PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERSPEKTIF...
Transcript of PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERSPEKTIF...
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERSPEKTIF MAQA<S}ID AL-SYARI@’AH
(Studi Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan
Putusan Nomor 83 PK/AG/2017)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IQBAL FARISI
NIM: 11150440000031
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
ii
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERSPEKTIF MAQA<S}ID AL-SYARI@’AH
(Studi Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan
Putusan Nomor 83 PK/AG/2017)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IQBAL FARISI
Nim: 11150440000031
Dibawah Bimbingan:
Dr. Hj. AZIZAH, M.A.
NIP. 196304091989022001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
iii
iv
v
ABSTRAK
Iqbal Farisi. Nim 11150440000031. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM
PERSPEKTIF MAQA<S}ID AL-SYARI@’AH (Studi Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan Nomor 83 PK/AG/2017). Program
Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. (xv halaman,
85 halaman).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim
dalam pembagian harta bersama pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, lalu
bagaimana jika hasil putusan tersebut ditinjau dari perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah,
dan bagaimana perbandingan pertimbangan hakim Tingkat Pertama sampai Tingkat
Peninjauan Kembali dalam hal pembagian harta bersama.
Jenis Penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian kualitatif yaitu jenis
penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori, dan kepustakaan
(library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-
undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertimbangan hakim dalam pembagian harta bersama pada Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS, tidak memandang dari segi yuridis, akan tetapi melalui segi
filosofis dan sosiologis, dengan menetapkan pembagian harta bersama untuk
Tergugat sebesar 2/3 bagian, sementara Penggugat hanya mendapatkan 1/3 bagian.
Apabila hasil Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS ditinjau dari perspektif Maqa<s}id
al-Syari>’ah, maka putusan tersebut sudah sesuai dengan prinsip Maqa<s}id al-Syari>’ah,
karena pertimbangan hakim tersebut didasarkan atas prinsip keadilan dan
kemaslahatan antara para pihak yang bersengketa. Perbandingan pertimbangan hakim
dalam perkara ini yaitu hakim di Tingkat Pertama mengutamakan keadilan sosial,
sedangkan hakim di Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali lebih
mengutamakan keadilan formil.
Kata Kunci : Harta Bersama, Maqa<s}id al-Syari>’ah, Putusan, Hakim.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A.
Daftar Pustaka : 1958 s.d 2019 M
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada
Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas segala
nikmat, ma‟unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua khususnya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul “Pembagian
Harta Bersama Dalam Perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah (Studi Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan Nomor 83 PK/AG/2017). Shalawat
serta salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW,
yang telah membawa ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh
Allah SWT.
Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa
memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila
skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari bahwa
skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan.
Perlu diketahui bahwa selama penulis masih di bangku perkuliahan sampai
pada tahap akhir ini yakni penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan,
arahan, bantuan, masukan, serta dukungan yang luar biasa dari para pihak, oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
vii
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, atas jasa-jasa beliau berdualah yang
membuat penulis bersemangat untuk menjadi mahasiswa yang unggul dan
bermanfaat, selalu mendukung penulis di tengah-tengah kesibukannya serta
memotivasi penulis untuk secepatnya memyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Dr. H. Ahmad Juaini Syukri, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang
tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan
penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di
Fakultas Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian
skripsi penulis, sekaligus juga sebagai dosen penguji I pada skripsi ini. Dan
juga kepada bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., sebagai dosen penguji II
skripsi penulis, yang telah memberikan masukan, kritikan, dan saran-saran
yang bermanfaat kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Dr. Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang selalu
membimbing penulis dengan penuh kesabaran di tengah kesibukan yang
beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan yang sangat positif untuk
perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga merupakan suatu
kebanggaan tersendiri bagi penulis karena telah dibimbing oleh orang hebat
seperti beliau.
6. Kedua orang tua penulis, ayahku tercinta Ahmad Bisri, S.H., M.H., dan ibuku
tersayang Yulistya Afnita, terima kasih atas kasih sayangmu yang tiada tara,
pengertianmu yang sangat membuatku bahagia, doa-doamu tiap malam,
dukunganmu yang luar biasa ketika Ananda sedang jatuh terpuruk, serta
didikanmu selama ini, sehingga karena kalian berdualah Ananda terinspirasi
untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak-kakaku tercinta Ayu Mika Sherila, Sandika Madya Akbar,
Eman Ratman. Adikku tersayang Muhammad Firza Adam, yang selalu
viii
menyemangati penulis dan mengingatkan penulis untuk menjadi pribadi yang
lebih baik kedepannya khususnya dukungan untuk pembuatan skripsi ini.
8. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik penulis dan
memberikan keilmuannya sehingga skripsi ini dapat tuntas.
9. Keluarga Besar Ahmad Sariyadi dari Ayahku, dan Keluarga Besar Ahmad
Suhaimi dari ibuku, saudara-saudaraku, pakde dan budeku, sepupu-sepuku
yang sangat penulis cintai dan penulis banggakan.
10. Teman-teman Alumni Gontor, para Asatidz khususnya angkatan 2013 yang
selalu menemani hari-hari penulis dan menyemangati penulis. Tak lupa pula
Sahabat-sahabat Hukum Keluarga 2015 penulis yakni, Lutfi Zakaria, Ilham
Ramdani, Noufal Arif, Rizki Pangestu, Irwan Hidayat, Ariyal, Aza, Imam M,
Caraka, Ei, Amir, Roby, Salam, Helmy, Kisai, Amlan, Maulvy, Akbar, Abu,
Ihfal, Suparman, Winanda, Kahfil Waro, Novia, Diana, Tyas, Sinta, Fatma,
Annabel, Anita, Anis, Puput, Suci, Aida, Lely, Wiwi, Isti, Ila, Vania, Najib,
Ali Haidar, dan masih banyak lagi teman-teman penulis yang tidak tercantum
namanya disini, terima kasih atas dukungan kalian selama ini, kalian terbaik!
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa mereka,
kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak,
Amiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak manfaat bagi para pembaca
walaupun masih banyak kekurangan dan belum sempurna, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT. Wallahu a‟lam bi al-Showab.
Jakarta, 15 April 2019
Iqbal Farisi
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
x
Z zet س
S es س
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q Qo ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
xi
apostrop ‘ ء
Y Ya ي
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-syuf‟ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
xii
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te)
(lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شزيعة
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسال مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan
dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari Bahasa
Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 3
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 4
D. Perumusan Masalah ........................................................................... 4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
F. Kajian (Review) Studi Terdahulu ....................................................... 5
G. Metode Penelitian .............................................................................. 7
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 9
BAB II HARTA BERSAMA DAN MAQA<S}ID AL-SYARI@’AH
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama ........................................................... 10
2. Dasar Hukum Harta Bersama ...................................................... 15
3. Tata Cara Pembagian Harta Bersama .......................................... 17
4. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan ........ 18
xiv
B. Maqa<s}id al-Syari>’ah
1. Pengertian Maqa<s}id al-Syari>’ah .................................................. 20
2. Dasar Hukum Maqa<s}id al-Syari>’ah ............................................. 23
3. Kedudukan Maqa<s}id al-Syari>’ah ................................................. 25
4. Metode Penetapan Maqa<s}id al-Syari>’ah ...................................... 28
BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 981/Pdt.G/2013/PA JS SAMPAI
DENGAN PUTUSAN NOMOR 83 PK/AG/2017
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS
1. Duduk Perkara ............................................................................. 32
2. Pertimbangan Hakim ................................................................... 35
3. Amar Putusan .............................................................................. 45
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
57/Pdt.G/2015/PTA JK
1. Duduk Perkara ............................................................................. 47
2. Pertimbangan Hakim ................................................................... 49
3. Amar Putusan ............................................................................... 52
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
378/K/AG/2016
1. Duduk Perkara ............................................................................. 54
2. Pertimbangan Hakim ................................................................... 57
3. Amar Putusan ............................................................................... 59
D. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
83/PK/AG/2017
1. Duduk Perkara ............................................................................. 60
2. Pertimbangan Hakim ................................................................... 62
3. Amar Putusan ............................................................................... 63
xv
BAB IV PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PADA PUTUSAN NOMOR
981/Pdt.G/2013/PA JS DALAM PERSPEKTIF MAQA<S}ID AL-
SYARI@’AH
A. Analisis Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Dalam
Perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah ....................................................... 64
B. Analisis Perbandingan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan
Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan
Nomor 83/PK/AG/2017................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 79
B. Saran-Saran ...................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan keluarga berawal dari ikatan perkawinan, suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk membangun rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.1 Masing-masing suami istri seharusnya bisa bekerjasama
dengan baik dalam menjalankan hak dan kewajibannya demi mewujudkan tujuan
perkawinan.2
Namun ada banyak sekali faktor yang memicu keretakan rumah tangga
yang mana menimbulkan konsekuensi hukum dari hubungan antara suami dan
istri. Akibat hukum yang terjadi misalnya adalah hak asuh anak (hadanah), nafkah
„idah, mutah, nafkah anak dan istri, dan juga harta bersama.3
Berbicara masalah harta bersama, ternyata masih banyak masyarakat yang
memandang sebelah mata. Pasangan suami istri pada umumnya baru ricuh
mempersoalkan harta bersama ketika mereka sudah diambang putus cerai dari
pengadilan. Bahkan dalam proses sidang di pengadilan, seringkali terjadi
keributan antara suami istri tentang pembagian harta bersama.4
Maka dari itu, perbincangan mengenai masalah harta bersama harus
dianggap serius oleh masyarakat, karena pengetahuan tentang harta bersama
1 Nila Oktaza Asmayeni, Pembagian Harta Bersama Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Padang Kelas 1 A, Artikel Program Kekhususan Hukum Perdata,
Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, 2016. 2 P.N.H. Simajuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 3, h.
92. 3
M. Beni Kurniawan, “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran
Kontribusi Suami Istri Dalam Perkawinan”, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018: h. 42. 4 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), h. 1.
2
sangat penting untuk para calon pengantin dan sangat baik bagi pasangan suami
istri yang ingin mencapai tujuan perkawinan yang sakinah bahagia dan sejahtera.5
Sebagaimana kita ketahui bahwa ketentuan Harta bersama telah diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Bab VII
Pasal 35-37. Arti harta bersama itu sendiri adalah harta yang diperoleh selama
masa perkawinan. Berbeda dengan harta bawaan, yang mana harta ini diperoleh
oleh pasangan suami atau istri sebagai hibah atau warisan sebelum melakukan
akad nikah.6
Demikian juga terdapat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), diatur
perihal harta perkawinan dalam Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97. Dan
terdapat pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam Bab
VI – Bab VIII, dan di beberapa pasal lainnya.
Dalam berbagai macam sengketa harta bersama di Pengadilan, interpretasi
hakim sangat dibutuhkan, mengingat hakim sebagai pembuat keputusan
berkewajiban meletakkan keadilan dalam memutuskan suatu perkara. Interpretasi
hakim dalam suatu putusan tidak terlepas dari pemenuhan tiga tujuan hukum,
yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.7
Paparan diatas menunjukkan banyaknya permasalahan terkait pembagian
harta bersama, khususnya masalah penyelesaian harta bersama yang berada di
lingkungan pengadilan, dimana penulis tertarik untuk meneliti sebuah Putusan
Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS. Dalam Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS,
penulis menemukan isu hukum beserta polemik dalam pertimbangan hakim, yang
mana putusan tersebut baru selesai pada Tingkat Peninjauan Kembali dalam
Putusan MA Nomor 83 PK/Ag/2017. Inti yang menjadi pokok pembahasan dalam
5 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), h. 1. 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII Pasal 35.
7 Ahmad Rifa‟i, Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7.
3
putusan ini adalah persengketaan pembagian harta bersama setelah terjadi
perceraian.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul:
“Pembagian Harta Bersama Dalam Perspektif Maqa<s}id al-Syari>‘ah”(Studi
Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan Nomor 83
PK/AG/2017). Penulis tertarik dengan putusan tersebut, karena dalam
pertimbangan hakim Tingkat Pertama, hakim membuat terobosan hukum baru
dalam membagi harta bersama kepada para pihak, tanpa berdasarkan pada
Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Sementara Pada
tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), hakim juga berbeda
pendapat dalam hal pembagian harta bersama dan pembuktian objek sengketa.
Maka penulis ingin menganalisis putusan tersebut dari perspektif hukum positif
pada umumnya dan dalam perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah pada khususnya.
B. Identifikasi Masalah
Dari beberapa permasalahan yang ditemukan dalam judul ini antara lain
ialah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembagian harta bersama menurut Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana pembagian harta bersama menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPer)?
3. Bagaimana pembagian harta bersama dipandang dari teori
Maqa<s}id al-Syari>’ah?
4. Bagaimana pertimbangan hakim Tingkat Pertama dalam
pembagian harta bersama pada putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA
JS?
4
5. Bagaimana pertimbangan hakim Tingkat Banding dalam
pembagian harta bersama pada putusan Nomor
57/Pdt.G/2015/PTA JK?
6. Bagaimana pertimbangan hakim Tingkat Kasasi dalam pembagian
harta bersama pada putusan Nomor 378/K/Ag/2016?
7. Bagaimana pertimbangan hakim Tingkat Peninjauan Kembali
dalam pembagian harta bersama pada putusan Nomor
83/PK/Ag/2017?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan
pengadilan agama Tingkat Pertama, Banding, Kasasi maupun Peninjauan
Kembali yang ada pada peradilan di Indonesia, maka penulis disini membatasi
dan berfokus pada putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah diatas,
selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam pembagian harta bersama
pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS?
2. Bagaimana hasil Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS jika
ditinjau dari perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah?
3. Bagaimana perbandingan pertimbangan hakim Tingkat Pertama
sampai Tingkat Peninjauan Kembali dalam hal pembagian harta
bersama?
5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ditetapkan sesuai dengan rumusan masalah
adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam pembagian harta
bersama pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS.
2. Untuk mengetahui hasil Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
jika ditinjau dari perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah.
3. Untuk mengetahui perbandingan pertimbangan hakim Tingkat
Pertama sampai Tingkat Peninjauan Kembali dalam hal pembagian
harta bersama.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam
perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan
konsep harta bersama secara khusus.
2. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara
mendalam mengenai harta bersama.
3. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang
akan melakukan penelitian berkaitan dengan harta bersama.
F. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan
sengketa harta bersama, ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Baik
itu secara tematik serta objek kajian yang diteliti. Adapun kajian terdahulu yang
penulis temukan diantaranya.
“Pembuktian mengenai asal usul harta bersama dalam gugatan
pembagian harta bersama Putusan Nomor: 490/Pdt.G/2010/PA.Kds”, yang
ditulis oleh Fendry Seftian Widyanto. Hasil penelitiannya ialah alasan diajukan
gugatan karena adanya perceraian dan meminta pembagian harta bersama mereka,
6
namun salah satu pihak (Tergugat) ingin menguasai harta dengan melawan
hukum. Pertimbangan hakim berdasarkan kompetensi absolut dan relatif
berdasarkan asas personalitas menjadi kewenangannya PA Kudus. Mengenai
harta bendanya ada yang diterima dan ditolak oleh hakim sebagai harta bersama,
untuk harta yang diterima karena terbukti dikuatkan oleh bukti dan saksi yang
memenuhi syarat formil dan materiilnya sedangkan harta yang ditolak karena
bukti dan saksi tidak memenuhi syarat formilnya. Sehingga hakim memutuskan
tidak seluruh harta adalah harta bersama.8
“Pembagian Harta Bersama ditinjau dari Besaran Kontribusi Suami Istri
dalam Perkawinan”, jurnal yang dibuat oleh M. Beni Kurniawan. Hasil
penelitiannya ialah pembagian harta bersama berdasarkan kontribusi suami istri
dalam perkawinan dari perspektif keadilan adalah pembagian harta bersama
dengan menilai besaran kontribusi para pihak, di mana pembagian yang adil tidak
harus dibagi 50 persen bagi duda dan 50 persen bagi istri. Akan tetapi duda bisa
mendapatkan bagian yang lebih kecil dari janda apabila kontribusinya kurang
selama perkawinan dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai pencari nafkah.
Janda bisa mendapatkan bagian yang lebih besar dari duda, jika ia mendapatkan
beban ganda (double burden) sebagai pencari nafkah dan mengurus rumah
tangga.9
“Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama dan Warisan
Perkawinan Poligami”, yang ditulis oleh Ahmad Ferizqo Achdan. Hasil
penelitiannya ialah pada prinsipnya hakim memiliki kewenangan menggunakan
fungsinya sebagai rechtsvinding atau dalam hukum Islam disebut ijtihad sebagai
alternatif. Putusan tersebut diterbitkan untuk memenuhi asas keadilan bagi para
8 Fendry Seftian Widyanto, 8150408001 (2013) Pembuktian Mengenai Asal Usul
Harta Bersama Dalam Gugatan Pembagian Harta Bersama Putusan Nomor:
490/Pdt.G/2010/PA.Kds (Studi di Pengadilan Agama Kudus). Under Graduates thesis,
Universitas Negeri Semarang. 9
M. Beni Kurniawan, “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran
Kontribusi Suami Istri Dalam Perkawinan”, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018: h. 42.
7
ahli waris yang memiliki hubungan emosional nyata dengan pewaris. Hakim
menjamin keadilan bagi orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengan
pewaris tersebut. Seorang anak angkat ataupun anak tiri dan telah hidup
berdampingan dengan tentram dan damai serta tingkat toleransi yang tinggi
Penyimpangan yang dilakukan akan memberikan lebih banyak kemaslahatan
daripada mudarat.10
Dari ketiga karya tulis ilmiah terdahulu di atas, ada perbedaan dengan
studi penulis. Yaitu penelitian ini menganalisis bagaimana perbandingan
pertimbangan hakim dalam hal pembagian harta bersama pada putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS sampai dengan tahap putusan Nomor 83/PK/Ag/2017
ditinjau dari perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah.
