materi syariat umat terdahulu 1.docx

10
PENDAHULUAN Syar’u man qablaha adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu Zahran, syariat Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahi itu disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasulnya, dan telah dinashkan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka. Maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti, dengan menetapkan syariat kita kepada Nya. Seperti firman Allah. . ُ مُ كِ لْ بَ قْ نِ مَ نْ يِ ذَ ّ ى الَ لَ عَ بِ تُ ك اَ مَ كُ امَ يِ ّ ص ل اُ مُ كْ ي لَ عَ بِ تُ ك اْ وُ نَ مَ * اَ نْ يِ ذَ ّ ل ا اَ هُ ّ يَ * َ يArtinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183) Dan apabila al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih telah menceritakan mengenai hukum diantara hukum-hukum ini, maka wajiblah kita melaksanakannya. Seperti ajaran yang ada syariat Nabi Musa. Bahwa orang yang durhaka tidak bisa menembus dosanya kecuali jika dia membunuh dirinya sendiri, atau bahwa pukulan yang terkena najis tidak bisa disucikan kecuali dengan berpakaian yang terkena najis tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian terkena najis, dan hukum-hukum banyak menjadi beban orang-orang sebelum kita, dan Allah telah menghilangkan dari kita. Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan fiqh untuk memiliki fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-hukum Nya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam yang tidak pernah terjadi pada waktu Rasul masih hidup. 1. MACAM-MACAM SYAR’U MAN QABLANA[3]

description

syariat umat terdahulu

Transcript of materi syariat umat terdahulu 1.docx

PENDAHULUAN Syaru man qablaha adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu Zahran, syariat Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Quran atau al-Sunnah yang sahi itu disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasulnya, dan telah dinashkan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka. Maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti, dengan menetapkan syariat kita kepada Nya. Seperti firman Allah. . Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)

