Makalah Agama 1
-
Upload
hamidah-nuruljanah -
Category
Documents
-
view
150 -
download
11
description
Transcript of Makalah Agama 1
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Al_Quran merupakan sumber pokok ajaran Islam sebagai petunjuk bagi
manusia (Hudan Linnasi), sebagai pedoman hidup manusia untuk menuju kehidupan
sejahtera di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW ketika akan wafat berwasiat bahwa
Ia tidak meninggalkan warisan harta kecuali Al-Quran dan As Sunnah, barangsiapa
yang berpegang teguh pada kedua sumber tersebut di atas pasti tidak akan sesaat
untuk selama-lamanya. Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum
Muslimin ) yang kedua setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman kepada
Al-Qur'an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah sebagai sumber Islam juga. Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum
sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah
mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman
Rosullulloh maupun yang baru terjadi.
II. Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas pendidikan agama islam mengenai sumber nilai
Islam
2. Untuk dapat mengetahui dan memahami tentang sumber nilai islam.
3. Untuk dapat mempelajari tentang pentingnya sumber nilai islam untuk kehidupan
sehari-hari.
BAB 2
ISI
I. Sumber Nilai Islam
Ketika rasulullah saw mengutus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya
kepada Mu‟adz, “Dengan pedoman apa anda memutuskan suatu urusan?”. Jawab
Mu‟adz : Dengan Kitabullah. Tanya Rasul : Kalau tidak ada dalam al- Qur‟an?
Jawab Mu‟adz : Dengan Sunnah Rasulullah. Tanya Rasul : Kalau dalam Sunnah
juga tidak ada? Jawab Mu‟adz L. Saya berijtihad dengan pikiran saya. Sabda Rasul :
Maha Suci Allah yang telah memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya,
dengan satu sikap yang disetujui Rasul-Nya. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)
Yang perlu dicatat adalah bahwa sekalipun ketiga-tiganya adalah sumber nilai,
akantetapi antara satu dengan yang lainnya mempunyai tingkatan kualitas dan bobot
yangberbeda-beda dengan pengaruh hukum yang berbeda-beda pula. Apabila ada
yangbertentanga satu dengan yang lain, maka hendaknya dipilih Al-Qur‟an terlebih
dahulu kemudian yang kedua al-Hadits.
I.1 Al-Quran
Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian. Misalnya
perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis
shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara
mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya,
datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat,
berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu
disebut Sunnah Rasul. Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap bermunculan
misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll. Persoalan demikian
belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh karena itu
memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW dengan menggunanakan bahasa Arab. Agar fungsi Al-Qur’an
sebagai hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka Al-Qur’an
bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan Al-
Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir
Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni tafsir
Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.
b. Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta
yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya
manusia, beberapa di antaranya adalah :
• Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah
menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit
dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan
Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
• Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS :”Dan kamu melihat
gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak
sebagaimana geraknya awan”.
• “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”.
Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu
ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet.
Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari
dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini
para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi
ilmu pengetahuan modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat
di atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya
Allah, firman Tuhan bukan karya nabi Muhammad SAW.
c. Bahasa Al-Qur’an :
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam
bahasa Arab”. Ini penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa
Arab, bahasa yang dipakai oleh nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab.
Tujuannya sudah pasti agar Al-Qur’an mudah dipahami.
Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa
wahyu. Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari
isteri kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli
dengan demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi
serumpun dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni qaumih" (berbicara
dengan bahasa kaumnya).
Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana
dijelaskan oleh Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah) ialah
suku Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab
Musta‘ribah I (Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang
pula suku Arab Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi
suku Quresy adalah bagian dari Suku Arab, bukan suku lain. Suku-suku
pendatang lantas berbaur dan mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab,
bukan mempelajari bahasa Babylon.
Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut
dikatagorikan bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian
Timurnya berbahasa Akkad atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara
adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian
di bagian Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di
bagian utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan berbahasa Sabe atau
Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah punah , hanya
bahasa Arab yang masih hidup".
Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat
dilihat antara lain dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali
dengan dengan huruf bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria
Umum, Kaldea dan Arab. Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf
tersebut pada buku "Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.
Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian
maka bahasa dan tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa
yang serumpun bahasa Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus
dikatakan serumpun dengan bahasa Semit bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai
tambahan penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup
sampai saat ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an
adalah bahasa Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.
Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa
Arab maka semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya
tidak semua orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah
bahasa Arab.
Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan
orang Indonesia. Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera
berbahasa Indonesia, ini karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa
Indonesia kelas tinggi.
Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari
menggu-nakan bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab Fushá. Di samping itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup
dengan mengetahui kosa kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan
tentang isi teks. Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak otomatis dapat
memahami teks buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak otomatis
memahami teks tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan,
harus memiliki syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki
frame of reference yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang
menunjang. Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-
Qur’an tidak menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.
Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya
merupakan ya nisbat yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi
bukan bahasa Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang
dinisbahkan kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.
Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata
‘arabiyyan bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah
al-‘arabi”, yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang Arab, di baca
dengan bahasa Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu
Syahbah dalam bukunya: ”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm”
menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab
berbahasa Arab yang maha besar.
Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an
bahasa Quresy bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad
Satori sebagai doktor dalam sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab
adalah bahasa Arab. Perbedaan bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan
lain-lainnya hanyalah dalam dialek bukan dalam makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa
Arab, seluruhnya tertolak.
d. Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama,
yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda).
Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa
tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-
jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru
mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat
( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan
Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi
rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum
alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan kejayaan
Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah
‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas
negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka
hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para
khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan
tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai
bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh
manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan
produk akal manusia sering hanya bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang
haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini
benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr.
Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai
hudá, bayyinát maupun furqán secara mendalam, maka Al-Qur’an perlu
dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-
17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu
dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.
Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep
dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan
tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah
karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.
Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti
benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian
walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat
difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab kalau
menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter
berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau
tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh.
Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan
perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki
agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali.
Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang
lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
Tepat apa yang dinyatakan Al-Qur’an, bahwa sebab seorang tidak menerima
kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi adalah salah satu diantara dua sebab,
yaitu :
a. Tidak berpikir dengan jujur dan sungguh-sungguh.
b. Tidak sempat mendengar dan mengetahui Al-Qur’an secara
baik (67:10, 4:82). Oleh Al-Qur’an disebut Al-Maghdhub ( dimurkai Allah )
karena tahu kebenaran tetapi tidak mau menerima kebenaran itu, dan disebut adh-
dhollin ( orang sesat ) karena tidak menemukan kebenaran itu. Sebagai jaminan
bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah, maka Al-Qur’an sendiri menantang setiap
manusia untuk membuat satu surat saja yang senilai dengan Al-Qur’an (2:23, 24,
17:88). Sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-pokok
serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia
dengan Allah dan mahluq lainnya.