G. Metode Penelitian
Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan
gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Ada beberapa
metode yang akan penulis gunakan, antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif yaitu
pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Alquran dan
sunah,11
kemudian dihubungkan dengan putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
lalu kemudian di analisis.
10
Ahmad Ferizqo Achdan, “Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama
dan Warisan Perkawinan Poligami”, (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
489/K/Ag/2011. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. 11
Winarno Surakmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1985), h.
140.
8
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis
penelitian yang bertujuan untuk menemukan konsep dan teori,12
dan kepustakaan
(library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan
perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya
dengan masalah yang diteliti.
3. Sumber Data
a. Data Primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan harta bersama
yaitu putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS sampai dengan putusan
Nomor 83/PK/Ag/2017.
b. Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal,
artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang
menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu
pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat
dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder
tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.13
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan
data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan
studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta
menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
tema penelitian.
12
Sarmanu, Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Statistika,
(Surabaya: Airlangga University Press, 2017), Cet. 1, h. 45. 13
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), h. 11.
9
5. Analisa Data
Analisa data secara deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada
suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan
berakhir pada suatu kesimpulan.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan
oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.
H. Sitematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing Bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan dibahas. latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sitematika penulisan.
Bab Kedua, Gambaran umum tentang harta bersama dan teori Maqa<s}id al-
Syari>‘ah. Dimulai dari konsep harta bersama lalu konsep Maqa<s}id al-Syari>‘ah.
Bab Ketiga, Memaparkan pertimbangan hukum hakim Tingkat Pertama
sampai dengan Tingkat Peninjauan Kembali dalam hal pembagian harta bersama.
Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini.
Yaitu analisis pertimbangan hakim Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali pada umumnya dan Tingkat Pertama pada khususnya, dalam hal
pembagian harta bersama dan relevansi nya dengan teori Maqa<s}id al-Syari>‘ah.
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari
penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan penelitian ini.
10
BAB II
HARTA BERSAMA DAN MAQA<S}ID AL-SYARI>’AH
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Istilah hukum harta bersama digunakan secara resmi dan legal, baik dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), maupun
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi, istilah harta gono-gini lebih
terkenal di kalangan masyarakat dibandingkan dengan istilah resmi.1
Dalam hukum adat, istilah harta bersama dikenal dengan harta perkawinan.
Yang dimaksud harta perkawinan ialah semua harta yang dapat digunakan oleh suami
istri selama terikat dalam hubungan perkawinan.2
Adapun pengertian harta bersama yang terdapat dalam Pasal 35 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu “harta yang
diperoleh selama masa perkawinan.”3 Pengertian harta bersama menurut Undang-
Undang Perkawinan dapat diibaratkan seperti halnya jika seseorang menghibahkan
tanah, mobil, atau barang lainnya kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli
oleh suami istri dari uang mereka berdua, atau tabungan suami istri yang dijadikan
satu, itu semua bisa dikategorikan sebagai harta bersama selama harta benda tersebut
diperoleh suami istri selama masa perkawinan.4
Ditegaskan pula istilah harta bersama oleh Sayuti Thalib yaitu harta kekayaan
yang diperoleh pasangan suami istri selama perkawinan diluar bagian dari warisan
1 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), h. 2. 2 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 1992), h. 156. 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII Pasal 35 ayat (1).
4 Liky Faizal, Harta Bersama Dalam Perkawinan, Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam Ijtimaa‟iyya, Vol. 8, No. 2, Agustus 2015, h. 83.
11
atau hibah. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-
sendiri selama dalam masa ikatan perkawinan.5
Ismail Muhammad Syah dalam kutipannya yang diambil dari Yahya Harahap
menyinggung soal konsep harta bersama, dia berpendapat bahwa harta bersama
termasuk dalam rubu>’ul mu’a>malah. Walaupun adat arab tidak mengenal adanya
harta bersama antara suami istri, akan tetapi dibicarakan beberapa masalah tentang
perkongsian yang dalam bahasa arab disebut syirkah. Karena masalah harta bersama
suami istri ada kaitannya dengan masalah perkongsian, maka menurut Ismail
Muhammad Syah, harta bersama termasuk dalam pembahasan syirkah yang
dikategorikan pada syirkah ‘abdan atau syirkah mufawwadah (perkongsian tenaga
dan perkongsian tak terbatas).6
Harta bersama dapat dikategorikan sebagai syirkah ‘abdan karena perkongsian
suami istri dalam harta bersama sebagian besar berasal dari hasil jerih payah suami
istri dalam mencari nafkah. Sedangkan harta bersama yang dapat dikategorikan
sebagai syirkah mufawwadah, dikarenakan dilihat dari sifat perkongsian suami istri
dalam harta bersama yang tidak terbatas, semua harta yang diperoleh selama
perkawinan dapat dianggap sebagai harta harta bersama.7
Dalam hukum Islam, konsep harta bersama suami istri pada dasarnya tidak
dikenal, karena memang konsep harta bersama tidak dibahas secara khusus dalam
kitab fikih.8 Baik dalam al-Qur‟an maupun hadits tidak ditemukan konsep mengenai
5 Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 2, h.
121. 6
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 271-272. 7 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), Cet. 5 h. 80-81. 8 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), cet. 1, h. 389.
12
harta bersama, dalam hukum Islam hanya dikenal tentang pemisahan harta.9
Walaupun di dalam Alquran dan Hadis tidak membahas secara khusus mengenai
konsep harta bersama dalam suatu ikatan perkawinan, akan tetapi terdapat ayat-ayat
Alquran yang menyinggung masalah harta benda secara umum, di antaranya ialah
terdapat dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 32 yang berbunyi:
م ىا يب فض ٱول حخ ب ۦبه لل جبل صيب ي ب كخضبىا ٱبعضكى عهى بعض نهز صيب ي ونهضبء
ٱ ٱ وصلهىا كخضب ۦء ي فضهه لل ٱ ب لل عهي بكم شى (23)انضب: كب
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. Karena bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. an-Nisa' (4): 32).
10
Maksud dari ayat ini ialah ditunjukkan bukan kepada suami atau istri saja,
melainkan kepada semua laki-laki dan perempuan. Bahwa jika seseorang bersusah
payah untuk mencari nafkah, maka hasil jerih payahnya itu merupakan harta pribadi
yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.11
Berbicara mengenai pandangan hukum Islam terhadap konsep harta bersama,
maka secara yuridis formal harus dikaitkan dengan Kompilasi Hukum Islam yang
merupakan hasil ijtihad para ulama dan juga sebagai wujud respon terhadap
permasalahan fikih kontemporer yang salah satunya menyinggung konsep harta
bersama.12
Dimana dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa pihak suami
9 M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi
Suami Istri Dalam Perkawinan, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018, h. 43. 10
Depag RI, Tim Penterjemah. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Makkah al-Mukarromah, 1990. 11
Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama,
Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62. 12
Andi Herawati, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Sebagai Hasil Ijtihad Ulama
Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 8 No. 2 Desember 2011, h. 337.
13
dan istri mempunyai hak yang sama terhadap harta bersama yaitu separuh dari harta
bersama.13
Sebenarnya, asal mula konsep harta bersama berawal dari hukum adat yang
berasal dari adat jawa yang dikenal dengan istilah gana-gini, begitupun di daerah
lainnya sama-sama menerapkan konsep harta bersama dengan istilah yang berbeda-
beda, seperti: Harta Suarang (Minangkabau), Barang Perpantangan (Kalimantan),
Hareuta Sihareukat (Aceh), Guna-Kaya (Sunda), Druwe Gabro (Bali), dan lain
sebagainya. Menurut hukum adat, tidak semua harta benda yang dimiliki oleh suami
dan istri menjadi harta bersama, akan tetapi, yang termasuk harta bersama ialah harta
benda yang diperoleh suami istri secara bersama yang berawal dari ikatan
perkawinan.14
Dalam perkembangannya, konsep harta bersama dalam hukum adat kemudian
didukung oleh pakar ulama fikih melalui konsep pendekatan syirkah ‘abdan dengan
hukum adat. Metode pendekatan yang demikian tidak bertentangan dengan kebolehan
menjadikan „urf sebagai sumber hukum Islam dan sesuai dengan kaidah:15
ت ا نعبدة يحك
“Adat itu bisa dijadikan patokan hukum”16
13
Besse Sugiswati, Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat, Jurnal Perspektif, Vol XIX No. 3,
September, Tahun 2014, h. 206. 14
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), h. 11. 15
Linda Firdawaty, Filosofi Pembagian Harta Bersama, Jurnal Raden Intan, Vol. 8
No. 1 2016, h. 92. 16
Sholeh bin Ghanim As-Sadlan, Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa maa tafarra‟u
„anha, (Riyadh: Dar al-Valencia linnasyar wa at-Tazwij, 1417 H), h. 333.
14
Yang dimaksud adalah adat bisa dijadikan sumber hukum selama tidak
bertentangan dengan hukum syariat, adat tersebut juga harus berlaku secara umum
dan diterima masyarakat.17
Hal ini juga yang menginspirasi Ulama hukum Islam di Indonesia ketika
merumuskan pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, menyetujui syirkah
‘abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami dan isteri
dalam kompilasi.18
Dengan cara-cara tertentu, harta bersama dapat dibagikan kepada
suami istri, selama harta tersebut merupakan pencampuran harta dalam masa
perkawinan atas usaha sendiri-sendiri atau dengan usaha mereka bersama-sama, maka
dapat dipahami bahwa hukum Islam membolehkan adanya pengaturan, konsep, serta
sistematika pembagian harta bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan harta bersama.19
Begitu pula dalam hukum positif, seperti yang tertera dalam Undang-Undang
Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kompilasi Hukum
Islam, Pasal 97 KHI menegaskan konsep pembagian harta bersama ialah masing-
masing suami istri berhak atas separuh dari harta bersama ketika terjadi kematian
salah satu pasangan ataupun perceraian.20
Adapun harta suami istri yang masing-masing yang diperoleh sebelum
perkawinan atau harta warisan yang diperoleh selama masa perkawinan tetap
merupakan harta kekayaan masing-masing. Maka dapat kita pahami bahwa tidak ada
17
Sholeh bin Ghanim As-Sadlan, Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa maa tafarra‟u
„anha, (Riyadh: Dar al-Valencia linnasyar wa at-Tazwij, 1417 H), h. 337. 18
Linda Firdawaty, Filosofi Pembagian Harta Bersama, Jurnal Raden Intan, Vol. 8
No. 1 2016, h. 92. 19
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986), Cet. 5 h. 84. 20
Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 118.
15
disharmonisasi antara hukum Islam, hukum adat, dan hukum positif mengenai konsep
harta bersama pada umumnya yang berlaku di Indonesia.21
2. Dasar Hukum Harta Bersama
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, konsep dan pembagian
harta bersama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah
yang berkaitan dengan harta bersama hanya diatur secara umum dan singkat dalam 3
Pasal, dan tampaknya Undang-Undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapannya
berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.22
Penjelasan harta bersama terkait dengan Undang-Undang Perkawinan terdapat
dalam Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama
adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Selanjutnya dalam Pasal
36 ayat (1) menjelaskan kewenangan hak kepemilikan harta bersama, yang mana
suami atau istri dapat bertindak dalam harta bersama atas persetujuan para pihak. Dan
Pasal 37 yang menyatakan bahwa bila perkawinannya putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.23
Artinya bahwa harta kekayaan
yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan bukanlah harta bersama, melainkan
harta bawaan yang berasal dari hibah atau warisan.24
Penjelasan harta bersama terdapat juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Bab VI Pasal 119-138 pada khususnya, dan terdapat di beberapa pasal lain
21
Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum,
Vol. 28 No. 01 Februari 2013, h. 654. 22
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 2, h.
122. 23
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII Pasal 35 ayat (1). 24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
Ed. 1, Cet. 2, h. 184.
16
pada umumnya. Salah satunya yaitu terdapat dalam Pasal 119 disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami isteri.”25
Pemaparan harta bersama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
(Inpres No. 1 Tahun 1991) dari Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Beberapa diantara
pasalnya ialah sebagai berikut:26
a. Pasal 85
Dalam pasal 85 disebutkan, “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.” Di
pasal ini terlihat Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya persatuan harta dalam
perkawinan, meskipun hartanya sudah bersatu, tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun istri.27
b. Pasal 97
Dalam Pasal 97 disinggung permasalahan mengenai pembagian harta bersama
yaitu disebutkan, “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Dalam hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika hubungan
perkawinan terputus akibat kematian ataupun perceraian, memang tidak ada
keseragaman dalam hukum adat mengenai pembagian harta bersama. Namun yang
menjadi patokan utama ialah bahwa pembagian harta bersama secara umum yang
25
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI Pasal 119. 26
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 27
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
Ed. Revisi, Cet. 1, h. 162.
17
diterima oleh masyarakat adat ialah masing-masing suami istri mendapatkan separuh
dari harta bersama.28
3. Tata Cara Pembagian Harta Bersama
Berbicara mengenai tata cara pembagian harta bersama, semua dikembalikan
kepada hukumnya masing-masing sebagaimana yang tertera pada Pasal 37 Undang-
Undang Perkawinan.29
Maksudnya adalah bagi suami istri yang beragama Islam,
maka pembagian harta bersama berdasarkan hukum islam yang dalam hal ini
mengadopsi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan bagi suami istri yang non Islam, maka
pembagiannya menganut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Hukum Adat.30
Ketentuan pembagian harta bersama dalam ikatan perkawinan merupakan
suatu hal sangat penting, agar suami istri tau bagaimana porsi bagian hartanya
masing-masing jika kemungkinan nanti hubungan pasangan suami istri itu kandas
atau tidak lagi terikat dalam perkawinan, entah itu karena masalah perceraian atau
karena kematian.31
Berdasarkan Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam diterangkan bahwa “Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama.” Terdapat juga dalam Pasal 97 yakni “janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.”32
Yang dimaksud dari pasal-pasal tersebut adalah
masing masing berhak mendapatkan setengah bagian dari harta bersama sepanjang
28
Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 121. 29
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII Pasal 37 ayat (1). 30
M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi
Suami Istri Dalam Perkawinan, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018, h. 45. 31
Siah Khosyi‟ah, Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal kajian hukum Islam Vol. XI No. 1,
Juni 2017, h. 41. 32
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97.
18
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, maka dapat dipahami bahwa
suami istri dapat menentukan pembagian harta bersama sesuai apa yang mereka
sepakati sesuai dengan kondisi yang mereka alami, dan jika tidak ada perjanjian
perkawinan mengenai harta bersama, maka pembagian harta bersama tetap merujuk
pada Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum islam.33
Jika diamati lebih lanjut, ternyata di Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak ditentukan berapa bagian masing-masing harta bersama antara
suami istri ketika terjadi perceraian. sebaliknya dalam ketentuan Pasal 96-97 KHI
diatur pembagian harta bersama ketika terjadi kasus cerai mati maupun cerai hidup
yaitu masing-masing berhak mendapatkan seperdua dari harta bersama.34
Perlu
diketahui bahwa meskipun di Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan tidak diterangkan
mengenai cara pembagian harta bersama, akan tetapi Pasal 37 ini telah
mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, maka suami istri berhak untuk
memperoleh harta bersama sesuai dengan variasi hukum masing-masing.35
4. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan
Selalu muncul berbagai permasalahan akibat putusnya perkawinan, salah satu
permasalahannya ialah perebutan harta bersama antara suami istri. Harta bersama
antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan telah berakhir atau
putus. Hubungan perkawinan dapat terputus karena sebab kematian, perceraian, dan
atas putusan pengadilan. 36
Pembagian harta bersama sebaiknya dilakukan secara adil,
33
Siah Khosyi‟ah, Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal kajian hukum Islam Vol. XI No. 1,
Juni 2017, h. 41. 34
Arifah S Mapeke dan Ahmad Khisni, kedudukan Harta Bersama Dalam
Perkawinan Menurut Fiqih dan Hukum Positif Indonesia Serta Praktek Putusan Pengadilan
Agama, Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12 No. 2 Juni 2017, h. 180. 35
Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 122. 36
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 3, h.
36.
19
sehingga bisa diterima para pihak dan memahami bagian harta bersama mana yang
merupakan hak suami dan mana merupakan hak istri.37
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 88 dijelaskan bahwa apabila
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.38
Dalam hal penyelesaian harta bersama akibat perceraian, antara suami
maupun istri yang beragama Islam, dapat mengajukan perkara sengketa harta bersama
di Pengadilan Agama wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yang non
muslim, gugatan diajukan ke pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal tergugat.39
Dalam Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan yang salah satunya ialah penyelesaian harta
bersama.40
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang isinya: “Permohonan soal penguasaan anak, nafkah
anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan secara bersama-sama
dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.” Yang
37
Bernadus Nagara, Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah
Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Lex Crimen Vol. V No. 7
September 2016, h. 52. 38
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), Ed. 1, Cet. 4, h. 74. 39
Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum,
Vol. 28 No. 01 Februari 2013, h. 657. 40
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, Dan Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press,
2007), h. 52.