Dan apabila al-Quran dan al-Sunnah yang sahih telah menceritakan mengenai hukum diantara hukum-hukum ini, maka wajiblah kita melaksanakannya. Seperti ajaran yang ada syariat Nabi Musa. Bahwa orang yang durhaka tidak bisa menembus dosanya kecuali jika dia membunuh dirinya sendiri, atau bahwa pukulan yang terkena najis tidak bisa disucikan kecuali dengan berpakaian yang terkena najis tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian terkena najis, dan hukum-hukum banyak menjadi beban orang-orang sebelum kita, dan Allah telah menghilangkan dari kita.Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan fiqh untuk memiliki fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang lama bergaul dengan Rasulullah dan telah memahami al-Quran serta hukum-hukum Nya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam yang tidak pernah terjadi pada waktu Rasul masih hidup.1. MACAM-MACAM SYARU MAN QABLANA[3]Syaru Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Ulama sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.2. Dianggap syariat kita melalui al-Quran dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara ini(Syaru Man Qablana).[4]Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :[5]1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Anam, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod() ayat 24.2. kewajiban menqadhoi shalat Fardhu berdasarkan hadis nabiBarangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadhoilah kalau nanti sudah ingat dan ayatKerjakanlah shalat untuk mengingatku[6] yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.3. Ayat kelima dalam surat al-Maidah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.[7]3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.4. Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syariat terdahulu.1. HUKUM SYARIAT SEBELUM KITA (SYARU MAN QABLANA)Jika al Quran atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melaui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita diwajibkan kepada mereka , maka tidak diragukan lagi bahwa syariat ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti fiman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah: 183 . Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika najis yang menempel tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota yang terkena najis itu.Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita atau syaru man qablana ialah hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban. Hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat nabi Muhammad. Dimana kita dapat menemukakan syariat terdahulu itu, apakah dari kitab suci nabi dan rasul terdahulu yang ada sekarang seperti perjanjian agama Yahudi dan Injil untuk agama Kristen. Hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama?Pengelompokan syaru man qablana. Syariat sebelum kita dari uraian di atas, dapat dibagi ke dalam. 3 kelompok:1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al Quran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al Quran atau Nabi Muhammad.Contohnya firman Allah surah al An am: 146 Artinya: Kami haraman atas orang-orang yahudi setiap (binatang) yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya. (Q.S.al An am: 146)1. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-Quran maupun hadist Nabi di syariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Seperti firman Allah dalam surat al Baqarah: 183. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa di syariatkan untuk umat terdahulu dan diwajikan atas umat Nabi Muahmmad.Adapun contoh dalam hadist Nabi adalah tentang berkurban yang dijelaskan. Disyariatkan untuk nabi Ibrahim , juga di syriatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi: .Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim.1. Hukum-hukum yang disebut dalam al Quran atau hadist Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad. Namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku kepada kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinashkan. Seperti firman Allah dalam surah al Maidah: 45 ..Artinya: kami telah tetapkan mereka (kaum yahudi) didalamnya (Kitab Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa; maka dengan mata.(Q.S al Maidah: 45)Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang yahudi di masa kala.Demikian juga apabila Al-quran atau Al-hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyariatkan kepada ummat yang terdahulu, kemudian datang dalil syara yang membatalkannya, maka telah disepakati oleh seluruh ulama bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara bagi kita, karena sudah ada dalil yang membatalkannya. Misalnya syariat yang berlaku pada zaman nabi Musa as, bahwa seorang yang berbuat maksiat tidak akan diampuni dosanya kecuali bila ia membunuh dirinya, dan pakaian yang terkena najis tidak akan dapat disucikan kembali sebelum dipotong bagian yang terkena najis itu.Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh umat Nabi Musa as. Antara lain ialah firman Allah:Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya (Hud: 3)Taubat menurut syariat islam harus memenuhi 3 syarat, yaitu:1. Berhenti dari berbuat maksiat2. Menyesali perbuatan maksiat yang dikerjakan3. Berazam tidak akan mengulangi berbuat kembaliDalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang kena najis dengan memotong bagian yang kena najis sebagaimana yang dilakukan oleh ummat Nabi Musa antara lain firman Tuhan:Dan pakaianmu hendaklah kamu bersihkan (al-Mudatstsir: 4)Maka jumhur ulama Hanafiah dan sebagian ulama Malikiyah, serta sebagian Syafiiyah berkata: bahwasanya hukum itu adalah syariat untuk kita, dan wajib mengikuti serta menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada kita dan di dalam syariat kita tidak terdapat hukum yang merusaknya, karena hukum itu adalah diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui para Rasul Nya, dan Allah telah menceritakannya kepada kita.1. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYARU MAN QABLANA (SYARIAT SEBELUM KITA)Syariat terdahulu baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama, ulama yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah dalam surat al Maidah. Ayat 32 Artinya: Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh orang lain atau karena membuat kerusakan di muka bumi maka se akan-akan dia telah membunuh-membunuh manusia seluruhnya. (Q.S. al Maidah:32)Jumhur para ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah, dan sebgaian Syafiiyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang manasakh-nya. Alasannya mereka menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang tidak disyariatkan melalui para Rasul Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang mukallaf wajib mengikutiya. Atas dasar itu, menurut pendapat jumhur Hanafiah, orang islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan antara laki-laki atau perempuan. Syariat yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut masih tetap berlaku bagi umat islam, karena Al-quran menyebutkannya secara mutlak annan-nafsa bin-nafsi (jiwa dengan jiwa dan tidak ada dalil yang membatalkannya atau mengkhususkannya.Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syariat bagi ummat islam. Sebab syariat kita adalah menasakh (membatalkan) syariat yang telah ditetapkan kepada ummat sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syariat kita.[8]Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.Asyairah Mutazilah, Siah dan yang Rajih dari kalangan Syafiie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama.Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi (t.t.: 232) mengatakan bahwa syariat terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syariat karena ia dituliskan kembali dalam Alquran, sehingga ia telah menjadi syariat Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm (1404, V: 149) yang mengatakan bahwa bentuk syariat seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan.Sedangkan Syairazi (1985: 34) mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syariat umat Islam, 2) sebagai syariat Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syariat terdahulu, baik syariat Ibrahim, syariat Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syariat Isa), dan syariat Isa sendiri adalah syariat Islam.Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi (1400: 441) menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafiiyyah yang menyatakan bahwa syariat umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syariat Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syariat Islam me-naskh syariat terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syariat tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili (2001, II: 868) dengan menambahkan bahwa sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syariat tersebut.Selain itu, Khallaf (1978: 94) juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafii, berpendapat bahwa syariat yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syariat Islam serta kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syariat tersebut selama tidak adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syariat yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alquran itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada ketentuan Alquran yang me-nasakh syariat terdahulu, berarti ia diakui di dalam syariat Islam.E. KesimpulanSyaru man qablana dalam pandangan para ulama salaf adalah syariat-syariat para nabi terdahulu sebelum adanya syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Ada beberapa pandangan dalam memahami syaru man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syariat umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alquran yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syaru man qablana yang ditulis kembali dalam Alquran tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syariat Islam ada pula yang memandang sebaliknya.Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syaru man qoblana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syaru man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya.

[1] Judul makalah mata kuliah Ushul Fiqh Perbandingan II, Dosen Pembimbing Drs. Jamhuri[2] Nim: 130 707 590, Semester VI, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (SPH)[3] Abul Wahhab, Ilmu Ushulu al-Fiqh, Cet tahun 2003, Hal, 105[4] Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 843[5] Ibid. hal, 844[6] Surat Thaha, Ayat ,14[7] Al-maidah, ayat, 48[8] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Hal. 116