7.2 Saran ........................................................................................................ 91

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 93

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • xiii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    2.1 Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik Menurut WHO, NCEP-ATP III,

    IDF dan EGIR .................................................................................................. 12

    4.1 Karakteristik IMT Berdasarkan Kriteria WHO 2000 ........................................ 62

    5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ........................................................................ 72

    5.2 Distribusi Kejadian Sindroma Metabolik........................................................... 74

    5.3 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data MMSE Sebelum dan

    Sesudah Pelatihan ........................................................................................... 75

    5.4 Hasil Uji Beda Kedua Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................ 76

    5.5 Hasil Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok ..................... 77

    5.6 Hasil Uji Beda Antara Kedua Kelompok Setelah Perlakuan............................ 78

  • xiv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    2.1 Anatomi Otak ................................................................................................... 19

    3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................................ 52

    3.2 Konsep Penelitian............................................................................................. 53

    4.1 Rancangan Penelitian Pre Test dan Post Test Design ...................................... 55

    4.2 Bagan Alur Penelitian ....................................................................................... 65

    6.1 Prosentase Peningkatan MMSE Pada Kelompok Intensitas Ringan dan

    Intensitas Sedang ................................................................................................ 88

  • xv

    DAFTAR SINGKATAN

    SINGKATAN

    ACSM : American College of Sport Medicine

    APTT : Activated Partial Tromboplastin Time

    ATP : Adenosin Tri Phosphate

    BDNF : Brain Devitred Neurotrophin Factor

    CRP : C-Reactive Protein

    EGIR : The European Group for the Study of Insulin Resistance

    FFA : Free Fatty Acids

    HDL : High Density Lipoprotein

    HDL-C : High density lipoprotein cholesterol

    IDF : International Diabetes Federation

    IGF-I : Insulin-Growth Factor I

    LDL : Low Density Lipoprotein

    MHR : Maximal Heart Rate

    MMSE : Mini Mental State Examination

    NCEP ATP III : National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel

    III

    NGF : Nerve Growth Factor

    NO : Nitrit Oxide

    OGTT : Oral glucose tolerance test

    PAI-I : Plasminogen activator inhibitor

    PJK : Penyakit Jantung Koroner

    RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

    ROS : Reactive Oxygen Species

    SDH : Succinate dehydroginase

    SREBP1c : Sterol Regulation Element Binding Protein

    VLDL1 : Very Low Density Lippoprotein 1

    WHO : World Health Organization

  • xvi

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1 Data penelitian 100

    2 Hasil SPSS . 101

    3 Gerakan-gerakan senam DM .. 108

    4 Dokumentasi ... 118

    5 Surat pernyataan persetujuan mengikuti penelitian . 119

    6 Status Mini Mental State Examination (MMSE) 120

    7 Daftar Pertanyaan Pemeriksaan .. 121

    8 Surat Persetujuan Menjadi Pengukur .. 124

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Dewasa ini tingkat kesejahteraan hidup manusia akan terus bergeser seiring

    dengan berubahnya pola hidup manusia di zaman modern. Perubahan tersebut akan

    sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya.

    Penyakit saat ini juga telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan

    beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular

    bergeser ke penyakit yang tidak menular. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

    (RISKESDAS) tahun 2007, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang

    dewasa adalah penyakit kardiovaskular.

    Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dengan morbiditas

    dan mortalitas yang terus meningkat (Saunderajen, 2010). Sindroma metabolik ini

    merupakan kelainan metabolik kompleks yang dihasilkan dari peningkatan obesitas.

    Obesitas, retensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen sindroma

    metabolik (Kahn et al., 2005). Sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan yang

    berkaitan erat dengan risiko penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan

    kardiovaskular.

    Prevalensi populasi di dunia terhadap penyakit degeneratif saraf dan

    metabolik terus meningkat. Pusat kontrol penyakit dan prediksi pencegahan

    melaporkan bahwa lebih dari 29 juta orang di USA akan menderita diabetes millitus

    pada tahun 2050. Di US 5-10% pasien diabetes millitus tipe I dengan karakteristik

  • 2

    hiperglikemia dan defisiensi insulin, sedangkan diabetes tipe II 90-95%

    karakteristiknya hiperinsulinemia, obesitas, hipertensi, hiperkolesterolemia,

    hiperlipidemia. Beberapa penelitian dilaporkan bahwa pasien dengan diabetes

    millitus beresiko terkena penyakit alzheimer. Faktanya, diklinik Mayo terdaftar 80%

    pasien dengan penyakit alzheimer terjadi gangguan toleransi glukosa (Janson et al.,

    2004). Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan

    prevalensi sindroma metabolik sebesar 13,13% (Fattah, 2006 dalam Jafar, 2011).

    Pada penelitian Yaffe et al.,(2004) dilaporkan adanya penurunan fungsi

    kognitif pada sindroma metabolik. Penelitian Akbaraly et al., (2010) dilaporkan

    bahwa penderita sindroma metabolik persisten selama 10 tahun dapat menurunkan

    fungsi kognitif dibandingkan dengan penderita sindroma metabolik non persisten.

    Pada penelitian Rostam (2006) diperoleh hasil bahwa kejadian penurunan fungsi

    kognitif lebih banyak terdapat pada penderita diabetes millitus. Velayudhan et al.,

    (2010) juga memberikan kesimpulan bahwa diabetes millitus tidak hanya berisiko

    terhadap terjadinya kemunduran kognitif, tetapi juga meningkatkan progresivitas

    suatu kemunduran kognitif menjadi demensia. Banyak penelitian telah melaporkan

    hubungan antara demensia dengan faktor risiko vaskular seperti intoleransi glukosa,

    resistensi insulin, obesitas sentral, kelainan lipid dan hipertensi (Solfrizzi, 2004).

    Hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia berperan penting dalam patogenesis

    gangguan kognitif dan terkait dengan penyakit alzheimer serta demensia. Robinson

    et al., (2010) dilaporkan bahwa pasien dengan diabetes millitus meningkatkan risiko

    penyakit alzheimer dibandingkan orang sehat. Proses mekanisme biologikal penyakit

    diabetes millitus dapat menurunkan kognitif masih pro dan kontra. Gangguan

  • 3

    metabolisme protein, retensi insulin, oksidatif stress, intoleran glukosa, aktivasi

    inflamasi yang melatar belakangi kedua penyakit tersebut. Hiperkolesterolemia

    adalah faktor yang sangat penting berperan pada diabetes millitus dan penurunan

    kognitif (Robinson et al., 2010).

    Diabetes millitus dan komplikasinya memberikan dampak pada susunan saraf

    pusat yang berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif (Gundy, 2003). Beratnya

    gangguan fungsi kognitif ditentukan oleh tipe diabetes millitusnya, usia sejak kapan

    menderita diabetes millitus, kontrol derajat glukosa, lamanya menderita diabetes

    millitus (Brands et al., 2005). Berbeda dengan penelitian Armando (2011) dilaporkan

    bahwa usia berpengaruh pada status kognitif sedangkan status pendidikan dan

    pengendalian gula tidak berpengaruh terhadap penurunan kognitif.

    Sindroma metabolik berkontribusi terhadap respon inflamasi baik dengan

    mekanisme aterosklerosis atau inflamasi atau keduanya yang berkontribusi dalam

    penurunan kognitif (Gundy, 2003). Mikroemboli kolesterol dari plak karotis

    dianggap sebagai satu mekanisme yang menimbulkan infark yang dapat mengganggu

    fungsi kognitif. Aterosklerosis sebagai akibat dari peningkatan efek neuro

    inflamatorik. Peningkatan neuro inflamatorik yang dilepas oleh jaringan adiposa

    menekan integritas otak dan berkontribusi terhadap fungsi kognitif (Fergenbaum et

    al., 2009 dalam Saunderajen, 2010). Studi sebelumnya telah ditemukan bahwa serum

    dan plasma Brain Devitred Neurotrophin Factor (BDNF) yang lebih rendah pada

    individu dengan diabetes millitus tipe 2 dibandingkan dengan individu non diabetes,

    hal tersebut menimbulkan pertanyaan semakin tingginya tingkat gangguan kognitif

    pada diabetes sebagian disebabkan oleh tingkat BDNF yang rendah (Karczewska,

  • 4

    2011). Penelitian yang serupa pada individu non diabetes yang lebih rendah tingkat

    serum BDNF telah dikaitkan dengan resistensi insulin dan tubuh tinggi lemak (Swift,

    2012).

