Makalah Zikhirwan Bin Abd Latif Jarah Wa Tadil
description
Transcript of Makalah Zikhirwan Bin Abd Latif Jarah Wa Tadil
MATA KULIAH
ULUMUL QURAN DAN ULUMUL HADITH
TAJUK :
jarh wa ta’dil
OLEH :
ZIKHIRWAN BIN ABD LATIF
MAHASISWA MAGISTER
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITI ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM BANDA ACHEH
A)Pendahuluan
Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya.
Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah.
Al-qur’an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurniannya. Sedangkan Sunnah atau
sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul
SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua
setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an
yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai
kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.
Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun
setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan
perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para
periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya
muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul
Hadits.
Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu
yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al-jarh wa
ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang
keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak,
akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal,
perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang
begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya
Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena
terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak
mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang
mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya
sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah
SAW dan hadits yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana
hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.
B)Pembahasan
Pengertian ilmu jarh wa ta’dil
Kalimat al-jarh wa ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian,yang terdiri dari dua kata
al-jarh dan al-adl’. Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang
berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat
berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik
misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Di katakan juga
الشاهيد وغيره الحكيم yang bererti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang,جرح
menjatuhkan sifat adil saksi,berupa kedustaan dan sebagainya.
Secara istilah ilmu hadis, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan
seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang
disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang
sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh
periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan
sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi
tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang. Sedang al-
tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela
seseorang.
Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang
dimiliki seseorang. Orang yang adil bererti orang yang diterima kesaksiannya.ta’dil pada diri
seseorang berarti menilainya positif.Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti
mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian
tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu
yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus
mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang
rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-
lafadz tersebut.
1)Lihat Ibnu Mandzur.Lisan Al-Arab.Pokok kata J-R-H.Juz 3.1302H.hlm.246. 2)Ajaj Al Khathib,Usul Al-Hadits hlm 233 3)Lihat Ibnu Mandzur. 4)Ajaj Al Khathib,Usul Al-Hadits hlm 233 5) Ilm al-Rijāl wa Ahimmiyyatuh(‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani)
2
1
4
5
Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah
اوردها رواياتهم قبول حيث من الرواة احوال في يبحث الذي العلمIlmu yang membahaskan hal ihwal para perawi dari segi diterima atau di tolak riwayat mereka
Berdasarkan pengertian yang di kemukakan oleh beberapa ahli,ilmu al-jarh wa ta’dil merupakan suatu
materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahaskan cacat atau adilnya seorang yang
meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.
Asal Usul dan Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dil
Sejarah pertumbuhan ilmu al-jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits, karena bagaimanapun juga untuk
memilah dan memilih hadits-hadits shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam
sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadits yang maqbul
dan yang mardud.
Embrio praktek men-jarh dan men-ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah SAW
yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah (saudara
kerabat yang buruk) dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin Walid dengan
sebutan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian
banyak pedang Allah”.
Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah SAW tentang al-jarh
dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para Sahabat. Kita
dapat menemukan banyak kasus di mana Sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap
Sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits. Keadaan demikian berlanjut dan
dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar ilmu hadits berikutnya. Dalam hal ini
mereka menerangkan keadaan para perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan
mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan
seorang perawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang
dinilai negatif adalah keluarganya.
Syu’bah bin al-Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan
Hakim bin Jubair. Syu’bah yang dikenal sangat keras terhadap para pendusta hadits
berujar: راالن أخاف . Karena ketegasan dan keteguhannya inilah yang menjadikan Imam Syafi’i
berkomentar: بالعراق الحديث ماعرف لوالشعبة . “Seandainya tidak ada Syu’bah, niscaya
hadits tidak dikenal di Irak”.