Didalamnya terdapat peraturan-peraturan seperti : beribadah langsung kepada
Allah (2:43,183,184,196,197; 11:114), berkeluarga (4:3, 4,15,19,20,25; 2:221;
24:32; 60:10,11), bermasyarakat ( 4:58; 49:10,13; 23:52; 8:46; 2:143), berdagang
(2:275,276,280; 4:29), utang-piutang (2:282), kewarisan (2:180; 4:7-12,176;
5:106), pendidikan dan pengajaran (3:159; 4:9,63; 31:13-19; 26:39,40), pidana
(2:178; 4:92,93; 5:38; 10:27; 17:33; 26:40), dan aspek-aspek kehidupan lainnya
yang oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan
setiap waktu (7:158; 34:28; 21:107).
Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut
dalam kehidupannya (2:208; 6:153; 9:51). Dan sikap memilih sebagian dan
menolak sebagian tata nilai itu dipandang Al-Qur’an sebagai bentuk pelanggaran
dan dosa (33:36). Melaksanakannya dinilai ibadah (4:69; 24:52; 33:71),
memperjuangkannya dinilai sebagai perjuangan suci (61:10-13; 9:41), mati
karenanya dinilai sebagai mati syahid (3:157, 169), hijrah karena
memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian yang tinggi (4:100, 3:195), dan
tidak mau melaksanakannya dinilai sebagai zhalim, fasiq, dan kafir (5:44,45,47).
Sebagai korektor Al-Qur’an banyak mengungkapkan persoalan-persoalan
yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil, dan lain-lain yang dinilai Al-Qur’an
sebagai tidak sesuai dengan ajaran Allah yang sebenarnya. Baik menyangkut segi
sejarah orang-orang tertentu, hukum-hukum,prinsip-prinsip ketuhanan dan lain
sebagainya. Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan Al-Qur’an
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Tentang ajaran Trinitas (5:73).
b. Tentang Isa (3:49, 59; 5:72, 75).
c. Tentang penyaliban Nabi Isa (4:157,158).
d. Tentang Nabi Luth (29:28-30; 7:80-84) perhatikan, (Genesis : 19:33-
36).
e. Tentang Harun (20:90-94), perhatikan, (keluaran : 37:2-4).
f. Tentang Sulaiman (2:102; 27:15-44), perhatikan (Raja-raja 21:4-5)
dan lain-lain.
2. Sejarah Kodifikasi dan Perkembangannya
Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, akan selamat dari
usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-pengurangan.
(15:9;75:17-19). Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan bahwa proses kodifikasi
dan penulisan Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara meyakinkan. Qur’an
ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung
memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati.
Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.
Pada awal pemerintahan khalifah yang pertama dari Khulafaur Rasyidin, yaitu
Abu Bakar Shiddiq, Qur’an telah dikumpulkan dalam mushhaf tersendiri. Dan
pada zaman khalifah yang ketiga, ?Utsman bin ?Affan, Qur’an telah sempat
diperbanyak. Alhamdulillah Qur’an yang asli itu sampai saat ini masih ada.
Dalam perkembangan selanjutnya, tumbuh pula usaha-usaha untuk
menyempurnakan cara-cara penulisan dan penyeragaman bacaan, dalam rangka
menghindari adanya kesalahan-kesalahan bacaan maupun tulisan. Karena
penulisan Qur’an pada masa pertama tidak memakai tanda baca (tanda titik dan
harakat). Maka Al-Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang
baru,yaitu huruf waw yang kecil diatas untuk tanda dhammah, huruf alif kecil
diatas sebagai tanda fat-hah, huruf alif yang kecil dibawah untuk tanda kasrah,
kepala huruf syin untuk tanda shiddah, kepala ha untuk sukun, dan kepala ?ain
untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong, dan ditambah sehingga
menjadi bentuk yang sekarang ada. Dalam perkembangan selanjutnya tumbuhlah
beberapa macam tafsir Qur’an yang ditulis oleh ulama Islam, yang sampai saat ini
tidak kurang dari 50 macam tafsir Qur’an. Juga telah tumbuh pula berbagai
macam disiplin ilmu untuk membaca dan membahas Qur’an.
3. Ilmu-ilmu yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan dengan al-
Qur’an antara lain :
a. Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat
turunnya ayat Qur’an.
b. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya
ayat Al-qur’an.
c. Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-
Qur’an.
d. Gharibil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat
yang asing artinya dalam Al-Qur’an.
e. Ilmu Wajuh wa Nadhar, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat
yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat
dalam Al-Qur’an.
f. Ilmu Amtsalil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-
perumpamaan dalam Al-Qur’an.
g. Ilmu Aqsamil Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-
maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.
4. Pembagian Isi al-Qur’an
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat; 91 surat turun di Makkah dan 23 surat
turun di Madinah. Ada pula yang berpendapat, 86 turun di Makkah, dan 28 di
Madinah. Surat yang turun di Makkah dinamakan Makkiyyah, pada umumnya
suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq,
panggilannya ditujukan kepada manusia.
Sedangkan yang turun di Madinah disebut surat Madaniyyah, pada
umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya
( syari’ah ). Diperkirakan 19/30 turun di Madinah. Atas inisiatif para ulama maka
kemudian Al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30 juz. Dalam tiap juz dibagi-bagi
kepada setengah juz, seperempat juz, maqra dan lain-lain.
5. Nama-nama al-Qur’an
Al-Kitab = Tulisan yang Lengkap ( 2:2 ).
Al-furqan = Memisahkan yang Haq dari yang Bathil ( 25:1 ).
Al-Mau’idhah =Nasihat ( 10:57 ).
Asy-Syifa’ = Obat ( 10:57 ).
Al-Huda = Yang Memimpin ( 72:13 ).
Al-Hikmah = Kebijaksanaan ( 17:39 ).
Al-Hukmu = Keputusan ( 13:37 ).
Al-Khoir = Kebaikan ( 3:103 ).
Adz-Dzikru = Peringatan ( 15:9 ).
Ar-Ruh = Roh ( 42:52 ).
Al-Muthohharoh = Yang Disucikan ( 80:14 ).
6. Nama-nama Surat Berdasarkan Urutan Turunnya.
a. Makkiyah.
Al-?Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Muddatstsir, Al-Fatihah, Al-Masad
(Al-Lahab), At-Takwir, Al-A’la, Al-Lail, Al-Fajr, Adh-Dhuha, Alam Nasyrah
(Al-Insyirah), Al-?Ashr, Al-?Adiyat, Al-Kautsar, At-Takatsur, Al-Ma’un, Al-
Kafirun, Al-Fil, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlas, An-Najm, ?Abasa, Al-Qadar, Asy-
Syamsu, Al-Buruj, At-Tin, Al-Quraisy, Al-Qari’ah, Al-Qiyamah, Al-Humazah,
Al-Mursalah, Qaf, Al-Balad, Ath-Thariq, Al-Qamar, Shad, Al-A’raf, Al-Jin,
Yasin, Al-furqan, Fathir, Maryam, Thaha, Al-Waqi’ah, Asy-Syu’ara, An-Naml,
Al-Qashash, Al-Isra, Yunus, Hud, Yusuf, Al-Hijr, Al-An’am, Ash-Shaffat,
Lukman, Saba’, Az-Zumar, Ghafir, Fushshilat, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Ad-
Dukhan, Al-Jatsiyah, Al-Ahqaf, Adz-Dzariyah, Al-Ghasyiah, Al-Kahf, An-Nahl,
Nuh, Ibrahim, Al-Anbiya, Al-Mu’minun, As-Sajdah, Ath-Thur, Al-Mulk, Al-
Haqqah, Al-Ma’arij, An-Naba’, An-Nazi’at, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Ar-Rum,
Al-Ankabut, Al-Muthaffifin, Az-Zalzalah, Ar-Ra’d, Ar-Rahman, Al-Insan, Al-
Bayyinah.
