Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku...

196
Nadjib Kartapati Z

Transcript of Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku...

Page 1: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Nadjib Kartapati Z

Page 2: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

DILARANG BERTERUS TERANG:Tiga Novelet Pilihan

Cetakan Pertama, September 201814x21 cm ; ii+ 194 Halaman

ISBN 978-602-0713-03-8

PENULIS:Nadjib Kartapati Z

PENYUNTING:Selfietera

PERANCANG SAMPUL:Nadjib Kartapati Z

PENATA LETAK:Ahmed Ghoseen A.

Jl. Wonosari Km. 7 Kalangan Rt 7 No. 197 Yogyakarta 55197Email : [email protected]

www.aglitera.comHp. 0851-0561-0052

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis

Page 3: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 1

Bintang Film

SYAHRONI Abbas duduk termangu. Tangan kanannya memegang undangan dari Panitia Festival Film Indonesia

yang baru saja dia terima. Tanggal yang tertara dalam undangan itulah yang tiba-tiba membuat udara di ruang tamu terasa panas dan menggerahkan baginya. Serta-merta dia membanting undangan itu ke atas meja dan meraih remote control untuk menambah dingin AC di ruangan itu.

Eliza yang duduk gelisah di hadapannya tidak ingin melihat Syahroni menjadi senewen. Ia paham bahwa lelaki yang dicintainya itu sedang dihadapkan pada situasi yang tidak mudah dilewati. Dan Eliza merasa tidak punya cara lagi untuk menghibur atau sedikit saja meredakan gejolak hati kekasihnya. Toh demikian, Eliza tetap ingin berbuat sesuatu untuk Syahroni.

“Ini memang bukan yang pertama kamu masuk nominasi, Syah! Setidaknya sudah pernah dua kali,” kata Eliza. “Tapi sebagai nomine kamu harus hadir, Syah. Kayaknya tahun ini buatmu deh…”

Page 4: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Leher Syahroni langsung berputar untuk menghadapkan wajahnya ke wajah Eliza. Tatap matanya bukan lagi pancaran mata seorang kekasih. Dalam sinar mata itu ada semacam kejengkelan yang tak mampu dikuasainya.

“Kamu jangan berlagak bego, El! Sudah berapa kali aku bilang, kalau FFI itu jadi diselenggarakan Sabtu mendatang, aku nggak akan bisa hadir!”

Syahroni Abbas meraih undangan itu dan membacanya sekali lagi. Tak ada secuil pun huruf yang berubah. Ia menggeram dan kembali membanting undangan itu.

“Aku harus pulang kampung!”

“Sudah bulat keputusanmu?” tanya Eliza lebih bertujuan untuk meyakinkan hatinya sendiri.

“Hari itu hari ulang tahun ke-50 perkawinan orang tuaku. Kawin emas!” jawab Syahroni penuh aksentuasi. “Aku harus datang. Harus!”

“Seberapa penting hari ulang tahun perkawinan itu bagi ayah dan ibumu?”

“Boleh saja hari itu tidak punya arti apa-apa buat mereka. Tapi bagiku merupakan momen yang sangat sitimewa. Masih belum paham kamu?”

“Bukan kepentingan mereka, kan?”

“Tapi kepentinganku!”

“Jadi kamu masih juga memikirkan ayahmu?”

Page 5: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 3

“Gila! Kukira kamulah orang yang paling memahami persoalanku. Ternyata nggak! Berapa kali aku bilang bahwa selama ini aku berjuang hanya untuk memperoleh pengakuan ayahku,” raung Syahroni dengan napas yang tiba-tiba memburu. “Juga fi lmku yang masuk nominasi itu. Tanpa motif ini fi lm itu nggak akan pernah lahir, El!”

Sampai di sini Eliza pun terdiam. Dari pancaran mata kekasihnya yang berkilat, juga dari garis bibirnya yang agak melengkung ke bawah, Eliza paham Syahroni sedang marah. Eliza menyedot rokok putihnya kuat-kuat untuk kemudian membenamkan sisa rokok itu ke dalam asbak. Dengan gerakan yang pasti dia bergeser mendekati tempat duduk Syahroni.

“Maafi n aku, Sayang!” ucap Eliza lembut. “Aku mohon kamu sedikit saja cooling down’lah. Jujur aku khawatir kalau pada momen sepenting ini kamu malah jatuh sakit. Ingat, Sayang! Tensi darahmu bisa naik lho!”

Syahroni terdiam beberapa saat. Dengan mata terpejam dia tertunduk sambil memujit-mijit kedua pelipisnya. Kebingungan seakan sedang menguasai dirinya sekaligus membuat hatinya menjadi tidak menentu. Sejak fi lm terakhirnya dibuat, puncak dari festival fi lm itu sudah lama ia nanti dan ia harap-harapkan. Sebab dari sana ia yakin akan memperoleh penghargaan yang akan mengokohkan posisinya di dunia perfi lman tanah air.

Akan tetapi, tak kalah pentingnya adalah momen hari ulang tahun perkawinan ayah-ibunya. Sejak dari awal Syahroni sudah merencakan akan berbuat sesuatu pada hari

Page 6: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

dan tanggal itu, karena ia yakin bahwa hari ulang tahun perkawinan orang tuanya itu merupakan satu momentum yang luar biasa. Dan sekarang dia bingung lantaran keduanya terjadi pada hari yang sama. Tempatnya pun sangat berjauhan. Yang satu di Jakarta, satunya di Pati, nun di Jawa Tengah sana..

“Aku tahu undangan itu penting didatangi,” ucap Syahroni lebih menyerupai gumam, sambil kembali mengambil undangan yang tadi dibantingnya itu. Sekarang surat undangan itu ditimang-timangnya. “Tapi kupikir hari kawin emas orang tuaku jauh lebih penting…”

“Jauh lebih penting?” sahut Eliza, ragu-ragu. “Bukannya kamu pernah bilang kalau ayahmu nggak pernah kenal tradisi ulang tahun?”

“Memang! Tapi momentumnya, El! Itu adalah hari paling baik bagi kepulanganku. Dengan segala upayaku, akan aku mempertontonkan copy fi lmku itu pada Ayah.”

“Buat apa?”

“Biar Ayah melihat penderitaan anak bungsunya di dalam mencari pengakuannya. Bahasa fi lm lebih menyentuh ketimbang celoteh mulutku. Itulah kenapa aku berambisi membuat fi lm itu....”

“Menurut ceritamu, bukankah ayahmu sudah jelas-jelas menampikmu? Lalu apa lagi yang kamu harapkan, Syah?”

“Perjuangan tak akan pernah berakhir.”

Eliza terdiam. Dia mengambil lagi sebatang rokok putih dari tempatnya dan kemudian menyalakannya. Melalui

Page 7: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 5

mulutnya yang mungil Eliza mempermainkan sekaligus mengepulkan asap rokok, sehingga asap pun membentuk lingkaran dan bergulung-gulung ke atas.

“Kalau nggak hadir, bagaimana kalau kamu terpilih sebagai aktor terbaik? Apa itu tidak mengecewakan sekian banyak fans kamu?”

Syahroni sedikit tersentak.

“Lagi-lagi fans. Bosan! Siapa pun nggak berhak menuntut aku terlalu banyak, termasuk kamu, El. Camkan ini!” geramnya.

Setelah sekali lagi membanting kartu undangan ke atas meja, Syahroni berdiri seperti mau beranjak. Eliza buru-buru menahan pundaknya.

“Mau ke mana, Sayang?”

Syahroni tidak menjawab, tetapi menuruti kemauan Eliza yang menghendaki agar dia tetap tenang di kursinya. Kini Syahroni bahkan merebahkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kepala menengadah ke enernit dan mata terpejam.

Sekonyong-konyong bayangan wajah ayahnya melenggang dalam benaknya. Seorang lelaki tua dengan rambut yang seluruhnya putih. Wajahnya tampak demikian teduh meski telah diramaikan oleh ribuan kerut-merut. Bayangan itu tiba-tiba terasa begitu menteror sekaligus memanggil-manggilnya.

Syahroni menggebrak meja sebagai usaha menepis bayangan itu. Tanpa terduga oleh Eliza, Syahroni berdiri

Page 8: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

dan melangkah ke counter-bar yang berada di sudut ruang tamu rumahnya. Di sana dia menuang bir hitam dan lantas menenggaknya, seakan-akan dengan minuman yang berkadar alkohol itu segalanya akan tertepis.

Dari tempatnya Eliza memandangi kekasihnya tanpa berkata-kata. Seperti biasanya, Eliza tahu jiwa Syahroni selalu tertekan setiap kali membicarakan ayahnya di desa yang hingga kini tetap menolak kehadiran anak lelakinya itu. Eliza kemudian berdiri dan melangkah mendekati Syahroni.

“Kuharap kamu tidak seperti orang-orang itu, Eliz. Mereka selalu menuntutku terlampau banyak. Mereka nggak pernah peduli bahwa sebagai pribadi aku juga punya kepentingan,” ucap Syahroni lebih menyerupai protes.

“Aku bisa memahami perasaanmu, Syah!” jawab Eliza dengan sangat hati-hati. Ia pegang pundak Syahroni. “Sebaiknya kamu istirahat, tenangkan pikiranmu. Aku berdoa ayahmu akan mengubah sikapnya...”

Syahroni menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lepas. Ia menurut saja ketika Eliza menggandeng dan menuntunnya ke dalam. Eliza tak ingin Syahroni terlalu banyak menenggak bir. Ia ingin menjauhkannya dari pengaruh minuman itu.

Sampai di ruang tengah Syahroni membunuh langkah. Tatap matanya liar menebar ke tiap sudut ruangan. Bagai sedang menemukan ilham, ia tarik tangannya dari genggaman Eliza untuk kemudian melangkah mendekati meka komputer di mana kemarin dia menancapkan sebuah fl ash disk di sana.

Page 9: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 7

“Mau apa lagi, Syah?” tanya Eliza.

“Memutar lagi fi lm itu.”

Eliza mendesah. Ia khawatir fi lm itu akan membuat kekasihnya semakin stress. Sebab isi fi lm itu seluruhnya menceritakan perjalanan hidup dan proses perjuangan Syahroni di dalam memperoleh pengakuan dari sang Ayah. Akan tetapi, Eliza tidak berani mencegah ketika Syahroni mencabut fl ash disk kemudian menancapkan barang kecil yang berisi fi lmnya itu ke samping LED TV berukuran 50 inci.

***

Di layar LED TV selebar 50 inci itu muncul kalimat Rindu Pelukan Ayah sebagai judul fi lm tersebut. Dalam credit title Nama Syahroni Abbas tertera sebagai pemain utama, penulis skenario, dan juga produser.

Pada intronya ada puisi dua baris berbunyi:

Ayah, adakah kau dengar rintih anakmu?

Terbanglah merendah, tebarkan sayap kasih sayangmu

Dari jauh kamera menganalisa pemandangan alam. Tampak sebuah desa yang damai dan teduh. Terhampar padang persawahan yang lagi menguning oleh padi yang tumbuh di atasnya. Desa itu menyerupai sebuah pulau yang tersembul dari hamparan sawah. Garis-garis pematang makin menyempit dalam perspektif pandangan mata. Pepohonan

Page 10: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

menghijau. Langit suci dari awan. Air bening mengalir dari pancuran buatan, memberikan gambaran betapa subur daerah itu. Juga beberapa petani yang mencangkul dan membajak, tampil sebagai saksi pengolah kehidupan.

Lalu kamera tiba-tiba beralih pada pemandangan sebuah desa. Pada sebuah perempatan kecil di tengah desa itu sejumlah santriwati, yang dalam keseharian disebut fatayat, tampak berlalu-lalang. Rata-rata umur mereka tak lebih dari 22 tahun. Mereka mengenakan jilbab atau kerudung. Juga tampak santri lelaki sesekali melewati perempatan itu, berjalan kaki atau bersepeda motor. Tak jauh dari perempuan desa itu berdiri megah sebuah masjid. Bangunan masjid itu terkesan kuno, namun direnovasi sedemikian rupa sehingga tampak perpaduan antara yang lama dan yang modern.

Desa itu bernama Kajen. Terkenal sebuah desa yang memiliki banyak pesantren, baik pesantren perempuan maupun lelaki. Di desa itu, di daerah Pati utara yang sejuk, yang terbilang lereng Muria sebelah timur, ada makam seorang waliyullah bernama Ahmad Muttamaqin. Peziarah dari luar kota tak pernah putus. Pada satu titik di wilayah Desa Kajen ini berdiri sebuah pondok pesantren kecil. Beberapa santri tampak tengah nderes Alquran dengan duduk berderet di atas tembok teras. Di belakang kompleks pondok terdapat sebuah rumah berpendopo luas. Itulah rumah sang kyai sekaligus pemilik pondok pesantren, Haji Abbas namanya. Dialah ayah Syahroni.

Kelahiran Syahroni di muka bumi ini memang merupakan suatu peristiwa alam yang punya arti besar bagi

Page 11: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 9

Haji Abbas. Peristiwa di mana Allah sedang mengabulkan doanya. Ia adalah anak yang dirindukan oleh kedua orang tuanya. Anak lelaki satu-satunya dari tujuh bersaudara. Ia lahir ketika usia ayahnya menginjak 46 tahun, suatu usia yang matang bagi seorang bapak. Acara berjanji—semacam pembacaan syair pujian terhadap Rasul—diselenggarakan tujuh malam lamanya. Seekor sapi jantan besar dan tua disembelih sebagai akikah. Orang-orang kampung bilang, “Telah lahir calon kyai, penerus pondok pesantren yang lama dinanti-nanti.”

Bak seorang pangeran, Syahroni kecil disanjung dan dihormati warga desanya. Ia tumbuh menjadi anak yang sehat, lincah, tampan, dan cerdas. Haji Abbas mendidiknya secara keras dengan disiplin yang tinggi, namun juga mengasuhnya dalam ayoman kasih sayang yang deras.

Tak jelas dari mana temurunnya bakat seni yang mengaliri darah Syahroni. Anak kyai yang baru tumbuh remaja itu menggandrungi aksi baca puisi. Bahkan sering ia menulis sebait atau dua bait sajak di buku pelajarannya. Lebih dari sekadar itu. Syahroni sering diam-diam keluar rumah malam hari sampai larut, hanya untuk menonton kethoprak. Kabupaten Pati sejak dulu memang subur bagi group kethoprak. Boleh jadi Pati adalah rahim yang subur bagi lahirnya group kesenian panggung bernama kethoprak itu. Dan Bakaran, sebuah desa di Kecamatan Juwana, Pati, disebut-sebut oleh masyarakat sekitar sebagai “desa kethoprak” dan dimitoskan hingga sekarang. Syahroni hanyalah satu orang dari ribuan warga yang menggandrungi kethoprak, tanpa peduli ia anak seorang kyai.

Page 12: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Kamu jangan macam-macam, Syah. Allah telah menakdirkan kamu menjadi penerus pesantren ini,” tutur Haji Abbas manakala Syahroni diam-diam melakukan kegemarannya nonton ketoprak malam hari.

“Takdir Allah? Bagaimana Abah tahu takdir Allah?”

“Siang-malam Abah berdoa meminta anak lelaki sebagai pengganti Abah kelak. Dan doa itu dikabulkan Allah. Bukankah itu isyarat sebuah takdir? Di samping itu kamu tahu sendiri, siapa yang akan menggantikan Abah kecuali kamu? Semua kakakku perempuan, kan, Syah?”

Kalau kemudian Syahroni terdiam, sungguh lebih karena tidak berani membantah tutur kata sang ayah. Namun, jauh di hati anak lanang itu menggaung pekik protes, “Kenapa aku harus lahir dalam skenario rencana Ayah? Kenapa aku tidak boleh bebas menentukan pilihanku sendiri seperti anak-anak yang lain?”

Di pihak lain, kelahiran Syahroni diyakini oleh Haji Abbas sebagai jawaban Allah bagi harapan dan impiannya. Maka segala macam persiapan pun telah dilakukan. Pagi hari Syahroni belajar di SD, siangnya di madrasah. Begitu pula tahapan selanjutnya, pagi di SMP dan siang di Stanawiyah. Tiga tahun kemudian, pagi di SMA dan siang di Aliyah. Segala aturan dan ketentuan Haji Abbas memaksa Syahroni kehilangan masa remajanya yang indah. Diam-diam ia merasa menjadi korban dari harapan dan cita-cita ayahnya.

***

Page 13: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 11

Dan sekarang Syahroni berpikir bahwa setamat aliyah dan SMA ia ingin kuliah ke Yogyakarta, masuk UGM dengan mengambil Fakultas Filsafat. Ia tidak tahu persis apa itu fi lsafat, kecuali bahwa fi lsafat adalah sebuah cabang ilmu yang mencintai kebijaksanaan. Pengetahuan itu pun dia peroleh dari membaca sebuah artikel di koran pembungkus baju uminya yang dia ambil dari laundry dua tahun yang lalu. Dan sejak saat itu pikirannya tergoda oleh apa yang dinamai fi lsafat.

“Sekali ini saya minta Abah mengabulkan permintaan saya. Izinkanlah saya masuk fakultas fi lsafat di UGM, Bah,” kata Syahroni begitu lulus SMA.

Haji Abbas mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Dia yakin telinganya tidak salah dengar karena kata fi lsafat yang diucapkan oleh bungsunya itu cukup keras dan mantap.

“Jangan aneh-aneh!” jawab Haji Abbas sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya ke lantai. “Fakultas Tarbiyah di IAIN sangat tepat untukmu, Syah. Pahamilah kemauan Abah.”

“IAIN? Maksud Abah Universitas Islam Negeri?”

“Apalah namanya… pokoknya yang dulu memakai nama Sunan Kalijaga itu! Itu pun harus di jurusan tarbiyah. Paham?”

Arti kata tarbiah jauh lebih dipahami oleh Syahron ketimbang kata fi lsafat. Dan kata tarbiyah sudah begitu akrab bagi telinga dan otaknya. Tarbiyah dalam pemahamannya adalah ilmu pendidikan, dan itu kemudian ditafsirkan

Page 14: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

sebagai kemauan dan obsesi abah-nya agar dia meneruskan pendidikan di pesantren yang kelak diwarisinya.

“Tapi saya kurang tertarik di tarbiyah, Bah!” tolak Syahroni. “Bukankah Abah pernah bilang bahwa orang belajar itu harus sesuai dengan ilmu yang diminati?”

“Abah punya kepentingan supaya kamu menguasai ilmu pendidikan. Tahu kamu, buat apa ilmu itu bagimu? Supaya kamu bisa menggantikan Abah mengurus pesantren ini!”

Apa yang ada di dalam pikiran Syahroni tidak meleset. Tuhan telah menentukan dirinya sebagai satu-satunya anak lelaki Haji Abbas, sekaligus harus menjadi korban obsesi ayahnya. Maka ia pun membayangkan bahwa setamat kuliah nanti ia akan kembali ke kampungnya, mengurus pondok pesantren, berkecimpung dengan pembaharuan kurikulum, mengurus manajemen pengelolaan, mengerutkan kening untuk memperoleh suntikan dana dari para donatur, bertanggung jawab atas maju dan tidaknya pesantren tinggalan ayahnya, dan seterusnya dan seterusnya. Namun, di sisi lain ia juga menyadari akan posisi dirinya yang lemah, yang tidak atau belum berkuasa menentukan langkah pilihannya sendiri.

Meskipun akhirnya Syahroni harus mematuhi anjuran ayahnya, pikirannya tetap tak mampu memahami kemauan itu. Akan tetapi, dengan bersekolah di UIN Sunan Kalijaga Yogya, dia merasa terlepas dari kontrol dan pengawasan ayahnya. Tekanan keras dan doktrin ayahnya selama ini tanpa disadari telah menciptakan bisul bernanah dalam dirinya.

Dan bisul itu kini pecah berupa penebusan terhadap keindahan masa remajanya yang hilang. Itulah yang terjadi

Page 15: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 13

tatkala Syahroni jatuh cinta pada Rita, seorang mahasiswi sebuah akademi.

***

Sebagai perjaka putra seorang kyai yang dihormati lingkungan, sering membuat Syahroni salah tingkah. Parasnya yang tampan dan tutur katanya yang lembut namun mantap itu mengundang simpati banyak orang. Bahkan gadis-gadis di lingkungannya selalu memancing senyum Syahroni dengan segala tingkah polah mereka. Dan gadis-gadis itu langsung menyuguhkan senyum termanis mereka ketika Syahroni melempar sedikit saja aura keramahannya. Tetapi hanya sebatas itu. Sebab Syahroni lebih memihak pada sikapnya yang menjaga wibawa dan kehormatan Sang Ayah.

Kalau dia mau jujur, satu atau dua gadis di daerahnya pernah merisaukan hatinya. Tiap kali berpapasan, mereka selalu menukar senyuman. Dan pada saat yang demikian itu hati Syahroni langsung tergetar dibarengi oleh jantungnya yang berdegup lebih kencang. Apa itu namanya kalau bukan embrio dari perasaan cinta, pikirnya. Suasana hati yang sama terjadi di Yogya ketika dia berkenalan dengan Rita, seorang mahasiswi dari sebuah akademi. Bedanya, bila di kampung perasaan semacam itu ia lawan sekuat mungkin demi menjaga martabat Sang Ayah, sedangkan sekarang tidak. Syahroni berpikiran bahwa penduduk kota Yogyakarta tak satu pun yang kenal dan peduli terhadap kewibawaan Haji Abbas.

Oleh sebab itu, Syahroni pun menyerahkan segalanya pada kehendak alam. Dia merasa bahwa inilah takdir yang harus dijalani. Analisis pikirannya yang cethek menyimpulkan

Page 16: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

bahwa menerima kehadiran Rita sebagai pacarnya adalah satu keniscayaan, atau, dengan ungkapan lain, dia meyakini bahwa gadis asal Sumatra itu memang sengaja dikirim oleh Tuhan untuknya. Ia mempercayai hal itu karena satu keyakinannya bahwa tak ada selembar pun daun yang jatuh tanpa izin Allah.

Tetapi, dunia percintaan yang kini dimasuki itu adalah satu dunia asing yang penuh keindahan yang mempesona dan menyihir. Syahroni yang datang dari kampung dengan tujuan menuntut ilmu itu tak pernah mempersiapkan mentalnya. Baginya, dunia percintaan merupakan satu alam kehidupan baru. Artinya, itulah pengalaman pertama dalam hidup Syahroni. Sebagai pemain yang belum berpengalaman, maka gelombang dan badai asmara itu menjadi terlalu dahsyat untuk ia lawan. Dan Syahroni tergulung di dalamnya.

Pada saatnya gelombang dan badai itu menyapu bersih cita-cita Haji Abas, dan bahkan menyeret Syahroni dalam ketidakpedulian. Cinta menjadi segala-galanya. Ketergilaan Syahroni terhadap Rita membuatnya seakan hidup di dunia ini semata-mata untuk cinta. Ia yang untuk pertama kalinya jatuh cinta pada gadis idamannya, memaksanya melihat persoalan lain menjadi tidak penting. Menuntut ilmu di bangku kuliah, di mana segunung harapan Haji Abbas berdiri kokoh di sana, kini justru menjadi penghalang keindahan cintanya. Jam-jam kuliahnya sering berbenturan dengan waktu luang Rita, sehingga ajakan gadis itu untuk menikmati indahnya cinta pada awalnya sering tertolak.

“Kalau begini caranya, aku harus berpikir ulang deh, Syah! Apa artinya cinta kalau selalu nggak ada waktu untuk

Page 17: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 15

mengekspresikannya?” kata Rita yang mulai menampakkan wajah cemberut.

Dalam hati Syahroni membenarkan apa yang diucakan Rita itu. Cinta perlu ekspresi. Tak hanya di hati dan di mulut saja. Tetapi juga dalam perbuatan. Dalam tindakan. Pada saat seperti itu, Syahroni selalu terusik oleh ambisi Sang Ayah untuk menjadikan dirinya penerus dinasti kekyaian dengan jalan menggantikannya mengelola pesantren. Jiwa kebebasannya langsung memberontak, merasa diperlakukan tidak adil dan sekaligus merasa dijadikan korban.

“Jadi maumu aku harus bolos kuliah setiap kali kamu mengajakku jalan? Begitu?” tanya Syahroni sekadar ingin mendengar ketegasan Rita.

“Setidaknya, dengan memenuhi ajakanku, aku menjadi paham sebesar apa cintamu kepadaku. Dmikian juga kalau kamu menolak,” jawab Rita tangkas.

“Baik!” sahut Syahroni mantap.

Dalam hatinya ia berterima kasih kepada kekasihnya itu. Sebab, Syahroni sadar bahwa tidak setiap orang dalam hidup ini dikaruniai Tuhan kesempatan untuk bisa saling jatuh cinta. Ia bisa merasakan sendiri betapa banyak gadis di desanya yang sebetulnya naksir padanya, tetapi ia tidak tertarik. Tidak ada kemistri. Atau sebaliknya, ia sendiri juga pernah menaksir seseorang, tetapi yang ditaksirnya itu tidak menanggapinya. Kesempatan untuk bertemu dan kemudian saling jatuh cinta memang hanya peristiwa insani biasa. Tapi kesempatan itu hanya akan didapat semata-mata bila dikehendaki oleh Tuhan. Seperti itulah yang diyakini Syahroni.

Page 18: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Maka pada perkembangannya kemudian, Syahroni memperhatikan Rita lebih dari segalanya, termasuk harapan Haji Abbas. Tetapi, tanpa disadarinya, ada yang harus ia bayar secara mahal dalam arti yang sesungguhnya. Rita yang hidupnya cenderung glamour dan menyenangi dugem itu, diam-diam menyeret Syahroni dalam kehidupan baru dengan ongkos yang tidak murah. Uang kiriman Haji Abbas yang sedianya untuk kost, keperluan logistik, dan seluruh biaya kuliahnya, hangus atas nama cinta.

Apa yang ia santap bersama Rita di luaran adalah menu makanan yang serba lezat, tapi begitu masuk kost ia rela mengunyah nasi kemarin dengan sedulit sambal. Untuk menutup biaya hidup yang tidak bisa dihindari, Syahroni terpaksa menerima order terjemahan bahasa Arab dengan honor yang tak seberapa. Dan itu ia terima karena memang hanya itu yang ia bisa. Kalau masih kurang, satu-satunya jalan yang ia tempuh adalah ngutang pada kenalan yang mempercayainya. Semua dilakukan demi cinta, dan ia mau memaklumi karena kata orang cinta selalu membutuhkan pengorbanan.

Ketakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, pada gilirannya mengantarkan Syahroni ke jurang kebangkrutan. Ia mulai kebingungan setiap kali Rita mengajaknya ke luar jalan-jalan. Dan pada saat itulah Rita mulai menampakkan sifatnya yang asli. Yang ia cari dari Syahroni bukalah cinta, namun sesungguhnya adalah hedonisme belaka. Oleh sebab itu, rasa cinta Syahroni yang ditautkan begitu erat pada hati Rita, di mata gadis itu hanyalah sebuah ketololan. Syahroni meyakini bahwa Rita adalah satu-

Page 19: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 17

satunya pilihan di antara sekian banyak gadis yang ia kenal, tak lain karena Ritalah gadis yang berhasil merenggut hati dan cintanya. Sementara di pihak lain, Rita melihat Syahroni hanyalah pelabuhan singgah ketika belum ada lelaki muda yang benar-benar pas menjadi objek targetnya.

Maka ketika kemudian hadir seorang pemuda yang mendekati kriteria Rita, Syahroni pun merasa tercampakkan. Rita memilih sang new comer itu lantaran jauh lebih sanggup memenuhi hasratnya untuk suatu kenikmatan hedonis, tanpa pernah peduli lelaki itu benar-benar mencintainya. Di pihak lain, Syahroni sadar bahwa sebagai calon kyai pada sebuah pesantren kecil di desa dirinya tak akan mampu memberikan janji baik apa-apa kecuali investasi di akhirat nanti.

Kini hati Syahroni terbengkalai. Nestapa seluruh umat manusia seakan-akan tengah ditimpakan oleh nasib buruk atas dirinya. Dia luka dan dendam. Dia tak betah lagi tinggal di Yogya, tetapi juga tidak sudi kembali ke kampungnya. Kuliahnya berantakan pada pertengahan semester keenam.

***

Dan Jakarta adalah kota impian di mana ia berambisi melunasi dendam dan sakit hati. Syahroni tak mau dengar lagi ratap kecewa ayahnya. Bahkan dendam dan sakit hati itulah yang meniupkan keberanian di dalam menanggung derita kelaparan di Ibu Kota. Syahroni menjadi gelandangan yang dia sendiri tak jelas tahu dari mana bisa mendapatkan isi perut tiap hari sekadar buat memperpanjang hidupnya.

Page 20: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Sehari dua hari menjadi tukang parkir liar di satu kawasan, hari ketiga dia sudah diusir oleh preman yang menguasai lahan di sana. Tak ingin mati konyol karena ancaman preman itu, Syahroni pun menyingkir sebagai pecundang. Berbekal ototnya yang lumayan kuat, dia menjual tenaganya sebagai kuli angkat di terminal kepada penumpang bus yang datang dari luar kota. Pekerjaan ini relatif tanpa gangguan. Namun, pada satu fajar dia nyaris dipergoki oleh tetangganya dari desa yang baru saja tiba di Jakarta. Maka Syahroni pun memutuskan angkat kaki dari terminal.

Tidur di sembarang tempat bukan hal yang aneh bagi Syahroni. Setelah dia sempat menjadi calo pada sebuah terminal bayangan dan kemudian menjadi tukang antar barang pada sebuah toko bahan bangunan, dia mulai berpikir bahwa apa yang dialakoni itu hanyalah kesia-siaan dan menyiksa hidupnya sendiri. Di saat itulah Syahroni melakukan i’tikaf pada sebuah masjid kecil. Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang sering dia panggil Mang Ucup, yaitu merbot pada masjid kecil itu, meninggal dunia. Syahroni secara suka rela mengerjakan apa yang biasa dilakukan oleh Mang Ucup, sampai pada akhirnya panitia masjid mempercayainya menjadi merbot.

Masa depan macam apa yang bisa diharapkan oleh seorang merbot pada sebuah masjid kecil? Itulah pertanyaan yang tidak pernah berhenti bergaung dalam tempurung kepala Syahroni. Pertanyaan itu serta-merta membuatnya rindu kepada ibu dan ayahnya di desa bernama Kajen yang ramah dan berseri. Syahroni mulai menyadari bahwa dirinya adalah anak lelaki satu-satunya, tempat di mana ayahandanya

Page 21: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 19

menaruh harapan. Rasa kangen itu membuatnya tiba-tiba ingin pulang. Ingin mencium telapak tangan ayah dan ibunya. Ingin memeluk mereka seraya menangis dan memohon maaf atas langkah konyol yang dia ambil selama ini.

Pada saat seperti itu, suatu hari, halaman rumah dekat musholla tempat dia menjadi merbot itu dipakai lokasi syuting fi lm oleh seorang sutradara. Dan Syahroni membantu menangani ini dan itu bersama kru fi lm yang ada. Performance Syahroni yang memang tampan itu menarik perhatian Sang Sutradara. Sangat bisa dimaklumi. Postur tubuh Syhroni yang tegap dan paras wajahnya yang ganteng dan simpatik itu secara niscaya menggelitik minat sang sutradara untuk mengorbitkannya ke layar perak.

Syahroni hampir tidak percaya ketika sutradara itu bertanya apakah dia bersedia bila suatu hari diajak bermain fi lm. Tetapi kepala Syahroni lebih cepat mengangguk sebelum pikirannya mempertimbangkan.

“Bagus!” kata sutradara bernama Diyon itu sambil mengulurkan tangan. “Boleh saya tahu siapa namumu?”

Syahroni menyambut uluran tangan sutradara itu dengan hangat dan antusias.

“Nama saya Syahroni, Bang.”

Mendengar nama Syahroni, Diyon mengerutkan kening dan memberikan respon yang kurang enak.

“You mesti ganti nama. Syahroni bukan nama yang komersial,” kata Diyon.

Page 22: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Syahroni sedikit tersinggung karena bagaimanapun nama itu pemberian ayahnya yang saat ini sedang dirindukannya.

“Apalah arti sebuah nama?” bantahnya penolak.

“Itu kata Sheksepiare. Kuno! Nama yang bagus akan menciptakan image yang bagus pula. Ini hukum dunia artis.”

“Nggak! Kalau mau saya tetap pakai nama asli. Bahkan saya akan menambahkan nama ayah saya, Abbas.”

Diyon kembali mengerutkan keningnya, namun cuma hitungan detik. Selebihnya sutradara itu meledakkan ketawanya, seolah-olah sedang menemukan kemujuran.

“Syahroni Abbas? Boleh juga tuh. Enak didengarnya,” komentar Diyon.

Dan sutradara fi lm picisan itu, dalam waktu yang tidak lama memberi Syahroni peran sebagai gigolo dalam sebuah fi lm abal-abal.

Dan Syahroni menerima tawaran peran itu.

***

Mungkin karena memang punya bakat akting, Syahroni Abbas tidak mengalami kesulitan dalam proses syuting. Kalaupun dalam berakting itu ada kecanggungan, tak lain dan tak bukan karena dia harus melakukan adegan panas yang dalam hidupnya tak pernah dilakoni. Namun bagi Diyon hal itu tidak terlampau sulit diatasi. Sutradara fi lm picisan yang punya jam terbang tinggi itu selalu mampu mengatasi problem psikologis yang dialami oleh pemainnya.

Page 23: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 21

“Akting kamu lumayan, Syah!” kata Diyon, membuat Syahroni merasa punya rasa percaya diri, dan itulah yang membuatnya bersemangat.

Boleh jadi semata-mata karena selera rendah penonton, fi lm yang penuh adegan panas itu meledak di pasaran. Dan di sinilah nasib baik—kalaupun itu boleh disebut nasib baik—merangkul Syahroni. Media massa, baik cetak, elektronik maupun online, menulis dan memuat fotonya. Namanya pun secepat kilat membubung tinggi, bergaung dari laut ke puncak gunung, sampai akhirnya menebar ke tiap perkampungan dan mengiang-ngiang pada setiap permukaan telinga orang di desanya.

***

Bila ada orang yang merasa paling dipermalukan di muka bumi ini, ia adalah Haji Abbas. Berpuluh kali ia mengucap istigfar tatkala ia memerlukan nonton fi lm tersebut di kota Kudus. Sudah cukup lama di kota kabupatennya, yaitu kota Pati, tidak ada lagi bioskop. Padahal, di masa kejayaannya dulu, tontonan layar lebar itu pernah berkibar di di kota kecamatan Tayu, yang letaknya hanya sembilan kilometer dari rumah Haji Abbas. Tetapi kini, di seluruh wilayah Kabupaten Pati tak ada lagi bioskop.

Rukhamah dan Muslikhah, kedua anak Haji Abbas yang tinggal dalam satu desa, membujuk ayahnya agar bersedia diajak nonton fi lm yang dimainkan adiknya itu. Tak hanya kepada Haji Abbas. Bahkan, kedua putri Sang Kyai itu juga merayu ibu mereka. Sebab, dalam pertimbangan mereka, membujuk sang Ibu jauh lebih gampang. Kalau ibu mereka

Page 24: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

mau, demikian pikir mereka, ayahnya pasti akan mau juga. Perhitungan mereka memang terbukti tidak meleset. Ketika Hajjah Zainab, ibu mereka, berhasil mereka bujuk, maka Haji Abbas pun menganggukkan kepala demi mendampingi sang istri tercinta. Mobil Kijang milik suami Rukhamah yang sudah agak kelewat tahun itu pun buru-buru di-service di bengkel demi kenyamanan Haji Abbas dan Hajjah Zainab.

Akan tetapi, kyai desa itu sudah menempuh perjalanan sejauh empatpuluh kilometer, tetapi yang diperolehnya kemudian adalah rasa malu dan sakit hati. Rasa sakit hati itu disimpannya, dan akan dimuntahkan nanti bila suatu hari Syahroni pulang.

***

“Kamu telah mengencingi muka abah-mu. Anak durhaka! Mursal!” hardik Haji Abbas ketika bintang fi lm yang lagi melejit itu pulang ke kampung. “Ibumu pingsan begitu tiba di rumah sepulang nonton. Tega benar kamu mempermalukan orang tuamu. Anak ndak punya moral!”

“Saya mohon maaf, Bah. Saya mengaku telah khilaf,” ucap Syahroni dengan kepala menunduk, takzim dan menghormat.

“Enteng sekali kamu minta maaf untuk kesalahan yang begitu besar. Setelah kamu hancurkan harapanku, kamu permalukan orang tuamu dengan perbuatan binatang itu. Subhanallah! Tak pernah berpikir aku bahwa kelahiranmu akan menjadi ujian berat bagiku.”