6 Kitab Ulumul Hadis Drs. M. Agus Solahudin,M.Ag hlm 1587 http://inpasonline.com/new/al-jarh-wa-tadil-salah-satu-bukti-kehebatan-keilmuan-dalam-islam8 Kitab Jarh Wa Ta’dil hlm 229 Kitab Jamiu’l liakhlak Ar-rawi Wa Adab As sami’ hlm 149
6
7
8
9
Suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali al-Madini tentang kualitas
ayahnya. ‘Ali hanya menjawab: Tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanya tersebut
rupanya masih menginginkan jawapan ‘Ali al-Madini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-
ulang pertanyaannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, ‘Ali
berujar: 0ه الدين هذا ضعيف أن . “ini masalah agama, dia (ayah ‘Ali al-Madini) itu dla’if”.
Menyadari betapa urgen-nya sebuah penilaian hadits dalam hal rawi hadits, para
ulama hadits di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal
teliti dalam mempelajari kehidupan para rawi. Sebegitu telitinya, Imam Asy-Sya’bi pernah
mengatakan: “Demi Allah, sekiranya aku melakukan kebenaran sembilan puluh kali dan
kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku berdasarkan yang satu kali itu”.
Demikianlah para ulama telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap
keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil. Di samping mengiprahkan diri, para ulama juga
memotivasi para muridnya untuk turut adil mencari tahu keadaan rawi tertentu dan
menjelaskan kepada yang lainnya.
Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadits dalam menilai kualitas rawi,
mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding menyimpan emas, perak dan
barang-barang berharga lainnya. Kiprah menilai keadaan para perawi ditegaskan berulang kali
oleh para ulama hadits dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan
pemalsu hadits, yang pada gilirannya menjadi wasilah mengetahui kualitas dan nilai hadits.
Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan periwayatan hadits, yakni semenjak masa Rasulullah SAW dan para Sahabatnya.
Kemunculan hadis-hadis palsu itu secara erat kaitannya dengan kelompok-kelompok
di kalangan umat Islam, menyusul peristiwa terbunuhnya khalifah Ustman bin affan tahun
36 H. dan terbunuhnya Husein bin Ali tahun 61 H. menurut Ibnu Sirrin, sebagaimana dikutip
oleh Ali Mustafa Ya'qub, pada mulanya umat Islam tidak pernah menanyakan sanad hadis.
Akan tetapi, sejak terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, umat Islam selalu menanyakan
dari siapa hadis itu. Apabila hadis itu berasal dari orang-orang penyebar bid'ah maka mereka
menolaknya.
Sedangkan menurut Ibn ’Adi (365 H), ilmu Al-jarh wa at- ta’dil telah ada sejak zaman
sahabat. Bahkan menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, perkembangan ilmu Al-jarh wa
at-ta’dil sejalan dengan perkembangan periwayatan dalam Islam. Ia mengatakan bahwa para
ulama dulu telah membicarakan keadaan-keadaan para perawi. Hal ini identik dengan ilmu
Al-jarh wa at-ta’dil yang memang membahas keadaan para perawi itu. Diantara sahabat yang
pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah bin Shamit (34 H) dan
Anas bin Malik (39 H).
10) lihat asal kitab kami نشاة ulum hadis dan mustolahul hlm 13477 ص الحفاظ تذكرة (11
10
11
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah ini. Di antara para
tabi’in yang tercatat membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H) dan Sa’id bin al-
Musyaiyab (94 H).
Pada abad ke-2 H, sekitar pasca tahun 150 H, para ahli mulai memperketat dan ramai
membicarakan tentang keadaan para perawi ini. Dengan kata lain, perkembangan ilmu jarh
wa ta’dil mengalami kemajuan dengan bukti aktivitas para ahli yang semakin giat men-tajdid
dan men-ta’dil para perawi.
Di antara ulama besar yang memberi perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Said al-
Qaththan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdy (198 H).
Generasi sesudahnya adalah Yazin bin Harun (189 H), Abu Daud ath-Thayalisy (240 H) dan
Abdurrazaq bin Human (221 H).
Sedangkan penyusunan kitab-kitab tentang jarh wa ta’dil baru dilakukan setelah masa ini, atau
sekitar abad ke-3 H. Di antara pemuka-pemuka ilmu jarh wa ta’dil pada masa ini adalah
Yahya bin Ma’in (223 H), termasuk pada masa ini adalah Ahmad bin Hambal (241 H),
Muhammad bin Sa’ad (230 H), Ali bin Madiny (234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (235 H),
dan Ishaq bin Rahawaih (237 H).
