Marahilut Tafa’ul bi-Syahadatain (Tahapan Interaksi dengan ... filepastilah akan tumbuh dalam...

24
Page 1 of 24 Marahilut Tafa’ul bi-Syahadatain (Tahapan Interaksi dengan Syahadatain) Jika seseorang telah benar-benar memahami dan meyakini dua kalimat syahadat, maka pastilah akan tumbuh dalam dirinya al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Ta‟ala semata, بُ ح دَ شَ ىا ؤُ ىَ آمَ ِ ر الَ وۖ ِ اّ ِ بُ حَ هْ مُ هَ ىن بِ حُ اً ادَ دْ هَ ؤِ اِ ونُ دْ ِ مُ رِ خ خَ ْ َ مِ اض الىَ ِ مَ و ِ ِ ا“…dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 165) Yang dimaksud dengan kecintaan kepada Allah Ta‟ala adalah tertanamnya ar-ridho (sikap rela), yakni menerima Allah Ta‟ala sebagai Rabb, menerima Islam sebagai agama, dan menerima Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam sebagai Rasul. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, َ زٍ د مَ حُ مِ بَ ا وً ى ِ دِ مَ ْ طِ ْ اِ بَ ا و بَ زِ اِ بَ يِ ضَ زْ َ مِ انَ م ِ ْ َ مْ عَ ظَ اقَ ذً ىلُ ط“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR. Muslim) Dengan sikap ridha seperti itu, mereka berarti telah benar-benar siap mewarnai dirinya dengan shibghatallah. َ ونُ دِ ابَ عُ هَ لُ ْ حَ هَ وً تَ غْ بِ صِ اَ ِ مُ َ ظْ حَ ؤْ َ مَ وِ اَ تَ غْ بِ ص“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138) Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, bahwa shibghatallah yaitu “Agama Allah”. 1 Maka, orang yang memahami dan yakin kepada syahadatain, pastilah qalbu, akal, dan jasadnya akan terwarnai oleh agama Allah Ta‟ala. Qalban (Kondisi Qalbu) Segala hal yang berkaitan dengan keyakinan, kepercayaan, opini, dan asumsi mereka (i‟tiqadan) tercelup dengan nilai-nilai agama Allah Ta‟ala. Mereka menolak berbagai tuhan palsu yang disembah manusia; menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Sang Pencipta, Allah SWT. ٍ ءْ يَ شِ ّ لُ و بَ زَ ىُ هَ ا و بَ ي زِ غْ بَ ؤِ اَ رْ حَ غَ ؤْ لُ ك1 Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Ibrahim, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ‘Abdullah bin Katsir, ‘Athiyah al-‘Aufi, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan lain-lain.

Transcript of Marahilut Tafa’ul bi-Syahadatain (Tahapan Interaksi dengan ... filepastilah akan tumbuh dalam...

Page 1 of 24

Marahilut Tafa’ul bi-Syahadatain

(Tahapan Interaksi dengan Syahadatain)

Jika seseorang telah benar-benar memahami dan meyakini dua kalimat syahadat, maka

pastilah akan tumbuh dalam dirinya al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Ta‟ala semata,

د حب ش

آمىىا ؤ ر

وال

حب الل

ىنهم ه حب دادا

ه ؤ

دون الل م

خر خ اض م الى وم

ا لل

“…dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain

Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang

yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 165)

Yang dimaksud dengan kecintaan kepada Allah Ta‟ala adalah tertanamnya ar-ridho (sikap

rela), yakni menerima Allah Ta‟ala sebagai Rabb, menerima Islam sebagai agama, dan

menerima Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam sebagai Rasul.

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

د ز م دىا وبمحم

طل

ا وبال زب

ي بالل زض مان م

عم لااق ظ

ذ

طىل

“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai

agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR. Muslim)

Dengan sikap ridha seperti itu, mereka berarti telah benar-benar siap mewarnai dirinya

dengan shibghatallah.

ه عابدون ل ح

وه

ت صبغ

الل م حظ

ؤ وم

الل

ت صبغ

“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan

hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, bahwa shibghatallah yaitu “Agama Allah”.1

Maka, orang yang memahami dan yakin kepada syahadatain, pastilah qalbu, akal, dan

jasadnya akan terwarnai oleh agama Allah Ta‟ala.

Qalban (Kondisi Qalbu)

Segala hal yang berkaitan dengan keyakinan, kepercayaan, opini, dan asumsi mereka

(i‟tiqadan) tercelup dengan nilai-nilai agama Allah Ta‟ala.

Mereka menolak berbagai tuhan palsu yang disembah manusia; menyerukan

pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain

Sang Pencipta, Allah SWT.

يء

ل ش ا وهى زب و بغي زب

ؤ

حر الل

غل ؤ

ك

1 Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Ibrahim, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ‘Abdullah

bin Katsir, ‘Athiyah al-‘Aufi, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan lain-lain.

Page 2 of 24

Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah

Tuhan bagi segala sesuatu...” (QS. Al-An‟am, 6: 164)

Mereka meniadakan loyalitas kepada selain Allah dan kelompoknya (jama‟ah umat

Islam). Mereka menolak memberikan kesetiaan, kecintaan, dan dukungan kepada

selain Allah Ta‟ala, apalagi kepada musuh-musuh-Nya.

زض وهى ماواث ولا اظس الظ

ا ف ولي

خر ج

ؤ

حر الل

غ كلل ؤ و

ىن ؤ

ون ؤ

مسث ؤ

ي ؤ

ل بو

عم ك

ع

عم ول

ع

سهحن ش ال م

ىه

ي ج

م ول

طل

ؤ م

“Katakanlah: „Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang

menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak memberi

makan?‟ Katakanlah: „Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang

pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk

golongan orang musyrik‟”. (QS. Al-An‟am, 6: 14)

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ض في هللا حب في هللا، والبغ

في هللا، وال

عاداة

في هللا، وال

ةىالا

مان:ال

م عسي لاوث ؤ

“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena

Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani)

Mereka menolak ketundukan kepada setiap pedoman, hukum, perintah, undang-

undang, aturan, tradisi, adat-istiadat, pemikiran, dan nilai kehidupan, kecuali yang

diridhai oleh-Nya.

ما وهى بخغي حى

ؤ

حر الل

غف ؤ

ل ص

ىخاب مف

م ال

يى

بل ص

هري ؤ

ال

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang

telah menurunkan kitab (Al Quraan) kepadamu dengan terperinci?” (QS. Al-An’am:

114)

Begitu pun segala hal yang berkaitan dengan motivasi, tujuan, ketetapan hati, tekad, dan

keinginan mereka (niyyatan), juga terwarnai oleh nilai-nilai agama Allah Ta‟ala, yakni selalu

berada dalam lingkup beribadah kepada-Nya. Mereka hadirkan gerak langkah hidupnya

dengan ghayyatut tadzallul (tujuan perendahan diri) dan ghayyatul khudu‟ (tujuan

ketundukan) kepada Allah Ta‟ala.