“Saya tidak akan melakuknnya lagi, Bah. Sungguh!”

Page 25: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 23

“Dosamu terlampau besar, Syah! Enyah kamu dari rumah ini kalau tak ingin aku menyuruh para santri itu mengeroyokmu,” geram Haji Abbas dengan suara gemetar.

Syahroni melangkah ke luar. Ayunan kakinya terasa demikian berat bagai gerobak bermuatan sarat. Kegagahannya sebagai bintang fi lm luruh dan lenyap. Ia memandang dirinya sebagai anak buangan, terkucil tanpa arti. Tatap mata para santri terasa menikam jantungnya, dan seakan tetap melekat di tengkuknya meski ia sudah jauh di luar kompleks pondok pesantren itu.

***

Tiba di tempat kostnya di Jakarta, pemilik kost menyampaikan tiga lembar memo dari tamu yang mencarinya. Syahroni sudah menduga karena ketika dia pulang kampung ada beberapa telpon masuk ke ponselnya. Ia tak mau mengangkat lantaran nomor itu tidak termemori dalam daftar nama di ponselnya. Juga akibat pikirannya yang lagi mumet karena kemarahan Sang Ayah. Ia menghela napas panjang ketika membaca memo-memo itu. Tiga orang sutradara menawarinya main fi lm. Sesaat muncul perang batin dalam dirinya, antara harus menolak dan menerima. Setelah diusir ayahnya bagai anjing kurap, ia melihat arti dirinya hanya ada dalam dunia akting. Ia lantas menghubungi sutradara yang meninggalkan nomor ponselnya di memonya itu.

“Ya, saya Syahroni yang tempo hari Anda cari,” kata Syahroni Abbas. “Saya sudah baca memo Anda…”

“Jadi…?” tanya suara di seberang sana.

Page 26: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Keputusannya tergantung pada hasil pertemuan kita. Kapan kita ketemu?”

“Jadi Anda oke buat peran dalam fi lmku...”

“Tergantung kualitas cerita dan peran yang saya mainkan…”

Tak ada sesuatu yang menjadi kendala dalam kesepakatan mereka. Kini Syahroni membintangi fi lm yang jauh lebih bermutu, garapan seorang sutradara terkemuka. Dengan sadar ia memilih peran itu untuk menghindari bencana bagi orang tuanya.

Dan nasib tampaknya semakin mengajaknya lebih jauh tenggelam dalam dunia fi lm. Tanpa pernah diduga, aktingnya di fi lm tersebut membuat ia masuk nominasi aktor terbaik dalam festival fi lm tahun itu. Di samping muncul rasa percaya diri, Syahroni mulai meyakini bahwa seni peran merupakan panggilan bakatnya, sekaligus tempat di mana ia memperoleh identitas dirinya. Kecintaannya pada dunia fi lm mulai tumbuh dan berkembang.

Serta-merta namanya pun kian populer. Kali ini predikatnya bukan sebagai bintang fi lm panas, melainkan sebagai aktor berkualitas. Untuk publikasi fi lmnya itu, Syahroni diminta datang ke berbagai kota, wawancara di sejumlah radio swasta, dan diarak keliling kota dalam rangka tatap muka dengan massa penggemar.

“Untuk kota Pati, jangan!” tolak Syahroni. “Aku tak mau menambah luka ayahku.”

Page 27: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 25

“Justru Pati yang paling penting,” papar produser. “Kamu berasal dari kota itu, dan masyarakat di sana amat membanggakanmu. Percayalah, penampilanmu dalam fi lm ini cukup membawa kesan bagus. Siapa pun layak membanggakannya....”

Massa penggemar, terutama kalangan muda, berderet di sepanjang jalan protokol kota Pati. Mereka menunggu bintang pujaan yang akan lewat. Tepuk tangan dan sambutan hangat menaburinya saat mobil dengan kap terbuka itu membawanya keliling kota. Dengan senyum ramah Syahroni melambai-lambaikan tangan. Dan di hotel ia diserbu oleh sekian banyak penggemar yang berebut minta tanda tangan. Ia disanjung-sanjung sebagai fi gur yang mengharumkan nama daerah asalnya.

***

Pada kesempatan itu Syahroni mencoba menemui sang ayah. Ia berharap kemarahan ayahnya sudah mulai reda. Toh ia tak lagi memainkan adegan ranjang. Toh massa di daerahnya memuji-mujinya sebagai aktor berkualitas. Bagai seekor kucing yang habis mencuri ikan di meja makan, Syahroni merunduk-runduk pulang ke rumah.

“Kamu pikir apa yang kamu capai itu mampu membuat lumer sikapku?” kata Haji Abbas dengan mata setajam elang.

Syahroni terduduk lemas di kursi. Ia menunduk dalam-dalam hingga dagunya nyaris menyentuh dada. Di sebelah ayahnya, ibunya memandanginya dengan mata mengambang basah.

Page 28: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Ibu ndak mengerti kenapa kamu senekat itu. Ayahmu hanya akan mau menerimamu kembali setelah kamu ndak lagi jadi pemain fi lm,” tutur ibunya dengan suara lembut. Ucapan perempuan tua itu serasa menggeletar dalam jiwa Shahroni.

“Saya merasa telah menemukan diri saya dalam dunia fi lm. Apa ini dosa? Saya berjanji tidak akan bermain yang tidak senonoh,” ucap Syahroni dalam nada berat dan tertahan. “Saya mohon Abah dan Ibu bisa mengerti, bisa memahami dan menyelami jiwa saya....”

“Ndak usah mengajari orang tua untuk memahami jiwamu segala,” sambar ayahnya dengan geram. “Duniamu itu hitam di mataku. Beruntung aku masih sudi melihat wajahmu hari ini. Kalau kedatanganmu ini demi rasa kangen, kuberi kamu kesempatan duduk di ruangan ini. Tapi lebih sepuluh menit, kamu harus enyah dari hadapanku. Ndak ada lagi yang bisa kamu harap dari kami!”

Meski nadanya tidak sekeras dulu, kata-kata ayahnya itu terasa menendang rongga dadanya dan menggetarkan seluruh dinding perasaannya. Syahroni segera mohon diri sebelum sang ayah mengusirnya. Ia jabat tangan ibunya dan ia cium dengan khidmat. Namun sang ayah menolak uluran tangan Syahroni, memberikan kesan kemarahan belum terhalau dari hati lelaki tua itu.

***

Sang aktor lantas pergi ke rumah pamannya, adik ibunya, yang tinggal tak jauh dari kompleks pesantren. Sang paman,

Page 29: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 27

Hamdani namanya, yang menjadi sekretaris desa atau carik itu, menyambut hangat kedatangan Syahroni.

Syahroni duduk di kursi busa. Ruang tamu masih seperti dulu-dulu juga, namun kini ia merasa asing di rumah pamannya itu.

“Kamu sekarang sudah jadi orang terkenal. Bintang fi lm tersohor. Tentu saja kaya,” kata pamannya dalam nada yang renyah.

“Ah, Paman keliru,” sanggah Syahroni. “Sekarang saya menjadi anak buangan. Di mata Abah tidak lebih sebagai anjing najis.”

“Itulah, Paman juga bersedih. Abah-mu itu terlalu kolot. Maklum, dia ndak pernah ke luar rumah. Ndak tahu kemajuan zaman. Dia masih marah padamu, Syah?”

“Masih, Paman. Abah tetap tidak mau menerimaku.”

“Itulah. Soalnya dulu karena kekeliruanmu sendiri. Masak anak kyai main fi lm cabul seperti itu? Aku sendiri juga risi, ndak setuju. Tapi aku yakin, Syah, suatu saat abah-mu akan mengerti. Kelak, kalau kamu sudah membuktikan jadi anak yang saleh.”

“Apa saya sudah murtad, Paman?” sahut Syahroni. “Saya belum meninggalkan kewajiban beribadah.”

“Mana abah-mu tahu, Syah? Punya teve juga hampir tak pernah distel. Lagi pula kamu tinggal di Jakarta, kumpul dengan bintang-bintang fi lm. Kamu harus buktikan semua itu. Cobalah nanti aku akan membantumu....”

Page 30: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Tapi Abah menghendaki saya meninggalkan dunia fi lm. Saya merasa berat, Paman.”

“Memang itu syaratnya. Tinggal kamu pilih yang mana. Kalau kamu sudah kaya, ndak ada jeleknya memenuhi harapan abah-mu, kan?”

Kenapa harus menunggu kaya? Pertanyaan itulah yang tak henti-henti menteror dalam hari-hari Syahroni setelah itu. Pendidikan, pengaruh lingkungan, dan penghayatannya terhadap nilai-nilai agama di masa lalu membuat jiwa Syahroni bagai terbelah dua. Bakti seorang anak adalah kepada orang tua. Ajaran itulah yang kemudian membebani renungannya dari malam ke malam.

***

Muzayanah. Nama itulah yang menari-nari di benak Syahroni ketika ia meluangkan waktunya untuk tetirah beberapa hari di luar kota. Muzayanah adalah kakak tertuanya alias putri sulung Haji Abbas. Begitu setelah syuting fi lm yang dibintanginya selesai, Syahroni tanpa setahu wartawan langsung meninggalkan Ibu Kota. Setelah mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang, ia pun naik taksi menuju Jepara di mana kakak sulungnya itu tinggal.

“Assalamu’alaikum!” ucap Syahroni persis di ambang pintu rumah Muzayanah.

Belum sempat mengulangi salamnya, seorang gadis muncul dan tertegun sejenak melihat siapa yang datang.

“Wa’alaikumussalam…” jawab gadis itu.

Page 31: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 29

“Lail?”

“Ya Allah! Lik Syah!” pekik gadis yang dipanggil Lail itu. “Ibu! Ibuuu… Lik Syahroni datang, Bu!”

Seketika muncul Muzayanah dengan langkahnya yang tergopoh-gopoh. Melihat adik bungsunya sekaligus adik lelaki satu-satunya itu Muzayanah menyalami dan kemudian memeluk erat. Nurlaila, putri sulungnya, tampak kegirangan di samping ibunya sebelum pada akhirnya ia ikut berjabat tangan dengan Syahroni.

“Lama sekali kita ndak ketemu ya, Syah! Ayo, ayo, duduk!”

“Iya, Mbak. Saya kangen banget. Kang Salam mana?”

“Mana ada di rumah Kangmas-mu jam segini? Dia masih kerja.”

“Sini, Lail, duduk dekat Paklik! Kamu sudah dewasa, cantik pula.”

“Ajaklah main fi lm kalau mau,” sahut Muzayanah, berseloroh.

“Diajak main fi lm?” sahut Laila dengan mata membola. “Iiih! Saya sih suka banget, Paklik! Tapi kiamat buat Yang Kung. Baru anaknya saja sudah heboh begini, apalagi kalau cucu perempuannya ikut-ikutan main fi lm.”

Menyinggung soal bermain fi lm, Syahroni menjadi tercekat. Terasa ada sekarung gabah menindih jiwanya. Dia berharap keluarga kakaknya ini mau mengerti akan profesi

Page 32: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

yang ia jalani sekarang—menjadi artis fi lm yang dikutuk oleh ayahnya.

“Fans kamu di sini banyak lho, Syah!” kata Muzayanah.

“Iya, Paklik. Kalau Paklik habis muncul di televisi, orang sini pasti heboh. Terkagum-kagum sama Paklik!”

“Tetangga kanan-kiri, yang tahu kalau kamu itu adikku, pada pengin salaman dan foto bareng. Mereka selalu tanya kapan kamu kemari. Kagum pokoknya!”

“Oo ya? Terus kalau Mbak Muz sendiri, bagaimana?”

“Ya banggalah punya adik jadi bintang fi lm terkenal!”

Syahroni terperangah. Ia tatap wajah Muzayanah dalam-dalam, seakan ia tak percaya oleh ucapan kakak sulungnya itu.

“Tapi Abah….” Syahroni tidak melanjutkan kata-katanya.

“Maklumlah. Abah kan orang kuno!”

“Jadi Mbak Muz…?”

“Ya, aku bangga, Syah!”

“Apalagi saya, Lik!” sahut Nurlaila.

“Lail! Kamu jangan ikut ngobrol dulu! Buatkan paklikmu minuman,” kata Muzayanah.

“Saya mau minta foto dulu, Lik. Kapan lagi bisa berfoto dengan bintang fi lm terkenal,” kata Laila seraya mengeluarkan ponsel androidnya.

Page 33: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 31

Ia lantas menempel lekat-lekat ke tubuh Sahroni dan meminta ibunya agar memotretnya. Syahroni merangkul kuat keponakannya yang cantik itu. Beberapa bidikan telah dijepretnya.

Ketika Nurlaila hendak ke belakang membuatkan minuman Syahroni, Muzayanah menegur, “Eh, tunggu! Ibu belum kamu potret!”

Muzayanah segera mengembalikan ponselnya dan minta anak gadisnya itu menjepretnya. Ia buru-buru menggantikan posisi Nurlaila. Kali ini bahkan ia tak segan-segan merangkul adik bungsunya. Syahroni hanya menuruti semua keinginan kakaknya.

Setelah beberapa kali jepretan, Nurlaila memutar tubuhnya untuk ke dapur.

“Kamu masih suka teh ya, Syah?” tanya Muzayanah.

“Apa sajalah, yang penting nggak terlalu ngerepotin!”

“Teh manis ya, Lik?” tanya Nurlaila sambil memulai melangkah begitu melihat Sang Bintang Film itu mengangguk.

Ahmad Salam, ipar Syahroni alias suami Muzayanah, datang tergopoh-gopoh. Ia mengatakan bahwa ia mendapat berita dari seseorang kalau adik iparnya yang jadi bintang fi lm berkunjung ke rumahnya.

“Ternyata benar. Alhamdulillah,” seru Ahmad Salam.

Syahroni meletakkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia merasa mendapat dukungan dari kakak sulungnya, dan juga kakak iparnya, yang sebelumnya tak pernah ia duga.

Page 34: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Rasa percaya dirinya sedikit menguat meski ia tak yakin sang kakak berani membela dirinya di hadapan Haji Abbas.

“Wah, kalau soal itu mbakyu-mu ini angkat tangan, Syah!” kata Muzayanah berterus terang. “Kita tahu, kan, hati Abah itu kerasnya kayak apa. Dia itu kan orang kuno, ndak ngerti perkembangan zaman.”

Ahmad Salam, mendengar istrinya mengucap seperti itu langsung menyahut, “Bukan sekadar soal kuno atau modern. Tapi bagi Abah itu soal haq dan batil. Jadi sudah ndak bisa ditawar-tawar lagi.”

Syahroni terdiam. Ia merasa berhadapan dengan gunung karang yang teramat kokoh, yang seperti mustahil runtuh oleh seribu dinamit sekalipun. Namun bahwa kakak sulung berikut suaminya bisa menerima profesinya sebagai pemain fi lm, bagi Syahroni itu sudah cukup menghibur galau hatinya yang tak pernah padam semenjak Haji Abbas menentangnya.

“Mas Salam benar,” sahut Syahroni. “Dan saya terlalu lemah buat mengubah pandangan Abah itu.”

“Bagi Abah itu bukan pandangan, Syah. Tapi keyakinan!” jawab Ahmad Salam, meralat pendapat Syahroni. “Dan keyakinan itu tidak muncul begitu saja. Ia dibentuk oleh pemikiran dan penghayatan Abah dalam mengamalkan agamanya sekian puluh tahun lamanya.”

“Sebaiknya kamu bersabar, Syah. Kalau kami sih terserah kamu saja. Kamu kan sudah dewasa, sudah tahu harus bagaimana memilih jalan hidup buat kebahagiaanmu,” ucap Muzayanah, dengan nada yang penuh toleransi.

Page 35: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 33

“Saya terima kasih, Mbak, keluarga di sini well came dengan profesi dan kunjungan saya ini. Setidaknya ini membuat saya sedikit punya rasa percaya diri,” kata Syahroni.

Akan tetapi, rasa percaya diri itu kembali longsor ketika Syahroni bertandang ke rumah Nurjannah, kakaknya nomor dua yang tinggal di Rembang. Nurjannah yang menjadi kepala sekolah pada sebuah madrasah ibtidaiyah kecil itu jelas-jelas memihak ayahnya. Ia menentang keras terhadap profesi yang dijalani adik bungsunya itu.

Ketika tahu Syahroni muncul di mulut pintu dan mengucap salam, Nurjannah yang semula duduk santai di ruang tamu itu langsung berdiri, menjawab salam, dan menyambut Syahroni dengan sinar mata yang berkilat-kilat.

“Syahroni!”

“Ya, Mbak….”

“Kamu sudah dari rumah Abah, belum?” tanya Nurjannah dengan ekspresi kecurigaan yang nyaris tak dipahami oleh Syahroni.

“Belum, Mbak! Kenapa?”

“Sebaiknya kamu temui Abah dulu baru berkunjung ke sini!”

“Kenapa Abah? Sakit?”

“Hati dan pikirannya yang sakit karena ulahmu!” katanya. “Duduk!”

Syahroni duduk dengan sangat hati-hati, seakan ruang tamu itu bukan milik kakak kandungnya sendiri.

Page 36: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Mbakyu-mu ini sudah mendengar seluruh cerita tentang kamu dan Abah.”

“Soal apa?”

“Soal apa? Ya soal hidupmu yang salah jalan itu! Soal ulahmu yang bikin seluruh keluarga Haji Abbas menanggung malu!”

“Apa maksudnya soal… saya menjadi pemain fi lm?”

“Jangan pura-pura ndak tahu, Syah! To the point saja! Kamu ke sini ada keperluan apa, ha?”

“Astagfi rullahaladzim. Seorang adik yang bersilaturahim ke rumah kakak kandungnya harus menunggu ada keperluan? Begitu maksud Mbak Nur?”

“Baiklah kalau maksud kamu hanya untuk silaturrahim. Tapi seorang adik yang baik, akan selalu mau mendengar nasihat kakak kandungnya. Bukannya begitu?”

Syahroni merasa sedang menghadapi “jebakan batman” yang sengaja dipasang oleh kakak kandungnya sendiri. Kalau dirinya mengiyakan ucapan Nurjannah, berarti ia harus mematuhi, atau setidaknya menyetujui, apa yang dianjurkan oleh kakaknya itu. Sementara ia tahu persis posisi kakaknya yang dalam banyak hal menduplikat Sang Ayah. Menyadari hal itu, serta-merta posisinya sebagai tamu mulai kehilangan kenikmatannya. Bahkan yang dirasakan kemudian adalah beban.

Apa yang diprediksi Syahroni memang tidak meleset. Nujannah memulai nasihatnya dengan nada halus seperti orang membujuk. Bahwa Syahroni harus mengakhiri

Page 37: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 35

profesinya sebagai pemain fi lm, lalu datang kepada ayahnya dan mencium tangan Sang Ayah dengan sepenuh khidmat, bersumpah dengan nama Allah untuk tidak lagi memcemarkan marwah keluarga, dan kalau memungkinkan siap pulang kampung untuk bertaubah dan menjadi penerus Haji Abbas dalam mengelola pesantrennya.

Dan ketika Nurjannah melihat Syahroni bergeming alias tidak memberikan respon positif apa pun, ia mulai geram. Nada bicaranya tidak lembut lagi, tetapi sudah menyerupai intimidasi, ancaman, atau paling tidak semacam gertak.

“Sampai kapan pun Mbakyu-mu ini tetap berada di belakang Abah, Syah! Kalau seorang bapak saja sudah ikhlas kehilangan anak ragil-nya, apalagi hanya seorang kakak sepertiku ini,” ucap Nurjannah dengan membuang pandangan matanya ke luar rumah.

Syahroni mengatupkan kedua rahangnya rapat-rapat. Meski ada selusin alasan dalam kepalanya, mulutnya tetap bertahan untuk diam. Ia mulai tahu saat ini adalah waktu yang tepat untuk segera pamitan.

***

Belum seminggu Syahroni ada di Jakarta, seorang sutradara beken sudah menemuinya. Untuk apa lagi kalau bukan buat menawari sebuah peran yang menantang kepada Syahroni. Seluruh ucapan Haji Abbas masih terasa mengiang di telinga bintang fi lm itu dan menusuk-nusuk hatinya. Itulah yang membuatnya kurang bergairah menyambut

Page 38: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

tawaran Bram, sutradara beken yang punya andil mengangkat namanya.

“Aku akan berhenti main fi lm, Bang. Aku akan pulang kampung untuk membaktikan diri kepada orang tuaku,” tolak Syahroni kepada sutradara yang mencetaknya menjadi aktor berkualitas itu dengan nada yang sebenarnya belum terlalu pasti.

“Keputusan kau itu sungguh gila!” bantah Bram. “Bakti kepada orang tua itu tidak harus pulang kampung! Apalagi kemudian menjadi kyai, menggantikannya mengelola pesantren. Setiap orang membawa potensinya sendiri, Syah! Dan itulah yang disebut kodrat. Maka kita harus menerimanya sebagai takdir Tuhan!”

“Tapi Ayah menghendakinya, Bang.”

“Yang penting esensinya, Syah. Kau harus tangkap esensi ‘bakti pada orang tua’ itu. Menghidupi pondok pesantren adalah memelihara kelangsungannya, dan itu bisa kau tempuh misalnya dengan cara memperbaiki manajemennya atau pengusahaan dananya. Dan kau bisa menggaji seorang manajer yang terpercaya.”

Argumen sutradara itu kini bermain-main dalam tempurung kepala Syahroni. Pada saat hatinya masih bimbang, sebuah peran yang menantang diajukan kepadanya. Syahroni tersentak. Jiwa kesenimanannya menggejolak, nama besarnya sebagai aktor tertantang dan teruji. Bila ia mampu memerankan dengan baik, ia yakin akan mendapat acungan jempol dari para kritisi dan sanjungan dari para penggemarnya. Betapa menyenangkan.

Page 39: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 37

“Baik! Aku terima tawaran ini,” katanya mantap. “Dan seluruh uang yang kudapat akan kugunakan membuat purpustakan di pesantren ayahku. Barangkali itu kan yang kamu maksud, Bang?”

“Iya betul! Dan itu positif sekali. Tapi tidak perlu sekarang, Syah. Kumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, maka dengan begitu kau bisa berbuat apa saja untuk memodernisasi pesantren ayah kau. Kalau perlu kau rehabilitasi sebagus-bagusnya dengan biaya yang mahal....”

Syahroni tercenung. Kembali ia mempertimbangkan ucapan Bram, sutradara yang selama ini banyak memberinya berbagai pandangan.

“Itu susahnya jadi anak kyai, Syah,” sambung Bram sebelum ia sempat membuka mulut. “Dunia kau dan dunia ayah kau sungguh bertolak belakang, paling tidak di mata ayah kau itu. Bersikap realistis saja!”

“Maksudmu Abang… aku harus tetap menjadi anak buangan? Begitu?” tanya Syahroni dengan nada protes.

“Diperlukan ide-ide cemerlang untuk menyiasatinya, Syah. Memugar pondok pesantren masih berkesan pisik. Iya to? Kan untuk itu yang berperan cuma uangmu? Apa kau bisa ikut terlibat dalam pemugaran itu? Tidak, kan?”

“Lantas apa usul Abang?”

“Ya itu tadi. Oh ya, aku dengar kau pernah berkeinginan naik haji, kan? Itu juga siasat yang cantik, Syah. Banyak biro perjalanan Haji Plus yang kalau kau mendaftar sekarang maka setahun sudah bisa memberangkatkan kau ke Tanah

Page 40: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Suci. Dan itu menguntungkan mereka karena nama kau bisa mereka jual buat promosi pada calon peserta. Haji Plus bersama Syahroni Abbas, sang bintang fi lm terkenal yang dimiliki republik ini. Iya, kan? Iya, kan?”

“Ah, gila Abang ini! Kalau aku jadi pergi haji, itu demi panggilan Allah, Bang. Bukan karena ayahku,” sergah Syahroni.

“Aku tahu. Tapi itu bisa mengetuk hati ayah kau, Syah. Orang desa masih memandang predikat haji sebagai cermin kualitas keimanan seseorang. Apa salahnya kau manfaatkan momen ini? Kalau mau yang haji beneran, daftar lagilah kau!”

***

Banyak fi lm yang kemudian dibintanginya. Tidak sedikit uang masuk ke koceknya. Juga kepuasan batin sebagai aktor.

Kalau ada yang membuat grafi k tentang popularitas dan rezeki dalam arti uang, maka saat inilah titik tertinggi yang dimiliki Syahroni. Tapi uang yang menumpuk di rekeningnya itu tidak lantas membuatnya lupa daratan. Karena punya rencana khusus, Syahroni justru berhemat mengenai penggunaan uangnya. Kalau tak terlalu penting, ia menjadi pelit untuk mengeluarkan duit yang didepositokan itu.

Begitu juga soal popularitas. Syahroni tidak lantas merasa hebat lantaran namanya dikenal begitu banyak orang. Bahkan popularitas itu dirasakannya sebagai beban. Ia tak ingin banyak orang tahu tentang problem yang membelitnya, tentang pilihan jalan hidupnya yang tidak direstui orang tuanya, bahkan cenderung dikutuk sebagai anak durhaka.

Page 41: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 39

Maka dengan rendah hati ia selalu meminta kepada teman-teman wartawan agar tidak ikut latah mengorek-ngorek soal itu.

“Ada banyak hal yang bisa kalian gali dan tulis tentang dariku. Yaitu soal karir, pandanganku mengenai dunia fi lm, bakat yang ada padaku, dan sejenisnya. Tapi mohon jangan ekspose soal perselisihanku dengan orang tua,” kata Syahroni selalu sebelum wawancara dimulai.

“Apakah itu artinya konfl ik Anda dengan orang tua sudah selesai?” kejar wartawan.

Suahroni langsung melihat arloji di lengannya, mengisyaratkan bahwa ia tak punya banyak waktu. Ia mengambil napas panjang dan lalu menatap wartawan itu.

“Aku nggak punya banyak waktu. Kita bisa bersepakat lagi soal waktu wawancara,” kata Syahroni, membuat wartawan yang memojokkannya itu memahaminya.

“Oke’lah! Kita bicara soal kritik Anda terhadap produksi fi lm abal-abal yang marak belakangan ini,” kata wartawan tadi mengubah strateginya.

Demikianlah yang terjadi setiap kali ada insan pers yang mencoba lebih dalam mengorek hubungannya dengan orang tuanya di desa.

Sebagai bintang fi lm yang namanya lagi di puncak ketenaran, Syahroni selalu dikerumuni oleh banyak fans dan pengagumnya. Ajakan berfoto bareng dan permintaan tanda tangan tak pernah berhenti ketika ia berada di lokasi syuting atau tempat-tempat yang lebih umum, misalnya di mal atau

Page 42: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

di tempat hiburan. Orang memandang dirinya serba indah dan glamour. Namun, di balik keindahan itu Syahroni selalu merasa sendiri dan terkucil. Jiwanya menangis meraung-raung tanpa ujung.

Ia merasa bahwa orang-orang yang bersinggungan dengannya itu tak pernah sungguh-sungguh berempati pada penderitaannya. Kalaupun seakan mereka peduli dengan saran dan kicauannya, pada hakekatnya mereka hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Itulah yang Syahroni lihat dan rasakan. Bahkan kekasihnya sendiri, Eliza, tak berbeda dengan yang lain. Bernasihat hanya agar kepentingannya terpenuhi. Begitu juga para sutradara yang menanganinya, tak terkecuali Bram. Bagi Syahroni, mereka hanya pintar berteori dengan segala argumentasi yang muluk-muluk, tetapi tujuannya tetap saja mengambil manfaat dari dirinya untuk kepentingan mereka.

***

Pagi amat cerah. Mobil Syahroni mulai memasuki kota Pati. Setelah chek in di hotel terbesar di kota itu, mandi dan sarapan, Syahroni langsung melanjutkan perjalanannya ke desa kelahiran.

Di belakang setir ia berdecak mengagumi kota kelahirannya yang punya motto Bumi Mina Tani itu. Hasil bumi cukup melimpah di wilayah kota ini, di antaranya singkong dan kacang. Di Desa Ngemplak Kidul, sebuah desa yang berhimpitan dengan desa kelahirannya, Kajen, adalah pusat industri rumahan tepung tapioka yang bahannya dari singkong atau ketela pohong. Tak cukup mengandalkan

Page 43: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 41

bahan baku dari daerah setempat, para pengusaha tapioka itu mendatangkan singkong dari berbagai daerah.

Yang menyangkut soal kacang, bahkan di kotanya ada dua perusahaan besar yang namanya menasional, yang keduanya sama-sama mengolah hasil bumi bernama kacang itu. Disebut Mina Tani karena daerah Pati juga penghasil ikan laut dan padi. Pati punya area laut yang cukup luas, membentang dari Kecamatan Batangan ke kota Juwana, lalu belok hingga ke pantai Dukuhseti di wilayah paling utara sana.

Mobil Syahroni terus meluncur, menyusuri jalan raya Pati-Tayu yang terbilang cukup padat hingga ia sulit menyalip kendaraan lain yang kebanyakan adalah sepeda motor. Sampai di pertigaan Desa Ngemplak Kidul, Syahroni membelokkan mobilnya ke kanan, dan itu artinya sesaat lagi ia sampai di desa kelahirannya. Maka sedan itu pun kemudian berhenti di depan sebuah rumah. Syahroni turun dengan bergegas. Ia mengenakan kacamata hitam besar sebagai upaya untuk sedikit menyembunyikan wajahnya.

Orang-orang yang kebetulan berada di dekat sana serta-merta terperangah melihat sosok lelaki muda yang gagah dan tampan. Dari dalam rumah yang ia tuju itu muncul seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya sudah keperakan karena uban. Gopoh-gopoh lelaki tua bernama Ramdani alias paman Syahroni sendiri itu menyambutnya penuh kegembiraan. Hamdani langsung memeluk Syahroni dan membawanya masuk rumah.

Page 44: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

“Lama sekali kamu ndak pulang, Syah. Sudah kangen aku,” ucap Hamdani seraya mendorong Syahroni duduk di kursi.

“Bagaimana keadaan Abah dan Ibu?”

“Sehat-sehat saja.”

“Pernah menanyakan saya?” tanya Syahroni harap-harap cemas.

“Sesekali saja.”

“Sesekali?”

Hamdani mengangguk.

“Apa arti pertanyaan beliau itu?”

“Tampaknya abah-mu belum mau mengubah sikapnya, Syah. Habisnya, kamu sendiri ndak pernah ada usaha pendekatan sih. Malah aku dengar kamu makin sibuk saja bermain fi lm, dari judul ke judul…”

“Iya. Maafkan saya, Paman. Sekarang ini saya datang untuk itu.”

Siang itu juga Syahroni membawa pamannya ke hotel tempat ia menginap di Pati Kota. Ia ingin menyampaikan satu gagasan yang tidak boleh didengar oleh orang lain. Di hotel itu ia mengutarakan maksud kedatangannya. Ia ingin bikin perpustakaan di pesantren ayahnya. Ia ingin memugar bangunan pondok yang sudah tampak compang-camping. Ia ingin merehab surau yang sudah reot dan tua. Ia ingin mengganti kolam dan tempat wudhu para santri dengan pancuran agar bersih dan menyehatkan.

Page 45: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 43

“Bagus! Bagus! Bagus! Gagasan yang cemerlang!” sambut Hamdani dengan tujuh kali anggukan. “Paman pikir itulah cara pendekatan yang paling tepat. Sebab Paman lihat selama ini kondisi bangunan pondok pesantren kita sudah sangat memprihatinkan.”

“Saya minta semua itu Paman yang menangani. Yang penting bagi saya adalah bagaimana Abah sudi menerima saya kembali.”

“Paman mengerti, Paman paham. Itu semua memang sudah menjadi tanggung jawab Paman. Dengan cara itu tampaknya usahamu akan berhasil, Syah,” komentar Hamdani dengan mata berbinar-binar.

Syahroni mengangguk dan tersenyum manis, seakan apa yang didambakannya sebentar lagi akan terwujud.

***

Beberapa waktu setelah itu Syahroni membaca berita di media online lokal bahwa pesantren ayahnya telah dipugar. Namun ia tidak membaca sebuah kalimat pun yang menerangkan bahwa pemugaran itu dari dana anak bungsunya yang sukses menjadi bintang fi lm. Apa artinya pemugaran pesantran Haji Abbas itu baginya kalau abah-nya tidak tahu bahwa dana yang digunakan itu dari dirinya? Ia mulai berpikir buruk bahwa pamannya yang bernama Hamdani telah mengkhianati kesepakatan. Ia menggeram bagai singa kelaparan.

Di sela-sela waktu syuting Syahroni menyempatkan pulang ke Pati mendatangi rumah Hamdani. Beberapa saat

Page 46: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

mereka duduk berhadapan di ruang tamu dan saling diam. Wajah Hamdani tampak tidak secerah biasanya. Syahroni menangkap isyarat kegagalan dalam bola mata lelaki tua itu.

“Kamu jangan tergesa menyalahkan pamanmu, Syah,” ucap Hamdani dengan wajah kuyu. “Memang semula aku tidak bilang dari mana dana itu.”

“Kenapa?” tanya Syahroni nyaris tak kedengaran.

“Aku kuatir abah-mu langsung menolak.”

“Lantas Paman bilang dana dari mana?” usut Syahroni.

Untuk beberapa detik Hamdani terdiam. Dari asbak, rokoknya yang sudah tinggal setengah batang dan sudah padam itu ia raih, lalu ia selipkan di antara kedua bibirnya dan ia pun menyulutnya lagi.

“Abah pasti tanya, kan, dari mana dana itu?” ulang Syahroni.

“Iya, Syah. Paman jawab, semua sumbangan dari para dermawan di kota-kota besar.”

“Apa kata Abah?”

“Abah-mu diam. Setelah semuanya beres, aku baru berterus terang kalau dana itu dari kamu.”

“Terus?” sahut Syahroni antusias. “Apa Abah bilang?”

“Abah-mu tampak terkejut. Tapi kemudian ia diam dan menunduk. Aku ndak tahu apa yang dipikirkan. Ia ndak mau berkomentar.”

Page 47: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 45

Syahroni menarik napas. Dadanya mendadak merasa sesak.

“Dan setelah itu abah-mu sakit, Syah. Ia seperti terpukul.”

“Sakit?”

“Iya. Tapi sekarang sudah sehat kok. Cuma ia tetap ndak mau berkomentar apa-apa tentang pemugaran itu.”

Syahroni tertunduk. Kegelisahan mulai merayapi hatinya. Beberapa saat keponakan dan paman itu saling diam. Zumala, adik sepupunya alias putri bungsu Hamdani, muncul membawa dua cangkir kopi di atas nampan.

“Silakan kopinya, Mas!” kata Zumala sesaat sebelum kembali ke ruang dalam.

Syahroni mengangguk dan kemudian menyeruput kopi panas itu.

“Sebaiknya saya harus bagaimana, Paman?”

“Menurutku, sebaiknya cobalah kamu menjumpai abah-mu. Siapa tahu ia sudah melupakan kekhilafanmu dulu.”

***

Masih seperti kucing yang baru saja mencuri ikan, Syahroni menemui ayahnya dengan perasaan was-was. Ibunya langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangis. Respon ibunya itu semakin menambah pedih hati Syahroni. Ia merasa ibunya masih begitu menyayanginya. Masih seperti dulu ketika masa-masa awal dia kuliah di Yogya. Saat pulang liburan, ibunya selalu menyambutnya dengan peluk dan air mata. Namun, tentu saja, kala itu air mata ibunya adalah air

Page 48: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

mata keharuan dan kegembiraan menyambut bungsunya pulang dari menuntut ilmu. Berbeda dengan air mata yang ditumpahkannya sekarang, yang sangat mungkin mewakili kekecewaan hatinya.

Syahroni masih berdiri sambil merangkul ibunya. Ia tak sabar ingin mencium tangan ayahnya setakzim mungkin. Ia merasa begitu lama ayahnya ke luar. Ia sempat berpikir ayahnya tidak sudi melihatnya lagi. Maka tak aneh bila Syahroni terlonjak demi melihat ayahnya muncul. Ia langsung menyongsong hendak mencium tangan lelaki tua itu.

“Ndak perlu!” tolak ayahnya dingin. “Duduk saja di situ!”

Sesaat Syahroni terbengong. Ia lantas duduk dengan hati-hati di hadapan ayah dan ibunya. Jantungnya berdebar-debar, merasa seperti seorang pesakitan menunggu eksekusi.

“Kamu datang ingin melihat hasil pemugaranmu?”

Syahroni terperangah mendengar pertanyaan ayahnya yang tak disangka-sangka itu. Pertanyaan yang menohok sampai ke dasar jantung hatinya. Ia setengah menengadah menatap wajah lelaki tua yang sudah penuh kerut-merut itu, tetapi mulutnya tidak juga mengeluarkan suara.

