PAPER Kulkel Masitoh

download PAPER Kulkel Masitoh

of 33

Transcript of PAPER Kulkel Masitoh

PAPER

Diajukan untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Rantau Prapat

Disusun oleh :

MASITOH SAHARA NASUTION 071001127

Dosen Pembimbing : dr. Hj. Susi Rossalina Ginting, Sp. KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINRUMAH SAKIT UMUM DAERAH RANTAU PRAPAT LABUHAN BATU

2011

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I BAB II PENDAHULUAN ERUPSI OBAT ALERGIK 2.1. Defenisi Erupsi Obat Alergik 2.2. Etiologi Erupsi Obat Alergik i iii iv v vi vii 1 2 2 2 2 3 4 8 9 9 16 16 21 21 25 25 26 27

2.3. Faktor Resiko Erupsi Obat Alergik 2.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergik 2.4.1. Mekanisme Imunologis 2.4.2. Mekanisme Non Imunologis 2.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergik 2.5.1. Morfologi dan Distribusi 2.6. Diagnosis Banding Erupsi Obat Alergik 2.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergik 2.8. Klasifikasi Erupsi Obat Alergik 2.9. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik 2.10. Pencegahan Erupsi Obat Alergik 2.11. Prognosa Erupsi Obat Alergik[

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5

Judul Reaksi Imunologis dan Non Imunologis Obat-obat yang dapat menimbulkan Erupsi Eksantematosa Rangkuman Penilaian yang harus Dilakukan Pengelompokan Erupsi Obat Alergik berdasarkan Waktu Uji Diagnostik dan Terapi Hipersensitivitas Obat

Halaman 8 12 17 21 23

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar 2.1 Struktur Kulit Normal

Judul

Halaman 4 5 6 6 7 7 9 10 11

Gambar 2.2 Reaksi Hipersensitifitas Tipe I Gambar 2.3 Reaksi Hipersensitifitas Tipe II Gambar 2.4 Reaksi Hipersensitifitas Tipe III Gambar 2.5 Reaksi Hipersensitifitas Tipe IV Gambar 2.6 Reaksi Hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell Gambar 2.7 Urtikaria yang disebabkan oleh Penggunaan Penisilin Gambar 2.8 Eritema Multiforme Gambar 2.9 Fixed Drug Eruption (FDE) Gambar 2.10 Erupsi Eksantematosa karena Penggunaan Obat Golongan Sefalosporin Gambar 2.11 Eritroderma Gambar 2.12 Purpura Gambar 2.13 Eritema Nodosum Gambar 2.14 Reaksi Fotoalergik akibat Bramida Gambar 2.15 Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) Gambar 2.16 Sindrom Stevens-Johnson Gambar 2.17 Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Gambar 2.18 Uji Tempel (Patch Test) Gambar 2.19 Uji Tusuk (prick/scratch test) Gambar 2.20 Algotritme dalam Mendiagnosis dan Menatalaksana Erupsi Obat Alergik 11

12 13 13 14 14 15 16 18 19

24

BAB I PENDAHULUAN

Obat adalah zat yang digunakan untuk menegakkan diagnosa, profilaksis, dan pengobatan.1 Alergi obat merupakan respons abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi hipersensitifitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat.2 Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut Erupsi Obat Alergik (Allergic Drug Eruption).3 Erupsi obat alergi (allergic drug eruption) ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.1 Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang mengakibatkan erupsi obat alergik. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, dan obat-obatan antikonvulsan.3 Angka kejadian erupsi obat alergik ini sulit diketahui karena manifestasi klinis yang bervariasi. Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan dapat mengakibatkan kematian. Gangguan erupsi obat alergik ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat merupakan salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.1,4,5

