Makalah Agama Husna

27
TAFSIR BI AL RA’YI PENDAHULUAN Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah- masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir. Ketika masa salaf berakhir yaitu sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat- ayat Alqur’an dan hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al- ra’yi. 1 Meskipun tafsir bi al-ra’yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Meskipun pendapat mereka berbeda, namun setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya, kedua 1 Nashruddin Baidan. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. h. 46. 1

description

kakaka

Transcript of Makalah Agama Husna

TAFSIR BI AL RAYI

PENDAHULUAN

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam

Arab" bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Quran yang membutuhkan tafsir.

Ketika masa salaf berakhir yaitu sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-rayi. Meskipun tafsir bi al-rayi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Meskipun pendapat mereka berbeda, namun setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya, kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ray (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran penafsiran Alquran dengan ijtihad yang berdasarkan Alquran dan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mutabarat (diakui sah secara bersama). PEMBAHASAN

PENDEKATAN TAFSIR Bi Al-RA`YIA. Makna dan Konsep Tafsir Bi al-RayiPemahaman makna ayat berpedoman kepada penjelasan Al-Quran, Sunnah Rasulullah atau keterangan sahabat, selain itu juga dilakukan dengan kemampuan yang ada pada akal melalui ijtihad. Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi ar-rayi adalah antonim (lawan) dari nas dan riwayat. Rayu berasal dari kata raaya, yang berarti melihat dengan akal pikiran, rayu dapat juga diartikan sebagai berikut:

1. Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang yang sering mempergunakan qiyas disebut Shahibul Rayi, yaitu orang-orang yang suka menggunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan dalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadist atau atsar).

2. Al-Ijtihad, arti inilah yang dimaksudkan dengan rayu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafsir bi Ar-Rayi sering juga disebut dengan tafsir bi Al-Ijtihad, atau tafsir Al-Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan mengguakan ijtihad.

Tafsir bil al-rayi (tafsir berdasarkan pikiran) ini juga disebut tafsir bil aqli, tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-maqul bagi mufassir yang mengandalkan ijtihad mereka dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tabiin. Sandaran mereka adalah bahasa arab, budaya arab yang terkandung di dalamnya, pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains yang amat diperlukan oleh mereka yang ingin menafsirkan Al-Quran . Makna bi ar-rayi menurut kamus ilmu Al-Quran adalah ijtihad dan olah pikir serta penelitian dalam memahami Alquran dalam batas pengetahuan tentang bahasa Arab, dan dalam rangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Alquran; dari perangkat syarat keilmuan dan akhlak.

Para ulama mengajukan beberapa defenisi yang agak berbeda mengenai tafsir bi Ar-Rayi, sebagaimana yang dikutip berikut ini:

1. Menurut M. Aly Ash-Shabuny: Tafsir bi Ar-Rayi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.

2. Menurut Manna al-Qaththan: Tafsir bi al-Rayi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan mengambilnya hanya berdasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari pemahaman yang berjiwa syariah dan yang berdasarkan kepada nash-nashnya.

Al-Qurthubi berkata: Barang siapa yang menafsirkan Alquran berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah maka ia adalah orang yang keliru dan tercela, dan termasuk orang yang menjadi sasaran hadis yang disebutkan di atas. Untuk itu bagi mufassir mesti memiliki pedoman dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam manafsirkan Alquran.Persyaratan bagi seorang mufassir adalah mereka harus menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam tafsir diantaranya adalah bahasa Arab dari nahwu, sharaf, isytiqaq, lughah, balaghah, qiraat, ushuluddin, ushul fikih, asbabun nuzul, dan nasikh mansukh. Hadis-hadis penjelas Alquran, fikih, dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT. Sebagian ulama juga mensyaratkan bagi penafsir kebersihan hati dari penyakit sombong, hawa nafsu, bidah, cinta dunia, dan senang melakukan dosa, karena ini semua yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT.

Adapun pedoman yang harus dipenuhi dalam penafsiran secara rayu, terdiri atas empat pokok sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan, yaitu:

1. Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadis-hadis yang dhaif dan maudhu.2. Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai kepada Nabi).3. Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.4. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara.

Sementara itu Dr. Ali Hasan al-Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh Mufassir bi al-Rayi yaitu:1. Memaksanakn diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedang ia tidak memenuhi syarat untuk itu.