“Semua berlangsung baik. Di sini ndak ada korupsi,” lanjut Haji Abbas penuh tekanan.

“Sama sekali tidak, Abah. Saya datang karena rindu diakui anak oleh Abah dan Ibu. Itu pertama. Kedua, saya ingin minta doa karena bulan depan saya berencana naik haji. Saya sudah daftar haji plus setahun lalu.”

Page 49: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 47

“Jadi setelah kamu sogok aku dengan memugar pesantren, sekarang kamu hibur aku dengan kepergianmu ke Tanah Suci? Begitu?”

“Sama sekali tidak, Abah,” jawab Syahroni dengan suara bergetar.

“Ndak ada orang yang mampu membaca isi hati orang lain.”

“Betul, Abah! Saya tidak berbohong. Semua itu hanya isyarat bahwa dalam diri saya masih ada sinar keimanan. Apa yang Abah tanamkan sudah berakar kuat dalam hidup saya, Bah.”

“Kuharap kamu ndak membohongi dirimu,” potong ayahnya. “Tapi kamu mesti tahu, siapa pun bisa membiayai pemugaran itu selama orang punya banyak duit. Juga bisa pergi haji plus. Itu bukan ukuran keimanan seseorang. Tapi kalau kamu ikhlas, usahamu itu baik. Itu menyangkut hubunganmu dengan Allah. Ndak ada kaitannya dengan persoalanmu menjadi bintang fi lm, persoalanmu dengan Abah. Aku tetap pada pendirianku, ndak ingin punya anak bintang fi lm. Titik!”

“Tapi selama ini saya tidak pernah lagi memainkan adegan yang tidak senonoh itu, Abah! Kalau tidak percaya, saya mohon Abah sudi sesekali menonton fi lm saya untuk membuktikannya.”

“Jadi kamu datang ingin menyuruh-nyuruh abah-mu pergi ke bioskop? Sungguh aneh! Sudah, aku mau menghadiri undangan. Kukira sudah cukup jelas semuanya,” kata Haji

Page 50: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Abbas seraya melangkah ke luar rumah meninggalkan Syahroni termangu-mangu.

“Ibu ndak mengerti kenapa kamu masih juga ndak ingin membahagiakan hati orang tuamu,” tutur ibunya dengan suara yang hampir tak kedengaran, sesaat setelah Haji Abbas meninggalkan ruangan itu. “Abah-mu hanya ingin kamu berhenti menjadi pemain fi lm. Itu saja. Ibu juga ndak tahu kenapa kamu enggan melepas dunia itu.”

Syahroni tertunduk. Kedua matanya terasa basah.

***

Walaupun Syahroni kembali ke Jakarta masih dengan hati ngungun, ucapan ibunya terasa telah memberinya kekuatan. Bergegas ia menemui Bram. Kepada sutradara bertangan dingin itu ia bercerita tentang kunjungannya ke desa.

“Tampaknya tak ada jalan lain kecuali aku harus meninggalkan dunia fi lm, Bang,” kata Syahroni dengan wajah sengsara.

“Yah, semuanya memang terserah kau. Tapi keputusan kau itu kuanggap pengkhianatan,” jawab Bram sambil geleng-geleng kepala.

“Siapa yang kuhkianati?”

“Profesi adalah identitas, Syah. Lebih-lebih sebagai bintang fi lm idola. Ini menyangkut hubungan sosial. Diri kau sudah menjadi milik orang banyak. Kau tidak bisa seenak kuu mengecewakan mereka.”

Page 51: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 49

“Jadi aku harus berkorban demi kepentingan orang banyak?”

“Itulah yang disebut tanggung jawab moral, Syah. Artinya, moral profesi, yang di dalamnya juga terkandung tanggung jawab sosial. Dengan gagah berani kau masuki dunia fi lm, tapi tiba-tiba akan kau tinggalkan begitu saja setelah sekian banyak orang mengagumi kau. Lantas di mana tanggung jawab moral kau?”

Syahroni terdiam. Jari-jari tanggannya bersiremas.

“Meski belum berhasil menjadi pemain terbaik versi festival fi lm, toh kau sudah tiga kali masuk nominasi,” tetak Bram lagi. “Prestasi kau itu yang menuntut tanggung jawab, Syah. Lebih-lebih nanti bila kau berhasil terpilih sebagai the best actor.”

Syahroni masih bungkam. Ia memujit-mijit pelipisnya.

“Kau mencintai dunia fi lm?” tanya Bram lagi.

“Sangat mencintai, Bang.”

“Nah, cinta tak bisa diperoleh secara gratis. Jadi tidak layak kau bilang menjadi korban. Tepatnya: konsekuensi profesi. Dalam pergulatan kau di dunia fi lm, karena ini menyangkut hubungan sosial, terliput juga tanggung jawab moral yang harus kau berikan.”

***

Dan kemudian Syahroni kebingungan. Ia merasa terlempar ke suatu tempat yang absurd—tempat di mana jiwanya terkoyak oleh dua kekuatan. Di satu pihak rasa

Page 52: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

cintanya pada dunia fi lm yang telah memberinya identitas, dan di pihak lain kerinduannya memperoleh pengakuan Sang Ayah. Ia terbanting dalam kenyataan di mana ia tidak mampu melihat jalan keluar.

Di layar televisi itu muncul pemandangan yang mengerikan. Dalam pegangan tiga lelaki, Syahroni berteriak-teriak histeris. Ia diseret memasuki sebuah bangunan yang bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa”. Sebelum sampai pada kata ‘tamat’, fi lm itu ditutup dengan dua potong kalimat:

seorang ayah yang bijak

mustahil membiarkan sang anak tercampak

***

Syahroni Abbas menarik napas. Klik! Ia matikan televisi melalui remote-control di tangannya. Di sebelahnya Eliza ikut-ikutan menghela napas panjang.

“Kamu meramalkan dirimu masuk RS Jiwa?” seloroh Eliza setelah membuang napasnya dengan lepas.

“Itulah satu-satunya adegan fi ktif dalam fi lm ini. Tapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi,” jawab Syahroni lemas, seperti sudah kehabisan tenaga menyaksikan fi lm yang dibiayainya sendiri itu.

“Di awal fi lm ada yang janggal,” komentar Eliza.

“Yang mana?”

Page 53: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 51

“Kenyataannya ayahmu marah karena kamu memainkan adegan ranjang. Tapi dalam fi lm itu kamu sengaja melakukannya. Apa itu tidak malah akan menambah ayahmu murka?”

“Stunt in yang melakukannya. Bukan aku!”

“Tapi bagaimana ayahmu tahu?”

“Aku akan menjelaskannya sebelum fi lm itu diputar.”

Entah sudah berapa kali fi lm yang berbentuk fi le MKV itu diputar dan ditonton sendiri oleh Syahroni. Saat menonton ia sering membayangkan dirinya adalah Haji Abbas. Dan setelah fi lm usai, serta-merta Haji Abbas merangkul bungsunya, menyatakan menerimanya kembali sebagai anak yang layak dibanggakan.

Memang fi lm itu dibuat khusus sebagai usahanya yang terakhir mencari pengakuan Sang Ayah setelah segala macam jalan sia-sia. Lama ia mempersiapkan diri sebagai produser, penulis skenario, dan juga pemain utama. Ia mengontrak Bram, sutradara yang selama ini dipandang sangat memahami gejolak jiwanya.

Dalam fi lm itu ia merasa total. Seluruh daya dan kekuatannya—baik sebagai penulis skenario maupun pemain utama—tuntas dikerahkan. Uang, keringat, dan air mata, tertumpah habis untuk fi lm yang satu ini. Film yang belum beredar di pasaran itu sempat ditulis oleh sejumlah kritisi terkemuka Ibu Kota. Dan hampir semua tulisan tentangnya memuji-muji. Memamg kemudian terbukti, fi lm itu memperoleh delapan nominasi, empat di antaranya di bidang

Page 54: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

penyutradaraan, pemeran utama pria, penulisan skenario, dan unggulan fi lm terbaik.

Lebih sepuluh kali Syahroni Abbas membaca sebuah resensi mengenai fi lmnya yang dipandang paling mengena. Tulisan itu dibuat oleh seorang kritisi fi lm beken, yang juga masuk dalam nominasi penulisan kritik fi lm.

“Sebuah fi lm yang bagus,” tulis kritisi itu. “Inilah tragedi seorang anak manusia yang tersuruk-suruk dalam proses mencari identitas diri. Pada hakekatnya setiap manusia memang selalu dituntut untuk mengaktualisasi personal-self dan social-self yang niscaya ada pada dirinya. Dunia fi lm yang dicintai adalah universum di mana ia menemukan diri-personalnya. Dan pengakuan sang ayah atau hubungan mesra dengan orang tua adalah tuntutan diri-sosialnya. Namun keduanya berbenturan, menyeret sang tokoh pada sebuah tragedi yang mengerikan. Film tersebut menjelaskan bahwa hidup ini tidak sederhana, tetapi penuh tanggung jawab dan penderitaan....”

Membaca tulisan itu, Syahroni merasa telah melakukan sesuatu yang cukup punya arti. Usahanya membuat fi lm itu, selain dimaksudkan untuk mengetuk hati Sang Ayah, juga sebagai jawaban positif dari tanggung jawabnya mengembangkan diri-personalnya. Ia merasa telah memberikan renungan yang tinggi nilainya, yang mampu memperkaya pengalaman batin manusia.

Ada kalanya Syahroni menitikkan air mata, baik ketika ia membaca tulisan itu maupun saat menonton fi lmnya.

***

Page 55: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 53

Lebih setengah jam ia meninggalkan hotel tempatnya menginap di kota Pati. Azan isya sudah lama berlalu ketika mobilnya memasuki kampung kelahiran di Desa Kajen. Segalanya sudah dipersiapkan. Ia bawa LED TV dalam keadaan gres sebesar 50 inci. Ia tahu di rumah ayahnya hanya ada pesawat televisi tabung yang sudah tua dan ketinggalan zaman. Di dalam laci daskboard mobilnya sudah siap tersedia sebuah fl ash disk berisi rekaman fi lmnya dalam bentuk fi le MKV, yang dibungkus dalam kotak kecil. Dan itulah yang ia idamkan sebagai kado yang amat cantik. Ada pita warna hijau melingkari kotak kecil itu. Itulah yang akan dipersembahkan sebagai kado kawin emas orang tuanya.

Kali ini ia melangkah menuju rumah ayahnya dengan gagah dan tegap. Suaranya juga lantang dan mantap saat mengucapkan Assalamu’alaikum. Dari ruang tengah ibunya menyambut salam itu, dan muncul lalu berjalan terbongkok-bongkok menghampirinya. Sudah tampak begitu tua dan rapuh.

“Ya, Allah! Kamukah itu, Syah?” ucap ibunya gemetar.

“Ya, Ibu. Saya sengaja pulang karena malam ini adalah hari kawin emas Abah dan Ibu.”

Ibunya mengernyitkan alis, satu tanda bahwa ia tidak memahami ucapan anaknya.

“Sudah saya catat, Bu. Malam ini hari Kawin Emas Abah dan Ibu.”

“Apa itu kawin emas?”

“Ulang tahun perkawinan ke-50, Bu.”

Page 56: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Ibunya terbengong tak mengerti.

“Di mana Abah?”

“Duduklah kamu, jangan berdiri begitu. Abah-mu masih berzikir di musholla. Tadi baru saja ia menyebut-nyebutmu.”

“Tentang apa?” tanya Syahroni terlonjak.

Begitu saja ia terhenyak di kursi. Hatinya mulai tak menentu.

“Abah-mu marah lagi mendengar namamu diumumkan di televisi. Katanya kamu menjadi calon juara? Orang-orang sini juga ramai membicarakan kamu. Abah-mu malu. Kamu dibilang sengaja menantangnya.”

Syahroni mendesah. Ia sadar akan mendapat kesulitan.

Akan tetapi, yang kemudian diperbuatnya adalah ia nekat saja membuka kardus LED TV, lalu memasang kabel yang menghubungkannya ke stop kontak listrik.

“Apa yang kamu kerjakan itu, Syah?” tanya ibunya.

“Abah dan Ibu harus melihat hasil karya saya… anak bungsu yang selama ini terbuang dan tidak diakui oleh abah-nya sendiri…”

Keletak bakiak kayu membuat Syahroni terkesiap. Ia kenal persis suara langkah ayahnya. Buru-buru ia menyongsong. Haji Abbas terhenti di dekat pintu, memandang bungsunya dengan tatap mata yang sulit diterjemahkan.

“Untuk apa kamu datang lagi?” semprot Haji Abbas begitu melihat si bungsu berada di rumahnya.

Page 57: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 55

“Malam ini kedatangan saya yang paling penting, Abah. Saya tidak mampu menjelaskan dengan kata-kata...”

“Ndak ada yang perlu dijelaskan,” ucap Haji Abbas masih sambil berdiri. Wajahnya kaku dan tegang.

“Saya ingin mengucapkan selamat pada Abah dan Ibu. Hari ini adalah hari ulang tahun ke-50 perkawinan Abah dan Ibu. Hari Kawin Emas. Saya ingin memberikan bingkisan untuk Abah...”

“Jangan coba-coba kamu menghiburku dengan hadiah,” kata Haji Abbas seraya menghentakkan ujung tongkatnya ke lantai.

Syahroni terdiam. Dari pancaran sinar mata ayahnya, ia menangkap aspek-aspek karakteristik seorang kyai desa yang kukuh dalam pendirian. Suasana tiba-tiba dirasakan begitu mencekam.

“Aku merasa kamu telah dengan sengaja menantangku. Mengejek dan melecehkan. Kamu tahu aku ndak suka kamu jadi bintang fi lm. Tapi kamu bukannya berhenti malah semakin nekat saja. Apa kamu pikir aku ndak tahu kamu menjadi calon juara?” kata ayahnya dengan napas yang mulai tersengal, mengisyaratkan betapa kemarahan nyaris tak tertahankan lagi olehnya.

“Maaf, Bah! Sekarang saya mohon Abah sudi menerima bingkisan dari saya ini,” ucap Syahroni sambil mengulurkan bungkusan berisi fl ash disk fi lmnya. “Selama ini saya sangat menderita, Abah. Saya tidak kuasa menceritakannya

Page 58: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

dengan kata-kata. Semua ada di sini....” sambungnya sambil menunjuk kado di tangannya.

Dengan kasar Haji Abbas menerima kado itu. Dan dengan kasar pula lelaki tua itu membongkarnya. Garis-garis keras di wajahnya sudah mulai mengendor. Yang tampak hanya tatap mata aneh yang tidak memahami apa arti semua ini.

“Apa ini?” tanya Haji Abbas.

“Flash disk, Bah. Dari barang kecil itulah Abah akan mengetahui penderitaan saya. Saya mohon dengan sangat, dan mungkin ini permintaan saya yang terakhir, Abah sudi melihatnya.”

“Flash disk?” bisik Haji Abba menirukan ucapan Syahroni tadi.

“Iya, fl ash disk, Bah. Di dalamnya ada rekaman fi lm saya…”

Wajah yang sesaat telah mengendor itu mendadak kembali menegang. Sinar mata yang sudah mulai lunak itu kembali menyala-nyala. Haji Abbas mengadu rahang, menggeretakkan gigi-giginya yang tinggal beberapa biji itu.

“Kurangajar!” geramnya. “Berani benar kamu menyuruhku melihat kamu bermain fi lm! Setelah gagal membujukku datang ke bioskop, kamu bawa fi lm laknat itu ke rumah ini.”

“Mohon dengan sangat, Bah! Untuk terakhir kali ini saya meminta. Apa pun boleh terjadi setelah Abah sudi

Page 59: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 57

melihatnya,” ratap Syahroni menggigil seraya membungkuk-bungkukkan badannya.

Haji Abbas melengos. Ia melangkah masuk ke ruang dalam rumahnya. Flash disk masih digenggamnya. Syahroni dan ibunya beradu pandang tanpa kata-kata.

Tak lebih dari empat menit Haji Abbas ke luar lagi. Kini ia membawa sebuah botol kecil usang. Tanpa berucap kata ia tuangkan isi botol yang adalah bensin itu ke fl ash disk yang telah digeletakkan di lantai. Dan dengan cekatan ia nyalakan korek lalu membakar fl ash disk itu. Dalam sekejap api telah melahap habis barang kecil berisi master-piece Syahroni.

Sang aktor ingin menjerit, namun mulutnya seakan tersekat benda berat. Api itu seakan-akan membakar habis kehormatannya, kebanggaannya, harapannya, dan seluruh jiwa-raganya. Rasa benci, dendam, sakit hati, kecewa, sesal, bercampur-baur tindih-menindih hingga ia sendiri tidak tahu apa-apa. Sedih atau gembira bukan ungkapan yang pas untuk mewakili suasana hatinya saat ini.

“Aku hanya ingin kamu berhenti main fi lm. Cuma itu! Tapi kamu terlalu bodoh sekadar untuk memahaminya,” raung Haji Abbas dengan sorot mata berkilat.

***

Bagaikan macan kumbang ia meloncat ke dalam mobil dan memacunya kencang sekali. Dalam tempurung kepalanya terbayang adegan terakhir di fi lm itu. Muncul bangunan besar bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa”. Tiba-tiba pikiran Syahroni merasa sangat galau. Ia begitu ngeri membayangkannya.

Page 60: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kalau ketika berangkat dari hotel menuju rumah Haji Abbas tadi memakan waktu setengah jam, kini kurang dari 20 menit Syahroni sudah sampai di hotel tempatnya menginap. Tiba di kamar hotel, Syahroni langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Di sana ia menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan mainannya. Muncul rasa khawatir kalau-kalau raungan tangisnya itu terdengar dari luar kamar dan diketahui pers, pasti akan menjadi berita yang menghebohkan. Ia tak ingin ada orang lain ikut mendengar tangisnya. Syahroni pun kemudian bangkit meraih remote. Buru-buru ia nyalakan televisi keras-keras, tanpa peduli pada acara yang sedang tayang di layar televisi itu. Kini ia terkulai lemas di kursi. Dan bayangan rumah sakit jiwa itu menyambar-nyambar ingatannya lagi. Syahroni ketakutan, menggigil, dan gemetar. Kesadarannya ingin sekali menghalau bayangan itu.

Tidak! Tidak! Aku tidak ingin menjadi gila!

Lantas ia teringat masa kanak-kanaknya. Kuyup oleh kasih sayang orang tuanya. Bangga oleh penghormatan warga desanya. Ke mana pun pergi selalu dielu-elukan dan disanjung orang. Oo, betapa menyenangkan, pikirnya. Ia rindu semua itu. Ia rindu!

“Baik! Baik! Baik! Aku akan berhenti jadi pemain fi lm!” serunya sendirian seperti orang yang sudah mulai kurang waras. Ia menjambak-jambak rambutnya sendiri dan menghentak-hentakkan kakinya.

Sekonyong-konyong Syahroni tersentak kaget. Tayangan puncak festival fi lm di televisi mengumumkan dirinya

Page 61: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 59

terpilih menjadi pemeran utama pria terbaik. Ia hampir tak mau percaya. Ia ikuti dengan seksama siaran itu. Kini ia saksikan dua orang artis mengumumkan “Rindu Pelukan Ayah” sebagai fi lm terbaik tahun ini.

Syahroni Abbas, sang the best actor, makin dalam terhenyak. Di hadapannya terentang tanggung jawab yang lebih besar lagi.***

Jakarta, Cerpen 1990 – Novelet 2018

Page 62: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”
Page 63: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 61

Dilarang Berterus Terang

HARI masih pagi ketika Agnaya menyodorkan segelas susu panas di depan Harison. Suaminya yang sudah

berdandan rapi itu langsung mengangkat tangkai gelas dan menyeruputnya.

“Masih panas, Mas! Sabar dikit kenapa!” seru Agnaya.

Harison meletakkan gelas sambil mengusap bibirnya lantaran kepanasan. Agnaya tersenyum geli. Ia lalu mengambil roti bakar yang sudah disiapkannya.

“Ini rotinya dimakan dulu, Mas!”

Sebuah lagu menguar dari radio di atas rak. Lagu lawas dari Bimbo, judulnya Wanita Ibarat Komputer. Lirik lagu itu di antaranya berbunyi begini:

Wanita ibarat komputer

Makin banyak data makin pinter dia

Bila kurang cerdik jangan coba-coba

Sangat susah untuk dibohongi.

Page 64: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

62 | Nadjib Kartapati Z

Dengan cekatan Agnaya mematikan radio. Dari ekspresi wajahnya terkesan kurang menyenangi lirik lagu tadi.

“Masak orang disamakan dengan komputer?” gerutunya.

Agnaya melihat suaminya tidak juga menyentuh roti yang disodorkan.

“Kenapa rotinya nggak dimakan, Mas?”

“Minum susu sudah cukup. Aku buru-buru. Pagi ini ada meeting.”

“Tumben pagi-pagi meeting?”

“Siang nanti bos mau ke Singapor. Makanya pagi-pagi suruh kumpul.”

“Tadi Mas Ison mandi nggak?” Agnaya tahu, suaminya tak tahan air dingin.

“Ya iya’lah. Apa boleh buat pakai air dingin. Kan water heater-nya ngadat.”

“Panggil tukang service dong. Aku paling malas kalau disuruh merebus air.”

Darti, pembantu rumah tangga mereka yang baru seminggu diambil dari kampung, muncul tiba-tiba. Gadis desa berusia duapuluh tahun itu membawa celana panjang Harison yang kotor, yang baru saja akan dicuci.

“Saya mau nyuci. Tapi ada ini di saku Bapak, Bu. Siapa tahu penting?” kata Darti seraya memberikan dua lembar sobekan karcis bioskop kepada Agnaya.

Page 65: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 63

Harison yang sedang minum susu jadi tersedak. Kaget. Wajahnya tampak cemas dan khawatir. Ia mulai gelisah karena merasa belum berterus terang pada istrinya. Agnaya menerima sobekan karcis, mencermati. Ia mulai curiga.

“Kemarin kamu nonton fi lm ya?” kata Agnaya, melotot.

Harison mengangguk ragu-ragu.

“Pasti sama cewek!”

“Aku… eng…aku kepaksa nemenin.”

“Nemenin? Menenin pacar, maksudmu?”

“Temen sekantor.”

“Temen sekantor? Huh! Siapa bisa percaya?”

“Sumpah! Aku nggak bohong, Nay!”

“Bilang nggak bohong kok setelah ketahuan,” suara Agnaya kian meninggi.

Menyaksikan kedua majikannya bertengkar gara-gara ketololannya, Darti langsung balik badan dan ngumpet di belakang.

Tiba-tiba saja perasaan Agnaya jadi kacau. Bayangan buruk menyambar-nyambar benaknya. Cerita-cerita miring yang didengar dari teman-teman dan dilihat di banyak sinetron tentang perselingkuhan suami, secara niscaya mengaduk-aduk pikiran dan hatinya. Tiga tahun sudah ia menikah dengan Harison, namun sampai detik ini belum juga dikaruniai momongan. Agnaya khawatir kalau lantaran kenyataan itu suaminya kecewa dan main belakang.

Page 66: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

64 | Nadjib Kartapati Z

“Kalau sudah ketahuan begini, mau ngomong apa kamu sekarang, ha?”

“Sabar! Sabar, Nay! Kemarin itu saya diminta….”

Harison lantas menceritakan apa yang terjadi di kantornya kemarin. Nita, teman sekantor, memintanya menemani nonton sebuah fi lm Indonesia. Semua teman di kantornya sudah menonton kecuali Nita. Kata teman-temannya, fi lm itu rada konyol, mengisahkan seorang calon bupati yang terus koma sehabis dioperasi lantaran tak bisa buang angin. Terlebih lagi, dalam fi lm itu ada teman sekantor yang ikut main, meski cuma fi guran.

“Banyak teman lelaki yang siap nemenin Nita nonton. Tapi Nita cuma percaya sama aku. Itu satu bukti kalau suamimu ini nggak pernah macem-macem,” ungkap Harison dengan suara parau.

“Terus kamu mau? Itu namanya mengambil kesempatan dalam kesempitan orang lain, Mas. Alasan sih selalu ada.”

“Ya, Tuhan!”

“Aku tahu Nita itu orangnya kayak apa. Aku tahu, Mas. Si ratu genit itu, kan? Kamu pasti macem-macem deh sama dia!”

“Astaga! Kamu ini apa-apaan? Aku ngomong jujur, Nay. Cuma nemenin!”

“Okelah kamu nggak ngapa-ngapa. Tapi dianya itu. Pasti deh si genit itu bermanja-manja. Di ruang yang gelap itu, dia pasti menggelendot. Nyandar di pundakmu. Dan kamu kesenengan. Melek-merem. Ya, kan?”

Page 67: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 65

Agnaya terbakar oleh emosinya yang berkobar. Matanya langsung berkaca-kaca. Harison jadi salah tingkah. Ia merasa sudah berkata jujur, tapi tetap saja tidak dipercaya oleh istrinya.

“Agnaya, istriku tercinta!” ucap Harison. “Aku sudah ngomong jujur, Sayang. Tolong dong hargai. Selama ini aku nggak pernah membohongi kamu, kan?”

“Kelihatannya saja jujur. Di belakangku siapa tahu? Buktinya sekarang ini! Munafi k! Sok jujur!”

Agnaya menangis. Airmatanya tumpah, berleleran. Dengan perasaan marah ia robek potongan karcis bioskop itu hingga lumat. Ia lemparkan sobekan kertas itu ke meja makan, persis di depan Harison. Beberapa serpihan kertas itu ada yang mampir di wajah suaminya. Harison tersentak. Ia memelototi Agnaya.

“Apa melotot? Dasar laki-laki suka bohong!”

Harison mulai kesal. Ia merasa kejujurannya tidak diapresiaasi sama sekali. Ia berdiri sambil bersungut-sungut.

“Aku sudah jujur, tapi kamunya nggak percaya. Sekarang aku nggak punya cara lain buat meyakinkan kamu! Bodo!” Berkata begitu Harison langsung meninggalkan Agnaya keluar. Tanpa pamit ia pun berangkat ke kantor.

Agnaya menghambur masuk kamar, membanting pintu.

***

Tiba di kantor, Harison langsung menuju ruang rapat. Ia terlambat. Himawan, Sang Manajer, sedang menulis

Page 68: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

66 | Nadjib Kartapati Z

beberapa kalimat pada white-board. Posisinya membelakangi peserta rapat. Harison menyelinap, mengambil tempat duduk di antara teman-temannya. Namun, belum lagi sempurna duduk, Sang Manajer sudah membalikkan badan dan melihatnya.

“Kenapa telat, Son? Macet? Mobil mogok? Bangun kesiangan?”

Semua yang ada di ruangan itu tertawa kecil. Harison makin blingsatan.

“Minggu depan kau riset ke Bandung. Tadi sudah diputuskan di rapat!”

“Sebentar, Pak….”

“Kau bentuk tim secepatnya!” potong Himawan tanpa mau memberinya kesempatan bicara. “Paling tidak dalam dua hari ini sudah harus kelar!”

Harison hanya termangu.

Dari semua teman yang ada di kantor, hanya Erwin yang mau memberikan perhatian khusus kepada Harison. Keduanya memang sepasang sahabat karib, meski usia Erwin tiga tahun lebih tua. Teman-teman lain pada heran kenapa mereka bisa menjadi dua serangkai. Padahal, perangai mereka jauh beda. Harison punya sifat santun, tidak banyak bicara. Ia juga disiplin, polos, dan lurus-lurus saja. Sementara Erwin berkarakter rada-rada selebor, sedikit mata keranjang, dan banyak ngomong. Namun, akal bulus dan kecerdikan Erwin tak ada yang meragukan. Erwin jugalah yang kemarin mendorong Harison agar mau menemani Nita nonton fi lm.

Page 69: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 67

“Aku tahu dari sinar mata kau, Son! Kau lagi punya masalah dengan istri kau. Pasti karena soal nonton bareng Nita. Iya, kan?” tuding Erwin seusai rapat.

Harison heran Erwin bisa tahu. Padahal ia belum cerita sepatah kata pun. Dalam hal-hal tertentu Harison memang mengagumi Erwin.

“Son! Prahara di rumah jangan kau bawa ke kantor. Masak soal nonton bareng teman sekantor saja mesti pecah Perang Troya? Itu keterlaluan,” urai Erwin dengan gaya seorang pakar psikologi kelas wahid.

Harison menarik napas berat, seberat beban yang ditanggungnya sekarang. Ia menatap Erwin tajam, memancarkan perasaan kesalnya.

“Win! Tiga tahun sudah aku menikah. Tapi terus terang, baru sekarang aku didamprat istri. Ini gara-gara kamu! Kemarin aku sudah menolak, tapi kamu memaksa-maksa aku. Apa sih maumu?”

“Biar hidup kau lebih full color’lah. Terus apa yang terjadi?”

Harison menceritakan apa yang tadi dialaminya.

Erwin terkikik. Ia tepuk-tepuk punggung Harison.

“Kau tolol sih! Masak sobekan karcis kau bawa pulang?”

“Itu bukan ketololan, Win! Tapi kecelakaan!”

“Kecelakaan karena ketololan. Ngerti? Kalau di aku, yang seperti itu nggak bakalan terjadi, Son. Nggak balakan! Menjadi laki-laki jangan terlalu lugu!”

Page 70: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

68 | Nadjib Kartapati Z

“Ini lebih pada soal kejujuran, Win!”

Erwin tertawa terpingkal-pingkal. Harison semakin kesal. Ia merasa menjadi bocah yang begitu tolol dan pantas ditertawakan.

“Jangan samakan aku dengan kamu, Win!” kata Harison membela diri. “Aku punya istri, karena itu terikat dengan norma-norma keluarga. Beda dengan kamu, duda. Sudah pasti bisa bebas apa saja.”

Erwin tersenyum simpul. Sejak setahun ini ia memang menduda. Istrinya menggugat cerai dengan alasan tak ada kesepahaman. Padahal, mereka sudah membangun rumah tangga empat tahun lamanya.

“Waktu masih punya istri pun, aku nggak pernah kesandung masalah yang setolol ini, Son!” kata Erwin, membanggakan diri.

“Memang beda! Sejak dari sini…” Harison menunjuk kepalanya sendiri, “kamu sudah siapin semua rencana kebohongan itu. Aku ‘kan selalu jujur terhadap istriku. Jadi nggak tahu trik-trik segala macam itu….”

Lagi-lagi Erwin terkikik.

“Makanya, jadi suami harus bisa sedikt cerdik. Lain kali kau mesti seperti aku. Realistis, menghtung semua kemungkinan. Sekarang kau harus tahu, Son! Sikap jujur nggak segala-galanya. Lebih-lebih terhadap istri.”

Harison tersodok oleh ucapan Erwin. Ia merasa pendapat sahabatnya itu sudah kelewat batas.

Page 71: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 69

“Jadi… jujur kepada istri kamu anggap nggak penting?”

“Yang penting bijaksana, Son. Apa artinya jujur kalau buahnya konfl ik?”

Harison tercenung. Argumentasi Erwin berputar-putar dalam tempurung kepalanya. Meski terasa mengganggu, toh nalarnya tak mampu membantah.

“Jadi menurutmu, kejujuran nggak ada artinya?”

“Bukan nggak ada artinya, Son. Khusus menghadapi makhluk yang bernama bini, kejujuran itu membawa risiko tinggi! Paham kau?”

Harison ternganga.

***

Agnaya bergerak ke depan kaca. Cermin di dalam kamarnya memberikan kesaksian bahwa kedua matanya begitu sembab. Agnaya kecewa berat. Ia merasa dikhianati oleh suaminya, terutama karena selama ini ia menganggap Harison suami yang kelewat jujur. Rasa percaya terhadap suaminya kini mulai goyah. Bahkan lebih jauh lagi. Pikiran-pikiran buruk tak berhenti menterornya. Siapa tahu sebelumnya ia sudah sering membohongiku, sekarang-kurangnya tidak jujur terhadapku?

Agnaya keluar kamar sambil menghapus sisa-sisa airmatanya. Pas ketika itu Darti muncul dan menghampirinya.

“Ibu… Darti mohon maaf ya. Darti ndak tahu kalau tadi itu karcis bioskop.”

Page 72: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

70 | Nadjib Kartapati Z

“Nggak apa-apa, Dar! Jangan sampai karena soal tadi kamu jadi nggak betah tinggal di sini. Ibu malah berterima kasih sama kamu.”

Darti tidak begitu saja percaya ucapan majikannya itu. Ia pandangi wajah Agnaya seakan minta diyakinkan sekali lagi.

“Sudah, Darti! Lupakan semuanya!” kata Agnaya. “Sekarang Ibu mau pergi ke rumah teman Ibu. Kamu jaga rumah ya. Sore Ibu pulang.”

Di dalam kepala Agnaya hanya ada satu nama, yaitu Deska. Dalam banyak hal, Deska adalah sosok di mana Agnaya sering curhat alias mengadukan masalah-masalahnya, sekecil apa pun masalah itu. Seperti Harison dan Erwin, Agnaya dan Deska adalah sepasang sahabat karib. Usia Deska dua tahun lebih tua. Ia sering memberikan semacam pencerahan kepada Agnaya dalam masalah kerumah-tanggaan. Padahal, hingga sekarang Deska masih melajang alias belum menikah. Ia membuka usaha salon kecantikan di rumahnya.

Melihat kedatangan Agnaya, Deska terlonjak kegirangan. Ia berlari kecil menyambut sahabatnya itu. Namun, begitu menyaksikan kedua mata Agnaya yang sembab, langkah Deska terhenti begitu saja. Raut mukanya langsung dikotori oleh tanda tanya besar.

“Kamu kenapa, Nay?”

Agnaya memandang Deska dengan pancaran mata minta pengertian. Tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi ragu-ragu.

“Kenapa?” ulang Deska.

Page 73: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 71

Bukannya menjawab, Agnaya malah memeluk sahabat karibnya itu. Ia memuntahkan tangisnya di pelukan Deska.

“Kamu ini kenapa? Datang-datang kok malah nangis. Ayo masuk!” kata Deska seraya menuntun Agnaya masuk rumah.

Tiba di ruang tamu, Deska membawa Agnaya ke sofa panjang. Mereka duduk berdampingan. Deska sengaja membiarkan Agnaya menuntaskan tangisnya. Di pihak lain, Agnaya merasa begitu rapuh. Tiga tahun berumah tangga serasa belum cukup untuk mendewasakannya. Tiba-tiba ia merasa dirinya kawin terlalu muda. Begitu selesai kuliah D3, usia 22 tahun ia menikah.

Deska menyodorkan sekardus tissue. Agnaya menghunusnya satu demi satu hingga airmatanya susut.

“Nah, sekarang ceritakan apa yang terjadi,” pinta Deska.

Agnaya menceritakan peristiwa “dua sobekan karsis bioskop” yang ditemukan pembantunya di saku celana Harison. Deska tersenyum simpul, seolah-olah tak bisa menahan rasa gelinya.

“Kok malah senyum?” protes Agnaya.

“Habisnya…kamu berlebihan!”

“Berlebihan? Maksudmu… aku nggak seharusnya marah seperti ini?”

Deska mengangguk.

Page 74: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

72 | Nadjib Kartapati Z

“Kamu belum pernah menikah, Des. Jadi belum bisa merasakan remuknya hati istri dikhianati suami seperti yang kurasakan sekarang ini.”

“Belum tentu Mas Ison mengkhianati kamu, Nay!”

“Kan sudah terbukti dia nonton sama perempuan lain? Apa artinya itu?”

Deska mengambil sebotol air putih dari kulkas dan sebuah gelas.

“Minum dulu biar kepalamu dingin.”

Agnaya menuang air dingin ke dalam gelas, lalu meneguknya.

“Aku kemari mau curhat supaya beban jiwaku lebih enteng. Tapi kamu bilang aku berlebihan. Beban jiwaku jadi makin berat. Apa gunanya aku ke sini?”

“Sabar, Nay! Kita bicara harus dengan pikiran yang sehat. Tidak dengan emosi seperti itu!”

Agnaya diam. Air dingin yang membasahi tenggorokannya itu membuat emosinya sedikit terkuasai.

“Biar kata orang kamu belum kawin, kupikir kamu lebih dewasa ketimbang aku, Des. Nggak salah kalau aku curhat ke kamu.”

Deska meraih tangan Agnaya. Dielusnya lengan itu dengan sepenuh perasaan, sebagai isyarat dirinya mampu berempati pada sahabatnya.