    Melihat dari masalah diatas fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan

    yang bergerak dalam kapasitas fisik dan kemampuan fungsional serta meningkatkan

    derajat kesehatan salah satunya dengan memberikan latihan olahraga. Olahraga

    selain sangat bermanfaat dalam memelihara kesegaran atau kebugaran jasmani, juga

    dapat meningkatkan neuro kognitif oleh kontrol kognitif pada otak manusia

    (Kurniawati, 2010). Olahraga dapat meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya

    tergantung pada jenis dan intensitas olahraganya. Olahraga dalam jangka panjang

    dapat mempengaruhi kognisi, melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan

    pelepasan nerve growth factors. Salah satu bentuk latihan yang dapat diberikan

    fisioterapi adalah pelatihan aerobik. Pada penelitian latihan aerobik lebih

    berhubungan dengan metabolisme kolesterol dibanding latihan anaerobik (Mitchell

    & Gibbona, 1998). Menurut Giada et al., (1991) hanya latihan aerobik yang

    berpotensi berefek anti aterogenik atau aterosklerotik. Peningkatan aktivitas fisik

    memiliki efek fisiologis yang jelas bermanfaat bagi orang dengan intoleransi glukosa

    (Baker et al., 2010). Aktivitas fisik memiliki efek terapi potensial pada regulasi

    glukosa dan kesehatan kardiovaskular yang keduanya dapat mengancam integritas

    kognitif (Craft, 2007; Helzner et al., 2009). Pada penelitian Baker et al., (2010)

    dilaporkan bahwa latihan aerobik dapat meningkatkan fungsi kognitif, kebugaran

    kardiorespirasi dan sensitivitas insulin. Adapun energi yang dibutuhkan otak dalam

    menjalankan fungsi kognitif didapatkan dari hasil pembakaran glukosa darah, selain

  • 5

    itu juga substrat lain berupa keton dan asam laktat yang bisa digunakan sebagai

    sumber energi (Shah, 2012). Latihan aerobik selain berefek aterogenik,

    meningkatkan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors juga dapat

    meningkatkan ukuran hipocampus anterior yang dikaitkan dengan peningkatan

    serum BDNF yang mengarah pada perbaikan memori (Erickson, 2010).

    Dewasa ini latihan arobik yang banyak dipilih oleh masyarakat untuk

    meningkatkan kebugarannya adalah senam aerobik. Senam aerobik adalah

    merupakan latihan fisik di mana di dalam latihan tersebut menggerakkan seluruh otot

    terutama otot besar dengan gerakan yang terus menerus, berirama maju dan

    berkelanjutan. Senam aerobik dipilih karena mudah, menyenangkan dan bervariasi

    yang memungkinkan seseorang untuk melakukannya secara teratur dalam kurun

    waktu yang lama. Intensitas latihan aerobik harus mencapai target zone sebesar 60-

    90% dari frekuensi denyut jantung maksimal atau Maximal Heart Rate (MHR).

    Intensitas latihan ringan apabila mencapai 60-69% dari MHR, intensitas sedang

    mencapai 70-79% MHR. Dalam hal ini intensitas latihan dapat ditingkatkan dengan

    menambah beban latihan seperti meloncat-loncat atau dengan mempercepat gerakan

    senam (Pollock dan Wilmore, 1990). Latihan aerobik baik intensitas ringan maupun

    intensitas sedang memberikan efek terhadap perubahan jenis serabut otot, suplai

    kapiler, kadar myoglobin, fungsi mitokondria dan enzim oksidatif. Adapun yang

    membedakan antara intensitas ringan dan sedang adalah kecukupan oksigen pada

    saat latihan. Kecukupan oksigen dibatasi oleh transport oksigen ke otot rangka oleh

    sistem kardiovaskular dan respirasi. Pada intensitas ringan karena sistem

    kardiovaskular masih mampu memenuhi kebutuhan oksigen untuk kontraksi otot

  • 6

    sehingga sumber energi utama untuk kontraksi adalah lemak. Sedangkan pada

    intensitas sedang sumber energi utama untuk kontraksi otot adalah karbohidrat dan

    lemak secara seimbang (McArdlle et al., 1986;Wilmore & Costill, 1994). Latihan

    aerobik intensitas tinggi tidak dilakukan karena dapat mengaktivasi fibrinolisis darah

    dan koagulasi secara simultan sebagai akibat pemendekan terjadinya APTT

    (Activated Partial Tromboplastin Time) (Wang, 2005).

    Latihan aerobik tidak akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang

    diharapkan tanpa menerapkan diet. Berbagai macam prinsip diet yang dapat

    diterapkan antara lain diet yang seimbang artinya dalam jumlah yang cukup tidak

    kurang dan tidak berlebihan. Dalam hal ini bisa dilakukan salah satunya diet rendah

    kolesterol. Latihan aerobik disertai diet makanan memperbaiki profil lipid salah

    satunya kolesterol (Guo et al., 2011).

    Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin meneliti dan mengetahui lebih dalam

    lagi tentang latihan aerobik intensitas ringan dan sedang dengan diet rendah

    kolesterol lebih dapat dalam memperbaiki kognitif pada penderita sindroma

    metabolik dan memaparkannya dalam bentuk tesis dengan judul latihan aerobik

    intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih baik dalam memperbaiki

    kognitif daripada intensitas ringan pada penderita sindroma metabolik.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah penelitian

    adalah sebagai berikut :

    1. Apakah latihan aerobik intensitas ringan dengan diet rendah kolesterol dapat

    memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik?

  • 7

    2. Apakah latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol dapat

    memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik?

    3. Apakah latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih

    baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita

    sindroma metabolik?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini :

    1.3.1 Tujuan umum :

    Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dan intensitas ringan

    dengan diet rendah kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita

    sindroma metabolik

    1.3.2 Tujuan khusus :

    1. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas ringan dengan diet rendah

    kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik

    2. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah

    kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik

    3. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah

    kolesterol lebih baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan

    pada penderita sindroma metabolik.

  • 8

    1.4 Manfaat Penelitian

    Dengan penelitian ini maka akan didapatkan berbagai macam manfaat, antara

    lain :

    1. Bagi Akademisi

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta

    digunakan sebagai referensi dalam penelitian berikutnya yang lebih

    mendalam.

    2. Bagi Praktisi

    Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya

    kedokteran dan fisioterapi, dengan adanya data-data yang menunjukkan

    program latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih

    baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita

    sindroma metabolik

  • 9

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Gangguan Kognitif pada Sindroma Metabolik

    2.1.1 Definisi sindroma metabolik

    Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko, antara lain :

    obesitas sentral, hipertrigliseridemia, rendahnya High density lipoprotein cholesterol

    (HDL-C), hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia yang mengacu pada timbulnya

    risiko penyakit kardiovaskular (Gatto et al., 2008).

    Berbagai organisasi memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh

    kelompok setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi

    merupakan komponen utama sindroma metabolik. Meskipun, sindroma metabolik

    mempunyai definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama dengan

    mengenali secara dini gejala gangguan metabolik sebelum terkena komplikasi

    (Grundy, 2004).

    Definisi yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) dan the

    National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III)

    mengidentifikasi komponen sindroma metabolik sebagai berikut :

    1) Obesitas abdominal, salah satu bentuk obesitas yang memiliki hubungan

    paling kuat dengan sindroma metabolik

    2) Dislipidemia aterogenik diidentifikasi melalui peningkatan trigliserid dan

    penurunan HDL

  • 10

    3) Peningkatan tekanan darah sangat berkaitan dengan obesitas dan biasanya

    timbul pada orang yang mengalami retensi insulin

    4) Retensi insulin; status proinflamatori ditandai dengan peningkatan C-

    Reactive Protein (CRP) akibat kelebihan jaringan adipose akan

    menghasilkan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi; status

    protrombotik ditandai dengan peningkatan plasminogen activator inhibitor

    (PAI)-I plasma dan fibrinogen (Soegih R dan Kunkun, 2009).

    2.1.2 Klasifikasi sindroma metabolik

    Kelompok pakar telah mengembangkan definisi dan kriteria sindroma

    metabolik. Definisi dan kriteria yang paling banyak digunakan adalah yang dibuat

    oleh WHO, the European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR), NCEP

    ATP III dan International Diabetes Federation (IDF). Keempat definisi tersebut

    memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan kriteria yang berbeda

    (Soegih R dan Kunkun, 2009).

    Adapun kriteria dikatakan menderita sindroma metabolik adalah menurut

    NCEP-ATP III yaitu apabila memenuhi 3 dari 5 kriteria, antara lain: lingkar perut

    pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >

    150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita;

    tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.