BAB II ERUPSI OBAT ALERGIK

2.1. Definisi Erupsi Obat Alergik Erupsi obat alergik (allergic drug eruption) ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik yaitu obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus.1 2.2. Etiologi Erupsi Obat Alergik Erupsi Obat Alergik merupakan manifestasi reaksi obat pada kulit. Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang umumnya mengakibatkan erupsi obat alergik. Obat-obatan tersebut yaitu, antibiotik (terutama penisilin, penisilin semisintetik, dan sulfonamid), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), dan obat-obatan antikonvulsan.32.3. Faktor Resiko Erupsi Obat Alergik2,4,5

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat alergik adalah: 1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini. 2. Sistem imunitas

Erupsi obat alergik lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal 3. Genetik atau herediter

Faktor genetik atau herediter dapat meningkatkan resiko terjadinya erupsi obat alergik jika ada sifat hipersensitivitas. 4. Usia

Alergi obat dapat terjadi pada semua umur. Pada anak-anak mungkin disebabkan oleh perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.5.

Dosis dan cara pemberian obat

Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, maka semakin besar kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. Pemberian obat secara topikal, intramuskular dan intravena lebih cenderung menyebabkan reaksi dibandingkan pemberian oral. 6. Infeksi dan keganasan

Mortalitas tinggi juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai keganasan. Reaktivasi infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada penderita sindrom hipersensitifitas obat. 2.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergik Secara alami, kulit merupakan organ immunologis yang mengandung seluruh elemen immunitas seluler, kecuali sel B limfosit. Dengan adanya suplai dari darah dan limfatik memungkinkan sel immun melakukan migrasi dan menuju kulit. Beberapa sel yang memegang peranan penting yaitu : sel langerhans, sel T limfosit, sel Mast, dan keratinosit. Sel langerhans mampu melakukan fagositosis, sekresi sitokin, dan sebagai pengenalan antigen. Sel T merupakan sel yang bertanggun jawab dalam respon seluler. Dan di lapisan kulit juga terdapat sel mast yang berperan dalam

proses inflamasi dan sel keratinosit yang juga mampu melepaskan sitokin proinflamasi.

Gambar 2.1. Struktur Kulit Normal

Sumber : Graham-Brown R. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154. Ada dua macam mekanisme reaksi obat pada kulit yaitu mekanisme imunologis dan mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif melalui proses detoksifikasi, yaitu obat yang larut dalam lemak dan nonpolar menjadi obat yang hidrofilik dan polar yang mudah diekskresi.1 2.4.1. Mekanisme Imunologis

Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas. Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Coombs dan Gell.2 Tipe reaksi hipersensitivitas tersebut adalah :

1.

Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Antibodi yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat umumnya tidak menimbulkan reaksi. Obat (seperti ; penisilin) yang masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan respon imun yang diawali dengan presentasi Antigen oleh APC (Antigen Presenting Cell) sehingga oleh sel B akan terbentuk memori dan sel plasma yang akan membentuk antibodi (IgE). Oleh pemaparan kembali dengan obat akan terjadi degranulasi sel mast yang mengakibatkan keluarnya mediator-mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis). Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah syok. Gambar 2.2. Reaksi Hipersensitifitas Tipe I

Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 2. Tipe II (Reaksi Autotoksis) Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat (seperti; penisilin, sefalosporin, isoniazid, streptomisin, dan sulfonida) yang mengubah membran permukaan sel. Terdapat ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen akan memacu

sejumlah reaksi, seperti terjadi reaksi obat-antibodi-komplemen yang akan terfiksasi dan akhirnya lisis. Sel sasaran pada reaksi ini adalah eritrosit, leukosit, trombosit, dll. Bila sel sasarannya trombosit, maka akan timbul keluhan kulit berupa purpura. Gambar 2.3. Reaksi Hipersensitifitas Tipe II

Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan dengan obat (seperti; penisilin, eritromisin, sulfonamid, isoniazid, salisilat) akan membentuk kompleks antigen antibodi (Ig-G dan Ig-M) dalam sirkulasi darah atau jaringan akan mengaktifkan komplemen. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh sehingga terjadi reaksi radang dan mengakibatkan kerusakan jaringan. Gambar 2.4. Reaksi Hipersensitifitas Tipe III

Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 4. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit, APC, dan sel Langerhans. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen yang menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi type ini adalah dermatitis kontak alergik. Gambar 2.5. Reaksi Hipersensitifitas Tipe IV

Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. Gambar 2.6. Reaksi Hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell

Sumber : Graham-Brown R. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154.2.4.2. Mekanisme Non Imunologis6

Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa mekanisme yang terjadi merupakan akibat dari :1. Pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung

dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.2. Proses farmakologis obat terhadap tubuh, seperti; Alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah

kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse. Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis

Sumber : Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp 2.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergik 2.5.1. Morfologi dan Distribusi Erupsi alergi obat yang timbul mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;1.

Urtikaria dan angioedema1,7

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat dalam beberapa menit dan dapat hilang secara perlahan-lahan dalam beberapa menit sampai 24 jam. Kelainan kulit ini terdiri atas urtika yang tampak eritem akibat vasodilatasi disertai edema akibat tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Kadang-kadang dapat disertai dengan demam dan juga angioedema. Angioedema merupakan edema berbatas difus di dermis bagian dalam dan jaringan subkutan yang umumnya disertai rasa panas yang timbul dalam beberapa jam. Biasanya unilateral dan terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan, dan kaki.

Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. Gambar 2.7. Urtikaria yang disebabkan oleh Penggunaan Penisilin

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352.

2.

Eritema multiforme1,3

Eritema bulat atau oval dengan pusat berwarna ungu kehitaman pada kulit yang berbentuk seperti sasaran tembak. Obat-obat yang menjadi penyebab, yaitu barbiturat (long-acting sulfonamide), kotrimoksazol, rifampisin. Gambaran klinis mirip dengan morbili, tetapi pada morbili tidak ada rasa gatal dan selalu disertai demam tinggi. Terdapat dua jenis eritema multiforme, yaitu eritema multiforme minor tanpa gangguan sistemik dan eritema multiforme mayor dengan gangguan sistemik (sindrom stevens johnson). Gambar 2.8. Eritema Multiforme

Sumber : Graham-Brown R, Burns T. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154.3.

Fixed Drug Eruption (FDE)1

FDE terlihat sebagai vesikula dan eritema berbentuk bulat atau lonjong, biasanya numular, dan meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang susah hilang bahkan menetap. Lesi baru akan timbul satu sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti lesi berikutnya dalam waktu 24 jam. Lesi biasanya muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki, dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Secara histologis, FDE ditandai dengan adanya limfosit di dermalepidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi. Gambar 2.9. Fixed Drug Eruption (FDE)

Sumber:

Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

4.

Erupsi eksantematosa3,7

Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk makulopapuler. Awalnya terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului pustulasi di daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus.

Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kulit dari merah terang ke warna coklat kemerahan yang disertai deskuamasi kulit. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa sel T juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. Gambar 2.10. Erupsi Eksantematosa karena Penggunaan Obat GolonganSefalosporin.

Sumber:

Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

Obat-obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Obat-Obat yang dapat menimbulkan Erupsi Eksantematosa

Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf5.

Eritroderma1

Eritroderma ialah terdapatnya eritema di seluruh tubuh atau hampir seluruh tubuh yang pada penderita alergi obat skuama baru akan timbul pada stadium penyembuhan. Obat yang biasa menimbulkan kelainan ini adalah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon. Gambar 2.11. Eritroderma

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-3526.

Purpura1

Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang bila ditekan dan disertai rasa gatal. Purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Gambar 2.12. Purpura

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-3527.

Eritema nodosum1

Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, anoreksia, mialgia, dan malaise. Tempat predileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah. Obat yang biasanya menyebabkan kelainan ini adalah sulfonamid dan kontrasepsi oral. Gambar 2.13. Eritema Nodosum

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

8.

