Penanganan jalan nafas

54
Bab 5 PENANGANAN JALAN NAFAS Airway Management Konsep Kunci 1. Kesalahan teknik pemasangan face mask dapat menyebabkan kempisnya reservoir bag mesin anestesi walaupun klep tertutup, keadaan tersebut biasanya disebabkan adanya kebocoran didaerah sekitar sungkup. Tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada yang minimal dan suara pernafasan yang redup menunjukkan adanya suatu obstruksi jalan nafas. 2. Laryngeal Mask Airway (LMA) melindungi laring secara partial dari sekresi faringeal (bukan dari regurgitasi cairan lambung), dan LMA jangan dicabut sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. 3. Setelah pipa endotrakheal (TT) diinsersikan, balon TT dikembangkan dengan udara yang diperlukan selama ventilasi tekanan positif untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. 4. Meskipun deteksi CO 2 dengan capnograph merupakan konfirmasi terbaik dari adanya TT dalam trakhea, tapi tidak menghilangkan kemungkinan adanya intubasi bronkhial. Manifestasi dini dari bronkhial intubasi adalah peningkatan dari puncak tekanan inspirasi. 5. Setelah intubasi balon TT tidak boleh berada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi di intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatnya resiko dari kejadian terekstubasi. 6. Pencegahan intubasi esofagus yang tidak disengaja adalah dengan terlihatnya ujung TT melewati pita suara, auskultasi dengan terdengarnya suara nafas di kedua dada, dan tidak ada suara gargling di gaster, atau dengan capnograf. 1

description

Penanganan jalan nafas

Transcript of Penanganan jalan nafas

Page 1: Penanganan jalan nafas

Bab 5PENANGANAN JALAN NAFAS

Airway Management

Konsep Kunci1. Kesalahan teknik pemasangan face mask dapat menyebabkan kempisnya reservoir

bag mesin anestesi walaupun klep tertutup, keadaan tersebut biasanya disebabkan adanya kebocoran didaerah sekitar sungkup. Tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada yang minimal dan suara pernafasan yang redup menunjukkan adanya suatu obstruksi jalan nafas.

2. Laryngeal Mask Airway (LMA) melindungi laring secara partial dari sekresi faringeal (bukan dari regurgitasi cairan lambung), dan LMA jangan dicabut sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali.

3. Setelah pipa endotrakheal (TT) diinsersikan, balon TT dikembangkan dengan udara yang diperlukan selama ventilasi tekanan positif untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea.

4. Meskipun deteksi CO2 dengan capnograph merupakan konfirmasi terbaik dari adanya TT dalam trakhea, tapi tidak menghilangkan kemungkinan adanya intubasi bronkhial. Manifestasi dini dari bronkhial intubasi adalah peningkatan dari puncak tekanan inspirasi.

5. Setelah intubasi balon TT tidak boleh berada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi di intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatnya resiko dari kejadian terekstubasi.

6. Pencegahan intubasi esofagus yang tidak disengaja adalah dengan terlihatnya ujung TT melewati pita suara, auskultasi dengan terdengarnya suara nafas di kedua dada, dan tidak ada suara gargling di gaster, atau dengan capnograf.

7. Diagnosa intubasi endobronchial adalah suara nafas unilateral, desaturasi, tidak dapat dipalpasi balon TT di sternal notch.

8. Tekanan negatif intratorak yang besar dapat menyebabkan edema paru tekanan negatif.

Keahlian penanganan jalan nafas merupakan keahlian utama untuk seorang dokter

anestesi. Bab ini menerangkan anatomi dari saluran nafas atas, menguraikan alat-alat

yang diperlukan, teknik, dan mendiskusikan komplikasi dari laringoskopi, intubasi, dan

ekstubasi. Keamanan pasien tergantung dari pemahaman menyeluruh dari setiap topik-

topik ini.

1

Page 2: Penanganan jalan nafas

ANATOMI

Selain membuat pasien tidak merasa nyeri, tidak ada karakteristik terbaik untuk

seorang dokter anestesi selain kemampuan penanganan jalan nafas dan pernafasan pasien.

Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi regional untuk laring

memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju

nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian

ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian

posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler

yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke

esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,

orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh

garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis

memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya

2

Page 3: Penanganan jalan nafas

aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu

rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago

(gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan

kuneiforme.

