Pengantar Penulis - · PDF fileselain abadi, dengan bentuk novel atau hikayat, petuah ini...
Transcript of Pengantar Penulis - · PDF fileselain abadi, dengan bentuk novel atau hikayat, petuah ini...
Kakamban Habang
i
Pengantar Penulis
Assalamu’alaikum wr wb.
Seggala puji syukur sudah sepatutnya kita
haturkan kepada Allah Azza wa Jalla tuhan
semesta alam yang telah dan senantiasa
memberikan nikmat kepada hambanya, terkhusus
nikmat Iman, Islam dan Ihsan. Shalawat dan
salam marilah senantiasa kita kirimkan kepada
kekasih Allah swt. yakni junjungan kita nabi besar
Muhamad Saw. yang merupakan panutan,
tauladan dan sumber umat islam dalam mencari
referensi untuk menjalani kehidupan hakiki.
Sewaktu kecil, penulis sering sekali
mendengarkan petuah urang tuha bahari (orang
tua jaman dulu) yang belakangan (setelah penulis
dewasa) menjadi perhatian mendalam bagi penulis.
Kadang petuah terdengar menipu (bahasa banjar:
mangaramput). Namun, memang begitulah adat
budaya orang banjar dalam menyampaikan
nasihat dan petuah yang sering sekali
diungkapkan tidak dengan kalimat langsung,
melainkan dengan ungkapan berseni (bamantik)
atau dalam istilah kekinian adalah kalimat
bersayap. Semisal, “daham katuju baduduk
dimuhara lawang, kaina mun hudah babini/balaki
kada akur wan mintuha”, yang artinya kurang
Hafiez Sofyani
ii
lebih demikian: “jangan suka duduk di depan
pintu, nanti kalau sudah menikah akan sering
cekcok dengan mertua”.
Ungkapan di atas bukan bermakna bahwa
masyarakat banjar dipenuhi dengan takhayul dan
khurafat. Sekali lagi itu adalah mantik, seni
berbicara, yang sejatinya adalah buah dari adat
budaya yang patut kiranya untuk dilestarikan.
Berbicara secara kiasan seperti di atas hampir
serupa dengan budaya orang Yogya yang
senantiasa menjaga keharmonisan agar orang yang
ditegur tidak merasa tersinggung. Bagi penulis, ini
adalah bentuk kehalusan budi dari adat budaya
suku-suku yang ada di Indonesia.
Mungkin sebagian orang merasa bahwa adat
bertutur demikian terkesan bertele-tele. Kenapa
tidak dikatakan saja secara langsung “jangan
duduk di depan pintu karena membuat orang yang
mau keluar masuk akan merasa terganggu” ?. ini
sama saja dengan kenapa ada orang suka baju
warna kuning, ada yang suka warna putih, ada
yang suka hitam, dan seterusnya. Pada kesukaan
itu, patutkah seseorang memaksakan yang lain
untuk menyukai hal yang serupa?, tentu tidak. Ini
masalah selera dan identitas budaya yang sekali
Kakamban Habang
iii
lagi patut dijaga. Melalui tulisan ini lah upaya
pelestarian itu muncul.
Ketika penulis bertemu dengan banyak
generasi Banjar di tanah jawa, baik saat kuliah
dan ketika sudah menjadi pemberi kuliah, banyak
sekali anak-anak muda Banjar yang tidak tahu
istilah-istilah Banjar lama yang bermakna petuah.
Sehingga, ketika anak muda ini berbuat kekeliruan
dan ditegur dengan petuah lama, anak muda
itupun tak merasa kalau sedang ditegur. Situasi
ini tidak jarang berlanjut kepada konflik yang lebih
keras.
Melihat fenomena di atas, terpikirkan oleh
penulis bahwa ketidakfahaman generasi muda
dengan petuah-petuah lama ini bukan murni
kesalahan mereka. Ada banyak faktor yang
memicu hal tersebut, diantaranya adalah gaya
bicara masyarakat banjar yang kini lebih banyak
ke bahasa Indonesia, khususnya penduduk
Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Namun,
faktor yang sepertinya paling dominan adalah,
jarangnya petuah-petuah ini disampaikan kepada
kepada generasi muda Banjar, entah itu oleh orang
tua, guru, maupun tatuha (orang yang dituakan)
yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Selain
itu, tidak diprasastikannya secara baik dan
Hafiez Sofyani
iv
menarik petuah-petuah ini, khususnya dalam
bentuk tulisan dan bacaan, juga bisa jadi menjadi
faktor utama rendahnya pengetahuan dan
pemahaman petuah lama dari generasi muda.
Padahal petuah lama ini tidak lain adalah nilai
adat dan budaya yang sejatinya dianut oleh orang
Banjar lama yang memiliki nilai positif dan
seringkali syarat dengan nilai ajaran luhur Islam.
Novel adalah salah satu sarana agar petuah
bahari ini menjadi “abadi”. Seorang yang bijak
pernah mengungkapkan bahwa “yang disampaikan
bisa terlupakan... tetapi yang ditulis akan abadi..”.
selain abadi, dengan bentuk novel atau hikayat,
petuah ini dapat disampaikan secara menarik hati
pembacanya. Penulis merasa penyampaian petuah
secara konvensional sama halnya dengan belajar
sejarah dengan cara membaca buku. Bagi anak
muda, itu adalah hal yang membosankan.
Selain tujuan di atas, novel ini juga
bertujuan untuk meluruskan penyimpangan-
penyimpangan pehaman dari adat budaya yang
ada di masyarakat Banjar. Penyimpangan
pemahaman ini akan memicu distorsi nilai budaya
dan menurunkan derajat masyarakat Banjar itu
sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang hamil
biasanya disuruh untuk mengenakan gelang kaki
Kakamban Habang
v
berwarna hitam yang dibuat dari benang hitam.
Dari diskusi dengan orang tua asli Banjar, tujuan
dari kegiatan itu adalah agar ibu yang hamil selalu
menjaga kesehatan kakinya. Hal itu karena ibu
hamil biasanya rawan mengalami pembengkakan
kaki yang disebabkan oleh kelebihan protein,
terkilir, tidak sengaja menendang benda-benda
keras, dan pembengkakan itu biasanya lambat
sembuhnya. Dikhawatirkan hal itu akan
mengganggu saat sang ibu melahirkan putranya.
Oleh karenanya, dengan gelang hitam sang ibu
akan pinandu (mawas) untuk menjaga kakinya.
Namun, di kalangan tertentu kegiatan
memberikan penanda pada kaki dengan gelang
hitam ini diiringi dengan keyakinan yang mengada-
ngada, dan tentunya disebarkan oleh masyarakat
yang masih percaya dengan takhayul. Misalnya,
gelang hitam agar tidak diganggu jin, agar anaknya
tidak cacat, dan lain sebagainya. Inilah bentuk
distorsi nilai budaya yang tadinya bermakna
positif, namun ketika verifikasi kebenaran esensi
nilai budaya itu tidak tersampaikan, yang muncul
adalah penafsiran mangaradau (tidak berdasar)
dan bahkan bisa jadi berujung kepada kesyirikan,
na’udzubillah.
Hafiez Sofyani
vi
Melalui tulisan ini, penulis berharap akan
muncul penulis-penulis baru dari bubuhan Banjar
yang memiliki ide dan gagasan serupa, yakni
untuk mem-prasasti-kan nilai luhur sekaligus
meluruskannya dari keyakinan-keyakinan yang
merusak tauhid orang Banjar yang mayoritas
muslim.
Akhirnya, tentu segala yang kita rangkai
memiliki kekurangan. Penulis sangat berterima
kasih jika dari kakawalan barataan (teman-teman
dan kerabat semua) memiliki masukan dan saran
yang membangun. Kontak kepada penulis dapat
dilakukan lewat e_mail (lihat bagian akhir tentang
penulis). Semoga kisah ini menghibur dan
tentunya bermanfaat serta menjadi inspirasi bagi
para pembaca budiman. Akhirul kalam, salah dan
khilaf atas segala yang ada pada novel ini penulis
mohon maaf dan minta halal serta ridho yang
seikhlas-ikhlasnya dari pembaca sekalian.
Wallahu’alam bisshawab.
Wassalamu’alaikum wr wb
Yogyakarta, 3 Ramadhan 1436 H
Kakamban Habang
1
Bagian 1
Puteri Tuan Tanah
Gadis langkar1 bak buah delima ranum di masa-
masa emasnya itu bernama Siti Fatimah. Ia adalah
puteri dari juragan tanah kaya dikampung ini, Haji
Jamran. Patut saja lah kiranya Haji Jamran diberi
gelar sebagai juragan tanah kaya. Itu tidak lepas
dari fakta bahwa sebagian besar tanah di kampung
ini adalah miliknya yang ia peroleh dari warisan
orang tuanya yang dulu adalah saudagar intan
kaya raya. Setiap orang kampung Muara Durian,
tempat ia tinggal, sangat segan kepada Haji
Jamran. Bukan semata karena kekayaannya,
tetapi juga karena lelaki separuh baya itu memiliki
banyak jasa kepada warga kampung.
Hampir lebih dua puluh keluarga di kampung ini
bergantung hidup kepada kemurahan hati sang
tuan tanah. Mereka yang bergantung nasib pada
Haji Jamran adalah keluarga-keluarga miskin yang
tak memiliki tanah, kemudian dipinjami oleh Haji
Jamran sebidang tanah untuk dikelola dan
dinikmati hasilnya, tanpa Haji Jamran meminta
sepeserpun dari hasil itu. Dari kedermawanannya
1 Cantik (Banjarmasin)
Hafiez Sofyani
2
itulah warga di sini menjadi segan dan hormat
kepadanya.