Page 75: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 73

“Agnaya!” kata Deska, serius. “Andaikan apa yang kamu tuduhkan itu benar, demi Tuhan aku ikut prihatin. Ikut sedih. Luka hatimu adalah juga luka hatiku.” Deska menatap wajah Agnaya lekat-lekat, seakan menunggu reaksi. “Tapi, Nay…” lanjutnya. “Siapa tahu Mas Ison memang jujur? ‘Kan senang punya suami jujur. Iya, nggak?”

“Boleh jadi dia jujur, Des! Tapi itu setelah ketahuan. Itu yang bikin aku kesal dan marah. Kenapa dia nggak cerita sebelumnya?”

“Diam nggak berarti bohong lho, Nay!”

“Memang sih! Tapi itu namanya nggak terbuka, kan?”

“Daripada terbuka tapi akibatnya malah runyam?”

Agnaya terdiam lagi. Pikirannya mulai mencerna ucapan Deska. Buat apa terbuka kalau hasilnya runyam? Bukankah banyak orang bijak bilang bahwa berbohong adakalanya diperbolehkan bila demi kebaikan yang lebih besar?

“Kalian sudah tiga tahun menikah, bukan? Selama ini rumah tangga kalian harmonis. Masak kesandung yang begini saja sampai jadi konfl ik besar?” tetak Deska begitu melihat sahabatnya itu hanya termangu.

Agnaya mendongak, menatap Deska. Dari sinar matanya terbaca bahwa emosinya yang meluap-luap tadi perlu dimaklumi.

“Sudahlah,” ucap Deska. “Pulang saja, Nay. Nggak perlu memusuhi suami.”

Agnaya tidak bereaksi. Deska jadi tertegun.

Page 76: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

74 | Nadjib Kartapati Z

“Kalau emoh pulang, terus maumu apa?”

“Mauku… mauku kamu antar aku pulang.”

***

Usai kantor tak terlalu sore, Harison mampir di mal untuk membeli jaket. Ia yakin, bertugas di Bandung pastilah akan menyiksa dirinya yang tak tahan terhadap udara dingin. Seperti biasanya, pukul sembilanbelas lewat ia tiba di rumah. Ia menenteng tas plastik bermerk sebuah departement store.

Tak seperti biasanya, malam ini ia tidak melihat Agnaya. Rumah sepi. Ia celingukan, matanya mencari-cari. Harison mulai cemas. Ia menengok kamar yang ternyata kosong. Tampak olehnya pakaian rumah Agnaya menempuruk di atas tempat tidur.

Harison melenguh panjang. Dengan bersungut-sungut ia hempaskan pantatnya ke kursi. Pada saat itu muncul Darti dari ruang belakang. Gadis desa itu takut-takut mendekati majikannya.

“Bapak….” ucap Darti. “Teh angetnya sudah saya siapkan di meja.”

Harison menatap Darti dengan pandangan kecewa.

“Ibu ke mana?”

“Pergi, Pak. Ndak tahu ke mana. Ibu ndak bilang apa-apa.”

“Kapan perginya?”

“Ya sejak tadi itu….”

Page 77: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 75

“Sejak tadi itu… maksudmu apa?”

“Ya…setelah….” Darti menelan kembali kata-katanya. Kedua tangannya diadu-adukan. “Setelah anu… sama Bapak tadi…”

Harison menggeram. Darti makin ketakutan.

“Bikin susah orang saja kamu!”

“Maaf, Pak. Darti ndak tahu kalau itu karcis bioskop. Sungguh mati ndak tahu, Pak,” ucap Darti membungkuk. Wajahnya mengekspresikan penyesalan.

“Sudah, sana! Lain kali hati-hati!”

Darti mengangguk hormat dan berlalu ke belakang.

Harison melepas tali sepatu. Dari luar terdengar suara mobil. Menderu dan berhenti persis di depan rumah. Harison terkesiap.

Dengan jelas terdengar langkah-langkah kaki memasuki rumahnya. Kuping Harison mencermati suara itu. Ketika ia menoleh, Agnaya dan Deska sudah berdiri di pintu penghubung ruang tamu dengan ruang tengah. Harison kaget, sekaget Agnaya. Keduanya berpandangan, tampak saling merasa bersalah.

Deska yang menyaksikan momen penting itu langsung menyergap dengan piawainya, “Udahlah, kalian baikan aja! Sama-sama nggak ada yang salah kok.”

Bagai kena tarikan magnit, Harison dan Agnaya serentak berpaling ke arah Deska. Sadar menjadi tumpuhan moril

Page 78: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

76 | Nadjib Kartapati Z

keduanya, Deska mengapungkan senyum termanisnya. Ia lantas merangkul pundak Agnaya.

“Nay! Mas Ison ‘kan sudah mau berterus terang sama kamu! Ya, nggak?”

Agnaya merespon dengan matanya. Jelas tak keberatan dengan ucapan itu.

Deska kemudian menatap Harison.

“Juga buat Mas Ison nih,” lanjut Deska. “Cemburu itu tanda cinta lho, Mas. Jadi sama-sama positif! Ya, nggak?”

Agnaya tersipu-sipu, mencubit bahu Deska. Deska tersenyum tipis. Harison melepas tawa, tanpa beban. Suasana langsung mencair.

“Udah ya, Nay, Mas Ison! Aku pulang dulu. Bye….” Ucap Deska sambil mencubit pipi Agnaya, dan langsung keluar rumah meninggallan mereka.

Agnaya dan Harison berpandangan. Mata mereka memancarkan pesan perdamaian. Harison menghembuskan napas lega, demikian juga Agnaya.

“Belum dibuatin teh ya, Mas?” tanya Agnaya seraya bergerak ke belakang.

“Sudah kok. Tuh di meja!” jawab Harison sambil menyambar lengan istrinya. “Sini dulu, Nay…” lanjutnya. “Minggu depan aku tugas ke Bandung.”

“O ya?” mata Agnaya berbinar. “Asyik. Tahu oleh-oleh kesukaanku nggak?”

Page 79: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 77

“Tahu dong… Brownies Dago, kan?”

“Pinter!”

“Aku ini kan memang suami yang tahu kesukaan istrinya. Itu namanya suami yang selalu berperhatian. Istilahnya sekarang, beratensi besar.”

“Weleh! Tapi selain brownies ada lagi lho, Mas. Tahu apa, coba?”

“Paling keripik pedas Maicih.”

“Tepat,” sahut Agnaya.

Tiba-tiba pandangan mata Agnaya menclok pada kantong plastik bermerk department store di atas meja. Ia pun bergerak meraih kantong itu, membuka dan membongkar isinya. Melihat jaket baru, mata Agnaya terbelalak.

“Kamu beli ini ya, Mas?”

“Iya. Aku perlu jaket, Nay. Di Bandung dingin? Cakep, ‘kan, modelnya?”

Agnaya tidak menjawab. Wajahnya mendadak berubah sengit. Ia menatap tajam suaminya, seolah ada sesuatu yang hendak digugatnya.

“Beli jaket nggak ngajak-ngajak istri. Begini ini kamu bilang beratensi besar, ha?” tuding Agnaya dengan wajah yang tiba-tiba berubah keruh.

Harison mendelong tak mengerti.

“Maksud kamu apa?”

Page 80: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

78 | Nadjib Kartapati Z

“Selama ini kamu ‘kan selalu ngelibatin aku dalam soal selera. Sekarang aku sudah kamu kesampingkan ya? Ini buktinya!”

“Ya, Tuhan! Kok kamu jadi sensitif begini? Ini ‘kan soal kecil, Nay?”

“Justru dari soal-soal kecil begini ini, lama-lama jadi gede. Kamu sudah nggak perhatiin aku lagi deh pokoknya!”

Harison terhenyak ke sandaran kursi. Ia memijit-mijit keningnya sendiri.

“Tahu begini aku bohong tadi….” gumamnya.

“Apa? Bohong? Jadi kamu mulai punya niat bohong samaistri? Begitu?”

Harison menghela napas panjang. Geleng-geleng kepala, merasa serba salah dan terpojok. Suasana yang baru saja “damai” itu jadi rusak akibat jaket yang dibelinya di mal. Hancur hanya gara-gara ia tidak mengajak istrinya.

“Nggak tahu deh mesti ngomong apa,” ucapnya dengan wajah putus asa.

“Waktu kamu beli dasi saja ngajak aku. Iya, kan? Itu artinya, kamu mau mempertimbangkan seleraku. Menghargai keberadaanku sebagai istrimu.”

Diingatkan seperti itu, Harison menyadari telah bebuat di luar kebiasaannya.

“Sudah?” tanya Harison.

“Soal sabuk juga. Selalalu mengajakku.”

Page 81: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 79

“Sudah?”

“Malah lebih kecil dari dasi dan sabuk. Membeli sapu tangan pun kamu suruh aku memilih warnanya. Ingat, nggak?

“Sudah?”

“Apaan sih sudah-sudah mulu?”

“Iya. Kalau sudah, aku minta maaf. Repot-repot amat sih? Biar saja, aku ngaku salah. Yang penting kamu maafi n, dan jangan dibahas lagi. Oke?”

“Awas kalau kamu ulangi!” ancam Agnaya seraya mencibir genit.

Harison tersenyum meringis. Agnaya akhirnya ikut juga tersenyum. Tapi sekilas saja. Setelah itu ia cepat-cepat membuang muka, sengaja ja-im.

***

Apa yang jadi kesukaan Agnaya, dibawa Harison sepulang dari Bandung. Harison berhasil menunjukkan bahwa sesungguhnya ia menaruh perhatian penuh kepada istrinya. Tentu saja Agnaya menyambutnya gembira.

Pagi ini begitu cerah. Awan tipis sporadis, memperindah langit. Kecerahan juga bersemayam dalam hati Agnaya dan Harison.

Harison sudah memanasi mesin mobilnya. Bahkan ia sudah duduk di belakang setir, menunggu Agnaya yang masih belum usai berdandan. Setelah membunyikan klakson tiga kali, barulah Agnaya muncul tergopoh-gopoh.

Page 82: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

80 | Nadjib Kartapati Z

“Nggak sabaran amat sih!” kata Agnaya seraya membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Harison.

“Waktu itu aku telat tuh.”

“Kapan?”

Harison mulai menjalankan mobilnya.

“Hari itu…yang kamu senewen itu….”

“Emang salahku?”

”Maksudku, hari ini jangan telat lagi!”

“Kalau begitu drop saja aku di rumah Deska,” pinta Agnaya.

“Terus nanti mau pulang jam berapa?”

“Sore! Acaraku sama Deska padet. Abis cari tanaman hias terus ke mal jalan-jalan. Kalau perlu, nonton fi lm.”

“Nonton fi lm?”

“Emang kenapa? Kamu pikir cuma kamu yang boleh nonton?”

Harison bungkam alias tak menyahut. Ia tahu ucapan Agnaya sudah sampai di ambang perselisihan. Sedikit saja dibantah, pasti merambah ke mana-mana.

Mobil bergerak pelahan lantaran masih di wilayah komplek perumahan. Di depan tampak oleh Agnaya seorang perempuan muda sedang berjalan kaki, mengenakan sepatu hak tinggi dan uniform sebuah perusahaan kosmetika.

Page 83: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 81

“Pelan, Mas. Pelan! Kita ajak saja dia ke depan. Kasihan,” ucap Agnaya sambil menunjuk perempuan muda itu.

“Siapa dia?” tanya Harison.

“Susan. Ponakannya Bu Parwo. Dia itu kerjanya jadi sales kosmetika. Dia pasti mau ke depan cari kendaraan umum.”

Harison memperlambat mobilnya. Ia menyalip perempuan bernama Susan itu kemudian berhenti tak jauh di depannya. Agnaya membuka jendela mobilnya.

“Dik Susan! Mau ke mana?” sapa Agnaya.

Susan sedikit kaget dan menoleh. Begitu melihat Agnaya, ia langsung tersenyum ramah.

“Oo, Mbak Naya. Biasa, Mbak. Ke depan. Ke halte bus,” jawab Susan.

“Ngikut saja, yuk! Daripada jalan kaki. Kan masih cukup jauh?”

Agnaya berusaha membuka pintu belakang. Susan ragu-ragu, tapi akhirnya mau naik juga. Mobil melaju kembali.

Harison mencuri pandang ke wajah Susan lewat kaca spion. Agnaya melirik gerak-gerik Harison, tampak sengit, tapi kemudian pura-pura tidak melihat.

“Dik Susan tiap hari jalan kaki ke depan?” Agnaya membuka percakapan.

“Iya, Mbak. Habis, mau naik apa lagi?”

“Kalau pulang?”

Page 84: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

82 | Nadjib Kartapati Z

“Kalau pulang naik ojek. Itu juga kadang nunggunya lama.”

Mobil meluncur melintasi rumah-rumah di komplek real-estate itu.

Sampai di halte bus depan komplek, Susan meminta turun. Ia mengucapkan terima kasih berulang kali. Agnaya melambaikan tangan ketika Harison kembali menginjak gas mobilnya.

“Kasihan, semuda itu sudah menjadi janda,” gumam Agnaya.

“Janda?” Harison menyahut.

“Iya. Suaminya meninggal. Sekarang dia ikut Bu Parwo tetangga kita itu.”

Sebenarnya Harison ingin bertanya lebih jauh, namun diurungkan. Ia tahu persis, predikat janda pada Susan akan memancing kecurugaan istrinya. Dan itu sama artinya dengan mencari-cari masalah.

***

Waktu sudah mendekati jam istirahat kantor. Harison sedang membuat laporan ketika Erwin datang menghampiri. Si duda itu menjinjing travel bag yang terasa cukup berat. Harison berhenti mengetik dan menatap Erwin heran.

“Mau pergi, Win?”

“Pergi ke mana?”

“Itu?” Harison melirik travel bag Erwin.

Page 85: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 83

“Ini dagangan adikku,” bisik Erwin. “Aku coba ikut masarin di kantor kita ini. Siapa tahu banyak yang minat?”

“Dagangan? Ada-ada saja kamu ini.”

“Yang jelas ada kemeja branded yang aku tahu … kau pasti suka.”

“Kemeja? Kemeja apaan?”

Erwin langsung membongkar seluruh isi tasnya. Ada berbagai model baju dan aneka busana perempuan. Beberapa teman sejawat yang sempat menyaksikan menjadi bagaikan semut yang melihat gula. Lebih-lebih yang perempuan. Mereka mengerubung tanpa perlu dikomando. Erwin terpaksa mengeluarkan catatan untuk menjawab satu per satu mengenai harga-harganya. Kantor mereka tersulap menjadi bagaikan pasar dalam sekejap saja.

Harison mematikan komputer dan nimbrung mencermati dagangan Erwin. Saat matanya tertumbuk pada sebuah kemeja bermotif garis-garis warna kuning muda, ia terpana. Diambilnya kemeja itu. Ia cermati ukurannya.

“Pas buat kamu, Son!” kata Erwin. “Tapi harganya rada mahal.”

Harison seperti ingat sesuatu. Ekspresi wajahnya yang sesaat tadi berbinar, kini tiba-tiba bagai digayut mendung. Kemeja pilihannya itu diletakkan kembali. Erwin mendelong melihat tingkah Harison yang mendadak berubah itu.

“Aku kasih harga spesial buat kau deh, Son!”

Page 86: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

84 | Nadjib Kartapati Z

“Bukan soal harganya, Win. Kalau kamu pengertian kepadaku, nanti malam bawa kemeja ini ke rumah supaya biniku tahu. Aku trauma soal jaket!”

Erwin tertawa ngakak. Baju pilihan sahabatnya itu segera ia amankan.

“Percuma aku kasih kau ilmu, Son!” kata Erwin, mencibir.

“Maksudmu… kamu menyuruhku membohongi istri sendiri?”

“Sekaranglah saatnya kau buktikan kebenaran ilmuku!”

Harison terdiam. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya.

Sepanjang perjalanan pulang, Harison menyetir mobilnya dengan perasaan tidak menentu. Ucapan Erwin tak henti berkelojotan dalam pikirannya. Tanpa benar-benar ia sadari, mobil sudah sampai di dekat pintu masuk real-estate di mana ia tinggal. Itu artinya, ia sudah terbebas dari kemacetan lalu-lintas Ibukota.

Seketika itu pula, mata Harison tertuju pada seorang perempuan muda yang sedang berdiri menunggu ojek. Ia ingat, dia adalah Susan yang dua hari lalu diajak Agnaya numpang di mobil ini. Terbersit dalam pikirannya untuk pura-pura tidak melihat dan berlalu begitu saja di depan perempuan itu. Namun, hati nuraninya menggugat. Apa salahnya mempersilakan Susan numpang di mobilnya sampai depan rumah Bu Parwo? Toh tidak ada kerugian apa pun buat dirinya, sementara hal itu akan memberikan keuntungan bagi Susan, setidaknya daripada dia harus membayar ongkos ojek.

Page 87: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 85

Tahu-tahu Harison sudah membanting setirnya ke kiri dan berhenti di depan Susan berdiri. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Malam, Mbak! Mau pulang? Bareng saja, yuk!”

“Oh!” seru Susan agak kaget. Ia mencoba tersenyum.

Serta-merta Harison membuka pintu depan. Seperti dua hari lalu, Susan ragu-ragu sejenak meskipun akhirnya bersedia naik juga.

“Pulangnya selalu ginihari, Mbak?” tanya Harison saat mobil kembali melaju.

“Ndak tentu sih, Mas. Kadang agak siangan. Kadang juga malam.”

Harison sempat melihat betapa rasa letih itu bergayut di wajah Susan. Oleh karenanya, ia merasa bahwa keputusannya mengangkut janda muda itu tidaklah salah. Agnaya telah memberinya inspirasi untuk sebuah tindak kebajkan. Meski tidak begitu berarti, toh Harison merasa sudah berbuat satu kebaikan pada seorang tetangganya.

***

Agnaya mendengus kesal. Ia tak bisa memahami ada seorang istri begitu jahat dan serakahnya hingga bersekongkol dengan preman bayaran untuk menguasai harta kekayaan mertua sendiri. Channel pun ia pindah ke stasiun teve swasta lainnya. Sekarang yang ia lihat adalah kisah seorang suami yang menyelingkuhi janda kembang hingga meninggalkan istrinya. Agnaya mendengus lagi seraya memencet remote

Page 88: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

86 | Nadjib Kartapati Z

ke channel teve yang lain. Astaga! Kini Agnaya menyaksikan kekejaman ayah dan ibu yang tega mengusir anak gadisnya karena menolak menjadi istri ketiga dari lelaki kaya pilihan mereka.

“Sebel! Kok nggak ada sih sinetron yang bisa menyejukkan hati,” gerutu Agnaya sambil mencoba mencari lagi stasiun teve lain.

Saat hinggap pada stasiun berikutnya, seorang penyiar cantik tengah memberitakan deretan kasus korupsi para pejabat, baik daerah maupun pusat. Agnaya segera menekan tombol merah pada remote control-nya. Dan layar teve pun gelap seketika. Pada saat itulah ia mendengar deru mobil Harison memasuki garasi rumahnya.

“Oh, suamiku sudah pulang,” gumamnya sambil bergegas ke ruang depan.

Dengan menenteng tas kerja, Harison turun dari mobil dan bejalan masuk rumah. Seperti biasanya, Agnaya menyambut dengan sun pipi dan mengambil alih tas kerja suaminya. Namun kali ini Harison menolak memberikan tasnya.

“Ada yang mau aku tunjukkan ke kamu,” kata Harison.

“Apaan sih, Mas?”

Harison merangkul Agnaya ke ruang tengah. Di sana ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan kemeja baru berwarna kuning muda.

“Waow…” sambut Agnaya. “Bagus sekali!”

Page 89: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 87

Harison memandang Agnaya dengan hati tidak menentu. Ia melihat wajah istrinya tiba-tiba berubah cemberut.

“Dari mana kemeja ini?” tanya Agnaya dengan wajah tidak bersahabat.

“Jangan keburu marah seperti waktu aku beli jaket! Tadi di kantor ada kawan naik jabatan. Dia bagi-bagi hadiah.”

“Oo begitu to! Bagus banget nih, Mas. Cocok buat kamu!”

Harison menarik napas berat, seakan-akan ada yang membekapnya. Itulah untuk petama kalinya ia mengamalkan ilmu dari Erwin. Artinya, itu pulalah kali pertama ia sengaja membohongi istrinya sendiri.

Agnaya membuka lipatan baju itu lantas berdiri mendekati Harison. Ia menempelkan kemeja itu ke tubuh suaminya, mengukur presisinya. Wajahnya senang dan tampak berseri-seri. Bersamaan dengan itu Harison membuang muka dan menahan perasaannya. Hatinya mendadak jadi galau.

“Sudah kamu coba tadi, Mas?” tanya Agnaya.

Harison hanya mengangguk. Ia tak tahan menyaksikan istrinya bersuka cita karena kebohongannya. Ada perasaan ngilu mengiris ulu hatinya. Tersiksa dengan suasana batin seperti itu, Harison mencoba menyingkir.

“Di dalam gerah nih,” gumamnya.

Harison ke luar lagi meninggalkan Agnaya. Ia berpikir, dengan cara itulah ia mampu meredakan kegalauan hatinya.

Page 90: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

88 | Nadjib Kartapati Z

Agnaya yang saat itu masih asyik memandangi kemeja baru suaminya, jadi agak heran.

“Mas!” serunya.

Harison tidak menyahut.

Ia langsung menghempaskan pantatnya ke kursi begitu tiba di teras. Hatinya merasa teraduk-aduk. Ya Tuhan! Aku sudah bohong pada istriku! Bisiknya dalam hati. Tapi kenapa Agnaya justru senang dibohongi? Bayangan wajah Erwin muncul menggoda, seakan menyeringai dan bertepuk tangan.

Agnaya datang menghampiri.

“Mau mandi sekarang, Mas?”

Harison menggeleng.

“Apa teh angetnya aku bawa ke sini?”

Harison menggeleng lagi.

“Kamu lagi kurang sehat ya?”

Sekali lagi Harison menggeleng.

“Kok nggak banyak ngomong?”

Harison sadar bahwa sikapnya kini keliru. Ia merasa harus bersikap biasa dan wajar agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan dan kecurigaan istrinya. Maka ia segera berpikir mencari bahan pembicaraan.

“Oh iya, aku tadi bareng sama Susan,” kata Harison demikian semangat, begitu merasa menemukan bahan omongan yang dianggap tepat. Ia yakin akan mendapat simpati dari Agnaya karena telah mengikuti jejaknya.

Page 91: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 89

“Bareng? Maksudmu…?” tanya Agnaya, melotot.

“Ya, dia kuajak bareng, naik mobilku.”

Agnaya menggeser tubuhnya, berdiri tegak di hadapan Harison. Matanya terhunjam tajam ke wajah suaminya. Berkilat-kilat.

“Bareng naik mobilmu?”

“Iya. Tadi dia nunggu tukang ojek. Aku tawari bareng. Kasihan, ‘kan?”

Mata Agnaya seperti mau meloncat dari kelopaknya, membuat Harison terkesiap. Ia tidak menyangka akan mendapati kenyataan seburuk ini.

“Kasihan? Apaan kasihan? Kamu tuh mencari-cari kesempatan dalam kesempitan orang lain. Kamu suka ya sama dia? Ngaku saja deh!”

“Ya Tuhan! Kan kamu sendiri yang tempo hari ngasih contoh? Kamu bilang kasihan sama dia, kan? Aku kan cuma…”

“Cuma apa? Dasar lelaki munafi k! Nyari kesempatan berdalih kasihan!”

Mata Agnaya kini sudah berkaca-kaca. Sesaat lagi pasti menangis. Harison bingung. Ia langsung berdiri dan masuk rumah. Dengan menyingkir seperti itu, kecurigaan Agnaya kian menjadi-jadi. Ia pun mengejar suaminya ke dalam.

“Jangan menghindar-hindar kamu, Mas!” raung Agnaya sambil menghela lengan Harison. “Kamu sadar nggak kalau

Page 92: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

90 | Nadjib Kartapati Z

kamu sudah nyakitin aku, ha? Tahu dia itu janda, sengaja ngajak-ngajak semobil.”

“Kalau kamu boleh kasihan, kenapa aku nggak boleh?”

“Ya lain dong! Aku perempuan, wajar kalau kasihan sama perempuan.”

“Jujur aku kasihan, Nay. Apa lelaki nggak boleh kasihan sama perempuan?”

“Nggak boleh, karena kamu suamiku! Dia janda, Mas!”

Dan Agnaya pun menangis. Dan Harison jadi salah tingkah.

“Aku tahu, kamu naksir janda itu!” pekik Agnaya di tengah lolong tangisnya. “Kemarin kamu mencuri-curi pandang lewat spion. Emang aku nggak lihat apa? Mataku lihat sendiri, Mas! Sudah jelas-jelas begitu masih bilang jujur, jujur, jujur. Jujur apanya?”

Ketika kejujurannya diusik, Harison mulai tersinggung. Ia merasa harus tetap bertahan karena dirinya bukan seperti apa yang dituduhkan istrinya.

“Masak aku nggak boleh lihat wajah orang?”

“Tapi ngelihatnya lain. Aku ngerasain, Mas! Di balik sinar matamu itu ada sesuatu. Ngaku saja!”

“Lain bagaimana?”

“Kamu naksir! Tahu kalau dia janda, kamu ngajak bareng. Cari simpati. Berusaha! Kasih jasa baik. Lama-lama nyangkut, Mas.” Agnaya makin histeris.

Page 93: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 91

Seketika itu Agnaya ingat sinetron yang sekilas ditontonnya tadi. Suami yang menyelingkuhi janda kembang dan meninggalkan istrinya. Hatinya makin kacau dan panik. Ia pun menjerit-jerit. Ia ambil gelas di meja dan kemudian membantingnya. Gelas hancur berantakan di lantai. Ia mencari-cari barang yang lain, namun Harison buru-buru menyergap, memegang kuat tangan Agnaya. Darti muncul dari ruang belakang, kaget melihat kedua majikannya sedang berantem. Dia langsung balik lagi.

“Aku juga berhak tersinggung, Nay!” ucap Harison dengan suara berat. Tampak sekali ia mulai marah. “Kamu sudah nggak mempercayai kejujuranku!”

“Kejujuran? Sulit dibuktikan, Mas! Aku cuma butuh kesetiaan. Ngerti?”

Agnaya muntab. Ia jadi seperti orang yang lagi kesurupan. Ia memukuli dada Harison secara membabi buta. Harison mendorong tubuh istrinya. Agnaya terhuyung. Ia berpegang pada tembok dan bersandar di sana.

“Kalau kejujuranku sudah nggak kamu percaya lagi, lalu apa artinya diriku ini?” kata Harison bergetar. “Kamu pikir apa aku nggak bisa marah, ha?”

Berkata begitu Harison langsung meloncat keluar. Agnaya terduduk di lantai di pojok ruangan. Sesenggukan.

Darti mengintip, wajahnya tegang.

Tak lama kemudian Agnaya mendengar deru mobil Harison yang bergerak meninggalkan rumah. Ia terperangah.

Page 94: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

92 | Nadjib Kartapati Z

Ia kontan berdiri, berjalan ke tempat telepon dan men-dial nomor.

“Tolong kirim taksi ke Jalan Kantil Nomor 2. Ya, Komplek Kayangan Indah.”

***

Ke mana Harison pergi, gampang sekali diduga. Ia menjumpai sahabatnya bernama Erwin. Ia yakin Erwin selalu punya cara untuk menghiburnya. Syukur-syukur mampu memberikan kiat jitu untuk membuat Agnaya percaya. Kalaupun tidak, minimal ia bisa menghindari istrinya yang malam ini dianggap lagi kesetanan. Jam menunjukkan pukul 21.00 ketika ia tiba di rumah Erwin.

Begitu mendengar deru mobil memasuki halaman rumahnya, Erwin langsung menyongsong. Ia kenal persis suara mobil Harison. Dan ia sudah terkekeh saat melihat sahabatnya itu melangkah dengan muka ditekuk.

“Kalau melihat muka kamu kayak kalkun begitu, pasti lagi gunjang-ganjing,” sambut Erwin dengan ejekannya yang khas.

“Hhmm….”

“Terus, kamu mau curhat ke aku?”

“Nggak cuma curhat, Win. Lebih dari itu.”

“Lebih dari itu?” Erwin tertegun menatap Harison.

Harison merangkul pundak Erwin, lalu mendorongnya masuk rumah.

Page 95: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 93

Tanpa dipersilakan duduk, Harison bahkan langsung membuang tubuhnya ke sofa. Ia menelentang menatap langit-langit ruang tamu rumah Erwin.

Erwin mengeluarkan kaleng soft-drink dari kulkas dan melemparkan ke arah Harison. Dengan cekatan Harison menangkapnya persis ketika kaleng soft-drink itu nyaris menimpa dadanya.

“Pasti bukan soal kemeja yang dari aku tadi, kan?”

“Memang bukan!” sahut Harison. “Kalau soal kemeja sih aku sudah penuhi saranmu. Dan nggak ada masalah.”

“Nah, kan? Apa aku bilang?” sambut Erwin bangga. “Lantas soal apa lagi?”

Harison membeberkan apa yang terjadi. Mulai dari ketika istrinya mengajak Susan naik mobilnya, yang kemudian menginspirasinya sepulang kantor tadi, sampai kejadian terakhir di mana ia didamprat Agnaya gara-gara hal itu.

Erwin terbahak-bahak. Harison bersungut-sungut.

“Kok malah tertawa?” protes Harison.

“Ada dua kesalahan yang cukup fatal, Son! Dengerin! Pertama, kau nggak mau cerita ke aku kalau kau punya tetangga seorang janda muda…”

“Aku serius, Win!”

“Informasi itu juga serius buatku, Son! Kau tahu statusku, kan?” balas Erwin seraya menyambungnya dengan kekeh tawanya.

Page 96: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

94 | Nadjib Kartapati Z

“Oke, oke!” potong Harison. “Terus keselahanku yang kedua apa?”

“Kau nggak mau mendengar saranku. Artinya, kau melupakan kiat yang sudah kuajarkan kepada kau.”

“Membohongi bini?”

“Bagi seorang istri, jujur saja nggak cukup, Son. Kejujuran itu malah sering bikin bencana. Tahu nggak?”

Harison tidak menyahut. Ia hanya tersenyum kecut.

“Kau tahu keledai nggak sih?” tanya Erwin, sarkastis.

“Emang kenapa?”

“Keledai saja nggak mau kesandung batu yang sama untuk kedua kalinya. Tapi kau? Hehehehe…” kembali tawa Erwin berderai-derai.

Harison menenggak minuman kalengnya hingga tandas. Ia menggeram.

“Tadi kamu bilang lebih dari sekadar curhat. Apa maksumu?”

“Malam ini aku mau tidur di rumahmu.”

Erwin terkikik menertawakan sahabatnya.

***

Agnaya mendatangi rumah Deska pada malam hari. Tentu ini bukanlah hal biasa. Apalagi ia datang dengan wajah tanpa make up plus mata sembab. Namun, Deska bisa pastikan bahwa sahabatnya itu lagi ada masalah dengan suaminya. Karena itu, ia tidak terlalu kaget. Sebagai pihak

Page 97: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 95

yang selalu dijadikan tempat curhat, Deska paham bahwa jiwa Agnaya belakangan ini lagi tidak stabil.

“Perlu teman tempat mengadu sih boleh-boleh saja,” kata Deska seusai mendengar cerita Agnaya. “Tapi apa perlunya pakai menginap di sini segala?”

Agnaya melirik jam dinding di ruangan itu. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Kalaupun harus pulang malam ini, ia ingin Harison sudah berada di rumah. Ia ingin menunjukkan bahwa bukan cuma suaminya yang bisa seenaknya keluar rumah malam-malam atas nama kemarahan. Ia pun bisa. Tapi, ia tahu suaminya baru akan pulang tengah malam nanti.

“Percuma kalau aku pulang sekarang, Des. Mas Ison tentu belum balik. Lalu apa artinya aku keluar rumah malam ini?”

“Jadi seperti itu cara kamu mengekspresikan kemarahan?”

Agnaya mengangguk. Deska menarik napas panjang. Ditatapnya wajah Agnaya sepenuh rasa simpati.

“Aku bukannya keberatan kamu nginap di rumahku, Nay. Tapi kenapa mesti dalam momen yang nggak bagus seperti ini?”

Agnaya merenungi ucapan Deska. Ia menunduk dalam-dalam hingga dagunya nyaris menyentuh dada. Sebenarnya ia juga tak ingin menyeret Deska masuk dalam konfl ik intern rumah tangganya.

“Di Jakarta ini aku cuma punya kamu, Des,” bisik Agnaya menyerupai keluh.

Page 98: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

96 | Nadjib Kartapati Z

Mendengar ucapan Agnaya, hati Deska tergetar. Ia berpikir, ke mana lagi Agnaya mencurahkan uneg-unegnya kalau tidak kepadanya?

“Okelah kalau begitu,” kata Deska. “Aku akan penuhi apa pun maumu, Nay. Tapi, satu hal mesti kamu ingat! Kamu datang padaku atas kemauanmu sendiri. Aku nggak pernah mengundang apalagi memanas-manasi.”

Agnaya terperangah. Ia tak ingin sahabatnya itu salah mengerti.

“Demi Tuhan aku nggak punya pikiran seperti itu, Des. Tolong! Jangan pernah menolak kalau aku datang minta saran dan nasihatmu.”

“Sepanjang kamu butuhkan, aku selalu siap, Nay. Tapi…” Deska memutus kalimatnya. Ia tatap Agnaya seakan ingin menjajagi kedalaman hati perempuan yang lagi terluka itu. Kebisuan berlangsung beberapa detik lamanya.

“Tapi kenapa?”

“Kalau aku boleh berpendapat…. kamu nggak seharusnya memarahi Mas Ison seperti ini. Terlalu dini menuduh Mas Ison naksir janda itu.”

“Apa alasanmu?”

“Menawari janda itu naik mobil, kan awalnya ide kamu sendiri? Dan itu bagus! Kenapa kalau suamimu yang melakukan kamu marah-marah?”

“Mas Ison melakukannya sendirian, Des! Jadi dalam mobil itu hanya mereka berdua. Ini yang aku nggak bisa

Page 99: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 97

terima,” ucap Agnaya dengan nada yang melengking. Emosinya seperti terpancing. “Dan satu hal lagi, Des. Mas Ison menceritakannya dengan rasa bangga. Apa itu nggak menyakitkan?”

Melihat reaksi Agnaya yang begitu keras, Deska terdiam. Ia berupaya memahami sikap sahabatnya itu. Tapi lantaran dirinya sendiri masih melajang, ia merasa seakan di depannya ada lautan yang belum pernah ia selami.

“Kalau tempo hari ia nonton dengan teman sekantornya, pada akhirnya aku bisa terima, Des. Nggak gampang mau macem-macem dengan teman sekantor,” sambung Aganya lagi. “Tapi dengan janda itu, sungguh aku nggak rela! Bahaya! Mungkin apinya bukan di Mas Ison. Tapi ada pada janda itu, Des!”

Deska merasakan sikap posesif Agnaya atas diri Harison demikian besar. Barangkali memang begitulah seorang istri, pikirnya. Namun, di balik sikap itu Deska menemukan logika yang rada ganji. Ia pun menggelengkan kepala.

“Aneh!”

“Aneh kenapa?” tanya Agnaya.

“Kenapa Mas Ison mesti cerita yang seperti itu ya?”

“Biasa, laki-laki! Dia mau pamer kalau bisa mengajak janda itu.”

“Ah! Itu sih kekanak-kanakan.”

“Lelaki memang sering kekanak-kanakan.”

Page 100: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

98 | Nadjib Kartapati Z

Seperti tanpa disadari, Deska menggeleng-gelengkan kepalanya kembali.

“Aku pikir Mas Ison benar-benar jujur deh, Nay,” ucap Deska, yakin.

“Jujur?”

“Iya. Aku menggunakan perhitungan logika saja, Nay. Kalau Mas Ison memang punya maksud buruk, pasti nggak bakal mau cerita sama kamu.”

Agnaya tertegun tiba-tiba. Ia memandangi wajah Deska tanpa kedip.

“Kamu yakin dengan pendapatmu itu?” tanya Agnaya.

“Setidaknya ini sisi lain yang harus juga dipertimbangkan, Nay.”

Agnaya terdiam. Juga Deska. Keduanya berpandangan, saling menukar pesan. Ada percakapan hati yang tak terbahasakan.

“Aku tahu, Nay. Kamu nggak mau kehilangan suamimu, kan?” Suara Deska memecah kebisuan.

Agnaya mengangguk.

“Tapi cara kamu justru mendorong suamimu pergi.”

Agnaya ternganga.

“Kalau masih mau dengar saranku, kamu harus mengubah pendekatanmu. Bukan dengan kemarahan, Nay. Tapi sebaliknya, justru dengan rasa sabar!”

Tak ada kata-kata keluar dari mulut Agnaya.