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-3).

Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1)

saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila

(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf

trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum molle

dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf

trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada

dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis

(VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal

juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus

(saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior

yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang

bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara

3

Page 4: Penanganan jalan nafas

epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,

mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal

superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal

externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot

krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.

Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf

motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara (tabel 5-1). Gangguan

persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan

bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi

tidak membahayakan kontrol jalan nafas.

Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita

suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal

superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat menyebabkan

stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot krikotiroid. Jarang

terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal rekuren bilateral

karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot laringeal).

Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren

dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan midposisi

4

Page 5: Penanganan jalan nafas

mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi terganggu berat pada

pasien ini, kontrol jalan nafas jarang jadi masalah.

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri

krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri

carotid externa dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang memanjang

dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang

tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan krikotirotomi, anatomi dari

arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan tetapi jarang berefek pada praktek

klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago krikoid

dan tiroid.

ALAT-ALAT

Oral & Nasal Airway

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot

genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh

kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust

merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan

jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut

atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring

bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi

batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring

masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan

5

Page 6: Penanganan jalan nafas

refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral

airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90

mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke

lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya

resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi

antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada

pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal

airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih

ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.

Face Mask Design dan Teknik

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi

dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar 5-

5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face

mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Tersedia berbagai

disain face mask. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan

muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk

menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk

mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam

mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.

6

Page 7: Penanganan jalan nafas

Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang

rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan

reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran

sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan

pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi

jalan nafas.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk

melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask

dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan

telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint

atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang

menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking

ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling

penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

7

Page 8: Penanganan jalan nafas

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang

adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk

memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena

tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit

memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak

dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong

mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk

mencegah masuknya udara ke lambung.

Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral

atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan

cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak adanya

tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan tekanan minimal

pada face mask supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan mask digunakan dalam

jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan

pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.

Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT

selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada

pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy

8

Page 9: Penanganan jalan nafas

fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam

menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA

yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai

ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan

dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi

intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

9

Page 10: Penanganan jalan nafas

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal

dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal

terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan

dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah

dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya

memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.

Walaupun pemasangannya relatif mudah (gambar 5-9), perhatian yang detil akan

memperbaiki keberhasilan. (tabel 5-2). Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di

bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior.

Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin

terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan

tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih

tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar

atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab

kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung

dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang

sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat

membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring

(tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada

tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan

batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat

di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran

(tabel 5-3).

10

Page 11: Penanganan jalan nafas

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT (tabel 5-4).

Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),

sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau

komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan

tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari

pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-

bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan

LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT.

Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA

membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang

tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka

keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur

stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil

(6,0 mm).

11

Page 12: Penanganan jalan nafas

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang

lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan

dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas

seraya pasiennya sadar.

Esophageal – Tracheal Combitube (ETC)

Teknik & Bentuk Pipa

Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-

masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih panjang

ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih pendek punya ujung

distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya dipasangkan secara

12

Page 13: Penanganan jalan nafas

buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara

gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon

prosikmal dan 15 ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh

setelah pemasangan. Pipa yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk

dekompresi lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui

pipa yang bening akan langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih

rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma

Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang

lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas

yang sulit.

Pipa Tracheal (TT)

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan

mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT

(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan

terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk

indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT

dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu

penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang

(mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila

menempel dengan carina atau trachea.

Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga

dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam

milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter

external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi

antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan

nafas dengan ukuran pipa yang kecil.

13

Page 14: Penanganan jalan nafas

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari

katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff).

Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk memberikan

petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep.

Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT mengijinkan dilakukannya ventilasi

tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya

digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan

post intubasi croup.

14

Page 15: Penanganan jalan nafas

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan

tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskhemia

mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon tekanan

rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak mukosa),

aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya floppy cuff).

Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa, balon tekanan

rendah lebih dianjurkan.

Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan, diameter

balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon, dan tekanan

intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon dapat

menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa tracheal ke

balon TT.

TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,

spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi kepala

dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking

akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa

akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa

mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen tube). Semua TT

memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak yang mengijinkan dapat

dilihatnya ETT pada trachea.

Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas

intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade,

atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle

fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

15

Page 16: Penanganan jalan nafas

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI.

Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari blade

tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada

blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade

yang beragam.

16

Page 17: Penanganan jalan nafas

Laringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk

membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang

sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

17

Page 18: Penanganan jalan nafas

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung dengan ujung

yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis pada pasien dengan

lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior. Banyak dokter anestesi

percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki jalan nafas sulit.

Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan jalan nafas pasien,

pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal sebelum digunakan

pada saat penting dan memergensi pada pasien dengan jalan nafas sulit.

Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)

Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak stabil,

pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan kelainan kongenital

atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan

rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB

yang feksibelmemungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau

untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB

dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya

sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang

berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 –

15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya

bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran

resolusi tinggi.

18

Page 19: Penanganan jalan nafas

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku.

Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau penyemprotan

anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber

infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah

digunakan.

TEKNIK LARINGOSKOPI DAN INTUBASI

Indikasi Intubasi

Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi

bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan anestesi umum

memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas.

Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi

dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan

face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti

cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain lan.

19

Page 20: Penanganan jalan nafas

Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. TT

harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan menggembungkan balon

dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak

mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi memotong TT

untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi

bronchial atau sumbatan akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam

mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, jika mandren digunakan ini harus

dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi

dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola

lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu

bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu

diingat untuk mengganti batre. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih

besar) dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan

nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien

harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah

ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop

memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari

mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi)

dan ekstensi dari atlantoocipito join menempatkan pasien pada posisi sniffing yang

diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala

diatas bantal.

20

Page 21: Penanganan jalan nafas

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.

Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam dengan

100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah

diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang mau di face

mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit.

Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien. Karena

anestesi umum menghilangkan reflek proteksi cornea, perlindungan harus dilakukan

selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi abrasi kornea

tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester, walaupun telah diberi

petrolum atau salep mata.

Intubasi Orotracheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade

dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi.

21

Page 22: Penanganan jalan nafas

Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak

dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus

menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak

lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi

dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan,

dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus

berada dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati-

hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang

dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk

meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trachea. Merasakan pilot balon

bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan

capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Jika ada keragu-

raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi

pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan

posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang merupakan konfirmasi

terbaik dari letak TT di trachea, tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial.

22

Page 23: Penanganan jalan nafas

Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak.

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil

menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago

cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post

operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat

dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut ini

biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi

intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf akan

memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena hasilnya

akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur

kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandren, memilih blade yang

berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika

23

Page 24: Penanganan jalan nafas

pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang

lain (contoh LMA, combitube, cricotirotomi dengan jet ventilasi, tracheostomi).

Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit,

termasuk algoritma rencana terapi.

Intubasi Nasotracheal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat hidung

dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang

dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes

hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan

menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes hidung phenyleprine yang

berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal

anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan

dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh dari

turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT

harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya

terlihat di orofaring, laringoskope, digunakan adduksi pita suara. Seringnya ujung distal

dari TT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan

memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil,

yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui

hidung atau pemasangan kateter nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah

yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

Flexible Fiberoptic Nasal Intubasi

Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor.

Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O2 dapat diinsuflasi ke

melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki oksigenasi

dan membuang sekret dari ujung tip.

Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang hidung

kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway

24

Page 25: Penanganan jalan nafas

untuk memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak

bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway

tunggal. Bila teknik ini digunakan , adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi

dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke

dalam lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi

pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya

dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk

mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop

diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika

ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari

bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi.

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas adekuat

dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik

danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan

tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas

spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.

25

Page 26: Penanganan jalan nafas

Sekali dalam trakhea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin

trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut

sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa.

Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih

besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat

dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.

TEKNIK EKSTUBASI

Keputusan untuk memindahkan TT ini adalah bagian dan seni anestesiologi yang

berkembang dengan pengalaman. Ini hal penting dalam praktek karena banyak

komplikasi timbul selama ekstubasi dan segera setelahnya dibandingkan dengan setelah

intubasi. Secara umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam keadaan

teranestesi dalam atau sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat neuromuskuler

blok harus adekuat sebelum ekstubasi. Jika digunakan obat blok neuromuskuler dan

pasien dilakukan kontrol ventilasi dan karena itu harus weaning dari ventilator sebelum

dilakukan ekstubasi.

Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar) harus

dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam

dan anestesi dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring: setiap reaksi terhadap

tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan tanda dari anestesi dangkal,

sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam keadaan anestesi dalam. Buka mata atau

melakukan gerakan sesuai perintah menunjukkan pasien telah sadar.

Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk. Reaksi ini meningkatkan

denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan vena central, tekanan

arteri. Ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan berdarah kembali. Adanya

TT pada pasien asmatik, dapat mencetuskan terjadinya bronchospasme. Walaupun

konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit

sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik

pada pasien tidak dapat mengtolerir efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra

indikasi pada pasien dengan resiko untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya

sulit untuk dikontrol setelah ekstubasi.

26

Page 27: Penanganan jalan nafas

Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi dalam

atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk mengurangi

resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi dengan O2 100%

pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah ekstubasi. Tepat sebelum

ekstubasi, ETT dilepaskan dari ikatannya atau plester dan balon dikempeskan. Apakah

ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi tidak terlalu penting. ETT diangkat

dalam sekali tarikan dengan gerakan yang halus dan kemudian diberikan O2 100%

melalui face mask sampai pasien stabil untuk transportasi ke ruang pemulihan. Di

beberapa pusat pendidikan, oksigen melalui face mask tetap diberikan selama

transportasi.

27

Page 28: Penanganan jalan nafas

28

Page 29: Penanganan jalan nafas

KOMPLIKASI LARINGOSKOPI DAN INTUBASI

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi

dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.

Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT

dimasukkan, dan setelah ekstubasi.

Trauma Jalan Nafas

Instrumetasi dengan blade laringoskop besi dan pemasangan dari TT yang kaku

sering menimbulkan trauma pada jaringan lunak jalan nafas. Meskipun kerusakan gigi

paling sering bahan tuntutan dari malpraktek melawan spesialis anestesi, laringoskop dan

intubasi dapat membawa kearah rentang komplikasi dari nyeri tenggorokan ke trachea

stenosis. Kebanyakan dari ini disebabkan tekanan eksternal dari struktur jalan nafas yang

sensitif dalam jangka waktu lama. Ketika tekanan ini melampaui tekanan darah kapiler

dan tekanan darah arteriol ( kira-kira 30mmHg), jaringan ishemia dapat menyebabkan

inflamasi, ulserasi, granulasi dan stenosis. Pengembungan dari balon TT ke tekanan

minimum yang menimbulkan tidak adanya kebocoran selama tekanan ventilasi positif

(biasanya kurang dari 20mmHg) mengurangi aliran darah ke trakhea 75% pada sisi balon.

Pengembangan balon lebih dari 20 mmHg atau adanya hipotensi dapat secara total

menghentikan aliran darah mukosa.

29

Page 30: Penanganan jalan nafas

Adanya croup pasca intubasi disebabkan karena edema glotik, laring, trakea

sangat berbahaya terutama pada anak-anak. Keuntungan dari kortikosteroid (misalnya

deksametason 0,2 mg/kg sampai maksimal 12 mg) dalam mencegah edema jalan nafas

pasca ekstubasi masih kontroversi, akan tetapi, telah ditunjukkan manfaatnya pada anak

dengan croup yang disebabkan oleh penyebab lain. Paralisis pita suara akibat kompresi

balon atau trauma lain pada saraf laringeal rekuren menyebabkan suara serak dan

meningkatnya resiko aspirasi. Beberapa komplikasi ini menurun dengan dengan

menggunakan ETT yang sesuai dengan anatomi jalan nafas (misal Lindholm Anatomical

Tracheal Tube). Kejadian serak pascaoperasi menimgkat pada pasien obesitas, intubasi

sulit, dianestesi lama. Pemakaian lubrikan yang laru dalam air atau salep anestesi pada

ujung atau balon ETT tidak menurunkan kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi atau

30

Page 31: Penanganan jalan nafas

suara serak. ETT yang lebih kecil (no 6,5 untuk wanita atau no 7 untuk pria)

menyebabkan menurunnya keluhan nyeri tenggorokan. Pengulangan usaha laringoskopi

selama intubasi yang sulit dapat menimbulkan edema periglotik dan ketidakmampuan

ventilasi dengan facemask.