حن عال

زب ال

ظيي ومحياي ومماحي لل

حي وو

ل بن صل

ك

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah

Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An„âm, 6: 162)

Al-Qurthubi berkata, “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan.

Berbagai tugas/beban syari‟at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan

ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada

Allah Ta‟ala....”.

Page 3 of 24

Juga dengan ghayyatul mahabbah (tujuan menunjukkan kecintaan) sebagaimana

diperingatkan oleh Allah Ta‟ala,

م وعشحر شواجى

م وؤ

ىىاه

م وبخ

هبىائ

م وؤ

هان آبائ

ل بن و

ظادها ك

ىن ه

ش

خ

جخمىها وججازة

رف

ت اك مىا

م وؤ

ىج

حي اإ ى صىا حت رب

ت وزطىله وجهاد في طبيله ف

الل م م

يى

حب بل

سضىنها ؤ

ج يهدي ومظاه

ل

مسه والل

بإ

لل

اطل فىم ال

لحن ال

“Katakanlah: „Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,

harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan

tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari

berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya‟. Dan

Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)

Aqlan (Kondisi Akal)

Akal mereka beserta pemikiran, gagasan, ide, konsep, opini, dan pandangannya (fikrah)

terwarnai oleh ajaran Islam yang bersifat:

Rabbaniyah, yakni selalu menagacu kepada Al-Qur‟an dan sunnah rasul-Nya,

بحر دن حىيم خ

ل ذ م

ل ص

م ف

ه ث

اج حىمذ آ

الس هخاب ؤ

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta

dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana

lagi Maha Tahu.” (QS. Huud, 11: 1)

ىحى وحي

بن هى بل

“Ucapannya (Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam) itu tiada lain hanyalah

wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm, 53: 4)

Syamil,yakni menyeluruh mencakup seluruh aspek kehidupan,

تاف

م و

ل ىا في الظ

ل آمىىا ادخ ر

ها ال ي

ا ؤ م عدو مبحن

ىه ل ان به

يع

ىاث الش

ع

بعىا خ

دول ج

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara

keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya

syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 208)

Tawazzun, yakni proporsional dan seimbang antara material dan spiritual, jasmani dan

rohani.

الل حظما ؤ

ه حظ

يا وؤ

ه الد م صيب

ع ه

ي ج

ول

خسة

از لا الد

ان الل

وابخغ فيما آج ي

بل

ول

فظد حب ال

ل

زض بن الل

ظاد في لا

فبغ ال

ج

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)

duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat

Page 4 of 24

baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-

Qashshash, 28: 77)

Dengan begitu pedoman yang menjadi kerangka berpikirnya (minhajan) adalah hal-hal yang

mengacu kepada nilai-nilai syahadatain,

م وص لى

طبيله ذ م ع

ق بى س

خف

بل ف بعىا الظ

د ج

بعىه ول اج

ا صساظي مظخليما ف

ن هر

ل وؤ خ

م ج

ىعل

م به ل

ىن اه

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan

janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan

kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”(Al-

An‟am, 6: 153)

Jasadan (Kondisi Fisik)

Jasad mereka beserta seluruh perbuatan, tindakan, dan aksinya („amalan); serta seluruh

pelaksanaan dan implementasinya (tanfidzan) terbimbing oleh nilai-nilai Islam.

ىا آمىىا وعمل ر

ا ال م

حن وؤ ال

حب الظ

ل

جىزهم والل

يهم ؤ

يىف

الحاث ف الص

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka

Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka;

dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran, 3: 57)

*****

Kesimpulannya; interaksi dengan syahadatain akan melahirkan taghyir (perubahan) pada

qalbu, akal, dan jasad seseorang. Lihatlah bagaimana syahadatain telah mengubah Umar bin

Khattab dari seorang penentang dakwah menjadi pembela dakwah. Syahadatain mengubah

Mush‟ab bin Umair seorang pemuda perlente, menjadi duta dakwah pembuka hidayah bagi

penduduk Madinah. Syahadatain mengubah Salman Al-Farisi -seorang yang diperbudak-,

menjadi tokoh terhormat karena sarat kontribusi perjuangan. Lihatlah bagaimana syahadatain

menanamkan izzah pada Rib‟i bin Amir sehingga mampu berbicara lantang di hadapan

Rustum -panglima perang Persia-, padahal ia hanyalah prajurit biasa.

Wallahu A‟lam.

Page 5 of 24

Syuruthu Qobulis Syahadatain

(Syarat-syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat)

Setelah membaca pembahasan-pembahasan sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan

bahwa syahadatain bukanlah hal yang sepele. Ucapan syahadatain mengandung konsekuensi

yang demikian besar di hadapan Allah Ta‟ala.

Maka, kita perlu memperkokoh syahadatain kita agar diterima oleh Allah Ta‟ala. Berikut ini

syarat-syaratnya:

Pertama, al-„ilmu al-munafi lil jahli (didasari dengan ilmu yang menghilangkan kejahilan).

Syahadatain yang kita ucapkan harus didasari pengetahuan dan pemahaman, yakni tidak ada

peribadahan kepada selain Allah Ta‟ala dan menetapkan bahwa hanya Allah Ta‟ala satu-

satunya yang patut diibadahi dengan sebenarnya. Syahadatain yang kita ucapkan harus

diiringi dengan hilangnya ketidaktahuan terhadap makna ini.

Allah Ta‟ala berfirman,

م م عل

مىاث والل

ا مىحن وال

ما

ولل ب

هفس لر

واطخغ

الل

ه بل

بل

ه ل ه

م ؤ

اعل

م ف

ىاه

م ومث

بى

لخل

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan

mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu‟min, laki-laki dan

perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS.

Muhammad, 47 : 19)

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

م مت جى

ل ال

دخ

الل

ه بل

بل

ه ل ه

م ؤ

عل اث وهى

“Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar

kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)

Kedua, al-yaqinu al-munafi lis-syakki (didasari dengan keyakinan yang menghilangkan

keraguan).

Syahadatain yang diucapkan hendaknya benar-benar lahir dari keyakinan dan sama sekali

tidak dibarengi keragu-raguan. Allah Ta‟ala berfirman,

وزطىله ث

آمىىا بالل ر

مىىن ال

ا ما ال هم به ئ

ول ؤ

فظهم في طبيل الل

همىالهم وؤ

ابىا وجاهدوا بإ

سج م

م ل

ىن ادك الص

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada

Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta

dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat,

49: 15)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam bersabda,

Page 6 of 24

ه بل

بل

ن ل

هد ؤ

ش

ؤ

ت جى

ل ال

دخ

ان فيهما بل

حر ش

بهما عبد غ

ى الل

لل

ل

الل ى زطى

و وؤ

الل

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan

Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan

membawa keduanya (syahadatain) dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan

memasukkannya ke surga” (HR. Muslim No. 147)

Ketiga, al-ikhlashu al-munafi lis syirki (didasari dengan keikhlasan [kemurnian iman] yang

menghilangkan kesyirikan).