    Berdasarkan kriteria IDF seseorang dikatakan mengalami sindroma metabolik bila

    mengalami; obesitas sentral (lingkar pinggang 94 cm untuk pria dan 80 cm

    untuk wanita), ditambah dua faktor-faktor berikut : peningkatan trigliserid> 150

    mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang memperoleh pengobatan kadar lipid yang

    9

  • 11

    abnormal, penurunan kadar HDL kolesterol < 40 mg/dL (0,9 mmol/L) pada pria dan

    < 50 mg/dL (1,1 mmol/L pada wanita) atau sedang memperoleh pengobatan kadar

    lipid yang abnormal, peningkatan tekanan darah sistolik 130 atau diastolik 85

    mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi, peningkatan kadar glukosa puasa

    plasma 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau telah didiagnosa menderita diabetes tipe 2.

    Jika > 100 mg/dL atau 5,6 mmol/L, sangat dianjurkan untuk dilakukan oral glucose

    tolerance test (OGTT) (Soegih R dan Kunkun, 2009). Berdasarkan kriteria EGIR

    sindroma metabolik jika 2 dari 4 kriteria terpenuhi, antara lain: rasio lingkar

    pinggang-panggul > 94 cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita, trigliserida > 2,0

    mmol/L, kolesterol HDL baik pria maupun wanita < 1,0 mol/L, tekanan darah

    140/90 mmHg, Glukosa darah puasa 6,1 mmol/L (Soegih R dan Kunkun, 2009).

    Tabel 2.1

    Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik Menurut WHO, NCEP-ATP III, IDF

    dan EGIR

    WHO ATP III IDF EGIR

    Minimal 2 dari 4 3 dari 5 2 dari 4 2 dari 4

    Rasio

    lingkar pinggang

    Pria

    Wanita

    > 90 cm

    > 85 cm

    > 94 cm 80 cm

    Lingkar

    pinggang

    Pria Wanita

    >102 cm

    >88 cm

    94 cm 80 cm

    Trigliserida

    150 mg/dL >150mg/Dl >150mg/dL >2,0mmol/L

    Kolesterol HDL

    Pria

    Wanita

    < 35 mg/dl

    < 39 mg/dl

    < 40 mg/dl

    < 50 mg/dl

    < 40 mg/dl

    < 50 mg/dl < 1,0 mol/l

    Tekanan

    darah >140/90mmHg >130/85mmHg 130/85mmHg 140/90mmHg

    Glukosa >110mg/dl >100mg/dl 6,1 mmol

    (sumber : Soegih R dan Kunkun, 2009)

  • 12

    2.1.3 Etiologi dan patofisiologi sindroma metabolik

    Etiologi sindroma metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Mekanisme

    yang dipercaya sebagai penyebab terjadinya sindroma metabolik saat ini bersumber

    pada resistensi insulin dan obesitas sentral atau viseral. Lemak viseral lebih aktif dari

    lemak perifer. Penumpukan sel lemak akan meningkatkan asam lemak bebas dari

    hasil lipolisis, yang akan menurunkan sensitifitas terhadap insulin. Peningkatan asam

    lemak bebas di hati akan meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan produksi

    glukosa dan menurunkan ekstraksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia (Jafar N,

    2011).

    Retensi insulin merupakan gambaran klinik sindroma metabolik. Retensi

    insulin berkorelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan

    mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hati, otot, skeletal dan jaringan

    adiposa digunakan sebagai jaringan responsif utama, namun vaskular juga

    dipertimbangkan sebagai organ responsif insulin. Pada keadaan sindroma metabolik,

    resistensi insulin terkait dengan berbagai macam gangguan yang melibatkan

    trigliserida dan metabolisme glukosa, kenaikan tekanan darah dan inflamasi vaskular

    (Suastika et al., 2003). Sindroma metabolik adalah gangguan fungsi sel dan

    hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu

    terjadinya komplikasi makrovaskular, selain itu kerusakan berat pada sel

    menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan

    hiperglikemia. Hal ini lebih menyebabkan komplikasi mikrovaskular (Anggraeni,

    2007).

  • 13

    Sindroma metabolik diduga disebabkan salah satunya hipertensi akibat

    peningkatan reabsorbsi sodium dan air, sehingga terjadi ekspansi volume intra

    vaskular yang berhubungan dengan hiperinsulin (Defronzo et al., 1976).

    Hiperinsulinemia juga meningkatkan aktifitas chanel Na-K, ATP-ase, sehingga

    terjadi peningkatan Na dan calsium intrasel yang menyebabkan peningkatan

    kontraksi otot polos pembuluh darah (Williams & Pickup, 2004). Disfungsi endotel

    dan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron juga sangat berperan pada

    terjadinya hipertensi pada sindroma metabolik (Jafar N, 2011).

    Dislipidemia pada sindroma metabolik sering ditemui pada resistensi insulin,

    meskipun kadar gula terkontrol. Ciri spesifik dislipidemia pada resistensi insulin

    adalah peningkatan trigliserida (TG), penurunan High Density Lipoprotein (HDL),

    peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL) meskipun kadang normal. Dislipidemia

    berhubungan dengan hiperinsulinemia. Pada resistensi insulin terjadi lipolisis,

    sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam plasma yang selanjutnya akan

    meningkatkan uptake asam lemak bebas kedalam hati. Disamping itu terjadi

    peningkatan sintesis trigliserid karena hiperinsulinemia merangsang ekspresi Sterol

    Regulation Element Binding Protein (SREBP1c), protein ini berfungsi sebagai

    transkripsi yang mengaktifasi gen yang terlibat lipogenesis di hati. Protein kolesterol

    ester transferase dan hepatic lipase juga meningkat yang mengakibatkan

    peningkatan Very Low Density Lippoprotein 1 (VLDL1) yang kemudian menjadi

    small dense LDL. Peningkatan kadar VLDL ini menyebabkan peningkatan

    katabolisme HDL menjadi rendah. Beberapa mekanisme diatas menerangkan

    rendahnya HDL, tingginya trigliserid dan small dense LDL pada diabetes millitus

  • 14

    tipe II. Pola dislipidemia ini sering disebut diabetic dyslipidemia atau tipe B yang

    berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskular pada populasi umum. Berdasarkan

    epidemiologi, rendahnya HDL dan tingginya trigliserid berhubungan erat dengan

    kejadian penyakit jantung koroner dibanding dengan total kolesterol dan LDL pada

    sindroma metabolik (Adiels et al., 2006). Sebagai lipoprotein yang bersifat protektif,

    disamping berfungsi untuk membawa lemak ke hepar, HDL terbukti dapat

    menghambat sel busa dan pada saatnya akan menghambat progresifitas

    aterosklerosis. Dengan rendahnya HDL efek protektif tersebut menjadi jauh

    berkurang (Olsson et al., 2005).

    2.1.4 Komplikasi sindroma metabolik

    Komplikasi sindroma metabolik meliputi penyakit jantung koroner, gagal

    jantung, gagal ginjal, stroke dan komplikasi lain meliputi peningkatan terjadinya

    risiko tromboembolisme vena dan penurunan kognitif (Jafar N, 2011).

    Komponen utama terjadinya sindroma metabolik adalah obesitas. Obesitas

    akan menyebabkan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) baik

    disirkulasi maupun di sel adiposa apabila diikuti dengan meningkatnya metabolisme

    lemak. Akibat peningkatan ROS didalam sel adiposa dapat menimbulkan

    ketidakseimbangan reaksi reduksi oksidasi, sehingga terjadi penurunan enzim

    antioksidan didalam sirkulasi. Keadaan tersebut yang disebut dengan stres oksidatif.

    Meningkatnya stress oksidatif dapat menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan

    merupakan timbulnya patofisiologi sindroma metabolik, hipertensi dan aterosklerosis

    (Fukurawa et al., 2004 dalam Jafar 2011).

  • 15

    Pada penderita sindroma metabolik akan terjadi peningkatan stres oksidatif

    akibat adanya hiperglikemia. Peningkatan stres oksidatif dianggap sebagai salah satu

    penyebab terjadinya disfungsi endotel angiopati diabetik. Selain itu, peningkatan

    stres oksidatif dapat menghambat pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak

    serta dapat menurunkan sekresi insulin. Aterosklerosis pada penderita sindroma

    metabolik terjadi akibat adanya pengaruh secara langsung dari peningkatan stres

    oksidatif terhadap dinding pembuluh yang berperan penting pada patofisiologi

    diabetes millitus tipe II (Ceriello, 2004).

    Aterosklerosis pada sindroma metabolik terjadi akibat adanya proses

    inflamasi kronis pada lapisan sel endotel pembuluh darah yang didahului oleh

    disfungsi endotel. Pada penderita sindroma metabolik penumpukan monosit dan

    platelet lebih mudah terjadi, sehingga sindroma metabolik juga dikenal dengan ciri-

    ciri peningkatan proses inflamasi (Gundy, 2003). Proses inflamasi aterosklerosis ini

    bertambah cepat dan luas, sehingga plak aterosklerosis lebih mudah ruptur dan plak

    aterosklerosis sangat tergantung pada tingginya proses inflamasi yang terjadi.

