Obesitas Factor

21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi 2.1.1. Definisi Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial, sistol ≥ 140 mmHg dan diastol ≥ 90 mmHg. Tekanan darah bergantung kepada : 1. Curah jantung 2. Tahanan perifer pada pembuluh darah 3. Volum atau isi darah yang bersirkulasi Faktor utama dalam mengontrol tekanan arterial ialah output jantung dan tahanan perifer total. Bila output jantung (curah jantung) meningkat, tekanan darah arterial akan meningkat, kecuali jika pada waktu yang bersamaan tahanan perifer menurun. Tekanan darah akan meninggi bila salah satu faktor yang menentukan tekanan darah mengalami kenaikan ( Lumbantobing, 2008). Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII : Kategori Tekanan darah sistol Tekanan darah diastol Normal < 120 < 80 Prehypertension 120 – 139 80 – 89 Hypertension stage 1 140 – 159 90 – 99 Hypertension stage 2 ≥ 160 ≥ 100 Universitas Sumatera Utara

description

Jurnal Farmasi Klinis

Transcript of Obesitas Factor

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial, sistol ≥ 140 mmHg dan

diastol ≥ 90 mmHg. Tekanan darah bergantung kepada :

1. Curah jantung

2. Tahanan perifer pada pembuluh darah

3. Volum atau isi darah yang bersirkulasi

Faktor utama dalam mengontrol tekanan arterial ialah output jantung dan tahanan

perifer total. Bila output jantung (curah jantung) meningkat, tekanan darah arterial

akan meningkat, kecuali jika pada waktu yang bersamaan tahanan perifer

menurun. Tekanan darah akan meninggi bila salah satu faktor yang menentukan

tekanan darah mengalami kenaikan ( Lumbantobing, 2008).

Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII :

Kategori Tekanan darah sistol Tekanan darah diastol

Normal < 120 < 80

Prehypertension 120 – 139 80 – 89

Hypertension stage 1 140 – 159 90 – 99

Hypertension stage 2 ≥ 160 ≥ 100

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui peyebabnya,

disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, sistem renin angiotensin, sistem

saraf otonom, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti merokok,

alkohol, obesitas, dan lain-lain (Lauralee, 2001).

2. Hipertensi sekunder, terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya

diketahui, misalnya 1) Penyakit ginjal : glomerulonefritis akut, nefritis kronis,

penyakit poliarteritis, diabetes nefropati, 2) Penyakit endokrin : hipotiroid,

hiperkalsemia, akromegali, 3) koarktasio aorta, 4) hipertensi pada kehamilan,

5) kelainan neurologi, 6) obat-obat dan zat-zat lain (Lauralee, 2001).

2.1.3. Patofisiologi Hipertensi

Mengenai patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidakpastian. Sebagian

kecil pasien (2% - 5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai penyebab

meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan

keadaan ini disebut hipertensi esensial.

Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah

yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya

hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah : asupan garam,

obesitas, resistensi terhadap insulin, sistem renin-angiotensin dan sistem saraf

simpatis (Lumbantobing, 2008).

Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Curah jantung dan tahanan perifer

Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada keseimbangan

antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian terbesar pasien

dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang normal, namun tahanan

Universitas Sumatera Utara

perifernya meningkat. Tahanan perifer ditentukan bukan oleh arteri yang besar

atau kapiler, melainkan oleh arteriola kecil, yang dindingnya mengandung sel otot

polos. Kontraksi sel otot polos diduga berkaitan dengan peningkatan konsentrasi

kalsium intraseluler (Lumbantobing, 2008).

Kontriksi otot polos berlangsung lama diduga menginduksi perubahan sruktural

dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriola, mungkin dimediasi oleh

angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang

irreversible. Pada hipertensi yang sangat dini, tahanan perifer tidak meningkat dan

peningkatan tekanan darah disebabkan oleh meningkatnya curah jantung, yang

berkaitan dengan overaktivitas simpatis. Peningkatan tahanan peifer yang terjadi

kemungkinan merupakan kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan

tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat

mengganggu homeostasis sel secara substansial (Lumbantobing, 2008).

