Nikah Muth'Ah & Nikah Siri

download Nikah Muth'Ah & Nikah Siri

If you can't read please download the document

Transcript of Nikah Muth'Ah & Nikah Siri

NIKAH MUTHAH DAN NIKAH SIRRI: DALAM TINJAUAN NORMATIF DAN HISTORIS-SOSIOLOGIS Oleh: Ali Farhan A. Nikah Muthah Nikah Muthah menjadi varian dalam pernikahan yang diatur oleh Islam yang diperdebatkan keabsahannya antara kaum Sunni dan Syiah. Secara umum (mayoritas mutlak), kaum Sunni menganggap pernikahan muthah adalah jenis pernikahan yang tidak sah atau haram berdasarkan keterangan hadis, fatwa Umar ibn Khattab dan Ijma ulama Sunni. Sedangkan kaum Syiah, khususnya Syiah Istna Asyariyah (Syiah Imam Dua Belas), menganggap pernikahan muthah adalah boleh atau halal, walaupun dalam prakteknya mereka berbeda pada beberapa sisi pelaksanaannya. Di Indonesia, karena mayoritas umat Islam adalah kaum Sunni, maka pandangan terhadap nikah muthah sejalan dengan pandangan kaum Sunni secara umum, yaitu pernikahan jenis ini adalah terlarang. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam Indonesia) tidak memberi ruang sedikitpun terhadap praktek nikah muthah di Indonesia. Sehingga, dalam masyarakat Muslim Indonesia, sangat jarang dijumpai praktek nikah muthah, kecuali hanya sedikit dipraktekkan oleh kalangan Syiah Indonesia dan beberapa kelompok kecil lainnya. Beberapa mahasiswa Bandung dan Yogyakarta dilaporkan telah melakukan praktek nikah muthah yang setelah diteliti ternyata motifnya adalah faktor ekonomi. Nikah muthah di Indonesia sampai hari ini bukanlah gejala yang mengkhawatirkan yang perlu disikapi secara lebih. Pandangan kaum Sunni yang secara tegas mengharamkan nikah muthah, telah menjadi pemahaman mainstream (arus besar) umat Islam di Indonesia. Andaikan kajian tentang nikah muthah masih diperlukan, maka ini hanya sebatas kajian komparatif antara pemahaman Sunni dan Syiah tentang nikah muthah. A.1. Pengertian Nikah Muthah Nikah Muthah adalah sebuah pernikahan yang dinyatakan berjalan selama batas waktu tertentu. Disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-muaqqat) Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan muthah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu sajaMuthah merupakan perjanjian pribadi dan verbal antara pria dan wanita yang tidak terikat pernikahan (gadis, janda cerai maupun janda ditinggal mati). Dalam nikah muthah, jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit. Seperti dinyatakan di muka, tujuan nikah muthah adalah kenikmatan

seksual (istimta), sehingga berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-nasl). Hanya sedikit kewajiban timbal-balik dari pasangan nikah muthah ini. Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-hari (nafaqah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia lakukan dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu, pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual Dalam pernikahan permanen, pihak istri, mau tidak mau, harus menerima laki-laki yang menikah dengannya sebagain kepala rumah tangga. Dalam pernikahan muthah, segala sesuatu tergantung kepada ketentuan yang mereka putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen, pihak istri atau suami, baik mereka suka atau tidak, akan saling berhak menerima warisan secara timbal balik, tetapi dalam pernikahan muthah keadaanya tidak demikian A.2. Pandangan Kaum Sunni Seperti telah dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah muthah sangat jelas, yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan model seperti ini tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan dalam al-Quran. Disamping itu, pernikahan muthah juga bertentangan dengan ketentuan dalam pernikahan yang telah dinyatakan dalanm al-Quran dan al-Hadits, yaitu dalam masalah thalaq, iddah dan warisan. Diantara ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar tujuan pernikahan diantaranya adalah: Q.S. Adz-Dzariyah: 49 Q.S. An-Nisa: 1 Q.S. Ar-Rum: 21 Hadis-hadis yang diperguakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah muthah diantaranya adalah sebagai berikut:

Hadis-hadis di atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang meriwayatkan diantanya adalah Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya tinjauan sanad saja tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai otentik sebagai sumber ajaran Islam. Akan tetapi, dengan dukungan nilai-nilai al-Quran tentang pernikahan yang maknanya sesuai dengan semangat larangan nikah muthah dalam hadis-hadis .tersebut, maka kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber ajaran Islam Dilihat dari perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas), dapat disimpulkan bahwa nikah muthah memang telah diharamkan oleh Rasulullah. Sebab-sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh ulama-ulama Sunni, diantaranya adalah karena nikah muthah semata-mata sebagai tempat .)untuk melampiaskan nafsu syahwat, sehingga tidak jauh berbeda dengan zina (komunisme seksual ,Disamping itu, nikah muthah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan pada titik bahaya karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah .keluarga dan jaminan kesejahteraan serta pendidikan yang baik ,Pernikahan, seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada pondasi yang stabil suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh sebuah ikatan pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama lain untuk selamanya, dan gagasan perceraian tidak boleh memasuki pikiran

mereka. Oleh karena itu, sebagaimana pendapat kalangan Sunni, pernikahan muthah tidak dapat menjadi tumpuan kebersamaan hidup suami istri yang damai dan sejahtera. A.3. Pandangan Kaum Syiah (Itsna Asyariyah) Dasar legitimasi kaum Syiah terhadap nikah muthah adalah al-Quran surat an-Nisa ayat 24: Dalam Tarikh al-Fiqh al-Jafari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya kepada Ibn Abbas tentang nikah muthah, Ibn Abbas menerangkan, nikah itu diperbolehkan dengan bersarkan al-Quran surat an-Nisa ayat 24 seperti telah ditulis di atas. Akan tetapi menurut Ibn Abbas, lengkapnya ayat itu adalah (terdapat kalimat tambahan :) ) ( Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn Abbas terhadap Q.S. an-Nisa: 24) adalah Ibn Masud, Ubay Ibn Kaab, dan Said Ibn Zubair Kaum Syiah berpendirian bahwa praktek nikah muthah terdapat pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah muthah dilarang. Ucapan Umar saat itu adalah: Saya telah melarang dua jenis muthah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar, dan saya akan berikan hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi perintah-perintah saya. Kedua muthah itu adalah muthah mengenahi haji dan muthah mengenai wanita Kalau melihat ucapan Khalifah umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah muthah dipraktekkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi maupun Khalifah Abu Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula keterangan yang menunjukkan larangan Umar terhadap nikah muthah, walaupun banyak para shahabat yang melakukannya di era Nabi dan Khalifah Kedua. Sehingga unggapan yang sering dilontarkan kalangan Syiah dalam masalah ini adalah: Manakah yang harus kita pegang: taqrir Nabi yang membiarkan shahabatnya melakukan muthah atau hadis larangan Umar? Kaum Syiah yang mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih menganggap nikah muthah tetap berlaku menurut syariatt sebagaimana halnya masa hidup Nabi itu sendiri. ThabathabaI dalam masalah ini mengutip beberapa ayat tentang suami-istri: Q.S. al-Muminun: 5-7 (7) )5( )6(

Q.S. al-Maarij: 29-31 (31) )92( )03( Menurut Thabathabai, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak diturunkan hingga hijrah, nikah muthah dipraktekkan oleh kaum Muslimin. Apabila nikah muthah itu bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya (halal/sah), dan para perempuan yang telah menikah berdasarkan itu bukan istri-istri yang sah menurut syariah, maka, lanjut Thabathabai, ayat-ayat al-Quran tersebut tentulah akan menganggap para perempuan itu sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti mereka dilarang untuk mempraktekkan muthah. Sehingga Thabathabai menegaskan kembali bahwa nikah muthah merupakan pernikahan yang sah menurut syariah dan bukan bentuk perzinahan. Sampai hari ini, kaum Syiah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara legitimasi pernikahan muthah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi (1925-1979), walaupun bukan ilegal, pernikahan muthah dipandang secara negatif. Kebanyakan kaum terpelajar Iran dan kelas menengah lainnya menganggap pernikahan seperti ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka tidak tertarik untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan muthah di Iran banyak dilakukan oleh kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar pusat-pusat ziarah. A.4. Tinjauan Historis-Sosilogis Sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber Syiah, nikah muthah merupakan suatu fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktekkan oleh para shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi ke Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair As-Shahabi yang menikahi Asma, putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan sementara (muthah). Masih menurut sumber Syiah, nikah muthah juga dipraktekkan semenjak hijrah hingga wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah Pertama dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin meneruskan praktek itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn Khattab sebagai Khalifah Kedua. Tentu saja historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi sudah melarang nikah muthah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah, seperti tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syiah mengabaikan hadis-hadis seperti ini? Jawabannya adalah, karena kaum Syiah mempunyi argumen tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan Hadis. Kaum Syiah hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu al-Bait, dan jika terdapat hadis yang bertentangan dengan riwayat Ahlu al-Bait, maka hadis tersebut ditolak. Mengenai larangan Umar terhadap praktek nikah muthah, menarik untuk dicermati bahwa larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis yang bisa dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu terkait dengan kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar

strategi dakwah Islam (kebijakan politik). Jika dipahami ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar, umat Islam (para shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan untuk melakukan nikah muthah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan muthah yang tidak jelas warna keislamannya. Dengan alasan inilah, maka Umar melarang nikah muthah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini bukan larangan mermanen, tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan keummatan saat itu. Sepintas, nikah muthah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad Baraghah, nikah muthah justru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam muthah perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak laki-laki. Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghah, perempuan dapat meningkatkan bergainning position-nya bila akan melaksanakan nikah muthah Secara sosiologis, nikah muthah menjadi bukan persoalan serius ketika dipraktekkan dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang maju. Anggota masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi pribadi atau kewenangan individual yang penuh dalam menentukan nasibnya. Dalam tradisi Persia atau Iran sekarang, nikah muthah bukanlah sumber penyakit sosial seperti yang disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran khususnya, mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah muthah, sehingga dalam prakteknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi, kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah muthah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan dan pendikannya masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah muthah dalam komunitas masyarakat Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komuditas pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan berlipat bagi perempuan dan anak-anak. B. Nikah Sirri Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Oleh karean itu, Nabi mengajarkan umatnya untuk menikah: Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan memiliki makna sangat

strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-Undang no. 1 tahun 1974 adalah bentuk kongkret pengaturan pemerintah soal pernikahan. Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang I ini tertulis: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru diangap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawa pencatat pernikahan yang ditentukan undang-undang. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan istilah yang disebut: nikah sirri. Nikah sirri menurut hukum Islam berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual - adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya Sehingga langsung dapat sisimpulkan, bahwa pernikahan ini bathil menurut jumhur ulama. Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri seperti yang didefinisikan dalam fiqh- yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyi beberapa devinisi, diantaranya adalah: a) Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan). b) Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan (catatan: laki-laki memerlukan wali pada saat pernikahan). c) Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi). Nikah sirri yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah seperti yang dinyatakan Ibn Taimiyah atau Wahbah Huzaili, akan tetapi merupakan praktek pernikahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat

Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan). Nikah Sirri dalam satu sisi mengandung beberapa kemudharatan, tetapi dalam sisi lain banyak dipraktekkan oleh kalangan Muslim Indonesia dengan segala variannya. Pada titik inilah maka nikah sirri perlu dikaji secara komprehensif, tidak semata-mata dengan pendekatan tekstual-normatif tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek kultural-sosiologisnya. B.1. Problem Sosiologis Nikah Sirri Dalam penelusuran di internet, berdasar data KUA Situbondo, diperkirakan ada 3.000 kasus kawin sirri di daerahnya. Di Jawa Timur lebih dari 30.000 kasus. Kasus serupa merebak pula di sentra industri seperti Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Itulah yang saat itu menjadi perhatian serius Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Lewat Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel, Surabaya, persoalan ini dibedah dalam sebuah penelitian tentang dampak perkawinan di bawah tangan bagi kesejahteraan istri dan anak di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur. Kawasan yang meliputi Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo ini dikenal paling subur untuk kawin sirri. Dalam analisis berikutnya, penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai istri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam berpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikah sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja. Faktor ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses invormasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti hukum. Mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana memperoleh perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi istri simpanan ialah terampasnya hak-hak istri. Istri simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh, ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh suaminya. Si istri datang ke Pengadilan Agama (PA) dan meminta tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara syah oleh hukum. Istri sirri tidak punya kekuatan hukum. Istri sirri tidak memperoleh hak milik berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum.

