Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

12
MAHKAMAH Jalan Socio Justicia No.1 Bulaksumur, Sleman www.mahkamahnews.org | @mahkamahnews | BPPM Mahkamah | @EGS7125U LEAFLET Edisi Khusus/IV/2016 BJÖRK DAN INGAR-BINGAR HARI KARTINI Pemerintah Kabupaten Rembang serius menggarap Hari Kartini ke-137 dengan lebih meriah. Sebesar enam ratus juta rupiah dianggarkan untuk rangkaian acara “Gema Kartini” yang dibuka dengan pameran lukisan berskala nasional ini. “N anti pelukisnya juga ada Gus Mus. Di Lasem kita juga akan mengundang Ki Enthus, Bupati Tegal, untuk memberikan penga- jian budaya,” ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Ir. Muntoha. (Disadur dari rri.co.id) Membaca berita itu mem- buat saya teringat Björk, seorang musisi asal Islandia. Setelah sepuluh tahun menjadi satu-satunya anggota perempuan dalam band-nya, ia bela- jar bahwa agar idenya benar-benar didengar, ia harus berpura-pura bahwa ide itu adalah milik anggota band yang lain, yaitu anggota band yang laki-laki. Dari pengalaman- nya itu, Björk menyimpulkan bahwa segala hal yang dikatakan satu kali oleh laki-laki harus dikatakan sebanyak lima kali oleh perempuan. Mungkin itulah sebabnya perayaan Hari Kartini di Rembang harus digemakan dengan suara laki-laki. Suara itu kira-kira adalah milik Ir. Muntoha, Gus Mus, dan Ki Enthus. Bila nama Raden Ajeng Kartini disandingkan dengan nama- nama itu, “Kartini” jadi terdengar seperti sekadar legenda atau, seti- daknya, nama jalan di Sagan. Kisah hidup dan perjuangan Kartini masih terbelenggu kehalu- san dan keanggunan “putri sejati”, ditandai dengan ritus parade kebaya dan riasan tebal di sekolah-sekolah. Padahal, Kartini adalah tokoh non- komformis dengan semangat pembe- basan yang menggebu-gebu. Eman- sipasi wanita yang diusung Kartini, dan juga feminis pada umumnya, mengandung semangat pembebasan bagi seluruh umat manusia, terlepas dari gendernya.

description

Dalam leaflet edisi khusus ini, BPPM MAHKAMAH mencoba menyajikan perayaan kecil-kecilan kami atas Hari Kartini tempo hari.

Transcript of Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

Page 1: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

MAHKAMAHJalan Socio Justicia No.1 Bulaksumur, Sleman

www.mahkamahnews.org | @mahkamahnews | BPPM Mahkamah | @EGS7125U

LEAFLET Edisi Khusus/IV/2016

BJÖRK DAN INGAR-BINGAR HARI KARTINI

Pemerintah Kabupaten Rembang serius menggarap Hari Kartini ke-137 dengan lebih meriah. Sebesar enam ratus juta rupiah dianggarkan untuk rangkaian acara “Gema Kartini” yang dibuka dengan pameran lukisan

berskala nasional ini.

“Nanti pelukisnya juga ada Gus Mus . Di Lasem kita juga akan

mengundang Ki Enthus, Bupati Tegal, untuk memberikan penga-jian budaya,” ujar Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Ir. Muntoha. (Disadur dari rri.co.id)

Membaca berita itu mem-buat saya teringat Björk, seorang musisi asal Islandia. Setelah sepuluh tahun menjadi satu-satunya anggota perempuan dalam band-nya, ia bela-jar bahwa agar idenya benar-benar didengar, ia harus berpura-pura bahwa ide itu adalah milik anggota band yang lain, yaitu anggota band yang laki-laki. Dari pengalaman-nya itu, Björk menyimpulkan bahwa segala hal yang dikatakan satu kali oleh laki-laki harus dikatakan sebanyak lima kali oleh perempuan.

Mungkin itulah sebabnya perayaan Hari Kartini di Rembang harus digemakan dengan suara laki-laki. Suara itu kira-kira adalah milik Ir. Muntoha, Gus Mus, dan Ki Enthus. Bila nama Raden Ajeng Kartini disandingkan dengan nama-nama itu, “Kartini” jadi terdengar seperti sekadar legenda atau, seti-daknya, nama jalan di Sagan.

