Penentuan 1 syawal

21

Click here to load reader

Transcript of Penentuan 1 syawal

Page 1: Penentuan 1 syawal

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/15/cn/11430

Penentuan 1 Ramadhan Dan 1 Syawal

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Ustadz,Sebelumnya saya ucapkan Taqoballahu minna wa minkum, Salam buat ustadz - ustadz yang lainUstadz, pertanyaan saya ini sebenarnya masalah khilafiyah, namun saya ingin sekali mendapatkan jawaban yang jelas mengenai penentuan awal bulan hijriyah khususnya RAmadhan dan Syawal.1. Sebenarnya metode apakah yang digunakan dalam penentuan awal bulan hijriyah?HIsab atau Ru'yat2. Ada sebuah harakah Islam yang berpendapat bahwa ketika Hilal telah terlihat dimuka bumi manapun maka umat Islam diseluruh dunia wajib mengikuti hal tersebut maksudnya berpuasa dan berlebaran sesuai pendapat tersebut. Bagaimana pendapat tersebut? Dalil bagaimana? karena menurut saya dalil mereka cukup kuat!3. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang penentuan awal bulannya berdasarkan penglihatan hilal secara Regional? Dalil apa yang dipakai?4. Bagaimana sikap kita sebaiknya?

Jazakallah Khoir atas jawaban ustadz.

Fikhri M

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

1. Seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa penentuan hilal (bulan sabit) Ramadhan dan hilal Syawwal ditentukan dengan rukyatul hilal. Sedangkan metode hisab dilakukan manakala rukyat itu tidak berhasil dilakukan karena adanya awan atau sebab lain sehingga hilal tidak terlihat.

Dalil tentang rukyatul hilal adalah dalil yang shahih dan tidak ada dalil lainnya yang menafikannya. Adapun metode hisab justru berdaraskan dalil yang sama dengan syarat bahwa hilal itu tidak terlihat.

Di sisi lain, para ulama mengatakan bahwa metode hisab itu bisa dijadikan acuan umum untuk menetukan kapankah rukyatul hilal akan dilakukan. Tetapi tidak bisa dijadikan penentu dari bergantinya bulan. Penentuannya tetap harus dengan rukyat juga.

2. Pendapat yang mengatakan bahwa bila hilal terlihat di satu titik di muka bumi lalu seluruh dunia harus mengikutinya bukanlah milik harakah tertentu. Justru pendapat itu milik umat Islam, dalam hal ini milik salah satu mazhab fiqih dalam Islam. Pendapat ini sejak masa lalu sudah ada dan berdampingan dengan mazhab lainnya yang tetap memastikan bahwa tiap wilayah tertentu di muka bumi punya waktu tersendiri yang mungkin saja berbeda dengan wilayah lainnya.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama. Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi?, yaitu bahwa mathla? (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi?i ra. Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki hukum sendiri. Ini

1

Page 2: Penentuan 1 syawal

didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi? atau beragamnya tempat terbitnya bulan.

Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.

Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk?yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.

Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16 farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142).

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Penentuan Hilal bulan Ramadhan dan Syawal

Posted by admin

05/12/2001   8167 clicks  

Sumber : http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=23

Sering kita saksikan dan alami kaum muslimin berbeda pendapat didalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana syariat membimbing kita dididalam menentukan hilal tersebut sehingga kita bisa lebih yakin didalam mengikuti sebuah pendapat

1. CARA MENENTUKAN IBADAH PUASA DAN IEDUL FITHRI

Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara : 1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit). 2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal. 3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:

1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa

2

Page 3: Penentuan 1 syawal

satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata : “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli): 1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang. 2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas. 3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.

2. PERBEDAAN MATHLA’ (TEMPAT MUNCUL HILAL) DAN PERSELISIHAN TENTANGNYA

Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi : “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan.

3

Page 4: Penentuan 1 syawal

Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama: Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua: Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa... Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua : 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat : 1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.

2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash- Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.