2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menganggap baik sesuatu berdasarkan prinsipnya).

4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung madzhab yang salah dengan cara menjadikan pada madzhab sebagai dasar.

5. Menafsirkan Al-Quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung dalil.

B. Contoh-contoh PenafsiranPerlu diketahui dalam tafsir dengan rayu ini terbagi ada yang penafsirannya mahmud (terpuji) dan ada yang tafsirnya mazmum (tercela).Tafsir mahmud adalah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks Al-Quran. Adapun tafsir mazmum ialah bila Al-Quran ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Allah itu ditafsirkan menurut pendapat yang salah dan sesat, atau mendalami Kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuannya semata-mata, di mana ia menyatakan bahwa Kalam Allah itu maksudnya ini...atau itu... Tafsir yang semacam ini adalah tafsir yang mazmum atau tafsir yang salah. Kata-katadengan benda-benda terkecil misalnya atom, newton dan energy yang oleh ulama-ulama klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, semut gatal dan lain-lain.KataAl-Qolamoleh ulama salaf bahkan kebanyakan ulama kholaf pun diartikan sebagai pena, penafsiran tersebut tentu saja tidak salah karena alat tulis yang paling tua usianya adalah pena. Akan tetapi untuk menafsirkan kata-kata Qolamundengan alat-alat tulis lain seperti pensil, pulpen, spidol, mesin tek, mesin stensil, dan komputer pada zaman sekarang, agaknya juga tidak bisa disalahkan mengingat arti asal dari kata Qolamunseperti dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah alat yang digunakan untuk menulis. Jadi lebih tepat memang jika kita menafsirkan kata-kata Qolamundengan alat-alat tulis yang menggambarkan kemajuan dan keluasan Al-Quran tentang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dari pada sekedar mengartikan dengan pena yang bisa jadi hanya menyimbulkan kesederhanaan dunia tulis menulis disaat Al-Quran mengalami proses penurunannya.

C. Tokoh tafsir bi al-rayi dan metodologi tafsirnya

Sebelum penulis memaparkan tokoh tafsir bi al-rayi dan metodologinya, terlebih dulu penulis ingin menjelaskan sedikit gambaran sistem kategorasi metode tafsir yang lebih mudah dipahami secara epistemologi dan berdasarkan atas metodologi modern ialah sebagai berikut.Dalam memahami metode tafsir perlu diklasifikasikan, setidaknya, bardasarkan atas empat hal; (1) sumber tafsir, (2) metode pengumpulan ayat, (3) paradigma tafsir; dan (4) metode analisis tafsirnya. Apabila ditinjau dari sumber tafsirnya, maka tafsir dapat dibagi pada tafsir bi al-matsur, tafsir bi al-rayi, dan tafsir muqarin. Akan tetapi apabila ditinjau dari metode pengumpulan ayatnya, dapat dibagi pada tafsir tahliliy dan tafsir maudhuiy.

Sementara itu, ditinjau dari paradigma yang digunakan dalam memberikan penafsiran, maka dapat dibagi pada berbagai ilmu/teori/filsafat yang digunakan, sehingga berdasarkan atas paradigma yang digunakan, maka tafsir dapat dibagi pada tafsir shufiy, tafsir fiqhiy, tafsir falsafiy, tafsir ilmiy, tafsir adabiy, dan sebagainya. Sedangkan berdasarkan atas metode analisisnya, maka tafsir dapat dibagi pada tafsir ijmaliy dan tafsir tafshiliy.