Ditambah lagi, Haji Jamran juga seorang bapak
yang memiliki anak-anak yang kuliah di luar
Kalimantan. Bagi kebanyakan orang Kalimantan,
khususnya kampung ini, kuliah keluar dari
Kalimantan memiliki arti tersendiri. Jika tidak
karena kaya, sehingga mampu menyekolahkan
anak-anaknya ke luar pulau dengan biaya yang
mahal, maka pasti karena anak-anak dari orang
tua tersebut adalah anak yang pandai, sehingga
mampu memperoleh beasiswa kuliah untuk
bersaing dengan banyak orang pintar di tanah
Jawa. Setidaknya itulah stigma yang selama ini
menjadi justifikasi dan buah bibir warga tentang
anak Haji Jamran yang baru pulang tempo lusa
dari pendidikannya di salah satu perguruan tinggi
di Yogyakarta.
Namun, puteri Haji Jamran itu bukan berada pada
klasifikasi pertama maupun kedua. Maksudnya,
bukan karena puteri Haji Jamran keturunan orang
kaya saja atau karena pandai semata hingga bisa
kuliah ke luar Kalimantan. Tetapi dia berada pada
klasifikasi pertama sekaligus yang kedua. Ya, anak
kedua bapak dua orang anak itu tidak hanya dari
keturunan berada, tetapi memang memiliki
Kakamban Habang
3
kepandaian yang lebih dibandingkan muda-mudi
sebayanya di sekolahnya dulu, terlebih di
kampung Muara Durian ini.
Bukti dari kebrilianannya itu adalah, ketika masih
duduk di bangku Madrasah Aliyah, setingkat SMA,
Fatimah bersama dua rekannya pernah mewakili
sekolahnya dalam kejuaraan tingkat nasional di
Jakarta dan berhasil menyabet juara pertama.
Tak hanya pandai. Puteri Haji Jamran itu juga
terkenal sebagai kembang desa berparas langkar2
dan berakhlakul karimah islami. Hampir semua
orang kampung senang memuji keanggunan rupa
dan akhlak dari puteri semata wayang Haji Jamran
itu. Wajar saja jika kemudian banyak pemuda dari
berbagai kalangan menghendakinya menjadi
permaisuri sang pemuja.
Baru dua minggu dari kehadirannya di kampung
semenjak pergi merantau ke tanah Jawa saja,
terhitung sudah lebih tiga keluarga yang datang ke
rumah Haji Jamran untuk meminang puteri
semata wayangnya itu. Dua diantaranya adalah
teman Fatimah sesama mahasiswa asal tanah
Banjar selama kuliah di Yogyakarta. Namun, dari
2 Cantik (Banjarmasin)
Hafiez Sofyani
4
berita burung yang beredar, sayang, tak satupun
yang diterima oleh Haji Jamran.
Memang tidak mudah mutiara bisa didapat dan
menempatkannya dalam genggaman. Seseorang
yang mencari mutiara harus berusaha keras
menyelam ke kedalaman lautan, dan berenang
menyisiri setiap trumbu karang. Tidak menutup
kemungkinan sang penyelam akan tenggelam,
terluka karena karang atau bahkan berhadapan
dengan ikan buas demi mendapatkan sebuah
mutiara yang memiliki kilau terbaik. Begitulah
kiranya gambaran yang setara atas keadaan putri
Haji Jamaran itu.
Bahkan, saat Fatimah masih bersekolah di
Yogyakarta, tak sedikit pemuda yang bertamu ke
rumah Haji Jamran dengan niat mempersunting
puteri kesayangannya itu. Mereka datang dari
berbagai kalangan status maupun strata sosial.
Mulai dari putra pejabat, pengusaha, sampai putra
tuan guru (Kyai) sekalipun. Maklum, kalangan
pergaulan Haji Jamran ya demikian pula, pejabat,
pengusaha, dan tuan guru (Kyai). Jadi
sepantasnya lamaran itu dari kalangan yang
setara.
Tapi sayang, hasilnya sama saja. Tak satupun jua
yang mampu membuat Haji Jamran mengiyakan
Kakamban Habang
5
pinangan itu. Setiap ada pinangan, pandai saja
haji Jamran berkelit. Meski sering ia mendengar
kepercayaan orang jaman dahulu di tanah Banjar,
yakni; “bila sudah empat puluh orang yang
meminang dan semua ditolak, maka pinangan ke
empat puluh satu tidak boleh ditolak. Jika ditolak
pula, maka anak akan membujang hingga tua”.
Namun haji Jamran tak gentar dengan
kepercayaan yang ia anggap sebagai takhayul itu.
Ia tetap pada keputusan-keputusannya.
Sejatinya, yang menjadi alasan utamanya adalah,
jujuran3 yang diinginkan haji Jamran memang
agak berlebihan. Haji Jamran adalah salah satu
orang yang memiliki faham bahwa anak
perempuan yang cantik, pandai dan baik budi,
seperti puterinya, Fatimah, sudah sepatutnya
memiliki nilai jujuran yang tinggi. Setiap ia
menolak lamaran-lamaran itu, ia selalu berkelit
kalau Fatimah adalah puteri semata wayangnya
yang tidak hanya cantik, tetapi juga baik, salehah,
serta seorang sarjana strata dua dari perguruan
tinggi yang bonafit. Maka sudah sepantasnya ia
sebagai orang tua memintai jujuran tinggi.
Haji Jamran menganggap, untuk mempersunting
puterinya yang baik dan berpendidikan itu menjadi
3 Seserahan saat melakukan pinangan (Banjarmasin)
Hafiez Sofyani
6
seorang istri, tidak mudah dan tidak murah. Jika
ada orang menginginkan puterinya, maka sang
pemuda harus mengganti dengan jujuran yang
sepadan dengan biaya untuk membesarkan
puterinya.
Pemikiran Haji Jamran itu memang sangat
nyeleneh dan sudah menjadi buah bibir sejak lama
di kampung ini. Tapi sayang, karena begitu
diseganinya juragan tanah yang juga sekaligus
pengusaha kain sasirangan itu, tak satupun ada
yang berani menentang dan menyanggah
kesalahan faham Haji Jamran. Semua orang
membiarkan saja pemikiran Haji Jamran sekeliru-
kelirunya. Bagi warga, toh bukan mereka juga
yang meminang puteri Haji Jamran. Maka buat
apa bersusah-susah memahamkan Haji Jamran
bahwa makna jujuran tidak begitu semestinya.
Bagi warga kampung, jangankan berkeinginan
meminang, berkhayal untuk berkeluarga dengan
Haji Jamran saja tak satupun ada yang terbesit
memikirkannya. Orang di kampung faham betul
posisi diri dan posisi haji Jamran selaku tokoh
terkaya di kampungnya. Tak mudah untuk
meluluhkan hati haji Jamran, pun hati sang anak.
Meskipun haji Jamran mengiyakan, tapi kalau
Kakamban Habang
7
anaknya Fatimah itu menolak, ya tetap saja
perjanjian tak kan terjadi.
Di sisi lain, kadang ketidakberanian warga untuk
meluruskan faham haji Jamran juga terkait
kepentingan pribadi. Takut haji Jamran
tersinggung, lalu menarik hak kelola lahan yang
menjadi mata pencaharian. Atau sungkan kalau
nanti haji Jamran tidak lagi memberi ini atau itu.
Jadilah haji Jamran sekeliru-kelirunya atas
pemikirannya itu.
Tapi, jika membicarakan puterinya, Fatimah, maka
sudahlah setuju jika orang sini menilai bahwa
gadis berkulit kuning langsat yang sering terlihat
menutup rambutnya dengan kakamban habang4
kesenangannya itu, tak dapat dipungkiri, memang
begitu memesona. Kadang, iapun merasa bahwa
sikap abah Fatimah yang begitu menginginkan
jujuran dan mahar yang mewah itu masuk akal
adanya. Itu karena sekilas saja ia menatap
Fatimah, hatinya merasakan desiran yang tidak
biasa terjadinya. Ia merasakan kecemasan,
kegugupan, sekaligus kesenangan yang mengulak-
alik. Bibirnya tersenyum entah karena alasan apa
jika megngingat-ingat saat pertemuannya dengan
puteri haji Jamran itu. Ia tak tahu apakah itu yang
4 Kakamban habang=kerudung merah (Banjarmasin)
Hafiez Sofyani
8
dimaksud perasaan cinta atau apa. Yang jelas, ia
merasa ada kebahagiaan yang datang tanpa ia
fahami. Ia merasa senang begitu saja. Sekali lagi,
bahagia itu datang begitu saja…
Namun, ia juga tak mengira, gadis sebaik itu
adalah puteri dari seorang haji Jamran.
Maksudnya, bagaimana bisa gadis sebaik ia
berorang tuakan sosok seperti haji Jamran. Orang
kampung juga sagat faham ini. Haji Jamran dan
Fatimah bagaikan langit dan bumi, siang dan
malam, panas dan dingin, meskipun keduanya
adalah abah dan anak. Fatimah setiap harinya
terlihat sangat sederhana. Bahkan, pakaiannya tak
berbeda jauh dengan yang digunakan orang
kampung kebanyakan. Sikapnya ramah, tegur
sapa dengan orang kampung adalah hal yang biasa
ia lakukan. Selain itu gadis itu sangat pemurah
kepada para tetangganya yang memiliki
kekurangan. Kesehariannya ramai dihiasi senyum
manis yang keluar dari bibir dara dua puluh lima
tahun itu.