3. Dengan perbedaan iklim.

4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”

5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

4

Page 5: Penentuan 1 syawal

Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal....

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak

5

Page 6: Penentuan 1 syawal

bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397)

3. BOLEHKAH BER -IEDUL FITHRI SENDIRI MENYELISIHI KAUM MUSLIMIN ?

Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :

Pendapat Pertama : Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.

Pendapat Kedua : Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.

Pendapat Ketiga : Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440) Demikian keterangan Syaikhul Islam.

Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”

Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)

Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)

6

Page 7: Penentuan 1 syawal

Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”

Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)

Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.

Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)

Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?

Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut : “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.

Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa

7

Page 8: Penentuan 1 syawal

tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”

Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).

Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”

Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)

Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).

4. HUKUM HILAL YANG DIKETAHUI PADA AKHIR SIANG

Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).

8

Page 9: Penentuan 1 syawal

Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.

Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)

Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.

(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22)

Kontributor : Abu Abdirrahman Uli

http://mutoha.blogspot.com/2006/09/hilal-ramadhan.html

9

Page 10: Penentuan 1 syawal

Jumat, September 22, 2006

Hilal Ramadhan

Bukan hal yang baru lagi bahwa setiap menjelang datangnya Ramadhan, Idul Fitri

dan Idul Adha kita selalu dihantui oleh perbedaan pandangan mengenai kapan

jatuhnya awal bulan tersebut. Hal ini seolah sudah menjadi tradisi umat Islam di

Indonesia bahwa kalau gak beda bukan Indonesia namanya. Menurut para ulama

bahwa perbedaan itu adalah rahmat, barangkali karena itulah kita sering beda.

Berarti kalau perbedaan adalah rahmat, boleh saya balik berarti kesamaan adalah

bencana! Moga-moga tidak demikan.

Mengamati kalender yang beredar di masyarakat terbitan dari berbagai ormas-ormas

Islam termasuk dari pemerintah dalam hal ini Departemen Agama nampaknya untuk

Ramadhan tahun ini akan dimulai secara serentak dan bersama pada Minggu, 24

September 2006. Lha kenapa bisa bareng? khan biasanya seneng beda! mari kita

cari sebabnya.

10

Page 11: Penentuan 1 syawal

Kalender HijriyahKalender Hijriyah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi

bumi. Oleh sebab itulah kalender ini sering disebut kalender komariyah. Ada banyak

kalender lain yang juga mengacu para peredaran bulan, misalnya kalender Jawa,

kalender Cina, kalender Yahudi dsb. Kalender Hiljriyah berbeda dengan kalender

nasional yang menggunakan acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga

sering disebut kalender syamsiyah. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul

00 tengah malam dan bersifat tetap. Sedangkan kalender Hijriyah mengawali harinya

pada sore hari saat matahari terbenam di suatu tempat sehingga jamnya berubah-

ubah dari hari ke hari.

Jumlah hari dalam satu bulan pada kalender nasional sudah diatur secara tetap yaitu:

Januari (31), Februari (28/29=kabisat), Maret (31), April (30), Mei (31), Juni (30), Juli

(31), Agustus (31), September (30), Oktober (31), November (30) dan Desember

(31). Sedangkan jumlah hari dalam satu bulan pada kalender Hijriyah meliputi :

Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab,

Sya'ban, Ramadhan, Zulqaidah dan Zulhijjah selalu berubah bisa 29 atau 30

tergantung oleh nampak tidaknya hilal sebagai pertanda mulainya awal bulan

Hijriyah. Ketidakpastian jumlah hari ini dalam sebulan ini disebabkan dalam satu

periode putaran bulan memerlukan waktu sekitar 29,5 hari.