Kesalahan Posisi Pipa

Intubasi esofageal yang tidak disengaja dapat menyebabkan keadan yang

mendebarkan. Pencegahan komplikasi ini tergantung dari visualiasi langsung ujung ETT

melalui pita suara, dengarkan secara seksama untuk mendengar dari suara nafas bilateral

dan tidak adanya gargling pada lambung saat diventilasi lewat TT, analisis dari gas

exhalasi tentang adanya CO2 (metode yang paling dipercaya), radiografi dada, atau

menggunakan FOB.

Walaupun telah dikonfirmasikan bahwa pipa ada di trakhea, tapi belum tentu

posisinya betul. Intubasi yang terlalu dalam umumnya akibat pipa masuk ke bronkhus

kanan disebabkan sudutnya lebih landai. Diagnosa intubasi bronkhial adalah suara nafas

unilateral, hipoksia yang diketahui dengan pulse oksimetri, ketidakmampuan mempalpasi

balon ETT pada sternal notch selama pengembangan balon, dan penurunan breathing bag

compliance (tekanan puncak inspirasi yang tinggi).

Sebaliknya, insersi kedalaman ETT yang tidak adekuat dimana posisi balon ada di

laring, dapat merupakan predisposisi trauma laring. Kedalaman yang tidak adekuat dapat

dideteksi dengan palpasi balon diatas kartilago tiroidea.

Disebabkan karena tidak ada satu teknikpun mencegah kemungkinan kesalahan

penempatan ETT, pemeriksaan minimal harus meliputi auskultasi dada, capnograf secara

rutin, dan palpasi balon.

Kalau posisi pasien dirubah, penempatan pipa ETT harus diperiksa lagi. Ekstensi

leher atau rotasi lateral dapat memindahkan ETT jauh dari karina, sebaliknta fleksi leher

memindahkan tube menuju karina.

Respon Fisiologi Terhadap Alat Jalan Nafas

Laringoskopi dan intubasi trachea mengganggu refleks jalan nafas pasien dan

dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Pemasangan LMA berhubungan dengan

31

Page 32: Penanganan jalan nafas

berkurangnya perubahan sistem hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat

dilemahkan dengan pemberian obat intravena: lidokain (1,5 mg/kg) 1-2 menit,

remifentanil ( 1,0 µg/kg) 1 menit, alfentanil (10-20µg/kg) 2-3 menit atau fentanil ( 0,5 –

1,0µg/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Obat hipotensi termasuk sodium nitroprusid,

nitroglicerin, hydralazin, beta bloker dan kalsium bloker, telah ditunjukkan efektif untuk

menumpulkan transient hipertensi akibat laringoskopi dan intubasi. Disritmia jantung -

terutama ventrikuler bigeminus – jarang terjadi selama intubasi dan biasanya

menunjukkan anestesi yang dangkal.

Laryngospasme adalah spasme yang sangat kuat dari otot laring karena rangsang

sensoris dari saraf laringeal superior. Rangsangan stimulus termasuk sekresi faring atau

lewatnya TT melalui laring saat ekstubasi. Laringospasme ini umumnya dicegah oleh

ekstubasi pasien saat anestesi dalam atau dalam keadaan sadar penuh, tapi dapat saja

terjadi, walaupun jarang pada pasien sadar. Terapi dari laringospasme termasuk

memberikan ventilasi tekanan positip lembut dengan bag anestesi dan face mask

menggunakan O2 100% atau memberikan lidokain intravena (1-1,5mg/kg). Jika

laringospasme menetap dan terjadi hipoksia, suksinilkolin (0,25 – 1mg/kg) (biasanya

dengan dosis lebih rendah) harus diberikan agar otot laring menjadi lemas dan dapat

dilakukan kontrol ventilasi. Tekanan intratorakal negatif yang besar akibat usaha pasien

selama laringospasme dapat menyebabkan edema paru tekanan negatif bahkan pada

orang dewasa muda sehat sekalipun.