Sedangkan haji Jamran, meski ia membiarkan
tanahnya digarap oleh warga kampung dan tak
meminta bagi hasil, namun ada beberapa sikap
tuan haji itu yang tak disukai warga kampung.
Abah dari Fatimah itu memiliki watak arogan dan
Kakamban Habang
9
keras. Hal itu sangat nampak dari tulang
rahangnya yang kaku menyimpan keangkuhan.
Matanya tajam dan intolerer terhadap setiap hal
yang tak ia senangi. Para pemuda yang bersalaman
dengannya tapi tidak mencium tangannya, jangan
harap mendapatkan perlakuan ramah. Bahkan
pernah ada undangan perkawinan yang tak ia
sambangi hanya karena di undangan tidak tertera
gelar “Haji atau biasa ditulis H.” sebelum nama
haji Jamran.
“Jika saja Fatimah bukan puteri kesayangan
seorang Haji Jamran, tentu akan berbeda
ceritanya...” gumamnya berkhayal. Pikirannya jauh
melalang buana memikirkan gadis yang tak
sepatutnya ia pikirkan. Kenapa tidak patut?. Itu
karena ia hanya baru kali ini bertemu dengan sang
gadis. Apalagi, ia tak ada hubungan apapun
dengan puteri haji Jamran itu. Bukan teman,
bukan keluarga, apalagi kekasih.
Namun, angin cinta rupanya telah menerbangkan
khayal pemuda itu hingga ia tak sadar jikalau
sudah hampir lebih dua jam lamanya ia melamun
di atas dipan pelataran rumahnya. Tak terasa
mentari mulai turun diufuk barat sambil menarik
gelap yang datang mengganti cahaya. Malam mulai
Hafiez Sofyani
10
bertamu. Maghrib tiba dengan kumandang adzan
yang bersahutan.
***
Baginya, baru kali ini ia bertemu orang yang
berbudi demikian. Hampir setiap orang yang
menolong dirinya lantas menerima pemberian
berupa “uang capek” si penolong. Baginya itu
memang satu hal yang sudah lumrah di tanah
mana saja. Apalagi di zaman susah seringkali
apresiasi dikaitkan dengan uang semata. Uang
menjadi orientasi setiap aktifitas dan tak jarang
uang menjadi tuhan dan magnet yang sangat kuat
untuk memotivasi seseorang berbuat sesuatu. Di
berita-berita media masa, hanya karena uang,
yang tidak seberapa banyak pula jumlahnya, orang
berani mempertaruhkan nyawanya. Karena uang
orang sering buta dan acuh dengan keadaan orang
lain. Bahkan karena uang, orang berani menyakiti,
menzalimi, bahkan membinasakan makhluk lain
atau bahkan sesama manusia.
Tapi, pemuda yang sepertinya terlihat lebih muda
dari dirinya itu berbeda. Pemuda itu malah tak
mau menerima uang capek yang ia berikan dengan
keikhlasan. Apalagi ia tahu betul bagaimana
Kakamban Habang
11
kehidupan anak muda yang ia lupa siapa namanya
itu, yang dulu pernah bekerja kepada abahnya. Ia
tak menyangka seorang pemuda yang hanya
tinggal bersama emmak tua di sebuah gubuk renta
kecil, di ujung ilir aliran sungai Muara Durian itu
menolak pemberiannya. “Apa benar masih ada
orang yang tak mau menerima materi demi
kelangsungan hidup? Apa benar masih ada orang
yang tulus ikhlas memberi tanpa harus
menerima?” Gumamnya dalam hati menanya.
Di tengah bingung, juga ada kesal menyertainya.
Kesal karena sikap orang itu yang menolak
pemberiannya. Ia jadi malu dan merasa
terendahkan. Ia merasa pemberiannya tidak
dihargai meski pemuda yang selalu mengenakan
topi butut itu menolaknya dengan ramah. Fatimah
menghela nafas panjangnya. Pikirannya payah
memikirkan sebab sikap sang pemuda. Sesekali ia
mementikkan jari telunjuknya ke bibir, eksperi ia
tengah berpikir. Ia menatapkan jauh
pandangannya ke arah luasnya hamparan tanah
dan ladang padi milik abahnya yang di naungi
sinar terang sang mentari senja. Rasanya semua
itu kini tak ada artinya ketika ia teringat dengan
penolakan sang pemuda. Sebesit ingatan tak
sengaja menghinggapi pikirannya. Ia teringat
Hafiez Sofyani
12
ucapan penolakan sejumlah uang dari pemuda itu
dengan sebuah pertanyaan;
“apakah uang itu milik anda atau milik
orang tua anda?”.
Ia sangat bingung dengan pertanyaan yang
diutarakan pemuda kurus yang memiliki kerut
wajah yang terukir lebih cepat dari usianya itu.
“Iya... ini uangku yang diberikan oleh
orang tuaku untuk jajan... lalu kenapa?
Ada yang salah kah?”
Jawabnya sekenanya dengan perasaan masih
memendam kebingungan diserta tanya.
Namun, kalimat terakhir pemuda itu yang
membuatnya bingung. Tinggi-tinggi ia kuliah
sampai strata dua (S2), ia tak mampu menganalisis
maksud pemuda itu saat ia mengatakan, “Kalau
begitu itu uang orang tua Anda. Saya tidak bisa
menerima uang itu...”
Entah mengapa Fatimah terus memikirkannya,
dan tanpa ia ingingkan buah percakapan itu malah
menjadi beban pikiran. Ia khawatir jikalau pemuda
itu menolak pemberiannya karena pemuda itu
merasa uang itu bersumber dari hasil yang tidak
halal.
Kakamban Habang
13
“Apa memang benar demikian?” pikirnya
menduga-duga. “Nau’dzubillah” bisiknya.
Sudah beberapa hari ini ia terus saja terpikirkan
masalah itu. Iapun menyerah. Fatimah tak tahu
apa maksud dari pertanyaan dan pernyataan dari
pemuda yang tempo lalu menolong dirinya itu.
Tapi, perasaan halusnya mengatakan kalau
pernyataan itu bukanlah pernyataan sembarangan
atau sepele. Di tanah Banjar, kerap ditemukan
masyarakat yang berbicara dengan kiasan, mantik,
dan kalimat bersayap lainnya yang biasanya
memiliki makna yang dalam.
Fatimahpun akhirnya beranjak menuju orang
tuanya yang ia yakin memiliki pandangan.
Fatimah segera menceritakan peristiwa itu tatkala
ia mendapati ibunya di ruang keluarga
kediamannya. Ia berharap memperoleh jawaban
dari pertanyaan yang ada dibenaknya. Ibu Fatimah
yang notabene orang Hulu Sungai5 dan memiliki
wawasan tentang papadah urang bahari6, ia rasa
cukup memiliki pengetahuan untuk menjawab apa
maksud dibalik sikap seseorang yang berucap
5 Hulu Sungai adalah salah satu karesidenan yang terletak di privinsi Kalimantan Selatan. Juga kerap disebut sebagai wilayah Banua Lima. 6 Nasihat bijak dari orang-rang terdahulu
Hafiez Sofyani
14
seperti yang diceritakannya. Sebab, urang bahari7
ia rasa tidak sembarang mengucapkan sesuatu.
Orang Banjar bahari memiliki prinsip “banganga
dahulu hanyar baucap” yang artinya “sebelum
berucap dipikirkan dulu matang-matang apa
konsekuensi dari ucapan yang nantinya terlontar”,
atau dengan istilah lain, hati-hati dalam berbicara.
Apalagi, jika dilihat dari gelagatnya, pemuda yang
menolongnya tempo hari itu bukan orang yang
sembarangan bersikap dan berucap. Dimatanya,
setiap gerak pemuda itu seakan penuh arti.
Fatimah duduk di samping ibunya yang tengah
sibuk menjahit salah satu pakaian yang sempat
sobek. Meski dari istri orang yang kaya, namun
istri haji Jamran juga memiliki sikap dan gaya
hidup yang sederhana. Tidak seperti kebanyakan
orang kaya, segala sesuatu yang rusak segera
dibuang. Bagi istri haji Jamran, jika masih bisa
diperbaiki, maka barang rusak itu diusahakan
untuk diperbaiki. Kesederhanaan ibunya inilah
yang menurun kepada Fatimah.
Dengan manja, Fatimah mengajak ibunya untuk
bercerita. Lebih tepatnya Fatimah menceritakan
apa yang beberapa hari silam ia alami. Ibunya
7 Orang terdahulu
Kakamban Habang
15
mendengarkan dengan seksama. Seusai cerita
Fatimah, ibunya tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya, kagum, mendengar cerita yang barusan
diutarakan Fatimah.
“Subhanallah, masih ada rupanya orang
yang seperti itu ya, Nak..?!!” ucap Ibunya masih
sibuk dengan benang dan jarum di tangannya.
Ucapan itu rupanya semakin membingungkan
Fatimah. Dahi Fatimah nampak berkerut. Gadis
berwajah cukup polos itu semakin dibuat tak
sabar dengan maksud ucapan Ibunya.
“Jadi?” Fatimah tak sabar menunggu
kelanjutan penjelasan dari Ibunya.
“Begini Puteri Ibu yang cantik.... Ucapan
ibunya terhenti sesaat sembari ia menyelesaikan
rajutan terakhir ditanganya, lalu berlanjut setelah
ia menarik nafas panjang.