20
ditegaskan pula dalam Pasal 86 ayat (1) yaitu: “Gugatan soal penguasaan anak,
nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.41
Yang dimaksud dalam Pasal tersebut ialah kebolehan penggabungan sekaligus
gugatan perceraian dengan gugatan harta bersama, karena hal tersebut bertujuan demi
tercapainya salah satu asas peradilan yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Pasal tersebut memberikan pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabungkan
gugatan perceraian dengan gugatan harta bersama atau menggugatnya sendiri-sendiri
setelah perkara perceraian nya selesai dan mempunyai kekuatan hukum tetap.42
B. Maqa<s}id al-Syari>’ah
1. Pengertian Maqa<s}id al-Syari>’ah
Untuk mengetahui Maqa<s}id Secara bahasa, diperlukan membaca asal mula
pemakaiannya dalam bahasa arab, dan pengetahuan kalimat aslinya dan hubungannya
dengan makna secara syariat, maka Maqa<s{id menurut bahasa merupakan bentuk
jamak dari kata maqs}ud yang berasal dari kata kerja qas}ada yang artinya
menghendaki, menuju suatu arah, atau menuju jalan lurus.43
Sedangkan menurut
istilah yaitu menetapkan sesuatu dan kecenderungan kepada suatu hal secara tidak
berlebihan dengan maksud tertentu.44
Sedangkan Syari>’ah secara bahasa yaitu jalan menuju sumber air atau sumber
pokok kehidupan. Secara menurut istilah, Syari>‘ah berarti hukum-hukum yang
41
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 42
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 268. 43
Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah „Inda Ibni Taimiyah,
(Beirut: Dar an-Nafais, 1999), h. 43. 44
Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah „Inda Ibni Taimiyah,
(Beirut: Dar an-Nafais, 1999), h. 45.
21
disyariatkan Allah untuk hambanya, dalam segi keimanan, ibadah, akhlak,
mu‟amalah, dalam menjalankan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.45
Istilah Maqa<s}id al-Syari>‘ah berkembang dari yang paling sederhana sampai
pada istilah yang menyeluruh dan holistik, dengan berbagai macam variasi, definisi,
dan makna dari para ulama usul fikih mengindikasikan bahwa ada hubungan yang
erat antara Maqa<s}id al-Syari>‘ah dengan hikmah, ilat, niat, tujuan, dan kemaslahatan.46
Maqa<s}id al-Syari>‘ah menurut kalangan ulama usul fikih disebut juga dengan
Asrar al-Syari>‘ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan
oleh syariat, berwujudkan kemaslahatan bagi ummat manusia.47
Beberapa ulama klasik mendefinisikan Maqa<s{id al-Syari>‘ah seperti misalnya
al-Ghazali, mendefisikan bahwa Maqa<s}id al-Syari>‘ah adalah menjaga tujuan syariat
yang terdiri dari lima unsur yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.48
Sementara menurut Sayf al-Din Abu al-Hasan „Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-
Amidi, Maqa<s}id al-Syari>‘ah adalah tujuan syariat yang mendatangkan kemaslahatan
atau menolak kemafsadatan.49
Tahir bin Asyur dalam kitabnya Maqa<s{id al-Syari‟ah al-Islamiyyah
memberikan definisi Maqa<s}id al-Syari>‘ah sebagai makna-makna atau hikmah-hikmah
yang telah dijaga oleh Allah dalam segala hal ketentuan hukum syariat baik yang
45
„Adil Syuwaikh, Ta‟lil al-Ahkam Fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, ((Tanta: Dār al-
Basyīr wa al-„Ulūm, 2000), hlm. 13. 46
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid
al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang, 2010),
Cet. 1, h. 179. 47
Ahmad ar-Raisuni, Muhadarat fi Maqasid al-Syari‟ah, (Mesir: Dar al-Kalimah,
2010), h. 12. 48
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Musthafa min „Ilm al-Ushul, (Lubnan: Dar
al-Huda, 1994), h. 481. 49
Sayf al-Din Abu al-Hasan „Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, (Beirut: Mu‟assasah al-Nur, 1388 H), h. 271.
22
kecil maupun yang besar dan tidak ada pengkhususan dalam jenis tertentu dari hukum
syariat.50
Meskipun beragam definisi yang dikemukakan oleh ulama usul fikih
mengenai Maqa<s}id al-Syari>‘ah berbeda-beda, akan tetapi maksud dan tujuannya
berangkat dari titik tolak yang hampir sama, beberapa definisi Maqa<s{id al-Syari>‘ah
saat ini lebih populer dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer.51
Salah satunya
yaitu menurut Izzuddin bin „Abd a-Salam mengatakan bahwa Maqa<s}id al-Syari>‘ah
adalah makna dan kebijaksanaan yang dipelihara oleh syariat pada semua penetapan
hukum atau sebagian besarnya sekalipun tidak dikhususkan untuk memeliharanya
pada setiap jenis hukum dari hukum-hukum syariat.52
Selanjutnya menurut Imam al-Syatibi, Maqa<s}id al-Syari>’ah adalah tujuan
Allah dalam menetapkan hukum untuk kemashlahâtan hambanya di dunia dan
akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut bahwa beban-beban hukum sesungguhnya
untuk menjaga maqa>s}id (tujuan) hukum dalam diri makhluk. Maqa<s{id ini hanya ada
tiga yaitu dharuriyat, hajiyat, tahsiniyyat.53 Sementara Maqa<s{id al-Syari‟ah menurut
Wahbah al-Zuhaili adalah nilai-nilai dan sasaran syariat yang dipandang sebagai
tujuan dan rahasia dalam penetapan hukum.54
Dapat disimpulkan oleh penulis bahwa secara singkat Maqa<s}id al-Syari>’ah
adalah sasaran dan tujuan syariat dari Allah SWT dan Rasulnya kepada hambanya,
dalam mewujudkan kemaslahatan yang dibingkai dalam ketetapan hukum.
50
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Yordania: Dar
an-Nafais, 2001), h. 187. 51
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari‟ah Dan Hubungannya Dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 551. 52
Izzuddin bin „Abd al-Salam, al-Fawaid Fi Ikhtishari al-Maqashid Aw al-Qawaid
al-Shughra, (Dar El Fikr al-Mu‟ashir. Beirut, Libanon & Dar al-Fikr. Damaskus, Syiria, 1416
H/1996 M), Cet. 1, h. 10. 53
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia, 1997), h. 4. 54
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Fikri: Damaskus, 1986), h.
225.
23
2. Dasar Hukum Maqa<s}id al-Syari>’ah
Dasar hukum Maqa<s}id al-Syari>’ah banyak tercantum di dalam nas-nas
Alquran dan Sunah Nabi SAW. Allah SWT mengutus para rasul secara keseluruhan
untuk menyampaikan syariat sebagai pedoman manusia untuk diamalkannya.55
sebagaimana Allah SWT berfirman:
عزيز للا صم وكب ت بعد انز حج نهبس عهى للا نئل يكى ذري وي زي برصل يبش ا حكي
(561)انضب :
Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 165)56
Kandungan ayat ini menunjukkan, bahwa Allah SWT dalam menentukan
hukum-hukumNya senantiasa menghendaki kemaslahatan bagi manusia, dan agar
manusia terhindar dari hal-hal yang merugi.57
Kemudian dipertegas lagi tindak lanjut pelaksanaan syari‟at secara umum,
yaitu dalam firman Allah SWT:
ش ل نيعبدو وال (16)انذاريبث: ويب خهقج انج
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)58
ىث وانحيبة نيبهىكى أيكى ل وهى انعزيز انغفىر انذي خهق ان ع (3)انهك: أحض
55
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 171. 56
Depag RI, Tim Penterjemah. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Makkah al-Mukarromah, 1990. 57
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), cet. 1, h. 1109. 58
Depag RI, Tim Penterjemah. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Makkah al-Mukarromah, 1990.
24
Artinya: “(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)59
Kandungan ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia dibebani
kewajiban menjalankan syari‟at Allah SWT. Allah akan menguji perbuatan mereka,
ketaatan mereka, keikhlasan mereka dalam menjalankan syariat, dan Allah SWT akan
membalas segala perbuatan mereka kelak.60
Adapun alasan-alasan yang terdapat di balik ketetapan hukum-hukum yang
ada dalam Alquran dan hadis tak terhitung banyaknya, misalnya firman Allah SWT
yang berkenaan dengan shalat:
كز وان انفحشب هى ع لة ح انص لة (51)انعكبىث: وأقى انص
Artinya: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS: Al-Ankabut: 45)61
Maksud dari ayat tersebut menjelaskan bahwa salat dapat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar, karena seorang hamba yang mendirikannya yang
menyempurnakan syarat dan rukunnya disertai sikap khusyu‟ (hadirnya hati) sambil
memikirkan apa yang ia baca, maka hatinya akan bersih, imannya bertambah,
kecintaannya kepada kebaikan menjadi kuat, keinginannya kepada keburukan
menjadi hilang, sehingga jika terus menerus dilakukan, maka akan membuat
59
Depag RI, Tim Penterjemah. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Makkah al-Mukarromah, 1990. 60
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Aqidah, syari‟ah, dan Manhaj Jilid 15, Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Depok: Gema Insani, 2014), Cet. 1, h. 36-37. 61
Depag RI, Tim Penterjemah. al-Qur‟an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramayn,
Makkah al-Mukarromah, 1990.
25
pelakunya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah hikmah dibalik syariat
yang ditetapkan oleh Allah.62
Masih banyak lagi contoh lainnya yang penulis temukan yang secara holistik
membuktikan, bahwa syariat Islam diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan
manusia baik bekal di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu mempelajari Maqa<s}id
al-Syari >’ah sangat penting, untuk mengetahui dan memahami maksud dari nas-nas
dalam Alquran maupun hadis. Sehingga menjadi pedoman dan bekal bagi para
peneliti untuk mengistinbatkan hukum dan menerapkannya pada kasus-kasus yang
tidak ditemukan nasnya.
3. Kedudukan Maqa<s}id al-Syari>’ah
Sepanjang perkembangan usul fikih, Maqa<s}id al-Syari>’ah mengalami
perkembangan besar melalui tiga tokoh yaitu: Imam al-Haramayn al-Juaini Abu al-
Ma'aly 'Abdullah al-Juwaini (w. 478 H), Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H), dan
Muhammad al-Tahir ibn 'Ashur (w. 1379 H/ 1973 M). Penyebutan tiga tokoh ini
tidak mesti serta merta menghilangkan peran ulama fikih lain seperti Abu Bakr al-
Qaffal al-Shashi, al-'Amiri, al-Ghazali, dan lain sebagainya yang memiliki andil besar
mempertegas konsepsi Maqa<s}id al-Syari>’ah ini.63
Imam al-Haramayn yang pertama kali menggagas dasar kajian dan proses
awal terjadinya mas}lahah sebagai Maqa<s}id al-Syari>’ah dengan tingkatan d}aruriyyah,
h}ajiyyah, tah}siniyyah, ketiga tingkatan tersebut menjadi asas atau prinsip Maqa<s}id al-
Syari>’ah. Lalu dikembangkan konsep tersebut oleh muridnya Al-Ghazali dengan
menganalisis dan mendalami prinsip tingkatan tersebut dengan membagi kepada lima
hal yang dikenal dengan daruriyyatu al-khamsah, lalu dilanjutkan dan diperbarui oleh
Imam Abu Ishaq al-Syatibi dengan meletakkan dasar-dasar teoritik yang cukup
62
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-ankabut-ayat-45-55.html, Diakses pada
tanggal 07 Januari 2019. 63
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir‟ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 324.
26
matang tentang maqa<s}id ini. Nama ketiga tokoh tersebut menjadi tonggak penting
dalam perumusan teori Maqa<s}id al-Syari>‘ah.64
Pada saat itulah kajian mengenai Maqa<s}id al-Syari>’ah menjadi tema tulisan
para ulama fikih, salah satu yang menjadi topik utama ialah Pembaharuan yang
dilakukan oleh Imam al-Syatibi, yaitu kemampuannya menyelesaikan Maqa<s}id al-
Syari>’ah sebagai suatu teori yang komplit dan menyeluruh yang dilengkapi dengan
kerangka teori dan metodolologis yang mapan. Ia telah melampaui apa yang
dilakukan oleh ulama sebelumnya yang hanya menggambarkan kondisi ideal
Maqa<s}id al-Syari>’ah. Imam al-Syatibi berhasil menjelaskan hal-hal baru, misalnya
hubungan antara tujuan mukallaf dengan tujuan syariat, hubungan Maqa<s}id al-
Syari>’ah dengan ijtihad, metodologi penetapan Maqa<s}id al-Syari>’ah dan lain
sebagainya yang merupakan dasar esensi dan nilai bagi konsepsi Maqa<s}id al-Syari>’ah
itu sendiri.65
Menurut Imam al-Syathibi, Maqa<s}id al-Syari>‘ah berorientasi pada
terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan yang terdiri atas 3 bagian:66
primer
(d}aruriyyah), sekunder (h}ajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah), terdiri dari lima pokok
yang harus dilindungi dan dipelihara. Kelima hal pokok itu ialah: 67
agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
Kemaslahatan agama dan dunia ditegakkan melalui pemeliharaan kelima hal
pokok tersebut, begitu juga kebahagiaan manusia dapat terwujud apabila kelima hal
pokok itu terlindungi. Apabila kelima hal pokok itu salah satunya rusak, maka
64
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir‟ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325. 65
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir‟ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325. 66
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam
untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet.
1, h. 57. 67
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia, 1997), h. 7-8.
27
hubungannya kepada Allah serta tugasnya sebagai hamba akan sulit terlaksana
dengan baik.
Demi mewujudkan harapan kebaikan di akhirat, maka kelima hal pokok
tersebut juga harus dipenuhi. Karena apabila akal tidak berfungsi, maka pembelajaran
tugas-tugas agama tidak akan terlaksana. Seandainya agama tidak ada, derajat pahala
tidak ada artinya. Jika jiwa tidak ada, tidak ada manusia yang memeluk agama. Kalau
keturunan tidak ada, maka kehidupan pun akan punah. dan seadainya harta tidak ada,
kehidupan akan terasa hampa.68
Untuk mengetahui kedudukan Maqa<s}id al-Syari>’ah, maka tolak ukurnya ialah
kemaslahatan. Karena pada intinya tujuan Maqa<s}id al-Syari>’ah ialah mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Oleh karena itu, maslahat harus
bersandar pada dalil-dalil Alquran maupun hadis. Jika maslahat berdiri sendiri, maka
Maqa<s}id al-Syari>‘ah tidak bisa diakui kedudukan dan keberadaannya.69
Penggalian maslahat oleh para mujtahid, dapat dilakukan melalui berbagai
metode ijtihad di saat menghadapi kasus-kasus yang penerapan hukumnya tidak
dijelaskan secara eksplisit dalam Alquran maupun Sunah. Terdapat dua metode
ijtihad yang dikembangkan para mujtahid untuk menggali sumber kemaslahatan,
yaitu:70
metode ta’lili (metode analisis substantif) yang terdiri dari qiya>s dan istihsa>n.
Yang kedua ialah metode istis}lahi (metode analisis kemaslahatan) yang terdiri dari
mas}lahah mursalah dan sadd al-dzari>’ah.
68
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam
untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet.
1, h. 58. 69
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174. 70
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari‟ah Dan Hubungannya Dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 554.
28
4. Metode Penetapan Maqa<s}id al-Syari>’ah
Istinbat hukum dapat dikembangkan melalui konsep Maqa<s}id al-Syari>‘ah
untuk menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam kontemporer yang tidak
terjawab dalam kandungan Alquran dan hadis maupun dalil-dalil hukum Islam seperti
ijma’, qiya >s, istihsa>n, mas}lahah mursalah, ‘urf, istis}hab, syar’u man qablana, dan
sadd az-zari’ah.71
Menurut Thahir bin Asyur metode penetapan Maqa<s{id al-Syari‟ah ada tiga
macam cara yaitu:72
1. Meneliti kebijakan-kebijakan perbuatan hukum (Tas}arrufat al-Syari>’ah),
yang terdiri dari dua bentuk:
a. Meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui ilatnya melalui metode
masalik al-illah, berguna untuk mempermudah pemahaman kita dalam
mengetahui hikmah dibalik perintah atau larangan syariat. Sebagai
contoh: pengharaman muzabanah dan jual beli kurma basah. Maqa>s}id
yang dapat diambil atas pelarangannya adalah: demi menghindari
penipuan (gharar) dalam transaksi. Contoh lainnya, dilarangnya
meminang wanita makhtubah (sedang dalam pinangan orang lain).
Maka maqa>s}id yang dapat diambil dari pelarangan ini adalah: demi
menjaga kelangsungan ukhuwah di antara sesama muslim.
b. Meneliti secara induktif dalil-dalil hukum yang mempunyai ilat yang
sama, sehingga memberi keyakinan bahwa ilat tersebutlah yang
dikehendaki oleh Maqa<s}id al-Syari>’ah. Sebagai contoh: dilarang jual-
beli makanan sebelum sampai ke tangan pembeli, barter makanan
dengan salah satunya dihutang atau dilarangnya menimbun makanan.
Maka dari ketiga persoalan tersebut dapat ditarik satu ilat tasyri’ yang
71
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 223. 72
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyah, (Yordania: Dar
an-Nafais, 2001), hlm. 190-192.
29
sama, yaitu demi mengkonsumsi makanan secara sehat, hindari
pembelian di pasaran walaupun makanan dapat dengan mudah
didapatkan. Sehingga ilat inilah yang menjadi maqa>s}id pelarangan
ketiga kasus tersebut.
2. Memahami dalil-dalil quran yang dalalah-nya jelas dan tanpa keraguan,
walaupun kemungkinan adanya maksud lain selain yang tampak dari dalil-
dalil quran tersebut.
3. Memahami Sunnah mutawatiroh, Yang terdiri dari tawatir ma’nawi dan
tawatir ‘amali.