Ulama-ulama lain yang tercatat pada masa itu adalah ad-Darimi (255 H), Al-Bukhari (256 H),
Muslim (261 H), Al-Ajali (261 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Daud (257 H), Abu Hatim ar-
Razi (277 H), Baqi ibn Makhlad (276 H), dan abu Zur’ah ad-Dimasqi (281 H).
Perkembangan ini terus berlanjut sampai pada masa Ibnu Hajar al-Asqalani (821 H), yang
menghasilkan karya Lisan al-Mizan, yang terdiri dari 6 jilid dan memuat kurang lebih 14.343
perawi.
Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah dan tradisi semacam
itu. Sebagaimana firman Allah yang tertuang dalam (Q.S. al-Ahzab : 70-71):
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.
12) http://tafsiralquranhadis.blogspot.com/2010/07/ilmu-jarah-wa-tadili.html
Syarat – Syarat Yang Melakukan Al-Jarh dan At-Ta’dil13
12
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian
untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan
para perawi dan keadilan mereka. Bagi yang berstatus sebagai mu’addil dan mujarrih
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut
1. Berilmu pengetahuan.
2. Takwa.
3. Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat).
4. Jujur.
5. Menjauhi.fanatik golongan
6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan
1. Berilmu pengetahuan.Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu
menguasai berbagai macam disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam
materi hadis. Karena mustahil bagi orang yang mentajrih atau menta’dil itu bisa memberikan
argumen-argumen atas tuduhannya jikalau tidak ada ilmu yang dimiliki. Disamping itu, ilmu
ini butuh penalaran yang sangat tinggi sehingga ilmu ini tidak menerima riwayat dari orang
yang kurang cerdas dalam berfikir.
2. Taqwa.Jadi, bagi orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh
Allah karena hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak
meyakini existensi sang Maha pencipta.
3. Wara’.Adapun yang dimaksud dengan wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat
atau perbuatan maksiat, hal-hal yang syubhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat.
Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan
yang dimurkahi oleh Allah.
4. Jujur.Ini adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam
memberikan persaksian bahwa si polan telah begini dan begitu. Karena tidak menutup
kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan orang yang tidak
disukai.
5. Menjauhi fanatik golongan.Syarat ini ada kaitannya dengan jujur karena orang yang tidak
menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan dalam
mempertahankan sekte yang dianut. Maka pada akhirnya, pendapatnya akan tidak jujur
disebabkan karena arogansi yang dimiliki oleh masing-masing sekte.
13) Nuruddin, ‘Ulum Al- Hadits 1 (Mannaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al- Hadits). (Damaskus: Dar al- Fikr Damaskus, 2005), 79-80.d/Kitab Ulumul Hadis Drs. M. Agus Solahudin,M.Ag hlm 158 dan Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 310-311.
6. Mengetahui sebab-sebab mentajrih atau menta’dil seseorang. Sebagaimana yang telah
diketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak diterima tajrih atau ta’dil
jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Olehnya itu, para ulama yang setuju dengan
pendapat diatas telah sepakat untuk memasukkan syarat bagi orang yang mentajrih atau
menta’dil bahwa harus ada penyebutan sebab-sebab, mengapa dia mentajrih atau menta’dil si
fulan
Olehnya itu, apabila kita menemui sebagian ahlli jarh dan ta’dil menjarahkan
ataupun menta;dilkan seorang perawi, maka kita tidak perlu segera menerima pendapatnya
tersebut tetapi hendaklah kita melakukan penelitian terlebih dahulu. Karena, kadang-kadagng
sebab-sebab yang digunakan untuk menjarah atau menta’dil itu setelah kita adakan
penyelidikan ternyata dapat dipakai untuk menolak tuduhannya.
1. F. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi.
Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama,
pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik,
sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia (perawi tersebut) bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu
pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya
lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui
perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang
perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan
diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai
pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari
ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur,
alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat
kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jelik oleh orang yang
menta’dil.