“Orang dulu itu, termasuk Ibu, ketika kecil
saat dididik oleh almarhum kakekmu, selalu
diajarkan untuk menolak pemberian orang yang
mana pemberian itu bukanlah milik si pemberi.”
“Bukan milik si pemberi???” ucap Fatimah
lirih dengan nada penasaran bercampur bingung.
Kembali ia mengernyitkan dahinya. Benak Fatimah
Hafiez Sofyani
16
memunculkan tanda tanya besar. Pernyataan
Ibunya barusan benar-benar membingungkan
Fatimah. Ia semakin tidak faham.
“Maksudnya gimana itu, Bu?. Bukankah
Fatimah memberikan uang milik Fatimah sendiri,
bukan milik orang lain. Lalu kenapa orang itu
menolaknya?. Apa orang itu tahu uang yang
Fatimah berikan itu tidak halal?. Bukankah uang
itu pemberian Abah untuk jajan Fatimah dari hasil
dagang, dari usaha yang halal. Jadi tidak mungkin
kan karena alasan itu?.” sanggah Fatimah
antusias.
Ibunya tersenyum tipis. Fatimah, meski
sudah sarjana tingkat strata dua, dimatanya masih
begitu polos. Rupanya Fatimah tetap saja Fatimah
kecil yang jika penasaran dengan sesuatu selalu
dengan antusias dan segera mendiskusikannya
kepada ibunya. Dari sini Ibunya memahami,
ternyata memang tidak semua hal bisa diketahui
oleh orang, meskipun orang berpendidikan tinggi
sekalipun. Khususnya tentang adat orang zaman
dulu, gumamnya dalam hati.
Setelah tersenyum, Ibunya melanjutkan
menjelaskan.
Kakamban Habang
17
“Anakku… Ia menolak bukan karena uang
itu bersumber dari yang tidak halal. Tetapi ia
menolak karena ia menganggap bahwa uang itu
bukan milikmu. Tapi milik Abah dan Ibumu...
uang itu adalah hasil kerja orang tuamu yang
sementara dititipkan kepadamu untuk keperluan
jajanmu...”
“Tapi kan diberikan ke Fatimah. Jadi
sekarang milik Fatimah dong...” Sanggah Fatimah
dengan sedikit kerut lagi di dahinya.
“Ya... Tapi uang itu abah dan ibu berikan
untuk keperluan jajanmu kan, bukan untuk kamu
sedekahkan kepada orang lain. Betul tidak?.”
Balas Ibunya.
“Maksudnya?” Fatimah masih tak faham
dengan maksud ibunya.
Ibunya kembali tersenyum. “Maksud Ibu,
pemuda itu ingin tetap uang itu dibelanjakan
sesuai dengan amanah si pemberi bahwa uang itu
adalah uang yang diamanahkan untuk belanja
jajanmu, bukan untuk disedekahkan. Meskipun
sedekah adalah sunnah yang dianjurkan, tetapi
kalau uang itu disedekahkan padahal uang itu
abah dan ibu berikan untuk uang jajanmu, maka
sedekahmu tidak akan berbuah pahala. Karena
Hafiez Sofyani
18
kamu telah melanggar hal yang lebih penting, yaitu
amanah kemana uang itu harusnya kamu
gunakan.”
“Tapi uang itu kan milik Fatimah. Jadi
terserah Fatimah dong mau merubah yang tadinya
untuk jajan kemudian Fatimah ganti niat untuk di
sedekahkan?”
“Itukan menurut Fatimah. Bukan menurut
pemuda itu. Pemuda itu tentu pemuda yang
memahami benar makna sebuah kewajiban
amanah dan kesunnahan sadaqah.” Balas Ibunya
yang kemudian tersenyum sambil membelai wajah
putri kesayangannya itu.
“Subhanallah….” Entah mengapa hati
Fatimah terasa berdesir.
Baru kali ini ia bertemu dengan seorang
pemuda yang begitu teliti dan hawas dengan hal
sekecil itu. Bahkan dirinya sendiri tidak pernah
belajar dan terbesit untuk berpikir demikian.
Sebenarnya Fatimah tidak begitu memahami
secara mendalam apa yang didiskusikan oleh
ibunya. Akan tetapi ia mulai mau menerima alasan
yang mungkin menjadi hujjah pemuda itu kala
memilih untuk menolak pemberiannya. Ya, ini
Kakamban Habang
19
bukan tentang benar dan salah, pula bukan
tentang baik dan buruk. Ini tentang bagaimana ia
harus menerima perbedaan pandangan seseorang
yang menjadikan seseorang itu akan berbeda sikap
dari yang kita harapkan dengan sikap orang lain
itu dalam kenyataan.
Ini sesuai dengan konsep psikologi, ilmu
yang ia geluti saat ini. Dalam konsep berpikir
manusia, dikenal istilah keterbatasan rasional
yang memaknai bahwa setiap manusia memiliki
pola dan cara berpikir yang berbeda sehingga akan
menimbulkan sikap dan perilaku yang berbeda
pula, dan kondisi ini terjadi dalam banyak hal,
entah itu dalam berbicara, berbudaya, dan bahkan
beragama. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
lingkungan, pengalaman belajar, khususnya
tentang apa yang dipelajari dan bagaimana
mempelajari. Sehingga, jika dikaitkan dalam
konteks beragamapun, ketika seorang ulama
menfatwakan suatu perkara hukum dan berbeda
dengan ulama lain, maka itu suatu kewajaran yang
menjadi keniscayaan yang tak dapat terelakkan.
Hanya, manusia yang bijak diharapkan mampu
untuk menciptakan harmonisasi di tengah
perbedaan pandangan, pendirian, dan sikap itu.
Barangkali itulah yang bagi Fatimah bisa ia petik
Hafiez Sofyani
20
dari sikap pemuda itu atas pemberiannya, fikir
Fatimah panjang lebar.
Sekali lagi baginya ini bukan masalah benar-salah
ataupun baik-buruk. Melainkan ini masalah
pendirian yang diyakini benar oleh pemuda itu,
dan ia sebagai manusia, makhluk berbudaya,
sudah sepatutnya menerima pendirian orang lain
itu tanpa harus menghukumi bahwa pemikiran
orang lain itu salah karena berbeda dengan faham
yang ia yakini.
“Atau bisa jadi dia adalah orang yang selalu
menjaga dirinya untuk tidak pernah menjadi orang
tangan yang di bawah. Ibu yakin, pemuda itu
adalah pemuda yang amanah dan memegang
teguh akidahnya.” Sela Ibunya membuyarkan
lamunan panjang Fatimah.
Fatimah masih tanpa suara. Ia menatap jauh
ke arah ladang padi yang mulai menguning,
berkilau di bawah naungan sinar mentari yang
mulai menggiring senja. Angin sepoi yang
menawan menjadikan padi itu melambai-lambai
seolah tersenyum kepada dirinya. Entah mengapa
kini perasaan jengkel karena merasa direndahkan
oleh pemuda yang menolongnya pagi tempo hari
itu berubah menjadi rasa kagum dan bangga.
Kagum karena ternyata di zaman seperti sekarang
Kakamban Habang
21
ini masih ada orang seperti pemuda itu, dan
bangga karena ia pernah bertemu dengan pemuda
saleh seperti dia.
“Pemuda yang cocok untuk menjadi imam…”
bisik Ibunya sambil tengah menatap dirinya
dengan senyum penuh tanya.
Sebuah kalimat singkat yang membuat
dirinya tertegun untuk beberapa lama, dan
tersadar bahwa kini ia telah dewasa dan sudah
saatnya untuk berpikir hidup berumah tangga.
Mungkin itu maksud Ibunya menyindir dirinya
demikian. Ia tersadar, memang sudah saatnya ia
memikirkan hal itu. Apalagi ia yakin abah dan
ibunya sudah sangat ingin menimang cucu
darinya.
“Kalau Ibu boleh tahu, siapa nama pemuda
itu?” tanya ibunya sambil membelai lembut kepala
Fatimah yang jatuh dibahu sang Ibu, manja.
Fatimah terdiam, tak dapat menjawab. Alisnya
yang cukup tebal dan hitam itupun mengernyit
untuk kesekian kalinya. Ia baru ingat kalau ia juga
belum tahu nama pemuda itu. Atau lebih tepatnya
ia lupa nama pemuda itu.
Hafiez Sofyani
22
Fatimah menggelengkan kepalanya. “Yang Fatimah
tahu pemuda itu tinggal di ujung ilir aliran sungai
Muara Durian, dan pernah bekerja untuk abah”
bisiknya, tatapannya masih terpaku pada
lambaian ladang padi nan luas di luar sana.
“Ooo, Ibu tahu…” sahut ibunya.
Raut wajah Fatimah berubah menjadi berbinar,
seakan menunggu sebuah kabar gembira datang
kepada dirinya. Fatimah bangkit seketika dari
kemanjaan di pundak ibunya.
“Tapi ibu juga lupa nama pemuda itu. Yang
pasti, ibu tahu lah siapa ia. Ia yang sering bantu
ngangkut-ngankut padi abah ke penggilingan padi
haji Rahmat, kan?” sambung ibunya.
“Huuuu.....” balas Fatimah yang kembali
menjatuhkan kepalanya dibahu ibunya manja
disertai nafas panjang.
“Mungkin....” sahutnya. Fatimah tertediam
sesaat. “tak tahu lah...” lanjut Fatimah lesu,
kecewa karena informasi yang ia peroleh masih
setengah.