Sementara menurut Imam al-Syatibi, ada 4 metode penetapan Maqa<s}id al-
Syari>‘ah yaitu sebagai berikut:73
1. Mujarrad al ‘amr wa an nahy al ibtida’i at tasrih }i, maksudnya ialah
sebuah metode dengan berupaya menganalisis ungkapan, maksud atau
rahasia eksplisit perintah dan larangan dalam suatu nash yang eksistensi
berdiri secara mandiri (ibtidai). Dengan demikian, penetapan dengan
metode ini bisa dikategorikan sebagai penetapan berdasarkan literal nas,
yang dibingkai dalam pemahaman mendasar bahwa dalam perintah
syari‟at pasti terdapat unsur maslahat dan dalam setiap larangan pasti ada
unsur mafsadat.
2. Menelaah konteks ilat dari setiap perintah dan larangan, maksudnya ialah
metode yang melakukan pelacakan ilat di balik perintah dan larangan.
Pada tataran ini, dijelaskan bahwa ilat itu adakalanya tertulis secara jelas
dalam nas ada juga yang tidak tertulis. Jika ilatnya tertulis maka harus
diikuti yang tertulis, apabila ilat tidak tertulis maka harus dilakukan
tawaqquf terlebih dahulu agar tidak gegabah dalam menyimpulkan
maksud dalam nas.
73
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.
30
3. Memperhatikan Maqa<s}id turunan (at-tabi’ah), maksudnya adalah
mendalami syariat dengan cara mempertimbangkan tujuan yang bersifat
pokok (maqs}ud al ashli), lalu yang bersifat turunan (Maqa<s}id at tabi’ah).
Dalam syariat nikah misalnya, yang menjadi maqsud al ashli adalah
kelestarian manusia lewat perkembang-biakan (at-tanasul). Sementara
setelahnya, terdapat beberapa Maqa<s}id turunan (tabi‟ah) seperti
mendapatkan ketenangan (al-sakinah), tolong-menolong dalam
kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, membentengi diri dari berbagai
fitnah, dan lain-lain, semua itu merupakan perhimpunan dari maqa>s}id at
tabi‟ah dalam syariat nikah.
4. Sikap diam terhadap syariat, maksudnya adalah tidak adanya keterangan
nas mengenai sebab hukum atau disyariatkannya suatu perkara, baik yang
memiliki dimensi ubudiyah maupun muamalah. Maka menurut al-Syatibi,
sesuatu yang didiamkan syariat tidak secara otomatis bertentangan dengan
syariat. Maka yang harus dilakukan seseorang dalam menjernihkan
permasalahan ini adalah menelaah dimensi maslahat dan mudarat di
dalamnya. Bila terindikasi adanya maslahat, maka hal itu bisa diterima.
Sebaliknya bila terindikasi dimensi mudarat di dalamnya, secara otomatis
hal itu tertolak.
Masih banyak sekali metode penetapan hukum melalui Maqa<s}id al-Syari>‘ah
yang dikemukakan oleh ulama-ulama fikih, pada intinya seorang mujtahid ketika
berijtihad hendaknya mempertimbangkan akibat suatu hukum, memprediksi hukum,
menemukan hukum, lalu memutuskan hukum berdasarkan kemaslahatan dan
menghindari kemudaratan.74
Maka akan tercapai tujuan inti syariat sebagaimana yang diutarakan oleh
Syeikh Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya Ushul Fikih mengenai tiga tujuan
74
Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan
Hukum Vol. 6 No. 1 Juni 2014, h. 311.
31
kehadiran syariat yaitu: Membina setiap diri individu agar menjadi pribadi yang baik
dan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain, menegakkan keadilan dan persamaan
dalam masyarakat baik sesama muslim maupun non muslim, dan merealisasikan
kemaslahatan ummat.75
75
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 224.
32
BAB III
STUDI PUTUSAN NOMOR 981/Pdt.G/2013/PA JS SAMPAI DENGAN
PUTUSAN NOMOR 83 PK/AG/2017
A. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
1. Duduk Perkara
Prayitno, umur 73 tahun, dan Titi, umur 68 tahun, dahulu adalah suami istri
yang sah yang menikah pada tahun 1968. Dan pada tanggal 14 Februari 2013,
perkawinannya diakhiri dengan cerai talak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Selama dalam perkawinan, pasangan suami istri ini dikaruniai 3 orang anak.
Setelah terjadi perceraian, Prayitno (untuk selanjutnya disebut Penggugat)
diwakili kuasa hukumnya Zikri, menggugat Titi (untuk selanjutnya disebut Tergugat)
yang diwakili kuasa hukumnya Tahir, mengenai sengketa harta bersama yang
terdaftar dengan surat gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pada tanggal 12 September 2013.
Dalam KUHPerdata, semua harta suami istri menjadi harta bersama.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh
sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta
bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
berada di bawah penguasaan masing-masig sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.1
Jika sebelum perkawinan terdapat sebuah perjanjian kawin yang pada intinya
memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut,
maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami-istri tersebut hanya
1
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53b65a5e2cfef/pembagian-
harta-bersama-jika-terjadi-perceraian, Diakses pada tanggal 10 April 2019.
33
mendapatkan harta yang terdaftar di dalam perjanjian perkawinan.2 Namun jika
diantara suami istri tersebut tidak pernah melakukan perjanjian perkawinan, maka
merujuk pada Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antar suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan.”3
Oleh karena itu, jika investasi (harta) tersebut diperoleh dalam perkawinan,
maka menjadi harta bersama yang harus dibagi antara suami dan istri dalam hal
terjadi perceraian.4
Dalam kasus tersebut, ternyata Penggugat dan Tergugat tidak pernah
melakukan perjanjian perkawinan, sehingga wajar apabila Penggugat menuntut hak
harta bersama, dengan menyatakan dalam isi gugatannya bahwa dahulu selama
perkawinan dengan Tergugat, telah memperoleh 11 objek harta bersama berupa tanah
di beberapa lokasi yang berbeda. Menurutnya, objek-objek harta bersama tersebut
dikuasai secara sepihak oleh Tergugat. Penggugat berdalih, bahwa surat-surat tanah
dihalang-halangi dan tidak bisa diakses oleh Penggugat. Maka penggugat memohon
kepada Majelis Hakim yang bersangkutan agar mengadakan pemeriksaan setempat
untuk menjamin kebenaran, kejelasan, kepastian, dan keberadaan 11 objek harta
bersama yang digugat.
Selanjutnya, Penggugat juga menerangkan dalam gugatannya bahwa Tergugat
telah menjual sebagian objek harta bersama semenjak berpisah dari Penggugat dan
tanpa sepengetahuan Penggugat. Seluruh uang hasil penjualan atas aset-aset harta
bersama juga dikuasai secara sepihak oleh Tergugat. Walaupun Penggugat telah
2
Kelik Wardiono dan Septarina Budiwati, Hukum Perdata, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2018), h. 81. 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI Pasal 119.
4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII Pasal 35 ayat (1).
34
berupaya mengajak Tergugat untuk membagi harta bersama secara musyawarah,
namun Tergugat tetap mengabaikannya.
Karena Penggugat igin menjamin agar gugatannya tidak illusoir, apalagi
perkara ini belum berkekuatan hukum tetap, maka Penggugat memohon Majelis
Hakim untuk mengadakan sita marital atas 11 objek-objek harta bersama yang
digugat.
Sita marital ialah sita jaminan berupa harta perkawinan yang dapat digunakan
untuk melindungi hak Pemohon untuk menjamin terpeliharanya harta perkawinan dan
terlindungi sampai suatu perkara tersebut mendapatkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.5
Berdasarkan alasan-alasan yang diajukan, Penggugat memohon kepada
Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menjatuhkan putusan dalam
Provisi: Mengabulkan permohonan Penggugat untuk dilaksanakannya descente
(pemeriksaan setempat) terhadap 11 objek harta bersama tersebut; Mengabulkan
permohonan Penggugat agar diletakkan sita marital atas sebagian objek harta bersama
tersebut; dalam Pokok Perkara: Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
Menetapkan 11 objek harta yang digugat sebagai harta bersama Penggugat dan
Tergugat yang belum dibagi; Menetapkan Penggugat dan Tergugat masing-masing
berhak atas seperdua bagian dari harta bersama tersebut; Menyatakan sah dan
berharga sita yang diletakkan; Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih
dahulu walaupun ada bantahan, verzet, banding dan kasasi; Menetapkan biaya
perkara menurut hukum.
Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan jawaban tertulis melalui kuasa
hukumnya Tahir pada intinya menolak gugatan Penggugat dan karenanya memohon
kepada Majelis Hakim untuk memberikan putusan dalam Konpensi: Menolak gugatan
5 Darda Syahrizal, Kasus-Kasus Hukum Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Grhatama, 2011), Cet. 1, h. 38.
35
Penggugat seluruhnya; Menetapkan bahwa tidak ada harta bersama antara Penggugat
dengan Tergugat; Menolak permohonan pemeriksaan setempat yang diajukan oleh
Penggugat; Menolak permohonan sita marital yang diajukan oleh Penggugat; dalam
Rekonpensi: Menerima gugatan rekonpensi untuk seluruhnya; Menetapkan bahwa
sebidang rumah/tanah yang terletak di Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur sebagai
milik sah Penggugat Rekonpensi/Tergugat; Memerintahkan Tergugat
Rekonpensi/Penggugat untuk mengembalikan tanah yang terletak di Kecamatan
Pulogadung Jakarta Timur kepada Penggugat Rekonpensi/Tergugat paling lambat
dalam waktu 14 hari setelah putusan dibacakan; Mewajibkan Tergugat
Rekonpensi/Penggugat membayar (Dwangsom) uang paksa sebesar Rp. 1.000.000.-
(satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan penyerahan/pengembalian
rumah/tanah a quo kepada Penggugat Rekonpensi/Tergugat; Menyatakan putusan itu
dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada banding, kasasi dan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Tergugat Rekonpensi/Penggugat.
Secara teknis, pemeriksaan perkara dilanjutkan melalui tahapan Replik dan
Duplik antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah melalui tahap itu, dalam sidang
berikutnya yaitu tahap Pembuktian, dimana Penggugat dan Tergugat saling
mengajukan alat-alat bukti tertulis dan juga saksi-saksi yang memberikan keterangan
di bawah sumpah.
Setelah Majelis Hakim melakukan sidang setempat atas objek sengketa
masing-masing, di sidang berikutnya antara Penggugat dengan Tergugat masing-
masing mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya bertahan dengan dalil-dalilnya
semula.
2. Pertimbangan Hakim
Dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terjadi, sikap hakim
sangat menentukan nilai-nilai keadilan yang ada di dalam putusan-putusannya, karena
36
sikap hakim merupakan cerminan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang.6
Hakim seharusnya dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, bebas dari campur
tangan masyarakat (intervensi) sehingga hakim dapat memutus perkara berdasarkan
hukum yang berlaku serta berdasarkan keyakinannya seadil-adilnya.7
Dalam salinan Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
tentang pembagian harta bersama, maka penulis uraikan pertimbangan Majelis
Hakim, diantaranya sebagai berikut:
Sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dan (4) PERMA RI Nomor
1 Tahun 2008, begitu juga yang tertera dalam Pasal 130 HIR, Majelis Hakim telah
berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat, namun tidak berhasil;
Penggugat pada pokoknya, memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, agar menetapkan harta-harta yang didapat selama perkawinan
sebagai harta bersama berupa:
1. Sebidang tanah luas 60 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala L/5;
2. Sebidang tanah luas 60 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala L/6;
3. Sebidang tanah luas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
4. Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
5. Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
6 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-
Nilai Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia
Group, 2018), Ed. 1, Cet. 1, h. 261. 7
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), Ed. 2, h. 98.
37
6. Sebidang tanah luas 1800 m2 di Desa Gandoang, Kecamatan Cileungsi,
Kota Bogor, disebut tanah Gendoang 1800 m2;
7. Sebidang tanah luas 1000 m2 di Desa Gandoang, Kecamatan Cileungsi,
Kota Bogor, disebut tanah Gendoang 1000 m2;
8. Sebidang tanah luas 548 m2 di Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan,
Jakarta Barat;
9. Sebidang tanah luas 315 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan Pekalongan
Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Gg. 7A Bendan Timur,
Pekalongan;
10. Sebidang tanah luas 246 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan Pekalongan
Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Jl. Jawa 9A Bendan Timur,
Pekalongan;
11. Sebidang tanah luas 1200 m2 di Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan
Setia Budi, Jakarta Selatan;
Penggugat memohon agar Pengadilan menetapkan harta tersebut sebagai harta
bersama dimana masing-masing pihak berhak atas seperdua bagian dari harta
bersama sesuai yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.8
Dapat kita pahami bahwa Penggugat merasa ada hak-hak harta bersama yang
belum diberikan kepadanya, jika kita tinjau berdasarkan ketentuan Pasal 1865 B.W,
yaitu:9 “Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan
sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang
siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain,
diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Maka antara Penggugat dan
Tergugat wajib membuktikan dalil bukti dan bantahannya.
8 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97.
9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI Pasal 1865.
38
Demi meyakinkan Majelis Hakim, maka para pihak saling membantah atas
dalilnya masing-masing dengan membawa alat-alat bukti berdasarkan Pasal 164 HIR
dan 284 Rbg serta Pasal 1886 KUHPerdata.
Selanjutnya para pihak melanjutkan tahap sidang berikutnya yaitu
pembuktian, yang dapat penulis uraikan secara rinci sebagai berikut:
a) Objek Pertama dan Kedua yang digugat berupa: tanah Nirmala L/5
dan tanah Nirmala L/6 seluas 60 m2 di Kelurahan Mekarsari,
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, sebagai harta bersama, bahwa
dalam jawaban Tergugat menyatakan bahwa objek tersebut telah dijual
untuk biaya perkawinan anaknya, dan terhadap dalil bantahan itu,
Penggugat membenarkannya. Maka dengan demikian kedua objek
tersebut secara hukum terbukti telah dijual bersama-sama oleh
Penggugat dan Tergugat, maka oleh karenanya gugatan tersebut harus
dinyatakan ditolak;
b) Objek Ketiga dan Keempat yang digugat berupa: tanah Gendoang
1800 m2 dan tanah Gendoang 1000 m2 yang terletak di Desa
Gandoang, Kecamatan Cileungsi, Kota Bogor, bahwa dalam jawaban
Tergugat, kedua objek tersebut telah dijual dan telah dibagi-bagikan
termasuk Penggugat sudah juga menikmati hasilnya, dan dalil
bantahan itu telah dibenarkan oleh Penggugat sendiri, maka dengan
demikian gugatan tersebut harus dinyatakan ditolak;
c) Objek Kelima yang digugat berupa: sebidang tanah luas 90 m2 di
Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, yang
disebut tanah Nirmala H/3, bahwa dalam jawabannya, Tergugat
membantah secara tegas kalau objek itu dikatakan harta bersama,
sekalipun objek tersebut dibeli selama masa perkawinan, akan tetapi
menurutnya objek itu dibeli dari hasil jerih payah sendiri dan
39
Penggugat tidak ikut andil sama sekali. Sedangkan menurut
Penggugat, objek sengketa tersebut dibeli dari hasil bersama selama
masa perkawinan; Untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat
telah mengajukan bukti P.2, P.3, dan P.29 serta saksi-saksi
persidangan, sedangkan Tergugat tidak ada mengajukan bukti
bantahan yang menerangkan asal muasal pembelian tersebut; dengan
menolaknya Tergugat menghadirkan bukti asli kepemilikan atas objek
sengketa yang dimaksud, Majelis Hakim berpadangan bahwa Tergugat
tidak beritikad baik dan secara hukum dapat dipandang pula “bahwa
Tergugat tidak mampu membuktikan dalil bantahannya”, sedangkan
bukti-bukti yang diajukan berupa P.2, P3, dan P. 29, walaupun secara
hukum bukti-bukti tersebut bukan butki kepemilikan dan hanya
merupakan keterangan biasa, akan tetapi setelah melihat hasil sidang
setempat dan bukti-bukti tersebut saling berkesesuaian dengan
keterangan saksi. Oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa
Penggugat telah mampu membuktikan dalilnya dan harus dinyatakan
bahwa sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari,
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, yang disebut tanah Nirmala H/3,
adalah merupakan harta bersama antara Penggugat dengan Tergugat;
d) Objek Keenam yang digugat berupa: sebidang tanah luas 2000 m2 di
Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, bahwa
dalam jawabannya, Tergugat membantah secara tegas kalau objek itu
dikatakan harta bersama, sekalipun objek tersebut dibeli selama masa
perkawinan, akan tetapi menurutnya objek itu dibeli dari hasil jerih
payah sendiri dan Penggugat tidak ikut andil sama sekali. Sedangkan
menurut Penggugat, objek sengketa tersebut dibeli dari hasil bersama
selama masa perkawinan; Untuk menguatkan dalil gugatannya,
Penggugat telah mengajukan bukti P.4 berupa Akta Jual Beli atas
40
objek tersebut, serta saksi-saksi di persidangan, sedangkan Tergugat
tidak ada mengajukan bukti bantahan yang menerangkan asal muasal
pembelian tersebut; sekalipun bukti P.4 yang diajukan Penggugat
hanya berupa fotokopi, akan tetapi Tergugat sendiri tidak bisa
mengajukan bukti bantahannya, bahkan Majelis Hakim telah
memerintahkan Tergugat mengajukan bukti yang sah atas kepemilikan
tersebut, akan tetapi Tergugat menyatakan keberatan dan tidak mau
menunjukkan dokumen kepemilikan aset asli yang dimaksud,
sedangkan berdasarkan hasil sidang setempat, terbukti objek tersebut
atas nama Tergugat. Oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat
bahwa Penggugat telah berhasil membuktikannya dan membuktikan
bahwa sebidang tanah seluas 2000 m2 di Kelurahan Pasir Kuda,
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, adalah merupakan harta
bersama;
e) Objek Ketujuh yang digugat berupa: Tanah Pembangunan II No. 4,
Jakarta Pusat, bahwa dalam jawabannya, Tergugat membantah secara
tegas kalau objek itu dikatakan harta bersama, sekalipun objek tersebut
dibeli selama masa perkawinan, akan tetapi menurutnya objek itu
dibeli dari hasil jerih payah sendiri dan Penggugat tidak ada hak atas
harta tersebut; untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan bukti P.5, P.14, P.19, P.20, P.21, P.22 berupa surat BPN
dari Jakarta Pusat, SPPT, Surat Permohonan Perpanjangan Sewa
Gedung, atas nama Tergugat. Dan berdasarkan bukti-bukti tersebut,
Tergugat tidak ada mengajukan bukti bantahan, kecuali bukti T.6 s.d.