14 Ajaj Al-Khatib,Usul Hadis op.cit., hlm. 26715 Ajaj Al-Khatib,Usul Hadis op.cit., hlm. 267
14
15
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama
yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat
ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak,
namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama
lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya,
kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari
mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi
menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah
meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut Ajaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal
ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat
urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadits palsu.
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh wat-Ta’diil Menurut Ibnu Abi Haatim
Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
إلي كتابه في الدمشقي الحسن بن علي القاسم أبي الحافظ بن القاسم محمد أبو الحافظ أخبرنا
قال األسكندرية ثغر من إلى كتابه في أحمد بن محمد بن أحمد طاهر أبو الحافظ أخبرنا قال منها
أبو أنبأنا قال أبي أنبأنا قال إذنا الهروي أحمد بن عبد ذر أبي الحافظ بن عيسى مكتوم أبو أخبرنا
بن محمد حاتم أبي بن عبدالرحمن محمد أبو اإلمام أنبأنا قال األصبهاني عبدالله بن حمد علي
شتى : مراتب على والتعديل الجرح في األلفاظ وجدت قال الحنظلي إدريس
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Muhammmad Al-Qaasim bin Al-
Haafidh Abil-Qaasim ‘Aliy bin Al-Hasan Ad-Dimasyqiy dalam kitabnya yang ditulisnya
kepadaku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Haafidh Abu Thaahir Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad dalam kitabnya yang ditulisnya kepadaku dari pesisir negeri
Iskandariyyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Maktuum ‘Iisaa bin Al-
Haafidh Abi Dzarr ‘Abd bin Ahmad Al-Harawiy dengan izinnya, ia berkata : Telah
memberitakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Abu ‘Aliy
Hamd bin ‘Abdillah Al-Ashbahaaniy, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Al-
Imaam Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim Muhammad bin Idriis Al-handhaliy,
ia berkata : “Aku dapati lafadh-lafadh al-jarh wat-ta’diil itu bermacam-macam tingkatan”.
16 diterjemahkan Abul-Jauzaa’ dari buku Jawaabul-Haafidh Al-Mundziriy ‘an As-ilati fil-Jarh wat-Ta’diil hlm. 46-53
16
( التعديل : (مراتب
بحديثه - 1 يحتج ممن فهو ثبت متقن أو ثقة إنه للواحد قيل فإذا
وهي - 2 فيه وينظر حديثه يكتب ممن فهو به بأس ال أو الصدق محله أو صدوق إنه قيل وإذا
الثانية المنزلة
الثانية - 3 دون أنه إال فيه وينظر حديثه يكتب الثالثة بالمنزلة فهو شيخ قيل وإذا
لإلعتبار – 4 حديثه يكتب فإنه الحديث صالح قيل وإذا
Tingkatan-Tingkatan Ta’diil :
1. Apabila dikatakan pada seseorang bahwasannya ia tsiqah (terpercaya) atau mutqin lagi tsabt,
maka ia termasuk orang yang haditsnya dapat digunakan sebagai hujjah.
2. Apabila dikatakan bahwasannya ia seorang yang shaduuq atau mahalluhush-shidq(tempatnya
kejujuran) atau laa ba’sa bih (tidak mengapa dengannya), maka ia termasuk orang yang
ditulis haditsnya dan riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut). Ini adalah tingkatan kedua.
3. Apabila dikatakan ‘syaikh’, maka ini adalah tingkatan ketiga yang ditulis haditsnya dan
riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut). Hanya saja, kedudukannya di bawah tingkatan kedua.