“Lalu, siapa nama pemuda itu?” bisiknya
dalam hati. ***
Kakamban Habang
23
Bagian 2
Masa Lalu
Bulan ini adalah masa-masa indahnya dua
kampung ini, Kampung Muara Durian dan Handil
Durian. Di musim katam8 seperti sekarang, dua
kampung bersebelahan itu menampilkan suasana
paling memesona diantara waktu-waktu lainnya.
Dari sepanjang jalanan handil yang membelah
langsung kawasan ladang sawah setiap orang
dapat menikmati indahnya hamparan padi yang
nampak segar, beraroma khas, berkilauan dengan
warna kuning khas padi yang siap di panen.
Bergiringan dengan musim katam ini, biasanya
bertepatan pula dengan musim beranak pinak
unggas-unggas ternak, burung-burung, dan
binatang ternak lainnya. Itu karena pada musim
ini makanan bagi semua berlimpah ruah. Musim
katam juga biasanya diiringi dengan musim buah
mangga, kasturi, jambu, dan buah-buahan khas
lainnya. Jadilah musim katam menjadi musim
berkah bagi sekalian orang di kampung sini.
Di musim katam seperti ini, Fatimah biasanya
sangat senang memperhatikan suasana yang
8 Musim panen padi
Hafiez Sofyani
24
terjadi di kampungnya. Nyaris setiap sehabis salat
subuh, ia mengajak ibunya untuk berjalan-jalan
mengelilingi kampung melihat warga-warga yang
setiap habis salat subuh segera beranjak ke sawah
untuk memanen padi yang sudah matang. Adapula
yang ma-irik9, mempersiapkan padi untuk di-
labang10. Pada pukul tujuh, jalanan kampung
biasanya akan dipenuhi iringan anak-anak kecil
berseragam putih coklat yang beranjak menuju
utara kampung, tepatnya menuju sekolah
Madrasah Ibtidaiyah(setingkat Sekolah Dasar).
Baginya, melihat generasi muda itu bersemangat
untuk menuntut ilmu adalah sebuah motivasi yang
mampu membangkitkan spirit juangnya dalam
berkarya. Fatimah sangat memperhatikan
pendidikan bagi anak-anak kecil dikampungnya. Ia
selalu mendorong warga untuk sadar pendidikan.
Jangan ada lagi pemikiran “buat apa sekolah
tinggi-tinggi toh ujung-ujungnya jadi petani jua”
sebagaimana stigma yang menjadi pemikiran
masyarakat di kampungnya. Fatimah ingin setiap
warga di kampungnya dapat bersekolah. Jika jadi
petani, jadilah petani yang canggih. Ia selalu
menjelaskan kepada warga bahwa pendidikan
9 Melepaskan padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injak padi hasil panenan. 10 Labang artinya jemur. Malabang=menjemur, dilabang=dijemur.
Kakamban Habang
25
akan membawa kebaikan dan mampu merubah
nasib hidup.
Memang kadang masyarakat lebih memilih melihat
orang-orang gagal yang bergelar sarjana, tapi tetap
saja menganggur. Kalaupun kerja ya ujung-
ujungnya jadi petani, tukang ojek, atau tukang
bangunan. Menanggapi hal itu Fatimah
menjelaskan bahwa itu terjadi bukan karena
sekolahnya yang salah, tapi mungkin cara orang
yang bersangkutan saat sekolah yang keliru.
Ya, memang kita bisa melihat apa yang
distigmakan kebanyakan masyarakat kampung
ada benarnya juga. Banyak sarjana yang
menganggur, susah cari pekerjaan, bahkan ada
yang nekad berjualan barang haram atau bahkan
jadi maling. Jika mau kritis, bukan sekolah tinggi
yang keliru. Tetapi motivasi orang yang
bersangkutan saat sekolah lah yang menyebabkan
ia mengalami kesulitan setelah lulus. Prinsipnya,
jika orang sungguh-sungguh sekolah, misalnya
sekolah di perguruan tinggi untuk meraih sarjana,
maka insya-Allah ia akan berhasil. Mereka yang
sarjana dan sungguh-sungguh pasti berhasil. Yang
gagal itu mereka yang “memiliki gelar sarjana”,
ungkap Fatimah setiap kali menjelaskan kepada
warga kampungnya.
Hafiez Sofyani
26
Fatimah bersyukur, dengan pendekatan dan
penjelasan yang demikian, banyak warganya yang
mulai membuka mata dengan pendidikan. Jika
warganya berkeluh karena biaya pendidikan
mahal, maka Fatimah akan berupaya untuk
mencarikan jalan keluar. Kegiatan yang ia lakukan
ini tidak lain karena ia yang kini merupakan dosen
di salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin
merasa bahwa permasalahan ini menjadi
tanggungjawabnya jua sebagai akademisi. Seorang
dosen, di matanya, tidak terbatas sebagai seorang
guru yang mengajar di perguruan tinggi, tetapi
juga harus memberikan andil dan manfaat secara
langsung di lingkungan dimana tempat ia tinggal
dengan bermodal keilmuan yang dimilikinya.
Tak terasa hari semakin siang. Mentari sudah
mulai naik ke ufuk timur. Kampung Muara Durian
dan Handil Durian kian sibuk dengan aktivitasnya.
Selain pemandangannya memesona, musim katam
juga menyuguhkan suasana kekeluargaan nan
hangat yang tumbuh dari kearifan lokal budaya
masyarakat setempat. Hampir setiap musim katam
ini, pangarun11 berdatangan ke dua desa ini dan
desa-desa tetangga. Tujuannya tidak lain adalah
untuk menjadi buruh tani memanen padi yang
11 Buruh panen
Kakamban Habang
27
sudah matang. Para pangarun ini adalah mereka
yang biasanya bertempat tinggal jauh dari
kampung ini. Ada yang dari Anjir, Kandangan,
Barabai, Amuntai, dan dari daerah-daerah lain
yang biasanya musim panennya sudah lebih
dahulu berakhir. Sehingga, untuk menambah
penghasilan, para pangarun yang sudah tidak ada
garapan lagi di kampungnya memilih untuk
menjadi buruh tani di kampung lain.
Secara ekonomi, kedatangan para pangarun ini
mampu membangkitkan perekonomian warga
kampung, dan menjadi sarana dalam distribusi
pendapatan di kampung-kampung yang mereka
datangi. Sebagai ilustrasi, ketika pangarun
berdatangan, biasanya warung-warung subuh
yang berjualan setiap sehabis subuh sampai
tengah hari akan memperpanjang jam berjualan
mereka hingga jam sepuluh malam. Itu karena
para pangarun yang bekerja berat memerlukan
waktu istirahat yang banyak. Biasanya ketika
istirahat para pangarun akan mampir ke warung
setiap sehabis dzuhur, ashar dan isya untuk
membeli makanan dan minuman. Sebelum
berangkat ke sawahpun, yakni sehabis subuh,
mereka juga sering singgah ke warung. Hal itu
tentu menambah penghasilan pedagang warung
subuh. Selain itu, tidak jarang juga banyak
Hafiez Sofyani
28
warung-warung dadakan buka yang menjadi
peluang bagi warga yang lain untuk mencari
tambahan rejeki. Bahkan, ada juga kadang kala
warga yang berjualan asongan di tengah sawah.
Maksudnya adalah mendatangi konsumennya
secara langsung, yakni para pangarun.
Di tengah indahnya kenikmatan suasana
kampungnya itu, entah mengapa Gadis yang sering
sekali terlihat mengenakan kerudung merah itu
teringat percakapannya dengan ibunya tadi
malam, khususnya mengenai sindiran ibunya
tentang dirinya yang sudah waktunya untuk hidup
berumah tangga. Tanpa ia tuani, ingatan itu
menggiring angannya kepada memori beberapa
tahun silam tentang pemuda yang sempat mengisi
relung hatinya, Abdul Salam.
Salam adalah seorang pemuda yang ia kenal di
acara halal bihalal mahasiswa Kalimantan Selatan
sewaktu masih menempuh kuliah di kota Yogya. Ia
adalah mahasiswa jurusan teknik di salah satu
perguruan tinggi di Yogya yang kala itu menjadi
ketua perhimpunan mahasiswa Amuntai, karena
Salam memang asli orang Hulu Sungai Utara
(Kabupaten).
Ingatan ini membawa Fatimah secara otomatis
kepada sebuah foto yang ia simpan secara rahasia
Kakamban Habang
29
di sebuah lembar halaman buku kuliahnya dulu.
Tanpa sadar, kini foto itu telah ada di tangannya.
Sebuah foto bergambarkan sekelompok pemuda-
pemudi yang berdiri berrjajar di depan sebuah
gedung bertuliskan “Asrama Mahasiswa
Kalimantan Selatan Pangeran Antasari
Yogyakarta”. Foto itu adalah foto kala ia masih
mahasiswa yang diambil di depan asrama Pantas
(singkatan dari Asrama Mahasiswa Kalimantan
Selatan Pangeran Antasari Yogyakarta) sewaktu
acara rapat pertanggungjawaban Persatuan
Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS)
Yogyakarta.
Mata Fatimah terhenti pada satu sosok pemuda
yang berdiri tegap, tegas, lugas, penuh percaya
diri, diiringi senyum hangat yang menandakan
kecerahan masa depannya. Pemuda yang ia
perhatikan itu tepat berdiri di belakang pemudi
yang beridiri setengah malu berhiaskan senyum
manis yang sangat memesona, pemudi yang tak
lain adalah dirinya. Foto itu diambil saat ia belum
begitu mengenal sosok pemuda yang beridiri di
belakangnya, yan tidak lain adalah Salam.