Walaupun laringospasme menunjukkan reflek sensitivitas abnormal, aspirasi

dapat terjadi dari depresi reflek laring setelah intubasi yang lama dan anestesi umum.

Bronchospasme adalah respons reflek lainnya terhadap intubasi dan banyak

terjadi pada pasien astma. Bronchospasme kadang kadang merupakan petunjuk adanya

intubasi bronchial. Efek patofisiologi lain dari intubasi termasuk peningkatan tekanan

intrakranial dan intraokuler.

Malfungsi Pipa Trakhea

TT tidak selalu berfungsi seperti yang diinginkan. Resiko dari pipa

polyvinylchlorid dalam lingkungan yang kaya O2/N2O telah disampaikan di BAB 2.

Kerusakan katup atau balon ini umum terjadi dan harus dieksklusi sebelum pemasangan.

32

Page 33: Penanganan jalan nafas

Obstruksi TT dapat disebabkan karena kinking, aspirasi benda asing, atau dari sekret

yang kental dalam lumen.

DISKUSI KASUS :

EVALUASI DAN PENANGANAN DARI JALAN NAFAS YANG SULIT

Seorang gadis 17 tahun akan dilakukan drainase emergensi abses sub mandibula.

Apa pertimbangan anestesi penting selama evaluasi preoperasi pasien dengan jalan nafas abnormal?

Induksi dengan anestesi umum yang diikuti dengan laringoskopi langsung dan oral intubasi adalah berbahaya, kalau tidak mungkin, dalam beberapa situasi (tabel 5-7). Untuk menentukan teknik intubasi yang optimal, dokter anestesi harus mendapatkan riwayat jalan nafas dan pemeriksaan yang teliti dari leher dan kepala pasien. Beberapa recapitulasi utama anestesi harus ada harus ditinjau untuk masalah sebelumnnya dalam penanganan jalan nafas. Jika deformitas wajah cukup berat dan tidak bisa memasang face mask dengan rapat, mungkin tidak dapat dilakukan ventilasi tekanan positif. Selanjutnya pasien dengan penyakit hipofaringeal lebih bergantung pada kekuatan otot saat sadar untuk mempertahankan airway. Dua kelompok dari pasien tidak boleh menjadi apneu dengan alasan apapun –termasuk induksi dari anestesi, sedasi, kelumpuhan otot, sampai jalan nafas aman.

Jika ada keterbatasan abnormal dari temporo mandibula joint yang tidak dapat diperbaiki dengan pelumpuh otot, harus dipertimbangkan nasal approach dengan menggunakan FOB. Adanya infeksi pada dasar mulut biasanya tidak menghindari dilakukannya nasal intubasi. Jika hipofaring meliputi level tulang tyroid, menempatan translaringeal bisa sulit. Petunjuk lain dari kemungkinan kesulitan laringoskopi termasuk ekstensi kepala yang terbatas (<350), jarak antara ujung dari mandibula pasien dengan tulang hyoid kurang dari 7 cm, jarak sternomental kurang dari 12,5 cm dengan ekstensi kepala penuh dan mulut tertutup, dan uvula tidak terlihat saat menjulurkan lidah secara sengaja. Harus ditekankan bahwa karena tidak ada teknik pemeriksaan yang pasti dan gejala dari difficult airway yang sulit untuk dilihat, seorang anestesiologist harus selalu siap untuk mengantisipasi bila terjadi kesulitan.

33

Page 34: Penanganan jalan nafas

Seorang dokter anestesiologi harus juga mengevaluasi pasien dari gejala obstruksi jalan nafas (stridor, retraksi dada) dan hipoksia (agitasi, letargi, cemas, keresahan). Aspirasi pneumonia lebih sering terjadi pada pasien yang baru makan atau nanah mengalir dari abses ke dalam rongga mulut. Pada kasus lain, teknik yang membloakade reflek laringeal ( misalnya anestesi topikal) harus dihindari.

Trauma atau penyakit servikal merupakan faktor yang harus dievaluasi sebelum dilakukan laringoskopi. Artritis cervical atau cervical fusion sebelumnya dapat membuat kepala sulit untuk diposisikan terlentang; pasien ini merupakan calon untuk bronchoscopi untuk keamanan jalan nafas. Trauma pasien dengan leher yang tidak stabil ini juga calon bronchoscopi untuk trakheal intubasi. Pilihan lain, jika laringoskopi langsung lebih disukai, seorang memegang kepala dan leher dalam posisi tepat dan dua orang yang lain melakukan ventilasi dan intubasi pasien.