Turunnya surah-surah Makkiyyah lamanya 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai
pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Nabi. ( Febr.610 M ).
b. Madaniyyah.
Al-Baqarah, Al-Anfal, Ali-Imran, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa’, Al-
Hadid, Al-Qital, Ath-Thalaq, Al-Hasyr, An-Nur, Al-Haj, Al-Munafiqun, Al-
Mujadalah, Al-Hujurat, At-Tahrim, At-Taghabun, Ash-Shaf, Al-Jum’at, Al-Fath,
Al-Maidah, At-Taubah dan An-Nashr (
7. Susunan Al-Qur’an dalam Sistematika yang ada Sekarang.
Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisaa’, Al-Maa-idah, Al-An’aam, Al-
A’raaf, Al-Anfaal, At-Taubah, Yunus, Hud, Yusuf, Ar-Ra’d, Ibrahim, Al-Hijr,
An-Nahl, Al-Isra’, Al-Kahfi, Maryam, Thaha, Al-Anbiyaa’, Al-Hajj, Al-
Mu’minun, An-Nuur, Al-Furqaan, Asy-Syu’ara’, An-Naml, Al-Qashash, Al-
Ankabut, Ar-Ruum, Luqman, As-Sajadah, Al-Ahzab, Saba’, Faathir, Yaa Siin,
Ash-Shaffaat, Shaad, Az-Zumar, Al-Mu’min, Fushshilat, Asy-Syuura, Az-
Zukhruf, Ad-Dukhaan, Al-Jaatsiyah, Al-Ahqaaf, Muhammad, Al-Fat-h, Al-
Hujurat, Qaaf, Adz-Dzaariyaat, Ath-Thuur, An-Najm, Al-Qamar, Ar-Rahmaan,
Al-Waaqi’ah, Al-Hadiid, Al-Mujaadilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaff,
Al-Jumu’ah, Al-Munaafiquun, At-Taghaabun, Ath-Thalaq, At-Tahrim, Al-Mulk,
Al-Qalam, Al-Haaqqah, Al-Ma’aarij, Nuh, Al-Jin, Al-Muzzammil, Al-
Muddatstsir, Al-Qiyaamah, Al-Insaan, Al-Mursalaat, An-Naba’, An-Naazi’aat, ?
Abasa, At-Takwiir, Al-Infithar, Al-Muthaffifiin, Al-Insyiqaaq, Al-Buruuj, Ath-
Thaariq, Al-A’laa, Al-Ghaasyiyah,Al-Fajr, Al-Balad, Asy-Syams, Al-Lail, Adh-
Dhuhaa, Alam Nasyrah, At-Tiin, Al-?Alaq, Al-Qadar, Al-Bayyinah, Al-Zalzalah,
Al-?Aadiyaat, Al-Qaari’ah, At-Takaatsur, Al-?Ashr, Al-Humazah, Al-Fiil, Al-
Quraisy, Al-Maa’un, Al-Kautsar, Al-Kaafiruun, An-Nashr, Al-Lahab, Al-Ikhlash,
Al-Falaq, An-Naas.
1.2 HADIST
Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua setelah Al-
Qur’an, telah menjadi perhatian khusus dikalangan para intelektual Muslim
ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang keotentikan
Hadist-hadist nabi yang menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok penentang
Hadist (Inkarussunah). Untuk memahami lebih jelas dan lebih memahamkan
maka dalam makalah ini perihal Hadist, ada beberapa sub bagian yang insya alloh
akan kami jelaskan secara rinci sebagaimana berikut.
1. Ilmu Hadist
Ilmu Hadits merupakan ilmu pengetahuan yang ke-dua setelah ilmu al-
Qur’an yang mesti diketaui oleh setiap insan muslim. Berpegang kepada kedua
sumber ilmu pengetahuan islam yang paling mendasar ini merupakan cara islam
menyelamatkan diri dari tersesat yang salah.
Mempelajari al-Qur’an tidak bisa terlepas dari perhatian terhadap Ilmu Al-
Hadist terutama sekali tentang ayat-ayat tasy-ri’ dan Qodho. Mempelajari Al-
Hadist memelukan perhatian yang sangat teliti. Hal ini disebabkan berbagai asalan
:
a. Al-Hadist sebagai sumber Syari’ah yang kedua merupakan sumber ajaran
yang lahir dari seseorang manusia, tidak lahir seperti Al-Qur’an, yang selalu
dicatat oleh sahabat rosul setiap kali muncul.
b. Al-hadist sampai kepada kita melalui proses periwayatan para sahabat, tabi’in
dan seterusnya, dalam kadar keperibadian yang berbeda-beda ditinjau dari kriteria
para ahli ilmu hadist.
c. Al-Hadist sampai kepada kita lewat kurun waktu yang tidak terlepas dari
sejarah peradapan manusai yang tidak punya jaminan untuk tegaknya kebenaran.
2. Pengertian Hadist
Untuk memahami pengertian hadist dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
a. Melalui pendekatan kebahasaan (Linguistik)
Melalui pendekatan kebahasaan hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan-
wa hadi-tsan” kata tersebut mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :
1. Aljadid minal Asya : artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata
al-qodim artinya sesuatu yang telah lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti
demikian kita temukan dalam ungkapan hadits albina dengan arti jadid al bina
artinya bangunan baru.
2. Al-khobar : artinya maa ya kaddasa bihi wayaqol, artinya sesauatu yang
dibicarakan atau diberitakan dialihkan dari seseorang ke orang lain.
3. Al-Qorib artinya pada waktu yang dekat, pada waktu yang singkat, pengertian
ini digunakan pada ungkapan qorib al-‘ahd bi a- islam yang artinya orang yang
baru masuk islam.
Ada sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam kata hadits
kemudian mereka menggunakan kata tersebut sebagai lawan kata qodim (lama)
dengan maksud qodim sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang
didasarkan kepada belia nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam. Syaikh
islam ibnu hajar berkata : “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian
syara’ adalah apa yang disandarkan kepada nabi sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al qur’an adalah qodim yang dimana
terdapat di dalam syarah al bukhori.
b. Melalui pendekatan Istilah (terminologis)
Selanjutnya kata hadist dari segi istilah (terminologi) di temukan pendapat
yang berbeda. Hal ini disebabkan berbedanya cara memandang yang digunakan
oleh masing-masing dalam melihat sesuatu masalah :
1. Para ulama hadist misalnya mengartikan bahwa hadist adalah ucapan,
perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Sementara ulama hadist lain seperti Atthibi berbeda, bahwa hadist bukan hanya
perkataan, perbuatan serta ketetapan rosullulah akan tetapi termasuk perkataan,
perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
3. Ulama ahli usul fiqh mengartikan hadist dalam perkataan perbuatan serta
ketetapan rosulullah yang berkaitan dengan hukum.