    Semakin tinggi proses inflamasi maka semakin besar kemungkinan pecahnya plak

    aterosklerosis (Nakamura et al., 2004). Penemuan terkini juga menunjukkan bahwa

    sindroma metabolik ditandai pula dengan berkurangnya fungsi trombolisis dan

    peningkatan koagulasi, akibat peningkatan PAI-1 dan fibrinogen (Standl, 2005).

    Apabila plak aterosklerosis pecah dan kemudian merangsang pembentukan trombus,

    tidak mudah mengalami lisis. Peningkatan inflamasi dan trombogenik ini dapat

    menerangkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit

    kardiovaskular pada penderita sindroma metabolik.

  • 16

    Gagal jantung pada penderita sindroma metabolik terjadi akibat adanya

    hipertropi pada jantung. Pada pembuluh darah terjadi kelainan aterosklerosis arteri

    karotis, carotid stiffness dan aortic stiffness (Mule et al., 2006). Penyakit jantung

    koroner yang menyebabkan disfungsi miokard juga memperbanyak prevalensi gagal

    jantung pada penderita sindroma metabolik. Proses inflamasi dan HDL yang rendah

    pada penderita sindroma metabolik, proses remodeling jaringan jantung sangat

    mudah terjadi, terutama setelah oklusi arteri koroner. Keberadaan tersebut bersama-

    sama memperberat dan mempercepat timbulnya gagal jantung pada sindroma

    metabolik. Gagal jantung pada sindroma metabolik diperberat oleh adanya gangguan

    ginjal karena nefropati DM maupun hipertensi.

    2.2 Kognitif

    Kognitif adalah suatu proses berpikir yaitu kemampuan individu untuk

    menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.

    Proses kognitif sehubungan dengan tingkat intelegensi yang mencirikan seseorang

    dengan berbagai minat terutama ditujukan kepada ide-ide dan belajar. Kognitif

    merupakan proses berpikir yang terjadi pada susunan saraf pada waktu manusia

    berpikir. Intelegensif merupakan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah,

    kognitif lebih berhubungan dengan aktivitas berpikirnya intelegensi dan kecerdasan

    berhubungan dengan kualitas berpikirnya. Kognitif sebagai suatu proses manipulasi

    informasi (internal dan eksternal) di dalam otak. Menurut Stedman (2002) kognitif

    adalah mental yang berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar,

    mengenali, memahami, menilai dan membayangkan. Pengertian yang lebih sesuai

    dengan behaviour, neurology dan neuropsikologi, kognitif adalah suatu proses

  • 17

    dimana semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah,

    disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan antarneuron yang sempurna

    sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut

    (Saunderajen, 2010).

    Kognisi adalah konsep yang komplek yang melibatkan sekurang-kurangnya

    aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor.

    Didalam aspek tersebut jauh lebih komplek, antara lain; memori meliputi proses

    encoding, penyimpanan, pengambilan informasi serta dapat diinformasikan kembali

    menjadi memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Perhatian atau attention

    secara selektif, terfokus, terbagi atau terus menerus dan persepsi meliputi beberapa

    tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang

    berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan

    penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir dan lain-lain. Aspek bahasa adalah

    mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan pemahaman bahasa.

    Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemprograman dan eksekusi motorik

    (Wiyoto, 2002).

    2.2.1 Struktur otak

    Salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah dalam

    fungsi luhur. Otak manusia jauh berbeda dengan otak binatang, karena adanya

    korteks asosiasi yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.

    Otak manusia bukan terdiri dari gumpalan protein yang utuh, tetapi terdiri dari

    berbagai bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Otak manusia

    terdiri dari batang otak, dua belahan otak besar (hemisfer kanan dan kiri) dan otak

  • 18

    kecil (cerebellum). Masing-masing bagian atau struktur terbagi dalam bagian- bagian

    yang lebih rinci dan mempunyai fungsi yang khusus. Proses mental manusia

    merupakan sistem fungsional yang kompleks dan tidak dapat dilokalisasi secara

    sempit menurut bagian otak terbatas, tetapi berlangsung melalui partisipasi semua

    struktur otak dan setiap strukturnya mempunyai peranan tertentu sendiri untuk

    organisasi sistem fungsional tersebut. Didalam fungsi luhur yang termasuk

    didalamnya fungsi kognitif diatur oleh bagian-bagian otak yang menghasilkan dan

    memelihara perilaku yang normal (Chusid, 1983).

    Gambar 2.1 Anatomi Otak

    (Sumber : anonim, 2010)

  • 19

    Otak terbagi dalam bagian-bagian yang disebut lobus dan mempunyai fungsi

    fungsi tertentu. Fungsi panca indera seperti pusat penglihatan terletak di 31 lobus

    oksipitalis (dibelakang otak), pusat pendengaran di lobus temporalis (pelipis otak),

    pusat perabaan di lobus post sentral (atas otak), pusat penghidu di bagian lobus

    temporalis, pusat pergerakan berada di lobus presentral (atas otak) (Chusid, 1983).

    Pusat-pusat panca indera tersebut dinamakan pusat sensoris dan masing-masing pusat

    sensoris mempunyai asosiasi untuk memahami rangsangan sensoris yang masuk.

    Kemampuan kognitif juga berada di berbagai lobus secara khusus seperti

    perhatian atau konsentrasi berada di lobus frontalis (di bagian dahi) terutama bagian

    otak sisi kanan, pusat berbahasa di lobus frontalis dan temporalis terutama di bagian

    otak sisi kiri, pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus parietal (di bagian

    atas otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di lobus temporalis (di

    bagian pelipis otak), untuk daya ingat visual atau apa yang dilihat di belahan otak sisi

    kanan. Lobus yang paling besar dan paling akhir berkembang adalah lobus frontalis

    yang berada di daerah dahi, lobus ini merupakan pusat integrasi dari semua fungsi

    lobus yang ada. Bersama dengan lobus yang ada di depannya, lobus pre frontal dan

    struktur lain dalam kemampuan memori kerja (working memory) dan kemampuan

    seseorang dalam pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan (executive

    function) (Chusid, 1983).

    2.2.2 Hubungan struktur otak dengan fungsi kognitif

    Bagian - bagian otak tersebut berhubungan dengan struktur yang berada

    didalam otak yang disebut limbic system dan berpengaruh terhadap kemampuan

    emosional. Kedua belahan hemisfer kanan dan kiri disekat oleh korpus kalosum dan

  • 20

    komisura hippocampus yang merupakan jembatan yang menghubungkan kedua

    belahan otak tersebut. Struktur ini merupakan sarana kerjasama antar kedua hemisfer

    dengan cara peralihan, pergeseran dan integrasi antara kedua belahan otak tersebut.

    Struktur ini mempunyai peranan penting bagi keberhasilan peningkatan sumber daya

    otak, dengan fungsinya menyalurkan stimulus dari belahan otak kanan ke kiri

    maupun sebaliknya (Chusid, 1983).

    Otak bekerja untuk bereaksi terhadap stimulus yang datang dari bagian luar

    dan lain dari otak bekerja untuk membantu fungsinya. Lobus frontal adalah daerah

    pusat utama untuk bertindak berpikir dan mengingat fungsi sebagai pikiran. Area

    motor adalah pusat untuk memesan setiap otot rangka untuk bergerak, adapun setiap

    sensasi memiliki area khusus seperti area sensori, optik dan pendengaran. Daerah

    lain dari korteks otak baru memiliki peran yang menghubungkan dengan informasi

    dan penyimpanan informasi yang disebut dengan memori.

    Di dalam menjalankan fungsi kognitif, otak bekerjasama dengan sistem

    limbik. Antara lain mengacu pada hypocampus, circulum dan amigdala yang

    merupakan pusat emosi. Semua informasi sensorik dari organ-organ sensori

    dikumpulkan di thalamus dan informasi tersebut dikirim ke daerah sensorik korteks.

    Informasi ini dimodifikasi dan ditransfer ke lobus frontal dan amigdala. Di lobus

    frontal terjadi pengenalan informasi dan di amigdala informasi dianalisis sebagai

    emosi dan hasilnya dikirim di hipotalamus (Chusid, 1983).

    Di dalam otak semakin rimbunnya hubungan antar sel saraf di otak akan

    terjadi peningkatan kecerdasan dan intelektual atau kognitif. Makin banyaknya

    asupan program yang terjadi dalam pembelajaran makin banyak percabangan julur-

  • 21

    julur yang terjadi dan dapat membuat daya ingat menjadi meningkat. Ingatan terjadi

    akibat julur-julur sel dan sinapsis-sinapsisnya. Secara anatomis gangguan proses

    pembelajaran akibat adanya gangguan kerjasama antar sel dan banyaknya julur-julur

    saraf yang rusak (Setiawan, 2010).