Kasus yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami akan status mereka. Istri sirri, mudah menerima ketidak-adilan. Misalnya, apabila suami ingin menceraikan istri, maka istri tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat. Para perempuan di desa-desa karena keawamannya tidak mengerti hukum agama, hukum negara, sehingga para perempuan tersebut menikah beberapa kali dan bahkan ada yang menikah lagi sebelum masa iddahnya selesai. Dorongan emosi sesaat (impulsive) perempuan mendorong mereka untuk menikah lagi dengan orang lain. Kasus itu tidak sekali tetapi berkali-kali, bahkan sebelum masa iddah sudah menikah sirri dengan laki-laki lain. Ironinya, pihak yang menikahkan adalah orang yang dianggap tokoh atau mereka yang dianggap sesepuh, atau wali hakim. Anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus mendera. Anak-anak kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik. Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan istri yang terjadi di lapangan: 1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami. 2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat. 3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum. 4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. 5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja. 6. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami. B.2. Pandangan Komprehensif Islam Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidha) yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahrera. Dalam tinjauan sosiologi, kedudukan keluarga sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara umum.

Untuk mencapai tujuan pernikahan itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad: Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari pihak keluarga yang secara simbolik-operasional diwakili oleh wali pihak perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan, sebagaimana hadis Nabi berikut: Pernikahan bagi pasangan laki-laki dan perempuan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, meraka akan menjalin relasi dan berurusan dengan banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara prosedural-administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat. Dengan tercatat, maka akan ada data penting menyangkut status seorang warga sehingga berbagai penyelewengan status dapat dieliminasi. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyariatkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syariat dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional). Pernikahan yang tercatat (sesuai dengan UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975) sesuai dengan semangat kemashlahatan yang menjadi landasan syariat Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Usl fiqh, setiap hukum (Syarat) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Maslahat menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadat dari manusia. Sedangkan al-Khawrizmi mendefinisikan mendefinisikan maslahat adalah memelihara maqsid asy-syarah dengan menolak mafsadat dari umat. Al-Buti memandang memandang maslahat adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta Asy-Sytib mendifinisikan maslahat sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia. Dalam hal ini Asy-Sytib menandaskan bahwa Syarat diberlakukan adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. Dengan demikian orang yang meneliti hukum (Syarat) akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah memelihara kehidupan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih manfaat dan menghilangkan mafsadat. Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa secara sosiologis, nikah sirri banyak mengandung persoalan (mafsadat/mudharat). Sehingga dalam perspektif syariat, nikah sirri, walaupun sah secara fiqhiyah, tetapi perlu dihindari.

DAFTAR PUSTAKA1) Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usl al-Fiqh Mazhab al-Imm Ahmad Dirsat Usliyyah Muqranah, cet. 2, Riyadh : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980 2) Aboebakar Aceh, Syiah: Rasionalisme dalam Islam, Semarang: Ramadhani, 1980 3) Al-Alamah Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj, Beirut: Dar al-Kutub, tt. 4) Allamah M.H. ThabathabaI, Syiah Islam: Asal-Usul dan Perkembangannya, Djohan Effendi (terj.), Jakarta: PT. Pustaka Utama Graffiti, 1989 5) Badran Abu al-Ainain Badran, Usl al-Fiqh al-Islam, (t.t.p : t.n.p, t.t.), hlm. 236 6) Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ghufron A. Masadi (terj.), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002 7) Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Irsyd al-Fukhl il Tahqq al-Haq min Ilm al-Usl , cet. I, Surabaya : Syirkah Maktabat Ahmad bin Saad Ibn Nabhan, t.t. 8) Muhammad Said Ramadan al-Buti, Dawbit al-Mahlahah f as-Syarah al-Islamyah, cet.2, Beirut : Muassisah ar-Rislat , 1977 9) Murtadha Muthahhari, The Rights Women in Islam, Teheran: WOFIS, 1981 10) Rahman Zaenuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syiah dan Politik di Indonesia, Bandung:

Mizan, 2000 11) Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Beirut: Dr Al-Fikr, tt.. 12) Shahla Hairi, law of Desire: Tempiorery Marriage in ShiI Iran, New York: Syracuse, 1989 13) Sytib, al-Muwfaqt f As-Syarah, (Beirut ; Dr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.) II, hlm. 29 14) Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islm wa Adilatuhu, Damaskus: Dr al-Fikr, 1989