Di antara tokoh mufassir dan metodologinya yang menggunakan bentuk tafsir ini adalah1. Syekh Muhammad Umar bin Husein bin Hasan bi Ali Ar-Razi (w. 606 H)Muhammad Umar bin Husein bin Hasan bi Ali Ar-Razi bergelar Fakhruddin dan dikenal juga dengan sebutan Ibnu Al-Khatib. Beliau lahir pada 15 Ramadhan tahun 544 H, tafsir beliau adalah Mafatihul Gaib. Metode penafsiran beliau adalah tahliliy ataupun ilmiy. Menghimpun pendapat beberapa ulama tafsir di kalangan sahabat maupun setelahnya. Mengutamakan munasabah antara surah dengan yang lainnya berdasarkan hikmah, membahas secara detail tentang ayat-ayat kauniyah yang dihubungkan dengan kalam tauhid aqliyah lainnya. Membutuhkan banyak pendapat filosof kalam setelah beliau menyaringnya serta telah merujuknya pada kitab-kitab hadis. bila beliau menyebut ayat tentang hukum, beliau menyebutkan semua pendapat 4 Imam madzab, namun lebih cenderung pada madzhab Syafii. penafsiran beliau dapat dikatakan membahas seluruh aspek keilmuan secara meluas, sehingga hampir melupakan tentang ilmu tafsir di dalamnya. 2. Imam Abdullah bin MuhammadImam Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama Al-Khazin, wafat pada tahun 741 H. Tafsirnya dinamakan Lubabut Tawil fi Maanit Tanzil, yaitu tafsir yang terkenal dengan matsur, tetapi tidak pernah menyebutkan sanadnya. Redaksinya tidak berbelit-belit dan tidak sulit dipahami. Ia senang memperluas riwayat dan kisah-kisah. Kadang-kadang dalam tafsirnya ia menyebutkan riwayat atau cerita-cerita israiliyat dengan maksud untuk mengingatkan yang batal, kemudian ia menuturkan kisah-kisah yang panjang lalu menunjukkan kelemahan dan kedustaannya. Tetapi kadang-kadang ia diam saja sehingga si pembaca menduga bahwa riwayat ini benar. Secara global, tafsir ini bagus dan indah, apalagi kalau di dalamnya tidak banyak dimuat kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang tidak baik, lemah dan tidak benar.

Dalam penafsirannya, beliau menggunakan metode tahliliy. Mufassir menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan urutan dan susunan dalam mushaf Al-Quran. Mufassir memulai tafsirnya dengan mengemukakan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan penjelasan maksud ayat secara global. Dalam kajiannya, mufassir ini juga menggunakan munasabah atau kolerasi ayat-ayat serta menjelaskan bentuk hubungan antara satu ayat dengan ayat lain. Selain itu, mufassir juga menerangkan latarbelakang turunya ayat dan menopang uraian dengan hadis, pendapat sahabat, pendapat ulama, dan pandangan mufassir sendiri. Sedangkan corakk tafsirnya yaitu telaah sejarah dan kisah-kisah.

3. Syekh Al-Hasan Muhammad An-Naisaburi (w. 728 H) dengan tafsirnya Garaibul Quran wa Ragaibul Furqan. Tentang metodologi tafsirnya, Naisaburi menuturkan, Awalnya aku menyebutkan kata dalam Al-Quran berikut terjemahnya dengan gaya bahasa yang retorik; menegaskan pentakdiran dan mengungkap kata ganti yang samar; menakwilkan makna yang kabur (al-muthasyabihat); menjelaskan bahasa al-Kinayah, majas dan metafora (al-istiarah).Gaya terjemah seperti ini memang banyak memberikan masukan pengetahuan. Namun tidak sedikit penerjemah yang keliru dalam melakukan penerjemahan. Hal ini tidak banyak diketahui oleh mereka yang baru mempelajari dasar bahasa Arab. Terlebih mereka yang asing dan tidak memahami kesusastraan. Beliau berusaha semaksimal mungkin untuk menyederhanakannya hingga mudah dicerna; mendekatkan semua tingkat kemampuan intelektual dalam neraca yang paripurna; tidak berbelit hingga membosankan dan tidak terlalu ringkas kemudian menjadi buram. Sebab ungkapan yang sederhana tetapi mampu menunjuki sungguh jauh lebih baik. Cukuplah bekal untuk sampai ke tujuan.Naisaburi kemudian memulai proyek tafsirnya seperti telah disinggung di atas. Diawali dengan mengelompokkan ayat-ayat tertentu. Selanjutnya menyual tentang qiraat dan waqaf. Setelah itu, Naisaburi mulai melakukan penafsiran yang kerap dikomentari dengan takwil.Seumpama ketika menafsirkan firman Allah, Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah aku anugrahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat. Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat yang di hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka ditolong. (QS Al- Baqarah: 48) QiraatWala Taqbalu dengan menggunakan al- ta: Merupakan Qiraat Ibnu Katsir, Abu Amar, Sahl dan Yaqub.WaqafAl-Alamin adalah akhir ayatYunsorun adalah akhir ayat.