4. Apabila dikatakan ‘shaalihul-hadiits’, maka ia ditulis haditsnya untuk i’tibaar.
( الجرح : (مراتب
إعتبارا - 1 فيه وينظر حديثه يكتب ممن فهو الحديث بلين الرجل في أجابوا وإذا
دونه - 2 أنه إال حديثه كتبة في األول بمنزلة فهو بقوي ليس قالوا وإذا
به - 3 يعتبر بل حديثه يطرح ال الثاني دون فهو الحديث ضعيف قالوا وإذا
وهي - 4 حديثه يكتب ال الحديث ساقط فهو كذاب أو الحديث ذاهب أو الحديث متروك قالوا وإذا
الرابعة المنزلة
عباراتهم من وجده عندما حاتم أبي إبن ذكره ما هذا
Tingkatan-Tingkatan Jarh :
1. Apabila para ulama menjawab predikat seseorang dengan sebutan ‘layyinul-hadiits’, maka ia
termasuk orang yang ditulis haditsnya dan riwayatnya perlu diteliti (lebih lanjut)
untuk i’tibaar.
2. Apabila para ulama berkata laisa biqawiy (tidak kuat), maka ia seperti tingkatan pertama,
hanya saja kedudukannya di bawahnya.
3. Apabila para ulama berkata ‘dla’iiful-hadiits’, maka kedudukannya di bawah tingkatan kedua
yang tidak dibuang haditsnya, namun digunakan sebagai i’tibaar.
4. Apabila para ulama berkata ‘matruukul-hadiits’ atau ‘dzaahibul-hadiits’ atau‘kadzdzaab’,
maka ia adalah orang yang haditsnya digugurkan, tidak boleh ditulis haditsnya. Ini adalah
tingkatan keempat.
Inilah yang disebutkan Ibnu Abi Haatim ketika mendapatkan perkataan-perkataan para ulama
(dalam al-jarh wat-ta’diil)”
Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas
perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli
hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam
melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan
sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-
masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam)
tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya
sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, , bظaير_ , ن cهb ل ليس aاسd الن ضبط أ dاس الن ثق أو
(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, aهa مaثل عbن و`b أ cنهbع cسألb ي b ال bن_ فcال
(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, , , حbفaظ_ aقbة_ ث مbأمcون_ aقbة_ ث aقbة_ ث aقbة_ ث
(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan
yang baik),
Keempat, , , , , ضابط, عدل حافظ عدل إمام حجة ثبت متقن
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , ,قصدو به بأس ال مأمون
(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang,
tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, , , الله, شاء إن صدوق صويلح الصواب من ببعيد ليس شيخ
(syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar)
Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan
lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan
kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai
penguatnya.
17
18
17) lihat asal kitab kami ulum hadis dan mustolahul hlm 27618)Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 310-311.
1. b. Tingkatan lafadz al-Jarh. Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan
tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan
jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah,
misalnya dengan kata-kata: الناس، الكذب أكذب ركن
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun
tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: ,وضاع كذاب
(pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan
(mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz
yang digunakan misalnya:
, , , , , jةbقa aث ب bيسb ل وق_ cترcم هbالaك_ bيثaدbالح cقaسرb ي aضعbالوa ب dهbم_ مcت aبaذb aالك ب dهbم_ مcت
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah.
Lafadz yang digunakan:
, , , , cهc حbدaيث cبb cكت ي b ال jيء bشa ب bيسb ل جaدmا ضbعaيف_ cهc حbدaيث bحaرcط cهc حbدaيث dد cر
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan
Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh
hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
ضbعaيف_ ،cوهcفdعbض ،aهa ب cجb cحت bي ال ، aيثaدbالح cبaرdضطcم
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah
mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
منه , ثق , , أو غير ضعيف فيه بحجة، ليس ل مقا فيه القوي بذلك ليس
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya
terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat
empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat
kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut
adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
19 Dr. Nawir Yuslem, M.A., op.cit.,h. 173
19
KITAB-KITAB ILMU AL-JARH WA TA’DIL
Kitab-kitab yang membahaskan ilmu al-jarh wa ta’dil,bibit-bibit mulai muncul pada abad ke-2 H,yakni ketika kodifikasi ilmu mulai marak di segenap penjuru wilayah Islam.
Karya-karya tersebut adalah karya-karya Imam Yahya Ibn Ma’in (158-233H),Ali ibn Al-madiny(161-234),dan imam Ahmad ibn Hanbal (164-241H).kemudian,muncul secara berturut-turut karya berikutnya yang luas uraiannya,mencakup berbagai bidang,berbagai pendapat para tokoh al-jarh wa ta’dil tentang rawi-rawi yang lebih banyak jumlahnya.Karya itu mencakup sekitar 40 karya,baik yang di cetak maupun yang masih berbentuk manuskrip,sampai abd V11 H.