4. Ulama ahli fiqih mengidentikan hadist dengan sunnah yaitu sebagai salah satu
hukum taklifi, bila dikerjakan dapat pahala bila ditinggalkan tidak apa-apa. Dalam
kaitan ini Ulama fiqih berpendapat bahwa hadist adalah bersifat syari’yah untuk
perbuatan yang dituntut pengertiannya, akan tetapi tuntutan tersebut sudah secara
pasti yang melakukannya pahala yang meninggalkannya tidak apa-apa.
Dalam kitab Manhaj Al Muhadditsiin Fii Dhabth As Sunnah karya dr. Mahmud ali
fayyad yang diterjemahkan drs. A. Zarkasyi chumaidy hadist yaitu segala yang
dinisbatkan kepada Nabi Sholalloohu ‘Alaihi Wa Sallam, baik perkataan, perbuatan
maupun keizinannya.
Para Muahadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya dalam
menta’rifkan al hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh
oleh terbatas dan luasnya obyek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan
sifat peninjauan mereka itu melahirkan dua macam ta’rif al hadits, yaitu :
pengertian yang terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain.
1. Ta’rif atau pengertian yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhurul
muahadditsin, yaitu :
للنبى صلى الله عليه وسلم قوال أوفعال أوتقريرا ما أضيف .أونحوها
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad sholalloohu
‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
yang sebagainya”.
Dari pengertian diatas terdapat empat macam unsur yakni ;
a. Perkataan yaitu perkataan yang pernah beliau Nabi Muhammad
Sholalloohu ‘Alaihi Wa Sallam ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang
hukum (Syari’ah), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana
contoh perkataan beliau yang mengandung hukum Syari’ah, misalnya sabda
beliau :
إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى. )متفق عليه(
“hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu
memperoleh apa yang ai niatkan .... Dan seterusnya”.
b. Perbuaatan yaitu perbuatan Nabi Muhammad Sholllaooohu ‘Alaihi Wa
Sallam, merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan Syari’ah
yang belum jelas cara pelaskanaannya.
Perbuatan beliau dalam masalah cara bersholat dan cara berhadap kiblat dalam
sholat di atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh nabi
dengan perbuatan beliau di hadapan para sahabat. Dapat kita ketahui
berdasarkan berita dari sohabat Jabir RA. Yaitu :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : يصلى على راحلته حيث توجهت به فإذا أراد الفريضة نزل فاستقل القبلة.
.)البحارى(“Dulu rodululloh sholalloohu ‘aliahi wa sallam bersabda di atas kendaraan
(dengan menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila
beliau hendak sholat fardu, beliau sebentar, terus mengahdap kiblat”.
c. Taqrir ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan
atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat
di hadapan beliau.
Contoh taqrir nabi tentang perbuatan sahabat dalam acara jamuan makan,
menyajikan makanan daging biawak dan mempersilahkan kepada nabi untuk
menikmatinya bersama para undangan. Beliau menjawab :
قال خالد : )! ال, ولكن لم يكن بأرض قومى, فأجدنى أعافه( فاجتززته, فأكلته, ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر
إلي.)متفق عليه(
“Tidak (maaf) berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku
jijik padanya !”
Kata kholid : “segera aku memotongnya dan memakannya sedang rosulullooh
sholalloohu ‘alaihi wa sallam, melihat kepadaku”.
d. Sifat-sifat, keadaaan-keadaan dan himmah (hasrat) Rosulullah Sholallohu
‘alaihi wa sallam.
Diantara sifat-sifat Rosululloh yang termasuk dalam Hadts yaitu :
1. Sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau yang telah dilukiskan oleh para
sahabat dan ahli tarikh .
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجهاوأحسنهم خلقا, ليس بالطويل وال بالقصير. )الشيخان(
“Rosululloh itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan
bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek”.
(Riwayat Bukhary Musilim)
2. Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran.
3. Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat direalisir.
2. Ta’rif atau pengertian al Hadits yang luas yaitu mencakup perkataan,
perbuatan dan taqrir yang dimarfu’kan atau disandarkan kepada Nabi, para
sahabat dan tabi’iy. marfu’ mauquf (disandarkan kepada sahabat), maqthu’
(disandarkan kepada tabi’iy).
Secara terminologi al Hadits menurut Muhadditsin (ahli hadist),
sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang
diambil dari Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Rosul akan tetapi bila disebut kata hadits, umumnya dipakai
sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul setelah kenabian, baik
serupa sabda, perbuatan maupun taqrir. Hadits dan sunnah merupakan dua hal
yang identik. Keduannya sehingga sering digunakan secara bergantian untuk
menyebut hal ikhwal tentang Nabi Sholallohu ‘alahi wa sallam. Akan tetapi
kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan sunnah dan hadits
merupakan dua hal yang berbeda.
Hadits telah digunakan sebagai dasar dalam pengambilan hukum
atau juga sebagai dasar orang islam untuk membuktikan kebenaran yang
diridloi oleh alloh shubhanahu wa ta’ala. Dan digunakan secara luas dalam
studi keislaman untuk merujuk kepada suri tauladan atau teladan dan otoritas
beliau nabi muhammad sholallohu ‘alahi wa sallam atau sebagai sumber
ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an.
3. Pengkelompokan Hadist Berdasarkan Jumlah Perawi
a. Hadist Mutawatir
Hadist Mutawatir adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca
indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta. Dengan adanya
pengertian ini dapat difahami bahwa syarat untuk menentukan hadist
mutawatir yaitu hadist diterima berdasarkan tanggapan panca indra, jumlah
perowinya harus mencapai ketentuan yang tidak mungkin mereka bersepakat
bohong. Mengenahi ketentuan jumlah perowi untuk memenuhi syarat tersebut
para muhadditsin berselisih pendapat. Adanya keseimbangan jumlah rawi-rawi
pada thobaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh berikutnya.
Pendapat lain Hadits Mutawatir secara terminologi hadits yang
diriwayatkan oleh rowi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat
berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.
b. Hadist Ahad
Hadist Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama,
kedua, ketiga dan seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan
seorang. Haidts Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua
perowi, hadits Ahad ini tidak memenuhi hadits mutawatir ataupun masyhur.
Hadits ini tidak sampai pada jumlah periwayatan hadits mashur. Imam syafi’I
menyebut hasits ini dengan istilah khusus, yaitu khobar al khas. Yang mana
hadist ini dikelompokkan oleh ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist
Masyhur, Hadist ‘Aziz dan Hadist Ghorib.
c. Hadits Masyhur yaitu hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua
perowi namun tidak mencapai batas mutawatir.