Keyakinan mengenai keesaan Allah itupun harus dilandasi keikhlasan (kemurnian) di hati,

bahwa hanya Allah lah yang ia jadikan sebagai Ilah, tiada sekutu, tiada sesuatu apapun yang

dapat menyamainya-Nya. Keikhlasan seperti ini akan menghilangkan syirik kepada sesuatu

apapun juga. Allah Ta‟ala berfirman,

و اةو ىا الص

جا و

ة

ل ليمىا الص اء و

حىف ه الد

لصحن ل

مخ

ليعبدوا الل

مسوا بل

مت وما ؤ ي

ل ال د ل

ذ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan

ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka

mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

(QS. Al-Bayyinah, 98 : 5)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

فظه و ه

به ؤ

ل ك الصا م

، خ

الل

ه بل

بل

ل ا

ك ليامت م

ىم ال اعتى

ف

اض بش طعد الى

ؤ

“Orang yang berbahagia karena mendapat syafa‟atku pada hari kiamat nanti adalah orang

yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” (HR.

Bukhari)

Hadits dari Zaid Ibn Arqam menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam

bersabda,

ه بل الل : ل بل ا

ك م

ت جى

ل ال

لصا دخ

: ” مخ ا

صها ؟ ك

ل

عص ” ، كيل : وما بخ

محازم الل حجصه ع

ن ج

ؤ

“ وجل

“Barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illa-Llah dengan ikhlas, akan dimasukkan ke dalam

surga.” Rasulullah ditanya: “Bagaimana mengikhlaskannya itu?” Rasulullah

menjawab: “Dengan menjauh dari apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.” (HR.

Thabrani).

Keempat, as-shidqu al-munafi lil kadzibi (didasari dengan kejujuran yang menghilangkan

kedustaan).

Ucapan syahadatain juga harus dilandasi dengan kejujuran. Artinya, apa yang diucapkan oleh

lisan harus sesuai dengan apa yang terdapat di dalam hati. Karena jika lisannya mengucapkan

syahadatain, tapi hatinya meyakini sesuatu yang lain atau bertentangan dengan syahadatain

itu, maka ini merupakan sifat munafik.

Page 7 of 24

Allah Ta‟ala berfirman,

ر وال

ادعىن الل

خ مىحن

خس وما هم بما

يىم لا

وبال

ا بالل آمى لى اض م الى وم

دعىن بل

خ آمىىا وما

عسون ش فظهم وما

ه ؤ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: „Kami beriman kepada Allah dan Hari

kemudian‟, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka

hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya

sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 8-9)

Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh Allah Ta‟ala karena tidak dilandasi

kejujuran, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

والل

الل سطى ل هد به

ش

ىا و

الىافلىن ك

ا جاءن ال

اذبىن بذ

يىافلحن ل

هد بن ال

ش

ه والل

سطىل

ل م به

عل

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: „Kami mengakui, bahwa

sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.‟ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya

kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang

munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun, 63: 1)

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

وؤ

الل

ه بل

بل

ن ل

هد ؤ

ش حد

ؤ از ما م ى الى

عل

مه الل حس

به بل

ل ك ا م

صدك

الل دا زطى ن محم

“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali

Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali

Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari)

Kelima, al-mahabbatu al-munafiyatu lil bughdhi wal karahati (didasari rasa cinta yang

menghilangkan kebencian dan rasa tidak suka).

Maknanya adalah bahwa syahadatain yang diucapkan harus benar-benar lahir dari

keterpautan hati kepada Allah Ta‟ala. Dia berfirman,

د حب ش

آمىىا ؤ ر

وال

حب الل

ىنهم ه حب دادا

ه ؤ

دون الل م

خر خ اض م الى وم

ا لل

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain

Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang

yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 165)

Keenam, al-qabulu al-munafi lir raddi (didasari dengan rasa penerimaan yang

menghilangkan penolakan).

Syahadatain yang diucapkan juga harus diiringi rasa penerimaan terhadap segala makna yang

terkandung di dalamnya. Jadi seorang muslim harus menerima kalimat tauhid ini dengan hati

dan lisan, tanpa menolaknya.

Allah Ta‟ala menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak mau menerima dakwah

Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam dalam firman-Nya,

Page 8 of 24

ى آلهخىاخازو

ا ل ئى

ىن ؤ

لىل برون و

ظخى

الل

ه بل

بل

هم ل

ا كيل ل

ىا بذ

اههم و اعس مجىىن بن

لش

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: „la ilaha illallah‟ (Tiada

Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka

berkata: „Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena

seorang penyair gila?‟” (QS. As Shaffat, 37: 35-36)

Abu Musa radhiyallahu „anhu, dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda,

صاب »ثحر ؤ

ىيث ال

غل ال

مث

م ه

عل

هدي وال

ال به م

نى الل

ل ما بعث

اء ، مث

ذ ال

بل ك

ت لي

ان منها ه

يزضا ، ف

ؤ

بها الى

ع اللىف

اء ، ف

ذ ال

مظى

جادب ؤ

ذ منها ؤ

اهثحر ، وو

ىب ال

عش

وال

أل

ىذ ال

بدهإىا ف

سبىا وطل

ش

اض ، ف

خ

ؤتائف

صابذ منها ظ

له فى وشزعىا ، وؤ

ف ل م

مث ل

ر ، ف

أل

ىبذ ه

ج ماء ، ول مظ

جما هى كيعان ل سي ، به

طا ، ول

زؤ

لع بر

سف م

ل ل م

م ، ومث

علم وعل

به ، ف

نى الل

عه ما بعث

ف وه

الل د

لبل هدي الل ري م

ال

ذ به زطل

. « ؤ

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat

yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan

menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput

(tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia

(melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan

ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang

mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa

menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah

dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan

mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalan orang yang menolak (petunjuk dan

ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan

Muslim)

Ketujuh, al-inqiyadu al-munafi lil imtina‟i wat tarki wa „adamil „amali (didasari dengan rasa

kepatuhan [terhadap konsekuensi syahadat] yang menghilangkan sikap penolakan, menjauh,

dan tidak mau beramal).

Syahadatain memiliki konsekuensi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Seorang

yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari‟at Allah Ta‟ala serta

tunduk dan berserah diri kepada-Nya.

Allah Ta‟ala berfirman,

عاكبت

ى الل

ى وبل

لىث

عسوة ال

بال د اطخمظ

ل ف وهى محظ

ى الل

ظلم وجهه بل مىز وم

لا

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat

kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya

kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman, 31: 22)

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

Page 9 of 24

ذ به ا جئ

بعا ل

ىن هىاه ج

ي ى م حت

حده

ؤ م

ا ل

“Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.”

(H.R. Thabrani).

Wallahu a‟lam.

Page 10 of 24

At-Thoriq Ila Ma’rifatillah

(Metode Mengenal Allah)

Allah Ta‟ala mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka

menuju fitrahnya, yakni beragama tauhid. Para nabi dan rasul mengajak manusia untuk

mengenal Allah Ta‟ala dan mengajarkan kepada mereka bagaimana beribadah kepada-Nya

dengan benar, serta membimbing mereka agar hidup sesuai dengan ajaran-Nya.