Dalam kasus yang didiskusikan, pemeriksaan fisik menyatakan edema luas pada wajah yang membuat pergerakan mandibula terbatas, pemasangan face mask tidak bermasalah, akan tetapi, lateral radiograpi dari kepala dan leher ini menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar di laring. Pus sudah terlihat di dalam mulut.

34

Page 35: Penanganan jalan nafas

Teknik intubasi yang mana?Intubasi rutin oral dan nasal telah diuraikan untuk pasien yang dianestesi.

Keduanya ini dapat juga dilakukan pada pasien yang sadar. Apakah pasien sadar atau tidur atau apakah terintubasi lewat oral atau nasal, dapat dilakukan dengan laringoskop, visualisasi fiberoptik, atau teknik tanpa melihat (blind intubation technique). Sedikitnya terdapat 12 metode untuk intubasi translaringeal ( contoh sadar/nasal/fiberoptic) dengan TT. Alternatif lain dengan menggunakan LMA, trachlite, retrograde, combitube, trachestomi atau cricotirotomi dapat menjadi metode penyelamatan hidup dari jalan nafas.

Intubasi mungkin sulit pada pasien ini, bagaimanapun, terdapat pus yang dikeluarkan ke dalam mulut dan ventilasi tekanan positif tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian induksi anestesi harus ditunda sampai jalan nafas aman. Lokasi abses di submandibula mendukung pemilihan nasal approach dan mungkin tidak dipakai laringoskopi yang rigid. Oleh karena itu, pilihannya adalah intubasi awake/ nasal/ blind dan intubasi awake/nasal/fiberoptik. Keputusan terakhir tergantung dari tersedianya FOB dan keahlian seseorang dalam menggunakannya.

35

Page 36: Penanganan jalan nafas

Tanpa menghiraukan alternatif mana yang dipilih, emergensi tracheostomi mungkin dibutuhkan. Oleh karena itu, tim yang berpengalaman termasuk ahli bedah harus berada di ruang operasi, semua alat dibutuhkan sudah harus disiapkan dan terbuka dan leher harus sudah disiapkan.

Premedikasi apa yang dapat diberikan untuk pasien ini ?Setiap kehilangan kesadaran atau gangguan dengan reflek jalan nafas dapat

menyebabkan obstruksi jalan nafas atau aspirasi. Glycopyrrolate dapat menjadi pilihan yang terbaik untuk premedikasi karena meminimalkan sekresi jalan nafas bagian atas tanpa menembus sawar otak. Sedasi parenteral harus sangat hati-hati dititrasi atau jangan dipakai. Persiapan psikologis dari pasien termasuk penjelasan terhadap tahapan rencana dalam membebaskan jalan nafas, dapat memperbaiki pasien cooperatif. Penanganan pasien dari resiko terjadinya aspirasi dijelaskan dalam Bab 15.

Uraikan intubasi Nasotracheal secara Blind.TT dilubrikasi dengan jeli lidokain dan dibiarkan dalam bentuk melingkar dalam

beberapa menit untuk lebih melengkungkan kurvatura (gambar 5-24). Kepala pasien diletakkan dalam posisi sniffing. Setelah mempersiapkan lubang hidung, ujing TT dimasukkan kedalam lubang hidung. Aliran udara melalui TT harus terus dirasakan, didengarkan, atau dipantau dengan kapnograf. TT dimasukan secara bertahap saat inspirasi. Bila pasien terus bernafas akan tetapi tidak dirasakan hembusan udara melalui TT, ujung TT telah melalui glotis dan berada di esofagus. Pada kasus ini, TT mesti ditarik dan dicoba dimasukkan lagi. Nahan nafas dan batu merupakan tanda TT ada di permulaan laring, TT terus dimasukkan setiap pasien inspirasi.