Karya-karya tersebut memiliki ukaran yang berbeda-beda,mulai yang paling kecil yang terdiri dari satu jilid dan memuatkan ratusan rawi,sampai yang terbesar yang terdiri dari puluhan jilid dan memuatkan puluhan ribu rawi.
Metode yang digunakan pun berbeda-beda.Mulai dari yang membatasi karyanya dengan menyebut rawi-rawi yang dhaif dan kadzab saja,sampai ada juga yang membatasi pada rawi-rawi yang tsiqah saja.Namun,ada juga yang memadukan antara rawi-rawi tsiqah dengan rawi-rawi dhaif.Karya-karya ini sebahagian besar disusun secara alfabet/abjad.
Karya-karya yang pertama sampai kepada kita adalah kitab ma’rifat ar-rijal karya Yahya ibn Ma’in,kitab Adh-Dhu’afa’ karya Imam Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari(194-256H) dan telah di cetak di india pada tahun 1325 H.Dan bersamanya di cetak pula kitab Adh-Dhu’afa Wa Al-Matrukin karya Imam Ahmad ibn Syu’aib Ali An Nasa’i (215-303 H).
Karya-karya ulama mutaqaddimin yang paling lengkap adalah Al-Jrah Wa at-Ta’dil karya Abdurrahman ibn Abu Hatim Ar razi(240-327 H).Kitab ini terdiri daripada empat juz dalam format yang besar dan memuatkan 1.850 biografi.Dicetak di india pada tahun 1375H dalam sembilan jilid.Jilid pertama merupakan muqaddimah-nya,dan masing-masing juz lainnya terdiri dari dua jilid
Termasuk karya-karya yang populer adalah kitab Al-tsiqah karya Abu Hatim Ibn Hibban Al-Bustiy yang wafat tahun 354 H dan Al-Kamil Fi Ma’rifat Dhu’afa Al-Muhadditsin Wa ‘Iial Al-Hadist karya Al-Hafidz Abdullah ibn Muhammad(Ibn Addiy) Al-Jurjaniy(277-365H)
Adapun karya cetakan yang paling lengkap dalam bidang ini adalah kitab Mizan Al-I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad Adz-Dzahabi(673-748H) yang di cetak beberapa kali,dan terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1382H/1963M dalam tiga juz’,memuatkan 1.105 biogarafi.
Begitu juga,kitab Lisan Al-Mizan karya Al-Hafidz Syihabuddin Ahmad ibn Ali (ibn Hajar) Al-Asqalani(773-852H),yang memuatkan semua hal yang dimuat Al-Mizan dengan beberapa tambahan.Didalamnya terdapat 14.343 biografi,dan dicetak di India pada tahun 1329-1331H dalam enam juz
20
20 Di petik didalam buku Ulumul Hadis Drs. M. Agus Solahudin,M.Ag hlm 168
Penutup
Dalam upaya memelihara kedudukan hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka
para Ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi saw. dengan cara menilai
para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis,
apakah ia cacat atau adil sehingga hadits yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau
ditolak.
Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para Ulama
hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersihnya)nya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974)
Al-Khatib, Ajaj, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,(Damaskus:Dar al-Fikr, 1975).
Jawaabul-Haafidh Al-Mundziriy ‘an As-ilati fil-Jarh wat-Ta’diil Cet. 1/1411 H
Kitab Ulumul Hadis Drs. M. Agus Solahudin pustaka setia-bandung 2008
http://inpasonline.com/new/al-jarh-wa-tadil-salah-satu-bukti-kehebatan-keilmuan-dalam-islam
Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006)
Alamah Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab(Kairo: Dar al-Hadis, 2003
Nuruddin, ‘Ulum Al- Hadits 1 (Mannaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al- Hadits). (Damaskus: Dar al- Fikr Damaskus, 2005