2. Sistem renin-angiotensin

Sistem renin-angiotensin mungkin merupakan sistem endokrin yang paling

penting dalam mengontrol tekanan darah. Renin disekresi dari aparat

juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban terhadap kurang perfusi glomerular atau

kurang asupan garam. Ia juga dilepas sebagai jawaban terhadap stimulasi dan

sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008).

Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen) menjadi

angotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE).

Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang kuat dan mengakibatkan

peningkatan tekanan darah (Lumbantobing, 2008).

3. Sistem saraf otonom

Stimulasi sistem saraf otonom dapat menyebabkan konstriksi arteriola dan dilatasi

arteriola. Jadi sistem saraf otonom mempunyai peranan yang penting dalam

Universitas Sumatera Utara

mempertahankan tekanan darah yang normal. Ia juga mempunyai peranan penting

dalam memediasi perubahan yang berlangsung singkat pada tekanan darah

sebagai jawaban terhadap stres dan kerja fisik (Lumbantobing, 2008).

4. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretic peptide/ANP)

ANP merupakan hormon yang diproduksi oleh atrium jantung sebagai jawaban

terhadap peningkatan volum darah. Efeknya ialah meningkatkan ekskresi garam

dan air dari ginjal, jadi sebagai semacam diuretik alamiah. Gangguan pada sistem

ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan hipertensi (Lumbantobing, 2008).

2.1.4. Faktor resiko hipertensi

Hampir setengah abad yang lalu, Irvin H. Page yang terkenal dengan teori mosaic

of hypertension menguraikan bahwa, hipertensi merupakan” penyakit pengaturan

tekanan yang diakibatakan oleh multifaktorial” (Majid, 2005).

Dengan kemajuan dalam penelitian mengenai hipertensi ternyata masih banyak

lagi faktor yang berperan dalam mekanisme pengaturan tekanan darah yang belum

termasuk dalam teori mosaic. Multifaktorial yang dihubungkan dengan

patogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari 3 elemen penting yaitu :

1. Faktor genetik

2. Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas

3. Adaptasi struktural yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan

tekanan yang lebih tingi dari fungsi normalnya.

Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan

dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan

struktural kadang-kadang dipercepat oleh faktor genetik (Majid, 2005).

Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan

menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer.

1. Faktor genetik

a. Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai

maupun dari penelitian, misalnya:

Universitas Sumatera Utara

- Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot

dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita hipertensi.

- Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia sebelum 50

tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga derajat pertama

yang hipertensi sebelum usia 50 tahun.

- Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneosly hypertensive rat (SHR)

Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan hypertensive rat strain

(MHS) menunjukkan bahwa dua turunan tikus tersebut mempunyai faktor

genetik yang secara genetik diturunkan sebagai faktor penting timbulnya

hipertensi, sedangkan turunan yang lain menunjukkan faktor kepekaan

terhadap garam yang juga diturunkan secara genetik sebagai faktor utama

timbulnya hipertensi (Majid, 2005).

b. Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain : defek transport Na

pada membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan aktivitas saraf

simpatis yang merupakan respon terhadap stress (Majid, 2005).

2. Faktor lingkungan

a. Keseimbangan garam

Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi hipertensi primer.

Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan

asupan garam yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari,

prevalensi hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam

antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15-20%. Pengaruh asupan

garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma,

curah jantung GFR (glomerula filtrat rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti

oleh peningkatan kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga

kembali kepada keadaan hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi,

mekanisme ini terganggu dimana pressure natriuresis mengalami “reset” dan

dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengeksresikan natrium, disamping

adanya faktor lain yang berpengaruh (Majid, 2005).