Kisah hidup dan perjuangan Kartini masih terbelenggu kehalu-san dan keanggunan “putri sejati”, ditandai dengan ritus parade kebaya dan riasan tebal di sekolah-sekolah. Padahal, Kartini adalah tokoh non-komformis dengan semangat pembe-basan yang menggebu-gebu. Eman-sipasi wanita yang diusung Kartini, dan juga feminis pada umumnya, mengandung semangat pembebasan bagi seluruh umat manusia, terlepas dari gendernya.

Page 2: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

2 Mahkamah

Perihal semangat pembebasan membawa kita teringat akan kisah Kartini Sembilan. Yu Sukinah, Martini, Siyem, Karsupi, Sutini, Surani, Ngatemi, Ngadinah, dan Ripambarwati adalah ibu-ibu petani Kendeng yang mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Negara pada hari Rabu (12/4) lalu. Esoknya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki ber-janji akan memenuhi harapan mereka, yaitu bertemu Presiden Joko Widodo untuk membahas perihal pabrik semen di Kendeng. Sembilan perempuan itu tidak hanya membawa suara perempuan atau suara laki-laki saja. Mereka menggemakan suara warga Kendeng se-banyak lima kali lipat, atau bahkan berkali-kali lipat lagi, dengan suara mer-eka. Aksi Kartini Sembilan adalah gema tulus dari perayaan Hari Kartini, yang tidak bisa dinilai bahkan dengan anggaran enam ratus juta rupiah.(Olivia P - Pemimpin Redaksi BPPM Mahkamah)

PAYUNG HUKUM PENANGKAL DISKRIMINASI GENDERNegara menjamin hak setiap orang untuk terbebas dari perlakuan diskrim-inatif. Warga negara pun berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Negara menjamin hak setiap orang untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif.

Warga negara pun berhak mendapat perlindungan dari perlakuan dis-kriminatif sebagaimana yang dia-manatkan dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Menengok pada realitas yang ada, masih terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin (gender) tertentu, sehingga kehidupan berke-luarga, bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara di Indonesia belum mencerminkan kesetaraan dan ke-adilan gender.

Belum ada keseimbangan pembagian status dan peran antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, perempuan masih dianggap lebih rendah derajatnya dibandingkan la-ki-laki. Banyak permasalahan yang timbul, salah satunya adalah ke-kerasan terhadap perempuan.

Pemerintah Indonesia, ber-sama Kementerian Negara Pem-

Page 3: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

3Mahkamah

berdayaan Perempuan dan Per-lindungan Anak, sejak tahun 2010 membuat Rancangan Undang-Un-dang Kesetaraan dan Keadilan Gen-der (RUU KKG). Perancangan RUU KKG bertujuan untuk mencapai ke-setaraan dan keadilan gender yang diatur secara komprehensif dalam undang-undang. Masih banyaknya pro dan kontra yang muncul dari berbagai pihak m e n y e b a b -kan alotnya perumusan RUU KKG. Rancangan u n d a n g -undang ini m e n j a d i penting un-tuk dibahas lebih lanjut, mengingat peningka-tan kasus kekerasan t e r h a d a p perempuan dari tahun ke tahun. Namun, RUU KKG tidak hanya diperuntukkan bagi perem-puan saja. Kesetaraan dan keadilan

gender juga menyangkut kepentin-gan laki-laki. Apabila ada dominasi baik dari gender perempuan maupun laki-laki dalam suatu aspek tertentu, rancangan undang-undang inilah yang dapat mengaturnya.

Secara umum, RUU KKG memuat hal-hal yang sudah dapat diterima dan berkembang dalam

masyarakat. Namun, ada bebera-pa hal yang perlu

dikritisi secara serius. Salah satunya adalah masih ditemu-kannya hal-hal yang kontra-

produktif den-gan nilai-nilai yang ada pada Pancasila.