T.14 yang menurut Majelis Hakim bukti tersebut tidak dapat dijadikan
bukti yang mampu mematahkan bukti Penggugat. Oleh karenanya
Majelis Hakim berpendapat bahwa Tanah Pembangunan II No. 4,
41
Jakarta Pusat, adalah merupakan harta bersama antara Penggugat
dengan Tergugat;
f) Objek Kedelapan yang digugat berupa: sebidang tanah luas 548 m2 di
Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, bahwa dalam
jawabannya, Tergugat membantah secara tegas kalau objek itu
dikatakan harta bersama, menurutnya objek itu dibeli dari hasil jerih
payah sendiri, dan objek tersebut telah dijual dan hasilnya telah
dibagikan dan diterima oleh Penggugat; untuk menguatkan dalil
gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti P.9 berupa fotokopi
Sertifikat Hak Guna Bangunan, atas nama Tergugat. Dan berdasarkan
hasil pemeriksaan setempat, terbukti objek tersebut telah dijual. Oleh
karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa objek sengketa tidak
jelas dan kabur dan menyatakan bahwa objek tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diterima;
g) Objek Kesembilan dan Kesepuluh yang digugat berupa: sebidang
tanah luas 315 m2 di Gg. 7A Bendan Timur, Kelurahan Benda,
Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, dan sebidang tanah
luas 246 m2 di Jl. Jawa 9A, Kelurahan Benda, Kecamatan Pekalongan
Barat, Kota Pekalongan, bahwa dalam jawabannya, Tergugat
membantah secara tegas kalau objek itu dikatakan harta bersama,
menurutnya objek itu dibeli dari hasil jerih payah sendiri; untuk
menguatkan dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti P.10,
P.11, P.13, P.24, P.25, dan P.26, beserta saksi-saksi persidangan,
sedangkan Tergugat tidak ada mengajukan bukti bantahan. Setelah
diadakan pemeriksaan setempat, ditemukan fakta hukum yaitu
keterangan saksi dengan surat-surat yang diajukan saling bertentangan,
sehingga objek sengketa menjadi tidak jelas. Oleh karenanya Majelis
Hakim berpendapat bahwa objek sengketa tidak jelas dan kabur dan
42
menyatakan bahwa objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat
diterima;
h) Objek Kesebelas yang digugat berupa: sebidang tanah luas 1200 m2 di
Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan,
bahwa dalam jawabannya, Tergugat membantah secara tegas kalau
objek itu dikatakan harta bersama, menurutnya objek tersebut adalah
milik anak Penggugat dan Tergugat; untuk menguatkan dalil
gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti P.12 berupa Surat
Keterangan Kelurahan yang menerangkan bahwa Tergugat pernah
menempati objek tersebut, dan bukti P.23 berupa Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan Badan Pertahanan Nasional yang
menerangkan bahwa objek sengketa tersebut atas nama anak Tergugat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan setempat, antara bukti P.12 dan P.23
saling berkesuaian, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa
objek sengketa yang digugat Penggugat bukanlah harta bersama, dan
objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Setelah selesai melalui tahap pembuktian, maka Majelis Hakim sepakat
bahwa harta bersama dapat dianggap sebagai syirkah, syirkah adalah harta kekayaan
dalam perkawinan yang diperoleh suami-istri baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama selama dalam ikatan perkawinan.10
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 secara jelas dan tegas
menyatakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk harta
bersama kecuali waris atau hibah, dan dipertegas pula dalam KHI mengenai istilah
harta bersama. Begitu pula dalam menentukan bagian masing-masing pihak dari harta
bersama, mengacu kepada ketentuan Pasal 97 Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
10
Faisar Ananda Arfa dan Warni Matpaung, Metodologi Penelitian Hukum Islam,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), Cet. 1, h. 161.
43
Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama, karena kedua belah pihak tidak
mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan.” Akan tetapi dalam kasus ini, Majelis
Hakim melihat secara seksama apakah pembagian seperdua bagi janda atau duda
hidup tersebut dapat dipandang adil.
Pembagian harta bersama apabila dilihat dari sudut filosofi lahirnya ketentuan
tersebut diatas, maka masalah yang paling substansial dari ketentuan tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak istri yang akan diceraikan, Majelis
Hakim menganggap bahwa pada umumnya istri berdiam diri di rumah dan tidak
punya penghasilan, dan waktu kesehariannya dihabiskan untuk mengerjakan tugas-
tugas rumah tangga yang tidak ringan dibandingkan dengan suami. Dalam kondisi
demikian, alangkah tidak adilnya apabila tidak diberikan perlindungan, sudah
dipastikan kalau terjadi perceraian maka sang istri akan pergi dengan tangan hampa,
membawa duka yang amat dalam, sedangkan dalam masa perkawinan dengan suami
tercinta dikaruniai harta dan kekayaan. Oleh sebab itu dalam kasus ini, amat sangat
wajar dan adil apabila ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam untuk
disimpangi.11
Majelis Hakim juga menemukan fakta-fakta hukum yaitu:
1. Bahwa Tergugat bekerja sebagai Notaris dan Dosen, sedangkan Penggugat
dahulu bekerja sebagai PNS golongan II C;
2. Bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah bercerai pada 14 Februari
2013;
3. Bahwa terbukti Penggugat telah menikah secara diam-diam dengan
perempuan yang bernama iis tahun 1988 dan dikaruniai 3 orang anak;
11
Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
44
4. Bahwa terbukti Tergugat telah bertindak sebagai single parent dalam
merawat dan membesarkan anak-anak, sementara Penggugat lalai dalam
memberikan nafkah istri dan anak-anak;
5. Tergugat yang lebih aktif berusaha untuk mempertahankan hartanya,
sehingga tidak adil jika separoh bagian diterapkan dalam kasus ini;
Majelis Hakim memandang, bahwa sekalipun secara yuridis harta yang
diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama dan harus dibagi dua sama besar
antara Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi secara sosiologis, terlihat peran istri
sangat baik dalam mencari nafkah dan memikul tanggung jawab yang besar dalam
merawat dan membesarkan anak-anak sejak Tergugat menikah lagi, dan secara
filosofis, Majelis Hakim memandang adanya ketidakadilan jika ketentuan Pasal 97
KHI diterapkan dalam kasus ini; atas dasar pertimbangan peran dan tanggung jawab
yang dipikul selama ini oleh Tergugat, maka Tergugat harus lebih besar mendapatkan
harta bersama daripada Penggugat, yaitu 1/3 bagian milik Penggugat dan 2/3 bagian
milik Tergugat.12
Mengenai permohonan sita marital, Majelis Hakim tidak menemukan fakta-
fakta hukum adanya kemungkinan tindakan-tindakan tergugat yang dapat merugikan
hak dan kepentingan Penggugat. Oleh karenanya permohonan sita dinyatakan ditolak.
Mengenai Rekonpensi pada pokoknya adalah menuntut agar sebidang tanah
yang berlokasi di Jl. Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung,
Jakarta Timur, yang saat ini dikuasai oleh Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dikembalikan kepada Penggugat Rekonvensi. karena menurutnya, tanah tersebut
adalah milik sah Penggugat Rekonvensi dan secara tidak langsung Tergugat
Rekonvensi/Penggugat melawan hukum karena menguasai tanah tersebut tanpa
sepengatahuan Penggugat Rekonvensi/Tergugat; terhadap gugatan Penggugat
Rekonvensi tersebut, Tergugat Rekonvensi dalam jawabannya membantah dengan
12
Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
45
tegas dalil Penggugat Rekonvensi tersebut; maka berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas, maka gugatan balik Penggugat Rekonvensi dapat
dikabulkan sebagian dan menolak untuk selebihnya;
Dapat penulis simpulkan bahwa pertimbangan Majelis Hakim di Tingkat
Pertama dalam kasus ini ialah Majelis Hakim Tingkat Pertama menimbang bahwa
harta bersama antara Penggugat dengan Tergugat hanya sebanyak 3 objek harta,
padahal sebelumnya digugat sebanyak 11 objek harta, alasannya ialah didasarkan
pada prinsip pembuktian yang terdapat pada Pasal 1865 B.W, objek harta yang
dikabulkan telah memenuhi syarat formil walaupun bukti-bukti yang diajukan hanya
berupa keterangan biasa dan bukan bukti kepemilikan, tetapi Majelis Hakim
menganggap bahwa itu termasuk bukti petunjuk, sementara dalam hal pembagian
harta bersama, Majelis Hakim menyimpang dari ketentuan yuridis dan memutuskan
untuk memberikan lebih banyak kepada Tergugat berdasarkan nilai-nilai filosofis dan
sosiologis.
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS ialah
sebagai beirkut:
Dalam Provisi
- Menolak provisi Penggugat sepanjang permohonan tentang “sita marital”;
Dalam Pokok Perkara
Dalam Konpensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan harta-harta yang berupa:
- Sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
46
- Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
- Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
Adalah merupakan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat yang belum
dibagi;
3. Menetapkan Penggugat berhak atas 1/3 (satu pertiga) bagian dari harta
bersama tersebut dan Tergugat berhak atas 2/3 (dua pertiga) bagian dari
harta bersama tersebut;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan 1/3 (satu pertiga) bagian
kepada Penggugat yang merupakan hak milik Penggugat;
5. Menolak atau tidak menerima gugatan Penggugat untuk selain dan
selebihnya;
Dalam Rekonpensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan harta berupa: sebidang tanah yang berlokasi di Jl. Cemara
No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
sebagai milik sah Penggugat Rekonvensi/Tergugat;
3. Memerintahkan Tergugat Rekonvensi/Penggugat untuk mengembalikan
rumah/tanah yang berlokasi di Jl. Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih,
Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur kepada Penggugat
Rekonvensi/Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
47
Menghukum Penggugat dan Tergugat secara tanggung renteng membayar
seluruh biaya yang timbul, hingga putusan dibacakan sejumlah 11.116.000.- (sebelas
juta seratus enam belas ribu rupiah);13
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA
JK
1. Duduk Perkara
Pada perkara ini, para pihak terlihat masih belum merasa puas dengan putusan
Majelis Hakim Tingkat Pertama, sehingga pihak yang berkeberatan mengajukan
upaya hukum untuk mencari keadilan.
Upaya hukum pertama yang dilakukan ialah upaya banding, yang dimaksud
dengan upaya hukum banding ialah permintaan atau permohonan yang diajukan oleh
salah sau pihak yang berperkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan
pengadilan bisa diperiksa ulang kembali secara keseluruhan perkara yang
bersangkutan.14
Titi, umur 68 tahun, semula adalah Tergugat dan sekarang sebagai
Pembanding I/Terbanding II, melawan Prayitno, umur 73 tahun, semula adalah
Penggugat dan sekarang sebagai Pembanding II/Terbanding I. dalam hal ini sudah
saling mengajukan akta permohonan banding dan telah diberi kesempatan untuk
memeriksa berkas perkara banding (Inzage);
Mengutip uraian sebagaimana termuat dalam putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS yang amarnya
berbunyi sebagai berikut:
Dalam Provisi
- Menolak provisi Penggugat sepanjang permohonan tentang “sita marital”;
13
Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS 14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 336.
48
Dalam Pokok Perkara
Dalam Konpensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan harta-harta yang berupa:
- Sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
- Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
- Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
Adalah merupakan harta bersama antara Penggugat dan Tergugat yang belum
dibagi;
3. Menetapkan Penggugat berhak atas 1/3 (satu pertiga) bagian dari harta
bersama tersebut dan Tergugat berhak atas 2/3 (dua pertiga) bagian dari
harta bersama tersebut;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan 1/3 (satu pertiga) bagian
kepada Penggugat yang merupakan hak milik Penggugat;
5. Menolak atau tidak menerima gugatan Penggugat untuk selain dan
selebihnya;
Dalam Rekonpensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan harta berupa: sebidang tanah yang berlokasi di Jl. Cemara
No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
sebagai milik sah Penggugat Rekonvensi/Tergugat;
3. Memerintahkan Tergugat Rekonvensi/Penggugat untuk mengembalikan
rumah/tanah yang berlokasi di Jl. Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih,
49
Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur kepada Penggugat
Rekonvensi/Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Menghukum Penggugat dan Tergugat secara tanggung renteng membayar
seluruh biaya yang timbul, hingga putusan dibacakan sejumlah 11.116.000.- (sebelas
juta seratus enam belas ribu rupiah);15
2. Pertimbangan Hakim
Mengenai permohonan banding baik Pembanding I dan Pembanding II telah
diajukan dalam tenggang waktu banding dengan cara-cara sebagaimana yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut
dapat diterima oleh Majelis Hakim;
Setelah memperhatikan dan mempelajari putusan nomor 0981/Pdt.G/2013/PA
JS, maka Majelis Hakim Banding menemukan fakta hukum yang pada pokoknya;
1. Penggugat dan Tergugat semula sebagai pasangan suami istri yang sah
yang telah menikah pada tahun 1968;
2. Berdasarkan alat bukti tertulis yang yang diajukan oleh Penggugat berupa
P1 sampai dengan P 29, serta alat bukti tertulis yang diajukan Tergugat
berupa T1 sampai dengan T 15, serta alat bukti saksi dari kedua belah
pihak, dapat disimpulkan bahwa selama Penggugat menikah dengan
Tergugat telah memperoleh harta bersama yang belum dibagi;
3. Bahwa harta bersama Penggugat dengan Tergugat tersebut sebagaimana
yang diajukan oleh Penggugat yang rinciannya sebagai berikut;
3.1. Sebidang tanah luas 60 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala L/5;
15
Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
50
3.2. Sebidang tanah luas 60 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala L/6;
3.3. Sebidang tanah luas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
3.4. Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
3.5. Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
3.6. Sebidang tanah luas 1800 m2 di Desa Gandoang, Kecamatan
Cileungsi, Kota Bogor, disebut tanah Gendoang 1800 m2;
3.7. Sebidang tanah luas 1000 m2 di Desa Gandoang, Kecamatan
Cileungsi, Kota Bogor, disebut tanah Gendoang 1000 m2;
3.8. Sebidang tanah luas 548 m2 di Kelurahan Joglo, Kecamatan
Kembangan, Jakarta Barat;
3.9. Sebidang tanah luas 315 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Gg. 7A Bendan
Timur, Pekalongan;
3.10. Sebidang tanah luas 246 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Jl. Jawa 9A
Bendan Timur, Pekalongan;
3.11. Sebidang tanah luas 1200 m2 di Kelurahan Karet Kuningan,
Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan;
Sebagaimana gugatan Penggugat sebagaimana tersebut dalam angka 3.1, 3.2,
3.6, 3.7, 3.8, adalah harta bersama, namun kenyataannya harta tersebut telah dijual
kepada pihak ketiga. Dengan sendirinya tanah yang diperkarakan tersebut tidak lagi
milik Penggugat dan Tergugat. Atas dasar itu Majelis Hakim Banding sependapat
dengan pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama bahwa gugatan Penggugat
harus dinyatakan ditolak;
51
Mengenai gugatan Penggugat sebagaimana tertera dalam angka 3.3, 3.4, 3.5,
3.9, 3.10, adalah harta bersama, meskipun yang tersebut dalam sertifikat atau
dokumen atas nama masing-masing pihak. Dan oleh Majelis Hakim tingkat Pertama
telah mempertimbangkannya serta memutus dengan menetapkan harta tersebut
sebagai harta bersama kecuali yang tertera dalam angka 3.9 dan 3.10, karena harta
tersebut tidak jelas dan harus dinyatakan tidak diterima. Dalam hal ini Majelis Hakim
Banding sependapat dengan pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim tingkat
Pertama terkait angka 3.3, 3.4, 3.5, namun pada angka 3.9 dan 3.10, Majelis Hakim
Banding tidak sependapat dengan alasan bahwa harta tersebut diperoleh selama
pernikahan Penggugat dengan Tergugat yang masing-masing pihak tidak dapat
memberikan pembuktian, namun setelah pemeriksaan setempat, terbukti harta
tersebut dikuasai oleh Tergugat. Atas dasar itu Majelis Hakim Banding menilai
bahwa harta yang disengketakan tersebut masih terkait ke dalam harta bersama;
Selanjutnya mengenai gugatan Penggugat sebagaimana tertera dalam angka
3.11, antara Penggugat dan Tergugat saling membantah dengan mengajukan bukti-
bukti tertulis dan saksi-saksi, dan setelah pemeriksaan setempat terbukti bahwa harta
tersebut sudah berganti hak milik kepada anak-anak Penggugat dan Tergugat. Atas
dasar itu, Hakim Banding sependapat dengan Majelis Hakim tingkat Pertama bahwa
gugatan tersebut harus ditolak;
Selanjutnya berkaitan dengan pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama
yang telah memberikan putusan atas perkara a quo yang menyatakan dalam amarnya
bahwa bagian Penggugat 1/3 bagian dari harta bersama dan untuk Tergugat 2/3
bagian dari harta bersama. Dalam hal ini Majelis Hakim Banding tidak sependapat
dengan penetapan tersebut, meskipun Majelis Hakim tingkat Pertama telah
mempertimbangkan dari sudut sosiologis dan sistem perimbangan, namun dalam
kasus a quo seharusnya bukan dipandang dari segi sosiologis dan perimbangan hasil,
namun harus dilihat dari segi yuridisnya sesuai dengan bunyi pasal 35 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu “harta benda yang diperoleh selama
52
perkawinan menjadi harta bersama.” Jo. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim
Banding berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim tingkat Pertama tidak dapat
dipertahankan dan harus dibatalkan;16
Setelah memperhatikan jalannya perkara dan pertimbangan Majelis Hakim di
Tingkat Banding, maka dapat penulis simpulkan bahwa hakim Tingkat Banding tidak
sependapat dengan pertimbangan hakim Tingkat Pertama, dengan menyatakan dalam
putusannya bahwa harta bersama antara Penggugat dengan Tergugat sebanyak 5
objek harta, padahal sebelumnya hakim Tingkat Pertama hanya mengabulkan 3 objek
harta saja, alasan hakim Tingkat Banding mengabulkan 2 objek harta tambahan
tersebut karena 2 objek itu terbukti diperoleh selama pernikahan masing-masing dan
terbukti harta tersebut dikuasai Tergugat walaupun tidak ada bukti kepemilikannya.