Namun, banyak di antara manusia yang menolak ajakan para nabi dan rasul Allah tersebut.

Hal ini disebabkan karena mereka tidak mau beranjak dari ajaran yang tidak benar.

Diantaranya adalah berkenaan dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini. Ada perbedaan

metode yang sangat mendasar antara Islam dan ghairul Islam dalam mengenal Allah Ta‟ala.

Ghairul Islam (Metode Selain Islam)

Dalam rangka mengenal Tuhan, mereka lebih senang mengikuti hawa nafsunya sendiri.

Pengenalan mereka kepada Allah Ta‟ala hanya berlandaskan dugaan, sangkaan dan hawa

nafsu. Yakni mengandalkan al-hawas (panca indera) dan al-aql (akal) yang sebenarnya

sangat terbatas. Walhasil, pengenalan Allah dengan mengandalkan al-falsafah (filsafat) ini

tidak akan mencapai hasil yang tepat.

Perhatikanlah bagaimana kejahilan sebagian dari Bani Israel, yang karena faham

materialismenya, yakni mengandalkan al-hawas serta al-aql, mereka menjadi tidak mau

beriman kepada Musa „alaihissalam.

ىظ

خم ج

ه وؤ

تاعل م الص

ىجرخ

إ ف

جهسة

سي الل

ى ه حت

ل م

ا ه

ى ل ا مىس خم

ل ك

سون وبذ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: „Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu

sebelum kami melihat Allah dengan terang‟, karena itu kamu disambar halilintar, sedang

kamu menyaksikannya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 55)

Allah Ta‟ala menegaskan, bahwa persangkaan yang mengandalkan al-hawas dan al-aql,

sama sekali tidak akan dapat mengantarkan manusia kepada kebenaran. Dengan kata lain, ia

bukanlah metode yang tepat untuk mencapai kebenaran mengenal Allah Ta‟ala.

ثهبع ؤ

د ىن وما

فعل عليم بما

يئا بن الل

حم ش

ال ني م

غ

ل

ا بن الظ ى

ظ

رهم بل

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya

persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus, 10: 36)

Pengenalan Allah Ta‟ala dengan mengandalkan al-hawas dan al-aql atau al-falsafah juga

tidak akan mendatangkan keyakinan. Yang muncul justru at-taraddud (keragu-raguan), yang

akan mengantarkan pada al-kufru (kekufuran). Tidaklah mengherankan jika metode seperti

ini kemudian memunculkan pula manusia-manusia yang menolak sama sekali eksistensi

Allah Ta‟ala.

Page 11 of 24

Metode Islam

Metode mengenal Allah Ta‟ala yang islami adalah dengan cara menggunakan al-aql (akal)

dan al-fithrah (fitrah), as-sam‟u (pendengaran) dan al-bashar (penglihatan) untuk

memikirkan ayat-ayat al-qauliyah (firman Allah), al-mu‟jizah (mukjizat), serta ayat-ayat al-

kauniyah (ciptaan Allah) yang tersebar di alam semesta, meliputi „alamul jamadat (benda-

benda mati), „alamul nabatat (tumbuh-tumbuhan), „alamul insani wal hayawanat (manusia

dan hewan).

Allah Ta‟ala menyebutkan di dalam Al-Qur‟an kata-kata penyesalan orang-orang kafir yang

tidak mau memikirkan ayat-ayat Allah Ta‟ala, karena hal itulah yang menyebabkan mereka

tersesat dari jalan-Nya,

صحاب ا في ؤ ى

علل ما ه

و و

ظمع ؤ

ا و ى

ى ه

ىا ل

العحر وك الظ

“Dan mereka berkata: „Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)

niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala‟“. (QS. Al-

Mulk, 67: 10)

Allah Ta‟ala memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan ayat-ayat-Nya yang tersebar

di segenap penjuru semesta ini agar mereka mengenal-Nya,

مىىن ا

ىم ل

ك ز ع

ر اث والى

ني لا

غزض وما ح

ماواث ولا ا في الظ

سوا ماذ

ظ

ل اه

ك

“Katakanlah: „Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda

kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak

beriman””. (QS. Yunus, 10: 101)

م ولحم ؤ

ه ال ه

هم ؤ

ن ل بح

د ى فظهم حت

هاق وفي ؤ

اجىا في لاف ريهم آ

هيد طج

يء ش

ل ش

ى و

ه عل ه

ؤ ف بسب

ى

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala

wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu

adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala

sesuatu?” (QS. Al-Fushilat, 41: 53)

Allah Ta‟ala menyebutkan, banyak diantara jin dan manusia yang akan terjerumus ke dalam

nereka adalah disebabkan karena tidak mau menggunakan hati, mata, dan telinganya untuk

memahami, melihat, dan mendengar ayat-ayat Allah,

عحن لهم ؤ

هىن بها ول

فل

ىب ل

لهم ك

ع ل

و

ولا ج

ال ثحرا م

م ه ا لجهى

هزؤد ذ

ل ول

ان ل

هم آذ

بصسون بها ول

عام ب و ال

و ئ

ولظمعىن بها ؤ ىن

افل

غ هم ال ئ

ولضل ؤ

ل هم ؤ

“..dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan

manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat

Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-

tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya

untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka

lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A‟raf, 7: 179)

Page 12 of 24

Metode pengenalan yang islami akan menjadikan manusia memiliki ma‟rifatu nafsi

(pengetahuan tentang kedudukan dirinya) dan musyahadatu wahdaniyatillah (menyaksikan

bukti keesaan Allah); maka manusia akan semakin tunduk; islamul wajhi (menundukkan diri

kepada Allah) seraya bersikap tashdiq (membenarkan) Allah Ta‟ala.

باب ل ولي لا

اث ل

هاز ل يل والن

ف الل

خل

زض واخ

ماواث ولا م الظ

ل بن في خ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)

م لسون في خ

ىخف ى جىىبهم و

عىدا وعل

كياما وك

سون الل

هر ر

ا ال

لذ هر

لىا ما خ زض زب

ماواث ولا الظ

از اب الىلىا عر

ف

طبحاه

باظل

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan

berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): „Ya

Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka

peliharalah Kami dari siksa neraka.‟” (QS. Ali Imran, 3: 191).

Wallahu a‟lam.

Page 13 of 24

Al-Mawani’ Min Ma’rifatillah

(Penghalang dalam Mengenal Allah)

Secara garis besar, terdapat dua hal yang dapat menghalangi manusia dari mengenal Allah

Ta‟ala. Pertama, maradhus syahwat (penyakit jiwa yang tumbuh dari syahwat [kesenangan]

terhadap dunia). Kedua, maradhus-syubhat (penyakit jiwa yang tumbuh karena masalah

pemahaman, akal, atau logika).

Maradhus Syahwat

Pertama, al-fisqu (kefasikan).

Kefasikan yang dimaksud disini adalah sikap selalu melanggar perintah dan larangan Allah

Ta‟ala, serta selalu berbuat kerusakan di bumi. Hal ini disebabkan karena kesenangan

terhadap dunia sudah begitu mendominasi; sementara masalah akhirat tidak terpikirkan sama

sekali.