Reaksi fotoalergik1

Gambaran klinis reaksi fotoalergik, yaitu eritema, papula, vesikel, erosi, dan disertai rasa gatal dengan lokalisasi pada tempat yang terpajan sinar matahari dan dapat meluas ke daerah lain yang tidak terkena sinar matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergik ialah fenotiazin, sulfonamid, NSAID, dan griseofulvin. Gambar 2.14. Reaksi Fotoalergik akibat Bramida

Sumber:

Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

9.

Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)1 PEGA memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang

eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti deskuamasi kulit. Penyakit ini sangat jarang terjadi. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Gambar 2.15. Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)

Sumber:

Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

10. Sindrom Stevens-Johnson 4,8

Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, mukosa orifisium (oral, konjunctiva, dan anogenital), dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. Gambar 2.16. Sindrom Stevens-Johnson

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352. 11. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)8

NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis (epidermis terlepas dari dasarnya) menyeluruh, disertai kelainan selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung, kemudian timbul banyak vesikel disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien, kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kadang-kadang kuku dapat terlepas. NET merupakan penyakit berat yang sering menyebabkan kematian. Gambar 2.17. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

Obat-obat yang dapat memperburuk kelainan kulit tertentu, yaitu3 ;a.

Akne oleh obat-obat androgenik (danazol dan

stanozolol), kontrasepsi oral, dan kortikosteroid.b.

Porfiria termasuk fotosensitivitas kulit oleh obat

terutama barbiturat dan estrogen.c. d.

Psoriasis oleh lithium dan antimalaria Lupus Eritematosus Sistemik oleh penisilin dan

sulfonamid 2.6. Diagnosis Banding Erupsi Obat Alergik Diagnosis banding pada erupsi obat alergik tergantung lokalisasi, jenis, dan sifat efloresensi yang timbul.11 2.7. Diagnosis Erupsi Obat Alergik Dasar menegakkan diagnosis erupsi obat alergik adalah: 1 1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara teliti untuk mengetahui riwayat penggunaan obat sebelum timbulnya kelainan kulit, jenis kelainan kulit yang timbul, keluhan yang menyertai kelainan kulit tersebut seperti demam (biasanya subfebris), dan kapan kelainan kulit tersebut timbul. 2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik melalui inspeksi dapat ditemukan bentuk kelainan kulit yang timbul dengan distribusi yang menyeluruh dan simetris. Tabel 2.3. Rangkuman Penilaian yang harus Dilakukan Karakteristik Tipe lesi primer dan sekunder klinis Distribusi dan jumlah lesi Keterlibatan membran mukosa Gejala : demam, pruritus, perbesaran limfonodus Faktor kronologis Catat semua obat yang dipakai pasien

Waktu pertama pemakaian obat Waktu ketika timbulnya erupsi Interval waktu pemberian obat dengan munculnya erupsi kulit Respon penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab Respon saat dilakukan pemaparan kembali Literatur Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat Daftar pemakaian obat dengan peringatan Bibliografi obat Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 Penegakkan diagnosis harus dimulai dari deskripsi yang akurat mengenai jenis dan distribusi lesi serta gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat, serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi juga harus dikumpulkan.10 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan

penyebab erupsi obat alergik adalah: 1,9 A. Pemeriksaan in vivo Untuk mengkonfirmasi diagnosis alergi obat dapat dilakukan uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji tempel kulit (Skin patch test)

Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester.

Uji tempel dinyatakan positif apabila terjadi erupsi pruritus, eritema, dan vesikular yang serupa dengan reaksi klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala yang lebih ringan. Harus diingat bahwa kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi hasil negatif palsu. Gambar 2.18. Uji Tempel (Patch Test)

Sumber : Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & ClinicalImmunology. No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf Uji tusuk kulit (Skin prick/scratch test)

Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah. Lapisan superfisial kulit ditusuk memakai lanset atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk, kemudian setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Gambar 2.19. Uji Tusuk (prick/scratch test)

Sumber : Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & ClinicalImmunology. No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji kulit ini adalah ; Antihistamin

Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit sehingga dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik

Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh lebih kecil dibandingkan antihistamin. Jadi pengobatan kortikosteroid sistemik cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat golongan agonis Obat golongan agonis juga mempunyai pengaruh sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Usia Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik dilakukan setelah usia 3 tahun.