Begitu juga mengenai pembagian harta bersama, hakim Tingkat Banding
memutuskan untuk membagi harta bersama sama rata kepada para pihak sesuai
dengan ketentuan hukum positif yang berlaku, karena hakim Tingkat Banding
menganggap bahwa pembagian harta bersama tidak boleh dilihat dari sisi filosofis
maupun sosiologis, akan tetapi harus dilihat dari sisi yuridis, karena sisi yuiris
dianggap sudah adil dan telah memenuhi rasa kepuasan kepada para pihak.
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Tingkat Banding dalam Perkara ini ialah sebagai
berikut:
I. Menyatakan permohonan banding Pembanding I dan Pembanding II untuk
pemeriksaan ulang pada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dapat diterima;
16
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK
53
II. Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS, dengan mengadili sendiri:
Dalam Provisi
Menolak Provisi Penggugat
Dalam Pokok Perkara
Dalam Konvensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian
2. Menyatakan dan menetapkan harta bersama antara Penggugat dengan
Tergugat berupa:
2.1. Sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
2.2. Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
2.3. Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
2.4. Sebidang tanah luas 315 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Gg. 7A Bendan
Timur, Pekalongan;
2.5. Sebidang tanah luas 246 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Jl. Jawa 9A
Bendan Timur, Pekalongan;
3. Menetapkan Penggugat berhak atas ½ (seperdua) dari harta bersama
tersebut dan Tergugat berhak ½ (seperdua) bagian dari harta bersama
tersebut;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan ½ harta (seperdua) bagian
kepada Penggugat;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
54
Dalam Rekonpensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan harta berupa: sebidang tanah yang berlokasi di Jl. Cemara
No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
sebagai milik sah Penggugat Rekonvensi/Tergugat;
3. Memerintahkan Tergugat Rekonvensi/Penggugat untuk mengembalikan
rumah/tanah yang berlokasi di Jl. Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih,
Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur kepada Penggugat
Rekonvensi/Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Menghukum Penggugat dan Tergugat secara tanggung renteng membayar
seluruh biaya yang timbul, hingga putusan dibacakan sejumlah 11.116.000.-
(sebelas juta seratus enam belas ribu rupiah);
III. Membebankan kepada Pembanding I dan Pembanding II untuk membayar
biaya perkara pada tingkat Banding secara tanggung renteng sejumlah Rp.
150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah);17
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 378/K/AG/2016
1. Duduk Perkara
Pada perkara ini, ternyata para pihak masih belum menemukan titik temu dan
solusi yang memuaskan, sehingga dilanjutkan upaya hukum kedua yaitu upaya
kasasi. Sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf a UU No. 14
Tahun 1985 bahwa salah satu kewenangan kekuasaan Mahkamah Agung ialah
memeriksa dan memutus permohonan kasasi.18
17
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK 18
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 336.
55
Titi, yang semula adalah Tergugat/Pembanding-Terbanding, sekarang sebagai
Pemohon Kasasi I-Termohon Kasasi II, melawan Prayitno, yang semula adalah
Penggugat/Terbanding-Pembanding, sekarang sebagai Termohon Kasasi I-Pemohon
Kasasi II. dalam hal ini Mahkamah Agung telah membaca surat-surat yang
bersangkutan mengenai dalil-dalil pokok di muka persidangan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan;
Mengenai gugatan Penggugat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah
menjatuhkan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, yang pada intinya dalam
Konpensi mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan menyatakan 3 objek harta-
harta yang berupa: Sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok; Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda,
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor; Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan
Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat; sebagai harta bersama antara
Penggugat dan Tergugat yang belum dibagi;
Selanjutnya, Majelis Hakim Tingkat Pertama menetapkan Penggugat berhak
atas 1/3 (satu pertiga) bagian dari harta bersama tersebut dan Tergugat berhak atas 2/3
(dua pertiga) bagian dari harta bersama tersebut; dan menghukum Tergugat untuk
menyerahkan 1/3 (satu pertiga) bagian kepada Penggugat yang merupakan hak milik
Penggugat; sementara dalam Rekonpensi dikabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi
untuk sebagian; menyatakan harta berupa: sebidang tanah yang berlokasi di Jl.
Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
sebagai milik sah Penggugat Rekonvensi/Tergugat; dan memerintahkan Tergugat
Rekonvensi/Penggugat untuk mengembalikan rumah/tanah yang berlokasi di Jl.
Cemara No. 50, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat;
Sementara dalam Tingkat Banding, Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan
56
Putusan Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK, dengan mengadili sendiri. pada intinya
terjadi perbedaan pendapat antara Majelis Hakim Banding dengan Majelis Hakim
tingkat Pertama mengenai pembagian harta bersama dan penetapan objek sengketa,
yaitu pembagian harta masing-masing pihak ialah ½ (seperdua) dari harta bersama,
dan objek sengketa yang sebelumnya ditetapkan 3 objek saja oleh Majelis Hakim
tingkat Pertama, sementara menurut Majelis Hakim Banding, objek sengketa yang
ditetapkan harta bersama ada 5 objek harta;
Mengenai alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dan
Pemohon Kasasi II pada pokoknya adalah:
1. Bahwa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta telah salah menerapkan hukum yang berlaku, khususnya
yang berkenaan dengan penerapan Pasal 35 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974;
2. Bahwa Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan telah salah menerapkan hukum, sehubungan dengan penerapan
hukum pembuktian;
3. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama dan Banding
mengenai pembagian porsi hak bagian harta bersama telah keliru karena
tidak sesuai dengan hukum Islam;
Perlu kita ketahui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat beberapa
materi yang merupakan kesepakatan antara hukum Islam dan hukum adat,
diantaranya ialah mengenai taklik talak, wasiat wajibah, dan harta bersama.
Berkaitan dengan perkara ini, disinggung masalah sengketa harta bersama,
yang mana pada dasarnya konsep harta bersama berawal dari hukum adat yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam. 19
19
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam Pasca Orde Baru, (Yogyakarta: Gapura
Publishing.com, 2014), Cet. 1, h. 99.
57
Dalam hukum adat, harta perkawinan itu ada dua yaitu harta bawaan dan harta
bersama yang kemudian diatur ketentuan tersebut secara yuridis dalam bentuk
kompilasi Hukum Islam pada Pasal Pasal berikut seperti Pasal 85 KHI yang
menerangkan konsep harta bersama, lalu pada Pasal 96 dan Pasal 97 KHI yang
menjelaskan mengenai pembagian harta bersama.20
Maka dapat penulis simpulkan
bahwa pada dasarnya, pembagian harta bersama tidak wajib mutlak harus mengikuti
ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 KHI apabila dalam realita kehidupan suami istri
dalam berumah tangga sebelun terjadinya perceraian, terbukti salah satunya tidak
menjalankan kewajiban dalam menghidupkan rumah tangganya.
2. Pertimbangan Hakim
Berdasarkan alasan-alasan kasasi tersebut ternyata tidak dapat dibenarkan,
oleh karena Putusan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang
membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak salah dalam
menerapkan hukum, dan berdasarkan pada pertimbangan yang tepat dan benar
sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Kasasi II/Penggugat telah berhasil membuktikan dalil
gugatannya dalam konvensi, sementara Pemohon Kasasi I/Tergugat tidak
berhasil membuktikan dalil bantahannya dalam konvensi;
- Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut hanya pengulangan dari apa yang
telah dipertimbangkan oleh Judex Facti dengan tepat dan benar serta
penilaian atas hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana yang tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, atau
20
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97.
58
bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Namun demikian, menurut pendapat mahkamah agung, pertimbangan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang membatalkan Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan harus diperbaiki, yaitu dalam penetapan objek sengketa. Bahwa
demikian dalam gugatan Pemohon Kasasi II/Penggugat terhadap objek sengketa
berupa sebidang tanah luas 1200 m2 di Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setia
Budi, Jakarta Selatan, meskipun terdatfar atas nama anak tertua Pemohon Kasasi
II/Penggugat dan Pemohon Kasasi I/Tergugat, namun hal itu tidak mengubah status
objek tersebut sebagai harta bersama, lagi pula tidak ada bukti adanya peralihan hak
dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II kepada anak tersebut, dan gugatan
Pemohon Kasasi II terhadap Objek sengketa berupa sebidang tanah luas 548 m2 di
Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat harus dinyatakan tidak
diterima karena positanya tidak jelas;
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II tersebut harus ditolak dengan
perbaikan amar Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
57/Pdt.G/2015/PTA JK;21
Dapat penulis simpulkan bahwa Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi dalam
perkara ini memandang bahwa tidak ada yang salah dalam penerapan hukum yang
dilakukan oleh hakim Tingkat Banding yang membatalkan Putusan pada Tingkat
Pertama, terutama dalam pembagian harta bersama, hakim Tingkat Kasasi sependapat
dengan hakim Tingkat Banding, karena pembagian harta bersama harus dibagi sama
rata sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Akan
21
Putusan Mahkamah Agung Nomor 378/K/AG/2016
59
tetapi butuh perbaikan dengan mengadili sendiri, yakni objek harta bersama yang
benar ialah sebanyak 6 objek harta yang sebelumnya diputus oleh hakim Tingkat
Banding sebanyak 5 objek harta.
Karena perkara ini mengenai sengketa perkawinan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini secara tanggung
renteng dibebankan kepada Pemohon Kasasi I/Tergugat dan Pemohon Kasasi
II/Penggugat;
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Nomor 378/K/AG/2016 pada Tingkat Kasasi dalam
perkara ini ialah sebagai berikut:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II
tersebut;
Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
57/Pdt.G/2015/PTA JK yang membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, dengan mengadili sendiri:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian
2. Menyatakan dan menetapkan harta bersama Penggugat dan Tergugat
berupa:
2.1. Sebidang tanah seluas 90 m2 di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, disebut tanah Nirmala H/3;
2.2. Sebidang tanah luas 2.164 m2 di Kelurahan Pasir Kuda,
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, disebut tanah Pasir Kuda;
2.3. Tanah Pembangunan II No. 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan
Gambir, Jakarta Pusat;
60
2.4. Sebidang tanah luas 315 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Gg. 7A Bendan
Timur, Pekalongan;
2.5. Sebidang tanah luas 246 m2 di Kelurahan Benda, Kecamatan
Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, disebut tanah Jl. Jawa 9A
Bendan Timur, Pekalongan;
2.6. Sebidang tanah luas 1200 m2 di Kelurahan Karet Kuningan,
Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan;
3. Menetapkan Penggugat berhak atas ½ (seperdua) dari harta bersama
tersebut dan Tergugat berhak ½ (seperdua) bagian dari harta bersama
tersebut;
4. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan ½ harta (seperdua) bagian
kepada Penggugat, apabila tidak bisa diserahkan secara natura, maka
dilelang di depan umum atau melalui Kantor Lelang Negara dan nilai
bersihnya dibagi dua antara Penggugat dan Tergugat;
5. Menyatakan gugatan Penggugat berupa sebidang tanah luas 548 m2 di
Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, tidak dapat
diterima;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Membebankan kepada Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II untuk
membayar biaya perkara pada tingkat kasasi secara tanggung renteng sejumlah Rp.
500.000.- (lima ratus ribu rupiah);22
D. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 83/PK/AG/2017
1. Duduk Perkara
Setelah dijatuhkan Putusan oleh Mahkamah Agung di Tingkat Kasasi yang
telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara harta bersama tersebut, ternyata para
22
Putusan Mahkamah Agung Nomor 378/K/AG/2016
61
pihak khususnya Tergugat masih keberatan dan mengajukan upaya hukum luar biasa
yaitu PK (Peninjauan Kembali).
Peninjauan Kembali ialah suatu upaya hukum untuk memeriksa kembali suatu
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, itulah mengapa PK disebut dengan
upaya hukum luar biasa karena keistimewaannya dalam melindungi hak seseorang
yang merasa dirugikan oleh putusan hakim yang dirasa terdapat suatu kekhliafan,
kekeliruan ataupun terdapat bukti baru (Novum) yang berkaitan dengan perkara
tersebut.23
Titi, yang semula adalah Pemohon Kasasi I-Termohon Kasasi II, sekarang
sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, melawan Prayitno, yang semula adalah
Termohon Kasasi I-Pemohon Kasasi II, sekarang sebagai Termohon Peninjauan
Kembali, dalam hal ini Mahkamah Agung telah membaca surat-surat yang
bersangkutan mengenai dalil-dalil pokok, posita, serta amar putusan kasus ini, baik
dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi;
Mengenai alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali
dalam memori peninjauan kembali tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa dalam Putusan Kasasi a quo, Majelis Hakim Kasasi telah
melakukan suatu kekeliruan yang nyata karena tidak memeriksa dan
meneliti perkara dengan baik maupun peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ini juga disebabkan karena ada kekhilafan dan kekeliruan
yang nyata di putusan-putusan terdahulu baik di tingkat banding maupun
di tingkat pertama;
2. Bahwa Majelis Hakim Kasasi telah khilaf/keliru menerapkan ketentuan
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
23
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 336.
62
3. Bahwa Majelis Hakim Kasasi telah keliru dalam menerapkan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Bahwa Majelis Hakim Kasasi telah keliru dalam penerapan pembuktian
objek sengketa;
5. Bahwa Majelis Hakim Kasasi telah keliru dalam menetapkan pembagian
harta bersama yaitu masing-masing mendapatkan seperdua bagian;
6. Bahwa ditemukan bukti-bukti baru yang bersifat menentukan yang pada
waktu perkara diperiksa oleh tingkat pertama sampai tingkat kasasi tidak
ditemukan, yaitu bukti P.PK-1A sampai dengan bukti P.PK-4B yang
berupa akta jual beli dan sertifikat hak milik;
2. Pertimbangan Hakim
Majelis Hakim Agung memandang bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat
dibenarkan, karena setelah meneliti dengan seksama memori peninjauan kembali
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dan Judex Juris, ternyata tidak
terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, dengan pertimbangan bahwa
alasan peninjauan kembali hanya berisi tentang hal-hal yang telah dipertimbangkan
oleh Judex Juris, sehingga alasan tersebut pada dasarnya berisi perbedaan pendapat
antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Judex Juris, dan perbedaan pendapat
tersebut bukan merupakan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam
memeriksa perkara a quo;
Berdasarkan alasan Pemohon Peninjauan Kembali tentang adanya bukti baru
(Novum), Majelis Hakim tidak dapat membenarkan, karena bukti baru bertanda
P.PK-1A sampai dengan P.PK-4B ternyata tidak relevan dengan harta bersama
Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali yang telah
dipertimbangkan oleh Judex Juris, sehingga bukti-bukti tersebut tidak bersifat
menentukan sebagaimana yang dimaksud Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
63
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009;
karena perkara ini mengenai sengketa di bidang perkawinan, sesuai dengan
Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
maka biaya perkara pada pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada
Pemohon Peninjauan Kembali;24
Dapat penulis simpulkan bahwa pada Tingkat Peninjauan kembali, seluruh
permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara ini ditolak, karena Majelis Hakim
menyatakan bahwa Putusan pada Tingkat Kasasi dalam perkara ini sudah sesuai dan
tidak ada kekhilafan maupun kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan
memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan perkara ini.
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Nomor 83/PK/AG/2017 pada Tingkat Peninjauan
Kembali dalam perkara ini ialah sebagai berikut:
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;
Membebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya
perkara pada pemeriksaan peninjauan kembali ini sejumlah 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah).25
24
Putusan Mahkamah Agung Nomor 83/PK/AG/2017. 25
Putusan Mahkamah Agung Nomor 83/PK/AG/2017.
64
BAB IV
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PADA PUTUSAN NOMOR
981/Pdt.G/2013/PA JS DALAM PERSPEKTIF MAQA<S}ID AL-SYARI>’AH
A. Analisis Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS Dalam Perspektif
Maqa<s}id al-Syari>’ah
Setelah peneliti mengetahui jalan perkara kasus ini dalam Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS, dapat dipahami bahwa masalah yang disengketakan antara
pihak Penggugat dan Tergugat ialah mengenai perebutan objek harta bersama.