Mereka lupa kepada Allah Ta‟ala, maka Dia pun melupakannya pula. Yang dimaksud dengan

Allah Ta‟ala melupakan mereka ialah bahwa Allah Ta‟ala tidak menyukai mereka. Sehingga

mereka dibiarkan bergelimang dalam kesesatan, lupa hakikat dirinya dan akhirnya semakin

jauh dari jalan yang diridhai oleh-Nya.

Mengenai hal ini, Allah Ta‟ala berfirman,

اطلىن ف هم ال ئ

ولفظهم ؤ

هظاهم ؤ

وإ ف

ظىا الل

و ر

الىا و

ىه

ي ج

ول

“..dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan

mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr,

59: 19)

Kedua, al-kibru (kesombongan).

Al-kibru (kesombongan) adalah suatu sikap dimana seseorang menolak kebenaran dan

meremehkan orang lain disebabkan dirinya merasa besar dan memiliki kelebihan (ilmu, harta,

kedudukan). Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

اض الىمغ

حم وغ

س ال

ىبر بع

ال

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

Allah Ta‟ala berfirman,

هبر ما هم بب

اهم بن في صدوزهم بلجان ؤ

ع

حر طل

بغ

اث الل ىن في آ

جادل ر

ه بن ال به

بالل

اطخعر

الغيه ف

بصحر ميع ال هى الظ

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan

yang sampai kepada mereka, tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan

akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah

Page 14 of 24

perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS.

Al-Mu‟min, 40: 56).

Pada ayat ini Allah Ta‟ala menyatakan: “Orang-orang yang mengingkari seruan Rasul dan

membantah ayat-ayat Allah adalah orang-orang yang dalam hatinya penuh dengan

keangkuhan dan takabur. Mereka enggan menerima kebenaran karena pengaruh hawa nafsu

mereka. Mereka ingin berkuasa dan dijadikan pemimpin dalam masyarakat, serta merasa diri

mereka orang yang paling berkuasa. Keinginan mereka inilah yang menyebabkan mereka

mengingkari ayat-ayat Allah. Menurut mereka bahwa keinginan mereka itu tidak akan

tercapai jika mereka mengikuti seruan Rasul, karena dengan mengikuti seruan Rasul berarti

mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka dan kaum mereka yang menghormati

mereka selama ini”.2

Contoh manusia-manusia yang terhalang dari kebenaran karena kesombongannya adalah

Fir‟aun dan para pengikutnya. Allah Ta‟ala berfirman,

فظد ال

ان عاكبت

و

يف

س ه

ظ

اها ف ى

ما وعل

لفظهم ظ

هىتها ؤ

يل

وجحدوا بها واطد

“Dan mereka mengingkarinya (yakni mukjizat Nabi Musa) karena kezaliman dan

kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah

betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An-Naml, 27: 14)

Mengenai kesombongan perlu diingatkan pula, sesungguhnya dosa pertama yang diperbuat

oleh makhluk ciptaan Allah Ta‟ala adalah kesombongan. Itulah yang dilakukan Iblis; ia

menolak perintah Allah Ta‟ala untuk sujud kepada Adam „alaihis salam disebabkan merasa

diri lebih hebat darinya.

ظحن لخه ملاز وخ

ه لخني م

لحر مىه خ

ا خ

ه ؤ

"Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan

dari tanah". (QS. Al-A‟raf, 7: 12)

Ketiga, adz-dzulmu (kedzaliman)

Mengenai sifat dzalim ini Allah Ta‟ala berfirman,

جسمحن مىخلمىن ال ا م عسض عنها به

م ؤ

ه ث اث زب س بأ

ه ذ م مم

لظ ؤ وم

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat

Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan

pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah, 32: 22)

Allah Ta‟ala menerangkan bahwa orang yang paling zalim ialah orang yang telah sampai

kepadanya peringatan Allah, telah sampai pula kepadanya ayat-ayat Alquran dan petunjuk

Rasul, kemudian mereka berpaling dari ajaran dan petunjuk itu karena angkuh dan penyakit

dengki yang ada di dalam hatinya. Sikap dzalim seperti inilah yang menghalangi mereka dari

mengenal Allah Ta‟ala.3

2 Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VIII Hal. 558

3 lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VII hal. 597

Page 15 of 24

Keempat, al-kidzbu (kedustaan)

Kedustaan yang dimaksud disini adalah sikap bohong (pura-pura) dan pengingkaran terhadap

ayat-ayat Allah Ta‟ala. Hal ini seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik

sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta‟ala,

صاىبهم مسض ف

لعسون في ك

ش فظهم وما

ه ؤ

دعىن بل

خ آمىىا وما ر

وال

ادعىن الل

خ مسضا

دهم الل

ربىن ى ىا

اهليم بما و

اب ؤ

هم عر

ول

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya

menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar, dalam hati mereka ada penyakit, lalu

ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka

berdusta.” (QS. Al-Baqarah, 2: 9-10)

Mereka memperlihatkan iman, kasih sayang dan menyembunyikan permusuhan dalam batin.

Mereka menyebarkan permusuhan dan fitnah-fitnah untuk melemahkan barisan kaum

Muslimin. Namun usaha kaum munafik itu selalu gagal dan sia-sia. Hati mereka bertambah

susah, sedih dan dengki, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang benar dan jujur untuk

menilai kebenaran semakin lenyap dari mereka. Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk

menanggapi kebenaran agama dan memahaminya.4

Orang-orang munafik melakukan kedustaan itu karena tidak suka kekuasaan dan

pengaruhnya tersaingi oleh umat Islam. Tokoh mereka yang terkenal pada masa Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.

Kelima, katsratul ma‟ashiy (banyak melakukan perbuatan maksiat).

Allah Ta‟ala berfirman,

ظبىن ى ىا

اهىبهم ما و

لى ك

ل بل زان عل

ه

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi

hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin, 83 : 14)

Disebutkan dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu „anhu bahwasanya Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

اب س وج

فصع واطخغ

ا هى ه

ةذ

طىداء ، ف

خت

ىبه ه

لىخذ في ك

هتعيئ

خ

إع

خ

ا ؤ

به ، وبن عاد بن العبد بذ

لطلل ك

به ، وهى الى ك

عل

ى ح شد فيها حت

س الل

هري ذ

ان ال ظبىن ” لس

ى ىا

اهىبهم ما و

لى ك

بل زان عل

ل

ه ”

”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan, maka akan tercemari hatinya

dengan satu bercak hitam. Jika ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon

ampun) serta bertaubat, maka hatinya menjadi bersih lagi. Jika ia melakukan kesalahan lagi,

dan menambahnya maka hatinya lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah maksud

dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut Allah dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak

(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” [Al-

4 Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid I hal. 45

Page 16 of 24

Muthoffifin: 14] ” (HR. Tirmidzi No: 3334. Berkata Tirmidzi: “Ini adalah hadist Hasan

Shahih).

artinya ghalaba (menguasai) atau menutupi. Berkata Abu Ubaid: “Setiap apa saja yang “ران“

menguasai dirimu, maka disebut dengan „rona‟”5

Berkata Al-Baghawi: “Ar-Rain artinya mengusai, dikatakan: „Minuman khamr itu telah

membuat „ar-Rain‟ atas akalnya‟, maksudnya telah menutupi (menguasai) akalnya sehingga

dia menjadi mabuk”. Sehingga, ayat tersebut bisa diartikan: Perbuatan-perbuatan maksiat

itu telah menutupi dan menguasai hati mereka. Berkata Hasan al-Bashri: “Dosa yang

menumpuk atas dosa yang lain, sehingga hati menjadi mati“.6

Maka berdasarkan ayat ini jelaslah, orang yang banyak melakukan maksiat pasti akan

terhalang dari mengenal Allah Ta‟ala. Na‟udzubillahi min dzalik.