Tafsir pernyataan ini kembali dikemukakan Allah sebagai penegasan alasan dan wanti-wanti terhadap mereka yang tidak mengikuti Muhammad. Seakan Allah berfirman, Sekiranya kalin tidak mematuhiku sebab nikmat yang telah Aku anugrahkan, maka patuhilah aku karena takut adzabku dikemudian hari.Maksud Al-Alamin dalam ayat ini adalah sekelompok besar manusia. Seperti fiman Allah, kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia (QS. Al-Anbiya:71).Sangat mungkin Al-Alamin dimaksud bahwa aku telah melebihkan kamu atas segala umat di zamanmu. Sebab manusia yang hidup paska mereka tidak termasuk dalam kata Al-Alamin. Kemungkinan lain kata Al-Alamin lebih bersifat umum. Ditujukan kepada seluruh makhluk yang telah ada dan akan ada namun absolute dalam keutamaan. Kebenaran absout cukup tampak dalam satu potret firman Allah Sesungguhnya kami telah mengutus (Muhammad) dalam kebenaran : sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan dan kamu tidak akan diminta (pertangggungjawaban) tentang penghuni-penghunu neraka (QS. Al-Baqarah :119)4. Al-Bahrul Muhith yang disusun oleh Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi (W. 745 H). Tafsir ini dinamakan tafsir al-Bahru al Muhit, karena banyak berisi berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan materi tafsir.Metodologi beliau di dalam tafsir adalah yang pertama-tama beliau membicarakan mufradat-mufradat ayat yang beliau tafsir secara lafaz berlafaz yang diperlukan pada ilmu bahasa dan hokum-hukum nahwu yang mana lafaz tersebut belum tersusun. Kemudian beliau menafsirkan ayat dengan menyebutkan sabab an-nuzulnya jika ayat tersebut ada sebab turunnya, dan juga menyebutkan nasakh mansukh, munasabah, dan hubungan dengan ayat sebelumnya, di masukkan di dalamnya qiraat-qiraat baik itu syaznya ataupun yang dipakai yang dihadapkan pada ilmu bahasa arab dengan menukil pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf di dalam memahami maknanya. Beliau juga membicarakan tentang balaghahnya. Dan jika ada ayat-ayat yang berkaitan tentang hokum maka beliau memaparkan pendapat para fuqaha yang empat dan selainnya yang langsung disertai dengan dalil-dalil mereka, dan juga dengan menyebut kaidah-kaidah nahwu yang dianalisis pada penetapan dan pengambilan hukum atasnya kemudian ditutup pembicaraan pada kalimat yang terdiri dari ayat-ayat yang ditafsirkan secara mufradat dan tersusun dari apa yang mereka sebutkan dari ilmu bayan dan badi secara ringkas. Kemudian diakhir ayat diikuti dengan pembicaraan yang terpisah untuk menjelaskan isi kandungan ayat berdasarkan makna yang beliau pilih, kemudian beliau simpulkan dengan sebaik-baiknya dan terkadang beliau bermaksud benyebutkan bersama makna-makna yang tidak dipaparkan di dalam tafsir.

Selain kitab-kitab tafsir di atas masih ada lagi kitab-kitab tafsir lain yang memakai bentuk tafsir ini yaitu:1. Ruhul Maani karya Syihabuddin Muhammad Al-Alusi Al-Bagdadi (w.1270 H). Tafsir ini memuat beberapa pendapat ulama salaf baik dirayah maupun riwayah, mencakup pendapat ilmuan-ilmuan dan mengkompromikan ringkasan-ringkasan tafsir terdahulu. Tafsirnya dianggap sebagai sumber tafsir riwayah, dirayah, dan isyarah yang baik.2. An-Warut Tanzil karya Abdullah Al-Baidawi (W. 685 H), tafsir ini menggunakan metode tafsir riwayah dan dirayah, serta menguatkan dalil-dalil ahli sunnah, setiap surat selalu ditutup dengan hadits-hadits untuk menunjukkan keutamaan surat tersebut.3. Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Takwil karya Abdullah bin Ahmad An-Nasafi (W. 701 H), tafsir ini adalah tafsir yang paling ringkas dan paling sempurna dibanding tafsir-tafsir bi Rayi yang lain, mencakup segi irab dan qiraat, dan mengandung segala segi keindahan ilmu badi dan isyarah, tafsir ini tidaklah panjang. Namun dari sekian banyak kitab yang terkenal, Dr. Aly Hasan al-Aridh hanya mengkelompokkan lima kitab saja yang memenuhi kriteria dan syarat-syarat tafsir bi al-Rayi, yaitu:

( Tafsir al-Razy : Mafatih al-Ghaibi

( Tafsir al-Baidhawi : Anwar at-Tanzil wa Asroru at-Tawil

( Tafsir Abi Saud : Irsyad al-Aqli as-Salim

( Tafsir an-Nasafy : Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Tawil

( Tafsir Khazin : Lubab at-Tawil fi Maani at-Tanzil.

D. Kelebihan dan Kekurangan metode tafsir bi ar-RayyiMunculnya tafsir bi al-Rayi dalam dunia tafsir, merupakan sumbangan yang positif untuk perkembangan metode tafsir selanjutnya, karena mufassir dituntut untuk lebih kreatif dalam menggunakan potensi yang dimilikinya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan didukung pula oleh luasnya pengetahuan yang dimilikinya. Hanya saja banyaknya corak penafsiran seperti ini sering disalah gunakan oleh para mufassir untuk menafsirkan ayat demi kepentingan mazhabnya ataupun kelompoknya.Keunggulan tafsir bil-royi adalah mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Quran secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan kekurangan tafsir bil-royi adalah terjadinya penafsiran yang dipaksakan, dan hal-hal tertentu sulit membedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subyektifitas mufasirnya.Agar lebih jelasnya, apa saja kelebihan dan kekurangan yang digunakan di dalam metode ini sebagai berikut:Metode-metode yang dipakai di dalam bentuk tafsir ini di antaranya:a. Metode tahlily1. Kelebihan

Pertama, tafsir dengan metode analisis ini mempunyai ruang lingkup yang amat luas, sehingga dapat dipergunakan oleh mufassir dalam dua bentuk yaitu: matsur dan ray. Bentuk ray dapat dikembangkan lagi dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.

Kedua, Para penafsir tahlili ini mempunyai peluang yang luas untuk menuangkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan ayat al-Quran. Karena mufassir mempunyai kebebasan dalam menuangkan idenya, maka tafsir analisis ini lebih pesat perkembangannya dibandingkan tafsir ijmali.

2. Kelemahan

Walaupun tafsir tahlili ini dinilai sangat luas garapannya, tapi menurut para mufassir kontemporer, ia tidak mampu menyelesaikan satu pokok bahasan secra koprehensif, karena sering sekali satu sisi pokok bahasan diuraikan sedangkan sisi lainnya pada ayat lain.b. Metode Ijmaly1. Kelebihan Praktis dan mudah dipahami, tafsir ijmali ini tidak berbelit-belit, sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran seperti ini dapat memudahkan bagi pemuda atau bagi mereka yang baru belajar tafsir Al-Quran, dan bagi mereka yang ingin memperolh pemahaman Al-Quran dalam waktu yang singkat. Berdasarkan kondisi yang demikian, metode tafsir ijmali banyak disukai oleh umat dari berbagai strata social dan seluruh lapisan masyarakat.2. Kelemahan Pertama, menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial. Ayat-ayat al-Quran kesemuanya merupakan kesatuan yang utuh, tidak bias dipisah-pisahkan. Seringkali suatu ayat masih bersifat samar-samar, maka jawaban atas ayat tersebut terdapat pada ayat yang lain. Karena sifat penafsirannya yang global dan ringkas, maka metode ini tidak bisa memberikan pemahaman yang jelas bagi pembacanya, sehingga tidak cukup memberi mengantar pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan persoalan social maupun problem keilmuan yang actual dan problematis.

c. Metode Muqaran1. Kelebihana) Dapat memusatkan perhatian dalam penggalian hikma dibalik redaksi ayat untuk kasus yang sama dan memilih redaksi yang mmirip untuk kasus yang berbeda. Dengan begitu, metode ini dapat menguras isi kandungan al-Quran, membuktikan komposisi ayat al-Quran yang tidak sembarang apalagi saling bertentangan, sekaligus mndemotrsikan kemujizatan al-Quran.b) Mengaitkan hubungan al-Quran dengan hadits yang dibandingkannya.2. Kelemahan

a) Kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan social yang tumbuh di dalam masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan pendapat ulama tafsir daripada memecahkan problema yang ada dalam masyarakat.