Menu-rut Undang-Undang No-mor 12 Tahun 2011 tentang P e m b e n t u -kan Peraturan P e r u n d a n g -u n d a n g a n , P a n c a s i l a

menempati urutan teratas sebagai dasar hukum dan sumber hukum, sebelum UUD NRI 1945 di urutan

Berikut ini merupakan tabel jumlah terdata kasus

kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu

tahun 2008 sampai dengan 2013.

Tabel Jumlah Kasus Kekerasasan terhadap Perempuan1

ww

w.a

nger

man

agem

ent4

11.c

om

Page 4: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

4 Mahkamah

kedua. Sesuai dengan asas lex su-periori derogat legi inferiori, kon-sekuensinya adalah RUU KKG ini harus memuat nilai-nilai yang ter-dapat dalam Pancasila.

Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KKG, “Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapat kesempatan men-gakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pemban-gunan di semua bidang kehidupan.” Dr. Adian Husaini dalam Jurnal Islamia Republika (Maret 2012) mengatakan bahwa dari pasal terse-but terlihat jelas bahwa pengusung RUU KKG mengiginkan suatu ke-adilan yang “adil” yang selanjutnya diartikan sebagai penyamarataan baik itu peran, hak, tanggung jawab, dan hal semisalnya2. Bila diurut-urut kemudian, akibatnya waris disa-makan, poliandri dibolehkan, dan perkawinan beda agama bisa men-jadi bagian dari undang-undang. Ke-semuanya itu akan menjadi sumber masalah, karena selain bertentangan dengan peraturan yang ada, itu juga bukan merupakan jati diri bangsa In-donesia.

Lain lagi dalam Pasal 1 ayat (3), “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang meng-

gambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota kelu-arga, masyarakat dan warga negara.” Mengenai pasal tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan berpendapat bahwa defi-nisi keadilan gender perlu diletakkan dalam konteks perlakuan yang adil oleh negara kepada perempuan dan laki-laki agar masing-masing dapat menikmati hak-haknya sebagai war-ga negara3. Dijelaskan lebih lanjut lagi, yang dimaksud perlakuan adil oleh negara adalah berdasarkan pen-gakuan terhadap perbedaan biologis dan sosial. Namun, tidak menja-dikan perbedaan tersebut sebagai hambatan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kontradiksi dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi-kan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum sebagai pembatasan hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan keadilan.

Di satu sisi, memang RUU KKG ini memuat rumusan kesetara-an dan keadilan gender berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Na-mun, substansi RUU KKG berten-tangan dengan nilai-nilai ketuhanan.

Page 5: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

5Mahkamah

Pertentangan ini bisa dicermati pada Pasal 2 RUU KKG tentang asas dan tujuan yang tidak mencantum-kan asas ketuhanan. Padahal, pada Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan, Indonesia adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika ditilik dari segi yuridis, perwujudan kesetaraan dan keadi-lan gender di Indonesia sudah diatur dalam berbagai hukum positif yang ada. Semangat untuk tidak meram-pas atau mengurangi hak-hak yang dimiliki setiap warga negara Indo-nesia telah mendapat perhatian dari pemerintah sendiri.

Tuntutan terhadap keseta-raan dan keadilan gender tidak lepas dari misi penegakan Hak Asasi Ma-nusia (HAM) di Indonesia. Oleh karena itu, konstitusi negara sudah mengatur tentang HAM di dalam Pasal 28A sampai dengan 28J.

Salah satu contohnya yakni Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang ber-hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pen-getahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kuali-tas hidupnya dan demi kesejahteraan

umat manusia.” Penggunaan kata “setiap” pada pasal tersebut mem-berikan indikasi bahwa semua war-ga negara Indonesia memperoleh jaminan untuk mendapatkan kesem-patan dalam melakukan berbagai hal dengan porsi yang sama tanpa ada perbedaan perlakuan.

Walaupun persoalan men-genai hak-hak sudah diatur, masih saja terjadi diskriminasi gender di berbagai aspek kehidupan. Pada aspek-aspek tertentu, perempuan dirasa tidak begitu maksimal dalam memberikan kontribusinya. Hal ini disebabkan karena masih terdapat pembatasan-pembatasan pada hal-hal yang semestinya dapat dilakukan oleh perempuan.