    2.3 Penurunan Kognitif Pada Sindroma Metabolik

    Peningkatan dan penurunan konsentrasi glukosa pada penderita sindroma

    metabolik dapat berpotensi menurunkan fungsi kognitif. Akan tetapi, pada saat

    terjadi hiperglikemi akut dapat terkait dengan perbaikan memori, oleh karena

    keadaan hiperglikemia mampu memperbaiki memori dimana glukosa bertindak

    sebagai substrat yang diperlukan dalam fungsi metabolik untuk asetilkolin dan

    neurotransmitter lain yang terlibat dalam fungsi memori dan kognitif lain (Lezak,

    1995). Ridker (2003) melaporkan bahwa peningkatan kadar glukosa kronik akan

    meningkatkan potensi penurunan fungsi kognitif, dan kontrol glikemia akan terkait

    dengan rendahnya performa tes memori dan kognitif. Penurunan performa kognitif

    terjadi akibat peningkatan kadar glukosa atau hiperglikemia kronik yang dapat

    memicu strepzotocin menyebabkan penurunan sintesis asetilkolin dan pelepasannya

    dalam otak sehingga menyebabkan hilangnya neuron kortikal secara signifikan,

    neuroglikopenia dipicu oleh transfer glukosa melewati sawar dalam otak. Penurunan

    transmisi kolinergik akan berakibat pada gangguan memori (Ridker, 2003).

    Pada sindroma metabolik otak tidak dapat menjalankan fungsi kognitif

    dengan baik akibat adanya penumpukan kolesterol plak karotis yang dianggap

    sebagai salah satu mekanisme yang menimbulkan infark yang dapat mengganggu

    fungsi kognitif (Fergenbaum et al., 2009 dalam Saunderajen, 2010). Dengan adanya

  • 22

    penumpukan kolesterol tersebut nutrisi ke otak mengalami penurunan. Sindroma

    metabolik berkontribusi terhadap respon inflamasi baik dengan mekanisme

    aterosklerosis atau inflamasi atau keduanya, di mana keduanya berkontribusi dalam

    penurunan kognitif (Gundy, 2003).

    Resistensi insulin pada sindroma metabolik dapat secara langsung

    mengganggu fungsi endotel. Sel endotel tersebut berespon terhadap insulin dan

    resistensi insulin dengan vasodilatasi endotel mengganggu respon terhadap

    asetilkolin. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hiperinsulinemia dapat

    meningkatkan perlekatan makropag pada endotelium dan menyebabkan

    aterosklerosis yang berkonstribusi dalam penurunan kognitif (Saunderajen, 2010).

    Penemuan bahwa serum BDNF langsung terkait dengan insulin puasa dan

    homeostatik pemeriksaan insulin, semakin tingginya tingkat gangguan kognitif pada

    diabetes sebagian disebabkan oleh tingkat BDNF yang rendah (Fujinami et al., 2008

    dalam Swift 2012). BDNF adalah protein yang dikodekan oleh gen BDNF. BDNF

    adalah neutrophin yang terlibat di saraf, diferensiasi plastisitas kelangsungan hidup

    dan terdapat di pusat dan sistem saraf perifer. Rendahnya tingkat BDNF memiliki

    keterkaitan dengan pembelajaran atau disfungsi kognitif, depression, kondisi

    degeneratif saraf dan kematian. Studi sebelumnya telah ditemukan bahwa serum dan

    plasma BDNF tingkat yang lebih rendah pada individu dengan diabetes tipe II

    dibandingkan individu dengan non diabetes, menimbulkan pertanyaan semakin

    tingginya tingkat gangguan kognitif pada diabetes disebabkan oleh tingkat BDNF

    yang rendah. Temuan yang serupa telah dilaporkan bahwa individu di non diabetes

  • 23

    yang lebih rendah tingkat serum BDNF telah dikaitkan dengan resistensi insulin dan

    tubuh tinggi lemak (Swift, 2012).

    2.4 Latihan Aerobik

    Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari

    pembakaran dengan oksigen. Contoh latihan aerobik adalah lari-lari, jalan, treadmill,

    bersepeda, renang dan senam. Efek latihan aerobik adalah kebugaran kardiorespirasi,

    karena latihan tersebut mampu meningkatkan pengambilan oksigen, meningkatkan

    kapasitas darah untuk mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi lebih rendah

    saat istirahat maupun beraktifitas. Manfaat lainnya, aerobik bisa meningkatkan

    jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim

    pembakar lemak (Kurniawati, 2010).

    Menurut American College of Sport Medicine (ACSM) intensitas latihan

    aerobik harus mencapai 60-90% dari MHR. Berdasarkan MHR yang dicapai untuk

    latihan aerobik intensitas ringan 60-69% MHR, Intensitas sedang 60-79% MHR, dan

    intensitas tinggi 80-89% MHR. Latihan aerobik dengan intensitas yang berbeda,

    energi utama yang digunakan juga berbeda pula.

    Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam latihan aerobik yaitu :

    a. Tidak berhenti di tengah tengah latihan sedang berlangsung

    b. Menggunakan alas kaki yang khusus untuk senam aerobik, yaitu dengan

    bantalan lunak di bagian bola kaki dengan penguat di bagian samping tumit

    Hal hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan latihan aerobik yaitu :

    a. Prinsip-prinsip latihan yang harus diperhatikan, antara lain:

    1) Jenis, macam latihan harus diseleksi dan diteliti

  • 24

    2) Pelaksanaan gerak harus tepat (harus selalu dikoreksi)

    3) Dilakukan dengan sikap permulaan dan sikap akhir yang benar

    4) Semua latihan mempunyai disis yang sesuaikan dengan tujuannya

    b. Tahap pelaksanaan latihan dengan tingkat kesukaran yang berurutan sebagai

    berikut:

    1) Setelah menguasai latihan yang lama, kemudian meningkat ke latihan

    yang baru

    2) Latihan dimulai dari tingkatan yang mudah ke yang sulit

    3) Latihan dimulai dari tingkatan yang sederhana ke yang kompleks

    4) Latihan dimulai dari tingkatan yang ringan ke yang berat

    c. Tahapan senam aerobik

    Dalam senam aerobik dibagi dalam fase-fase sebagai berikut :

    1. Fase I Latihan Pemanasan (Warming up)

    Pada fase latihan pemanasan bertujuan untuk mempersiapkan tubuh

    menghadapi latihan yang lebih intensif sehingga terhindar dari cidera saat melakukan

    latihan.

    a). Adapun gerakan gerakannya meliputi :

    1) Gerakan di mulai dari yang mudah

    2) Gerakan ringan

    3) Gerakan perlahan-lahan

    4) Menyeluruh

    5) Dengan iringan musik ringan ritme 2/4-4/4 irama tetap

    6) Dalam waktu antara 5-10 menit.

  • 25

    b). Gerakan pada fase ini meliputi:

    1) Pelemasan

    2) Pemanasan pada sendi,

    3) Peregangan pendek,

    4) Stimulan kardiorespirasi.

    2. Fase II latihan inti

    Fase ini merupakan puncak latihan dimana seluruh organ tubuh bekerja

    secara optimal sesuai dengan kemampuan atau mencapai target heart rate. Latihan

    ini merupakan latihan lanjutan dari fase I. Latihannya berupa pola gerak dan

    langkah-langkah kombinasi dengan gerakan yang terus-menerus. Durasi pada latihan

    ini berkisar 15-30 menit, bila berlebihan berisiko menimbulkan cedera (Nala, 2002).

    3. Fase III pendinginan (Cooling down)

    Pada fase ini bertujuan untuk mencegah penimbunan asam laktat pada otot,

    menurunkan kerja jantung dan nadi. Mengusahakan kondisi tubuh kembali ke

    keadaan seperti semula. Adapun waktu yang dibutuhkan 5-10 menit. Gerakan-

    gerakannya diperlambat dengan intensitas yang paling rendah dan diiringi musik

    dengan beat atau 4/4 lambat (Wikipedia, 2008).

    Latihan aerobik dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan

    apabila frekuensi, intensitas serta durasi yang cukup. Frekuensi adalah latihan per

    minggu, intensitas adalah seberapa berat latihan tesebut dilakukan dan durasi adalah

    lama latihan dalam setiap latihan (Giam & Teh, 1993).