4. Pembagian Hadist berdasarkan Dasar Alasan Berhujjah
a. Hadits Shohih yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang
adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan
tidak janggal. Maksud dari adil yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa
kecil, tidak melakukan perkara yang menggugurkan iman.
b. Hadits Hasan, yaitu hadits yang dibnukikan oleh orang adil (tapi) tidak
begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang tidak terdapat
ilat serta kejanggalan dalam matannya.
c. Hadits Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih
ataupun syarat-syarat hasan.
Hadits Qutsiy sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap hadits yang
mengandung sandaran Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan antara
hadits Qudsiy dan nabawi yaitu bahwa hadits Nabawi yang terakhir
dinisbatkan kepada Rosul saw. dan diriwayatkan dari beliu, sedangkan hadits
Qudsiy dinisbatkan kepada Alloh swt.
5. Sejarah Pertumbuhan Hadist Dan Perkembangannya
Perjalanan sejarah Hasit tidak sama dengan pejalanan sejarah Al-
Qur’an. Al-Qur’an setiap kali diturunkan dicatat oleh para penulisnya sari
kalangan sahabat nabi. Sedangkan hadist pada awal sejarahnya pernah
dilarang untuk ditulis oleh para sahabat nabi. Hal ini dilakukan Nabi semata
untuk memelihara Al-Qur’an agar tidak tercampur baur dengan Hadist. Karena
pada masa itupun Al-Qur’an masih belum terhimpun pada mushaf. Perjalanan
Hadist melewati pase-pase yang spesifik yaitu :
a. Pase Penulisan Dan Pentadwinan
Pada permulaannya hadist hanya boleh diriwayatkan secara lisan bahkan
Rosululloh sendiri mengingatkan sahabatnya untuk tidak menuliskan hadist
bahkan kalau sudah terlanjur harus dihapus sengan sabdanya :
Tنا همام ، عن زيد بن أسلم ، حدَثنا هداب بن خالد األزدي ، حTدVَث عن عطاء بن يسار ، عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال : ال تكتبوا عني ، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه ، وحدَثوا عني وال حرج ، ومن كذب علي - قال
a - فليتبوأ مقعده من النار .همام : أحسبه قال : متعمدا) باب كتابة581رواه مسلم فى األحكام الشرعية لإلشبيلي
(308/ 1العلم - )
Dari hadist diatas dapat memberikan penegasan akan berbagai hal
sebagaimana berikut : 1. Penulisan al-Qur’an tidak boleh tercampur aduk
dengan al-Hadist, 2. Periwayatan Hadist pada masa itu hanya boleh dengan
lisan dan 3. Orang tidak boleh membuat hadist palsu.
Dengan demikian periwayatan hadist pada masa itu hanya terjadi
melalui lisan. Namun ketika Abdulloh bin Amr bin Ash (7 sebelum Hijjriah-
65 Hijriyah) yang selalu menulis apa saja yang didengarkan dari Rosululloh
ditegur orang Kurais, beliau mengadukan masalahnya kepada Rosululloh dan
Rosululloh menjawab :
V حTقj قال kال mهl إ جl مkن lرmخT Tدkهk مTا ي kي Tفmسkى ب Vذkى ن lبm فTوTال mت اك حسين سليم أسد : إسناده صحيح سنن أبي داود ـ
(356 / 3محقق وبتعليق األلباني - )“Tulislah, demi dzat yang nyawaku ada ditangan kekuasaannya,
tidaklah keluar daripada-Nya selain haq”. (Riwayat Abu Dawud dengan
Sanad Shohih).
Mulai saat itu mulailah dilakukan penulisan hadist secara legal.
Dengan kegiatannya Abdulloah bin Amr bin Ash dapat
mengumpulkan hadist yang didengarkan dari rosululloh sebanyak 1000 hadist.
Hadist-Hadist tersebut dihafalkan disaksikan oleh keluarganya. Naskah yang
ditulisnya itu bernama “As-Shofiyah As-Shodiqoh”. Cucu beliau yang
bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan Hadist tersebut 500 buah hadist.
Naskah asli dari “As-Shofiyah As-Shodiqoh” tidak sampai kepada kita
menurut bentuk aslinya. Namun kutipannya banyak ditemukan dalam kitab
Musnad Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Tirmidzi, dan Sunan Ibnu
Majah. Penulis hadist lainnya adalah : Jabir bin Abdullah al Anshari 16 H s/d
17 H. Naskah beliau bernama “Shahiful Jabir” dan yang berikutnya adalah
Humam bin Munabbah (40 H. s/d 131 H.) Dia adalah seorang Tabiin Gurunya
adalah Abu Hurairoh, Hadist yang dikumpulkan termaktub dalam “Asshahifah
Asshahihah”. Berisi 138 Hadist. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya
menukil seluruh hadist Human Bin Munabbah. Imam Al-Buhari menukil
dalam beberapa bab.
Ketiga nsakah “Asshahifah Asshahihah”itu muncul pada abad pertama
Hijjriyyah, dan Shahiful tersebut adalah merupakan cikal bakalnya penulisan
Hadist Rosulillah Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam.
b. Hadist pada masa Kholifah Abu Bakar dan Umar
Upanya mengembangkan penulisan Hadist pada masa ini tidak
banyak, karena konsentrasi Kholifah pada masa itu terarah pada masayrakat
muslim yang mulai memudar dengan wafatnya Rosululloh, bahkan ketika
Kholifah Umar mengusulkan penulisan Al-Qur’an kedalam Mushaf, Kholifah
Abu Bakar tidak langsung menerima usulan tersebut dengan alasan bahwa itu
adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rosul.
Kondisi semacam itu membuat posisi Hadist tidak berada pada perioritas
perhatian Kholifah Abu Bakar dan Kholifah Umar.
c. Hadist pada Masa Kholifah Usman dan Ali
Pada masa ini alhamdulillah muali menjadi perhatian sahabat dan
tabi’in untuk dikumpulkan, karena keadaan para penghafal Hadist sudah
tersebar diberbagai penjuru wilayah kekuasaan Islam dan keadaan hadist
tersebar di pelosok-pelosok Negeri Islam.
Di Madinah ada Abdullah bin Umar, di Mekah ada Abdullah bin
Abbas, di Fusthat ada Abdullah bin Amr bin Ash, di Basrah ada Anas bin
Malik. Di Kaffah ada Abu Musa Al-Asyari, murid-murid Ali bin Abi Thalib
dan Ibnu Mas’ud. Masing-masing meraka berfatwa berdasarkan Hadist yang
ada yang mereka miliki. Di kalangan Syi’ah ada fatwa-fatwa, di kalangan
Khawarij ada fatwa-fatwa, di umat lain pun ada fatwa-fatwa. Fatwa-fatwa
tersebut seringkali datu sama lain yang bertentangan.
d. Hadist mengalami Pemalsuan
Pada masa inilah kehawatiran Abu Bakar dan Umar bin Khotob
menjadi kenyataan. Kalangan Syi’ah disinyalir banyak mengunakan Hadist
palsu untuk kepentiangan politik. Dan hal seperti ini terus berkembang sampai
kepada akhir abad pertama Hijriyyah. Oleh karena itu Kholifah Umar bin
Abdul Aziz pada awal abad kedua Hijriyyah muali menaruh perhatian akan
keberadaan Hadist yang demikian.