Sekarang yang menjadi per-tanyaan, apakah benar ketidakseta-raan gender disebabkan karena be-lum terdapat sebuah peraturan yang secara langsung membahas tentang jaminan hal itu? Pada Instruksi Pres-iden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Pres-iden Republik Indonesia, sudah ada penjelasan secara terperinci tentang pelaksanaan terciptanya kesetaraan gender. Namun, inpres ini tidak be-gitu efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Page 6: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

6 Mahkamah

Inpres, menurut Jimly Asshiddiqie, merupakan policy rules atau beleids regels, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikate-gorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa4. Disebut policy atau beleids atau kebijakan karena secara formal tidak dapat dise-but atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Pertanyaan lain pun muncul, apakah diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan agar kekuatan hukumnya lebih daripada hanya sekedar instruksi presiden?

Pada prinsipnya, setiap penyusunan RUU memilliki tujuan un-tuk memberikan perlindungan terhadap warga negara, begitu pula dengan RUU KKG. RUU ini diperlukan sebagai bentuk jaminan dan perlindungan terhadap warga negara pada umumnya serta perempuan pada khususnya5. Meskipun demikian, RUU KKG yang ada saat ini masih sangat membutuh-kan banyak masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan. Beberapa ketentuan yang kontroversial, harus dirumuskan ulang dengan lebih hati-hati dan tidak multi interpretasi. Sehingga, RUU KKG yang akan diber-lakukan kelak diharapkan menjadi terobosan hukum guna menciptakan suasana yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi gender di Indonesia. (Hamida Amri Safarina, Rayvo Rahmatullah, Umar Mubdi)

1. www.komnasperempuan.or.id2. Adian Husaini. 2012. RUU Kesetaraan Gender: Unutk Siapa?. Jurnal Islamia Republika.3. Komnas Perempuan. 2012. Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di In-

donesi. Jurnal Perempuan.4. Jimly Asshiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang.  Konpres: Jakarta.5. Dinar Dewi Kania. 2012. Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender. Jurnal Islamia Repub-

lika.

PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM ASPEK LINGKUNGAN

Resensi

Judul buku: Ekofeminisme II; Narasi Iman, Mitos, Air & TanahPenulis (Editor): Dewi CandraningrumPeresensi: Nadia Janu AristaPenerbit: Jalasutra Tahun terbit: Cetakan I, 2014

Halaman: xii+332 halaman

Page 7: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

7Mahkamah

Isu kesetaraan gender meru-pakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan

upaya-upaya pengelolaan lingkun-gan. Namun kenyataannya, kegiatan pengelolaan lingkungan demi me-menuhi kebutuhan hidup selama ini hanya didominasi oleh kaum adam. Sehingga, banyak perempuan yang kehilangan hak untuk memiliki pen-getahuan demi mengeksplor alam lebih luas. Tidak hanya itu, pemba-gian kerja yang didasarkan pada je-nis kelamin atau gender tradisional menempatkan pembagian kerja se-cara seksual yang proses kerjanya diatur secara hierarkis dan mela-hirkan kerja-kerja khas perempuan yang dikaitkan dengan perannya se-bagai fungsi reproduksi. Sehingga, munculnya stereotip mengenai jenis kelamin tersebut membuat perem-puan dihargai lebih rendah. Eko-feminisme mengalami persoalan mendasar mengenai esensialisme identitas yang mengaitkan antara perempuan dan alam. Salah satunya adalah hubungan perempuan dengan lingkungan berdasarkan mitos-mitos yang ada di masyarakat. Menurut

Arivia, apabila perempuan dan alam diterjemahkan sebagai suatu badan pengetahuan, maka persoalan mitos akan terkikis; kemudian, muncul sebuah sistem interaksi yang me-mungkinkan untuk memahami epis-temologi feminis dalam lingkungan tempat perempuan mempunyai per-anan penting.