    Dari beberapa penelitian latihan aerobik sebaiknya dilakukan dengan

    frekuensi 3-5 perminggu dengan durasi latihan 20-50 menit (Wilmore & Costill,

  • 26

    1994). Durasi latihan 15-30 menit sudah dinilai cukup apabila latihan dilakukan terus

    menerus, didahului 5 10 menit pemanasan dan diakhiri 5 10 menit pendinginan.

    Latihan fisik dilaporkan baru akan memberikan hasil apabila latihan tersebut

    dilakukan 4-6 minggu, dan akan hilang pengaruhnya setelah 6 minggu jika

    dihentikan (Anonim, 2008).

    2.4.1 Latihan aerobik intensitas ringan

    Latihan aerobik intensitas ringan mencapai 60-69% dari MHR. Pada senam

    aerobik intensitas ringan karena waktu sudah mencukupi sistem kardiovaskular

    masih mampu memenuhi kebutuhan otot sehingga sumber energi utama berasal dari

    kolesterol. Sedangkan pada senam aerobik intensitas sedang sumber energi yang

    dibutuhkan dari karbohidrat dan kolesterol secara seimbang (Mc. Ardle et al., 1986;

    Wilmore & Costill, 1994). Latihan aerobik intensitas rendah sampai sedang selama

    30 menit akan membakar 250 kalori dan jika dilakukan selama 20 menit atau lebih

    maka akan membakar lemak didalam tubuh (Anonim, 2008).

    2.4.2 Latihan aerobik intensitas sedang

    Latihan aerobik intensitas sedang mencapai 70-79% MHR. Latihan aerobik

    pada intensitas sedang akan menurunkan lemak lebih optimal jika dibandingkan

    dengan latihan aerobik pada intensitas tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa

    sumber energi yang digunakan pada kedua intensitas berbeda. Pada senam aerobik

    intensitas sedang sumber energi yang dibutuhkan berasal dari karbohidrat dan

    kolesterol secara seimbang, sedangkan pada intensitas tinggi menggunakan

    karbohidrat secara lebih dominan, sehingga enzim-enzim untuk okdidasi lipid kurang

    terangsang dan pembakaran lemak tubuh tidak optimal (Anonim, 2008).

  • 27

    Karbohidrat, lemak dan protein juga merupakan sumber energi yang

    dibutuhkan untuk aktivitas. Tetapi jika energi tersebut tidak digunakan maka akan

    disimpan sebagai energi cadangan. Karbohidrat merupakan sumber energi utama

    yang akan disimpan dalam bentuk glikogen di hati dan otot. Lemak terdiri dari asam

    lemak dan gliserol. Jika lemak tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk

    trigliserid. Protein terdiri dari unsur-unsur pembentuk protein yang disebut asam

    amino. Dalam aktifitas fisik terutama saat melakukan latihan aerobik intensitas

    sedang energi yang dibutuhkan berasal dari glikogen. Akan tetapi jika energi tersebut

    tidak mencukupi maka akan mengambil dari energi cadangan yang berasal dari

    lemak dan protein dengan cara glukoneogenesis atau glikogenesis yaitu mengubah

    kembali cadangan glikogen menjadi glukosa. Oksidasi karbohidrat sebagai sumber

    energi utama menghasilkan 39 molekul ATP dari satu molekul glikogen. Satu

    molekul ATP digunakan untuk mengkonversi glukosa 6-phospate sebelum glikolisis

    dimulai. Jika energi tersebut tidak mencukupi selama latihan maka energi dari lemak

    akan diproses. Walaupun masih dalam beberapa bentuk kimia dari lemak (trigliserid,

    phospholipide dan kolesterol) hanya trigliserid yang dominan digunakan sebagai

    sumber energi. Sumber energi trigliserid dipecah menjadi unit-unit terkecil yaitu satu

    molekul gliserol dan tiga molekul Free Fatty Acids (FFA) yang disebut dengan

    lipolisis dan menggunakan enzim lipase. Melalui peristiwa difusi FFA dan gliserol

    akan masuk ke darah dan ditransfer oleh serabut otot. Metabolisme yang terjadi

    hampir sama meskipun berbagai macam bentuk FFA. FFA yang masuk ke serabut

    otot adalah FFA yang sudah teraktifkan dan sebagai sumber energi karena

    mengandung ATP melalui proses katabolisme, dengan menggunakan enzim beta

  • 28

    oksidasi. Dalam oksidasi ini karbon pada FFA bergabung menjadi dua unit

    carbonacetic. Adanya beta oksidasi akan menjadi delapan molekul acetic acid

    masing-masing berkonversi atau bergabung dengan acetyl COA (Willmore & Costill,

    1994).

    2.4.3 Sumber energi dan pelatihan fisik

    Energi sangat penting untuk aktifitas fisik selama melakukan latihan. Sumber

    energi berasal dari makanan yang kita makan sehari-hari, adapun tujuan makan

    selain untuk menghilangkan rasa lapar adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-

    sel yang rusak. Menurut Pate (1984) energi adalah daya untuk melakukan kerja yang

    umumnya diukur dengan satuan panas yaitu kilokalori (kkal).

    Dalam latihan fisik diperlukan adanya pemakaian sumber energi karbohidrat

    dan lemak. Pada kinerja otot yang ringan dan sedang setelah energi awal didapat dari

    ATP dan Creatine Phospate, selanjutnya energi diperoleh dari lemak dan karbohidrat

    dalam jumlah yang sama besar. Apabila kerja otot lebih lama, lemak menjadi energi

    utama dari pada karbohidrat. Cadangan lemak akan dipecah dengan bantuan

    hormone noreepinephrine untuk memobilisasi asam lemak bebas yang kemudian

    dioksidasi di dalam Siklus Krebs. Akan tetapi pada aktivitas otot yang berat sumber

    energi utama tubuh adalah karbohidrat (glycogen). Oleh karena itu cadangan

    glycogen hati dan otot haruslah cukup besar apabila kita akan melakukan aktivitas

    otot yang berat (Fox, 1993 dalam Sugiharto, 2010).

    Kemampuan untuk menjalankan aktivitas fisik yang berat dan lama

    berhubungan langsung dengan jumlah cadangan glycogen initial di dalam otot. Pada

    diet seimbang, glycogen otot akan mencapai 1,5 gr/100gr otot, yakni akan cukup

  • 29

    untuk kerja berat selama 2 jam atau dengan uptake oxygen maximal 75% dan jika

    melewati jangka waktu tersebut akan kelelahan. Kadar glycogen otot dapat

    diperbesar dengan diet tinggi karbohidrat sehingga mencapai 2,5gr/100gr otot. Hal

    ini akan menghasilkan cadangan tenaga yang cukup untuk dipakai dalam aktivitas

    berat yang lebih lama (Fox, 1993 dalam Sugiharto, 2010).

    Pemberian glukosa atau gula akan sangat berpengaruh hanya pada saat-saat

    cadangan glycogen tubuh sudah hampir habis. Jumlah glycogen di hati kira-kira

    antara 50 100 gram. Cadangan glycogen di hati akan memberikan kadar glucose

    dalam darah yang dapat dipakai sebagai sumber energi bagi otak dan jaringan saraf

    lainnya. Jaringan-jaringan tersebut hanya tergantung pada energi dari karbohidrat,

    sedangkan cadangan karbohidrat tidak dapat dipunyai oleh jaringan ini (Fox, 1993

    dalam Sugiharto, 2010).

    2.4.4 Kolesterol sebagai sumber energi

    Kolesterol merupakan salah satu senyawa lemak, maka kolesterol merupakan

    salah satu sumber energi yang memberikan kalori yang sangat tinggi bagi tubuh.

    kolesterol merupakan steroida penting karena merupakan komponen membran tetapi

    juga karena merupakan pelopor biosintetik umum untuk steroida lain termasuk

    hormon steroida dan garam empedu (Almatseir, 2004) .

    Kolesterol dihubungkan dengan metabolisme lipid, dan merupakan sumber

    sintesa hormon steroid. Kolesterol diekskresi kedalam empedu sebagai kolesterol

    yang tak berubah, kolesterol dipertahankan dalam bentuk larutan didalam empedu

    oleh garam-garam empedu dan fosfolipid. Kolesterol yang dilepaskan dari jaringan

    diesterifikasi di dalam plasma dengan asam lemak yang berasal dari lesitin oleh

  • 30

    lesitin kolesterol asiltransferase dan diangkut sebagai HDL ke hepar. Ester kolesterol

    ini bisa diangkut ke lipoprotein lain oleh penukaran dengan trigliserid (Almatseir,

    2004).

    2.4.5 Diet rendah kolesterol

    Kolesterol merupakan sterol utama dalam tubuh manusia. Kolesterol

    merupakan komponen struktural membran sel dan lipoprotein plasma, dan juga

    merupakan bahan awal pembentukan asam empedu serta hormon steroid. Sterol dan

    derivatnya sukar larut dalam larutan berair tetapi larut dalam pelarut organik,

    terutama alkohol. Sehingga senyawa ini dimasukkan kedalam golongan lipid.