Beliau menulis surat ke Wilikota Masinah Abi Bakar bin
Muhammad bin Umar bin Hazmin (ibnu Haszmin) untuk meneliti hadist-
hadist Rosululloh dan menuliskannya. Dan dari mereka muncul Muhammad
bin Muslim bin Syihab Az-Zuhry (Ibnu Zuhry wafat 124 H.) sebagai
pentadwin hadist yang tidak mencampurkannya dengan fatwa sahabat maupun
Tabi’in.
e. Hadist Pada Masa Ulama Muta-Akhirin Mualai Abad IV H. s/d Masa Kini
Abad ke-4 adalah adad pemisah pengertian Ulama hadiost
Mutawoddumin dan Ulama hasit Mutaakhirin. Sampai pada abad ke-3
Hijjriyah para Ulama Hadist telah berjasa dalam mentadwinkan hadist,
sehingga hadist tersebar keseluruh pelosok kekuasaan Islam telah melakukan
penulisan, analisa serta mengkristalkan hadist dari hadist palsu dan tercampur
mana baur dengan fatwa sohabat maupun tabi’in sehingga mereka dapat
memisahkan mana hadist shohih, hasan, dan dhoif, serta dapat menentukan
mana yang maqbul dan mana yang mardud. Mereka oleh Muhaddistin
berikutnya dipandang Ulama senior yang mereka juluki dengan penghormatan
“Ulama Mutaqoddumin”. Sedangkan Ulama hadist berikutnya mereka berikan
predikat “Ulama Muta-Akhirin”.
Par Ulama Muta-Akhirin melakukan usaha penulisan hadist dengan
cara menuqil (memindahkan) hadist dari kitab-kitab yang disusun oleh Ulama
Mutaqoddimin. Kitab-kitab msyhur yang ditulis pada abad ke-empat ini adalah
: 1. Mu’jam Al-Kabir, 2. Mu’jam Al-Ausath, dan 3. Mu’jam Al-Shoghir.
Ketiga kitab ini ditulis oleh: imam Sulaiman bin Ahmada At-Tobarony”
(meninggal tahun 360 H.) 4. Sunan Ad-Daru Quthny karya Imam Abdul
Hasan bin Umar bin Ahbad Addaruquthny (306 – 385), 5. Shohih Abi
Awwanah karya Abu ‘Awwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrohim Al-Asfaroyiny
(wafat 354 H.) dan 6. Shohih Ibnu Huzaimah karya Ibnu Huzaimah
Muhammad bin Ishaq (wafat 311 H).
Kitab-kitab Muta-Akhirin ini lebih cebnderung kepada teknik
penulisan antara lain ada yang cenderung menampilkan Hadist-hadist hukum
seperti : 1. Sunanul Kubro karya Abu Bakar Ahmad bin Husein Ali Al-
Balhaqi (384 – 458 H.), 2. Muntaqol Akhbar karya Majduddin Al-Harrany
(wafat 652 H.), 3. Nailul Author syawah Mutaqol Akhbar oleh Muhammad
bin Ali As-Syaukany (1171 – 1250 H).
Ada juga kumpulan hadist-hadist targhib wat tarhib seperti : 1.
Attarghib wat Tarhib oleh Imam Zakiyuddin ‘Abdul ‘Adzin Almundziry
(wafat 656 H.), 2. Riyadhus Sholihin oleh Imam Muhyiddin Abi Zakariya An-
Nawawy (wafat 676 H.) dan 3. Dalilul Fa-Lihin oleh Ibnu ‘Allan Assiddiqy
(wafat 1057 H.).
Ada juga yang menyusun hadist dalam rangka membuat kamus
hadist yaitu : 1. Dakho-irul Mawa-rist Fid Dala-lati ‘Ala Mawa-dhi’il Ahaadist
oleh Al-Alla-mah As-Syayyid Abdul Ghani Al-Maqdisy An-Nabulisy di
dalamnya terdapat kitab atrof 7 Kutubus Sittah & Al-Muwattho (1143 H.), 2.
Alja- Mi’us Shoghir Fi Ahadistil Nadzir Basyir an leh Imam Jamaluddin As-
Suyuthy (849 – 911 H.), 3. Al-Mu’jamal Mafahros Ilaifadziil Hadistin
Nabawy oleh Dr. A.J. Winsinc dan 4. Miftah Kunujis Sunnah oleh Ustdz
Muhammad Fuadz Abdul baqi.
6. Kedudukan hadist Dalam Ilmu Ke Islaman Lain.
Al-Hadist adalah sumebr pengetahuan Islam yang kedua setelah Al-
Qur’an. Dalam kaitan ini hadist mempunyai andil dalam berkiprah untuk
tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Dasar pemikiran
tersebut vertumpu pada berbagai alsan anatara lain :
a. Penegasan Alloh tentang perintah mentaati rosul secara penuh
b. Kedudukan Hadist sebagai wahyu Idhofy
c. Para Shahabat sepakat menjadikan hadist sebagai nara sumber dalam
menetapkan fatwa atau Ijtihad, dan pelaksanaan qodho diantara mereka.
Sebagai contoh bahwa Abu Bakar bila diduntut untuk menetapkan suatu
ketetapan hukum selalu mencarinya dalam Al-Qur’an. Ketika beliau tidak
menemukannya maka beliau mencoba mencarinya dalam Hadist Nabi. Bila
masih tidak ditemukan beliau mencoba mencari tahu dari para sahabat apakah
ada diantara mereka yang tahu bahwa Rosululloh pernah menetapkan hukum
untuk hal yang sama. Bila ternyata kata sahabat : “ada”, maka Abu bakar
menetapkan ketetapan itu dengan berdasar kepada Hadits Rosul, meskipun
yang ditemukan oleh sahabatnya. Demikian pula kholifah Umar yang selalu
mengikuti pola tindakan Abu Bakar dalam mengambil keputusan.
Dari segi kaitan Fungsinya terhadap Al-Qur’an hadist dapat ditetapkan :
a. Sebagai Mubayyin (penjelas) terhadap apa yang secara umum telah
diungkapkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana hadist tentang cara melakukan
sholat dan Manasik Hajji.
b. Dalam berbagai hal yang Al-Qur’an telah memberikan keterangan baik
secara rinci maupun secara Ijma’, hasit merupakan sumber Hukum yang
berdiri sendiri. Hal ini terjadi pada kasus Qodho. Artinya pasa saat Rosululloh
menetapkan keputusan hukum umumnya keputusan hukum itu
ditetapkanberdasarkan Ijtihad Rosul. Dengan demikian maka Ijtihad Rosul
tersebut adalah Sunnah /Hadist Rosul yang berdiri sendiri.
c. Hadist sebagai dasar hukum melakukan Ijtihad, seperti yang maknya
tersirat pada point nomor dua, yaitu bahwa Ijtihad Rosul sebagai uswah
hasanahnya Rosul dalam bidang Hukum. Rosululloh bersabda kepada Muadz
bin Jabal ketika dalamd dialognya tentang “Bimaa Tahkum” salah satu
jawaban Muadz “Ajtahidu Ro’yi”.