Melanjuti dari seri I Ekofem-inisme dalam Tafsir Agama, Pendi-dikan, Ekonomi dan Budaya, buku ini hadir dengan membahas sisi lain ekofeminisme sesuai dengan judul-nya Ekofeminisme; Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah. Tujuan dari buku ini tak lain adalah untuk mem-buka pandangan manusia mengenai keberadaan sosok-sosok perempuan sebagai makhluk yang ‘terabaikan’ di saat alam banyak mengalami perubahan dan tidak mampu lagi menopang kehidupan banyak kha-layak. Dikemas melalui pengala-man serta pandangan para dosen dan penelitian dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pusat Pene-litian dan Studi Gender-UKSW, UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Universitat Heidelberg,

Sebuah percakapan yang demokratis antara manusia dan alam akan banyak membantu manusia membangun diskursus baru untuk melawan episteme yang selama ini sewenang-wenang terhadap alam. Alam merupakan ibu yang menjadi pusat wacana pandangan dunia, vision du monde

Page 8: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

8 Mahkamah

UNS (Universitas Sebelas Maret Surakarta), UNISSULA Semarang, LSM WALHI Semarang, YLSKAR (Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi, Salatiga), dan Jurnal Perempuan. Buku ini meme-gang komitmen penuh dalam upaya praktik politik agar tercipta relasi gender yang setara dan keadilan bagi lingkungan.

Dalam buku ini, para penulis berusaha menyuarakan melalui tu-lisannya sesuai dengan fakta empiris bagaimana menggali, memahami, dan mengekspresikan pengetahuan perempuan untuk menjadikannya sumber belajar bersama sebagai upaya awal untuk melakukan pen-garusutamaan gender dalam aspek lingkungan. Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi Jurnal Perem-puan & Universitas Muhammadi-yah Surakarta), menyampaikan pandangannya melalui mitos gu-nung merapi yang dipandang se-bagai ibu oleh para wanita yang tinggal di sekitarnya. Konon, sang Ibu Merapi memerintahkan kepada penduduk agar tidak mengeksploi-tasi alam secara berlebihan atau be-liau akan murka. Beranjak dari hal tersebut, sang Ibu menjadi semacam pengetahuan yang mempromosi-kan ekofeminisme karena reaksi

perempuan yang vokal terhadap berbagai penambangan galian di sekitar Merapi. Mereka memasang beberapa spanduk di pinggir jalan memperingatkan pada para penam-bang akan bahaya kerusakan ling-kungan.

Selama ini, banyak konflik sumber daya alam dan model-model pembangunan yang senantiasa meli-batkan kekerasan di dalam operasin-ya, yaitu ketika entitas warga negara yang berjenis kelamin perempuan hampir selalu lepas dari perhatian. Di tahun 2014, sudah ada seorang ibu yang diputus oleh pengadilan di tingkat Mahkamah Agung den-gan hukuman penjara karena mem-perjuangkan tanah masyarakat dari perkebunan kelapa sawit. Kekerasan yang khas dialami oleh perempuan pembela lingkungan dan HAM men-jadi bagian bagaimana perjuangan perempuan yang kerap ‘diserang’ fungsi dan peranannya sebagai perempuan. Seperti yang dialami seorang ibu yang memiliki bayi, dia ditahan karena memperjuangkan tanahnya dari perkebunan di Suma-tera Selatan, hingga dia dan anaknya sakit karena selama beberapa hari ditahan dia tidak dapat menyusui bayinya.

Lalu, ada juga kasus terba-

Page 9: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

9Mahkamah

ru yang dialami oleh seorang anak perempuan yang mengalami keja-hatan seksual dengan target agar orang tuanya berhenti melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang dan sawit. Hal tersebut menegaskan bahwa perempuan dalam hal pergerakan, pengelolaan, dan pelestarian lingkungan kerap diintimidasi oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya patri-arki. Adanya ketidakberdayaan dan ketidakadilan melahirkan ekofemi-nisme demi usaha penyelamatan bumi, dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang memiliki pengetahuan pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal itu dikarenakan bumi merupakan ibu yang harus diselamatkan dari anca-man kerusakan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak ber-tanggung jawab.

Banyak terdapat realita-re-alita lain yang dikuak mengenai sisi ekofeminisme di dalam buku ini. Mulai dari peran ganda perempuan yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga di masyarakat sebagai pekerja untuk meringank-an beban keluarganya. Perempuan bangkit melawan kemiskinan den-gan cita-cita utuh peran tradision-

al—ingin keluar dari kemisikinan dan kelaparan karena kondisi alam yang dirawat bertahun-tahun tidak lagi mampu menopang kehidupan. Dalam perspektif ekofeminisme, kedekatan perempuan dengan alam terpaksa harus dilepas menghadapi alam lain yang asing. Perempuan se-cara tersirat menjadi simbol-simbol alam dari cerita legenda masyarakat, yang mana banyak dari kita belum mengetahuinya.

