PBL lidya
-
Upload
priscila-ratna-suprapto -
Category
Documents
-
view
18 -
download
2
description
Transcript of PBL lidya
DEFINISI
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae dan
menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophobia, la
rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai
penyakit anjing gila.
SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylon kira-kira abad ke-23 sebelum Masehi (SM) dan Democritus
menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada
manusia dengan gejala hidrofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru
ditulis pada abad ke-I 6 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pasteur
mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan tiilakukan dengan cara kauterisasi
sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan
ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960.
ETIOLOGI
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssa-virus dari famili Rhabdoviridae. Dari genus Lyssa-virus
ada 11 jenis virus yang secara antigenik mirip virus rabies dan yang menginfeksi manusia adalah virus
rabies, Mokola, Duvenhage dan European bat lyssa-virus. Virus rabies termasuk golongan virus RNA. Virus
berbentuk peluru dengan ukuran 180 x 75 nm, singlesfranded'RNA, terdiri dari kombinasi nukleo-protein
yang berbentuk koil heliks yang tersusun dari fosfoprotein dan polimerasi RNA. Selubung virus terdiri dari
lipid, protein matriks dan glikoprotein. Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperatur 56° C waktu
paruh kurang dari satu menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37° C dapat bertahan beberapa jam.
Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45 %, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang
sekeluarga dengan rabies diklasifikasikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1, Mokola
genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotip 5 dan 6.
DISTRIBUSI DAN INSIDENSI
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies seperti Australia,
sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai,
Selandia Baru, Jepang dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan
7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan Barat.
Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data rabies yang akurat jarang dijumpai pada banyak
negara di dunia sehingga sulit untuk menentukan insidensi penyakit ini secara global. Pada survei tahun
1999, 45 negara dari 145 negara yang disurvei dilaporkan tidak dijumpai kasus rabies di tahun tersebut.
Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies pada manusia diperkirakan lebih 50.000 orang tiap
tahunnya dan terbanyak pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Dari
tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan lebih 86.000 kasus gigitan binatang tersangka rabies di seluruh
Indonesia (rata - rata per tahun 12.400 kasus) dan yang terbukti rabies 538 orang (rata - rata 76 kasus per
tahun). Pada tahun 2000 kasus rabies paling banyak dilaporkan dari provinsi NTT (59 kasus), Sulawesi
Tenggara (14 kasus), Sumatera Barat (8 kasus), Bengkulu dan Sulawesi Selatan (masing-masing 7 kasus).
Pada tahun 2001 kasus terbanyak terjadi di Sumatera Barat (18), Sulawesi Tenggara (13) dan NTT (11),
sedangkan pada tahun 2002 dan 2003 tidak ada provinsi yang melaporkan lebih dari 10 kasus per tahun. Di
Indonesia binatang penggigit yang paling banyak adalah anjing (90%), kucing (6%), kera dan lain-lain (4%).
Di Asia rabies banyak dijumpai di India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina dan Thailand.
Negara lain yang juga banyak dijumpai kasus rabies adalah Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Amerika
Serikat.
TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dan
ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host
ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan terhadap Infeksi. Transmisi
dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan.Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya
virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering infeksi terjadi melalui
gigitan anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi (serigala,
musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi
rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada
kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya
infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada tempat masuk dan di
jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer
tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma
dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin
post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar
secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion
dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjurnya virus menyebar dengan kecepatan 3
mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus
menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjurnya dari SSP
ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal,
mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem
respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain
dart medula spinalis pada rabies tvpefurious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan
patologi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskuler, neuronofagia, dan
pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri bodies yaitu benda
intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler
seperti ribosomes.'Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri,
batang otak, hipotalamus, sel Purkinje serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kasus rabies
tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies.
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi rabies 95 % antara 34 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7 hari-7 tahun, hanya 1 %
kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa.
Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh
dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada
kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit
dipisahkan saru dari yang lainnya, yaitu: 1. gejala prodromal non-spesifik ; 2. ensefalitis akut ; 3. disfungsi
batang otak; 4. koma dan kematian.
Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai
gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut,
sakit kepala, Inalaisc, mialgia, mual, muntah, diare dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih spesifik
yaitu adanya gatal dan parestesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal
dapat berlangsung sampai 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang
dapat berupa forious atau paralitik. Mioedema (mounding ofpart of.the musele stiitck wilh a reflcx hammer
which than disappears in Ihefew seconds ) dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama
perjalanan penyakit.
Stadium Neurologi Akut
Dapat berupa gejala Juripus atau paralitik. Pada gejala furioas penderita menjadi hiperaktif, disorientasi,
mengalami halusinasi, atáu bertingkah laku aneh. Setelah beberapa jam - hari, gejala hiperaktif menjadi
intermiten setiap 1-5 menit berupa periode agitasi, ingin lari, menggigit diselingi periode tenang. Keadaan
hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan dari luar seperti suara, cahaya, tiupan udara dan rangsangan
lainnya yang menimbulkan kejang sehingga timbul bermacam-macam fobia terhadap rangsangan-rangsangan
tersebut. Bila penderita diberi segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi spasme hebat otot-
otot faring, akibatnya penderita menjadi takut terhadap air (hidrofobia) yang khas untuk rabies. Keadaan
yang sama dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke muka pasien (aerofobia),
atau dengan menjatuhkan sinar ke mata (fotofobia) atau dengan menepuk tangan didekat telinga pasien.
Tanda-tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktifitas, halusinasi, gangguan kepribadian,
meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktuasi suhu badan,
dilatasi pupil. Lesi pada nukleus amigdaloid memberikan gejala libido yang meningkat, priapismus, dan
orgasme spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil yang ireguler,
peningkatan lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural, h ipersalivasi. Gejala lain dalam fase
neurologik akut ialah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Meskipun sering kejang penderita
tetap sadar. Gejala-gejala stadium eksitasi dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal. Kematian
paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal napas yang disebabkan oleh kontraksi
hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan miokarditis, aritmia dan henti jantung
akibat stimulasi saraf vagus. Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk ke stadium paralitik.
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk stadium paralitik yang ditandai oleh
demam dan sakit kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau simetri, atau dapat
menyebar secara aseenden seperti pada sindroma Guillain-Barre, dan kaku kuduk dapat dijumpai. Pada
stadium paralitik dapat tidak ditemui gejala hidrofobia, aerofobia, hiperaktivitas dan kejang. Pada keadaan
ini kesadaran dapat utuh, akan tetapi dapat memburuk secara gradual menjadi bingung, disorientasi,
paraplegia, gangguan menelan, kelumpuhan pernafasan, dan akhirnya meninggal. Seluruh manifestasi
neurologik akut terjadi selama 2 - 7 hari dengan fase paralitik lebih panjang.
Ta bel 1. Perjalanan Penderita Rabies Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
Inkubasi • < 30 hari (25%)• 30-90 hari (50%)• 90 hari-1 tahun• (20%)• > 1 tahun (5%)
Tidak ada
Prodromal 2-10 hari Parestesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual & muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi,
ansietas, depresi
Neurologi akut 2-7 hari
2-7 hari
Halusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi, menggigit, hidrophobia, hipersalivasi, disfagia, afasia, inkoordinasi, hiperaktif, spasme faring, aerofobia, hiperventilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH
Paralisis flaksid
Koma 0-14 hari Autonomic instability, hipoventlasi, apnea, henti nafas, hipotermia/ hipertermia, hipotensi, disfungsi piruitari, rhabdomiolisis, aritmia dan henti jantung.
Stadium Koma
Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma. Koma dapat
terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat berlangsung hanya beberapa jam sampai
berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat
segera meninggal setelah terjadi koma, dan pada penanganan di Amerika Serikat rata-rata lamanya
perawatan sampai meninggal 13 hari. Beberapa komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab kematian.
Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis
rabies hidup. Dua penderita diberikan vaksin tanpa imunoglobulin sesudah gigitan multipel dan bertahan
hidup lama (34 bulan pada 1 kasus) tetapi dengan gangguan neurologik yang berat. Dua kasus lain
didiagnosis sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin embrio bebek dan suckling mouse vaccine
tetapi diagnosis hanya berdasarkan tes serologi (tidak dijumpai antigen/virus).