Page 101: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 99

“Termasuk sabar nunggu suami pulang untuk dinner bareng, Nay.”

Kali ini Agnaya melepas tawanya. Untuk urusan makan malam, ia sadar dirinya sering tidak sabar menunggu Harison tiba di rumah.

***

BILA kedua majikan berantem dan meninggalkan rumah, pembantu jadi ikut pusing tujuh keliling. Dari menit ke menit Darti tak henti-hentinya menengok ke pagar depan. Entah berapa kali sudah ia menyingkap korden setiap kali mendengar ada mobil yang lewat. Dan sebanyak itu pula ia merasa kecele lantaran mobil itu milik orang lain. Darti terus mati-matian melawan kantuk yang bergayut hebat di matanya. Dan itu mesti ditebusnya dengan seratrus kali menguap lebar-lebar.

“Baru di Jakarta dua minggu sudah dapat cobaan begini berat,” gerutunya.

Ia ingin menggembok pagar depan, tapi khawatir majikannya datang. Pasti akan membunyikan klakson dan sangat mungkin akan memarahinya. Tapi, kalau tidak digembok dan ia ketiduran, lebih berbahaya dalam soal keamanan. Kalau terjadi hal yang tak diinginkan, ujung-ujungnya ia juga yang kena marah.

Menyadari waktu sudah lewat tengah malam, Darti meyakini bahwa kedua majikannya tidak akan pulang malam ini. Akhirnya ia memilih alternatif pertama. Pagar digembok dan ditinggal tidur.

Page 102: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

100 | Nadjib Kartapati Z

Matahari sudah sepenggalah. Mobil Harison meluncur dalam perjalanan pulang. Ia dikawani Erwin yang duduk di sebelahnya dengan sesekali menguap.

“Masih ngantuk, Win?”

“Pertanyaan kau itu nggak cerdas, Son!” jawab Erwin, jengkel. “Sudah jelas lihat orang menguap berkali-kali masih ditanya seperti itu.”

Harison tersenyum simpul. Erwin bersungut-sungut kesal.

“Kalau sudah berani kabur dari rumah, mestinya kau harus berani pulang sendiri. Eh, ini malah minta ditemanin. Beruntung hari ini libur,” gurutu Erwin.

“Bukannya nggak berani pulang sendiri, Win. Setidaknya kalau kamu antar, biniku nggak berpikiran negatif karena tahu aku menginap di rumahmu.”

“Aku tahu. Tapi itu untung di kau, apes di aku, Son!”

Harison melepaskan tawanya. Erwin menguap lagi.

Pada saat yang sama, dari arah yang berlainan mobil Deska juga sedang menuju rumah Agnaya. Seperti Erwin, Deska juga dalam rangka mengantar pulang sahabatnya yang kini duduk di sebelahnya itu.

“Tiap kali cekcok dengan suami, tiap kali itu pula minta diantar pulang,” gerutu Deska seakan kepada dirinya sendiri. “Hhmm… ini kalau bukan demi kamu, aku nggak bakalan mau, Nay!”

Agnaya tidak menyahut.

Page 103: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 101

“Dengar nggak sih kamu?”

Masih saja tak terdengar jawaban. Ketika Deska menoleh, astaga… Agnaya tertidur pulas. Deska sengaja menginjak rem mendadak meski jalanan di depannya sangat lengang. Agnaya tergeragap bangun, mengurut dada.

“Kenapa, Des? Ada yang mau ketabrak ya?”

Deska terkekeh. Agnaya mengucek-ucek kedua matanya.

“Sialan!” gerurutnya. “Nggak senang ya lihat temennya ngantuk?”

“Abis, diajak ngomong malah tidur.”

“Emang kamu tadi ngomong apa?”

“Demi kamu, Ney, aku lakukan pekerjaan sialan ini!”

“Iya deh, aku tahu. Makasih, My Best Firend. Maafi n aku ya, please!”

Rumah Harison tampak sepi. Darti juga ikut-ikut kesiangan. Ia baru saja keluar rumah membuka gembok pagar. Kini ia tenggelam dalam urusan dapur.

Tak lama kemudian, dari satu arah mobil Harison datang.

Bersamaan dengan itu, dari arah berlawanan datang juga mobil Deska.

Kedua mobil berhenti di depan rumah, yang satu di tepi jalan sebelah sana, satunya lagi di sebelah sini. Semua penumpang kedua mobil itu pun turun. Erwin tersenyum, mengangguk hormat kepada Agnaya. Begitu juga Deska, tersenyum sopan kepada Harison. Agnaya dan Harison

Page 104: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

102 | Nadjib Kartapati Z

membalas senyum mereka. Wajah-wajah mereka tampak cerah, secerah pagi ini.

Secara tak terhindar, tatapan mata Agnaya dan Harison bersambaran. Keduanya berpandangan. Ada senyum tipis yang putus di tengah, seakan-akan keduanya saling ja-im. Mereka tersipu-sipu, lalu menunduk. Dengan isyarat tangannya Harison mengajak Deska dan Erwin masuk rumah. Ia memulai ayunan langkahnya, diikuti kemudian oleh Agnaya.

Di pihak lain, Erwin dan Deska juga saling pandang. Mereka tersenyum nyengir tanpa menjelaskan maksudnya.

“Anda temannya Agnaya?” tanya Erwin.

“Ya, teman dekatnya.”

“Aku juga teman dekatnya Ison. Tapi aku ke sini nggak bawa mobil. Apa boleh nanti numpang mobil Anda ke depan?”

“Boleh saja. Tapi saya mau balik sekarang. Lihat tuh, kelihatannya mereka sudah nggak ada masalah.”

Tanpa ba atau bu, keduanya cepat-cepat masuk ke mobil Deska. Mesin menderu, dan mobil pun melaju.

Harison dan Agnaya yang sudah sampai di teras menoleh serentak. Mereka terbengong heran mamandang mobil Deska yang tiba-tiba meluncur sementara Erwin tak lagi nampak batang hidungnya. Keduanya lantas bertatapan, saling mengekspresikan tanda tanya besar.

Page 105: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 103

“Bang Erwin apa sudah kenal Deska?” tanya Agnaya bersahabat.

“Kayak-nya sih belum.”

Terbawa oleh spontanitas, keduanya pun tertawa lepas.

***

HARISON tiba di kantor agak kesiangan. Ia tidak melihat Erwin di kantor. Ketika ia datang, Erwin sudah keluar kantor untuk tugas lapangan. Ia ingin sekali bertemu sahabatnya yang bengal itu, terutama untuk mengucapkan terima kasih karena kemarin pagi sudah mau mengantarnya pulang.

Sore hari, saat Harison menyelesaikan pekerjaannya di depan komputer, Erwin datang. Ia langsung menghampiri Harison. Wajah Erwin berbinar dengan senyumnya yang lebar.

“Sorry deh, Win, kemarin aku sudah bikin repot kamu.”

Erwin mengangkat alisnya dan bertanya, “Apa perang sudah usai?”

“Belum sepenuhnya. Biniku masih serem tiap kali mendengar dua kata, yaitu bioskop dan janda. Tapi yaaah, terima kasih atas bantuanmu kemarin.”

“Aku yang seharusnya terima kasih sama kau, Son.”

Harison menatap Erwin tak mengerti.

“Gara-gara Perang Troya kalian itu, aku bisa kenal Deska. Kemarin kami sempat muter-muter sampai lewat tengah

Page 106: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

104 | Nadjib Kartapati Z

hari, Son. Asyik tuh cewek. Doakan hubungan kami dapat meningkat…”

“Nggak!” potong Harison. “Deska itu sahabat dekat istriku. Dan kamu sudah terlalu banyak tahu soal aku. Kalau kalian jadian, rumah tanggaku akan seperti ikan dalam aquarium. Kalian menonton dan menikmatinya dari luar.”

Erwin terkekeh-kekeh.

Tiba-tiba pesawat telepon di meja Harison berbunyi. Dengan tangkas Harison memencet tombol. Terdengarlah suara Asni, si resepsionis, “Pak Ison, ditunggu tamunya di ruang tamu. Namanya Kunti.”

“Apa? Kunti?” Wajah Harison menampakkan ekspresi keterkejutan yang luar biasa. Untuk beberapa saat ia terbungkam. “Suruh tunggu sebentar,” lanjutnya dengan nada penuh keragu-raguan.

Harison terhenyak ke sandaran kursi. Erwin memandangnya heran.

“Kunti? Siapa dia, Son?”

Harison menghela napas panjang, lalu menghembuskannya dengan lepas.

“Waduh, ini jelas sandungan lagi, Win!” bisik Harison tanpa aksentuasi. “Dia mantan pacarku!”

“Mantan pacar? Asyik dong!”

“Asyik dengkulmu! Bakal lebih dari Perang Troya, Win. Baratayudha!”

Page 107: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 105

“Pakai dong kiat dari aku!”

“Biniku sekarang super-sensitif!”

“Mau taruhan? Kau traktir aku kalau aku benar. Sebaliknya aku traktir kau kalau kiat itu nggak mempan. Oke?”

Harison tak tahu apa yang harus diperbuat, tapi toh ia mengangguk. Erwin langsung mengangkat tangannya mengajak toast. Dan entah kenapa Harison tiba-tiba menyambutnya dengan antusias.

“Ngomong-ngomong… mantan pacar kau sudah married belum?”

Harison mengangkat bahu, isyarat tidak tahu. Sejak putus empat tahun lalu, ia tak pernah lagi mendengar berita apa pun tentang Kunti.

“Cantik, nggak?” Erwin penasaran.

“Selangit!”

“Waow! Penasaran aku jadinya, Son.”

Berkata begitu Erwin langsung beranjak ke ruang tamu. Harison tidak bereaksi. Ia mengatur napas seolah sedang menata emosinya yang berkecamuk.

Sambil bersiul ala cow boy, Erwin muncul di ruang tamu kantornya. Ia pura-pura kaget melihat Kunti yang duduk menunggu Harison. Dengan rasa percaya diri yang tinggi Erwin langsung mendekati Kunti.

“Lagi nunggu Ison ya?” sapa Erwin.

Page 108: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

106 | Nadjib Kartapati Z

Kunti mengangguk dan tersenyum tipis. Erwin menatap wajah Kunti lekat-lekat, tampak begitu terpesona. Hatinya tidak bisa mengingkari bisikan matanya yang mengatakan gadis bernama Kunti itu cantik dan anggun.

“Baru sekali ke sini ya?”

“Kok tahu?”

“Aku kawan dekat Ison. Hampir semua temannya aku tahu.”

“Oo…”

“Domisili di mana?”

“Di Yogya.

“Oo…”

Harison muncul dengan rambut yang sudah tersisir rapi. Kunti terlonjak dengan wajah berbinar-binar. Ia berdiri, menjabat tangan Harison erat-erat.

“Oh, my God! Kamu makin mempesona saja,” kata Horison sambil geleng-geleng kepala. “Bagaimana kabarmu, Kun?”

“Yaah, begini-begini saja, Son.”

Harison menatap Kunti persis ketika Kunti juga menatapnya. Tatapan mereka beradu. Kunti menunduk tersipu. Erwin jadi salah tingkah.

“Kalau sekarang kamu ada waktu, kita jalan, yuk!” ajak Kunti.

Harison mengerlingkan ekor matanya ke arah Erwin.

Page 109: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 107

“Kalian mau jalan? Silakan saja!” kata Erwin, tahu diri.

Ketika mereka hendak meninggalkan kantor, Erwin merapat ke tubuh Harison dan berbisik, “Ingat taruhan kita, Son!”

Harison mengangguk.

***

DALAM perjalanan barulah Harison sadar bahwa sebenarnya Kunti tidak punya tujuan yang jelas. Ketika ditanya ke mana mobil mesti menuju, mantan pacarnya itu menjawab, “Terserah kamu mau bawa aku ke mana, Son.”

Harison merasa beban morilnya menjadi lebih besar. Jawaban Kunti mengandung konotasi bahwa dirinya siap dibawa ke mana saja olehnya. Dan hal itu seolah-olah memberikan arti penyerahan diri bulat-bulat. Harison merasa keberatan dengan kenyataan ini. Lebih-lebih setelah ia tahu bahwa ternyata Kunti belum menikah.

“Sebenarnya tujuanmu ke mana?” tanya Harison.

“Pingin jalan saja sama kamu. Aku ke Jakarta karena urusan dinas, Son,” ungkap Kunti yang kemudian menjelaskan bahwa ia menginap di asrama milik departemennya. “Di Jakarta ini aku hanya kenal kamu. Kebetulan tadi aku kesandung web kamu di internet. Spekulasi saja aku datang di kantormu.”

Harison tidak menjawab. Pandangan matanya lurus ke depan. Seperti biasa, lalu-lintas Jakarta begitu padat. Sesekali bunyi klakson bersahutan.

Page 110: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

108 | Nadjib Kartapati Z

“Apa aku salah kalau ingin menikmati suasana Jakarta bersamamu?” ucap Kunti seraya menatap Horison yang termangu di belakang setir.

Harison menoleh, memandang Kunti. Perempuan itu menyambut tatapan Harison dengan senyum termanisnya. Harison menghela napas berat.

“Apa aku salah, Son?” Kunti mengulang pertanyaannya.

Hati Harison bergetar. Kunti bukanlah perempuan asing dalam hidupnya. Dulu Harison pernah mengimpikan Kunti adalah fi gur yang kelak melahirkan anak-anaknya. Tiga tahun lamanya mereka menjalin asmara. Bisa dimaklumi andai sisa-sisa cinta itu belum sepenuhnya musnah dari palung-palung hati Harison. Dan kini perempuan itu berada dalam satu mobil dengannya, duduk di sampingnya, serta menyatakan siap ia bawa ke mana saja.

“Tidak ada yang salah,” jawab Harison nyaris tak kedengaran. “Hanya saja kondisi kita sudah tidak seperti dulu lagi.”

“itu aku tahu, Son,” jawab Kunti. “Tiga hari aku di Jakarta. Aku cuma minta limabelas jam saja dari hidupmu. Tidak lebih! Kamu tidak keberatan, kan?”

Harison ragu-ragu menjawab. Dalam benaknya ia menghitung. Kalau tiga hari Kunti di Jakarta, berarti ia harus memberikan waktunya lima jam setiap hari. Apa mungkin? “Kenapa enggak mungkin?” Suara Erwin seakan bergaung dalam rongga dadanya, seperti memberinya kekuaran baru.

Page 111: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 109

Dan entah kenapa, tiba-tiba saja Harison menyatakan tidak keberatan.

Ia lalu membawa Kunti ke sebuah kafe paling terkenal di Plaza Senayan, di mana ia biasa kongkow dengan temen-temannya. Harison berpikir, membuang waktu dengan ngobrol di kafe akan memperkecil risiko sekaligus menjauhkannya dari ekses-ekses negatif. Toh ia yakin Agnaya tak akan memergokinya.

“Sampai kapan kamu akan sendiri begini?” tanya Harison setelah mereka berbincang soal-soal remeh yang tanpa ujung-pangkal.

Kunti memandang wajah Harison dengan tatap mata penuh arti. Darah Harison berdesir. Tatap mata itulah yang dulu memberinya spirit dan daya hidup.

“Perpisahan kita rasanya baru terjadi minggu kemarin. Aku belum sanggup menghapus kenangan itu, Son,” jawab Kunti, lirih.

“Maaf kalau dulu aku sudah membuatmu terluka, Kun.”

“Tidak! Aku tahu, Son. Justru kamu yang terluka. Maafkan orangtuaku.”

“Hmm. Nggak usah kamu pikir lagi, Kun!”

Seketika itu Harison ingat betapa dirinya tidak disukai oleh orangtua Kunti. Mereka tidak merestui hubungan Kunti dengannya. Dan Harison bukanlah type lelaki yang mendewakan cinta, yang memandang cinta di atas segala-galanya. Memaksa menikahi gadis tanpa restu orangtuanya, bagi Harison sama halnya dengan menabung masalah di

Page 112: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

110 | Nadjib Kartapati Z

kemudian hari. Maka ia pun mengakhiri hubungan cintanya, dan mempersembahkan hatinya pada Agnaya yang datang setelah itu. Ini adalah kali pertama ia bertemu Kunti setelah empat tahun berpisah.

Sebagai laki-laki, Harison menilai Kunti tetap mempesona. Senyum dan tatap matanya masih menggetarkan hati. Ia merasa senang dan nyaman berada di dekat Kunti. Dan matanya enggan untuk sejenak saja berhenti menikmati wajah perempuan yang dulu disayangi itu.

“Kenapa kamu memandangku seperti ini?” tanya Kunti saat ia sadar Harison tak berhenti menatapnya.

“Kamu tetap mempesona. Apa aku salah?”

Kunti menggeleng. Jemarinya bermain-main di tubuh gelas.

“Sekarang kamu sudah bahagia, ‘kan?” kata Kunti.

“Dari mana mengukurnya?”

“Setidaknya daripada aku,” sahutnya. “Kamu belum pingin punya baby?”

“Tuhan belum kasih.”

“Jam berapa besuk aku ke kantormu? Apa kamu jemput aku di asrama?”

“Aku pilih yang pertama, seperti tadi.”

Kunti tersenyum manis. Harison membalasnya, juga dengan senyum manis. Dalam perasaan mereka, waktu berjalan begitu cepat.

Page 113: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 111

“Tahu-tahu sudah pukul tujuh lebih, Son,” ucap Kunti begitu melihat arloji di lengannya. “Kamu tidak tergesa-gesa pulang, kan?”

“Memang kenapa?”

“Aku ingin kamu mengajakku nonton fi lm malam ini.”

Harison kaget. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya. Terbayang bagaimana Agnaya mendampratnya gara-gara ia nonton dengan Nita, yang nota-bene hanya teman sekantor. Lalu apa jadinya kalau Agnaya tahu ia nonton dengan mantan kekasih? Harison terhimpit antara rasa ingin dan khawatirnya.

“Kukira lagi tidak ada fi lm bagus,” kelit Harison.

“Film bagus? Apa itu penting?”

Harison terdiam. Jawaban Kunti memberikan pengertian bahwa yang penting bukan lagi fi lmnya tapi momentumnya. Kini Harison terpojok oleh keragu-raguannya sendiri. Jam berapa tiba rumah kalau ia harus nonton fi lm?

“Ayo kita cabut sekarang!” kata Kunti.

“Pulang?”

“Ke bioskop.”

Harison tertegun. Tapi, sekali lagi, seraut wajah muncul memberinya semangat. Dialah Erwin, sahabat sekaligus guru penyiasat berakal bulus. Dengan langkah pasti Harison membawa Kunti ke bioskop.

***

Page 114: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

112 | Nadjib Kartapati Z

DARI sekian banyak nasihat yang dituturkan Deska, ada satu yang paling diperhatikan Agnaya. Yaitu makan malam bareng suami! Karena itu, Agnaya siap menahan lapar andai saja Harison pulang kantor rada-rada telat.

Malam ini terasa lebih istimewa lagi. Tadi siang Agnaya memasak cah baby kaelan terasi, udang goreng tanpa kulit, tempe bacem plus sambal manis. Sebenarnya banyak menu yang menjadi favorit Harison. Namun, yang sekaligus juga disenangni Agnaya adalah yang tersebut di atas. Agnaya memasaknya pun dengan penuh perasaan. Sebab, menurut Deska, hal itu akan lebih memberikan kenikmatan rasa tersendiri, apalagi kalau suami mengetahuinya.

“Rasanya akan jauh berbeda dengan membeli di restoran atau dimasak oleh pembantu, sebab masakan itu tanpa keterlibatan emosional,” kata Deska.

Oleh karena itu, tadi Darti hanya diberi tugas mencuci sayur. Bahkan untuk mengupas kulit udang pun Agnaya menanganinya sendiri.

Jam menunjukkan pukul sembilanbelas waktu Jakarta ketika Agnaya usai menata meja makan. Aroma masakannya yang menendang-nendang hidung telah membuat air liurnya turun-naik. Rasa lapar pun merong-rong perutnya.

“Biasanya jam segini Bapak sudah pulang ya, Bu,” kata Darti saat jarum jam ada di angka delapan.

Agnaya makin gelisah. Sesebentar menengok keluar, lalu balik lagi ke ruang tengah. Tak bisa konsentrasi nonton teve, ia membuka-buka majalah.

Page 115: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 113

Darti menguap lebar, mengisyaratkan kantuk yang mulai menyerang.

“Kalau kamu ngantuk, tidur saja sekarang,” kata Agnaya.

“Yang nyuci piring nanti siapa?”

“Yang nyuci Ibu, nggak apa-apa. Atau dicuci besok saja.”

Waktu terus bergulir. Bagi Agnaya, malam menjadi begitu panjang seakan beringsut seperti keong. Ia mulai gelisah menunggu suaminya pulang. Ia sudah menelpon Harison berkali-kali, namun ponsel suaminya selalu mail-box.

“Mbok sudah, Ibu makan dulu saja. Ndak usah nunggu Bapak,” kata Darti.

“Nggak, ah! Ibu pingin makan bareng kok.”

“Ibu apa ndak lapar?”

“Jelas lapar banget!”

“Nanti sakit maag lho, Bu.”

“Biarin!”

Darti menguap lagi. Buru-buru ia menutupkan tangan ke mulutnya.

“Bapak ada undangan makan malam barangkali, Bu?”

“Kalau benar, biasanya dia telpon ke rumah.”

“Atau jalanan lagi macet mungkin?”

“Masak sampai gini hari?”

“Apa mobilnya mogok?”

Page 116: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

114 | Nadjib Kartapati Z

“Ah, nggak tahulah. Sudah, kamu tidur sana. Jangan cerewet!” sengol Agnaya membuat Darti langsung bungkam dan beranjak masuk kamarnya.

Sepeninggal Darti, Agnaya justru makin tersiksa, gelisah sendirian. Seiring dengan detak jarum jam, rasa lapar sudah tak mungkin bisa ditahannya lagi.

“Ah, bodo! Aku mau makan duluan! Siapa suruh gini hari belum pulang?” omel Agnaya seraya ngeloyor ke meja makan.

Usai makan, ia merasa tak ada lagi yang diharap. Terbawa oleh perutnya yang sudah kenyang, Agnaya tertidur di sofa.

Entah berapa lama tertidur, Agnaya merasa ada tangan membelai-belai kepalanya. Ia terbangun. Dilihatnya Harison sedang mengusap rambutnya.

“Kok sampai malam begini? Dari mana, Mas?” tanya Agnaya dalam nada yang manja. Ia bangkit duduk dan menatap lembut suaminya.

Harison mengeluarkan dua sobekan karcis bioskop dari saku bajunya, lalu menaruhnya di atas meja.

“Baru pulang nonton fi lm. Berdua!” jawab Harison.

Agnaya menatap suaminya penuh tanda tanya.

“Ayo, marah lagi!” sergah Harison. “Aku nonton berdua dengan Erwin. Atas jasanya mengantarku pulang kemarin, dia minta kutraktir. Percaya nggak kamu?”

“Percaya deh!”

“Nah, begitu dong.”

Page 117: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 115

Agnaya mencubit manja paha Harison.

Lamat-lamat dari radio di kamar Darti terdengar lagi lagu Wanita Ibarat Komputer. Tapi kali ini Agnaya tidak merasa terganggu oleh lirik lagu itu. Ia menatap Harison dengan pandangan penuh rasa sayang.

“Ohya, maafi n ya, Mas, tadi aku makan duluan.”

Harison mengangguk.

“Kamu sudah makan, Mas?”

“Sudah.”

“Oalah, percuma tadi aku masak menu favoritmu, Mas.”

“Masak apa kamu?” tanya Harison antusias.

“Lihat saja di meja makan.”

Harison menghampiri meja makan dan membuka tudung saji di atasnya. Ia terbelalak melihat cah baby kaelan, udang goreng tanpa kulit, dan tempe bacem. Untuk beberapa detik lamanya ia termangu. Rasa bersalah mengorak jiwanya.

Ketika ia kembali ke ruang tengah, Agnaya tak terlihat lagi. Harison pun mencarinya ke dapur.

“Ngapain kamu, Nay?” tanya Harison, menghampiri.

“Merebus air buat mandi kamu, Mas. Kan water heater-nya belum hidup.”

Harison termangu kembali. Malam ini ia merasakan istrinya begitu baik dan tulus. Seindah inikah balasan bagi pembohong seperti diriku? Hati nuraninya menggugat, menggetarkan seluruh jaringan urat syarafnya. Tiba-tiba ia

Page 118: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

116 | Nadjib Kartapati Z

merasa sangat berdosa. Dua kali sudah ia bohong kepada Agnaya. Ia ingat kata guru ngajinya dulu: untuk perkara kebatilan orang harus bertahan pada angka nol. Sebab, begitu lahir angka satu, akan bergulir menjadi dua, tiga, dan seterusnya.

Sekonyong-konyong ia peluk tubuh Agnaya sambil berikrar dalam hati bahwa ia akan bertahan hanya pada angka dua. Agnaya yang sebelumnya tak menyangka Harison akan memeluknya itu kaget dan meronta.

“Apaan sih, Mas?”

Harison tergeragap. Ia lepas pelukannya. Tadinya ia ingin meminta maaf dan berterus terang tentang kebohongannya. Tapi diurungkan karena khawatir akan kena damprat lagi.

“Tadi mentraktir nonton Bang Erwin, ‘kan? Bagaimana kalau besok ganti mengajak aku? Tempo hari Deska nggak mau kuajak nonton,” kata Agnaya.

“Ide bagus! Sudah lama kita nggak nonton berdua.” Suara Harison bergetar. Rasa harunya mengalir begitu deras hingga nyaris menggulirkan airmatanya.

“Kalau bisa, besok keluar kantor agak siangan ya, Mas.”

“Demi istriku tercinta, nggak masuk kantor dan dipecat pun aku rela.”

Tanpa sadar, Harison memeluk istrinya lagi.

***

HARISON datang di kantor tepat pada jam istirahat. Sengaja ia absen hari ini. Ia ke kantor hanya untuk

Page 119: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 117

menyerahkan laporannya kepada sekretaris. Setelah urusan utamanya selesai, Harison mencari Erwin di kantin.

Erwin baru saja hendak memesan makanan ketika Harison menepuk punggungnya dari belakang. Ia menoleh. Melihat wajah Harison yang segar dan berseri-seri, Erwin mendelong dan rada cemas.

“Beres, Win. Benar juga kata kamu!” ucap Harison.

Erwin memandang wajah Harison seperti tak percaya. Ia belum mengerti arti kata “beres” yang diucapkan Harison.

“Sudah kau amalkan ilmuku?”

Harison mengangguk. Ia mengacungkan jempol.

“Apa aku bilang, Son? Perempuan memang maunya dibohongin!” kata Erwin bangga. “Aku menang taruhan, kan? Kau mesti traktir aku n’tar malam.”

Harison menggeleng, menolak permintaan itu. Erwin memprotes, menuding Harison sebagai laki-laki yang tidak sportif.

“Aku bukannya nggak mau bayar kekalahanku taruhan, Win. Tapi tidak untuk nanti malam. Aku sudah terlanjur punya janji dengan biniku.”

Erwin sengaja menderaikan tawanya seperti sedang mengejek Harison.

“Kecil, Son! Soal bini kau kan sudah tahu kiatnya?”

“Berbohong lagi maksudmu? No way! Semalam itu untuk terakhir kali, Win!”

Page 120: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

118 | Nadjib Kartapati Z

“Jadi kau mau main jujur-jujuran pada makhluk yang bernama bini? Kau pingin babak-belur rupanya?”

“Erwin! Kamu pernah bilang, kejujuran saja nggak cukup. Memang itu benar! Tapi jawabannya bukan lantas harus berbohong. Yang namanya perempuan, atau lebih tepatnya istri, selalu menuntut kesetiaan dari suami-suami mereka. Sekarang ini giliranku memberimu ilmu, Win. Kamu mesti pahami itu!”

Erwin terbengong. Matanya memandang Harison namun pikirannya sedang merenungi ucapan sahabatnya itu.

“Perempuan suka dibohongi itu cuma mitos yang menyesatkan, Win! Laki-laki dan perempuan sama. Sama-sama nggak suka mendengar keterusterangan yang melukai hatinya. Jadi bukan keterusterangannya itu yang dibenci.”

Erwin terpaku bagai patung batu. Ia baru tersadar ketika Harison melangkah meninggalkannya pergi.

“Hey, Son! Tunggu!” teriak Erwin seraya mengejar Harison.

“Kamu mau ajari aku ilmu apa lagi, Win?”

“Bagaimanapun kau nggak boleh melupakan satu hal, Son! Ingat, kau kalah taruhan! Kau mesti sportif dan harus mentraktirku!”

“Hadiahnya lebih dari sekedar mentraktirmu, Win! Mau kamu?”

Page 121: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Dilarang Berterus Terang | 119

Erwin mengangguk meski wajahnya diliputi tanda tanya dan kecurigaan. Ia merasa tidak lagi menghadapi Harison yang biasanya dianggap selembek bubur.

“Begini, Win. Nanti malam kamu pergi saja sama Kunti. Urus itu cewek. Itung-itung kado buat kamu yang sudah kasih aku ilmu! Oke?”

Erwin ternganga. Harison melanjutkan langkahnya.

“Son, tunggu!”

Harison tidak menyahut. Ia terus melangkah. Erwin memburunya.

Ketika tiba di ruang tamu kantornya, Harison terkejar. Namun, langkah Erwin sekonyong-konyong terhenti begitu melihat Agnaya ada di sana.

“He Bang Erwin. Selamat siang!” sapa Agnaya ramah. “Tadi malam Mas Ison kan sudah ngajak nonton Abang. Nah, sekarang ganti mau ngajak aku….”

Erwin termangu tanpa kata.

Harison menggandeng Agnaya keluar ruangan. Dari suatu jarak Erwin memandang suami-istri itu berpegangan tangan, tampak begitu mesra. Entah kenapa Erwin tiba-tiba merasa seluruh kepribadiannya seperti sedang terpinggirkan, bahkan seakan lolos dan terlucut.

Dan ia pun bergumam lirih, “Selamat, Son. Kalau saja semua suami seperti kau…”

Jakarta, November 2011.

Page 122: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

120 | Nadjib Kartapati Z

Page 123: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 121

Kabut Hati Suami

LANGIT suci dari awan. Matahari bersinar cerah. Panas menyengat kulit, tetapi angin yang berhembus kencang

telah menyejukkannya. Pagi itu ramai orang berlibur di Pantai Taman Impian Jaya Ancol. Erik dan Nanda, kedua anakku, berlari-lari riang bagai sepasang anak kijang. Di atas tikar plastik aku duduk menghadap laut. Istriku menengkurap di sebelahku, asyik membaca buku Th ermobacteriology In Food Processing, karangan C.R. Stumbo.

“Setahun di Inggris apa kamu tidak kesepian?” tanyaku.

Cynthia, istriku, menghentikan bacaannya. Dia berpaling menatapku. Ada perasaan jengkel menggayut di wajahnya.

“Mudah-mudahan saja tidak,” jawabnya.

Aku menunduk sambil menggigit bibir. Kecerahan Pantai Ancol tidak mampu meredam kegelisahanku. Cynthia akan dikirim ke Inggris oleh perusahaan di mana dia bekerja untuk mengikuti pendidikan selama setahun. Tentu saja dia akan meninggalkan kami—suami dan anak-anaknya.

“Apa kamu nanti tidak merindukan kami?”

Page 124: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

122 | Nadjib Kartapati Z

“Kalau rindu, aku akan menulis surat. Aku akan memandangi potretmu dan potret anak-anakku.”

“Kalau kamu kesepian?”

“Aku akan cari kesibukan untuk mengusirnya.”

“Di sana tak ada yang melindungimu. Bagaimana kalau kamu digoda oleh lelaki bule?”

“Aku bisa menjaga diri.”

“Kamu pernah berpikir mencari pria lain sebagai kawan iseng?”

“Stop! Itu bukan pertanyaan namanya! Kamu menganggap aku ini apa? Aku istrimu, Prab. Kamu pikir diriku serendah itu?” kata Cynthia dengan nada berang. Dia bangkit lalu duduk menghadapku.

“Baiklah. Maafkan aku, Cynthia.”

Cynthia diam, masih tampak kurang puas. Aku sendiri memang meragukan kata-kataku. Betapa tidak! Godaan dari luar bisa kubayangkan hebatnya. Inggris bukan Indonesia. Kultur Eropa yang memandang kegiatan seksual di luar nikah sebagai hal biasa, tentu akan menimbulkan persoalan. Sehebat-hebat mental seorang wanita muda, kalau hidup sendiri tanpa kontrol dari siapa pun, bukan mustahil akan luruh juga. Sistem nilai permisif akan mengguncang dan mengepungnya.

“Enyahkan pikiran kotormu, Prab!” kata Cynthia, ketus.

Aku tidak menjawab. Kunyalakan sebatang rokok untuk sekadar mendistribusikan emosiku yang sedang meluap. Tak

Page 125: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 123

lama kemudian, Erik dan Nanda menghampiri kami. Celana mereka penuh pasir. Kulihat tadi mereka sengaja jatuh-bangun di atas pasir putih. Mereka tampak gembira diajak berlibur ke pantai. Mereka tak tahu bahwa tidak lama lagi akan ditinggal ibu mereka ke luar negeri setahun lamanya.

Ketika matahari merambah ke atas kepala, kami bersepakat pulang. Di mobil Erik dan Nanda tertidur, mungkin karena kecapekan.

* * *

Aku pulang kantor agak kesorean. Maklum, jalanan macet—sebuah kerutinan lalu-lintas Jakarta. Begitu memasuki ambang pagar, Cynthia sudah menyambutku dengan wajah secerah matahari pagi.

“Tadi aku dipanggil direkturku, Prab,” katanya ceria.

“What’s wrong?”

“No problem. Justru kabar gembira, Prab. Aku jadi berangkat bulan depan. Kami sudah terima jawaban dari Universitas Liverpool. Aku akan mengikuti program pendidikan di bidang biokimia pangan, selama setahun. Asyik, ‘kan?”

Asyik? Ya, Tuhan! Cynthia ternyata belum mampu membaca gejolak hatiku. Kabar baik baginya itu justru merupakan kenyataan pahit bagiku. Aku tak bereaksi apa-apa. Tersenyum pun tidak. Cynthia agak terperangah melihat sikapku yang dingin.

“Kamu tak senang, Prab?” tanyanya.

Page 126: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

124 | Nadjib Kartapati Z

“Senang,” jawabku singkat. “Di mana anak-anak?”

“Di dalam. Lagi nonton teve.”

Aku masuk kamar, melepas sepatu, celana dan baju, untuk kemudian mengenakan kaus dan celana pendek. Cynthia menyiapkan makan malam, tampak cekatan dan terampil.

Di meja makan, pikiranku kembali kacau-balau. Nafsu makanku patah tiba-tiba. Kabar tentang keberangkatan Cynthia ke Inggris membuatku galau. Nasi yang kukunyah serasa bagai bongkahan tanah.

Erik dan Nanda tampak lahap. Lauk yang dihidangkan memang berlebihan. Capcay, ayam goreng, bakmi goreng, fuyung hay, dan entah apa lagi, semua jenis masakan Cina. Aku tahu bahwa Cynthia sengaja merayakan datangnya berita baik itu. Dia memborong berbagai jenis lauk kesukaan kami. Kalaupun kemudian aku tidak bergairah menyantapnya, itu semata-mata karena berita tersebut.

“Kamu tampak lesu, Prab. Kenapa?”

“Sulit kujelaskan,” jawabku.

“Aku tahu. kamu merisaukan rencana keberangkatanku, bukan?”

“Mungkin. Sudah kamu ceritakan pada anak-anak?”

“Mama mau pergi, ya?” sahut Erik, sulungnya yang kini berusia tujuh tahun itu. “Pergi ke mana, Ma? Erik diajak, nggak?”

Page 127: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 125

“Nanda ikut lho, Ma,” timpal Nanda yang kini duduk di bangku TK kelas nol besar. Anak perempuanku itu memang lengket dengan ibunya.

“Tiap pagi Mama ‘kan pergi, Sayang. Masak kalian mau ikut ke kantor?” sahutku berdiplomasi. Erik dan Nanda tertawa.

Pukul sembilan malam lebih, ketika anak-anak sudah tidur, Cynthia menghampiriku di depan televisi. Inilah saatnya kami mendiskusikan rencana keberangkatan Cynthia. Melihat ekspresi wajahnya yang serius, siaran Dunia dalam Berita menjadi tidak menarik perhatianku lagi. Televisi kumatikan.

“Kamu selalu murung tiap kali aku membicarakan rencana keberangkatanku ke Inggris,” kata Cynthia. “Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Kalau kamu keberatan, katakan terus terang!”

“Kalau aku keberatan apa kamu akan menggagalkannya?”

“Selama alasanmu masuk akal.”