“Alhamdulillah Alladzi Waf-faqo Rusula –Rosulillah Bimaa yardhoo
Rosuululloh”.
Yang artinya kurang lebih : Segala puji bagi Alloh yang telah memberi taufiq
pada utusan Rosululloh dengan apa yang Rosululloh setuju.
7. Unsur-Unsur Hadist
Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam hadits diantaranya yaitu :
a. Rowi yaitu orang yang menyampiakan menuliskan suatu kitab apa-apa
yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya.
b. Matnu’l Hadits yaitu pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over
oleh sanad yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rosululloh saw. sahabat
ataupun tabi’in.
c. Sanad yaitu jalan yang dapat menghubungkan materi hadits kepada
Junjungan kita Nabi Muhammad saw.
I.2 IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata berbahasa Arab ijtihad yang berarti penumpahan segala upaya dan kemampuan. Maka ijtihad di sini hampir identik dengan makna jihad, hanya saja kata jihad lebih berkonotasi fisik, sementara jihad menggunakan akal (ra’yu). Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216). Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Kata atau istilah yang sangat terkait dengan ijtihad adalah ra’yu, yangb secara harfiah berarti melihat. Kata ra’yu bisa juga berarti perenungan (tadabbur) dan pemikiran secara kontemplatif (al-tafkir bi al-’aql). Kedua kata tersebut (ijtihad dan ra’yu) sebenarnya sangat terkait dan sulit untuk dipisahkan, mengingat tentang aktivitas ijtihad mustahil dilepaskan dari penggunaan ra’yu. Karena itu, bisa dikatakan ra’yu sebagai sumber ijtihad dan ijtihad merupakan jalan yang ditempuh ra’yu dalam menghasilkan suatu hukum. Dari sinilah, para ulama sering menggabungkan dua kata tersebut menjadi satu, yakni ijtihad bi al-ra’yi. Istilah ini juga ditemukan dalam hadis Muadz yang ketika ditanya Nabi mengenai apa yang ia lakukan dalam memutuskan perkara ketika tidak ditemukan aturannya dalam al-Quran dan Sunnah, ia menjawab “Aku berijtihad degan ra’yi-ku”.
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap
mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Tujuan Ijtihad
Untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah SWT di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Persyaratan Melakukan Ijtihad
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kriteria atau ketentuan bagi siapa saja yang melakukan ijtihad. Dari berbagai pendapat yang ada, berikut ini akan disebutkan persyaratan khusus bagi seseorang yang melakukan ijtihad yaitu:
1. Menguasai “ilmu alat” yang dalam hal ini adalah bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya, karena sumber pokok hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah yang berbahasa Arab.
2. Menguasai al-Quran yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Seorang mujtahid juga harus menguasai ilmu-ilmu al-Quran, termasuk ilmu asbabun nusul (latar belakang diturunkannya ayat-ayat al-Quran).
3. Menguasai Sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam kedua.
4. Mengetahui ijma’ ulama. Seorang mujtahid harus mengetahui ijma’ ulama, karena dengan ijma’ ini berarti ia akan mengetahui peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya telah di-ijma‘-kan ulama, sehingga ia tidak memutuskan hukum yang sudah ada ketentuannya.
5. Mengetahui qiyas. Qiyas disepakati oleh jumhur ulama sebagai salah satu cara menemukan hukum.
6. Mengetahui maqashid al-syari’ah (maksud-maksud ditetapkannya hukum).
7. Mengetahui ushul fikih.
8. Mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), karena masalah-masalah baru bermunculan seiring perkembangan dan kemajuan IPTEK.
Lapangan Ijtihad
Secara sederhana dapat diketahui bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang ketentuan hukumnya tidak dijelaskan al-Quran dan Sunnah. Masalah-masalah yang dapat diijtihadkan adalah sebagai berikut:
1. Masalah-masalah yang ditunjukan oleh nash yang zhanniy (tak pasti), baik dari segi keberadaannya (wurud) maupun dari segi penunjukannya terhadap hukum (dalalah). Masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniy itulah yang menjadi lapangan ijtihad. Sedang masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang qath’iy tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad.
2. Masalah-masalah baru yang belum ditegaskan hukumnya dalam nash.
3. Masalah-masalah baru yang belum di-ijma-kan.
4. Masalah-masalah yang diketahui illat (alasan) hukumnya seperti dalam masalah muamalah. Masalah-masalah yang tidak diketahui illat hukmnya tidak boleh dijadikan sasaran ijtihad, seperti ketentuan-ketentuan dalam beribadah.
Jenis-jenis ijtihad
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi) 1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan
titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsân
Beberapa definisi Istihsân 1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...
Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
1.4 SIKAP MUSLIM TERHADAP HUKUM ISLAM
Tunduk Kepada Syariat Allah Sikap Seorang Mukmin
Diwajibkan bagi seorang Mukmin untuk menerima semua hukum Allah swt serta
tunduk kepadanya baik dalam perkara-perkara yang bisa dicerna oleh akalnya maupun tidak.
Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa tidaklah Allah menentukan halal atau haram pada
sesuatu kecuali didalamnya terdapat kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya.
Firman Allah swt:
TهV الل kِصmعT ي mنTمTو mمkهkرmمT أ mنkم lُة TرT ي kخm ال lمlهT ل Tونl Tك ي mنT أ ا aرmم
T أ lهl ول lس TرTو lهV الل قTضTى kذTا إ sةT مlْؤmمkن TالTو sنkمmْؤlمk ل TانT ك وTمTا
aا ( kين مlب aال TالTض VلTض mدTقTف lهT ول lس TرT36و(
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33] : 36)
lمlه Tَكk Tِئ lول وTأ Tا TَطTعmن وTأ Tا مkعmن Tس lوا Tقlول ي mنT أ mمlهT mن Tي ب Tمl Tحmك kي ل kهk ول lس TرTو kهV الل kلTى إ دlعlوا kذTا إ Tينk mمlْؤmمkن ال TلmوTق TانT ك VمTا kن إ
) Tونlحkلmفlمm )51ال
Artinya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar,
dan Kami taat". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur [24] : 51)
Dalil-Dalil Diharamkannya Khamr, Judi dan Zina
Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin bahwa khamr (minuman keras),
perjudian dan perzinahan adalah perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah swt
berdasarkan kitab, sunnah dan ijma ahli ilmu.
Beberapa dalil tentang pengharaman khamr dan perjudian, diantaranya:
Firman Allah swt:
mمl Vك TعTل ل lوهl kب Tن ت mاجTف kانTطm ي Vالش kلTمTع mنkم xسmجkر lم Tال mزT mاألTو lابTصm Tن mاألTو lر kسm mمTي وTال lرmمTخm ال VمTا kن إ lوا TمTن آ TينkذV ال yهTا يT أ Tا ي
) Tونlحkلmفl mرk) 90ت ذkك mنTع mمl TصlدVك وTي kر kسm mمTي وTال kرmمTخm ال فkي TاءTضmْغT mب وTال TُةTاوTدTعm ال lمl Tك mن Tي ب Tَعkوقl ي mنT أ lانTطm ي Vالش lيدkرl ي VمTا kن إ
) TونlهT mت مlن mمl mت Tن أ mلTهTف kُة TالVالص kنTعTو kهV )91الل
Artiny : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah [5] : 90-91)
Abu Daud dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar berkata,"Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, 'Semoga Allah melaknat khamr, peminumnya, yang
menuangkannya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang diperaskannya, orang
yang membawanya dan orang yang dibawakan kepadanya'."