Universitas Sumatera Utara

b. Obesitas

Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif diantara

obesitas (terutama upper body obesity) dan hipertensi. Bagaimana mekanisme

obesitas menyebabkan hipertensi masih belum jelas. Akhir-akhir ini ada pendapat

yang menyatakan hubungan yang erat diantara obesitas, diabetes melitus tipe 2,

hiperlipidemia dengan hipertensi melalui hiperinsulinemia (Majid, 2005).

c. Stress

Hubungan antara stress dan hipertensi primer diduga oleh aktivitas saraf simpatis

(melalui cathecholamin maupun renin yang disebabkan oleh pengaruh

cathecolamin) yang dapat meningkatkan tekanan darah yang intermittent. Apabila

stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap tinggi. Hal

ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan dibuktikan,

pemaparan terhadap stress membuat binatang tersebut hipertensi (Majid, 2005).

d. Lain-lain

Faktor-faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan

garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras (Majid, 2005).

3. Adaptasi perubahan struktur pembuluh darah

Perubahan adaptasi struktur kardiovaskular, timbul akibat tekanan darah yang

meningkat secara kronis dan juga tergantung dari pengaruh trophic growth

(angiotensin II dan growth hormon) (Majid, 2005).

2.1.5. Penatalaksanaan Hipertensi

Terapi Farmakologi

1. Diuretik

Universitas Sumatera Utara

Mula-mula obat ini mengurangi volum ekstraseluler dan curah jantung. Efek

hipotensi dipertahankan selama terapi jangka panjang melalui berkurangnya

tahanan vaskular, sedangkan curah jantung kembali ke tingkat sebelum

pengobatan dan volum ekstraseluler tetap berkurang sedikit (Benowitz, 1998).

Mekanisme yang potensial untuk mengurangi tahanan vaskular oleh reduksi ion

Na yang persisten walaupun sedikit saja mencakup pengurangan volum cairan

interstisial, pengurangan konsentrasi Na di otot polos yang sekunder dapat

mengurangi konsentrasi ion Ca intraseluler, sehingga sel menjadi lebih resisten

terhadap stimulus yang mengakibatkan kontraksi, dan perubahan afinitas dan

respon dari reseptor permukaan sel terhadap hormon vasokonstriktor (Benowitz,

1998).

Efek Samping

Impotensi seksual merupakan efek samping yang paling mengganggu pada obat

golongan tiazid. Gout merupakan akibat hiperurisemia yang dicetuskan oleh

diuretik. Kram otot dapat pula terjadi, dan merupakan efek samping yang terkait

dosis (Benowitz, 1998).

Golongan obat

a. Tiazid dan agen yang sejenis ( hidroklorotiazid, klortalidon)

b. Diuretik loop (furosemid, bemetanid, asam etakrinik)

c. Diuretik penyimpan ion K, amilorid, triamteren, spironolakton.

2. Beta adrenergik blocking agents (betabloker)

Jenis obat ini efektif terhadap hipertensi. Obat ini menurunkan irama jantung dan

curah jantung. Beta bloker juga menurnkan pelepasan renin dan lebih efektif pada

pasien dengan aktivitas renin plasma yang meningkat (Benowitz, 1998).

Beberap mekanisme aksi anti hipertensi di duga terdapat pada golongan obat ini,

mencakup :

Universitas Sumatera Utara

1) Menurunkan frekuensi irama jantung dan curah jantung

2) Menurunkan tingkat renin di plasma

3) Memodulai aktivitas eferen saraf perifer

4) Efek sentral tidak langsung

Efek Samping

Semua betabloker memicu spasme bronkial, misalnya pada pasien dengan asma

bronkial.

Golongan Obat

a. Obat yang bekerja sentral (metildopa, klonidin, kuanabenz, guanfasin)

b. Obat penghambat ganglion (trimetafan)

c. Agen penghambat neuron adrenergik (guanetidin, guanadrel, reserpin)

d. Antagonis beta adrenergik (propanolol, metoprolol)

e. Antagonis alfa-adrenergik (prazosin, terazosin, doksazosin, fenoksibenzamin,

fentolamin)

f. Antagonis adrenergik campuran (labetalol)

3. ACE-inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors)

Cara kerja utamanya ialah menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron,

namun juga menghambat degradasi bradikinin, menstimulasi sintesis

prostaglandin vasodilating, dan kadang-kadang mereduksi aktivitas saraf simpatis

(Benowitz, 1998).