    Ketidaknormalan dalam metabolisme atau pengangkutan kolesterol lewat plasma

    rupa-rupanya ada kaitannya dengan perkembangan aterosklerosis. Selain itu batu

    empedu yang terjadi tersusun terutama dari kolesterol (Almatseir, 2004).

    Kolesterol berasal dari makanan dan sintesis endogen di dalam tubuh. adapun

    sumber makanan seperti kuning telur, susu, daging, lemak atau gajih dan sebagainya

    terutama dalam keadaan ester. Dalam usus, ester tersebut kemudian dihidrolisis oleh

    kolesterol esterase yang berasal dari pankreas dan kolesterol bebas yang terbentuk

    diserap oleh mukosa usus dengan kilomikron sebagai alat transport ke sistem limfatik

    dan akhirnya ke sirkulasi vena. Kira-kira 70% kolesterol yang diesterifikasi atau

    dikombinasikan dengan asam lemak, serta 30% dalam bentuk bebas (Almatseir,

    2004).

    Pengangkutan kolesterol didalam tubuh karena kolesterol merupakan lemak

    maka kolesterol tidak dapat mengapung didalam medium darah. Untuk itu perlu

    adanya pengangkut kolesterol dan lemak-lemak lainnya yang disebut dengan

  • 31

    lipoprotein. Sebagian besar kolesterol yang terkandung dalam makanan yang kita

    makan setelah melalui berbagai proses, masuk ke dalam cairan darah sebagai

    lipoprotein (HDL, LDL dan lain-lain), namun ada pula yang keluar dari tubuh

    bersama dengan faeces. Dalam proses tersebut jika terjadi kelebihan asupan

    kolesterol maka akan terjadi penumpukan kolesterol yang akan menyebabkan

    timbulnya plak didalam pembuluh darah yang disebut aterosklerosis (Almatseir,

    2004).

    Penderita sindroma metabolik yang meliputi obesitas sentral, diabetes

    millitus, hipertensi terjadi disebabkan antara lain oleh adanya penumpukan kolesterol

    didalam tubuh atau hiperkolesterolemia. Pada penderita obesitas mengalami

    penumpukan lemak yang berlebih di dalam tubuh yang disebabkan karena pola

    makan yang abnormal yaitu makan yang dalam jumlah banyak dan makan di malam

    hari (Sukeksi & herlisa, 2010).

    Penyebab utama peningkatan kolesterol dalam darah adalah faktor keturunan

    dan asupan lemak yang tinggi. Asupan lemak total berhubungan dengan obesitas,

    yang merupakan faktor risiko utama untuk terserang aterosklerosis. Pengaruh lemak

    yang paling utama adalah pengaruh komponen asam lemak dan kolesterol terhadap

    kolesterol darah, terutama kolesterol LDL (Almatseir, 2004).

    Dalam aktifitas fisik tanpa disertai dengan adanya diet makanan tidak

    mencapai tujuan yang diharapkan. Pada kondisi sindroma metabolik dengan adanya

    peningkatan kadar kolesterol atau dislipidemia maka perlu adanya diet kolesterol.

    Adapun untuk program diet kolesterol dengan melihat kadar kolesterol awal. Jika

    kolesterol < 300 mg untuk diet dislipidemia tahap I yaitu 10% dari kebutuhan energi

  • 32

    total. Sedang untuk kolesterol < 200 mg untuk diet dislipidemia tahap II yaitu < 7 %

    dari kebutuhan energi total (Almatseir, 2004).

    2.4.6 Adaptasi latihan aerobik

    Latihan aerobik yang dilakukan setiap hari, seperti jogging atau renang,

    senam akan menimbulkan beberapa perubahan karena adanya stimulus pada otot.

    Menurut Sugiharto (2010) beberapa perubahan yang timbul pada otot dan sistem

    energi.

    a. Perubahan pada jenis serat otot

    Latihan aerobik salah satunya seperti senam dan latihan dengan intensitas

    rendah sampai sedang lebih banyak menggunakan jenis otot slow twicth, sehingga

    pada latihan aerobik terjadi perkembangan pada serat slow twitch (otot merah).

    Karena pada latihan dengan intensitas 7%-22% serat otot Slow Twitch menjadi lebih

    besar dari pada serat otot fast twicth.

    b. Perubahan suplai kapiler

    pada latihan aerobik terjadi perubahan supplai kapiler dimana pada setiap

    ototnya menjadi lebih banyak 5-10% dan pada latihan dengan durasi yang lama dapat

    meningkat sampai dengan 15%. Adapun akibat peningkatan jumlah kapiler tersebut

    memungkinkan adanya pertukaran gas, panas, sisa metabolisme dan nutrisi serta otot

    semakin besar. Hal tersebut menjaga produksi energi dan kontraksi otot yang

    berulang-ulang.

    c. Perubahan kadar myoglobin

    Pada latihan aerobik sangat banyak dibutuhkan oksigen. Adapaun yang

    membawa oksigen dari membran sel ke membran sel ke mitokondria adalah

  • 33

    myoglobin, sehingga kadar myoglobin dapat meningkat 75 s/d 85 %, myoglobin ini

    banyak terdapat pada serat otot slow twich.

    d. Perubahan fungsi mitokondria

    Otot untuk melakukan suatu kontraksi ataupun relaksasi memerlukan suatu

    energi. Adapun energi yang didapat untuk kontraksi dan relaksasi adalah dari

    Adenosin Tri Phosphate (ATP). ATP adalah merupakan senyawa fosfat yang

    berenergi tinggi yang menyimpan energi didalam tubuh. Pada latihan aerobik energi

    yang didapat adalah dari proses pembentukan kembali ATP melalui fosfolirasi

    oksidatif di mitokondria. Adapun produksi ATP tergantung pada jumlah, ukuran dan

    efisiensi pada mitokondria. Sehingga pada latihan aerobik jumlah dan ukuran

    mitokondria menjadi lebih besar, hal ini disebabkan oleh mitokondria bekerja keras

    untuk pembentukan ATP kembali.

    e. Perubahan enzim oksidatif

    Pada latihan aerobik akan terjadi peningkatan aktivitas enzim oksidatif. Salah

    satu enzim yang memegang kunci enzim oksidatif adalah succinate dehydroginase

    (SDH). Otot untuk melakukan suatu kontraksi dan relaksasi diperlukan adanya suatu

    energi. Energi tersebut didapatkan dari pemecahan makanan secara oksidatif dan

    produksi ATP yang bergantung pada aksi enzim mitokondria. Karena untuk

    kontraksi dan relaksasi diperlukan banyak energi sehingga untuk memenuhi hal

    tersebut maka enzim oksidatif ikut membantu pembentukan energi membuat

    perubahan pada enzim oksidatif.

    f. Perubahan pada sumber energi

  • 34

    Sumber energi yang digunakan pada latihan aerobik lebih banyak dan efisien

    menggunakan dari lemak. Sehingga memungkinkan penyimpanan glikogen pada hati

    dan otot. Orang yang terlatih lebih tahan beraktifitas dan tidak cepat lelah

    dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih dikarenakan simpanan glikogen

    dalam otot lebih besar dari pada orang yang tidak terlatih. Selain itu pada orang

    yang terlatih juga menyimpan lebih banyak trigliserida didalam otot. Pada saat

    latihan aerobik lemak dipecah menjadi energi oleh enzim yang berperan dalam beta

    oksidasi. Meningkatnya penggunaan lemak sebagai energi dan glikogen otot lebih

    banyak tersimpan disebabkan oleh peningkatan reaksi beta oksidasi tersebut

    (Wilmore dan Costill, 1994).

    g. perubahan pada pembuluh darah

    Latihan aerobik bersifat aterogenik hal ini disebabkan oleh adanya elastisitas

    pembuluh darah yang bertambah akibat berkurangnya timbunan lemak dan

    penambahan kontraksi otot pada dinding pembuluh darah. Elastisitas pembuluh

    darah yang meningkat akan memperlancar jalannya darah dan mencegah timbulnya

    hipertensi. Kelancaran aliran darah juga dapat mempercepat pembuangan zat-zat

    lelah sisa pembakaran sehingga diharapkan pemulihan kelelahan lebih cepat

    (Wilmore dan Costill, 1994).