Kata-kata laknat didalam hadits tersebut menunjukkan perbuatan itu tergolong dosa
besar di sisi Allah swt.
Adapun dalil tentang diharamkan perzinahan dan termasuk dosa besar, diantaranya
firman Allah swt:
) aيالk ب Tس Tاء TسTو aة TشkاحTف TانT ك lهV kن إ Tا ن الز| lوا ب TرmقT ت TالT32و(
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17] : 32)
Sedangkan diantara dalil hadits adalah apa yang diriwayatkan Imam Bukhari
dan Muslim; Dari 'Abdullah dia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam; 'Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?' Beliau menjawab,
'Bila kamu menyekutukan Allah, padahal dialah yang menciptakanmu'. Aku berkata,
'tentu itu sungguh besar'. Aku bertanya lagi, 'Kemudian apa?' Beliau menjawab,
'Apabila kami membunuh anakmu karena takut membuat kelaparan'. Aku bertanya
lagi, 'kemudian apa?' beliau menjawab, 'Berzina dengan istri tetanggamu'."
Kesempurnaan iman seorang Muslim juga ditentukan dengan penerimaan dan
ketundukannya kepada syariat Allah swt. Keraguan sedikit saja terhadapnya maka ia telah
merusak keimanannya. al Lajnah ad Daimah didalam fatwanya No. 19446 menyebutkan
bahwa barangsiapa yang berkeyakinan selain itu—diharamkannya khamr—sementara dia
mengetahui keharamannya—maka ia murtad karena mengingkari apa yang telah diketahui
keharamannya secara umum dalam agama islam berdasarkan dalil-dalil syar’i dan ijma ahli
ilmu.
SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HADIST
Kedudukan As Sunnah di dalam Al Qur’anPerlu diketahui bahwa patuh dan ta‘at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah patuh dan tekun menjalankan Sunnahnya, mengamalkan. Dan patuh kepada Sunnah berarti patuh dan taat kepada Allah shubhaana wa ta’ala . Berikut ini dalil-dalilnya:
1. Perintah ta‘at kepada Allah dan kepada rasul-Nya, disebutkan secara bergandengan di dalam al-Qur’an:“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya)” (QS. 8:20)
Dan di dalam ayat yang lain disebutkan, artinya:“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (Qs.8:24)
2. Allah menegaskan, bahwa petunjuk (hida- yah) itu sangat tergantung kepada ketaatan dan ittiba’ kepada Nabi Nya.“Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. 7:158) Dan firman Nya,“Katakanlah, “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” (An Nur: 54)
3. Allah telah menetapkan rahmat Nya bagi para pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjanjikan keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat atasnya.“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. 7:156)
4. Sahnya iman seseorang sangat tergantung kepada kepatuhan terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,, menerima dan lapang dada atas keputusan itu.“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. 4:65)5. Allah telah memperingatkan bahwa menyelisihi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebab kehancuran dan terjerumus dalam fitnah. Sebagaimana yang telah difirmankan, Artinya:”Maka hendaklah orang- orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”(QS. 24:63)6. Allah telah menetapkan bahwa cinta Allah dan ampunan-Nya hanya bisa diraih dengan mengikuti Rasul -Nya:Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.”(QS.3:31)Demikian penjelasan dari al-Qur’an yang mengajak kita semua kaum muslimin untuk berpegang kepada sunnah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena segala ucapan beliau yang berkaitan dengan agama bukanlah berasal dari kemauan hawa nafsunya, tetapi atas bimbingan wahyu Allah.Penjelasan dari As Sunnah (Hadits)o Amat banyak hadits Nabi yang memerintahkan setiap muslim untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan melarang berbuat bid’ah (menyelisihi sunnah). Di
antara sabda Nabi yang menegaskan hal itu adalah:Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Artinya: “Seluruh umatku akan masuk surga kecu-ali orang yang enggan.” Lalu ditanyakan, Siapakah yang enggan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku, maka masuk surga, dan barang siapa yang bermaksiat kepada-ku maka dia telah enggan (masuk surga)” (HR. Al Bukhari)o Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Artinya, “Biarkan aku dengan apa yang telah kutinggalkan untuk kalian (terimalah ia), sesungguhnya yang telah membinasakan orang sebelum kalian adalah (disebabkan) mereka banyak bertanya dan banyak menyelisihi nabi mereka. Jika aku melarang kalian dari mengerjakan sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.” (Muttafaq Alaih)
o Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah), “Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (perpegang eratlah terhadapnya), dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan at Tirmidzi dan berkata at Tirmidzi, “Hasan Shahih”)
Sikap Shahabat Nabi terhadap As-Sunnaho Berkata Abu Bakar as Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tiada sesuatu pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali aku melakukannya dan tidak pernah aku meninggalkannya. Aku khawatir jika aku meninggalkan sedikit saja yang beliau perintahkan, maka aku akan menyimpang.”o Berkata Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika memegang hajar aswad, “Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi madharat dan manfaat, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.”o Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sederhana dalam melaksanakan sunnah, lebih baik daripada banyak dan giat di dalam melakukan bid’ah.”o Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma apabila sedang meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang yang melihatnya mengira ada sesuatu yang tidak beres padanya (seperti tidak wajar). Bahkan Nafi’, maula (klien) beliau mengatakan, “Kalau aku melihat Ibnu Umar sedang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh aku mengatakan, ini adalah sesuatu yang gila.”o Ibnu Abbas juga pernah berkata, “Wahai manusia, aku khawatir kalau turun hujan batu dari langit, (lantaran) aku katakan pada kalian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kalian menyanggah dengan mengatakan “Abu Bakar berkata begini dan Umar berkata begitu!.” Wallahu a’lam (Al Balagh Edisi 18 Muharram)
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta
Barat
Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000
Dr. M. Ali Fayyad. Metodologi Penetapan kesahihan Hadits. Bandung. Pustaka Setia : 1998.
Abdul Wahab Kholaf, Prof. Dr., Ilmu Ushul Fiqh, 2002
DAFTAR PUSTAKA
Inyong. 2012. Sumber Nilai Islam. Tersedia di : http://bwi03.wordpress.com/sumber-nilai-
islam/. [diakses pada tanggal : 23 April 2012].
Darkness, Prince. 2007. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama dan Utama.
Tersedia di : http://forum.dudung.net/index.php?topic=3414.0. [diakses pada tanggal :
23 April 2012].
Syafe’I, Makhmud. 2001. Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai Islam. Tersedia di :
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/MKDU/195504281988031MAKHMUD_SYAFE'I
/AL-QUR%92AN_SEBAGAI_SUMBER_NILAI_ISLAM_(4_HALAMAN).pdf.
[diakses pada tanggal : 23 April 2012].