b) Terkesan lebih mengutamakan penafsiran-penafsiran ulama terdahulu daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran yang baru.d. Metode Maudhui1. Kelebihan

a) Merupakan cara yang paling efektif untuk mengkaji maksud ayat-ayat al-Quran secara utuh.

b) Menjawab tantangan zaman. Hal ini dikarenakan ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Quran. Dengan kata lain ia cepat menjawab persoalan hidup manusia secara konseptual dan praktis.

c) Praktis dan sistematis dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat

2. Kelemahan

a) Memenggal ayat al-Quan. Yaitu hanya mengambil satu kasus satu ayat atau lebih yang didalamnya mengandung banyak permasalahan yang berbeda.

b) Membatasi pemahaman ayat. Hal ini dikarenakan metode tafsir tematik ini menetapkan judul yang akan dibahas, sehingga pemahaman menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul tersebut.

Menurut penulis, seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Quran, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Karena itu tafsir corak ini sangatlah baik diterapkan di zaman sekarang, asalkan simufassir memenuhi dengan syarat-syarat tertentu dan kaidah-kaidah yang ketat, tidak hanya sekedar pemikiran (ijtihad) semata apalagi didasari atas kehendak atau hawa nafsu. Syarat-syarat yang dimaksud adalah:

a. Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya.

b. Menguasai ilmu-ilmu Al-Quran

c. Berkaidah yang benar.

d. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.Dan dalam metodologinya berpedoman pada kaidah-kaidah sebagaimana berikut:

a. Memulai alur pembicaraan sesuai dengan susunan kalimat dari sisi Irab dan balaghah.

b. Mendahulukan makna hakiki dari makna majazinya.

c. Memperhatikan sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabunnuzul).

d. Memperhatikan korelasi antara ayat pertama dan setelahnya.

e. Memperhatikan tujuan dasar dari runtutan suatu ayat.

f. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sejarah manusia secara umum ataupun khusus dikomunitas bangsa Arab.

g. Dalam menjelaskan makna dan istimbat hukum tetap berjalan di atas prinsip-prinsip kaidah bahasa, syariat dan ilmu pengetahuan.

h. Mengikuti aturan-aturan tarjih tatkala menemukan beberapa keberagaman makna.

PENUTUPPengertian tafsir bi ar-rayi yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai defenisi tafsir bi al-Rayi itu sendiri, yang pertama memberikan kesan positif terhadap tafsir bi al-Rayi dan menerangkan bahwa tafsir bi al-Rayi tidak hanya sekedar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga berdasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafsir bi al-Rayi yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan criteria yang lain. Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah difahami bahwa tafsir bi al-Rayi adalah menafsirkan al-Quran dengan berdasarkan pada pendapat ataupun ijtihad, dan tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan oleh sahabat atau thabiin, dengan memperhatikan kaidah bahasa arab.

Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-Rayi ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengandalkan kemampuan rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar memahami nilai-nilai yang dikandung al-Quran dan sunnah tetapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa diterima kredibilitasnya.

Dalam menafsirkan ayat Al-Quran ada dua hal yang harus digaris bawahi, yakni: 1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan penafsiran ayat Al-Quran. 2) Faktor yang menyebabkan kekeliruan dalam penafsiran, antara lain: Subjektivitas mufassir; Kekeliruan dalam menetapkan metode atau kaidah; Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat/bahasa; Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian /pembicaraan ayat; Tidak memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat; Tidak memperhatikan siapa pembicara ditujukan.

Walaupun penafsiran dengan bir rayi ini bebas dan kebebasan itu tidak dibatasi, namun hasil tafsir dapat dikategorikan pada empat kategori: (1) Penafsiran yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. (2) Penafsiran yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. (3) Penafsiran yang tidak diketahui kecuali ulama. (4) Penafsiran yang tidak diketahui kecuali Allah. Dari segi metodologi yang digunakan di dalam tafsir bi ar-rayi, para mufassir berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode tahlily, seperti yang dilakukan oleh Imam Ar-Razi dan Imam Khazin, begitu pula yang dipaparkan oleh Abu Hayyan al-Andalusi dengan menggunakan metode tahlily. Ada yang menggunakan metode maudhui, seperti yang dilakukan Imam Muhammad An-Naisaburi.