Efek Samping

Batuk kering ditemukan pada 10 persen atau lebih penderita yang mendapat obat

ini. Hipotensi yang berat dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renal

bilateral, yang dapat mengakibatkan gagal ginjal.

Universitas Sumatera Utara

Golongan obat: Benazepril, captopril, enalapril, fosinoplir, lisinopril, moexipril,

ramipril, quinapril, trandolapril (Benowitz, 1998).

4. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)

Efek samping batuk tidak ditemukan pada pengobatan dengan ARB. Namun efek

samping hipotensi dan gagal ginjal masih dapat terjadi pada pasien dengan

stenosis arteri renal bilateral dan hiperkalemia (Benowitz, 1998).

Golongan obat: Candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan,

valsartan.

5. Obat penyekat terowongan kalsium (calcium channel antagonists, calcium

channel blocking agents, CCT).

Calcium antagonist mengakibatkan relaksasi otot jantung dan otot polos, dengan

demikian mengurangi masuknya kalsium kedalam sel. Obat ini mengakibatkan

vasodilatasi perifer, dan refleks takikardia dan retensi cairan kurang bila

dibanding dengan vasodilator lainnya (Benowitz, 1998).

Efek samping

Efek samping yang paling sering pada calcium antagonis ialah nyeri kepala,

edema perifer, bradikardia dan konstipasi.

Golongan obat : Diltiazem, verapamil.

Terapi Non Farmakologi

Mengubah gaya hidup merupakan suatu terapi atau pendekatan yang sangat

bermanfaat dalam mengatasi tekanan darah tinggi (Lumbantobing, 2008).

Menurunkan berat badan BMI 18,5 – 24,9 Penurunan tekanan sistol

5-20/10 kgBB turun

Aktivitas fisik Gerak badan teratur,

misalnya jalan 30

menit/hari

Penurunan sistol bisa 4-9

mmHg

Universitas Sumatera Utara

Diet Makan kaya buah,

sayur, susu rendah

lemak dan lemak total

Penurunan sistol bisa 8-14

mmHg

Diit Garam dikurangi

menjadi tidak lebih

dari 100mEq/L (2,4g

natrium atau 6 gram

garam dapur) sehari

Penurunan sistol bisa 2-8

mmHg

2.2. Obesitas

2.2.1. Definisi obesitas

Obesitas merupakan peningkatan berat badan dengan BMI ≥ 25 kg/m 2 akibat

akumulasi lemak yang berlebihan.

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi

jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas

terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila

seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah

besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak (Sugondo, 2007).

2.2.2. Klasifikasi Obesitas

Tabel 2.2. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar

perut menurut kriteria WHO dalam Asia-Pasific Perspective.

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Universitas Sumatera Utara

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Overweight ≥ 23,0

Beresiko (pra-obes) 23,0 – 24,9

Obes I 25,0 – 29,9

Obes II ≥ 30,0

Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam the Asia-Pasific Perspective: Redefening Obesity and

its treatment.

Tabel 2.3. Klasifikasi berat badan berdasarkan lingkaran pinggang

Klasifikasi Laki-laki Perempuan

Obesitas ≥ 90 cm ≥ 80 cm

2.2.3. Faktor-faktor penyebab obesitas

Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti, baik dari faktor lingkungan

maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas. Faktor lingkungan antara lain

pengaruh psikologi dan budaya. Dahulu status sosial dan ekonomi juga dikaitkan

dengan obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah

biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status

sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa

sejak tiga dekade terakhir, hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas

melemah karena prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap

kelompok status sosial ekonomi. Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya

gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik (Sugondo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui

pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga menentukan banyak

dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak tubuh.

Obesitas dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal. Penyebab-penyebab

tersebut antara lain :

1. Internal

a. Genetik

Seperti kondisi medis lainnya, obesitas merupakan perpaduan antara genetik dan

lingkungan. Gen yang ditemukan diduga dapat mempengaruhi jumlah dan besar

sel lemak, distribusi sel lemak dan besar penggunaan energi untuk metabolisme

saat tubuh istirahat. Polimorfisme dalam variasi gen mengontrol nafsu makan dan

metabolisme menjadi predisposisi obesitas ketika adanya kalori yang cukup.