Hilal sebagai penentuHilal adalah bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia beberapa saat

setelah matahari terbenam. Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau

konjungsi yaitu saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama yang

secara astronomis disebut bulan baru atau new moon. Berdasarkan penelitian yang

pernah dilakukan oleh Danjon seorang astronom dari Perancis menyimpulkan bahwa

karena kemampuan mata manusia, lemahnya cahaya hilal serta pengaruh cahaya

senja dan gangguan atmosfer menyebabkan pengamatan terhadap hilal amatlah

sulit. Berdasarkan kajian terhadap laporan yang dapat dipercaya atas kenampakan

hilal di berbagai negara, hilal haruslah memiliki sudut elongasi minimum 7° terhadap

matahari atau paling tidak umur hilal minimum 12 jam selepas konjungsi agar ia

dapat terlihat oleh mata manusia tanpa peralatan optik. Oleh sebab itulah beberapa

laporan pengamat hilal dari Indonesia yang mengklaim dapat melihat hilal padahal

kedudukan saat itu masih di bawah limit Danjon tersebut patut diragukan. Sebab

bisa saja yang dilihat bukan hilal yang sebenarnya melainkan obyek yang dikira hilal.

Obyek tersebut bisa saja lampu pesawat, cahaya planet Venus, awan atau obyek-

obyek lain.

Di Indonesia setidaknya berlaku tiga atau empat kriteria yang menjadi acuan awal

mulainya bulan Hijriyah dimana masing-masing kriteria memiliki pengikut yang tidak

11

Page 12: Penentuan 1 syawal

sedikit. Masing-masing kriteria itu adalah : Rukyatul Hilal, Imkanurrukyat, Wujudul

Hilal dan Rukyat Global.

1. Rukyatul Hilal (bil Fi'li)

Hadits Rasulullah SAW menyatakan "Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan

berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".

Berdasarkan syariat tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan

ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para

sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i,

dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul

hilal bil fi'li, yaitu dengan merukyat hilal secara langsung. Bila tertutup awan atau

menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian

mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30

hari. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan

qamariyah. Sementara hisab juga tetap digunakan, namun hanya sebagai alat bantu

dan bukan penentu awal bulan Hijriyah.

2. Wujudul Hilal

12

Page 13: Penentuan 1 syawal

Menurut Kriteria Wujudul Hilal yang sering disebut juga dengan konsep "ijtimak

qoblal qurub" yaitu terjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari,

menggunakan prinsip sederhana dalam penentuan awal bulan Hijriyah yang

menyatakan bahwa :

Jika pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu:(1)

Konjungsi (ijtimak) telah terjadi sebelum Matahari tenggelam, (2) Bulan tenggelam

setelah Matahari, maka keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.

Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah

termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun

yang akan datang. Ini sesuai dengan konsep Muhammadiyah yang memegang

prinsip mempertautkan antara dimensi ideal-wahyu dan peradaban manusia dalam

kehidupan nyata termasuk dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Hal ini juga

merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah tahun 1932 di

Makassar yang menyatakan As-Saumu wa al-Fithru bir ru'yah wa laa man ilaa bil

Hisab (berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab)

yang secara implisit Muhammadiyah juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu

awal bulan Hijriyah. Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan Rukyat

dan memilih menggunakan Hisab Wujudul Hilal, itu dikarenakan rukyatul hilal atau

melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit dan dikarenakan

Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka hisab dapat digunakan

sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Kesimpulannya, Hisab Wujudul Hilal yang

dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan

hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan

13

Page 14: Penentuan 1 syawal

Hijriyah sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Pasca 2002

Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah menggunakan Kriteria

Wujudul Hilal.

3. Imkanur Rukyat MABIMS

Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah

Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura

(MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut "imkanur rukyah" dan dipakai secara

resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah yang

menyatakan : "Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal

bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)·

Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2°

dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau

(2)· Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas

ijtimak/konjungsi berlaku. Kriteria yang diharapkan sebagai pemersatu terhadap

perbedaan kriteria yang ada nampaknya belum memenuhi harapan sebab beberapa

ormas memang menerima, namun ormas yang lain menolak dengan alasan prinsip.

4. Rukyat Global ( Matla al Badar )

14

Page 15: Penentuan 1 syawal

Kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi

tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau

terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk

penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Penganut kriteria ini berdasarkan

pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah

mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya.