Tiba-tiba suasana menjadi tegang. Dalam keadaan tegang macam ini, aku tak bisa meninggalkan rokok. Nasihat dokter agar aku mengurangi menghisap tembakau tidak lagi kuhiraukan.

“Kamu tidak perlu terlampau tunduk pada kekhawatiranmu, Prab. Pikiran yang kotor tidak patut dipelihara.”

“Siapa yang punya pikiran kotor?” tanyaku tersinggung.

Page 128: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

126 | Nadjib Kartapati Z

“Kamu’lah! Pertanyaanmu di Ancol kemarin menjelaskan itu semua. Kuharap kamu tidak berpikir dari sudut dirimu saja. Tapi pikirlah dari sudut diriku, dari sudut kepentingan kita demi perbaikan masa depan kita sekeluarga.”

Kontan hatiku merasa tersodok. Istriku telah secara sepihak menuduhku tidak mau tahu masa depan keluarga. Emosi segera meluap, dan pitam pun naik ke otak. Rokok yang baru saja kuhisap beberapa kali langsung kubenamkan ke dalam asbak.

“Sebenarnya kamu’lah yang cuma mau tahu tentang dirimu,” kataku dengan suara bergetar. “Sekarang pikirlah dari sudut kami, suami dan anak-anakmu. Anak sekecil Erik dan Nanda akan kamu tinggal selama satu tahun. Dan kamu tidak mau berpikir juga bagaimana aku mesti mengasuh mereka. Aku toh punya kesibukan sendiri.”

“Tapi ini demi karierku, Prab. Kalau karierku meningkat, keluarga kita juga yang menikmati hasilnya.”

“Itu selalu yang kamu jadikan dalih. Alasan klasik!”

“Jadi aku mesti bagaimana? Apa tawaran ini mesti kutolak? Dulu kamu bilang kamu menyukai wanita karier. Anggaplah semua ini sebagai pengorbananmu, atau sebagai konsekuensi beristrikan seorang wanita karier. Ini kesempatan emas, Prab! Tidak setiap orang mendapatkannya. Kawan-kawan seangkatanku di kantor justru pada iri, sementara kamu sebagai suamiku malah keberatan,” ucap Cynthia bagai metraliur. Wajahnya mulai tampak berapi-api, seolah melambangkan betapa kesempatan itu merupakan taruhan hidup dan mati.

Page 129: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 127

Aku menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba bayangan buruk itu melenggang dalam tempurung kepalaku. Bayangan tentang gaya hidup orang Eropa yang serba boleh. Ya, Tuhan! Terus terang aku tak bisa menjamin keteguhan mental Cynthia yang sejak semula memang berpandangan kebarat-baratan. Dia yang menurutku selalu berkiblat pada pola pikir Barat, tentu akan menemukan lahan yang subur di sana. Lebih-lebih, ketekunannya belajar dahulu telah membuat dia kehilangan masa remajanya yang indah. Oh, Cynthia yang cantik, Cynthia yang kucintai, secara niscaya akan tercaplok oleh pengaruh kultur Eropa.

“Kenapa kamu diam?” tanya istriku kembali menyentakku.

“Kamu tega meninggalkan Erik dan Nanda?”

“Hanya satu tahun. Meninggalkan demi mempersiapkan masa depan mereka juga. Demi kita semua, Prab.”

“Kamu yakin bisa menjaga dirimu baik-baik?”

“Nah! Ini sebenarnya yang kamu takutkan. Ketakutanmu tidak beralasan, Prab. Sebuah ketakutan yang muncul dari pikiran kotormu. Yang jujur saja!”

Aku bagai tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Tidak tahu kenapa, aku selalu merasa tersinggung setiap kali dia menuduhku berpikiran kotor. Kuhunus sebatang rokok dari tempatnya, lalu kunyalakan. Asap pun bergulung-gulung ke atas, kuhembuskan kuat-kuat, seolah aku tengah menghembuskan segala kejengkelanku. Seiring dengan

Page 130: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

128 | Nadjib Kartapati Z

itu aku mulai sadar bahwa suatu cobaan telah datang. Aku mengadu rahang sebagai tanda kekesalanku.

“Pada dasarnya kamu cemburu, Prab!” kata Cynthia, terasa menggigit hatiku.

Tanpa kontrol lagi, aku menggebrak meja. Cynthia tampak kaget. Akan tetapi, gertakanku tidak mampu meruntuhkan sikapnya. Dia tetap tegar seolah-olah sudah yakin benar akan pilihannya.

“Ya, mungkin aku cemburu,” balasku agak kasar. “Tapi cemburu adalah hakku sebagai suamimu.”

“Baik! Baik!” jawabnya. “Kalau begitu, aku juga punya hak mencemburuimu. Aku juga bisa menuduhmu melakukan hal yang tidak-tidak selama aku di luar negeri. Itu kalau aku menuruti pikiran kotorku.”

“Kenapa hal itu tidak kamu pertimbangkan, sehingga kamu mesti berpikir ulang untuk melaksanakan tugasmu belajar?”

“Aku mempercayaimu, Prab. Aku yakin bahwa Agus Prabu, suamiku, tidak akan berbuat macam-macam. Kamu adalah pria yang baik, dan karena itu kupilih sebagai suamiku...”

Seketika aku tertunduk. Kata-kata istriku telah membidik pusat sentimentalitasku. Ya, aku jadi begitu sentimentil. Kekerasanku runtuh. Layakkah aku berpikiran buruk atas diri istriku yang menaruh kepercayaan penuh terhadapku? Tuhan! Kebusukan hati macam apa yang kumiliki?

Page 131: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 129

Akan tetapi, entah kenapa kecemburuan tetap saja mengusik. Pertimbangan akal pikirku tak bisa dipadamkan oleh rasa sentimentil. Siapa yang bisa menjamin keteguhan hati seorang wanita muda, cantik rupawan, hidup sendirian setahun lamanya di tengah-tengah budaya Barat, tanpa kontrol dari siapa pun, dikepung godaan dan pengaruh? Tidak seorang pun berani menjamin. Tak juga aku, suaminya.

Kini aku merasa benar-benar ditarik oleh dua kekuatan dari kanan dan kiri. Satu sisi adalah pikiranku yang membenarkan seluruh alasan istriku, sisi lain adalah perasaan kelelakianku yang dibakar kekhawatiran dan kecemburuan terhadap seorang istri yang kucintai. Jiwaku merasa terkoyak. Kenapa aku tidak seperti suami-suami yang lain, yang bisa tenang membiarkan istrinya belajar sekian lama di luar negeri? Mereka tidak sekadar bisa membiarkan, melainkan juga—bahkan—sangat bergembira.

“Jadi kamu benar-benar tidak menaruh kepercayaan kepada istrimu?” tanya Cynthia setelah beberapa detik kami saling membisu.

Aku diam. Entah kenapa kini aku tak punya kejujuran untuk itu. Malu rasanya untuk mengakui bahwa aku tidak mempercayai istri sendiri.

“Sebenarnya kamu cuma kurang percaya diri. Ya, kepercayaanmu terhadap diri sendiri terlampau rendah,” ucap istriku. “Ketahuilah bahwa aku sangat mencintaimu. Sedikit pun tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk mengkhianatimu, Prab. Bahwa kamu menaruh cemburu, menurutku adalah wajar, sebab kamu memang mencintaiku.

Page 132: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

130 | Nadjib Kartapati Z

Tapi kecemburuanmu yang berlebihan itu sudah tidak sehat lagi, karena dampaknya sangat merugikan kita bersama...”

Aku hanya bisa menghisap rokok dan menghembuskan asap yang memenuhi rongga dadaku. Ketika istriku mendesak agar aku berkomentar atau segera memberikan keputusan, aku tetap tak mampu apa-apa. Televisi kuhidupkan lagi. Adu jotos antara petinju Sugar Ray Leonard dan Donny Lalonde dapat kujadikan alasan untuk menunda persoalan. Meskipun sebenarnya aku agak setuju pada sikap penyiar Taufi k Ismail yang menentang penyabungan manusia, toh dengan menyaksikannya aku bisa terbebas dari kebekuan pikiranku. Paling tidak untuk sementara.

Sambil menggerutu tak jelas, Cynthia meninggalkanku ke kamar. Aku membuang napas dengan lega.

***

Empat hari lamanya pikiranku jadi tidak menentu. Seolah-olah ada sampah berserakan dalam batok kepalaku. Hampir tiap malam Cynthia mendesakku agar memberikan keputusan tegas: boleh apa tidak. Dia—kalau boleh kusebut—mengancam akan pasif dalam meniti jenjang karier bila aku berkeras melarangnya berangkat ke Inggris. Dan ternyata aku memang tidak punya keberanian mencegahnya.

“Kamu tidak perlu mendesakku, Cynthia. Dan aku juga tidak perlu mencegah atau menyuruh. Aku hanya minta kamu pahami diriku. Itu saja,” kataku sambil menampakkan wajah dingin.

Page 133: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 131

“Ok, Prab. Aku pahami dirimu. Aku kira memang itulah jawaban yang paling baik. Sampai di Inggris, bahkan di ujung dunia mana pun, aku tetap memahami dirimu,” ucap Cynthia sambil mencium pipiku.

Di kantor, aku tidak bisa konsentrasi menghadapi pekerjaan. Beberapa kawan menangkap gelagatku yang “ganjil” itu. Frans, dengan gayanya yang arogan, menyindirkan, “Mestinya kamu lahir 70 tahun yang lalu, Prab. Tatkala kaum wanita masih disebut kanca wingking.”

Aku tidak menyahut. Berita tentang istriku akan disekolahkan ke Inggris memang pernah kuceritakan kepada rekan-rekan sekantor. Di kantor, nama Cynthia sudah cukup dikenal. Sebab, karyawan di perusahaan kami—sebuah perusahaan makanan ternak—banyak yang alumnus IPB. Frans, bahkan, teman Cynthia satu jurusan.

“Kalau saya sih malah bersyukur, Prab,” timpal Yudi, sambil meringis. “Satu tahun itu tidak sebentar lho. Itu artinya kamu bebas dari pengawasan ‘menteri dalam negeri’. Mau jungkir-balik nggak ada yang mengharu-biru. Apanya nggak enak?”

Yang lain langsung ngakak, bahkan ada yang bersiut-siut. Ledekan rekan-rekan sekantor tidak sedikit pun bisa menghibur hatiku, meskipun sering terlontar ungkapan-ungkapan lucu.

Apa yang dikatakan Yudi, pada satu sisi memang tidak keliru. Dalam satu tahun nanti aku akan merdeka. Aku terbebas dari gerutuan istriku, meski apa pun yang kuperbuat. Ditinjau dari sudut ini memang menggembirakan. Betapa

Page 134: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

132 | Nadjib Kartapati Z

tidak! Selama ini Cynthia memang terlalu peduli terhadap kesibukanku, eh, tepatnya acara-acaraku. Pulang main tenis agak kemalaman, Cynthia sudah mengusut panjang-lebar. Bila di sakuku ada sobekan karcis bioskop, istriku akan segera bertanya, “Kamu malu ya kalau nonton bersama istrimu?” Dan kalau sobekan karcis itu ada dua lembar, Cynthia pasti berkata, “Wanita yang kamu ajak nonton itu pasti cantik. Yah, paling tidak, lebih cantik dari aku.”

Tetapi, nanti, semasa Cynthia di luar negeri, tiap hari nonton fi lem juga tidak akan ada yang meributkan. Jangankan nonton fi lem, ngelayap ke diskotek, ke bar atau night-club pun aman-aman saja. Akan tetapi, mungkinkah itu semua bisa kulakukan? Tegakah aku meninggalkan Erik dan Nanda di rumah cuma bersama pembantu? Tiba-tiba aku membayangkan betapa kesibukanku akan berlipat ganda. Aku tak mungkin menyerahkan urusan Erik dan Nanda seluruhnya kepada Yem, pembantu rumah tanggaku yang asli Jawa itu. Tak mungkin!

“Itulah risiko punya istri pintar, Prab,” kata Yus seraya melepas kaca mata.

Risiko punya istri pintar? Memang! Dan aku tidak bisa menjawab apa-apa. Di rumah pun aku lebih banyak diam. Hari-hariku selanjutnya merupakan hari-hari yang penuh keresahan.

* * *

Mesin pesawat menderu. Di weaving gallery, aku, Erik, dan Nanda melambaikan tangan. Lambaian kami jelas tidak

Page 135: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 133

terlihat oleh Cynthia, namun besar artinya bagi kami. Itulah ucapan “Selamat Jalan”.

Pesawat bergerak makin cepat. Mesinnya meraung-raung. Serasa sekejap, pesawat itu sudah mengudara meninggalkan landasan. Cynthia telah meninggalkan kami setahun lamanya. Kudekap Erik dan Nanda. Kedua anak ini tidak berkata apa-apa. Mata mereka tetap bening. Kebisuan mereka bagaikan petunjuk bahwa mereka sedang menangis dalam hati. Tadi, Cynthia sempat menitikkan air mata. Sesaat sebelum berpisah, dia memeluk dan menciumi kedua anaknya.

“Yang rajin belajar ya, Erik. Kamu juga, Nanda, terus saja belajar menggambar,” tutur Cynthia dengan nada haru yang tertahan.

“Oleh-olehnya, ya, Ma. Yang bagus-bagus,” sahut Erik.

Entah apa yang mereka bicarakan kemudian, aku tidak mengerti. Aku sengaja memalingkan muka untuk melawan keharuan yang mencekam. Sebenarnya jiwaku sedang remuk-redam. Sampai saat keberangkatan Cynthia, hatiku tetap bimbang. Ada rasa kurang ikhlas. Pikiranku mengizinkan, tetapi perasaanku melarang. Dan akhirnya aku kalah.

***

Dalam minggu pertama setelah keberangkatan Cynthia, suasana rumah kurasakan demikian aneh. Lengang dan menikam. Kalau biasanya kami makan malam berempat, kini hanya bertiga. Kursi di sebelahku—yang biasa diduduki Cynthia—kosong tidak berpenghuni. Sebelum memulai

Page 136: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

134 | Nadjib Kartapati Z

suapan pertama, Erik dan Nanda sering terbengong menatap kursi itu, seolah-olah mereka menunggu perintah ibunya untuk berdoa.

Pernah, suatu malam, Erik kebingungan mengerjakan pe-ernya. Dalam puncak kekesalannya, Erik tiba-tiba berlari ke kamar sambil berteriak memanggil ibunya. Rupanya ia tidak sadar bahwa ibunya pergi, tidak ada lagi di rumah ini. Menyadari hal itu, Erik terbengong menatap kamar kerja Cynthia. Dengan lirih ia berkata, “Papa, tolong Erik bantuin mengerjakan pe-er.”

Masih beruntung anak itu. Ia sudah cukup memahami kenyataan yang dihadapi. Berbeda dengan Nanda yang biasa lengket pada ibunya. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti. Kalau ia bingung mewarnai gambar, secara spontan ia juga memanggil-manggil ibunya. Dan ia menangis begitu sadar ibunya tidak ada.

“Mama kapan pulang sih, Pa?” tanyanya meratap.

“Kan Mama sudah bilang, Mama akan pulang setelah Nanda naik kelas,” kataku. “Sekarang Papa yang ngajarin Nanda menggambar.”

“Mama ngapain sih pelgi sampai lama?”

Ya, Tuhan! Sulit bagiku memberikan penjelasan kepada anak sekecil itu. Aku tak mampu memenuhi pesan Cynthia agar tidak membohongi mereka. Bagaimana mungkin bocah seusia Nanda bisa memahami penjelasan yang sebenarnya? Upayaku untuk meredakan pertanyaan-pertanyaannya adalah dengan cara mengalihkan topik pembicaraan. Dan

Page 137: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 135

giliran aku yang bingung jika Nanda tetap berkukuh pada pertanyaannya. Ah! Betapa berat beban psikis yang mesti kutanggung.

Pada awal bulan pertama, datang surat Cynthia yang kedua. Dia bercerita tentang keadaannya di sana secara parjang-lebar. Dia menanyakan keadaan kami, terutama Erik dan Nanda. Kedua anak itu, katanya, sering muncul dalam mimpi-mimpinya. Meskipun baru beberapa hari, katanya lagi, dia sudah kangen kepada anak-anak itu. “Bila aku menjumpai anak kecil seusia Erik dan Nanda, rasanya aku ingin menubruk, memeluk, dan menciumi mereka,” tulis Cynthia. Pada bagian ini aku terharu.

Akan tetapi, pada bagian lain dia menceritakan tentang suasana di Universitas Liverpool. Kedatangannya disambut hangat oleh rekan-rekan barunya, orang-orang bule itu. Dalam beberapa hal, katanya, dia menjadi pusat perhatian. “Penilaianmu bahwa aku pintar bergaul memang terbukti,” tulis Cynthia. “Dalam beberapa hari kawanku sudah banyak. Mereka menilaiku ramah dan supel. Mereka bertanya mengenai keadaan di Tanah Air, bertanya tentang perkembangan industri makanan di Indonesia, dan juga bertanya soal-soal yang lebih pribadi, khususnya tentang diriku. Aku bahagia, Prab, seperti lahir kembali ......”

Puih! Pada bagian ini aku benar-benar muak. Surat kucampakkan. Kecemburuanku kembali membakar hati. Dia bahagia? Bedebah! Sungguh tidak adil! Di sana dia merasakan lahir kembali, sedangkan di sini aku stress dan frustrasi. Bayangan-bayangan buruk serta-merta berkelebatan

Page 138: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

136 | Nadjib Kartapati Z

dalam benakku, menyambar-nyambar bagai elang melihat anak ayam. Kehormatanku sebagai lelaki seakan-akan dihina. Martabatku sebagai suami seolah-olah dicemoohkan.

Malas aku membalas suratnya, di samping aku memang terlalu sibuk. Makin hari enersiku kian terserap untuk mengasuh Erik dan Nanda, membimbing mereka belajar, meninabobo sebelum tidur, dan menjawab pertanyaan-pelanyaan mereka yang sering mengharukan. Akibatnya, pekerjaanku di kantor tersuruk-suruk, menimbun demikian banyak dan tidak mampu kuselesaikan dengan baik. Aku sadar bahwa stress sedang mengancamku.

Untuk mencegah akibat buruk yang sangat mungkin terjadi, aku mendatangi seorang psikiater. Kubeberkan segala persoalan yang sedang kualami. Inilah untuk pertama kali aku merintih di hadapan psikiater yang sebelumnya tidak kusukai secara apriori.

Sambil mengerutkan kening, psikiater yang berjidat lebar itu berkata, “Kesibukan Anda, baik secara pisik maupun psikis, tidaklah seberapa. Menurut hemat saya, hal itu tidak akan berakibat buruk kalau saja kondisi psikis Anda dalam keadaan baik. Jadi, pokok persoalannya adalah tekanan mental yang Anda alami...”

“Maksudnya?”

“Anda sedang mengalami beban mental yang berat. Ini sebabnya! Mungkin jiwa Anda dicekam kekhawatiran yang dahsyat. Mungkin pula itu akibat dari kecemburuan Anda yang berlebihan. Atau barangkali sudah terlalu lama Anda mengidap semacam sikap inferior terhadap istri Anda.

Page 139: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 137

Keberangkatan istri Anda ke luar negeri itu hanya menjadi titik letupnya.”

“Cara mengatasinya bagaimana?”

“Anda harus berjuang melenyapkan sebab-sebab itu. Kalau tidak, dalam keadaan tertekan macam sekarang Anda bisa terkena spikosomatik. Suatu penyakit pisik yang disebabkan oleh tekanan jiwa...”

Panjang-lebar psikiater itu mengurai diagnosenya. Namun, untuk sekadar memahaminya pun, konsentrasiku tidak mendukung. Aku pulang tanpa merasa bebanku berkurang, malah sebaliknya: bertambah. Aku makin ngeri. Sebenarnya aku bisa menerima uraian psikiater tadi bahwa aku harus memperbaiki kondisi psikisku. Kini aku berpikir bagaimana caranya.

Dari bulan ke bulan keadaanku makin gawat. Tiap kali aku masuk rumah, pikiranku jadi tidak menentu. Keluhan Erik dan Nanda, potret Cynthia, celoteh pembantuku yang kian cerewet, semua telah mengikis daya tahanku. Ya, setiap aku menatap potret Cynthia yang terpajang di dinding, hati lelakiku terbakar, panas membara. Rumahku yang semula memberikan keteduhan batin, kini tak ubahnya sebagai neraka. Bahkan, aku makin malas meladeni Erik dan Nanda. Pertanyaan mereka, yang membuatku pusing, secara tidak terhindar telah mengingatkan aku pada diri Cynthia. Dan ingat Cynthia, hatiku bagai terobek-robek.

Pada gilirannya aku malas pulang ke rumah. Aku harus menyusun acara ke mana mesti pergi sekadar menghindari pulang. Setelah bosan main tenis, aku membiasakan diri

Page 140: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

138 | Nadjib Kartapati Z

nonton fi lem. Menjelang tengah malam aku baru pulang ke rumah, di saat anak-anakku sudah terlelap. Bosan nonton fi lem, aku mulai menginjak lantai bar, cafe, atau diskotek. Apa pun komentar orang, yang pasti tempat-tempat itu mampu memberiku hiburan. Di sanalah kesepianku terkikis. Sentuhan manja para waiters yang cantik dan pengaruh minuman keras yang kutenggak secara spontan melenyapkan kekalutanku.

***

Aku tergeragap bangun. Mimpi buruk telah menggodaku. Dalam mimpi itu, kulihat Cynthia berjalan bergandengan dengan lelaki bule di sebuah taman bunga pada musim semi. Mereka bagai sejoli, bercumbu mesra. Aku memekik, lantas terbangun.

Kutengok jam beker di atas meja kamar. Pukul 02.16. Berarti belum dua jam aku tertidur. Aku bertanya-tanya dalam hati: apa gerangan yang terjadi atas diri istriku? Aku berusaha melupakannya, dan mencoba meyakini bahwa mimpi hanyalah merupakan pantulan bawah sadar seseorang. Mudah-mudahan mimpi itu cuma bayangan kecemburuanku. Toh demikian, hatiku tetap gelisah. Upayaku untuk memicingkan mata kembali sia-sia.

Aku resah di tempat tidur. Rebah sana, rebah sini. Tak terasa malam sudah dijabat fajar. Azan subuh mengalun dari masjid di ujung perumahan real-estate ini. Derum mobil mulai terdengar lebih sering. Tak lama kemudian telingaku menangkap pintu belakang berderit. Yem, pembantuku, sudah bangun.

Page 141: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 139

Aku beranjak dari tempat tidur ketika kudengar Erik dan Nanda terbangun. Kusongsong kedua anakku dan kuucapkan selamat pagi. Tetapi, ya Tuhan! Berapa lamakah aku tidak melihat mereka? Kenapa mereka bisa begitu kurus dan pucat? Salahkah penglihatanku? Belakangan ini aku memang selalu bangun kesiangan, setelah Erik dan Nanda berangkat sekolah dengan mobil jemputan. Praktis aku tidak sempat melihat mereka. Sewaktu aku pulang, mereka pun sudah tidur.

“Papa sekarang nggak pernah lagi...”

“Maafkan Papa, Erik,” potongku sebelum Erik melanjutkan kata-katanya. “Papa terlalu sibuk. “Erik mau ‘kan maafi n Papa?”

“Mana Papa bangunnya siang lagi,” sahut Nanda bernada protes. “Nanda nggak pelnah lagi dicium Papa.”

Tuhan! Dosa macam apa yang pantas Kautimpakan kepadaku? Serta-merta kupeluk mereka. Kuciumi mereka sepuas mungkin.

Bagai ingin menebus dosa-dosaku, pagi ini aku memandikan mereka sendiri. Kupilihkan mereka pakaian yang terbaik, dan kudandani sendiri. Pedih hatiku melihat tubuh mereka makin kurus. Sekali lagi kucium mereka bergantian ketika mobil jemputan datang.

“Yem! Bagaimana mereka bisa kurus begitu?” tanyaku mengusut.

“Sekarang mereka sulit makan, Ndoro.”

“Kamu mesti masak lauk kesukaan mereka.”

Page 142: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

140 | Nadjib Kartapati Z

“Sudah, Ndoro. Tapi mereka tetap saja susah makan.”

“Harus kamu paksa, Yem.”

“Sudah, Ndoro. Kalau dipaksa-paksa, nasinya disembur-semburkan. Saya sendiri sering bingung, Ndoro.”

“Kenapa mereka jadi begitu?”

“Mereka sering menanyakan Ndoro. Kalau Ndoro belum pulang, mereka tidak mau tidur. Kadang mereka menunggu Ndoro di ruang tamu sampai tivi selesai. Karena Ndoro tidak juga datang, mereka ketiduran di lantai. Saya yang membopong mereka ke kamar...”

Tuhan seru sekalian alam! Dosa siapa semua ini? Siapa yang mesti bertanggung jawab atas kenyataan buruk ini? Oh, Cynthia, istriku, tidakkah kamu ditegur fi rasat apa pun di sana?

“Yem! Apa mereka pernah menanyakan Mama-nya?”

“Tidak, Ndoro. Mereka sudah tahu Mama-nya belum saatnya pulang.”

“Sama sekali tidak pernah menanyakan Mama-nya?”

“Tidak, Ndoro. Mereka seperti sudah melupakan.”

Gusti! Begitu tega Cynthia pergi untuk dilupakan anak-anaknya. Aku menggeram. Aku mengumpat dalam hati. Terngiang kembali ucapan Cynthia, “Pergi demi masa depan anak-anak.” Huh! Masa depan macam apa yang bisa diharap dari anak-anak yang sudah melupakan ibunya?

Page 143: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 141

Pagi ini juga aku kirim telegram kepada ibuku di Cirebon. Kumohon ibu bersedia tinggal di rumahku menemani dan mengasuh Erik dan Nanda. Aku yakin mereka akan senang ditunggui Eyang mereka.

Dua hari kemudian Ibu datang. Erik dan Nanda tampak gembira. Mereka bagai menemukan keceriaan kembali.

Namun, keberadaan Ibu ternyata juga tidak mampu mencairkan kekalutanku. Lebih-lebih setelah kuterima surat Cynthia yang entah keberapa, yang isinya menceritakan tentang kegembiraannya di sana. Hatiku jadi geram. Entah kenapa, sebenarnya aku lebih senang mendengar kepiluannya. Tetapi kabar itu tidak pernah ada. Kabar menyenangkan darinya itu seakan mencemoohku sebagai satu ketidakadilan yang menindas. Salahkah kalau aku bertualang membunuh kesepianku?

* * *

Delapan bulan sudah Cynthia berada di luar negeri. Delapan bulan sudah aku dipanggang kesepian di sini. Suatu siang, resepsionis di kantor memberitahukan ada telepon untukku.

“Dari siapa?” tanyaku.

“Perempuan. Namanya Harefa.”

“Harefa?”

“Ya. Di line empat.”

Demi mendengar nama Harefa, jantung ini jadi berdegup kencang. Sejenak aku terhenyak di kursi. Begitu misteriusnya

Page 144: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

142 | Nadjib Kartapati Z

wanita itu! Dia pernah tiba-tiba pergi tanpa mohon diri, dan kini datang tanpa diundang.

Telepon kusambar, kupencet line empat.

“Hallo…”

“Hallo… Di sini Harefa. Apa ini Agus Prabu?”

“Benar. Kamu di mana, Refa?”

“Di suatu tempat. Kalau boleh, aku akan dating ke kantormu sekarang. Tunggu barang setengah jam...”

“Aku akan senang kamu datang. Tapi...”

“Sudahlah, nanti saja kita bicara panjang-lebar.”

Telepon diletakkan. Aku ternganga.

Harefa! Tiba-tiba nama itu singgah dalam ingatanku. Seorang mahasiswi lincah, trendy, dan cantik. Di mataku, Harefa memang lebih cantik daripada Cynthia. Tetapi, berbeda dengan Cynthia yang cerdas, Harefa memang sering disebut ber-IQ jongkok oleh kawan-kawan.

Mengenang Harefa sama artinya dengan menyusuri lorong-lorong panjang masa silamku. Keramahan kota Bogor, dinginnya gerimis kota itu, keceriaan suasana kampus IPB, seakan-akan kembali kumasuki. Penghayatanku terbawa ke masa-masa kuliah beberapa tahun silam. Harefa, gadis itu, sempat membungai hatiku dalam rentang waktu yang cukup panjang. Wajahnya yang mirip aktris Linda Florentino itu membuatku tergila-gila. Beruntunglah aku karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Gadis yang selalu

Page 145: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 143

datang dalam mimpi-mimpiku itu pernah kukhayalkan sebagai ibu dari anak-anakku kelak.

“Refa, sekadar kamu tahu saja, aku ini tipe lelaki serius,” kataku ketika kami berjalan berdua sepulang kuliah. “Ya, serius dalam banyak hal, terutama di dalam memandang hubungan kita ini.”

Harefa tersenyum, tipis dan manis. Rambutnya yang terpotong pendek itu digeraikan dengan jemannya.

“Kamu menganggap aku main-main?” balas Harefa sambil mengerlingkan ekor matanya.

“Tidak! Aku hanya mengatakan supaya kamu tahu.”

Harefa tertawa. Nada tawa itu seolah-olah menganggap lucu perkataanku. Dan aku tambah penasaran.

“Kenapa kamu menertawakannya?” tanyaku.

“Kamu menganggap aku ini pacarmu?”

“Ya. Apa kamu keberatan?”

“Tidak! Cuma perlu kamu ketahui, aku telah berpacaran lebih sepuluh kali. Dan tidak seorang pun bekas pacarku pernah berkata seperti apa yang kamu katakan tadi.”

“Boleh jadi benar, tapi aku bukan mereka. Barangkali mereka tidak menganggap hubungan itu serius. Aku tidak, Refa!”

Harefa kembali tertawa. Suaranya nyaring dan berderai. Bahkan kemudian dia menyambar lenganku. Digandengnya tanganku begitu erat, seolah-olah tidak akan dia lepas lagi.

Page 146: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

144 | Nadjib Kartapati Z

Toh demikian, aku masih merasa perlu mendengar pengakuannya. Kudesak dia agar mau mengatakan bahwa hubungan kami merupakan hubungan yang serius, yang sangat mungkin berlanjut ke jenjang perkawinan. Dan Harefa tetap tertawa-tawa, seolah memandang pertanyaanku bukan hal yang penting.

“Nggak tahu kenapa, aku risi dengar kata perkawinan,” ucapnya mengejutkanku. “Mungkin karena kita belum saatnya merencanakan perkawinan. Masih terlalu dini!”

“Rencana yang baik harus dipikirkan sejak dini, Refa.”

“Benar. Tapi itu tidak sekarang.” Harefa melepas gandengannya. Dia berjalan agak cepat, seolah-olah ada usaha menghindar dari topik pembicaraan ini.

“Refa,” kataku seraya meraih lengannya. Dia terhenti, lalu menatap wajahku dengan senyum simpul yang sulit kutebak artinya. “Kenapa kamu seperti mengelak kuajak bicara soal hubungan kita?”

“Bagaimana kalau kita membicarakannya lain waktu saja?”

“Kenapa?”

Pertanyaanku tidak terjawab. Harefa berlari, dan sebuah angkutan kota telah menelannya.

Dan kini, yang tertinggal dalam benakku hanyalah tanda tanya besar. Sosok Harefa yany selama ini memberikan gairah hidup, tiba-tiba kupandang sebagai sosok yang penuh misteri. Mungkinkah aku terlalu lancang mengajaknya bicara soal kelanjutan hubungan kami? Kupikir, dua tahun berpacaran

Page 147: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 145

bukan waktu yang terlampau singkat. Aku yakin tentu ada yang kurang beres pada diri gadis itu.

Beberapa kali kesempatan bertemu, aku selalu gagal mengajak Harefa membicarakan nasib hubungan kami. Dia tidak lagi seperti anak kucing yang lincah tetapi manja. Kini dia menjadi gadis yang mesra dipacari, namun liar diajak bicara soal hari depan. Harefa tiba-tiba bisa menjadi beringas dan emosional ketika kudesak soal itu. Dan selimut misteri pun kurasakan makin tebal melingkupinya.

Dia kukenal pertama kali pada dua tahun silam. Pada waktu itu aku masih ditingkat semester dua. Seorang kawan, Astuti namanya, memperkenalkan aku dengannya. Dan perkenalan itu berlanjut ketika aku dapat mencarikannya tempat kost, yang saat itu memang dibutuhkan. Meskipun kami sama-sama di fakultas peternakan, jurusan kami berbeda. Dia mengaku sebagai mahasiswi baru, asal Sukabumi.

Hasratku untuk mengajaknya bicara tentang hari depan, menurutku bukan sesuatu yang berlebihan. Dan pengalamanku berpacaran bukan kali ini saja. Sebelum kenal Harefa—terhitung sejak di SMA—aku sudah tiga kali berpacaran meskipun semua kandas di tengah jalan. Kegagalan-kegagalan itu membuatku trauma. Dan itu menjadi momok yang tiap saat menghantuiku. Lebih dari itu, sosok Harefa benar-benar mewakili tipe idealku. Keterpautan hatiku kepadanya bukan keterpautan cinta monyet.

Dari seorang teman yang juga asal Sukabumi, akhirnya aku mendapat keterangan mengenai latar belakangan keluarga Harefa. Kata kawan itu, Harefa lahir dari sebuah keluarga

Page 148: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

146 | Nadjib Kartapati Z

cukup berada, sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Sewaktu masih kelas satu SMA, orang tuanya bercerai. Ayahnya tergila-gila pada seorang wanita Jakarta, sedangkan ibunya tidak sudi dimadu. Kini ibunya tetap menjanda dan tinggal di Sukabumi, sementara ayahnya tinggal di Jakarta bersama bini mudanya.

Atas informasi itu, aku menyimpulkan bahwa Harefa adalah anak korban perceraian orang tua. Maka aku berpikir bahwa Harefa cukup trauma terhadap apa yang disebut perceraian. Dan hal itu sangat mempengaruhi sikap dan pandangan hidupnya sehingga dia selalu takut diajak bicara soal perkawinan.

Dengan bekal pengetahuan itu, aku mendatangi Harefa pada suatu hari. Dia kutemui di tempat kostnya dalam keadaan santai dan rileks. Dia mengenakan daster warna biru panci, berlengan pendek, bermotif bunga-bunga besar. Kulitnya makin tampak bersih dan mulus, dan secara niscaya membuat liar mata nakalku. Daya pesona gadis itu sungguh membuatku seakan tersihir. Inilah pertama kali aku melihat Harefa dalam penampilan santai dan seksi.

“Kalau kedatanganmu hanya untuk mengulangi pembicaraan yang sudah-sudah, lebih baik tidak usah,” katanya membentengi diri. Namun kalimat itu tidak diucapkan dalam nada kasar. Pancaran sinar matanya tetap melukiskan kegembiraan. Dan dia menyambutku dengan semangat dan gairah.

“Jangan emosional!” jawabku. “Aku justru sengaja datang untuk mendiskusikan sikap dan pandangan hidupmu, Refa.

Page 149: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 147

Manusia memang dibentuk oleh masa lalunya. Tapi masa lalu yang pahit tidak harus membuat seseorang menjadi pesimis...”

Harefa tampak tersentak oleh kata-kataku. Dia pandangi wajahku seolah-olah tengah mencari keyakinan. Namun tatapan matanya yang mencari-cari itu justru mengandung daya magnetis yang tinggi. Dan aku merasa teduh dalam tatap mata itu.

“Masa lalu? Apa maksudmu?” tanya Harefa tersendat.

“Aku tahu latar-belakang keluargamu meskipun serba sedikit,” jawabku. “Beri aku kesempatan ikut mengomentari. Sebab, menurutku, pengalaman pahit masa lalu itu telah mengubah segala perilakumu.”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

Aku lantas memaparkan semua yang sempat kudengar dari kawanku. Gadis di depanku itu ternganga tanpa kata. Sebentar dia menatapku, sebentar dia menunduk. Aku tidak peduli bahwa kata-kataku telah membuka ketersembunyiannya selama ini. Toh sesudah itu aku berkata, “Jangan pandang diriku sebagai orang lain yang mencampuri urusan pribadimu. Dan jangan pandang aku sebagai pacarmu, Reta. Kali ini aku datang sebagai seorang sahabat yang ikut merasakan kepahitan sahabatnya. Aku datang dengan segenap rasa simpati. Hargailah simpatiku ini, Refa!”

Dia mengangguk lemah.

Page 150: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

148 | Nadjib Kartapati Z

“Nah, sekarang akuilah, karena pengalaman pahit itu kamu pisimis terhadap apa yang disebut perkawinan. Ya, bukan?”

“Lantas?”