Obesitas pada penderita sindrom prader-willi adalah penyakit genetik yang

menimpa kira-kira satu dari 15 ribu kelahiran. Mutasi gen terjadi pada kromosom

ke 15 yang mengatur nafsu makan. Sindrom ini dikenali sebagai gen penyebab

obesitas pada anak kecil. Symptom yang timbul akibat sindrom ini disebabkan

oleh disfungsi hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah mengatur rasa lapar

(Hermawan, 2008).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin berpengaruh terhadap obesitas. Pria memiliki lebih banyak otot

dibandingkan dengan wanita. Otot membakar lebih banyak lemak dari sel-sel lain.

Oleh karena wanita lebih sedikit memiliki otot, maka wanita memperoleh

kesempatan yang lebih kecil untuk membakar lemak. Hasilnya, wanita lebih

beresiko mengalami obesitas (Hermawan, 2008).

c. Kelainan endokrin

Hipotiroidisme terjadi ketika kelenjar tiroid tidak memproduksi hormon tiroid

sesuai kebutuhan tubuh. Oleh karena itu, apabila hormon tiroid yang dihasilkan

tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh, pertumbuhan akan terganggu.

Universitas Sumatera Utara

Terganggunya produksi hormon ini dapat mempengaruhi metabolisme,

perkembangan otak, pernafasan , sistem jantung dan saraf, temperatur tubuh,

kekuatan otot, kulit, berat badan dan tingkat kolesterol.

Produksi hormon tiroid diatur oleh hormon TSH (Thyroid stimulating hormone)

yang diproduksi oleh hipofisis anterior. TSH akan merangsang kelenjar tiroid

untuk mensekresi hormon tiroid, yaitu triidotironin (T3) dan tiroksin (T4).

Apabila dalam darah terdapat sedikit hormon tiroid tersebut, maka kadar TSH

akan meningkat untuk merangsang kelenjar tiroid mensekresi hormon tiroid.

Sebaliknya, apabila dalam darah telah cukup atau bahkan lebih banyak terdapat

hormon tiroid, kadar TSH akan menurun. Sekresi TSH diatur oleh hormon

hipotalamus, yaitu TRH (Thyrotropin Releasing Hormone). Yang terjadi pada

hipotiroidisme adalah kadar TSH meningkat akibat dari fungsi kelenjar tiroid

yang menurun. Selain itu, hipotiroidisme dapat disebabkan oleh kelenjar hipofisis

tidak bekerja secara normal. Terganggunya kerja hipofisis dapat menyebabkan

produksi TSH terganggu dan akibatnya kelenjar tiroid pun akan terganggu.

Hipotiroidisme menyebabkan kecepatan metabolisme karbohidrat dan lemak

menurun, hal ini akan menyebabkan obesitas (Gunawan, 2008).

2. Eksternal

a. Gaya hidup atau tingkah laku

Kemajuan teknolgi, seperti adanya kenderaan bermotor, lift dan lain sebagainya

dapat memicu terjadinya obesitas karena kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan

oleh seseorang. Gaya hidup yang seperti ini yang meningkatkan resiko obesitas,

selain itu mengkonsumsi makanan junk food juga dapat menyebabkan obesitas

karena pada umumnya berkalori tinggi (Hermawan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

b. Lingkungan dan faktor lain

Faktor sosial dan ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Pada

masyarakat menegah ke bawah, obesitas sangat identik dengan makmur. Namun,

pada masyarakat modern, obesitas adalah hal yang harus dihindari (Hermawan,

2008).

2.2.3. Tipe Obesitas

Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut

pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas

dan obesitas tubuh bagian bawah.

1. Obesity bagian atas

Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominasi penimbunan lemak tubuh di

truncal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada truncal, yaitu

truncal subcutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal

(abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak di

dapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai android

obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan

penyakit kardiovaskuler dari pada obesitas tubuh bagian bawah (Sugondo, 2007).