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi
neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra-kranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes
insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan
hipertensi, hipotensi, hipertemia/ hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun
generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering
terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan
terjadi pada fase nerurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan
otonomik. Penanganan terhadap komplikasi seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Komplikasi pada Rabies dan Penanganannya
Jenis komplikasi Penanganannya
NeurologiHiperaktifHidrofobiaKejang fokalGejala neurologi lokalEdema serebriAerofobiaPituitariSAHADDiabetes InsipidusPulmonalHiperventilasi Hipoksemiu Atelektasis ApneaPneumotoraksKardiovaskularAritmiaHipotensiGagal jantung kongestifTrombosis arteri/ venaObstruksi vena kava superiorHenti jantungLain-lainAnemiaPerdarahan gastrointestinalHipertermiaHipotermiaHipovolemialleus paralitikRetensio UrinGagal ginjal akutPneumomediastinum
Fenotiazin, benzodiazepine Tidak diberi apa-apa lewat mulut Karbamazepin, fenitoin Tak perlu tindakan apa-apa Mannitol, gliserol Hindari stimulasi
Batasi cairanCairan, vasopresin
Tidak adaOksigen, ventilator. PEEPVentilatorVentilatorDilakukan ekspansi paru
Oksigen, obat anti-aritmiaCairan, dopaminBatasi cairan, obat-obatanHeparinLakukan pencegahan Resusitasi
Transfusi darahH2 blockers, transfusi darahLakukan pendinginanSelimut panasPemberian cairanCairan parenteralKateterisasiHemodialisisTidak dilakukan apa-apa
Dikutip dari Manclell, Douglas & Sehnett's. Principlcs and Praclice oflnfectious Diseases. 4 th edition, 1995.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik. Pada awal dari penyakit hemoglobi normal
dan sedikit menurun pada perjalanan penyakit; leukosit antara 8000 - 13.000/mm3 dengan 6 - 8% monosit
yang atipik, namun leukositosis 20.000- 30.000/mm3 sering dijumpai: trombosit biasanya normal. Pada
urinalisis dijumpai albuminuria dengan peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pada cairan serebro spinal
(CSS) dapat dijumpai gambaran ensefalitis, peningkatan leukosit 70/rqm\ tekanan CCS dapat normal atau
meningkat: protein dan glukosa normal. Selama minggu pertama perjalanan penyakit cairan serebrospinal
normal pada 40 % penderita. Limfositik pleiositosis ringan biasanya terjadi dan protein total meningkat lebih
dari 200 mg/'dL. Pada rEEG secara umum didapatkan gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan
paroksismal spike. Computed tomography scanning (CT) dan MRI (magnetic resonance imaging) pada otak
normal.
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal dari saliva, hapusan
tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kuljt/ otak, cairan serebrospinal, dan kadang-kadang urin. Isolasi
virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit; hal ini
berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies.
Deteksi neutralizing antibody dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat dipakai sebagai alat
diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga menegaskan diagnosis tetapi muncul 2 - 3
hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun
dipakai untuk mengevaluasi respons antibodi pada serum dan CCS sesudah vaksinasi yang memberikan
kadar tinggi (pada CCS kadarnya 2 -25% dari seruni). Pada kasus tertentu antibodi dapat tidak terbentuk
sampai hari ke-24. Fluorescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies di
jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, bahkan setelah tehnik isolasi virus tidak berhasil.
Sensitivitas test ini 60 - 100%.
. FAT pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada
awal penyakit (minggu I) FAT pada dari kulit di leher merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat
terjadi negatif palsu. Di Amerika Serikat tes standard adalah rapid fluorencent
focus inhibition tesi (RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48
jam.
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut, yang bersifat
asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir basofilik didalamnya Negri bodies dapat
dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak penderita post-mortem dan jaringan otak hewan
terinfeksi atau hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada
infeksi virus lainnya, dapat dilakukan melalui pemeriksaan Revcrse-Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR).
DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus dipikirkan pada semua penderita dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang
tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang
pada daerah endemis rabies.
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologis orang-orang yang
terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika
diberi minum (pseudohidrofobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus dan pada awalnya
menerima air dan minum, yang akhirnya menyebabkan spasme faring.
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek, adanya trismus, kekakuan
otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak
terdapat hidrofobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai
hidrofobia.
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan sindroma Guillain Barre, transverse myelitis, Japanese
ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat
timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik. Ensefalitis post vaksinasi
rabies terjadi 1 : 200-1 : 1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya
gejala cepatv dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan
laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.
PENANGANAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan hanya berupa tindakan
suportif dalam penanganan gagal janmng dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya
dilakukan , hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan
bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang
sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah, diagnosis ditegakkan untuk menghindari rangsangan-
rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu
menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur. urin, air mata. cairan lain, dan yang paling
berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan
universalprecautioni (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah dan tinja.
Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit,
hipotensi, edema serebrLj Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesikj secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadU Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus, interferon,
kortikosteroiáj dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif. Dalam dekade terakhir ini hampir tidak
banyak perkembangan dalam penanganan kasus rabies secara lebih agresa yaitu dengan pemberian vaksin
antirabies, imunoglobulin (monoklonal). Antiviral agent yang dianjurkan adalah ribavirin, interferon alfa,
dan ketamin.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak
ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan
pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu
yang berisiko tinggi tertular rabies.
Penanganan Luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka gigitan harus segera
dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40 - 70 %, tinktura
yodii, atau larutan ephiran 0,1 %. Luka akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit
kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi
bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.
Vaksinasi
Vaksinasi Post-exposure. Dasar vaksinasi post-exposure (pasca-paparan) adalah neutralizing antibody
terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam seram setelah masuknya virus kedalam tubuh dan
sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi
penyakit. Neutralizing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum anti rabies atau
secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu : a). Ners'e tissue vaksin (NTV) yang dapat
berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet atau berasal dari otak bayi
hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal
dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti
Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVKV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua kasus gigitan yang
parah dan semua gigitan binatang Uar yang biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum ami
rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human
Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca-paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa pemberian VAR secara
intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen
Essen/ rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0,7,21 (regimen Zagreb/ rekomendasi
Depkes RI). Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai Red Cross
Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian dosis 0,1 ml intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1
dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila
digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan
dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas,
pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian
SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah sekitar luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat
yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR
Vaksinasi pre- exposure. Untuk menghindari infeksi virus rabies, di samping pemberian VAR setelah
mendapatkan gigitan binatang tersangka rabies, pencegahan lebih dini juga dapat dilakukan dengan
memberikan suntikan yang sama tetapi dengan waktu, cara dan dosis yang berbeda melalui profilaksis pre-
exposure (pra-paparan).
Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies seperti dokter hewan, pekerja di kebun
binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium yang bekerja dengan virus
rabies, dokter dan perawat yang menangani penderita rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah endemis
rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan untuk mendapatkan pencegahan pre-
exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 ml secara intramuskuler pada hari 0, 7 dan 28 lalu
booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.
Efek Samping/komplikasi Vaksinasi Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap
rabies juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal berupa
bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise,
mual, muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi ini dengan pemberian kompres lokal pada tempat
suntikan, anti histamin, dan antipiretik.
Komplikasi neurologis yang cukup berbahaya adalah ensefalomielitis dengan gejala sakit kepala
mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini
biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein mielin yang bersifat
ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakainan DEV dapat pula terjadi
reaksi alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi harus dihentikan
dan penderita diberikan kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada pemberian
HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin generasi baru
(PVRV) tidak pernah dilaporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness. Reaksi anafilaksis
ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan
antihistamin.
PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100 % bila virus sudah mencapai sistem saraf. Dari
tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak
tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis rabies selalu fatal
karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2 -3 hari sesudahnya sebagai akibat
gagal napas/ henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 sampai 2000
yang melibatkan lebih 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat
perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100 %.