Salah satu metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran di antaranya adalah metode tafsir Al-Aqli Al-Ijtihadi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir bil al-rayi (tafsir berdasarkan pikiran). Tafsir ini juga disebut tafsir bi al-dirayah (tafsir berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-maqul. Tafsir bi Ar-Rayi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.Keunggulan tafsir bil-royi adalah mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat Al-Quran secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan kekurangan tafsir bil-royi adalah terjadinya penafsiran yang dipaksakan, dan hal-hal tertentu sulit membedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subyektifitas mufasirnya. Nashruddin Baidan. Metode Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. h. 46.

Manna al-Qaththan. Mabahis fi Ulum al-Quran. Mansyurat al-Ashr al-Hadis. 1973. h. 342.

Novairi husaini al-mundziri. HYPERLINK "http://wildaznov11.blogspot.com/2010/03/tafsir-aqli-al-ijtihadi-dan-tafsir.html" Tafsir Aqli Al-Ijtihadi Dan Tafsir Isyari (Tasawuf) HYPERLINK "http://wildaznov11.blogspot.com/2010/03/tafsir-aqli-al-ijtihadi-dan-tafsir.html" http://wildaznov11.blogspot.com/2010/03/tafsir-aqli-al-ijtihadi-dan-tafsir.html. diakses 7-10-2013.

Ahsin W. Al-Hafidz. Kamus Ilmu Al-Quran. Wonosobo: Amzah. 2005. h. 57.

Muhammah Ali Ash-Shabuniy. Studi Ilmu Al-Quran; terjemahan dari buku At-Tibyan Fi Ulumil Quran. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998. h. 258.

Manna al-Qaththan. Op. Cit. h. 362

Ibid.

Abdurrahman As-Suyuthi. Al-Itqan fi Ulum al-Quran. t.p. Juz. 2. h. 277.

Ahsin W. Al-Hafidz. op. cit.

Ibid. h. 264.

HYPERLINK "http://hafrinda212.wordpress.com/" Muhammad Hafrinda. Metode Tafsir bi Al-Rayi. ///www/metode tafsir bi al-rayi Muhammad Hafrinda 212's Blog.htm. diakses 7-10-2013.

HYPERLINK "http://hanumsyafa.wordpress.com/" \o "Hanumsyafa's Blog" Hanumsyafa. HYPERLINK "http://wildaznov11.blogspot.com/2009/01/tafsir-bil-royi.html" Tafsir Bil-Royi. HYPERLINK "file:///D:/my%20dokomen/bahan-bahan%20tugas%20S2/ulumul" ///www/ulumul quran/HanumsyafaBlog.htm. diakses 7-10-2013.

MF. Zenrif. Sintesis Paradigma Studi Al-Quran. Malang: UIN-Malang Press. 2008. h. 49.

Muhammad Husein al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. (Mesir: Dar al-Maktub al-Haditsah. 1976). h. 64.

Ibid.

Muhammad Husein al-Zahabi. Op. Cit. h. 59.

M. Idris. Tafsir. HYPERLINK "http://www.arratibi.blog" www.arratibi.blog spot.com/2009/11/tafsir. Diakses 7-10-2013.

Muhammad Husein al-Zahabi. Op. Cit. h. 64.

Mani Abd Halim Mahmud. Metodologi Tafsir. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006). h. 95-96..

Musaad Muslim Ali Jafar. Manahij al-Mufassirin. T.tp.: Dar al-Marifah. 1980. h. 130.

HYPERLINK "http://hafrinda212.wordpress.com/" Muhammad Hafrinda. op. cit. Bisa juga dilihat di dalam bukunya Ali Hasan al-Aridl. Tarikh al-Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin. Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.

Saifullah, dkk.Ulumul Quran. (Ponorogo: Prodikal Pratama Sejati (PPS) Press, 2004). hal.147.

Ibid. hal. 150-151.

Ibid. hal. 158.

M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. 1993. h. 79.

Az-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulumul Quran. Mesir: Isa Al-Hab Al-Halabi. 1957. h. 65.

17