Ingatannya berjalan terus menerawang masa
silamnya. Mata Fatimah terpejam. Ia menarik
nafas panjang disertai senyum tipis dari bibirnya.
Hafiez Sofyani
30
Ia teringat kala Salam yang saat itu begitu
gamblang mendekati dirinya, tanpa basa-basi. Ia
teringat momen ketika Salam menyuruh Anggar,
kawan Salam mahasiswa dari Bengkulu untuk
menyerahkan sebuah surat yang sebenarnya lebih
tepat disebut secarik kertas kumal kepada dirinya.
Sebuah surat yang berisikan pesan singkat penuh
percaya diri
Merespon surat yang ia anggap tidak benar-benar
serius itu ia sempat acuh. Hingga akhirnya setiap
hari ia menerima surat yang lebih serius dari
Salam yang dititipkan pemuda itu melalui teman
se-kost Fatimah, Rahmah. Hingga akhirnya,
Fatimah menjadi merasa galau ketika tak ada
surat yang datang hari itu dari Salam. Saat itu ia
tak sadar bahwa ia terjebak oleh cintanya Salam.
Assalamu’alaikum Fatimah,
Aku ingin kenal lebih dekat dengan
dirimu...
Dari Salam, Mahasiswa Amuntai
Kakamban Habang
31
Cinta yang muncul karena terbiasa tanpa ia
niatkan.
Memori masa lalunya semakin panjang
menceritakan saat-saat bahagia itu. Saat dimana
ia mulai mengenal yang namanya cinta dan
merasakannya secara langsung. Saat dimana
ketika ingin makan, ia teringat pemuda itu. Ketika
belajar, ia teringat pemuda itu. ketika ingin tidur,
ia teringat lagi pemuda itu. Dan saat berangkat
kuliah, ia berharap melihat pemuda itu atau kalau
bisa bertemu dan berangkat kuliah bersama
pemuda itu.
Meski tak ada ungkapan cinta yang dikatakan, ia
merasakan bahwa hatinya dan hati Salam
menumbuhkan satu kepekaan yang terhubung.
Hingga ia teringat pada momen perpisahan itu.
tanpa ia sadari setetes bulir bening keluar dari
bilik matanya. Tidak tahu sedih atau apa yang
menyebabkan air mata itu memancar. Yang jelas,
ia merasakan keharuan kala ia harus merelakan
bahwa Salam telah dijodohkan oleh keluarganya
dengan gadis lain di Banjarmasin. Harunya
semakin menjadi.
Memorinya seakan menampakkan lembaran sedih
itu di hadapan matanya dalam skim dimana saat
Salam mendatangi dirinya di kost, lalu
Hafiez Sofyani
32
menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Pemuda
yang ia kenal tegas, lugas, dan penuh kepercayaan
diri itu rupanya kikuk di bawah perintah orang
tuanya. Fatimah berupaya tegar kala itu. Fatimah
memaklumkan kebaktian Salam kepada kedua
orang tuanya, dan itu memang sudah yang
sepatutunya. Fatimah mencoba memosisikan
bahwa Salam hanya menceritakan ia akan
dinikahkan, bukan menceritakan bahwa itu adalah
momen sedih karena mereka harus berpisah. Toh,
tidak ada ungkapan cinta secara langsung yang
pernah diungkapkan Salam kepada dirinya. Itu
artinya hingga saat inipun mereka bukan siapa-
siapa. Hanya sebatas muda-mudi yang menjalin
kekerabatan dan selanjutnya harus berpisah
karena salah seorangnya akan menikah. Hanya
itu... bisik Fatimah dalam hati mencoba
menenangkan hatinya, kala itu.
Namun, tak bisa disangkali, mulut bisa berkata
lain, bibir bisa tersenyum, tapi mata dan hati tak
mampu menutup kesedihan itu. Hingga, waktupun
terus bergulir meninggalkan masa lalu,
memosisikan cerita lama menjadi kenangan yang
hanya untuk diingat dan bukan untuk dikejar
kembali.
Kakamban Habang
33
Apapun yang terjadi di masa lalu, Fatimah benar-
benar menyadari bahwa kehidupan itu adalah hari
ini, saat ini, dan detik ini.
Fatimah menghapus aliran bening air matanya
yang membekas di pipinya. Ia mengembalikan foto
itu ke dalam buku dan meletakkannya kembali ke
tempatnya. Ia membuka jendela kamarnya lebar-
lebar, melepaskan semua masa lalu itu buyar
bersama terpaan angin musim kemarau yang
melintasi dirinya yang berdiri di depan jendela.
Fatimah merentangkan tangannya sambil
memejam. Angin yang terus bertiup seolah sangat
memahami perasaan gadis yang ingin membiarkan
masa lalunya itu pergi sejauh-jauhnya.
***
Hafiez Sofyani
34
Bagian 3
Sungai Biru
Hari ini adalah hari kedua Fatimah melihat
pemuda kurus tapi berbadan cukup tegap itu,
namun tidak untuk saling menatap. Fatimah
hanya melihat sosok itu dari balik tirai pintu
rumah. Dari teriakan abahnya kala memanggil
pemuda itu, kini ia ingat pemuda itu bernama
Japri. Iapun sebenarnya tak sengaja mendapati
kalau pemuda yang dimintai tolong abahnya untuk
menggiling padi di gudang Haji Amad itu ternyata
adalah pemuda yang menolongnya tempo lalu.
Dengan tingkah pura-pura ada keperluan, Fatimah
sepandang melintas di hadapan Japri yang sibuk
mengatur beberapa karung padi yang sudah
digiling menjadi beras itu masuk ke kindai12 yang
berada di samping rumah Haji Jamran.
Kehadiran Fatimah rupanya tersadari oleh Japri.
Sebesit perasaan gugup menyitir di hati Japri.
Pemuda asli Barabai itu melirikkan matanya diam-
diam ke arah Fatimah yang sudah terlanjur jauh
berlalu. Sayang, ia hanya memeroleh kibasan
kakamban habang gadis ranum itu, yang di tiup
12 Gudang padi
Kakamban Habang
35
angin sepoi, sedang wajahnya tertutup dibalik
kakambannya.
Meski tak melihat wajahnya, Japri cukup bahagia
bisa mendapati si kembang desa itu siang ini.
Ditambah lagi aroma wangi minyak harum dari
Fatimah yang tertinggal dihidungnya terasa
merasuk hingga ke relung jiwanya.
Baginya, rasanya ingin sekali Japri memanggil
Fatimah meski hanya berbisik, karena jika dengan
suara lantang, ia takut ketahuan abah sang gadis.
Tapi sayang, ia bahkan tak tahu nama puteri Haji
Jamran itu. Pikirannya sempat tertegun hingga ia
tak tahu harus memanggil dengan panggilan apa.
Fatimah masuk ke dalam rumah dan langsung
menuju kamarnya. Dari dalam bilik rahasianya itu,
entah kenapa ia merasa ada yang spesial hari ini.
Senyum di bibirnya cukup lama menghias wajah
cantiknya. Rasanya ia benar-benar bahagia. Tapi
karena alasan apa, ia tak tahu.
Dan ditengah sihir cinta yang kini mendatangi dua
insan itu, tiga buah mobil berhenti tepat di
halaman rumah Haji Jamran. Dari balik pintu,
keluar beberapa orang dengan pakaian rapi dan
harum. Diantara mereka ada yang nampak seperti
tuan guru (Kyai). Dengan wajah yang sumringah,
Hafiez Sofyani
36
Haji Jamran menyambut rombongan dan
mempersilakan semuanya untuk masuk ke dalam
rumah.
Hati Japri sempat bertanya siapa mereka. Tetapi
setelah tak sengaja mendengar sedikit percakapan
dari balik kindai padi yang tak jauh dari ruang
tamu rumah Haji Jamran, barulah ia mengerti
bahwa pembicaraan itu adalah sebuah pinangan.
Pinangan untuk siapa?. Sudah pasti itu pinangan
yang ditujukan kepada Fatimah. Ia yakin itu
karena anak Haji Jamran yang tinggal serumah
hanya tinggal Fatimah.
Memahami maksud kedatangan keluarga yang
nampak kaya itu, terduduk lesu lah Japri di atas
salah satu karung padi yang masih berada di luar
kindai. Ia melepas topi butut miliknya yang sedikit
sobek di bagian kanannya. Ada sebesit rasa
kecewa di hatinya. Sang bunga desa yang baru
saja melintas dihadapan, kini akan diambil orang.
Japri memandang ke langit yang nampak sangat
terik. Ia menghela nafas dan mencoba untuk
membesarkan hatinya. Lama tertegun. Di tengah
diam itu hatinya seolah berbisik, berusaha untuk
bercermin mengenai dirinya dan keluarga Fatimah.
Dan perasaan kecewa itupun berlalu dengan cepat.
Baginya, untuk apa juga ia harus menyesalkan
Kakamban Habang
37
Fatimah. Lagipula ia tidak memiliki hubungan
istimewa dan hal yang harus ia sesalkan dari
Fatimah. Bahkan Fatimah saja tidak mengenal
siapa dirinya.
Tiba-tiba saja Japri tertawa sendiri. Ia merasa geli
sendiri dengan dirinya dan perasaan hatinya
barusan. Ia kembali berpikir. Seandainya pun ia
menikahi Fatimah, ia pasti tak kan bahagia. Itu
karena Haji Jamran pasti menuntut ini dan itu
darinya.