“Kamu harus belajar melawan pisimismu itu! Pandanganmu itu menunjukkan suatu sikap apriori terhadap lembaga perkawinan. Kamu trauma terhadap perceraian orang tuamu. Karena perceraian hanya mungkin ada dalam perkawinan, lantas kamu takut menatap perkawinan. Kesadaranmu bisa saja mengingkari semua itu, tetapi sebenarnya kamu telah dituntun oleh alam bawah sadarmu...”

“Uraianmu itu nggak lebih hanya sebagai petualangan pikiran yang spekulatif. Kamu nggak bisa meniscayakan kehidupan, Prabu!” potong Harefa dengan suara yang berat tersekat.

“Itu tidak penting. Yang penting adalah uraianku itu masuk akal atau tidak. Tolong renungkan!”

“Taruhlah itu benar, lalu salahkah pandanganku?” ucapnya. “Aku sudah coba mengikisnya, tapi selalu gagal. Itulah kenyataan diriku, Prabu. Nggak ada orang yang mau mencari kegelisahan, bukan?”

“Kamu belum berusaha, Refa. Kalaupun sudah, kamu belum memenangkannya. Menurutku, sikapmu itu justru semakin menenggelamkan dirimu dalam kegagalan. Kamu mesti buktikan bahwa perkawinan merupakan tali ikatan yang abadi, yang tidak secara niscaya diancam perceraian. Kamu harus menebus kegagalan orang tuamu. Toh tidak

Page 151: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 149

sedikit perkawinan yang langgeng. Toh banyak orang menemukan kebahagiaan dalam perkawinan, sampai kakek-nenek. Bahkan, menurut data statistik di mana saja jumlah perceraian terlampau kecil dibanding jumlah perkawinan...”

Harefa kini benar-benar menundukkan kepala. Menunduk begitu dalam hingga dagunya hampir menyentuh dada. Aku melihat kedua mata yang bening itu mulai berkaca-kaca. Dan tiba-tiba aku merasakan betapa hebat gelombang itu bergulung dalam hati gadis yang kucintai ini. Beberapa detik kemudian Harefa menangis.

Aku sadar, kedatanganku telah mengguncangkan jiwanya. Tetapi toh tujuanku baik: agar terjadi perubahan pandangan hidup.

***

Hari-hari setelah itu memang kutangkap perubahan sikap Harefa. Dia tidak lagi menghindar ketika kuajak bicara soal hari depan. Tetapi, dia hanya menjadi pendengar yang baik, tanpa sedikit pun merespon atau menanggapi, apalagi menyangkal. Dan dia tetap lengket denganku, tetap mengakuiku sebagai kekasihnya. Barangkali itu sudah terlalu cukup bagiku. Sebab, menurutku, sebuah perubahan yang paling baik adalah jika tidak secara frontal. Aku berharap mudah-mudahan sekarang Harefa sedang dalam proses perubahan itu.

Tetapi perubahan yang kutunggu-tunggu itu akhirnya malah kulupakan. Harefa yang makin manja itu secara tak terhindarkan membuatku mabok asmara. Tidak ada

Page 152: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

150 | Nadjib Kartapati Z

hari tanpa percintaan. Daya sihir yang terpancar dari sinar matanya, dari tutur katanya, dari lengang-lenggok tubuhnya, dan dari seluruh paduan penampilannya, memaksaku makin terbenam dalam alam khayali.

Akibatnya kuliahku menjadi tersuruk-suruk. Pada akhir tahun keempat yang mestinya sudah dapat menyelesaikan delapan semester, aku masih sibuk pada semester keenam. Kenyataan ini telah membuat ayahku kecewa. Dengan nada berang Ayah telah beberapa kali mengancam akan menyetop kiriman uang. Ayah—seorang pegawai negeri pada sebuah kantor departemen di Cirebon—sering mengeluh sekaligus memarahiku, baik lewat surat maupun secara langsung.

Tentu saja pikiranku jadi butek. Kenyataan itu tidak menjadi cambuk bagiku, tetapi justru membuat tidak mampu konsentrasi belajar. Dan hempasan badai tiba-tiba menggulung seluruh semangatku, meruntuhkan daya hidupku, sekaligus membuatku terkapar. Mendadak—tanpa kuketahui sebab-musababnya—Harefa lenyap bagai ditelan bumi. Dia meninggalkan kuliahnya sonder pesan dan berita. Dia makin misterius.

“Dia diminta ayahnya tinggal dan kuliah di Jakarta,” kata Astuti berlagak tahu.

Namun, setelah kuusut ke biro administrasi kepegawaian, petugas di sana mengaku tidak pernah dimintai surat keterangan pindah kuliah oleh Harefa.

“Harefa pernah bercerita kepadaku bahwa dia ingin bekerja. Dia tentu pindah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan di sana,” kata Benny.

Page 153: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 151

“Dia memang sudah bosan kuliah. Otaknya terlalu ciut untuk dapat menerima pelajaran. Dia capek dan putus asa. Dasar IQ-nya jongkok, becus-nya cuma nampang dan bersolek,” komentar Asni, gadis berkacamata tebal yang selama ini mencemburui hubungan kami.

Ke mana Harefa pergi, lama-kelamaan menjadi tidak penting. Itulah keputusanku setelah usahaku melacak gagal total. Dalam keadaan terbanting dihempas gelombang cinta, kesombonganku sebagai lelaki terusik. Aku tidak ingin mendengar cemoohan, “Agus Prabu gagal kuliah gara-gara merana ditinggal kekasihnya.” Tak sudi! Aku mencoba bangkit sebelum Ayah menjatuhkan vonisnya untuk tidak mau lagi membiayai kuliahku. Kupikir masih ada kesempatan.

Ternyata sekadar bangkit pun susahnya tak kepalang-tanggung. Motivasi tidak sudi dicemooh belumlah cukup. Aku butuh motivasi lain. Setidak-tidaknya, butuh seseorang yang mampu mendorongku, mampu menyemangatiku, dan sanggup menghimpun kembali semangatku yang telah bercerai-berai. Problemku ini kuuraikan kepada Frans, seorang sahabatku. Frans yang kukenal berwatak angkuh dan arogan itu selalu yakin bahwa dirinya mampu menolong kawanya.

Barangkali atas kepentingannya menunjukkan bahwa dirinya sanggup menolongku, suatu hari dia kenalkan aku dengan seorang mahasiswi cantik, kawannya satu jurusan. Dia adalah Cynthia Damayanti, mahasiswi terpandai di Fakultas Teknologi Pangan & Gizi. Mula-mula aku tidak yakin gadis ini bisa menjadi motivator bagi diriku yang sudah terjerambab.

Page 154: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

152 | Nadjib Kartapati Z

Aku tidak yakin dia bisa menggantikan kedudukan Harefa dalam hatiku. Bukankah jatuh cinta merupakan proses gaib yang terjadi dalam hati anak manusia? Kalaupun aku dapat mencintainya, siapa bisa menjamin Cynthia juga akan jatuh cinta kepadaku?

Akan tetapi, kehidupan mempunyai hukum sendiri yang sering tidak bisa diurai secara matematis. Itulah yang kutemui kemudian. Cynthia memiliki daya pesona yang lain, yang tidak dimiliki Harefa. Dia cerdas—bahkan cenderung genius, jujur, terbuka, dan berkepribadian kukuh. Gaya bicaranya runtut dan logis, tidak begitu menyukai basa-basi, apalagi kepura-puraan. Hampir-hampir tidak ada misteri dalam dirinya—yang tampak dari luar seakan merupakan kenyataan yang ada di dalam. Keluar dari pengaruh karakter Harefa dan masuk ke dalam pengaruh karakter Cynthia bagaikan sebuah loncatan tajam. Semua itu merupakan pesona baru bagiku. Aku tersentak, tergeragap, sekaligus jadi terpana.

Cynthia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia lahir di Semarang. Ayahnya seorang dosen pada sebuah perguruan tinggi di kota itu, berlatar belakang pendidikan luar negeri. Ibunya asli Surabaya yang juga pernah sekolah di mancanegara. Cynthia masuk IPB tanpa test karena dia mendapat PMDK. Dari tataran ini saja berbeda jauh denganku. Untuk dapat diterima di IPB aku mesti menempuh ujian, yang hasilnya boleh dibilang pas-pasan.

Tetapi aku tidak perlu rendah diri bergaul, mengakrabi, atau bahkan mencintainya. Gadis intelek macam Cynthia tentu tidak berpikiran picik. Baginya, pergaulan dan

Page 155: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 153

percintaan sejati bisa menghapus jarak strata sosial, strata intelektual, dan strata lainnya. Dari rasa simpati lama-lama aku memang jatuh cinta kepadanya. Dan kalau dia membalas cintaku, bukan karena ingin menolongku dari kejatuhan. Tampangku boleh dibilang ganteng dan simpatik, di samping aku memang dikenal pinter merayu.

Usia Cynthia dua tahun lebih muda dari usiaku. Namun kematangannya berkesan dia lebih tua dua tahun dariku. Berpacaran dengan Cynthia jauh bedanya dari berpacaran dengan Harefa. Dengan Harefa, aku bisa begitu perkasa. Tetapi, dengan Cynthia, diriku justru kelihatan lembek. Segala inisiatif dan keputusan lebih banyak datang darinya. Walau begitu, aku tidak merasa malu atau rendah diri. Aku justru menemukan kebahagiaan tersendiri.

Kawan-kawan boleh iri melihat aku dapat menggaet cinta seorang mahasiswi cantik, pintar dan cerdas, dari fakultas yang menurutku paling bergengsi. Ya, fakultasnya memang sering dianggap paling menjanjikan hari depan. Keberhasilanku merebut cintanya merupakan kebanggaan yang tak terkirakan.

Cynthia yang mendekati genius ini memang Mengagumkan. Dia masuk SD pada usia enam tahun, dan menamatkan SMA-nya pada usia tujuh belas tahun. Ketekunannya belajar dan menambah pengetahuan membuatnya dikenal sebagai kutu buku. Ibaratnya, di kamar mandi pun sambil membawa bacaan. Etosnya membangun hari depan begitu tinggi seolah-olah dunia akan kiamat besok pagi.

Page 156: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

154 | Nadjib Kartapati Z

“Kupikir kamu terlalu menyiksa diri, Cynthia. Keindahan masa remajamu hilang tersita oleh kesibukanmu belajar,” komentarku, pada suatu hari. Dalam hal ini aku memang sering dirugikan.

“Apa semua ini mengganggu kemesraan kita?”

“Paling tidak waktu untuk bermesraan menjadi berkurang.”

“Nah, itu suatu bukti bahwa orientasimu cuma pada kuantita. Apa artinya banyak waktu bermesraan kalau intensitas kemesraan itu rendah? Sebaliknya, akan lebih berarti waktu yang sedikit kalau intensitas kemesraan itu tinggi.”

“Lebih baik lagi waktunya banyak dan intensitasnya tinggi.”

“Impossible! Bermesraan terlalu sering juga cepat membosankan. Itu hukum kehidupan.” sanggahnya. “Dan lagi, ketekunanku belajar sangat bermanfaat untuk masa depan.”

“Kamu ingin menjadi wanita karier?” tanyaku.

“Ya! Apa kamu keberatan?”

“Oo, tidak! Aku menyukai wanita karier.”

“Bagus! Oleh sebab itu tidak beralasan kamu merasa terganggu oleh kesibukanku belajar. Ilmu pengetahuan tidak datang dengan sendirinya, Prab. Zaman sekarang manusia tidak lagi bisa berharap turunnya wahyu. Wahyu dari langit sudah terhalang polusi,” kata Cynthia berseloroh.

Page 157: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 155

Praktis kami hanya bisa bermesraan pada malam Minggu. Itu pun cuma duduk bersanding, menikmati keindahan bulan dan bintang-bintang, sambil berbicara soal cinta, hari depan, dan kehidupan berumah tangga. Jangankan aku sempat menciumnya, meremas jemarinya pun hanya sesekali manakala dia berkenan. Cynthia selalu melawan kenakalanku, tidak seperti Harefa yang senantiasa memberikan kehangatan. Atas kenyataan ini, aku menjad bodoh menafsirkan arti intensitas yang sering diucapkan.

“Kemesraan itu bukan pada sentuhan badani yang didasari oleh nafsu seks. Tetapi, intinya lebih kepada kedekatan hati, Prab!” tutur Cynthia, lebih menyerupai seorang fi losuf daripada seorang kekasih. Itulah jawaban yang selalu saja diberikan.

“Ternyata kamu lebih kuno dari orang desa. Tidak kusangka gadis semoderen dirimu masih berpandangan seperti itu.”

Cynthia tertawa. Dia pukul bahuku dengan mesra.

“Bagaimana pandanganmu tentang budaya Barat yang mengabsahkan hubungan seks di luar atau pranikah?” tanyaku menjajaki pandangan hidupnya.

“Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Yang satu tidak merugikan yang lain. Bahkan ada hubungan saling membutuhkan. Ada komitmen pribadi yang merdeka...”

“Jadi kita belum sama-sama suka?” potongku tangkas. “Kita belum punya komitmen pribadi yang merdeka itu?”

Page 158: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

156 | Nadjib Kartapati Z

“Bukan belum punya, Prab. Masalahnya, aku belum ingin memberikannya sekarang.”

“Jadi kamu menyetujui budaya Barat itu?” kejarku.

“Tergantung dari sudut mana kita memandang. Selama tidak ada pihak yang dirugikan, sama-sama suka dan merdeka, secara hukum kemanusiaan sah-sah saja.”

Mendengar uraiannya, aku sempat tersentak. Tampaknya pengaruh kultur Barat sudah begitu mewarnai pandangan hidupnya. Ah, apa pun sikap dan pandangannya, toh aku harus menghargai. Aku tidak punya hak menindas nilai dan norma yang dipunyai. Yang penting Cynthia tetap jadi milikku, dan keberadaannya telah membangkitkan semangat dan daya hidupku. Itu sudah cukup buatku.

Begitulah, pada tahun yang sama kami berhasil menyabet gelar insinyur. Cynthia lulus dengan nilai memuaskan, sementara aku dengan nilai pas-pasan. Dan nasib yang kami terima kemudian pun berbeda. Cynthia segera diterima bekerja pada sebuah perusahaan food industries terkemuka di Jakarta. Dan aku, setahun lebih harus turun-naik bus kota sambil menenteng map berisi lamaran, keluar-masuk perusahaan dengan harap-harap cemas. Akhirnya aku mendapat pekerjaan di perusahaan makanan ternak. Itu pun atas bantuan Frans yang lebih dulu bekerja di sana. Frans memang lebih mujur. Sebab, salah seorang direktur pada perusahaan itu konon masih famili dekatnya.

Dua tahun kemudian aku dan Cynthia menikah. Sekalipun sudah menjadi suaminya—yang nota-bene sebagai kepala keluarga—toh aku merasa hampir dalam semua hal

Page 159: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 157

diriku lebih kecil dari Cynthia. Penghasilanku jauh di bawah penghasilannya. Jabatanku di kantorku jauh lebih rendah dari jabatannya di kantornya. Kondisi kongkret inilah yang secara berangsur-angsur membentuk perilaku tersendiri. Maka jadilah aku seperti yang sekarang ini: suami inferior.

Andaikata yang jadi istriku bukanlah Cynthia melainkan Harefa, pastilah lain kejadiannya. Ah, tapi gadis itu terlampau sulit untuk digapai. Sudah cukup lama sosoknya tersuruk di pojok beku kenangan.

***

Tiba-tiba, kini, di ruang tamu kantorku, aku berdua lagi dengan Harefa. Sesaat terasa seperti mimpi—aku bagai tak meyakini kenyataan ini. Kujabat erat tangan Harefa. Dia tersenyum, menebarkan daya magnetisnya. Dia datang pada saat aku kesepian. Aku tidak tahu ini karunia atau malapetaka.

“Belum lama aku seperti bertemu denganmu,” kataku.

“Di mana?”

“Dalam fi lem Gocha.”

“Ah, sanjungan yang berlebihan. Masak aku secantik Linda Florentino?’ tuturnya tersipu-sipu.

Hatiku jadi was-was. Aku celingukan ke kanan-kiri. Kalau Yudi dan Frans ikut mengetahui kedatangan Harefa, bisa kacau.

“Kenapa kamu tampak gelisah?”

“Nggak nyaman ngobrol di sini. Kita ke luar, yuk!” ajakku.

Page 160: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

158 | Nadjib Kartapati Z

Kami menuju ke sebuah restoran di kawasan Jalan Sabang. Siang yang sepi. Di ruangan ber-AC, lembut mengalun suara Leonel Richie lewat lagu Hello. Harefa memesan es alpokat, dan aku meminta bir hitam. Suasana yang menghanyutkan, waktu seakan mundur sepuluh tahun ke belakang.

“Sudah berapa anakmu?” tanya Harefa

“Dua. Kamu?”

Dia menunduk seraya menggigit bibir bawahnya. Beberapa detik kemudian dia menengadah, lalu berkata, “Suamiku tidak menginginkan anak. Aku sedih, Prab. Jangan tanyakan itu!”

“Di mana suamimu sekarang?”

Harefa menggelang. Pandangannya tiba-tiba meredup.

“Sorry,” kataku.

“Tidak apa.” Sejenak dia terdiam. Lantas, “Aku tahu nomor telepon kantormu dari Astuti. Masih ingat Astuti, ‘kan? Dia bilang, istrimu alumnus IPB juga. Kamu tidak ingin memperkenalkan dia padaku, Prab?”

“Sekarang dia sedang tugas belajar di luar negeri.”

“Oh!” serunya tertahan. “Di sini kamu hanya bersama anak-anak?”

Aku mengangguk. Tidak ingin aku merusak kesyahduan ini dengan menyebut-nyebut nama Cynthia. Bir dingin kutenggak. Suara Leonel Richie lenyap, dan musik pun diganti dengan irama jazz. Suasana lebih mendayu sanubari.

Page 161: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 159

“Apa kamu tidak kesepian ditinggal istrimu?”

“Itu bukan pertanyaan. Kamu tahu bagaimana lelaki, ‘kan?”

“Jadi kita bertemu dalam keadaan sama-sama sendiri?”

“Ha?”

“Aku terjebak semacam kawin kontrak dengan pria asing, Prab. Nggak perlu kusebutkan dia dari negara mana, nanti malu. Setelah lima tahun jadi istrinya, aku dicampakkan. Proyeknya di Balikpapan selesai, dia lalu kembali ke negerinya. Ternyata aku ditipu. Di sana dia sudah beranak-istri. Pantas dia nggak mau punya anak dariku...”

Dengan suara lirih dan tersendat-sendat, Harefa menceritakan kisah hidupnya. Dulu, dia meninggalkan kuliah karena dipanggil ayahnya untuk disekolahkan di luar negeri. Tetapi dia menolak karena merasa tidak mampu. Dia mengakui otaknya terlalu lemah menerima pelajaran. Itulah sebabnya, dia tak mau kembali lagi ke kampus. Tiga tahun dia menganggur, dengan sesekali belajar membantu bisnis ayahnya. Akan tetapi, dia dimusuhi oleh ibu tirinya ketika ia berpacaran dengan famili dekat si ibu tiri itu. Konfl ik pun memuncak. Harefa tidak tahan, lalu kabur dari rumah. Dia putuskan hubungannya dengan sang kekasih. Dia menyendiri, tinggal di tempat kost. Dia hidup secara acak-acakan. Ayahnya mencemaskan keadaannya. Diajaklah dia ke Kalimantan Timur untuk ikut mengawasi proyek di sana. Kata Harefa, di sana ada sebuah proyek raksasa yang mempunyai beberapa bagian berupa proyek-proyek kecil. Ayahnya menangani salah satu proyek kecil tersebut. Di

Page 162: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

160 | Nadjib Kartapati Z

sana dia berkenalan dengan seorang pria asing yang katanya sebagai staf ahli pada proyek raksasa itu. Dia jatuh cinta, lalu kawin. Bersama pria asing itu dia sempat hidup bahagia.

Namun, kata Harefa pilu, “Dia meninggalkan aku begitu saja. Di tanah airnya dia kembali hidup damai bersama anak-istrinya. Jarak antara masa lalunya dengan kenyataan yang dihadapi kemudian begitu jauh, jauh sekali, sehingga mempercepat proses penguburan semua kenangan. Tapi aku? Kenangan itu tetap merajut hati, mewarnai seluruh kehidupanku...”

Aku menghela napas dalam-dalam. Kutatap wajah Harefa sebagai potret penderitaan wanita Sunda.

“Kenapa dulu kamu tidak berkabar padaku, Refa?” tanyaku.

“Aku mencintaimu, Prab. Tapi aku takut pada keseriusanmu ingin mengawiniku. Entahlah, waktu itu aku benar-benar takut kawin...”

“Dengan begitu kamu sengaja lari dariku?”

“Maafkan kalau aku telah melukaimu. Kamu mau memaafkan aku, bukan, Prab?”

Aku mengangguk. “Yang sudah biarlah berlalu,” desisku.

“Motto yang bagus,” ucap Harefa tegas. Dia tersenyum manis. Gurat kesenduan sirna dari wajahnya. “Aku gembira bisa bertemu kamu, Prab. Sungguh nggak kuduga.”

Page 163: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 161

“Ya, bertemu dalam keadaan sama-sama kesepian. Dengan demikian kita bisa saling membunuh kesepian itu, bukan?”

“Ah, kau! Badung-mu masih juga belum sembuh.”

***

Kehadiran Harefa tiba-tiba menumbuhkan tenaga baru dalam diriku. Semangatku yang nyaris padam mendadak kembali berkobar-kobar. Pikiranku menjadi jernih, dalam pengertian tidak lagi kusut. Dalam benakku hanya boleh ada satu nama: Harefa! Tak ada tempat bagi yang lain, tak terkecuali bagi Erik dan Nanda, apalagi Cynthia. Sebab, nama-nama itulah yang selama ini bikin kepalaku nyaris pecah. Biarlah mereka kutepiskan sementara waktu, toh yang menjadi biang dari semua ini adalah Cynthia, bukan aku!

Lima hari kemudian, sepulang kantor kutemui Harefa di rumahnya, di pinggiran kota Jakarta. Dia hidup hanya dengan seorang pembantu. Rumahnya tidak besar, tetapi asri dan tenang. Di halaman ada pohon jambu, aneka macam bunga dan tanaman hias. Dengan pagar setengah tembok setengah besi—dengan ukuran cukup tinggi—rumah itu menjadi agak tersembunyi. Rumah itu, katanya, dia beli dengan hasil tabungannya selama jadi istri orang asing.

“Kamu telah membuatku seperti hidup kembali,” kataku.

“Apa selama ini kamu tidak hidup?”

“Selama istriku ke luar negeri, aku merasa mati tidak hidup pun tidak. Kemunculanmu telah memberiku daya hidup, Refa.”

Page 164: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

162 | Nadjib Kartapati Z

“Merayu ya?” ucapnya setengah tersenyum.

“Merayu pun tak apa, asal yang dirayu senang.”

Harefa meledakkan tawanya. Renyah dan merdu. Tanpa sungkan-sungkan aku membuang tubuh ke sofa, menelentang dengan melonjorkan kaki serilek mungkin. Rasanya keletihanku lenyap seketika.

“Seseorang adakalanya berlaku aneh,” kataku, entah untuk apa. “Suatu saat bisa merasa letih dan tua, tetapi saat yang lain merasa segar dan muda kembali. Kamu sependapat, bukan?”

“Kamu ingin mengatakan dirimu muda kembali setelah bertemu denganku?”

“Lebih dari itu, Refa,” jawabku seraya bangkit. Kupandangi wajah Harefa dalam-dalam. “Sekarang aku merasa benar-benar menjadi lelaki!”

“Mana mungkin aku percaya?”

“Kamu ingin membuktikannya?”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

Bagai kesurupan setan aku meloncat menghampiri Harefa. Kupeluk tubuhnya kuat-kuat, lalu kuciumi pipi dan lehernya. Dia meronta dan memukuli tubuhku. Dengan napas megap-megap dia berseru, “Gila kau, Prab! Hentikan cara brutal ini!”

Aku tetap tak peduli. Dekapanku makin kuketatkan. Harefa memberontak, mendorong tubuhku sekuat tenaga.

Page 165: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 163

Aku terhuyung ke belakang dan lalu terhenyak di kursi. Napasku menjulang-hempas. Luruh satu-satu.

“Aku brutal, tapi itulah pemberontakanku,” ucapku lirih, seperti tertuju kepada diri sendiri. “Aah, ternyata aku bukan lelaki yang teguh. Hatiku bukan batu. Yaah, betapa absurd hidup ini! Maafkan, mungkin aku sudah sinting, Refa. Sintiiingg!”

Aku terkulai di sandaran kursi. Napasku terengah-engah bagai seorang pelari maraton yang kalah. Harefa memandangiku dengan tatap mata aneh. Tak ada kemarahan terpancar dari wajahnya.

“Tampaknya selama ini jiwamu tertekan, Prab. Dan kamu ingin memberontak,” ucapnya perlahan. “Tapi kenapa aku yang harus menjadi sasaran pemberontakanmu?”

“Maafkan aku, Refa! Gunung berapi dalam dadaku sudah mulai memuntahkan lahar. Dan kaulah anak sungai tempat mengalirnya lahar itu.”

“Tapi tidak dengan cara brutal, Prab!”

Aku mendesah. Kuletakkan kepalaku di sandaran kursi, dan kutatap ornamen-ornamen kecil pada eternit. Oh, Harefa! Jiwaku terguncang oleh kehadiranmu. Terali hati yang lama patah itu seakan hendak tersambung lagi. Inikah isyarat hadirnya “orang ketiga” dalam kehidupan keluargaku? Ah, persetan dengan semua itu!

“Aku lapar, Refa,” kataku tiba-tiba. “Yuk, kita ke luar cari makan?”

“Mandi dululah kamu, Prab, biar lebih segar,” pintanya.

Page 166: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

164 | Nadjib Kartapati Z

Malam ini kami menikmati keriuhan Jakarta. Seusai makan kami bersepakat nonton fi lem Falling in Love yang dibintangi Meryl Streep dan Robert de Nero. Di luar dugaan, fi lem itu malah menjadi semacam sumber ilham bagi hati kami yang kering-kerontang. Segala yang kami perbuat seperti mendapat pembenaran dari fi lem tersebut.

Tiba di rumah Harefa menjelang pukul dua belas malam. Dia menawariku tidur di rumahnya. Ingin hati memenuhi tawaran itu, namun entah kenapa aku berkata, “Ah, tidak enak dengan lingkungan. Mobilku di depan pagar tampak mencolok. Lain waktu sajalah.”

Sebelum mohon diri, kusentuh dagu Harefa. Wajahnya diangkat setengah tengadah, dan kedua matanya terpejam. Ah! Sesaat sebelum kukecup bibirnya, bayangan wajah Cynthia menyambar ingatanku. Bedebah! Degup jantung hampir tidak bisa lagi kukuasai. Aku sempat tegang. Harefa membuka matanya kembali, dan menatapku heran.

“Kenapa, Prab?” bisiknya.

Aku menunduk. Wajah istriku masih membayang-bayang, seolah dia datang memperingatkanku. Ah! Aku juga tidak bakal tahu apa yang diperbuat Cynthia di Eropa. Siapa tahu dia lebih gila dariku? Mendadak kecemburuanku muncul menguasai. Tanpa pikir panjang, kuangkat lagi dagu Harefa. Dan tanpa menunggu dia memejamkan mata, kulabuhkan bibirku pada bibirnya. Kulumat dalam-dalam.

Sejak itu, sesuatu yang pernah patah tersambung lagi. Hubunganku dengan Harefa kian menjadi-jadi. Tak perlu lagi kuurai panjang-lebar. Setiap orang yang sudah boleh disebut

Page 167: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 165

dewasa pasti akan tahu sendiri. Apa yang akan diperbuat oleh dua insan dewasa berlain kelamin, yang pernah saling jatuh cinta, bertemu kembali dalam suasana kesepian, dan dalam kesempatan yang sebebas-bebasnya? Lebih-lebih yang wanita sedang memendam luka, dan yang pria tengah dibakar dendam kecemburuan.

Tetapi, tunggu dulu! Sejauh mana pengkhianatan yang kulakukan terhadap istriku, perlu diberi nilai tersendiri. Suatu malam, aku dan Harefa sedang dibakar birahi. Di atas tempat tidur kami bergumul. Dengan napas mendengus-dengus dan peluh berleleran, kami mencoba memuntahkan api birahi yang terpendam selama ini. Tiap kali muncul bayangan Cynthia, istriku, tiap kali itu pula kuhalau dengan prasangka burukku: bahwa di Inggris dia berbuat lebih seru!

Pada puncak kenekatanku, tiba-tiba Harefa menahan, “Jangan lakukan yang satu itu, Prab! Jangan!”

Gerakanku terhenti. “Kenapa?” tanyaku.

“Kita sudah terlampau jauh. Tapi aku belum tahu, atas dasar apa kita lakukan semua itu.”

Aku terkulai di sampingnya. Pertanyaaan Harefa menyodok hati nuraniku. Sepercik cahaya moral seakan tengah menggugat. Aku melenguh.

“Kalau dasarnya sekadar iseng, aku menolak, Prab!” ucap Harefa, bergetar. “Aku sudah cukup menderita, dan tidak ingin menambah penderitaan lagi. Luka lamaku belum lagi sembuh.”

“Kamu takut akibatnya?”

Page 168: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

166 | Nadjib Kartapati Z

“Ya, tapi tidak sekadar akibat lahir. Aku tidak mau bingung. Aku tidak mau terjerat dalam ikatan yang bukan hakku.” Sambil berkata begitu Harefa membenahi pakaiannya yang acak-acakan. Dia lantas turun dari tempat tidur, meraih segelas air putih di meja kamar dan langsung menenggaknya sampai habis.

Aku mengikutinya bangkit, duduk di sisi ranjang.

“Tapi kenapa selama ini kamu mau kucumbui?” tanyaku.

“Aku hanya mau sebatas itu. Ibarat berjalan di lumpur, kaki kita cuma terbenam sebatas betis. Jangan benamkan lebih dalam lagi, Prab!”

“Banyak orang bilang, kalau mau jadi maling jangan tanggung-tanggung. Sekalian yang kelas kakap.”

“Yah, aku cukup jadi maling kelas teri saja. Sebab, aku takut diancam hukuman berat,” tukas Harefa tangkas.

Tampaknya Harefa menyadari bahwa aku bukan haknya. Dan dia tidak mau merampas hak orang lain. Namun, dia tetap mengharapkan kedatanganku. Dia tetap mengharapkan sentuhan-sentuhanku. Dia tetap memberikan kehangatan yang membakar. Tetapi satu hal dia menolak keras: hubungan suami-istri. Dan masa-masa berikutnya tetap kami isi dengan kemesraan. Sebagai maling kelas teri, katanya, dia punya kepentingan mengekspresikan rasa cintanya kepadaku. Di lain pihak, aku punya kepentingan menumpahkan dendam kecemburuanku terhadap istriku, Cynthia Damayanti.

Tidak terasa, tugas belajar Cynthia tinggal dua bulan lagi. Itu artinya kebebasanku bertualang akan segera berakhir.

Page 169: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 167

Karena itu, belakangan aku makin tidak peduli. Jarang sekali aku pulang ke rumah. Erik dan Nanda tidak kupantau lagi. Tak mengapa, toh sudah ada eyang-nya.

***

Suatu malam aku pulang. Ibu menampakkan sikap kurang senang. Dia bertanya panjang-lebar mengenai diriku. Pertanyaannya lebih berkesan mengusut. Aku menjawab sekenanya, dan agak berbelit-belit. Naluri keibuannya seperti membaca kebohongan putranya. Dia lalu bernasihat banyak tentang moral, tentang tanggung jawab seorang suami, tentang kewajiban seorang bapak, dan sebagainya, dan sebagainya.

“Rasanya orang tuamu tidak pernah mendidikmu seperti itu, Agus,” tutur Ibu yang sejak kecil memang memanggilku Agus. “Semenjak Ibu muda, tepatnya semenjak menjadi istri ayahmu, Ibu tidak pernah melihat ayahmu keluyuran. Apalagi sampai berhari-hari begitu. Waktu kamu kecil, Ibu pernah sakit serius dan tetirah di rumah orang tua, di rumah eyang-mu cukup lama. Toh begitu ayahmu tidak pernah meninggalkan anak-anaknya meskipun semalam saja. Dia justru merasa dituntut untuk tetap di rumah menunggu anak-anak. Siapa yang mengajarimu seperti itu?”

Aku cuma diam. Nuraniku menggugat.

Esoknya kusantuni Erik dan Nanda dengan keramahan dan kasih sayang. Mereka memandangiku dengan tatap muka aneh, seolah-olah diriku telah menjadi orang asing. Tuhan! Setelah mereka melupakan ibunya, kini mereka seperti tidak

Page 170: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

168 | Nadjib Kartapati Z

mengenali lagi bapaknya. Keduanya tiba-tiba tampak begitu pucat dan kurus. Kelincahan mereka raib entah ke mana. Mata mereka tak lagi bercahaya. Perasaan berdosa tiba-tiba mengorakku.

“Tumben Papa bangun pagi,” kata Erik.

“Iya, semalam Nanda dikeloni di lanjang,” sahut adiknya.

“Papa kangen sama kalian. Maafi n Papa ya. Papa sibuk terus.”

“Erik nanti terima rapor, Pa,” kata Erik. “Rapor kenaikan kelas.”

Ya, Tuhan! Ayah macam apa aku ini sampai tidak tahu saat kenaikan kelas anaknya? Sekali lagi jiwaku ditindih rasa berdosa.

Saat mobil jemputan datang, Erik merangkulku dan membisikkan sesuatu. Ia minta diajak ke pantai kalau naik kelas. Aku mengangguk mantap. Ia tersenyum lalu mencium pipiku.

Hari ini aku sengaja tidak masuk kantor. Dengan keikhlasannya sendiri Ibu bersedia datang ke sekolah untuk mewakiliku. Aku ingin menyaksikan anakku pulang sekolah dan mempersembahkan rapornya kepadaku. Aku ingin melihat hasilnya.

Menjelang siang, Erik berlari masuk rumah. Ia menemuiku di ruang tengah. Ia berdiri tegak di hadapanku. Tangannya memegangi buku rapor. Ia tidak segera memberikannya kepadaku. Sinar matanya sayu. Wajahnya menggambarkan

Page 171: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 169

kelesuan. Aku tersentak sambil menduga: Erik pasti tidak naik kelas! Buku rapor cepat-cepat kusambar dari tangannya.

“Alhamdulillah,” ucapku lega. Erik naik ke kelas dua, namun nilai rapornya dinodai oleh dua angka merah. Ini prestasi terburuk yang pernah dicapainya. Dan ini—terus-terang kuakui—sebagai akibat dari kegilaan orang tuanya. Aku hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin putra seorang ibu yang genius bisa punya dua angka merah? Betapa malu Cynthia melihatnya.

“Erik naik kelas, ‘kan?” kata anak itu. “Papa berjanji akan mengajak Erik dan Nanda ke pantai. Besok Minggu ya, Pa?”

“Ya, ya, besok Minggu kita ke pantai, Erik,” sambutku seraya mendekap tubuhnya. Kubopong anak itu ke tempat tidur. Kucium dan kugumuli sepuas mungkin. Oh, betapa teganya aku sekian lama tak pernah mengajak anakku rekreasi, sekadar ke pantai sekalipun. Sementara hampir tiap hari aku membawa Harefa ke tiap sudut kota Jakarta.

Sial! Itulah yang terjadi. Hari Sabtu pukul sebelas siang Hareta meneleponku di kantor. Dia memintaku segera datang ke rumahnya seusai kerja. Begitu tutup kantor aku langsung meluncur ke rumahnya.

“Prab, antarkan aku ke Sukabumi! Ibu sakit, Prab,” pinta Harefa dengan wajah sengsara. Dia tampak begitu panik dan gugup.

Aku terbengong. “Cuma ngedrop saja, ‘kan?” tanyaku.

Page 172: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

170 | Nadjib Kartapati Z

“Terserah kalau kamu tega. Mauku sih kamu ikut bermalam di sana. Kalau cuma sakit ringan, Minggu pagi kita balik ke Jakarta.”

“Minggu pagi aku punya...”

“Kamu mengelak di saat kubutuhkan. Baiklah! Aku memang tidak punya hak apa-apa atas dirimu,” sambar Harefa dengan wajah keruh.

“Sungguh aku punya tugas penting, Refa!”

“Yah, memang ini bukan kebutuhanmu. Kalau lagi butuh tentu kamu tidak seperti itu,” sindir Harefa dengan nada sarkastis.