36

Page 37: Penanganan jalan nafas

Kalau TT tidak mudah masuk ke trakhea, beberapa manuver dapat meningkatkan keberhasilan. Ekstensi kepala juga menolong TT kearah anterior, sedangkan rotasi kepala akan menyebabkan ujung TT bergerak ke lateral. Tekanan laring atau krikoid bisa merubah hubungan antara ujung TT dan glotis. Inflasi balon TT di hipofaring juga mendorong ujung TT ke anterior. Bila ujung TT tetap ke esofagus, mengeluarkan lidah akan menghambat menelan dan memindahkan lidah dan TT ke anterior.

Setelah intubasi berhasil, induksi intravena dilakukan. Pada akhir pembedahan sebelum dilakukan ekstubasi pasien harus betul-betul bangun, dengan proteksi refleks jalan nafas intact. Alat-alat dan personil harus siap bila terjadi keadaan yang memerlukan re-intubasi.

Apakah Blok Saraf menolong selama dilakukan Intubasi Awake?Cabang saraf glosofaringeal lingual dan faringeal yang memberikan sensasi pada

sepertiga posterior lidah dan orofaring mudah diblok dengan suntikan bilateral 2 ml anestesi lokal ke basis arkis palatoglosal (pilat tonsilar anterior) dengan jarum spinal no 25.

Blok saraf laringeal superior bilateral dan blok transtrakheal akan menganestesi jalan nafas dibawah epiglotis (gambar 5-26). Tentukan lokasi tulang hioid, dan suntikan 3 ml lidokain 2% 1cc setiap cornu dimana cabang interna saraf laringealeus superior menembus membrana tirohioid.

37

Page 38: Penanganan jalan nafas

Blok transtrakheal dilakukan dengan mengidentifikasi dan penetrasi membrana krikotiroid sambil leher diekstensikan. Setelah konfirmasi posisi intratrakheal dengan aspisari udara, 4 ml lidokain 4% disuntikan kedalam trachea pada akhir ekspirasi. Tarikan nafas dalam dan batuk segera setelah suntikan akan mendistribusikan obat anestesi lokal ke trakhea. Walaupun blok ini mentolerans pasien sadar terhadap tindakan intubasi, tetapi juga menumpulkan refleks proteksi batuk, menekan refleks menelan, dan membawa kemungkinan terjadi aspirasi. Topikal anestesi pada faring dapat menimbulkan obstruksi selintas akibat hilangnya refleks regulasi kaliber jalan nafas pada level glotis.

Disebabkan pada pasien ini resiko terjadinya aspirasi meningkat, obat lokal anestesi sebaiknya dibatasi hanya pada pasase nasal. Kokain 4% tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan campuran lidokain 4% dengan penilefrin 0,25% dan

38

Page 39: Penanganan jalan nafas

dapat menimbulkan efek kardiovaskuler. Dosis maksimal yang aman dari obat anestesi lokal harus dihitung (lihat Bab 14). Obat anestesi lokal diberikan ke mukosa nasal dengan lidi kapas sampai nasal airway yang telah diberi lubrikan dapat dimasukkan ke lubang hidung dengan nyaman.

Kenapa diperlukan persiapan untuk Traheostomi Emergensi?Spasme laring merupakan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien yang

diintubasi tanpa pelumpuh otot juga bila pasien tersebut dalam keadaan sadar. Spasme laring menyebabkan ventilasi tekanan positif dengan face mask tidak mungkin dilakukan. Kalau diberikan suksinilkholin untuk terapi spasme, konsekuensi relaksasi otot faring dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas bagian atas dan menimbulkan ketidakmampuan untuk ventilasi. Pada kondisi ini untuk menyelamatkan jiwa harus dilakukan emergensi tracheostomi.

Apakah teknik alternatif yang mungkin berhasil? Kemungkinan strategi lain adalah pasase retrograde guidewire yang panjang atau

kateter epidural melalui jarum yang diinsersikan melalui membrana krikotiroid. Kateter didorong keatas ke rongga faring dan ditarik keluar melalaui mulut atu hidung. TT dimasukkan ke kateter (kateter ada didalam lubang TT), setelah TT ada di laring kateter ditarik keluar. Variasi teknik ini adalah dengan memasukkan kateter melalau baian suction dari FOB. Kemungkinan lain adalah denga krikotirotomi, yang diuraikan di Bab

39

Page 40: Penanganan jalan nafas

47. Teknik-teknik ini sulit dilakukan pada pasien ini karena ada pembengkakan dan perubahan anatomi dari leher yang menyertai abses submandibula.

40