2. Obesitas bagian bawah

Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi

lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obsitas ini lebih banyak terjadi pada

wanita sehingga sering disebut gynoid obesity. Tipe obesitas ini berhubungan erat

dengan gangguan menstruasi pada wanita (Sugondo, 2007).

2.2.4. Dampak Obesitas

1. Diabetes melitus

Universitas Sumatera Utara

Ini terjadi karena resistensi insulin. Simpanan adiposa yang tinggi pada orang

gemuk mengaktifkan paling tidak salah satu enzim, yaitu lipoprotein lipase yang

meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah. Konsentrasi tinggi

asam lemak bebas menstimulasi pelepasan sitokin seperti TNF-α (tumor necrosis

factor-alpha) yang memicu resistensi insulin sehingga kadar glukosa darah

meningkat. Orang gemuk dengan BMI diatas 25, tiap peningkatan BMI 1 angka

mempunyai kecenderungan menjadi diabetes melitus sebesar 25%. Dengan

bertambahnya ukuran lingkaran perut dan panggul, terutama pada obesitas tipe

sentral atau android, dapat menimbulkan resistensi insulin (Mambo, 2008).

2. Hipertensi

Lebih dari 75% kasus hipertensi berhubungan langsung dengan obesitas.

Mekanisme penyebab utama terjadinya hipertensi pada obesitas diduga

berhubungan dengan kenaikan volume tubuh, peningkatan curah jantung, dan

menurunnya resistensi vaskuler sistemik (Mambo, 2008).

3. Penyakit jantung koroner

Obesitas dapat menyebabkan penyakit jantung koroner melalui berbagai cara,

yaitu dengan cara perubahan lipid darah, yaitu peningkatan kadar kolesterol darah,

kadar LDL kolesterol meningkat, penurunan kadar HDL kolesterol dan hipertensi

(Robbin, 1999).

4. Stroke

Seiring dengan meningkatnya tekanan darah, gula, lemak darah, maka orang

obesitas sangat mudah terserang stroke. Ini dikarenakan adanya sumbatan pada

pembuluh darah yang disebabkan oleh lemak yang mengendap di pembuluh darah

sehingga menyebabkan hipertensi, dan jika tidak diobati akan mengakibatkan

kerusakan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan (Robbin, 1999).

5. Sleep Apnea

Universitas Sumatera Utara

Diantara para pasien yang menderita sleep apnea, sekitar 60% sampai 70% adalah

orang yang menderita obesitas. Akibat kegemukan menyebabkan kesukaran

bernafas terutama pada waktu tidur malam, keadaan yang berat dapat

menimbulkan penurunan kesadaran sampai koma. Selama peristiwa sleep apnea,

saluran pernafasan atas terhalang, menghambat atau menghentikan pernafasan dan

menyebabkan kadar oksigen dalam darah berkurang dan meningkatkan tekanan

darah. Orang tersebut harus segera dibangunkan dan kembali bernafas, sehingga

kadar oksigen dalam darah dan aliran darah ke otak normal (Mambo, 2008).

6. Batu empedu

Terjadi karena hati menghasilkan kolesterol, yang merupakan lemak terlalu

banyak dari pada asam-asam yang berfungsi sebagai pelarut, dan lecithin yang

berfungsi sebagai pengemulsi antara lemak dan asam-asam empedu tersebut,

sehingga beberapa kolesterol tersebut tidak larut dan membentuk partikel

kolesterol yang akhirnya menjadi batu empedu. Pada obesitas dengan BMI diatas

30 didapatkan kecenderungan timbul batu empedu dua kali lipat dibandingkan

dengan normal (Robbin, 1999).

7. Kanker payudara.

Wanita yang telah menopause lebih beresiko mengalami kanker payudara. Ini

terjadi karena pada wanita menopause yang obesitas terjadi peningkatan estrogen

yang dihasilkan dari jaringan lemak. Karena jaringan lemak terlalu banyak maka

menghasilkan estrogen dalam jumlah yang besar sehingga berpengaruh terhadap

kanker payudara (Mambo, 2008).