Uji provokasi (exposure test)

Uji provokasi obat dalam kepustakaan disebut rechallenge test, yaitu pemberian kembali obat yang sudah dihentikan beberapa waktu untuk eliminasi komplit. Karena sulit untuk menentukan eliminasi total, maka obat dihentikan sampai 5 kali masa paruh obat tersebut. Uji provokasi dinyatakan positif bila reaksi yang timbul sama dengan gejala seperti pada pemberian obat saat dicurigai alergi obat. Bila tidak terjadi reaksi atau reaksi yang timbul tidak sama dengan gejala alergi, maka uji provokasi dikatakan negatif. Bila reaksi yang timbul tidak sama tetapi diperkirakan sebagai gejala prodromal alergi obat maka hasil uji provokasi dikatakan sugestif. Sebelum dilakukan uji provokasi dibuat daftar urut obat yang akan diuji, mulai dengan obat yang paling tidak dicurigai. Biasanya diberikan obat mulai dengan dosis rendah secara oral. Dosis awal yang digunakan sampai 1% dari dosis terapeutik, tetapi untuk reaksi alergi obat hebat dosis awal harus 100-1000 kali lebih rendah. Dosis tersebut dinaikkan 10 kali setiap 15-60 menit (tergantung dari cara pemberian obat). Bila terjadi reaksi maka uji provokasi dihentikan, atau dilanjutkan dengan desensitisasi bila obat tersebut dianggap sangat penting dan sulit digantikan. Pada uji provokasi dan desensitisasi harus selalu tersedia peralatan resusitasi untuk mengatasi kedaruratan yang mungkin terjadi. B. Pemeriksaan in vitro

Pemeriksaan in vitro untuk alergi obat umumnya terbatas sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin.2 Pemeriksaan in vitro diperantarai oleh antibodi (hemaglutinasi pasif, radio immunoassay, degranulasi basofil, tes fiksasi komplemen) dan diperantarai oleh sel (tes transformasi limfosit, leucocyte migration inhibition test). Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik in vitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi tersebut disebabkan karena obat atau bukan. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat alergik. Uji provokasi dengan melakukan pemaparan kembali

obat yang dicurigai merupakan uji yang paling membantu pada saat ini, tetapi risiko timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi obat yang serius seperti pada penderita dengan gejala awal seperti eritroderma, purpura, dan pustulasi. Perlu diketahui bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita NET terkait dengan penggunaan obat.1,6 2.8. Klasifikasi Erupsi Obat Alergik5 Penggolongan erupsi alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat. Pengelompokan erupsi obat alergik yang timbul berdasarkan waktu dapat dilihat pada tabel 2.4. Bila reaksi alergi segera membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis. Tabel 2.4. Pengelompokan Erupsi Obat Alergik berdasarkan Waktu Segera (immediate)Urtikaria Edema Larynx

Cepat (accelerated)Urtikaria Erupsi Morbiliform Edema Larynx

Lambat (late)Urtikaria Exanthem Serum Sickness Drug Fever

Sangat Lambat

Sindroma Steven - Johnson Sindroma Lupus Eritematous

< 60 menit IgE

1 72 jam IgG

> 3 hari

> 7 hari IgM

Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdkfiles-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht 2.9. Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik Pengobatan alergi obat dilakukan dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid.5,10 1. Penatalaksanaan Umum

a.

Melindungi kulit dengan segera menghentikan pemberian obat yang

diduga menjadi penyebab erupsi kulit. 4,10b.

Menjaga kondisi pasien dengan selalu mengawasi kemungkinan

timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan.4,10c.