Buku ini berhasil mengum-pulkan bagian penting dari isu-isu ekofeminisme yang seharusnya mendapat perhatian dari publik. Berbagai dampak buruk dari kehadi-ran berbagai aktivitas manusia men-gelola alam pada akhirnya mengusik para perempuan untuk mencari kem-bali dan menjadikan alam sebagai bagian dari gerakan mereka me-lindungi ruang domestiknya. Ber-sama dengan laki-laki yang sensitif gender, gerakan ini menjadi usaha transformasi masyarakat untuk membangun relasi yang adil gender dan adil terhadap lingkungan. Ger-akan perempuan ini pada prinsipnya berupaya untuk menjadikan penge-tahuan dan pengalaman perempuan sebagai bagian yang setara dengan laki-laki, dan secara bersama men-jadikan alam sebagai partner dalam kehidupan yang luas.

Page 10: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

10 Mahkamah

Ana memahami bahwa ibu-nya tak sepenuhnya salah, dia hanya terjebak pada

situasi yang tidak tepat. Bukan kare-na ibunya tak tahu bukti pembayaran atau sejenisnya, tetapi ini transaksi antar pedagang pasar yang notabene berasaskan kepercayaan.

Siang itu saat dua saha-bat baik ibu Ana datang, berbicara dengan sedikit berbisik, memasang muka kasihan pada anak yang baru saja masuk SMK itu. “Nduk, ibumu kena kasus sama lintah darat. Kamu jaga adikmu ya, kalau ibumu di-tangkap polisi,” begitu tutur Mbak Rin. Seketika tangis Ana pecah, bu-kan takut tak bisa mengurus kedua adiknya yang masih SD, tetapi takut ibunya merasakan dinginnya pen-jara. Sementara, Ana di sini hanya menjaga adiknya dan membersihkan rumah.

Ibu Ana memeluk anaknya yang menangis tertahan, berusaha menenangkan tetapi tak sanggup

dan akhirnya ikut terbawa tangisan anak bungsunya. Ibu bercerita pada Ana setelah merasa anaknya sudah cukup tenang, masih diawasi den-gan saksama oleh kedua kawannya. Samar-samar cerita itu dicerna oleh Ana, pikirannya masih berkutat pada suatu hal yang entah apa. Matanya menerawang. Sekitar setahun yang lalu, ibu Ana berjualan ikan asin di pasar dekat rumahnya, ayahnya ber-jualan di pasar di tengah kota Yog-yakarta. Setiap hari pulang sore dan malamnya pergi lagi ke tengkulak untuk mengambil ikan.

“Dulu ibu berniat menolong Bu Sri, menjualkan emas sama ibu-ibu yang sering beli ikan asin,” jelas Ibu Ana, mengusap sisa air matanya.

Ana mulai teringat jerih payah ibunya, membawa rombong penuh dengan ikan di belakang sepeda ontel tuanya, menyusur jalan memutar dan menanjak untuk sam-pai ke pasar karena Jembatan Rondo runtuh.

APA YANG DAPAT KU LAKUKAN?

Sastra

Oleh: Ayu Tika Pravindias

Page 11: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

11Mahkamah

“Tiap hari ibu nagih kreditan emas itu, besoknya uang itu ibu setor sama Bu Sri. Ibu percaya sama Bu Sri, ibu gak minta nota, gak minta bukti bayar. Tapi sekarang dia malah mau menjebloskan ibu ke penjara, bilang ibu gak mau bayar utang, belum setor sama sekali.” Air mata ibunya berlinang lagi, perlahan. “Utang tinggal satu juta, sekarang jadi sepuluh juta.”

Juga ketika sepeda motor be-bek merah yang baru dibeli ibunya seharga delapan ratus ribu rupiah itu oleng karena terlalu banyak mem-bawa ikan dan jatuh ke tumpukan pasir di tepi jalan dekat jembatan. Terbayang wajah ibunya, yang lebih tua kelihatannya dibandingkan den-gan umur sebenarnya, menyisihkan ikan-ikan yang masih bersih den-gan yang sudah kotor terkena pasir, membuangnya satu per satu ke sun-gai sambil menangis.