Beda? Tanya kenapa?Secara kebetulan Ramadahan kali ini memang hilal pada posisi menguntungkan

sebab ijtimak/konjungsi akhir Sya'ban terjadi pada hari Jumat, 22 September 2006

pukul 18.45 WIB yang artinya terjadi setelah matahari terbenam di semua wilayah

Indonesia. Akibatnya menurut aturan syariat, bulan Sya'ban akan digenapkan

(istikmal) menjadi 30 hari. hal ini disebabkan posisi hilal belum memenuhi kriteria

baik rukyatul hilal, wujudul hilal dan imkanur rukyat sehingga secara serentak umat

Islam di Indonesia akan memulai puasa Ramadhan tahun ini pada Minggu, 24

September 2006. Yang menjadi masalah justru pengikut rukyat global sebab jauh-

jauh hari Arab Saudi dalam kalender Ummul Quro telah menentukan awal Ramadhan

pada Sabtu, 23 September 2006.

Namun tidak demikian untuk penentuan Idul Fitri tahun ini. Posisi hilal pasca ijtimak

akhir Ramadhan berdasarkan hasil hisab modern menggunakan simulator

planetarium Starrynight Pro versi 5.8.2 menunjukkan bahwa pada Minggu, 22

Oktober 2006 hilal berada pada ketinggian kritis di wilayah Indonesia sebab

ijtimak/konjungsi terjadi pukul 12.14 WIB. Di Jayapura tinggi hilal bahkan minus 1°

15

Page 16: Penentuan 1 syawal

16' saat matahari terbenam yang artinya bulan terbenam lebih dulu dari matahari. Di

Yogyakarta hilal baru setinggi 0° 26' saat matahari terbenam dan di Aceh tinggi hilal

0° 36' saat matahari terbenam. Adanya kondisi tersebut menyebabkan para pengikut

kriteria wujudul hilal menentukan Idul Fitri jatuh pada Senin, 23 Oktober 2006

sementara pemerintah mengganggap belum memenuhi kriteria imkanurrukyat

sehingga Idul Fitri pada kalender pemerintah jatuh pada Selasa, 24 Oktober 2006. NU

masih belum menentukan kapan Idul Fitri sebab masih menunggu kegiatan rukyat

hilal yang nampaknya akan mustahil dapat terlihat mengingat rendahnya posisi hilal

sehingga organisai ini cenderung akan mengikuti pemerintah melaksanakan lebaran

pada hari Selasa.

Posisi hilal Syawwal 1427 H di Japura pada 22/10 @ sunset

Saat terjadi perbedaan tentunya akan membuat masyarakat muslim di Indonesia

seakan terpecah. Perpecahan ini sangat mencolok saat dua organisasi massa Islam

terbesar yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menentukan berbeda dalam

saat mulainya Ramadahan, Idul Fitri dan Idul Adha. Seolah sudah menjadi tradisi

yang turun temurun kita rasakan dengan perbedaan tersebut. Dan ternyata bukan

rahmat seperti yang dikatakan melainkan justru bertambahnya jurang pemisah

antara kedua massa pendukung ormas tersebut, munculnya sinisme, kebencian

bahkan penghinaan terhadap sesama muslim pada segolongan masyarakat, sebuah

fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Lalu kapan umat Islam di Indonesia akan bisa

terhindar dari khilafiah seperti ini. Jawabnya tergantung kepada para elite pimpinan

ormas-ormas tersebut untuk saling mau mengalah serta kebijakan pemerintah untuk

16

Page 17: Penentuan 1 syawal

merumuskan sebuah kriteria tunggal yang disepakati bersama, lebih demi

kemaslahatan umat dan menanggalkan perbedaan yang sebenarnya sangat tidak

prinsip "kredibilitas organisasi?" yang selalu diagung-agungkan. Wallahu a'lam.

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan

Hilal Ramadhan di beberapa kota di Indonesia

Pengirim ♣ astroman ♣ @ 2:17 AM   

17