Maradhu as-syubhah

Pertama, al-jahlu (kejahilan/kebodohan). Yakni tidak mau memikirkan ayat-ayat Allah

Ta‟ala, baik ayat-ayat qauliyah -yang tersurat dalam Al-Qur‟an-, maupun ayat-ayat kauniyah

-yang tersirat di seluruh penjuru alam semesta-. Inilah yang menyebabkan terhalangnya

manusia dari mengenal Allah Ta‟ala. Mereka tidak mau menggunakan potensi diri mereka

untuk memikirkan ayat-ayat Allah Ta‟ala, sehingga ia dicela dalam Al-Qur‟an dengan

ungkapan,

ماث لم في الظ

اجىا صم وبى بىا بأ

ر ه ر

وال

“…dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada

dalam gelap gulita.” (QS. Al-An‟am, 6: 39).

Padahal Allah Ta‟ala telah memberikan kesempatan yang cukup kepada mereka untuk

memikirkan ayat-ayat-Nya,

م ما سه عم

م و

ولعمل ؤ

ا و ى

ري ه

حر ال

عمل صالحا غ

سجىا و

خ

ىا ؤ ىن فيها زب

سخ

صع وهم

ج س فيه م

هخر س

هر

صحر ه حن م ال

ما للظ

ىا ف

وك

ررس ف م الى

وجاءه

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : „Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya

kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan‟. Dan

apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi

orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?

Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang

penolongpun.” (QS. Fathir, 35: 37)

Kedua, al-irtiyab (keragu-raguan). Hal ini disebabkan karena sedikitnya ilmu dan ma‟rifah

(pemahaman). Bisa dikatakan pula, keragu-raguan ini lahir dari kebodohan. Begitulah orang-

orang munafik, selalu berada dalam kondisi terombang-ambing antara iman dan kafir,

5 Tafsir al-Qurthubi : 19/170

6 Tafsir al- Baghawi, Ma’alim at- Tanzil: 8/365

Page 17 of 24

ه طبيلجد ل

ج

ل ف

ضلل الل ء وم

لى ها

بل

ء ول

لى ها

بل

ل ل

بحن بحن ذ

بر

مر

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk

kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-

orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk)

baginya.” (QS. An-Nisa, 4: 143)

Mereka disesatkan oleh Allah Ta‟ala karena keingkarannya dan tidak mau memahami

petunjuk-petunjuk Allah Ta‟ala. Maka orang-orang kafir dan munafik itu terhalang dari

mengenal Allah Ta‟ala, mereka dalam kondisi ragu-ragu sepanjang hidupnya hingga datang

kematian yang tiba-tiba. Allah Ta‟ala berfirman,

سوا فيف ه ر

ال صا

ىم عليم ول اب

جيهم عر

إ و

ؤخت

بغ

اعت جيهم الظ

إى ج ت مىه حت مس

“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur‟an,

hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada

mereka azab hari kiamat..” (Al-Hajj, 22 : 55)

Ketiga, al-inhiraf (penyimpangan). Manakala manusia tidak mau berpegang teguh kepada

petunjuk Allah Ta‟ala; tidak mau berkomitmen melaksanakan tuntunan-Nya; bahkan mereka

malah mengikuti hawa nafsu dan akal fikirannya; maka pada saat itulah hatinya akan keras

membatu. Terhijablah petunjuk Allah Ta‟ala darinya. Ia pun melangkah semakin jauh dari

jalan yang lurus, sehingga tak mampu mengenal Allah Ta‟ala dengan benar. Hal seperti ini

pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada masa lalu. Allah Ta‟ala berfirman,

ظ مىاضعه وو لم ع

يىن ال

حسف

اطيت

ىبهم ك

لىا ك

اهم وجعل عى

هم ل

اك

لضهم ميث

بما ه

سوا ف

ها ذ ا مم

ىا حظ

ائ ى خ

لع عل

ع

ج صا

ج

حظىحن به ول

حب ال

ح بن الل

عنهم واصف

اعف

منهم ف

ليل

ك

ىت منهم بل

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati

mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan

mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya,

dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di

antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah, 5 : 13)

Allah Ta‟ala sesungguhnya selalu mendatangkan para pemberi peringatan di sepanjang

zaman;

ه ، ف عدول

لل خ

و م م

عل

ا ال

حمل هر جاهلحن

ول ال

إبعلحن ، وج

ال خحا

الحن ، واه

غ ال

حسف

ىفىن عىه ج

“Ilmu ini akan dibawa dan dipelihara oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka

akan membersihkannya dari tahrif (penyimpangan) kaum ekstrem, manipulasi kaum sesat,

dan penafsiran kaum yang jahil.” (HR. Malik)

Namun penyimpangan yang jauh dan kerasnya hati membuat akal sehat sebagian manusia

tidak berfungsi dengan baik.

Page 18 of 24

Keempat, al-ghaflah (kelalaian). Dalam poin pertama telah disebutkan bahwa jika manusia

tidak menggunakan potensi dirinya untuk memahami ayat-ayat Allah Ta‟ala, maka mereka

akan terhalang dalam mengenal-Nya. Hal ini karena kebodohan mereka itu membuat mereka

lalai atau lengah,

يا وهم عه حياة الد

ال اهسا م

مىن ظ

عل ىن

افل

خسة هم غ

لا

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang

(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Rum, 30: 7)

Allah Ta‟ala berfirman,

ج

ال ثحرا م

م ه ا لجهى

هزؤد ذ

ل ول

ان ل

هم آذ

بصسون بها ول

عحن ل

هم ؤ

هىن بها ول

فل

ىب ل

لهم ك

ع ل

و

ولا

ىن افل

غ هم ال ئ

ولضل ؤ

عام بل هم ؤ

و ال

و ئ

ولظمعىن بها ؤ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan

manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat

Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-

tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya

untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka

lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A‟raf, 7 : 179)

Wallahu A‟lam.