Pikiran Ana yang melay-ang ke masa-masa sulit keluarg-anya terpecah saat sadar Mbak Rin dan Mbak Nur mulai beranjak dari tempat duduknya dan berlalu pergi. Ibunya mengusap lagi matanya dan melanjutkan kerjanya di dapur, en-tah untuk memasak atau sekedar mencari-cari sesuatu untuk diker-jakan.

Kayuhan sepeda Ana setiap hari menuju sekolah barunya terasa tak segembira biasanya. Pikirannya terpaku pada pertanyaan ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Namun semakin sering ia pikirkan, pertanyaan itu se-makin sulit dijawabnya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya saat ini hanya berdoa dan bersedih, ‘tapi apa cukup dengan itu semuanya selesai? Apa gunanya rangking satu selama sembilan tahun berturut-turut, jika di saat sulit seperti ini otaknya tak bekerja sama sekali?’

Ternyata kasus itu sudah bergulir lama sebelum ibu Ana men-gatakan yang sebenarnya. Selang beberapa hari, ibunya dipanggil un-tuk disidang. Ana berangkat sekolah dengan keadaan kalut, dan pulang dengan tergesa. Ibunya dikamar, ter-golek lemah dengan selimut merah menutupi tubuhnya yang semakin hari semakin kurus.

“Ibumu pingsan waktu si-dang, sedari pagi sudah diare, bolak-balik kamar mandi,” begitu cerita singkat ayahnya.

Semua ini membuat Ana tersiksa, otaknya masih terus ber-tanya ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Semua orang yang ikut membantu, atau hanya pura-pura membantu, membuat hati Ana begitu murka,

Page 12: Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

Pak Lurah membuat ibunya mem-beri kesaksian palsu, bahwa uang lintah darat itu digunakan untuk ibu Ana sendiri. Merasa pemimpin pasti benar, ibu Ana menurut saja tanpa berpikir. Hasilnya hari itu, tas coklat besar diletakkan di tengah ruang ke-luarga. Ana yang berangkat sekolah pagi itu memeluk ibunya erat dan berkata lirih “Ibu jangan sakit di sana ya.”

Sekuat apapun Ana mena-han air matanya, tangisan itu me-luap juga. Dalam hati Ana terus mengumpat, ‘Anak macam apa aku! Ibuku menghadapi hukum, dan aku hanya duduk manis disini?’ Otaknya berpikir keras, mencoba menjawab pertanyaan yang sama. ‘Apa yang dapat ku lakukan?’

Muka sembabnya berubah cerah ketika melihat ibunya duduk berselonjor di sisi tas coklat besar di depan pintu ruang tamu, saat Ana pulang dari sekolah. Singkatnya, pertemuan ibu Ana dengan seorang Ketua Kejaksaan Negeri membuat-

nya berstatus tahanan kota, namun dengan beberapa syarat. Mulai dari syarat memberikan uang terima ka-sih kepada hakim yang menangani kasus sampai membayar sejumlah denda yang dibebankan sang lin-tah darat dilakukan ibu Ana dengan berhutang sana-sini. Meski begitu, selama tiga tahun Ana masih belum menemukan jawaban telak atas per-tanyaan ‘Apa yang dapat ku laku-kan?’

Memerlukan waktu lama untukku menjawab pertanyaan ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Namun pertanyaan sulit itu membawaku ke tempat ini, sebuah tempat yang kat-anya melahirkan banyak pemimpin di negeriku. Sebuah tempat men-imba ilmu di mana banyak penegak hukum di negeriku pernah belajar di sini. Aku ingin menjadi salah satu di antara banyak pemimpin dan pen-egak hukum itu. Semua itu kumulai dari sini, Fakultas Hukum Universi-tas Gadjah Mada.*diadopsi dari kisah nyata.

wanita berpendidikan tinggi

mendidik generasi hebat pengemban amanah negeri”

BUKAN untuk menyaingi laki-laki

untuk membekali diri TAPI