“Orang kaya kadang gengsinya tinggi. Jadi
susah untuk dituruti kemauannya. Maunya
pakaian ber-merk, kendaraan yang bagus, ini yang
bagus, itu yang mahal, dan seterusnya dan
seterusnya…” gerutu Japri dalam hati. Lebih baik
ia hidup sederhana. Yang penting bisa
menyambung hidup. Itu saja sudah cukup, tak
perlu berlebihan, baginya.
Setelah beberapa menit berlalu, pekerjaan
Japri pun selesai. Semua karung nampak sudah
tersusun rapi di dalam kindai. Tapi para tamu
masih juga belum beranjak dari kediaman Haji
Jamran. Japri menunggu Haji Jamran selesai
dengan tamunya sambil duduk melepas lelah di
kursi kayu depan kindai. Japri menunggu haknya
untuk dipenuhi dari Haji Jamran.
Hafiez Sofyani
38
Tapi, tiba-tiba saja hatinya ditimpali rasa
penasaran yang begitu besar. Japri bangkit. Ia
mencoba memberanikan diri untuk mendekat
keujung teras rumah agar bisa mendengarkan isi
pembicaraan secara lebih jelas. Dan ketika ia
hampir sampai ke ujung teras, seluruh tamu itu
berjalan keluar dari balik pintu rumah. Wajah
Japri setengah kaget. Seketika ia memakai topinya
agar wajahnya tak terlihat. Ia merasa kucil jika
harus berhadapan dengan rombongan kaum
berada.
Japri menunduk. Salah satu dari mereka nampak
menanyakan tentang dirinya kepada Haji Jamran.
“Ooo.. ini Japri. Tukang angkut padi di
kampung ini. Barusan habis dari penggilingan padi
untuk menggilingkan padi milik saya beberapa
karung...” Jawab Haji Jamran sambil
memperkenalkan Japri kepada seluruh tamunya.
Ucapan Haji Jamran itu semakin mengucilkan
dirinya. Tapi ia tak perlu marah atau kesal. Karena
memang yang dikatakan Haji Jamran itu benar
adanya, ia adalah buruh tukang angkut padi.
Japri tak menghiraukan ucapan haji Jamran
tentang dirinya. Dibenaknya, pasti Haji Jamran
dan keluarga kaya tamunya itu sudah sepakat
Kakamban Habang
39
untuk mengawinkan puterinya dengan putera
keluarga kaya itu. Hal itu terlihat jelas dari raut
wajah mereka yang sama-sama berbinar.
Dan sejak hari itu, beredarlah di seantero
kampung bahwa Fatimah, puteri Haji Jamran,
akan segera menikah dengan seorang pemuda
kaya beserta jujuran dan mahar berupa uang tunai
satu milyar rupiah, di tambah emas putih 50 gram,
rumah beserta isinya, dan mobil mewah.
Saat Japri mendengar kabar itu dari pembicaraan
para warga di hampir semua warung subuh, hal
yang pertama menarik hatinya bukanlah jumlah
jujuran dan mahar yang akan diberikan kepada
bakal pengantian wanita. Melainkan, yang menjadi
perhatiannya adalah kini ia tahu nama puteri Haji
Jamran itu, “Fatimah”.
Sebelumnya ia tak pernah menanyakan nama
gadis itu kepada siapapun di kampung ini. Pemuda
kurus berkulit sawo matang yang kini lebih terlihat
agak hitam itu memang berperangai sangat
pemalu. Ia selalu menjaga tindak tanduknya agar
tidak berperilaku memalukan. Pun supaya dirinya
juga tidak mudah untuk dipermalukan. Ia adalah
pemuda yang senantiasa menjaga sikap dan
pembicaraan. “Banganga sabalum baucap” atau
“berpikir sebelum bicara”.
Hafiez Sofyani
40
Tidak hanya kampung Muara Durian. Rupanya
kabar itu juga sudah menyebar hingga ke penjuru
kecamatan dan beberapa kampung tetangga.
Memang, baru kali ini para warga mendengar ada
jujuran semahal itu. Bagi orang kampung sini,
jujuran dengan nilai sepuluh juta saja sudah
kemahalan. Apalagi dengan rupa-rupa begitu.
Maklumlah. Itu karena yang meminang memang
dari keluarga pengusaha intan yang kaya raya di
tanah Banjar.
Sayang, meriahnya pemberitaan yang saat ini
menyelimuti kampung mengenai kabar tentang
rencana pernikahan Fatimah dengan pemuda
bernama Riduan, putera kesayangan saudagar
intan itu tidak menjadikan sang pemilik diri
bahagia.
Sejak Fatimah tahu bahwa abahnya sudah
menerima pinangan keluarga Riduan, ia malah
bermurung murai. Itu karena hatinya tak bisa
mendusta bahwa ia tak mencintai pemuda yang
meminangnya itu. Menurutnya, abahnya menerima
pinangan itu secara sepihak. Ditambah lagi,
Fatimah merasa bahwa abahnya tidak adil dan
memperlakukannya semena-mena. Meski Haji
Jamran adalah abah kandungnya, tapi sikap
abahnya yang seolah menjual dirinya dengan
Kakamban Habang
41
mematok harga itu menjadikan Fatimah tidak
bahagia. Ia seperti dijadikan barang mewah yang
disimpan untuk dijual kepada orang lain yang
mampu membelinya. Ia merasa abahnya tidak
memperhatikan perasaan dirinya yang sebenarnya
tidak bahagia itu.
Apalah arti baginya semua harta melimpah jikalau
hati tak bahagia. Apa nasib meski berdipan emas
dan bercadar intan tapi tidur hanya berbantal
lengan?. Ia tak merasakan sedikitpun kebahagian
dari semua harta melimpah itu. Yang ia rasa hanya
gengsi, keangkuhan dan rasa ingin dipandang
sebagai orang yang berharta, padahal ia tak
menikmati sedikitpun kekayaannya itu.
***
Hari itu, Fatimah meneteskan air matanya sambil
terduduk di depan sebuah aliran sungai seorang
diri. Sungai biru, sebuah tempat yang
menghantarkannya kepada kenangan masa
kecilnya bersama abangnya, Hadri.
Sungai Biru. Tempat ini memang tempat favorit
Fatimah. Kala kecil dulu, ia sering bermain-main
di sini bersama abangnya, Hadri. Tempat yang
indah. Dari sini, ia bisa melihat begitu
menawannya pemandangan sawah yang dibelah
Hafiez Sofyani
42
menjadi dua oleh sebuah sungai kecil yang sangat
jernih. Sungai yang juga berfungsi sebagai irigasi
itu ia beri nama sungai biru. Itu karena saking
jernihnya air sungai itu hingga nampak berwarna
biru muda. Pinggir sungai itu nampak di tumbuhi
berbagai macam tanaman “tak bernama”, namun
memiliki bunga nan indah, berwarna-warni dan
memesona.
Di tengah sungai juga nampak teratai yang
berbunga tiga bulan sekali. Di sini banyak sekali
jenis ikan kecil yang bisa dipelihara sebagai ikan
hias di rumah, kelatau, biawan, darah manginang,
dan ikan lainnya yang unik. Di galangan sawah
juga terdapat banyak jenis burung yang numpang
tempat untuk bersarang, kawanan itik yang
senang sekali berenang, juga ikan-ikan yang boleh
dipancing seperti ikan Haruan, Sapat dan Papuyu.
Tempat kecil ini seolah surga bagi berbagai macam
makhluk hidup. Pesona sungai biru ditutup oleh
pemandangan Gunung Pelaihari yang dari sini
nampak kebiruan di lapisi mega cerah, anggun
yang menawan. Di sekeliling awan itu beterbangan
kawanan elang yang mencari makan.
Fatimah mencoba menenangkan dirinya di tempat
favoritnya ini yang berjarak tak jauh dari
rumahnya. Fatimah sendirian. Hanya berteman
Kakamban Habang
43
angin sendu dan kesedihan. Matanya basah.
Pandangannya tertuju pada kawanan itik yang
hidup bersama dengan bahagia, meski dengan
kehidupan yang seadanya. Dan tiba-tiba,
khayalnya melayang ke masa silam saat abangnya,
Hadri, meninggalkan rumah karena tidak tahan
dengan cacian dan penghinaan yang dilontarkan
oleh abahnya sendiri, Haji Jamran.
Persitiwa itu berawal ketika Hadri tak mau
menerima perjodohan dengan karib Abahnya yang
juga seorang pengusaha kain di Banjarmasin.
Hadri yang memiliki pendirian keras, akhirnya
pergi dengan kekasih pujaannya, Hafsah. Sejatinya
saat itu ia memihak abangnya, karena ia merasa
bahwa abangnya, Hadri, memiliki hak untuk
memilih, apalagi ia seorang laki-laki. Tapi
bagaimanapun juga, Haji Jamran adalah abah
kandungnya. Tak mungkin ia berseberangan
pendapat dengan abah kandungnya. Akhirnya
Fatimah hanya bisa diam.
Beberapa hari kemudian setelah kepergian Hadri,
ada satu surat yang Fatimah temukan di atas
tempat tidurnya yang mengatakan bahwa Hadri
tetap memilih jalan hidupnya dan pergi bersama
gadis pilihan hatinya. Hari itu tak ada satu
barangpun milik Hadri yang hilang dari rumah.