    2.4.7 Manfaat latihan aerobik terhadap fungsi kognitif pada penderita

    sindroma metabolik

    Pada penderita sindroma metabolik terjadi penurunan fungsi kognitif akibat

    adanya penumpukan plak karotis pada dinding pembuluh darah yang mana

    menyebabkan nutrisi ke otak mengalami penurunan. Dengan adanya latihan fisik

  • 35

    dapat meningkatkan nitric oksid yang membantu menjaga dinding pembuluh darah

    terbuka lebar. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah mensuplai darah

    keseluruh tubuh. Tanpa adanya latihan fisik maka akan terjadi penurunan nitric oksid

    yang akan menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah dan aliran darah

    menjadi terbatas sehingga aliran darah ke otak akan terbatas yang kemudian

    menyebabkan penurunan fungsi otak (Kurniawati, 2012). Latihan aerobik dengan

    intensitas sedang menghasilkan katekolamin dengan jumlah yang sedikit dan Nitrit

    Oxide (NO) yang lebih tinggi dari pembuluh sel endotelial. Nitrit Oxide (NO)

    mencegah formasi thrombus di bawah aliran yang besar dan melemahkan agonist dan

    menyebabkan peningkatan regulasi dari P-selectin dan GPIIb/IIIa komplek dengan

    regulasi negatif cGMP dalam trombosit (Wang, 2005).

    Latihan fisik mempertajam kekuatan mental dan menambah kapasitas dalam

    berpikir, merangsang produksi endorphin dari otak. Endorpin adalah hormon yang

    dihasilkan oleh kelenjar pituatari yang dapat memberikan perasaan tenang dan daya

    tahan kepada perasaan nyeri, bila dikombinasikan dengan makan yang baik, olah

    raga akan mengurangi risiko aterosklerosis, tekanan darah tinggi, diabetes,

    osteoporosis obesitas kanker dan penyakit kronis lainnya. Membantu untuk

    mengurangi kolesterol LDL dan trigliserid dan kenaikan HDL bila terlalu rendah,

    menolong otak untuk berfungsi dengan lebih baik dalam berpikir (Kuntaraf, 1992).

    Latihan aerobik dapat meningkatkan aliran darah otak dan perfusi oksigen, yang

    dapat menyebabkan peningkatan kinerja kognitif (Kluding, 2011). Temuan bahwa

    latihan aerobik saja tidak meningkatkan kinerja memori adalah tidak diprediksi

    adanya temuan. Meskipun tidak jelas mengapa olahraga aerobik meningkatkan

  • 36

    fungsi kognitif lainnya, tetapi tampaknya menguntungkan kerja memori, temuan ini

    agak konsisten dengan studi pencitraan otak latihan aerobik sebelumnya. Penelitian

    sebelumnya telah menunjukkan bahwa perubahan otak yang terkait dengan latihan

    yang istimewa terjadi dalam daerah hippocampal, trek materi anterior putih dan

    cingulate anterior. Meskipun ada tumpang tindih substansial dalam sirkuit otak

    untuk melaksanakan proses kognitif yang kompleks, seperti kerja memori. Ada

    penelitian pencitraan telah menunjukkan perubahan volume di korteks prefrontal

    dorsolateral yang terutama oleh proyeksi materi putih dari corpus callosum dan

    dikaitkan dengan kinerja memori. Perhatian ditingkatkan dan memori bekerja untuk

    tingkat yang lebih besar daripada latihan aerobik saja konsisten dengan tinjauan

    sebelumnya, serta studi mekanistik menunjukkan kekuatan pelatihan yang dapat

    meningkatkan fungsi neuro kognitif oleh faktor insulin meningkatkan pertumbuhan

    yang telah terlibat sebagai mediator dari hubungan olahraga dan neuro kognitif. Hal

    ini juga kemungkinan bahwa gabungan intervensi lebih efektif dalam mengurangi

    faktor risiko tekanan darah tinggi dan meningkatkan kebugaran aerobik daripada

    pelatihan aerobik saja (Smith, 2010).

    Perbaikan dalam fungsi kardiovaskular dapat mengurangi degradasi materi putih

    dan iskemia otak kemungkinan bahwa gabungan intervensi dapat mengakibatkan

    peningkatan yang lebih besar dalam kesehatan pembuluh darah dan tingkat

    peradangan basal meskipun hubungan ini belum bisa diselidiki (Smith, 2010).

    Latihan aerobik meningkatkan ukuran hippocampus anterior, yang mengarah ke

    perbaikan memori spasial. Latihan meningkatkan volume hippocampus dalam 2%,

    yang efektif membalikkan volume terkait berkurangnya usia. Penelitian Erickson

  • 37

    (2011) menunjukkan bahwa peningkatan volume hipocampus dikaitkan dengan

    tingkat serum BDNF lebih besar, mediator dari neurogenesis dalam gyrus. Volume

    hippocampus menurun dikelompok kontrol, tetapi lebih tinggi kebugaran

    preintervention parsial, yang menunjukkan kebugaran melindungi terhadap

    kehilangan volume. Nukleus dan volume thalamus adalah dipengaruhi oleh

    intervensi. Temuan teoritis ini penting menunjukkan bahwa latihan aerobik yang

    efektif mengembalikan volume hippocampal di masa dewasa akhir, yang disertai

    dengan meningkatkan fungsi memori (Erickson, 2011).

    Kegiatan fisik dapat bermanfaat bagi fungsi saraf dengan meningkatkan kadar

    BDNF dan mengurangi oksidatif stres. Lebih khusus lagi, olahraga memainkan peran

    penting dalam pemeliharaan struktur sinaptik, perpanjangan aksonal dan

    neurogenesis di otak orang dewasa (Van Praag et al., 1999 dalam pinilla 2011).

    Olahraga sebagai terapi untuk menyeimbangkan efek dari pada pilihan diet dan

    untuk meningkatkan BDNF. Secara khusus, telah ditemukan pada tikus yang

    diberikan latihan untuk melawan penurunan BDNF hippocampal, plastisitas sinaptik,

    dan kognitif karena konsumsi diet tinggi lemak jenuh dan sukrosa (Molteni et

    al.,2004 dalam Pinilla 2011). Efek dari penerapan gabungan dari diet sehat dan

    olahraga dapat memberikan efek menguntungkan dalam meningkatkan penyembuhan

    otak dan plastisitas daripada latihan dan diet yang terpisah. Misalnya, olahraga dan

    omega-3 asam lemak mampu meningkatkan efek sehat pada plastisitas sinaptik dan

    kognisi (Wu et al., 2008, Pinilla, 2011). Kombinasi pengalaman dan berbagai jenis

    nutrisi merupakan atribut umum kita hidup sehari-hari. Sungguh luar biasa bahwa

    kemajuan baru dalam biologi molekuler menunjukkan bahwa nutrisi dan pengalaman

  • 38

    berbagai mekanisme umum yang tampaknya memiliki efek komplementer pada

    fungsi otak. Adapun tantangannya adalah bagaimana untuk mengambil keuntungan

    dari kemampuan ini dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan otak dan plastisitas

    serta untuk melawan sumber gangguan neurologis (Pinilla, 2011).

    Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa sistem

    hippocampal memiliki peran utama dalam fungsi kognitif yang tampaknya dimediasi

    oleh proyeksi kolinergik dari otak depan basal. Menariknya, insulin signaling protein

    yang berhubungan dengan hidup berdampingan dengan kolin asetiltransferase di

    terminal terletak di CA1 sel piramidal hippocampal dan temuan ini meningkatkan

    kemungkinan bahwa insulin dan sistem kolinergik dari hippocampus berinteraksi

    dalam mediasi fungsi kognitif (Brito, 2009). Oleh karena itu relevansi yang

    signifikan bahwa studi eksperimental telah menunjukkan bahwa latihan fisik

    menyebabkan perubahan neurobiologis dalam sistem otak yang sama terlibat dalam

    fungsi kognitif. Latihan fisik meningkatkan tingkat mRNA BDNF dan Nerve Growth

    Factor (NGF) atau faktor pertumbuhan saraf, transkrip neuropeptida gen terkait, gen

    yang mengkode protein matriks ekstraseluler dan proses biosintesis di hippocampus.

    Selain itu, olahraga meningkatkan protein heat shock sort (SHSP) dan protein pra

    dan postsynaptic, dan synapsin synaptophysin di hippocampus dan protein tersebut

    diketahui berperan dalam plastisitas sinaptik. Selain itu, latihan menghapuskan

    blokade selektif dari reseptor BDNF di hippocampus menunjukkan latihan yang

    memodulasi sifat sinaptik bawah arahan BDNF. Perubahan neurobiologis yang

    diinduksi oleh latihan fisik di hippocampus telah ditunjukkan untuk memfasilitasi

    akuisisi tugas memori spasial pada tikus, labirin lengan radial. Selain itu, tikus yang

  • 39

    diberikan latihan dalam tugas spasial-memori yang sama menunjukkan