2.2.5. Manajemen obesitas

Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada individu obesitas dan

overweight mengurangi faktor resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti

kuat lainnya juga menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat menurunkan

tekanan darah pada individu overweight normotensi dan hipertensi, mengurangi

Universitas Sumatera Utara

serum trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL, dan secara umum

mengakibatkan pengurangan pada kolesterol serum total dan kolesterol LDL.

Penurunan berat badan juga dapat mengurangi kadar glukosa darah (Sugondo,

2007). Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet

rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku, dan obat-obatan/bedah.

Tujuan penurunan berat badan :

Penurunan berat badan harus SMART : spesific, measurable, achievable, realistic

and time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk

mengurangi berat badan sebesar sekitar 10 persen dari berat badan awal. Batas

waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10 % adalah 6 bulan

terapi. Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat

dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang

terjadi penurunan energi ekspenditure (Sugondo, 2007).

1. Terapi diet

Pada program manajemen berat badan, terapi diet direncanakan berdasarkan

individu. Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal

ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari menjadi bagian

yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun (Sugondo,

2007).

Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kcal/hari sebaiknya

diukur kebutuhan energi basal terlebih dahulu, dengan menggunakan rumus dari

Harris-Benedict:

Laki-laki:

BBE = 66,5+(13,75x kg)+(5,003x cm)-(6,775x age)

Wanita:

BBE = 655,1+(9,563x kg)+(1,850x cm)-(4,676x age)

Universitas Sumatera Utara

Kebutuhan kalori total sama dengan BBE dikali dengan jumlah faktor stres dan

aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2.

Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama

dengan 30% dari total kalori (Sugondo, 2007).

2. Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan

berat badan. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan

peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi

pengurangan resiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan

dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja.

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan dan intensitasnya

sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada

satu saat atau secara bertahap sepanjang hari (Sugondo, 2007).

Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan

jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45

menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran

energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori perhari dapat dicapai. Strategi

lain untuk meningkatkan aktivitas fisik adalah megurangi waktu santai dengan

cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah (Sugondo,

2007).

3. Terapi Perilaku

Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan

dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah,

contigency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial (Sugondo,

2007).

Universitas Sumatera Utara

4. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program

manajemen berat badan. Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan

penurunan berat badan yang disetujui oleh FDA di amerika serikat, untuk

penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine

dan orlistat sangat berguna.

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif

menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian

sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darahndan denyut jantung.

Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi,

penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat stroke.

Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orlistat,

dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial.

Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul (Sugondo, 2007).

5. Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi

ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40

atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai

alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita

komplikasi obesitas yang ekstrem (Sugondo, 2007).

Bedah gastointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau bypass

gastric [roux-en Y] ) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek

yang bermotivasi dengan resiko operasi yang rendah (Sugondo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Obesitas dan hipertensi

Beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan adanya hubungan yang

linear antara obesitas dan hipertensi, hubungan kausalnya belum dapat diketahui

dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas

diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya juga akan turun, oleh karena

itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut,

diantaranya yaitu :

1. Mekanisme hemodinamik

Alexander dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan volume darah sekuncup

dan volume darah pada penderita obesitas dibandingkan dengan yang bukan

obesitas. Juga terdapat peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita

obesitas bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga

timbul pendapat bahwa peningkatan volume sekuncup, volume darah, tahanan

perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas

(Tagor, 1996).

2. Aktivitas saraf simpatis

James, dkk menemukan pada penderita wanita obesitas yang diturunkan berat

badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta

pada pemeriksaan urinnya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme

katekolamin yaitu 4 hidroksi-3metoksi mandelikasid, sehingga timbul pendapat

bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari peningkatan aktivitas

saraf simpatis (Hermawan, 1991).

3. Endokrin

Miller, dkk dalam penelitiannya mendapatkan adanya peningkatan kadar insulin

dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi

ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan

jelas mengurangi sekresi Na dalam glomeruli. Sehingga adanya peningkatan

insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, yang menyebabkan

hipertensi (Wolf, 2004).

Universitas Sumatera Utara