Menjaga kondisi fisik pasien termasuk keseimbangan cairan tubuh

dan asupan nutrisi terutama pada pasien yang sukar menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran yang menurun. Untuk itu perlu diberikan cairan via infus, misalnya glukosa 5% dan larutan Darrow.8,10d.

Tranfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;

khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. 8 2. Penatalaksanaan Khususa.

Sistemik i. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi obat alergik, dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sehari. Pada eritrodermia dosisnya adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan memberikan terapi suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0,2- 0,75 g/kgBB selama 4 hari pertama. Penggunaan glukortikoid pada pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial.1,7

ii.

Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif diberikan jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, karena efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.1

b. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Bila kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Dan bila basah perlu dikompres, misalnya dengan larutan asam salisilat 1. Pada purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan basah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak. 1,8 Uji diagnostik dan terapi hipersensitivitas obat dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5. Uji Diagnostik dan Terapi Hipersensitivitas ObatReaksi Imun Tipe I Uji Laboratorium Uji kulit, RAST (Radio Allergosorbent Test), serum triptase Uji Coombs direk dan indirek LED, C-reactive protein, kompleks imun, komplemen, autoantibodi, biopsi jaringan,imunoflurosens Patch testing, pemeriksaan proliferasi limfosit Terapi Penghentian obat, epinephrin, antihistamin, kortikosteroid sistemik, bronkodilator, rawat RS bila berat Penghentian obat, kortikosteroid sistemik, tranfusi bila berat Penghentian obat, antiinflamasi non-steroid, antihistamin atau kortikosteroid sistemik atau plasmaferesis bila berat Penghentian obat, antihistamin atau kortikosteroid topikal bila berat

Tipe II

Tipe III

Tipe IV

Sumber : Akip AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CH. Alergi Obat. In Akip AAP, Munasir Z, Kurniati N, editors. BUKU AJAR Alergi-Imunologi Anak. 2nd ed. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2008. p. 303.

Gambar 2.20. Algotritme Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik

Sumber :

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp

2.10.

Pencegahan Erupsi Obat Alergik Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya sangat penting dilakukan walaupun harus dinilai secara kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Apabila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka ia seharusnya membuat surat keterangan tentang hal tersebut karena akan sangat bermanfaat untuk upaya pencegahan pada semua keadaan. Selain itu, dokter harus mempertimbangkan pemberian obat lain yang yang tidak mempunyai reaksi silang dengan obat yang dicurigai tersebut. Semakin sering seseorang memakai obat, maka akan semakin besar pula kemungkinan timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu.2

2.11.

Prognosa Erupsi Obat Alergik Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan sembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa Sindrom Stevens-Johnson, prognosa dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.1

BAB III KESIMPULAN

Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Belum diperoleh angka kejadian yang tepat dari erupsi obat alergik ini. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. Ada dua macam mekanisme yang dikenal pada erupsi obat alergik, yaitu mekanisme imunologis dan mekanisme non imunologis. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, dermatitis medikamentosa, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum ditemukan uji laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Pada penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan pada penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 154-8.2. Akip AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CH. Alergi Obat. In Akip AAP,

Munasir Z, Kurniati N, editors. BUKU AJAR Alergi-Imunologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2008. p. 294-306.

2nd ed.

3. Graham-Brown R, Burns T. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih

bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 201-7.4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 nd ed.

Pharmaceutical

Press.

2006.

Access

on:

June

3,

2007.

Available

at:

http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf5. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.

Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht6. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption. In: Hong Kong Practitioner.

Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf7. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In:

Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6 th ed. USA: The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2003. p: 1330-13378. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:

Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-1399. Docrat ME. Fixed Drug Eruption. In: Current Allergy & Clinical Immunology.

No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf

10. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One.

2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 33335211. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. 2nd ed. Hartanto H, editors.

Jakarta: EGC; 2004. p. 137-40.