Page 19 of 24

Tadabbur Al-Qur’an Surat An-Nas

Keutamaan Surat An-Nas

Menurut pendapat para ulama di bidang tafsir, diantaranya Ibnu Katsir Asy-Syafi‟i dan Asy-

Syaikh Abdurrahman As-Sa‟dy, surat ini termasuk golongan surat Makkiyah (turun sebelum

hijrah). Bersama Al-Falaq, surat An-Nas ini merupakan bagian dari Al-Mu‟awwidzatain,

yaitu dua surat yang mengandung permohonan perlindungan. Nabi shallallahu „alaihi

wasallam bersabda,

حن جذ عى

ال

غ

ك ه

لس مث م

اث ل ي آ

ذ عل

صلهو ؤ

ؤ ص

ه ؤ

“Telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu Al

Mu‟awwidataini (surat An Naas dan surat Al Falaq).” (H.R Muslim no. 814, At-Tirmidzi no.

2827, An Naasa‟i no. 944).

Surat Al-Falaq dan An-Nas disebut pula Al Mu‟awwidzat, jika digabungkan bersama surat Al

Ikhlash. Inilah salah satu bacaan wirid/dzikir yang disunnahkan untuk dibaca setelah selesai

shalat. „Uqbah bin „Amir radhiyallahu „anhu membawakan hadits dari Rasulullah shallallahu

„alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

ة ل صل

اث في دبس و

ذ عى

وا ال

سؤ اك

“Bacalah Al Mu‟awwidzat pada setiap selesai shalat.” (HR. Abu Dawud no. 1523)

Tadabbur Ayat 1:

اض بسب الىعىذ

ل ؤ

ك

“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. “

Syaikh Utsaimin berkata: “Dia adalah Allah Azza wa Jalla. Dia adalah Rabb manusia dan

yang lainnya. Rabb manusia, malaikat, jin, langit, bumi, matahari, bulan dan Rabb segala

sesuatu. Tetapi pada surat ini, dikhususkan pada manusia.”7

Dalam Az-Zhilal, Sayyid Qutb mengatakan: “Ar-Rabb adalah Tuhan Yang memelihara, Yang

mengarahkan, Yang menjaga, dan Yang melindungi.”8

Jadi, maksud Allah sebagai Rabb manusia adalah bahwa Allah subhanahu wa ta‟ala adalah

pencipta, pemilik, pengatur, penguasa dan pemberi rezeki seluruh umat manusia. Bahkan

Allah juga Rabb (pencipta, pemilik, pengatur, penguasa, pemberi rezeki) seluruh Alam

semesta ini beserta isinya, termasuk di dalamnya para syetan yang selalu menggoda manusia.

Mengakui Allah sebagai Rabb (Pencipta, Pemilik, Perawat, Pemberi Rezeki, Yang

Menurunkan hujan, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, Yang Memberi Sakit, Yang

Menyembuhkan), adalah bentuk dari Tauhid Rububiyah. Oleh karena itu, orang yang

menyakini bahwa selain Allah, seperti Jin, para wali-wali Allah yang sudah meninggal dalam

7 Tafsir Juz Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

8 Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb

Page 20 of 24

kuburan-kuburan mereka, para dukun, bisa memberikan manfaat dan mudharat, bisa

mengabulkan permohonan berupa harta, jodoh atau anak, maka dia telah mensyirikkan Allah

dalam Rububiyah-Nya.9

Tadabbur Ayat 2:

اض الى مل

“(Allah adalah) Raja Manusia “

“Maliki an-naas” yaitu Raja yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi terhadap manusia,

kekuasaanNya sangat sempurna, Dia-lah Allah Azza wa Jalla.10

Al-Malik adalah Tuhan Yang

Berkuasa, Yang menentukan keputusan, Yang mengambil tindakan.11

Pengakuan terhadap Allah Ta‟ala sebagai rajanya manusia yang sebenarnya dan penguasa

manusia yang sebenarnya mengandung konsekwensi bagi mereka untuk selalu tunduk dan

menyerahkan hak menentukan halal dan haram hanya kepada-Nya. Jika manusia menyelisihi

hal ini dengan menyerahkan hak menetapkan keputusan halal-haram kepada manusia tanpa

merujuk dan menyesuaikannya dengan ketentuan Allah Ta‟ala, berarti ia telah melakukan

perbuatan syirik.

Allah Ta‟ala berfirman,

دون الل زبابا محبازهم وزهبانهم ؤ

وا ؤ

رخ ه بل اج

ها واحدا ل بل

مسوا بل ليعبدوا بل

م وما ؤ مس ظيح اب

وال

ىن سو

ش ا ه عم

هى طبحاه

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain

Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya

disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain

Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan “ (QS. At-Taubah, 9: 31)

Salah seorang sahabat yang bernama Adi bin Hatim radhiyallahu „anhu ketika mendengar

ayat ini, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah,

sebenarnya mereka tidak menyembah para pendeta tersebut.” Maka Rasulullah shallallahu

„alaihi wa sallam bersabda:

اهم. عبادتهم ا رلبعىهم؟ ف اج

لحسام ف

ىا ا

حل

و ا

لحل

يهم ا

مىا عل هم حس ى ان

سبل احمد الترمري و اب جس

“Betul. Tetapi bukankah mereka orang-orang „alim dan para rahib itu telah menetapkan

haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian

mereka (pengikutnya) mengikutinya? Demikian itulah penyembahannya kepada mereka.”

(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir)

9 Tafsir Surat An-Nas, DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A.

10 Tafsir Juz Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

11 Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb

Page 21 of 24

Ayat ini pun menjelaskan bahwa sebenarnya manusia itu bukanlah penguasa, tetapi mereka

hanyalah pemegang amanat kekuasaan yang diberikan Allah Ta‟ala kepada mereka. Allah

subhanahu wa ta‟ala berfirman :

ا ج

ل ال هم مال

ل الل

ح ك

خ

اء بيدن ال

ش

ح م ر

اء وج

ش

ح عص م

اء وح

ش

ح مم

ل زع ال

جاء وج

ش

ح م

ل ر حي ال

دسيء ك

ل ش

ى و

عل به

“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada

orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau

kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang

Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha

Kuasa atas segala sesuatu.” ( Qs Ali Imran : 26 )

Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menyebut dirinya raja diraja. Dalam hadist Abu

Hurairah disebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

ىع اطم عىد هللا خ

ى -عص وجل -بن ؤ ظم

ن زجل ح

مل

لا مل

“Sesungguhnya serendah-rendah nama di sisi Allah adalah orang yang menamakan dirinya

raja diraja “ (HR. Bukhari dan Muslim)

Tadabbur Ayat 3:

اض ه الى بل

“(Allah adalah) Sesembahan Manusia.”

“Ilaahi an-naas” adalah tuhan dan sembahan mereka. Sesembahan yang hak yaitu yang

dituhankan oleh hati, dicintai dan diagungkanNya, Dialah Allah Azza wa Jalla.