Menurut Penggugat ada 11 objek harta bersama yang belum dibagi secara adil oleh
Tergugat setelah perceraian, dan meminta Majelis Hakim untuk mengabulkan seluruh
gugatan Penggugat dan menetapkan masing-masing mendapatkan separuh bagian dari
harta bersama sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Sedangkan Tergugat, menolak seluruh gugatan Penggugat dan menganggap
bahwa tidak ada harta bersama antara Penggugat dengan Tergugat. Masing-masing
pihak telah mengemukakan alasannya dan membuktikan dalilnya masing-masing,
baik melalui bukti tertulis ataupun saksi di muka Majelis Hakim. Para pihak telah
beritikad baik mengikuti proses persidangan sampai putusan tersebut dibacakan.
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya mengenai tata cara
pembagian harta bersama dan penyelesaiannya, semua telah diatur berdasarkan
ketentuan Undang-Undang yang berlaku, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 96
Kompilasi Hukum Islam bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.” Dan dalam Pasal 97 KHI
juga dijelaskan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”1
1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Cv Akademika Pressindo, 1992),
Ed. 1, Cet. 1, h. 136-137.
65
Pada Pasal 97 KHI, hakikatnya sudah menggambarkan fleksibilitas dalam
pembagian harta bersama dalam kasus-kasus tertentu, seperti misalnya suami istri
melakukan perjanjian perkawinan dalam pembagian harta bersama sesuai
kesepakatan para pihak yang dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan
perkawinan. Akan tetapi secara umum, pada dasarnya pembagian harta bersama ialah
masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari harta bersama sepanjang tidak
ada kasus-kasus tertentu yang mengandung unsur untuk mengubahnya.2
Berkenaan dengan penerapan hukum dalam pembagian harta bersama pada
Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut melakukan ijtihad atau terobosan hukum dalam penetapan pembagian harta
bersama sebagai wujud perlindungan terhadap hak istri berdasarkan perannya dalam
menghidupkan rumah tangga.
Mengenai pertimbangan hakim dalam perkara ini, Tergugat dianggap sebagai
pihak yang dirugikan dan mendapatkan ketidakadilan dari pihak Penggugat, apabila
pembagian harta bersama dalam kasus ini dibagi sama rata sesuai dengan ketentuan
undang-undang khususnya dalam Pasal 97 KHI, maka menurut Majelis Hakim ada
ketidakadilan terhadap pihak Tergugat, karena melihat dari fakta-fakta hukum yang
terjadi, peran Tergugat sangat besar dalam menghidupkan rumah tangga seperti
mencari nafkah dan memikul tanggung jawab dalam merawat dan mengasuh anaknya
sendirian, sementara Penggugat telah menikah lagi tanpa sepengetahuan dan izin
Tergugat, bahkan sudah mempunyai 3 orang anak dari istri keduanya, lalai dalam
tanggung jawabnya terhadap Tergugat dan anak-anak mereka, tentu saja tidak mesti
ketentuan Undang-Undang harus diikuti dalam kasus ini.
Berkaitan dengan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, menurut
peneliti, Majelis Hakim telah menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup di
2 Siah Khosyi‟ah, Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal kajian hukum Islam Vol. XI No. 1,
Juni 2017, h. 41.
66
masyarakat, sebagaimana dalam ketentuan tentang kekuasaan kehakiman terbaru
yaitu UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1). Memang dalam memutus perkara,
hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi dalam hal tuntutan
keadilan, hakim bukanlah corong pada undang-undang. Tetapi Hakim wajib
menafsirkan dan menemukan hukum demi memutuskan suatu perkara dengan adil.3
Penting diingat bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum. Tetapi
kebiasaan dalam masyarakat juga termasuk sumber hukum. Maka dari itu, hakim bisa
menggunakan kebiasaan masyarakat sebagai rujukan dalam pertimbangan hukum.4
Pada akhirnya, putusan tersebut dibacakan dan menetapkan bahwa Penggugat
hanya mendapatkan 1/3 dari harta bersama, sedangkan Tergugat mendapatkan lebih
banyak dari Penggugat, yaitu 2/3 dari harta bersama. Dalam hal ini, Hakim
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang yang berlaku, baik Undang-Undang
Perkawinan, maupun Kompilasi Hukum Islam. Hakim tidak memandang dari sisi
yuridis, akan tetapi memandang dari sisi filosofis dan sosiologis.
Berkenaan dengan pertimbangan Hakim pada Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS, penulis ingin menganalisis putusan tersebut melalui konsep
dan metode penetapan Maqa<s}id al-Syari>’ah.
Telah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Maqa<s}id
al-Syari>’ah menurut al-Syathibi ialah tujuan Allah dalam menetapkan hukum untuk
kemashlahâtan hambanya di dunia dan akhirat, tidak ada satu pun hukum Allah yang
tidak mempunyai tujuan. Pandangan ini diperkuat oleh Muhammad Abu Zahrah yang
memandang bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia, tidak
ada satu pun hukum yang disyariatkan kecuali terdapat kemaslahatan.5
3 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-
Nilai Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia
Group, 2018), Ed. 1, Cet. 1, h. 233. 4 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 2, h. 174
5 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al Fir al Arabi, 1958), h. 336.
67
Konsep Maqa<s}id al-syari>‘ah menurut al-Syathibi, pada prinsipnya terbagi
dalam tiga tingkatan sesuai dengan kualitas kebutuhannya yaitu: Maqa<s{id ad-
dharuriyyat, yaitu Maqa<s{id untuk memelihara lima hal pokok dalam melindungi
kemaslahatan manusia yang terdiri dari: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta; lalu
Maqa<s{id al-hajiyyat, yaitu Maqa<s{id untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan terhadap lima hal pokok tersebut menjadi lebih baik lagi; dan Maqa<s{id
at-tahsiniyyat, yaitu Maqa<s{id yang dimaksudkan agar manusia melakukan yang
terbaik dalam penyempurnaan lima hal pokok tersebut.6
Berkenaan dengan kasus yang peneliti amati yaitu sengketa penyelesaian harta
bersama, maka jika dilihat dari konsep Maqa<s}id al-syari>’ah, kasus ini berada dalam
tingkat dharuriyyat, yaitu untuk menyelematkan harta (hifzu al-mal).
Menurut al-Syathibi, Untuk menyelamatkan harta yang didasarkan dari
konsep Maqa<s}id al-syari>‘ah, maka yang harus dilakukan seseorang ialah taat kepada
ketetapan hukum Allah seperti: diharamkan untuk mencuri dan diberi hukuman
kepada pelakunya, diharamkan untuk berbuat curang atau berkhianat, diharamkan
berlebih-lebihan, diharamkan riba, diharamkan memakan harta orang lain dengan
cara yang batil, sehingga dengan demikian harta akan terpelihara dan terselamatkan.7
Karena itulah dalam konteks kepemilikan harta bersama haruslah sesuai
dengan ketentuan kepemilikan dalam hukum Islam sebagai rangka untuk melindungi
dan menyelamatkan harta.8
Selanjutnya, jika putusan tersebut dianalisa melalui metode penetapan hukum
Maqa<s}id al-syari>’ah, dapat peneliti uraikan sebagai berikut:
6 Abdul Manan, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Depok: Kencana, 2017),
Cet. 1, h. 72. 7 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, 1997, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia), h. 238. 8 Amelia Rahmaniah, Harta Bersama Dalam Perkawinan Di Indonesia (Menurut
Perspektif Hukum Islam), Syariah Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 1, Juni 2015, h.
78.
68
1. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melihat kesamaan ilat atau nilai-
nilai substansial dari contoh persoalan tersebut, dengan dalil-dalil hukum
yang telah diungkapkan dalam nas atau pertimbangan hukum yang lain.
Dalam kasus ini misalnya: Penggugat kawin diam-diam, Penggugat lalai
dalam memberikan nafkah keluarga, maka dari contoh tersebut jika ditarik
suatu ilat yang sama yaitu perlakuan Penggugat sama-sama merusak moral
kesusilaan, silaturahmi, psikologis pasangannya, bahkan tidak memelihara
ajaran agama (hifz al-din).
2. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melakukan pendekatan istinbath
atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur secara eksplisit
dalam Alquran dan Sunah, akan tetapi lebih menekankan pada aspek
kemaslahatan. Dalam kasus ini misalnya: Peran Tergugat sangat baik
dalam menghidupkan rumah tangga walaupun tanpa bantuan suami, penuh
dengan tanggung jawab dalam membesarkan dan merawat anak-anaknya.
Maka dari contoh tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peran dan
kontribusi Tergugat menimbulkan kemaslahatan untuk keluarganya
sehingga wajar apabila hakim membagi lebih banyak harta bersama
kepada Tergugat, karena untuk melindungi hak-hak Tergugat dan
menghindari kemudaratan lainnya dari pihak Penggugat.
Bila ditinjau secara kompeherensif melalui konsep dan metode penetapan
Maqa<s}id al-syari>’ah, menurut peneliti, Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS sudah
memenuhi kemaslahatan sesuai dengan tujuan Maqa<s}id al-syari>’ah. Karena tujuan
Maqa<s}id al-syari>’ah itu sendiri adalah mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan
kemudaratan sebagaimana kaidah fikih:
صبنح و عهى جهب ان فبصد يقد ان در
“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu sebelum upaya
mendapatkan manfaat (mashlahat)”
69
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada pilihan yaitu
menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan
adalah menolak kemafsadatan. Karena menolak kemafsadatan sama dengan meraih
kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama Maqa<s}id al-syari>‘ah menurut ulama fikih
ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.9
Dalam kaidah fikih yang lain dijelaskan mengenai larangan untuk bebuat
sesuatu yang membahayakan yaitu:
ل ضزر ول ضزا ر
“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan.”
زريزال انض
“Kemudaratan harus dihilangkan.”
Kaidah-kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh seseorang menimpakan
suatu bahaya atau membahayakan orang lain, jika disamakan ilatnya dari putusan dan
kaidah ini kepada dalil-dalil hukum yang ada di nas Alquran maupun hadis, seperti
Penggugat mendzalimi Tergugat dengan cara selingkuh, menikah diam-diam bahkan
tidak menafkahi Tergugat semenjak Penggugat kawin lagi, maka jelas bahwa
perlakuan Penggugat membahayakan jiwa dan raga Tergugat.
Maka dalam putusan ini, menurut peneliti, hakim telah memenuhi tujuan
Maqa<s}id al-syari>‘ah yaitu menyelamatkan dan melindungi harta masing-masing pihak
baik Penggugat maupun Tergugat secara adil berdasarkan kontribusi mereka dalam
menghidupkan rumah tangga, walaupun Penggugat mendapatkan lebih sedikit bagian
harta bersama dibandingkan dengan Tergugat, akan tetapi ada hikmah dibalik
pertimbangan hakim tersebut, yaitu mewujudkan kesadaran bagi Penggugat agar
9
Ahmad, Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 164.
70
tidak lagi lalai memenuhi tanggung jawabnya dalam membangun rumah tangga di
kehidupan barunya, sementara bagi Tergugat ialah agar terlindungi hak-haknya
sebagai ibu yang telah lama menjadi single parent dalam menghidupkan rumah
tangga dan mengasuh anak-anaknya, termasuk juga batinnya yang terluka setelah
putusnya perkawinan. Dalam prinsip Maqa<s}id al-syari>’ah, kemaslahatan yang mesti
harus diutamakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.
B. Analisis Perbandingan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan Nomor 83/PK/AG/2017
Setelah mempelajari lebih lanjut mengenai putusan sengketa harta bersama
yang peneliti angkat sebagai penelitian ini, peneliti akan membandingkan
pertimbangan hakim dari putusan Tingkat Pertama, Tingkat Banding, Kasasi, sampai
Tingkat Peninjauan Kembali yang tertera sebagai berikut:
1. Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS;
2. Putusan Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK;
3. Putusan Nomor 378/K/Ag/2016;
4. Putusan Nomor 83/PK/Ag/2017;
Pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, Majelis Hakim memutuskan
untuk mengabulkan gugatan Penggugat sebagian perihal penetapan harta bersama
yaitu sebanyak 3 objek harta sebagai harta bersama, yang sebelumnya ada 11 objek
harta yang diminta oleh Penggugat.
Alasan Majelis Hakim hanya mengabulkan 3 objek harta saja sebagai harta
bersama dikarenakan hanya 3 objek itulah yang telah memenuhi syarat formil
berdasarkan pembuktian fakta-fakta yang mendukung di persidangan. Walaupun
bukti-bukti yang diajukan Penggugat hanya berupa keterangan biasa dan bukan bukti
kepemilikan, akan tetapi Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah berhasil
membuktikan bukti-bukti petunjuk, sementara Tergugat tidak berhasil membuktikan
dalil bantahannya.
71
Sementara objek harta lainnya tidak dikabulkan karena ada yang sudah dijual
untuk biaya nikah anaknya, sudah dijual dan telah dinikmati para pihak, objek
sengketa kabur dan tidak jelas kepemilikannya, dan objek sengketa yang terbukti atas
nama anak para pihak.
Selanjutnya perihal pembagian harta bersama, Majelis Hakim memutuskan
untuk membagi harta bersama lebih banyak kepada Tergugat, yakni Tergugat
mendapatkan 2/3 bagian dari harta bersama, sedangkan Penggugat hanya
mendapatkan 1/3 bagian dari harta bersama.
Menurut peneliti, yang menarik dari putusan ini ialah Majelis Hakim tidak
menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, khususnya Kompilasi
Hukum Islam Pasal 97. Dalam hal ini, Majelis Hakim berijtihad untuk menemukan
hukum yang bisa menciptakan keadilan dalam kasus ini, khususnya kepada Tergugat.
Adapun yang dijadikan pertimbangan hakim dalam membagi harta bersama
dalam kasus ini ialah sebagai berikut:
1. Sisi sosiologis, melihat peran Tergugat sebagai istri sangat baik dalam hal
mencari nafkah, merawat dan membesarkan anak secara single parent
sejak Penggugat kawin lagi, dan lebih aktif berusaha untuk mendapatkan
harta bersama yang berasal dari hasil jerih payah sendiri. sementara
Penggugat kawin lagi dan lalai dalam memenuhi nafkah untuk
keluarganya.
2. Sisi filosofis, demi memberikan perlindungan terhadap hak-hak istri yang
telah diceraikan.
Dari pertimbangan-pertimbangan tadi, terlihat sangat jelas bahwa hakim
sangat peduli terhadap nasib Tergugat yang bersusah payah banting tulang untuk
kehidupan keluarga, sementara Penggugat sewenang-wenang terhadap Tergugat
bahkan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai suami.
72
Setelah putusan tingkat pertama dibacakan, para pihak masih merasa tidak
puas terhadap putusan tingkat pertama sehingga mereka saling mengajukan
permohonan banding dalam tenggang waktu yang sesuai, Penggugat sebagai
Terbanding dan Tergugat sebagai Pembanding.
Pada tahap banding yang tertera dalam Putusan Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA
JK, Majelis Hakim Banding menyatakan tidak sependapat dengan putusan Majelis
Hakim tingkat Pertama dalam hal penetapan objek harta bersama dan pembagian
harta bersama.
Dalam hal penetapan objek harta bersama yang berawal dari 11 objek harta
yang digugat oleh Penggugat sebagai harta bersama, Majelis Hakim tingkat Pertama
hanya mengabulkan 3 objek harta saja sebagai harta bersama.
Sementara itu, Majelis Hakim Banding sependapat dengan pertimbangan
hakim tingkat pertama mengenai 3 objek harta yang dikabulkan sebagai harta
bersama. Akan tetapi, Majelis Hakim Banding menilai bahwa masih ada 2 objek harta
lainnya dari 11 objek harta tersebut yang bisa dikabulkan sebagai harta bersama.
Dengan alasan bahwa 2 objek harta tersebut diperoleh selama pernikahan masing-
masing pihak dan terbukti harta tersebut dikuasai oleh pihak Tergugat.
Sehingga menurut Majelis Hakim Banding, terdapat 5 objek harta bersama
yang dapat dikabulkan karena terbukti ada kekhilafan hakim di tingkat pertama dalam
hal pembuktian objek sengketa.
Selanjutnya mengenai pembagian harta bersama, Majelis Hakim Banding
sangat nyata tidak sependapat dengan pertimbangan hakim tingkat pertama.
Meskipun Majelis Hakim tingkat Pertama telah mempertimbangkan dari sisi filosofis
dan sosiologis, akan tetapi, menurut Majelis Hakim Banding, dalam kasus ini lebih
relevan dan lebih adil jika pembagian harta bersama dipertimbangkan dari sisi
yuridis. Sebagaimana ketentuan pembagian harta yang telah diatur dalam Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing
73
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.”
Masih belum menemukan titik temu dan solusi yang memuaskan, Tergugat
kembali mengajukan permohonan kasasi dan telah menyiapkan memori kasasi yang
berisikan alasan-alasan kasasi, sementara Penggugat tidak mengajukan jawaban
bantahannya, Tergugat sebagai pemohon dan Penggugat sebagai termohon.
Pada tahap kasasi yang tertera dalam Putusan Nomor 378/K/Ag/2016, Majelis
Hakim Kasasi menolak permohonan kasasi dari pemohon, dan menyatakan perbaikan
pada Putusan Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK, dengan mengadili sendiri.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa Putusan
Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang membatalkan
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak salah menerapkan hukum, termasuk
dalam pembagian harta bersama. Karena memang pembagian harta bersama telah
diatur sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu masing-masing pihak
mendapatkan separuh bagian dari harta bersama.
Namun dalam hal penetapan objek harta bersama, menurut Majelis Hakim
Kasasi perlu ada perbaikan pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
57/Pdt.G/2015/PTA JK, yang sebelumnya menurut Majelis Hakim Banding terdapat
5 objek harta bersama, menjadi 6 objek harta bersama yang dikabulkan oleh Majelis
Hakim Kasasi. Karena objek tersebut terbukti dibeli pada masa perkawinan meskipun
terdaftar atas nama anak tertua Pemohon dan Termohon.