Aku diam dan menurut. Di sinilah titik pusat kelemahanku. Dahulu aku bisa perkasa atas Harefa, kini tidak kurang lembek dari bubur. Dengan sadar aku telah melakukan kejahatan moral yang mungkin tidak termaafkan. Erik dan Nanda—dua anakku yang tak berdosa—yang rindu akan keindahan alam pantai, aku korbankan secara amat kejam. Semua itu kulakukan demi Harefa—seorang janda bekas kekasihku—yang tak memiliki hak apa-apa atas diriku, hanya karena dendam kecemburuanku terhadap istriku di Eropa.

Kami tiba di Sukabumi senja hari. Sakit ibu Harefa tidak seimbang dengan kepanikan putrinya. Menurutku, perempuan tua itu hanya terserang fl u meski agak serius. Kondisinya memang cukup lemah lantaran tubuhnya yang kurus pipih itu tak mendukung. Harefa, sekali lagi, meminta

Page 173: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 171

setengah paksa agar aku menginap di rumah orang tuanya. Dan aku tidak bisa menolak.

Pada malam harinya Harefa malah lebih memperhatikan diriku daripada ibunya. Dia tampak lega ketika dokter mengatakan bahwa sakit ibunya tidak mengkhawatirkan.

“Baru sekarang ini kita pergi ke luar kota. Tidak tahu kenapa, rasanya memang lain,” tutur Harefa dengan manja.

“Ini baru di rumah ibumu,” kataku. “Mungkin akan lebih mengasyikkan lagi kalau kita pergi ke Bali.”

“Bali? Aha! Betapa menyenangkannya! Seumur-umur aku memang belum pernah melihat Bali. Kamu mau membawaku ke sana, Prab?”

Kata-kataku yang sebenarnya asal ngucap saja itu ternyata dianggap serius oleh Harefa. Dan tiba-tiba aku ikut berminat. Betapa asyiknya plesiran ke Bali bersama Harefa? Sadar bahwa petualanganku hampir berakhir, aku cepat-cepat menyatakan hendak mengajaknya ke Pulau Dewata itu.

“Aku akan mengambil cuti untuk acara itu, Refa,” gumamku.

Harefa terlonjak kegirangan. Serta-merta dia mencium kedua pipiku. Aku luluh dalam perlakuannya yang lembut dan manja, yang mesra dan hangat. Dia berlaku seperti terhadap suaminya. Namun, besok pagi, di sana, di rumahku, Erik dan Nanda sia-sia menunggu bapaknya. Keindahan alam pantai hanya akan ditemui dalam khayalan.

Aku gundah-gulana semalam suntuk.

Page 174: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

172 | Nadjib Kartapati Z

Minggu siang keesokannya aku baru tiba di Jakarta. Hatiku bimbang untuk langsung pulang ke rumah. Perasaan berdosa demikian mengorakku—berdosa terhadap anak-anak. Untuk sedikit mengurangi dosa itu, aku membelikan Erik dan Nanda mainan dan buah-buahan.

Tidak kubayangkan sebelumnya kalau ternyata ingkar janji yang kulakukan itu berakibat buruk bagi Erik. Anak itu seperti terpukul. Ia membisu ketika aku datang. Oleh-oleh yang kupikir bisa menetralisir keadaan ternyata tidak mampu berperan apa-apa. Mainan mobil yang digerakkan oleh remote control itu tidak disentuhnya sama sekali, bahkan dilihat pun tidak. Kalau kutanya, Erik hanya menggeleng atau mengangguk. Mulutnya seolah-olah dilarang mengeluarkan kata-kata.

“Maafkan Papa, Erik,” kataku merayu. “Papa ada urusan mendadak. Erik nggak apa-apa, ‘kan? Minggu depan deh kita ke pantai. Erik mau, ‘kan?”

Erik tidak menjawab. Pandangan matanya lurus ke depan, kosong tak bercahaya. Nanda, adiknya, tampak ikut-ikutan ngambek. Meskipun ia mau menerima boneka dariku, anak itu juga enggan bicara. Kecerewetannya entah dibuang ke mana bisa tiba-tiba raib. Aku merasa sedang diberontaki oleh kedua anakku.

“Bohong kepada anak kecil sungguh tidak terpuji,” tutur Ibu dengan suara menekan. “Apalagi itu dilakukan oleh ayahnya sendiri. Jangan ajari anak kecil berbohong. Berilah mereka contoh yang baik.”

Page 175: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 173

“Aku tidak sengaja berbohong, Bu. Semua kulakukan karena terpaksa,” dalihku dengan menjelaskan bahwa aku mendapat tugas ke luar kota secara mendadak.

“Tapi kesalahanmu sudah terlalu banyak, Agus. Kamu pikir anak-anak itu tidak bisa merasakan? Mereka merasa selama ini kamu tidak akrab lagi dengan mereka.”

“Tapi tugas dari kantor itu juga tidak bisa kutolak, Bu.”

“Kebohonganmu tadi pagi itu cuma sebagai picu, Agus,” bantah Ibu. “Penyebabnya adalah sikapmu selama ini. Andaikata kamu tetap mesra kepada meaka, peristiwa tadi pagi bukan apa-apa.”

Aku tertunduk. Rasa berdosa tetap berkelejatan dalam hati.

“Mestinya kamu lebih banyak di rumah. Menghibur mereka. Betapa kasihannya mereka. Sudah ditinggal ibunya, malah diacuhkan oleh bapaknya.”

“Kupikir mereka sudah terhibur karena ada Ibu di rumah.”

“Kamu panggil aku kemari hanya agar kamu leluasa kelayapan? Sejak kapan anakku jadi hilang akal begitu?”

Sampai di situ aku tidak berani membantah. Kutemui Erik di tempat tidur. Dengan segala macam cara aku membujuknya, meski akhirnya sia-sia. Kuraba kening anak itu: terasa panas! Aku menyimpulkan bahwa anak itu sedang tak enak badan. Lalu aku berpikir bahwa kondisi kesehatannyalah yang menyebabkan ia lesu tak bergairah. Hatiku sedikit terhibur.

Page 176: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

174 | Nadjib Kartapati Z

“Bukan karena apa-apa,” kataku kepada Ibu. “Ternyata Erik sedang kurang sehat, Bu. Pantas ia lesu. Ini harus ke dokter!”

Ibu lantas menghampiri Erik, ikut-ikut meraba keningnya. Selebihnya, Ibu mendekap cucunya dengan kasih sayangnya yang teduh.

***

Surat Cynthia datang lagi. Tidak ditulis dengan tangan, tetapi dibuat dengan komputer. Isinya singkat namun lebih memukul perasaanku. Setelah sedikit berbasa-basi—suatu hal yang tak biasa dilakukan—Cynthia menulis, “Tugasku sudah sembilan puluh sembilan persen selesai. Bukan tidak mungkin aku bisa pulang lebih awal dari yang ditargetkan. Tapi entah kenapa, ada rasa berat meninggalkan Inggris yang hampir satu tahun ini memberikan kegairahan padaku. Kawan-kawanku di sana juga menyesali rencana kepulanganku, Prab. Ah, semuanya terasa hanya sekejap. Perpisahan memang selalu memilukan...”

Bedebah! Aku tidak sanggup melanjutkan membaca. Surat kubanting. Hati lelakiku terbakar. Sungguh sinting. Tiap kali aku mulai insyaf, tiap kali itu pula surat Cynthia datang dan membuat hatiku kembali membatu. Mencemburui Cynthia sama artinya dengan menghadirkan Harefa dalam hati. Tiba-tiba perempuan itu seperti memanggil-manggil. Dan hatiku hanyut dalam panggilannya.

Aku kembali larut dalam petualangan asmara bersama janda itu. Rasa berdosa akibat membohongi Erik tidak

Page 177: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 175

mengubah tingkah-lakuku. Hati nuraniku seakan tertimbun lumut busuk, terselimuti kabut kelelakianku yang panas akibat cemburu.

“Kamu sudah mengajukan cuti?” tanya Harefa pada suatu hari.

“Sudah,” jawabku.

“Kita jadi ke Bali?”

“Kenapa tidak?”

“Good!” katanya seraya mencium pipiku.

Keputusanku sudah bulat: berlibur ke Bali bersama Harefa. Sebab, bukan tidak mungkin hubunganku dengannya akan berakhir begitu istriku kembali ke tanah air. Yah, hitung-hitung kepergianku ke Bali bersamanya itu merupakan babak akhir petualanganku. Toh balas dendam kecemburuanku sudah lunas. Dengan demikian hatiku bisa tenang dan tidak peduli terhadap apa pun yang dilakukan Cynthia di Inggris yang—boleh jadi—lebih mengerikan.

Satu hal yang membuat perasaanku kurang tenang di saat pergi ke Bali adalah keadaan Erik. Anak sulungku itu tampak kurang sehat. Ia sempat beberapa kali menanyakan ke mana aku hendak pergi, seakan-akan dengan cara itulah ia bisa melarang bapaknya. Namun sayang hatiku sudah kadung tersaput kabut tebal.

***

Pantai Kuta yang memabokkan. Rayuan penjaja dan para pemijit yang menawarkan jasanya, para bule berpakaian

Page 178: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

176 | Nadjib Kartapati Z

minim yang menunggu matahari terbenam, begitu baur ditingkah semilir angin dan ombak laut yang lunak. Pemandangan yang asing di mataku, bagaikan labirin senja di negeri jauh.

Oo, betapa indahnya the last-sunset! Cakrawala barat bermandikan cahaya merah jingga. Horison seakan membara dengan titik pusatnya pada sang mentari yang bulat bagai bola api. Semua itu tampil sebagai pesona alam yang menakjubkan. Aku dan Harefa duduk di pasir berhimpitan. Kami saling diam. Terpaku. Tanpa kata tetapi terasa penuh makna.

Lama kami tercekam hingga matahari ditelan ufuk. Tiba-tiba Harefa berpaling menatapku. Pada bola matanya kutemukan galau hati dan hasrat birahi yang berkobar.

“Apa artinya semua ini?” bisiknya hampir tak kedengaran. “Kenapa tiba-tiba kita terpelanting dalam petualangan yang kusut?”

Aku tersenyum. Entah apa artinya.

“Petualangan yang tanggung,” kataku sambil menggenggam telapak tangannya. “Petualangan kelas teri!”

“Karena kita tidak pernah bersebadan?”

“Ya! Itu pun mungkin akan segera berakhir. Petualangan sementara. Sekejap seperti mimpi...”

“Mungkin! Tapi toh tetap sah disebut pengkhianatan.”

“Apa pun katamu, Refa. Toh kita sadar dalam melakukannya.”

Page 179: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 177

“Oh ya, kapan istrimu kembali?” tanya Harefa berbelok.

“Bulan depan kalau menepati target.”

“Harefa menunduk. Seakan ada rasa getir di hatinya.

“Ya, mungkin ini petualangan kita terakhir,” ucapnya pelahan, seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.

Ubud yang penuh sihir. Di sini lahir para seniman tradisional yang dibimbing oleh naluri. Alam sebagai guru. Mata batin sebagai sinarnya. Intuisi penggeraknya. Penghayatan adalah inti ruh kesenimanan mereka. Aku dan Harefa terkagum-kagum menyaksikan keindahan karya seni yang dihasilkan. Mereka bekerja penuh dengan pengabdian, kesetiaan, dan juga kejujuran.

“Bali memang mempesona,” kata Harefa. “Kamu pernah mengajak istrimu kemari?”

“Tidak. Kenapa?”

“Apa aku lebih berarti dari istrimu?”

“Hanya karena kamu kuajak kemari?” jawabku balik bertanya.

“Istri tidak pernah dibawa, malah orang lain yang diajak.”

“Untuk sekarang ini, kamu lebih berarti daripada istriku yang berada di negeri orang. Tapi maukah kamu berhenti menyinggung-nyinggung istriku? Tolong jangan kamu rusak suasana indah ini dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Refa!”

Harefa tersenyum namun tidak kupahami artinya.

Page 180: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

178 | Nadjib Kartapati Z

Di hotel kami tidur satu kamar. Dan apa pun boleh kami lakukan kecuali satu: bersebadan. Orang boleh tidak percaya, tetapi itulah kenyataannya. Justru itulah yang aku sendiri selalu gagal memahami.

Pura Besakih yang penuh mistis. Lengang dan mencekam. Pura ini hanya ramai seratus tahun sekali ketika berlangsung Upacara Eka Dasa Rudra. Pada saat itu, umat Hindu berdatangan dari segala penjuru dunia. Seperti di Ka’bah setahun sekali bagi umat Islam.

Menatap pura itu bagai menatap alam hening dari negeri asing. Sejak tadi Harefa menggelendot, menggayuti lenganku. Dia seakan dicengkeram oleh kekuatan gaib, merasa kecil dan takut.

“Prab, sekarang ini kamu seperti menjadi milikku sepenuhnya,” bisik Harefa di permukaan telingaku.

“Sama,” jawabku singkat.

“Tapi aku sadar, Prab, lusa harus melepaskanmu. Akankah kamu tetap seperti sekarang setelah istrimu pulang nanti?”

“Sudah kubilang, jangan sebut istriku lagi!”

“Maaf, Prab. Tapi rasanya penting bagiku untuk mengutarakan semua ini. Hatiku mulai bimbang dan gelisah. Aku tak bisa lain kecuali melepaskanmu. Tahukah kamu, tiap hari aku dihantui perasaan berdosa sejak pertemuan kita kembali ini. Aku tidak ingin melukai hati istrimu. Andaikata aku punya suami, juga tak kuizinkan suamiku membagi cintanya kepada perempuan lain...”

Page 181: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 179

Tiba-tiba Harefa menangis. Aku paham, dia sedang diperingatkan oleh hati nuraninya—hati nurani wanita. Ternyata aku juga merasa ikut tidak enak.

Dan aku, sebagai seorang suami juga punya hati nurani. Akankah aku merasa berdosa? Ah! Apa artinya memusingkan dosa kalau semua itu dilakukan secara sengaja? Namun, perubahan sikap Harefa itu secara tidak terelakkan membuat hatiku menjadi tidak tenang. Liburan di Bali menjadi cemplang. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingat Erik yang waktu kutinggalkan dalam keadaan kurang sehat. Rencana sepuluh hari di Bali batal menjadi cuma tujuh hari. Kami pulang dengan membawa renungan baru: renungan tentang arti petualangan ini.

***

Tiba di Jakarta aku tidak langsung pulang ke rumah, tetapi mengantarkan Harefa dulu ke rumahnya. Kalau sebelumnya mengunjungi rumah Harefa merupakan kesenangan yang tak terkirakan, kini sebaliknya. Aku merasakan kegelisahan yang amat sangat, seolah-olah ada sesuatu yang menungguku di rumah. Firasat apa ini? Sepanjang jalan dan Bandara ke rumah Harefa, aku tidak banyak bicara. Beberapa pertanyaan Harefa sering tidak kujawab.

“Tampaknya ada yang sedang kamu risaukan, Prab?” tanya Harefa.

“Entahlah, Refa. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di rumah,” jawabku. “Hati yang tidak enak kadang-kadang sebagai fi rasat. Kamu pernah mengalaminya, bukan?”

Page 182: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

180 | Nadjib Kartapati Z

“Pernah. Tapi tidak selalu.”

“Setelah mengantarkanmu sampai rumah, aku akan segera pulang, Refa. Maafkan kalau tidak bisa singgah lebih lama.”

“Tak apa. Cuma kalau ada apa-apa, tolong beri tahu aku!”

Tiba di rumah Harefa, pembantunya dengan gopoh menyambut kami. Perempuan tua itu memandangku dengan sorot mata bertanya-tanya. Hatiku kembali was-was.

“Jeng Astuti kemarin dulu kemari mencari Pak Prabu. Anak Pak Prabu masuk rumah sakit,” katanya.

Blas! Jantungku seakan copot dari gantungannya.

“Dari mana Astuti tahu?”

“Saya tidak tahu, Pak.”

“Diopname di rumah sakit mana?”

“Saya juga tidak tahu, Pak.”

“Sebaiknya kita ke rumah Astuti, Prab,” usul Harefa.

Aku tercenung. Anakku di rumah sakit? Erik ataukah Nanda? Sakit apa dia? Pertanyaan itu melingkar-lingkar dalam tempurung kepalaku. Kecemasan pun memuncak.

“Sekarang juga kita ke rumah Astuti, Prab!” ulang Harefa seraya menghentak.

“Jam berapa sekarang? Astuti ‘kan masih di kantor?”

“Rupanya kamu lupa, Prab, ini ‘kan hari Minggu?”

Page 183: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 181

“Oh,” ucapku tertahan. “Tapi apa tidak sebaiknya aku pulang saja? Toh nanti Yem juga akan memberitahuku.”

“Terserah. Tapi kalau sempat bertemu dengan Astuti, kupikir kamu bisa lebih dulu menyiapkan mental. Kamu juga bisa bertanya kepadanya dari mana dia mendapat berita itu.”

Aku bingung, tidak mampu berpikir mana yang lebih baik. Harefalah yang menentukan semuanya. Dan kami pun lantas menuju rumah Astuti.

Kawan lamaku itu baru membaca majalah ketika kami datang. Dia terlonjak melihat kami. Senyumnya masih seperti yang dulu, diikuti oleh lesung pada kedua pipinya.

“Ah, kayak pengantin baru saja, nih. Dari mana saja kalian pergi?” sambut Astuti seraya menjabat tanganku.

“Kamu bilang anakku masuk rumah sakit ya?”

“Jadi kamu belum tahu, Prab? Ayolah masuk dulu. Kita ngomong di dalam,” ajaknya sambil menarik lenganku.

Astuti tidak segera menceritakan soal anakku. Seakan menganggap tak penting. Dia juga tidak mau tahu terhadap kecemasanku.

“Kalian dari Bali ya? Asyik dong berbulan madu?”

“Aih!” pekik Harefa. “Jangan tafsirkan macam-macam, ah!”

“Aku kemari bukan untuk diledek, Tut,” kataku menengahi. “Kami memang dari Bali. Belum satu jam kami tiba di Jakarta. Kata pembantu Harefa, kemarin dulu kamu dari sana?”

Page 184: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

182 | Nadjib Kartapati Z

“Tiga hari lalu Frans meneleponku, Prab. Di kantor, katanya, ada dua berita penting untukmu. Yang satu dari rumah, memberitakan bahwa anakmu masuk rumah sakit. Yang kedua…” Astuti ragu melanjutkan kata-katanya. Dia memandangku sejenak, lalu menatap Harefa. “Pulang segeralah kamu, Prab!” lanjutnya.

Hatiku makin deg-degan. Tampak bahwa Astuti menyembunyikan rahasia, seolah berita itu tidak boleh didengar Harefa. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku berkata, “Ceritakan saja berita kedua itu, Tut! Tidak usah ragu-ragu!”

“Baik!” kata Astuti seraya melirik Harefa, seakan apa yang akan dikatakan itu tidak baik didengar oleh harefa. “Frans menerima interlokal dan istrimu di Singapura. Dia akan tiba di tanah air esok siangnya. Istrimu minta kamu menjemputnya di airport. Tapi Frans bilang kamu cuti. Maka Frans dipesan agar menghubungimu. Karena Frans tidak tahu kamu ke mana, dia meneleponku, minta agar aku menyampaikan berita itu kepadamu sekiranya aku tahu.”

Refl eks aku menatap Harefa. Secara kebetulan dia pun menatapku. Pandangan mata kami bersambaran.

“Berarti sekarang istrimu sudah di rumah,” lanjut Astuti.

“Bagaimana kamu bisa mencariku di rumah Hareta?” usutku.

“Aku tahu, Prab, selama ini kamu intim dengan Harefa. Kamu pikir Harefa tidak bercerita kepadaku?”

Page 185: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 183

Sekali lagi aku menatap Harefa. Kali ini dengan sinar mata kecewa. Namun, Harefa malah tersenyum-senyum bangga.

“Di mana anakku diopname? Sakit apa dia?”

“Di Rumah Sakit Pondok Indah. Tak tahu sakit apa.”

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Di luar dugaan, Harefa tidak mau kuantar pulang. Pikiranku benar-benar kusut. Dia ngotot ingin ikut menjenguk anakku di rumah sakit. Dalam taksi kami bersitegang. Jelas aku menolak, sebab menurut perhitunganku Cynthia pasti sudah berada di rumah sakit. Kalau kami datang berdua, aduh Mak. Dunia akan kiamat!

“Apa pun jadinya kamu tidak boleh ikut!” kataku kasar.

“Aku merasa turut berdosa, Prab. Aku ingin minta maaf kepada anakmu. Juga pada istrimu. Niatku ini tulus, Prab!”

“Niat baik tidak selamanya berakibat baik. Niat baik yang ini justru akan berakibat fatal. Ngerti kamu?”

“Kamu khawatir akan ketahuan istrimu? Jangan takutlah, toh kita tidak berbuat terlalu jauh. Aku ingin kenal istrimu, Prab.”

“Pokoknya tidak! Aku turun di sini kalau kamu tetap memaksa. Stop pinggir, Pak!” seruku kepada sopir taksi.

Taksi pun menukik ke kiri jalan. Aku bergegas turun.

“Antar dia ke rumahnya, Pak!” pesanku kepada sopir itu.

Page 186: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

184 | Nadjib Kartapati Z

Harefa tidak sempat berucap lagi. Pintu mobil kubanting, dan aku buru-buru meninggalkannya. Begitu taksi bergerak, aku menyetop taksi lain. Tujuanku jelas: langsung ke rumah sakit.

Bedebah! Inilah kesialan. Sekitar lima puluh meter di depan ada mobil tabrakan. Taksi terjebak kemacetan total. Rasanya aku ingin meloncat dan berlari kalau saja tujuanku sudah dekat. Aku cuma bisa mengumpat, tetapi tak tahu kepada siapa umpatan itu kutumpahkan. Hampir satu jam kemacetan itu memperangkapku.

***

Setengah berlari aku menuju kamar di mana Erik dirawat. Kubayangkan betapa Cynthia akan memarahiku habis-habisan. Ah! Apa pun caci-maki darinya akan kuterima dengan pasrah. Yang penting adalah keadaan Erik, mudah-mudahan sakitnya tidak serius.

Ya, Tuhan! Tulang-belulang terasa lolos dari tubuhku. Darahku seperti tidak lagi mengalir. Kepalaku bagai disambar petir. Pandang mataku berkunang-kunang. Salahkah penglihatanku? Harefa sudah berada di kamar Erik, duduk berhadapan dengan istriku di sisi ranjang. Sial! Aku terlambat gara-gara jalanan macet. Mereka tampak bercakap-cakap, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Perempuan bengal. Keras kepala! Aku terpaku di pintu kamar.

“Itu dia datang,” gumam Cynthia.

Aku melangkah maju. Kuulurkan tangan kepada Cynthia. Dengan tenang istriku menjabatnya, namun

Page 187: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 185

wajahnya tidak mau berpaling ke arahku. Dan dia lekas-lekas menarik tangannya kembali.

“Maafkan aku, Cynthia,” ucapku.

Istriku tidak menyahut. Mulutnya terkatup rapat. Aku lantas duduk di sisi ranjang, di tengah-tengah mereka. Kulihat Erik tertidur pulas. Wajahnya pucat bagai belacu. Ia menderita hepatitis B, atau lazim disebut sakit kuning. Begitulah yang kubaca pada papan kecil di atas kepalanya. Duh, Erik! Ingin aku menangis, tetapi air mata tidak juga bisa ke luar.

Suasana demikian tegang. Mencekam. Tidak seorang pun dan kami mau membuka mulut. Akhirnya Harefa berdiri, menyalami Cynthia dan mohon diri pulang. Kepadaku dia cuma menganggukkan kepala.

“Siapa perempuan itu?” tanya Cynthia setelah Harefa berlalu.

“Bagaimana dia tadi memperkenalkan diri kepadamu?”

“Dia teman kencanmu selama aku di Inggris.”

“Kamu percaya?”

“Aku lebih percaya kepada orang yang mengaku bersalah ketimbang kepada orang yang mengaku baik.”

Tuhan! Betapa tajam kata-kata Cynthia. Dia memang jauh lebih perkasa dariku. Lebih-lebih dalam posisi sekarang ini, di mana aku berada pada pihak yang salah.

Page 188: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

186 | Nadjib Kartapati Z

“Maafkan aku, Cynthia,” ucapku pelahan. Cynthia tidak bergeming. “Apa yang dikatakannya kepadamu tadi?” lanjutku.

“Tidak banyak, tapi cukup membuatku tahu siapa dirimu.”

Babi! Perempuan jadah! Apa yang dimaui janda itu? Sejak dulu dirinya memang susah dipahami. Sadarlah aku sekarang bahwa Harefa memang punya niat busuk. Kekecewaannya terhadap suaminya dulu, luka hatinya kepada pria asing itu, membuatnya benar-benar dendam terhadap semua lelaki. Tetapi kenapa diriku yang dikorbankan?

“Maafkan kalau aku telah menyakitimu, Cynthia,” ucapku menggigil. “Tapi aku ingin tahu apa yang diceritakannya tadi. Beri aku kesempatan membela diri kalau dia bicara yang bukan-bukan.”

“Sudahlah, kalau mau ribut-ribut jangan di sini! Nanti malam kita bicara di rumah. Sungguh kamu tidak menghargai kesetiaanku.”

Aku terdiam. Pisau tajam seakan menikam ulu hati.

***

Jam dinding telah menunjuk pukul 19.30. Lebih satu jam lalu Ibu pergi ke rumah sakit menyusul Cynthia. Di rumah aku bercanda dengan Nanda. Anak itu tampak gembira. Ia memang tidak diperkenankan menjenguk abangnya lantaran khawatir akan tertulari.

Page 189: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 187

Pukul delapan kurang lima menit Cynthia datang. Dengan gopoh-gopoh Nanda menyongsong. Rasa kangen kepada ibunya belum sepenuhnya terobati. Anak itu minta di-keloni ibunya. Dan Cynthia—dengan rasa rindu yang dalam—memenuhi permintaan Nanda. Setelah mengganti pakaian, Cynthia membimbing Nanda ke kamar.

Aku gelisah sendiri di ruang tengah. Acara Kelompencapir di televisi menambah kusutnya hati. Pret! Teve kumatikan. Aku lantas menyambar koran. Berita apa pun yang kubaca tidak masuk di otak sama sekali. Sebentar lagi aku akan menghadapi kemarahan istriku. Bah! Gelisahnya hati seperti pesakitan menunggu eksekusi.

Tibalah saatnya. Cynthia ke luar dari kamar Nanda dan langsung duduk di hadapanku. Kedua matanya menyala-nyala, melukiskan betapa kemurkaan itu tidak lagi kuasa dibendung.

“Kamu tidak perlu menutup-nutupi tingkah lakumu, Prab! Daripada membohongi dirimu sendiri lebih baik kamu jujur saja kepadaku!” Demikian Cynthia mengawali serangannya. “Apa maksudmu pergi ke Bali bersama perempuan itu? Apa maksudmu keluyuran saban hari sampai mengabaikan anak-anakmu? Katakan terus terang, Prab!”

“Yang sudah berlalu biarlah, aku mengaku salah, Cynthia,” jawabku berusaha memintas usutannya.

“Bahwa kamu bersalah, aku sudah tahu. Tapi aku ingin tahu sebab-sebabnya kenapa kamu melakukan kesalahan itu.”

Page 190: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

188 | Nadjib Kartapati Z

Sedikit pun aku tidak berani menatap wajah istriku. Aku hanya menunduk sambil memainkan ujung telapak meja.

“Sebenarnya aku tidak menghendaki kamu pergi ke Inggris,” kataku pelan sekali seakan takut keliru.

“Kenapa? Kamu mencemburuiku?”

“Ya, karena aku mencintaimu.”

“Dengan begitu kamu tidak mempercayai kesetiaan istrimu, Prab! Apa kamu punya indikasi aku pernah berbuat yang bukan-bukan?”

Kutengadahkan wajahku untuk sedikit menatapnya. Kupaksakan keberanianku agar dia menilaiku jujur. Toh aku memang jujur.

“Masalahnya karena kamu pergi ke Eropa,” kataku. “Semua orang tahu, kultur Barat begitu permisif. Serba boleh! Termasuk free-sex. Dan dulu kamu pernah berkata bahwa hubungan seks di luar nikah sah-sah saja, asal tidak ada pihak yang dirugikan...”

“Dulu aku bilang: itu hukum manusia, Prab!” sambar Cynthia. Tapi kita orang beragama, dan karenanya harus patuh pada hukum agama. Kamu pikir aku sudah abai terhadap agama kita?”

Aku terdiam lagi. Cynthia makin berapi-api.

“Kamu tidak berpikir bahwa tindakanmu itu telah menyakiti hatiku, hati istrimu? Kamu pikir tidak berat satu tahun di negeri orang dengan meninggalkan anak dan suami? Setengah mati aku melawan kesepian dan

Page 191: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 189

kerinduanku kepadamu, kepada anak-anak kita, di sini kamu main gila-gilaan. Itukah balasanmu pada kesetiaanku? Pada perjuanganku merintis hari depan keluarga? Aduh, Prab! Aku...”

“Tapi...” potongku cepat. “Dalam suratmu kamu selalu mengatakan gembira. Di sana kamu lukiskan sebagai lahir kembali. Kamu merasa berat meninggalkan Inggris. Itu semua telah menyinggung perasaanku sebagai lelaki, sebagai suamimu. Kamu tidak mau berpikir bahwa di sini aku kerepotan mengasuh anak-anak, kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang diri kamu.”

“Ah, kamu terlalu naif, Prab! Aku justru tidak ingin kamu tambah sedih kalau aku menceritakan keadaanku yang sebenarnya. Aku sengaja menulis itu semua supaya kamu tenang, supaya kamu hanya memikirkan Erik dan Nanda. Mana mungkin aku bisa bahagia seorang diri di negeri orang kalau suami dan anak-anakku kutinggal di rumah?”

Aku makin terpojok. Alasan-alasan Cynthia begitu logis dan masuk akal. Lebih daripada itu, tidak kutemukan kebohongan dari pancaran sinar matanya. Kali ini aku kembali menunduk.

“Tentu ada sebab lain,” katanya kemudian. “Mungkin kamu tidak berani mengatakannya, atau kamu memang belum tahu.”

Sebab lain? Tiba-tiba aku teringat kata-kata spikiater yang kutemui. Aku mengidap tekanan mental akibat rasa inferior. Tetapi mungkinkah aku berani memaparkannya kepada Cynthia?

Page 192: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

190 | Nadjib Kartapati Z

“Aku... aku...” Ah! Kenapa diri ini begitu pengecut? Kuhimpun seluruh keberanianku. Kupadatkan seluruh emosiku. Dengan berat lalu kutampahkan setuntasnya. “Selama kita menikah, aku merasa rendah diri, Cynthia. Sebagai suamimu aku merasa tidak sebanding. Lama aku ditindih perasaan ini. Kamu jauh lebih perkasa. Kepergianmu ke Inggris justru akan menambah keperkasaanmu, Cynthia. Kamu mampu berbuat banyak. Karena itu, aku merasa kamu punya hak melakukan apa saja….” Sampai di sini aku tidak mampu lagi menahan air mata. Tiba-tiba aku menangis seperti anak kecil. Menangis tersedu-sedu. Entah tangis apa namanya, aku tak mengerti. Yang jelas aku merasa terbebas dari kungkungan mental yang selama ini menghimpit jiwa.

Kulihat Cynthia pun ikut menangis. Aku tak tahu, entah tangis keharuan atau karena sakit hati.

“Sudah lama aku menduga begitu,” katanya tersendat. “Di antara kita tak ada yang lebih perkasa, Prab! Kita bisa kukuh justru karena saling melengkapi. Yang menentukan harkat kita bukan tingginya ilmu pengetahuan yang kita miliki. Bukan! Harkat kita terletak pada bagaimana kita mewujudkan nilai-nilai tanggung jawab. Tidak, Prab, aku tidak lebih tinggi dari suamiku, selama suamiku konsisten dalam memikul tanggung jawabnya...”

Tidak kuduga hati Cynthia bisa cair secepat itu. Kemarahannya surut karena keterus-teranganku. Namun dengan demikian dia makin menunjukkan dirinya lebih arif, lebih dewasa, lebih matang, lebih bijaksana, dan lebih-lebih yang lain.

Page 193: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Kabut Hati Suami | 191

“Maafkan aku, Cynthia. Maafkan suamimu yang pengecut ini,” kataku di sela sengguk tangis yang kian larut. “Percayalah bahwa aku tidak pernah melakukan hubungan badani dengan wanita lain, tidak juga dengan Harefa...”

“Aku percaya, Prab. Dia tadi juga berkata begitu. Aku salut pada keterus-terangan dan kejujurannya di dalam mengaku bersalah.”

“Kamu mau memaafkan aku, bukan?”

Cynthia mengangguk. “Juga maafkan aku kalau surat-suratku telah melukai perasaanmu.”

Seperti ada tenaga gaib yang tiba-tiba hadir dalam diri kami. Seperti ada aba-aba dari dunia lain. Dalam satu gerakan kami sudah berpelukan. Kulabuhkan ciumanku pada seluruh permukaan wajahnya. Cynthia mendekapku erat sekali. Napas kami bedomba. Kubopong tubuh Cynthia ke tempat tidur. Di sana kami menumpahkan rasa rindu. Di sana kami memuntahkan hasrat birahi yang lama terpendam. Hasrat suci dari sepasang suami-istri.

Ah, betapa leganya diri. Satu kewajiban telah kuselesaikan. Namun, tiba-tiba aku teringat Erik yang terbaring di rumah sakit. Ya, Tuhan! Anak itu menderita karena dosaku. Aku meloncat dari tempat tidur. Cynthia tersentak dan menatapku heran.

“Mau ke mana kamu, Prab?”

“Malam ini dan seterusnya aku mau menunggui Erik di rumah sakit. Jangan kamu cegah, Cynthia. Biarkan aku meringankan dosaku!”

Page 194: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

192 | Nadjib Kartapati Z

Pukul duabelas tengah malam aku ke luar rumah. Mobil kupacu kencang. Kabut dalam hatiku telah tersapu—kabut hati suami. Aku harus menunggui Erik, harus selalu menyemangatinya. Itulah salah satu bentuk bagaimana mewujudkan nilai tanggung jawab. Sebuah pelajaran yang baru kuperoleh dari Cynthia, istriku tercinta.

Taman Mutiara, 1989

Page 195: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Bintang Film | 193

Tentang Pengarang

Nadjib Kartapati Z. lahir 21 Agustus 1954 di Desa Sekarjalak, Margoyoso, Pati. Sejak tahun 1983 tinggal di Jakarta hingga kini. Tulisannya tersebar di hampir 60 media massa, pusat maupun daerah. Dia punya pengalaman mengasuh beberapa majalah, di antaranya sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Remaja Srikandi, sebagai Redaktur Senior Majalah Sarinah. Karya fi ksinya berupa cerpen, novelette, dan novel pernah memenangkan sayembara di sejumlah media massa. Selain menulis prosa, dia juga menulis skenario FTV. Dan dia pernah meraih penghargaan sebagai Penulis Skenario

Page 196: Nadjib Kartapati Z - Galeri Buku Jakartagaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/DILARANG-BERT… · menggeram dan kembali membanting undangan itu. “Aku harus pulang kampung!”

Terbaik dalam Kategori Drama Lepas pada Festival Sinetron Indonesia tahun 1998. Pada tahun 2015 dia juga mendapat penghargaan sebagai Penulis Skenario FTV Terpuji dalam Festival Film Bandung, di samping hanya menjadi nomine Penulis FTV Terpuji.

Karyanya yang sudah dibukukan: Orang-orang Kalah (Kumpulan Cerpen, Balai Pustaka), Pengibulan Massal (Kumpulan Cerpen, Balai Pustaka), Hadi dan Zumala (Novel, Balai Pustaka), Sang Pengabdi (Kumpulan Cerpen, Progres), Memburu Matahari (Novel, Progres), Menepis Impian (Kumpulan Cerpen, Progres), Debu-debu Cinta (Novel, Progres). Kabut Hati Suami (Kumpulan Novelet, Progres), Surat Pamungkas (Kumpulan Cerpen, Progres). Dalam Bayangan Ibu (Kumpulan Cerpen, Yayasan Barzakh), Ke Sorga Naik Sepeda (Kumpulan Cerpen, Citra Almameter), Geger Wisanggeni (Cerita Wayang, Dokpri), Perempuan Dilarang Baca (Esei Naratif, Dokrpi), Maysuri (Novel, Alvabet), Sajak Cinta Seorang Cerpenis (Antologi Puisi Tunggal, Mujahid Press).

Dia juga menjadi penyunting untuk tiga buku antologi cerpen yaitu Bendera-bendera Kuning, Bunga-bunga Gugur di Timor Timur, dan Irama Tembang Purba, di samping menjadi editor dan penulis biografi .