Ayat ini menegaskan tentang Tauhid Uluhiyyah. Yaitu keharusan mentauhidkan Allah di

dalam ibadah. Seseorang tidaklah boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah; tidaklah

bertawakkal, tidaklah meminta, tidaklah mengharap, dan tidaklah takut kecuali hanya kepada

Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ketiga ayat yang pertama ini mengemukakan sebagian

dari sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‟ala, yaitu sifat Rububiyah (Tuhan), sifat Al-Mulk

(Raja), dan sifat Uluhiyyah (Yang disembah). Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang

memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya.” 12

Menurut DR. Ahmad Zain An-Najah, di dalam surat An-Nas ini disebutkan tiga macam

tauhid: Tauhid Rubiyah, Tauhid Mulkiyah, dan Tauhid Uluhiyah.

Perbedaan mendasar antara Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah bahwa Tauhid

Rububiyah adalah mentauhidkan Allah di dalam perbuatan-Nya (Allah sebagai subyek),

sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah mentauhidkan Allah di dalam ibadah (Allah sebagai

obyek). Tauhid Rububiyah hampir semua makhluq mengakuinya, termasuk iblis. Sedangkan

Tauhid Uluhiyah hanya orang muslim saja yang mengakuinya.

12

Tafsir Ibnu Katsir.

Page 22 of 24

Tadabbur Ayat 4:

ش اض م ى

س الىطىاض الخ

“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi “

Melalui ayat ini Allah Azza wa Jalla mengingatkan manusia agar selalu waspada terhadap

godaan syaitan, karena dia selalu menyertai gerak-gerik manusia. Rasulullah shallallahu

„alaihi wa sallam bersabda:

وب ا ك

الل ا زطى ان ىا وب

ال ك ج

ال سىه م

ل به ك

د وو

وك

حد بل

ؤ م م

ني ما مىى

عاه

ؤ

ن الل

ؤ

اي بل

ح بخ

مسوي بل

إ

ل

م ف

طل

إيه ف

ر )زواه مظلم(عل

“Tidak seorang pun di antara kalian kecuali bersamanya ada qorinnya dari Jin”. Para

sahabat bertanya: ”Engkau juga, ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah, “Termasuk saya, tetapi

Allah telah menolong saya di atasnya, maka saya selamat. Sehingga ia tidak menyuruhku

kecuali kepada yang baik”. (HR Muslim).

Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa “al-waswas” atau “al-waswasah”, maksudnya: apa

yang terlintas dalam hati berupa fikiran, sangkaan, khayalan, yang tidak ada kebenarannya.

Sedangkan “Al-khannaas” ialah yang memperdayakan, mengganggu, yang pergi dan datang

ketika seseorang berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dia adalah syetan.

Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-

Nya: “al-khannaas, syaitan yang biasa bersembunyi.”, bahwa syaitan bercokol di atas hati

anak Adam. Maka apabila ia lupa dan lalai kepada Allah, syaitan menggodanya; dan apabila

ia ingat kepada Allah maka syaitan itu bersembunyi. Hal yang sama telah dikatakan oleh

Mujahid dan Qatadah.

Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa pernah diceritakan

kepadanya, sesungguhnya syaitan yang banyak menggoda itu selalu meniup hati anak Adam

manakala ia sedang bersedih hati dan juga manakala sedang senang hati. Tetapi apabila ia

sedang ingat kepada Allah, maka syaitan bersembunyi ketakutan.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, al-

waswas, bahwa makna yang dimaksud ialah syaitan yang membisikkan godaannya; namun

apabila yang digodanya taat kepada Allah, maka syaitan bersembunyi.

Ini sesuai dengan firman Allah,

بيل و الظ ونهم عيصد

هم ل وبن س

ه ك

هى ل

فاها

يع

ه ش

ض ل ي

ل ه حم

س السعش ع ذه هم م ن

حظبىن ؤ و

ا ك

ا جأءه

ى بذ هخدون حت مخم م

ليىم بذ ظ

م ال

عى

ىف

ول س

لع ال

بئ

حن ف

سك

ش بعد ال يذ بيني وبيى

ال ا

ىن رو

تاب مش

عر

م فى ال

ى ه

ؤ

“Barang siapa yang berpaling dari mengingat Allah (Petunjuk Allah) Yang Maha Pemurah

(yaitu Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah

yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” ( Qs. Az Zukhruf : 36)

Page 23 of 24

Syaitan akan bersembunyi dan lari terbirit-birit di saat manusia berdzikir, yaitu menyebut dan

mengingat Allah Ta‟ala. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam bersabda,

كداء ؤ ى الى

ض ا ك

ةذ

ف ذ

إ ظمع الخ

ى ل حت

ه ضساط

ان ول

يع

دبس الش

ة ؤ

ل ىدي للص

ا ه

ب بذ ى

ا ث

ى بذ بل حت

دبس ة ؤ

ل بالص

ا ل

رس ه

ها اذ

رس ه

ه اذ لى فظه

سء وه

عس بحن ال

خ ى بل حت

كىب ؤ

ث ى الخ ض

ا ك

ى بذ م حت

ا ل

ىم صل

دزي ه

جل ل ل الس

ظ ى س حت

هر

ى

"Jika panggilan shalat (adzan) dikumandangkan maka syaitan akan lari sambil

mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan telah

selesai maka syaitan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan syaitan kembali

berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap

masuk kepada hati seseorang seraya berkata, 'Ingatlah ini dan itu'. Dan terus saja dia

melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia

laksanakan dalam shalatnya." (HR Bukhari dan Muslim )

Tadabbur Ayat 5:

اض ىطىض في صدوز الى ري ال

“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.”

Bisikan syetan pada hati manusia sangat banyak dan beragam, semuanya mengarahkan

kepada kemaksiatan dan kejahatan.

Bisikan ini ditujukan kepada shadrun (dada) manusia. Kenapa shadrun (dada), tidak qalbun

(hati), dan tidak pula fuad (hati)? Jawabannya bahwa sebenarnya tiga kata itu maknanya

sama, hanya berbeda dalam penggunaannya saja. Shadrun (dada) adalah tempat dimana ada

fuad dan qalbun (hati).

Qalbun berarti sesuatu yang sering berbolik-balik. Allah Ta‟ala sajalah yang mampu

membolak-balikkannya. Di dalam doa‟ disebutkan:

ى دىبي عل

لذ ك ب

ىب ، ث

لل

ب ال

لا مل .

“Ya Allah, Yang Membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku ini agar selalu berada di dalam

agama-Mu “ ( HR Tirmidzi )

Tadabbur Ayat 6:

اض ت والى الجى م

“Dari golongan jin dan manusia.”

Ayat ini merupakan penjelasan dan kelanjutan dari firman-Nya: “..yang membisikkan

(kejahatan) ke dalam dada manusia.” (An-Nas: 5), sebagaimana pengertian yang terdapat di

dalam firman-Nya:

غ ى

ل ال

سف

ىحي بعضهم بلى بعض شخ

جع وال

و

ياظحن لاا ش بي عدو

ل ه

ىا لي

جعل رل

وه

سوزا

Page 24 of 24

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)

manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain

perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An'am, 6: 112)

Maraji’:

Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Surat An-Nas, DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A.

Mengurai Keutamaan Dan Kandungan Surat An-Naas, www.darussalaf.or.id

Tafsir Juz Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Sayyid Qutb