Selanjutnya, perkara ini berakhir pada tahap peninjauan kembali pada Putusan
Nomor 83/PK/Ag/2017, Majelis Hakim menolak seluruhnya permohonan peninjauan
kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali (yaitu Tergugat).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat pertimbangan Judex
Facti dan Judex Juris, ternyata tidak terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
74
nyata, dengan pertimbangan bahwa alasan peninjauan kembali hanya berisi tentang
hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Judex Juris, sehingga alasan tersebut pada
dasarnya berisi perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan
Judex Juris, dan perbedaan pendapat tersebut bukan merupakan kekhilafan hakim
atau kekeliruan yang nyata dalam memeriksa perkara a quo.
Berkenaan dengan alasan Pemohon Peninjauan Kembali tentang adanya bukti
baru (Novum), Majelis Hakim tidak dapat membenarkannya, karena bukti baru yang
bertanda P.PK-1A sampai dengan P.PK-4B ternyata tidak relevan dengan harta
bersama Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali yang
telah dipertimbangkan oleh Judex Juris, sehingga bukti-bukti tersebut tidak bersifat
menentukan sebagaimana yang dimaksud Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009.
Setelah membandingkan pertimbangan hakim dari Tingkat Pertama sampai
dengan Peninjauan Kembali dalam perkara ini, maka selanjutnya peneliti akan
menganalisis perbedaan pandangan hakim tersebut berdasarkan hukum positif dan
perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah.
Memang dalam penegakan prinsip kepastian hukum, hukum positif dalam
bentuk undang-undang dianggap sebagai sumber formal hukum utama, berdasarkan
asumsi pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dikatakan bahwa undang-undang dianggap sudah baik, tidak
punya kekurangan, mampu mengakomodasi kepentingan dan bisa menampung rasa
keadilan karena telah dibuat berlandaskan syarat dan tujuan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan.10
10
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 6.
75
Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman, hakim diberikan ruang kebebasan dalam menerapkan rasa keadilan bagi
masyarakat, sebagaimana dalam bunyinya:11
“Kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Ruang kebebasan hakim meliputi kebebasan dalam mengadili, berekspresi,
kebebasan dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, menggali nilai-
nilai hukum, termasuk kebebasan menyimpangi ketentuan hukum tertulis jika dinilai
tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.12
Hal ini bertujuan agar putusan hakim
mencapai suatu keadilan yang memberikan jalan keluar, efiesien, stabilitas dan
fairness.13
Dalam hal mengadili, sekiranya hakim harus memperhatikan tiga tujuan
hukum yang integratif dalam pertimbangannya, yaitu: kepastian hukum,
kemamfaatan hukum, dan keadilan hukum. Menurut Jeremy Bentham, pasti akan ada
suatu keadaan dimana tujuan-tujuan hukum itu saling kontradiksi dan mempunyai
potensi untuk saling bertentangan, maka dalam memutuskan suatu kasus, harus
dipilih mana tujuan yang diutamakan.14
Jika terjadi kesenjangan antara undang-undang dengan hukum yang hidup di
masyarakat, maka solusi untuk mengatasi hal itu ialah membuat hukum baru yang
diciptakan oleh pembuat undang-undang yang berwenang. Akan tetapi, jika terjadi
11
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I,
Pasal 1, ayat (1). 12
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 3. 13
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, Nomor 2, Juni 2015, h. 231. 14
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), Ed. 1, Cet. 1, h. 4.
76
kasus yang dibutuhkan saat itu dalam putusan pengadilan, padahal undang-undang
baru belum dibuat, maka saat itulah hakim harus melakukan penemuan hukum.
Karena harus diketahui, bahwa di luar undang-undang terdapat hukum yang
hidup di masyarakat sesuai perkembangan dinamika sosial yang patut kita hormati.
Hakim seharusnya bisa mensingkronisasi antara kaidah hukum tertulis dengan
perubahan sosial masyarakat agar kaidah hukum tetap progresif dan aktual dalam
memenuhi keadilan dan kebutuhan masyarakat.15
Sama halnya dengan perkara ini, terjadi perbedaan pandangan hakim baik dari
Tingkat Pertama sampai pada Tingkat Peninjauan Kembali dalam menetapkan dan
membagi harta bersama.
Dalam Putusan Tingkat Pertama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS mengenai
pembagian harta bersama, terlihat jelas bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama
berusaha mewujudkan keadilan bagi para pihak dengan mengesampingkan suatu
ketentuan yang berlaku berdasarkan penafsiran dan fakta-fakta hukum yang terjadi.
Majelis Hakim Tingkat Pertama memandang kasus ini baru adil apabila dilihat dari
segi filosofis dan sosilogis.
Sementara Majelis hakim Tingkat Banding, Kasasi, maupun Peninjauan
Kembali, menganggap bahwa pembagian harta bersama yang adil harus dilihat dari
segi yuridis sesuai dengan ketentuan undang-undang maupun Kompilasi Hukum
Islam.
Perlu diingat bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara yang bisa menindak
hakim karena putusannya dianggap tidak adil. Yang bisa ditindak hanyalah masalah
15
Idris, Rachminawati, dan Imam Mulyana, Penemuan Hukum Nasional dan
Internasional, (Bandung: PT. Fikahati Aneska, 2012), h. 78.
77
tingkah laku pribadi hakim yang merugikan negara atau menjelekkan martabat
kekuasaan kehakiman.16
Perspektif dan konsepsi keadilan tiap orang pasti berbeda-beda, seperti halnya
perbedaan antara keadilan perspektif penguasa dengan keadilan perspektif rakyat,
keadilan yang dihasilkan oleh penguasa cenderungnya lebih mengutamakan keadilan
formal (formal justice), sedangkan keadilan yang diinginkan oleh rakyat cenderung
kepada keadilan yang bersifat masif (social justice).17
Maka menurut penulis, sangat
wajar apabila terjadi perbedaan pandangan hakim dalam mewujudkan prinsip
keadilan terhadap perkara harta bersama ini.
Jika dilihat dari segi hukum positif, menurut peneliti, pertimbangan hakim di
Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali yang lebih bisa menjamin
kepastian hukum dan bisa menjamin keadilan formil.
Sementara jika dilihat dari perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah, maka yang harus
diorientasikan dalam kasus ini ialah kemaslahatan bagi para pihak. Karena dalam
kasus tersebut sangat jelas bahwa Penggugat membawa kemudaratan yang besar bagi
Tergugat seperti yang telah tertera pada fakta-fakta hukum yang ditemukan hakim
yaitu Tergugat diselingkuhi sampai pada akhirnya Penggugat menikah secara diam-
diam tanpa sepengatahuan Tergugat, dan diceraikan. Bahkan Penggugat
meninggalkan tanggung jawabnya dalam memberikan nafkah kepada Tergugat
beserta keluarganya sejak Penggugat kawin lagi, sehingga Tergugat harus memikul
sendiri tanggung jawabnya sebagai istri yang single parent dalam memenuhi
kebutuhan keluarganya.
16
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2013), Ed. 1, h. 185. 17
Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-
Nilai Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia
Group, 2018), Ed. 1, Cet. 1, h. 13.
78
Sehingga menurut peneliti, pertimbangan hakim dalam Tingkat Pertama lebih
bisa menjamin keadilan sosial khususnya kepada Tergugat, dan kemaslatahan bagi
para pihak sesuai dengan prinsip Maqa<s}id al-Syari>’ah.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sengketa harta bersama yang telah peneliti paparkan dalam penelitian ini
memiliki dinamika pertimbangan hakim yang berbeda-beda, mulai dari Putusan
Tingkat Pertama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS sampai dengan Putusan Tingkat
Peninjauan Kembali Nomor 83/PK/Ag/2017. Setelah peneliti analisis melalui
perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah dan hukum positif, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim dalam pembagian harta bersama pada Putusan
Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS, tidak memandang dari segi yuridis atau
tidak menggunakan ketentuan hukum positif khususnya yang telah diatur
dalam KHI Pasal 97 mengenai porsi pembagian harta bersama, melainkan
berusaha menggali nilai-nilai keadilan yang sesuai diterapkan dalam kasus
tersebut melalui segi filosofis dan sosiologis. Karena selama ini Tergugat
telah menjalankan peran yang sangat baik dalam menghidupkan
keluarganya dan anak-anaknya, sementara Penggugat selaku suaminya
justru lalai memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga,
bahkan telah selingkuh, menikah secara diam-diam, dan tidak lagi
menafkahi Tergugat dan keluarganya semenjak Penggugat kawin lagi.
Dengan alasan itu hakim menetapkan pembagian harta bersama dengan
memberikan 2/3 bagian lebih banyak kepada Tergugat, sementara
Penggugat hanya mendapatkan 1/3 bagian.
2. Dalam perspektif Maqa<s}id al-Syari>’ah, Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA JS, sudah sesuai dengan prinsip Maqa<s}id al-Syari>’ah,
karena pertimbangan hakim tersebut didasarkan atas prinsip keadilan dan
kemaslahatan antara para pihak yang bersengketa. Melihat dari kasus
80
tersebut terbukti bahwa Tergugat yang dirasa terbebani dan dirugikan
karena ketidakadilan Penggugat selaku suaminya. Dengan membagi harta
bersama yang lebih banyak kepada Tergugat, sekiranya bisa mengurangi
beban Tergugat yang selama ini dialami, dan menjadikan pelajaran bagi
Penggugat agar selalu berlaku adil.
3. Jika dibandingkan pertimbangan hakim Tingkat Pertama sampai dengan
Peninjauan Kembali, maka terlihat jelas bahwa hakim Tingkat Pertama
mengutamakan keadilan sosial yang hidup di masyarakat, dengan
membagi harta bersama kepada para pihak berdasarkan nilai-nilai filosofis
dan sosilogis. Sedangkan hakim Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali lebih mengutamakan kepastian hukum dan keadilan formil,
dengan menetapkan pembagian harta bersama berdasarkan ketentuan
hukum positif yang berlaku.
B. Saran-Saran
1. Karena ketentuan harta bersama merupakan derivasi dari hukum adat dan
tidak bertentangan dengan syariat, maka tidak mesti pembagian harta
bersama harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, akan tetapi
bisa dilihat dari peran dan kontribusi suami istri, apabila salah satu dari
suami istri tersebut tidak menjalankan kewajibannya dalam membangun
rumah tangga maka hal itu dapat dikatakan sebagai wanprestasi.
2. Seharusnya Pemerintah memberikan reformulasi atau perubahan
ketentuan pembagian harta bersama dalam peraturan perundang-undangan
agar menimbulkan solusi alternatif dalam penanganan sengketa harta
bersama.
3. Hendaknya hakim mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan memutus
suatu perkara, jangan hanya terpaku pada ketentuan peraturan perundang-
undangan saja, akan tetapi hakim harus berupaya menggali nilai-nilai
keadilan yang hidup di masyarakat. Karena keadilan itu sifatnya abstrak,
81
maka hakim seharusnya bisa menyesuaikan keadaan dan kemaslahatan
dalam memutus perkara. Hendaknya hakim bisa menyelesaikan polemik
pembagian harta bersama berdasarkan kesepakatan atau musyawarah para
pihak yang bersengketa, menemukan solusi terbaik, sehingga lebih bisa
menjamin keadilan dan kepastian hukum.
82
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Depag RI, Tim Penterjemah., Khadim al-
Haramayn, Makkah al-Mukarromah, 1990.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Cv Akademika Pressindo, 1992.
Abu al-Hasan, Sayf al-Din „Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Mu‟assasah al-Nur, 1388 H.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al Fir al Arabi, 1958.
Adonara, Firman Floranta, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, Nomor 2, Juni
2015.
Ahmad, Yusuf Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah „Inda Ibni
Taimiyah, Beirut: Dar an-Nafais, 1999.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Al-Musthafa min „Ilm al-Ushul, Lubnan:
Dar al-Huda, 1994.
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Kencana, 2017.
Al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Jilid 2, Vol. 3,
Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia,
1997.
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikri: Damaskus, 1986.
------------------------, Tafsir Al-Munir Aqidah, syari‟ah, dan Manhaj Jilid 15,
Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Depok: Gema Insani, 2014.
Anshori, Abdul Ghofur, Peradilan Agama Di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, Dan Kewenangan),
Yogyakarta: UII Press, 2007.
Arfa, Faisar Ananda dan Warni Matpaung, Metodologi Penelitian Hukum Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Aripin, Jaenal, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2013.
83
Ar-Raisuni, Ahmad, Muhadarat fi Maqasid al-Syari‟ah, Mesir: Dar al-Kalimah,
2010.
Asmayeni, Nila Oktaza, Pembagian Harta Bersama Dalam Perkara Perceraian
di Pengadilan Agama Padang Kelas 1 A, Artikel Program Kekhususan
Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, 2016.
As-Sadlan, Sholeh bin Ghanim, Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa maa
tafarra‟u „anha, Riyadh: Dar al-Valencia linnasyar wa at-Tazwij, 1417
H.
Aziz, Muhammad dan Sholikah, Metode Penetapan Maqasid a-Syari‟ah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2
Tahun 2013.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997.
Djazuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana,
2011.
Effendi, Jonaedi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis
Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam
Masyarakat, Depok: Prenadamedia Group, 2018.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2017.
Faizal, Liky, Harta Bersama Dalam Perkawinan, Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam Ijtimaa‟iyya, Vol. 8, No. 2, Agustus 2015.
Ferizqo, Ahmad Achdan, “Analisis Yuridis Tentang Pembagian Harta Bersama
dan Warisan Perkawinan Poligami”, Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 489/K/Ag/2011. Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
Firdawaty, Linda, Filosofi Pembagian Harta Bersama, Jurnal Raden Intan, Vol.
8 No. 1 2016.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 1992.
84
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Herawati, Andi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Sebagai Hasil Ijtihad Ulama
Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 8 No. 2 Desember 2011.
Izzuddin bin „Abd al-Salam, al-Fawaid Fi Ikhtishari al-Maqasid Aw al-Qawaid
al-Shughra, Dar El Fikr al-Mu‟ashir. Beirut, Libanon & Dar al-Fikr.
Damaskus, Syiria, 1416 H/1996 M.
Khosyi‟ah, Siah, Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal kajian hukum
Islam Vol. XI No. 1, Juni 2017.
Kurniawan, M Beni “Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran
Kontribusi Suami Istri Dalam Perkawinan”, Jurnal Yudisial Vol. 11
No. 1 April 2018.
Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Manan, Abdul, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Depok: Kencana,
2017.
Mapeke, Arifah S dan Ahmad Khisni, kedudukan Harta Bersama Dalam
Perkawinan Menurut Fiqih dan Hukum Positif Indonesia Serta
Praktek Putusan Pengadilan Agama, Jurnal Hukum Khaira Ummah
Vol. 12 No. 2 Juni 2017.
Mappiasse, Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Mawardi, Ahmad Imam, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi
Maqasid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan, Yogyakarta: PT
LKis Printing Cemerlang, 2010.
Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama,
Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012.
85
Mutakin, Ali, Teori Maqasid al-Syari‟ah Dan Hubungannya Dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus
2017.
Nagara, Bernadus, Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah
Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal
Lex Crimen Vol. V No. 7 September 2016.
Qardhawi, Yusuf, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam
untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2018.
Qorib, Ahmad, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997.
Rachminawati, Idris dan Imam Mulyana, Penemuan Hukum Nasional dan
Internasional, Bandung: PT. Fikahati Aneska, 2012.
Rahmaniah, Amelia, Harta Bersama Dalam Perkawinan Di Indonesia (Menurut
Perspektif Hukum Islam), Syari‟ah Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15,
Nomor 1, Juni 2015.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Rifa‟i, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim: Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Rochaeti, Etty, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif,
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,
2013.
Sarmanu, Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Statistika,
Surabaya: Airlangga University Press, 2017.
Simajuntak, P.N.H, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2017.
86
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986.
Sugiswati, Besse, Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat, Jurnal Perspektif,
Vol XIX No. 3, September, Tahun 2014.
Surakmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1985.
Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008.
Suyuthi, Wildan Mustofa, Kode Etik Hakim, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013.
Syahrizal, Darda, Kasus-Kasus Hukum Perdata Di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Grhatama, 2011.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Tahir, Muhammad ibn Asyur, Maqasid al-Syari‟ah al-Islamiyah, Yordania: Dar
an-Nafais, 2001.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia
UI-Press, 1986.
Toriquddin, Teori Maqasid Syariah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan
Hukum Vol. 6 No. 1 Juni 2014.
Wahyudi, Muhammad Isna, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015.
Wahyuni, Sri, Politik Hukum Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Gapura
Publishing.com, 2014.
Wardiono, Kelik dan Septarina Budiwati, Hukum Perdata, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2018.
Widyanto, Fendry Seftian 8150408001 (2013) Pembuktian Mengenai Asal Usul
Harta Bersama Dalam Gugatan Pembagian Harta Bersama Putusan
Nomor: 490/Pdt.G/2010/PA.Kds (Studi di Pengadilan Agama Kudus).
Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.
87
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-ankabut-ayat-45-55.html, Diakses
pada tanggal 07 Januari 2019.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53b65a5e2cfef/pembagian-
harta-bersama-jika-terjadi-perceraian, Diakses pada tanggal 10 April
2019.
Putusan Pengadilan Agama Nomor 981/Pdt.G/2013/PA JS
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 57/Pdt.G/2015/PTA JK
Putusan Mahkamah Agung Nomor 378/K/AG/2016
Putusan Mahkamah Agung Nomor 83/PK/AG/2017