Hafiez Sofyani
44
Semua bajunya ada di lemari. Bahkan sepeda
motor miliknya tetap ada di dalam garasi. Itu
artinya, abangnya meninggalkan rumah tanpa
pamit juga tanpa harta. Hadri hanya membawa
baju di badan. Sungguh merana.
Peristiwa itu benar-benar memecah-belah
kerukunan keluarganya. Tapi sayang, tak
sedikitpun sifat abahnya itu berubah semenjak
peristiwa itu. Haji Jamran malah menyalahkan
Hadri terus-menerus, bahkan sampai hari ini.
Mengingat kenangan pahit itu rasanya hati
Fatimah benar-benar semakin remuk. Ia merasa
keluarga itik yang berenang dengan bahagia itu
memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari
dirinya dan keluarganya.
Selayang berlalu. Air matanya semakin deras
membasahi pipi. Ia terduduk di atas batang sambil
membiarkan kakinya berendam ke dalam sungai
yang membelai lembut dengan arusnya yang
tenang. Tarikan nafasnya terisak sesenggukan.
Saking sedihnya, sampai-sampai ia tak sadar
kalau seseorang sudah berdiri beberapa menit di
belakangnya dan memerhatikan tindak-tanduknya
sejak tadi.
Kakamban Habang
45
Tak lama, Fatimah tersadar. Kini ia melihat
bayangan seseorang yang berdiri dibelakangnya
itu. Ketika ia menoleh, wajah seseorang itu begitu
mantap ia kenal, Japri. Ia tak tahu kenapa Japri
ada di sini. Tapi, dari kehadiran pemuda itu, tak
dipungkiri ada sebesit rasa senang yang muncul,
khususnya ketika dapat melihat wajah tulus
pemuda kurus itu.
Sejenak, Fatimah mengeluarkan seiris senyum
tipis tanpa sadar menyambut kedatangan Japri.
Namun, tak lama pula, seketika Fatimah
membuang wajahnya dan cepat-cepat menghapus
air matanya.
Japri merespon sikap Fatimah itu dengan raut
wajah heran. Tapi, ia menyadari kalau Fatimah
baru saja selesai menangis. Hatinya bingung
apakah ia harus bertanya apa diam saja tentang
Fatimah yang baru saja ia dapati dalam kesedihan
itu. Dan rasa penasarannya itupun akhirnya
membuat pemuda pemalu itu memberanikan
dirinya untuk berkata.
“Anda habis menangis ya?” ucap Japri
dengan halus, diringi dahinya yang berkerut ragu.
Fatimah yang membelakangi Japri masih dengan
wajahnya yang membuang jauh dari Japri ke arah
Hafiez Sofyani
46
bukit karamaian di ujung sana. Ia seolah
mengisyaratkan kalau saat ini tak ingin diganggu.
Lagipula tak ada urusan antara dirinya dengan
pemuda yang belakangan sering membantu
abahnya menggiling padi itu.
Melihat sikap Fatimah yang dingin, Japri mulai
takut. Ia merasa telah bersalah karena berani-
beraninya bertanya tentang hal yang tak
seharusnya ia pertanyakan. Apalagi jika sadar
dengan siapa saat ini ia berbicara, maka Japri
benar-benar menjadi kecil hati. Japripun
memutuskan melangkah mundur dengan teratur.
Ia sudah merasa bersalah telah mengajak puteri
Haji Jamran yang tak lama lagi bakal menjadi istri
orang itu untuk berbicara.
Tak lama, Fatimah menoleh ke arah Japri yang
sudah berjalan beberapa langkah. Matanya masih
sayu. Entah kenapa rasanya hari ini ia ingin sekali
bicara dengan pemuda yang ia kenal sebagai Japri
si tukang gerobak di kampung Muara Durian itu.
Ia tahu Japri adalah orang yang hidup seadanya.
Tapi ia ingin tahu apakah Japri bahagia?. Atau
mungkin Japri memiliki keinginan menjadi kaya
dan hidup mewah supaya menjadi bahagia
sebagimana yang diinginkan kebanyakan orang?.
Kakamban Habang
47
“Kamu dari mana?” Fatimah membuka
wacana.
Japri menghentikan langkahnya sambil menoleh
ke belakang, ke arah Fatimah. Ia setengah tak
percaya puteri sang juragan itu mengajak dirinya
untuk bicara. Raut wajah setengah bingung.
“Ayo duduk di sini, Japri.... Namamu Japri
kan?” Lanjut Fatimah sambil menunjuk satu
tempat di samping tempat ia duduk. Japri masih
dengan wajah herannya.
“Ayooo…” ajak Fatimah mengulangi.
“I..iya, i..ya…” balas Japri terbata. Japri
mengambil duduk kira-kira tiga meter dari
Fatimah. Hatinya masih ragu untuk duduk
bersama Fatimah karena mereka hanya berduaan
di tempat ini. Japri menolah-noleh ke kiri dan ke
kanan karena was-was. Ia takut jikalau ada yang
melihat, tentu akan menjadi petaka besar bagi
dirinya, disamping memang menurut agama tidak
baik.
“Kenapa jauh sekali?. Ayo mendekatlah...”
ucap Fatimah yang sambil mengirim senyum
kepada dirinya.
Hafiez Sofyani
48
Japri tidak bersuara. Ia hanya menggelengkan
kepalanya pelan. Ia tak tahu harus berucap apa.
“Ya sudah, tak apa…” Balas Fatimah yang
semakin lebar melemparkan senyum karena
melihat tingkah laku Japri. Fatimah tak kuat
menahan tawanya, melihat kepolosan Japri.
Bahkan hingga terdengar suara tawanya yang
sedikit lepas namun tetap enak di lihat.. Dengan
hati heran, Japri berusaha ikut tersenyum dan
tertawa bersama Fatimah.
Dimatanya, mata gadis yang tengah basah itu
begitu anggun dan memesona. Bibir Fatimah yang
ranum, tatapannya yang sejenak saja teramati
olehnya tapi menyejukkan, dan suaranya yang
halus dan lembut menambahkan kesan betapa
cantik puteri Haji Jamran itu. tidak semata rupa,
tetapai pula bagaimana cara gadis itu berperangai.
Dan tiba-tiba, Fatimah berhenti tertawa secara
mendadak. Sontak, Japri langsung bingung dan
ikut menghentikan tawanya. Hatinya berbalik ciut.
Ia kembali merasa takut. Benaknya bertanya apa
Fatimah akan memarahinya karena sudah
mengganggu dirinya yang ingin menenangkan diri
di tempat ini?. Japri menunduk sambil
menolehkan matanya ke tempat lain.
Kakamban Habang
49
Di tengah ketertundukan Japri, Fatimah kembali
tersenyum sambil memandangi Japri lekat-lekat. Ia
mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Pemuda
yang saat ini ada didekatnya itu benar-benar unik
baginya. Rasanya setiap ia melihat wajah Japri,
ada keteduhan yang menyerta. Ia jadi teringat
ucapan gurunya saat masih sekolah di bangku
Madrasah Tsanawiyah dulu. “Ketika kamu melihat
wajah orang saleh, maka kamu akan segera
merasa ketentraman jiwa dan segera ingat pula
akan Tuhanmu yang Maha baik...”.
Entah dari riwayat siapa kata-kata itu, dan apa
pula benar pernyataan itu. Tapi, utuk saat ini, ia
merasa seakan-akan kalimat itu benar adanya.
Entah mengapa wajah yang tak begitu rupawan itu
benar-benar membawa keteduhan bagi dirinya.
Padahal wajah itu tak tersenyum, tak pula
bersuara. Hanya diam. Ya, cukup dengan hanya
diam ia sudah bisa merasakan keteduhan itu.
Dan percakapan itupun dimulai. Tak tahu karena
alasan apa, Fatimah merasa begitu nyaman
menceritakan semua perasaannya kepada Japri.
Tapi semua itu ia kunci dengan satu syarat. Jika
Japri menceritakan semua yang ia ceritakan, maka
Japri akan di sambar petir dan meninggal. Dan
Japripun, entah karena sihir apa dan darimana,
Hafiez Sofyani
50
mau-mau saja menerima persyaratan yang kurang
masuk akal itu dari Fatimah.
Japri hanya duduk dan berdiam sambil
mendengarkan semua celotehan Fatimah. Fatimah
bercerita sambil tanpa sadar tangannya mencabut-
cabut rumput kecil yang ada di sekitarnya duduk.
Sedang Japri, hanya kerap bertanya dan ingin
perincian mendalam dari cerita Fatimah. Ia tak
pernah berucap hal yang seakan menasihati dan
memberi pendapat bijak apapun dan memang itu
tak patut baginya karena ia menyadari pendidikan
Fatimah yang jauh lebih tinggi darinya. Karena
itulah Fatimah jadi merasa semakin sangat
nyaman untuk bercerita banyak hal. Hanya
dengan sikap dingin dan pendiam itu, Fatimah
seakan merasakan kebahagian yang melepaskan
beban pikirannya.
Fatimah merasa Japri benar-benar seakan
malaikat penolongnya. Dan semenjak itu, Japri
dan Fatimah sering bertemu di sungai Biru, karena
rupanya, memang tanpa disengaja, Sungai Biru
adalah jalan pintas yang sering di lalui Japri untuk
pulang.
Sampai satu masa, Fatimah mulai ingin tahu
tentang kehidupan pemuda misterius dan pemalu
itu. Tapi, sore itu Japri tidak datang di sungai Biru
Kakamban Habang
51
dan tak melewati jalan pintas yang biasa ia lalui
pulang. Tak tahu alasannya. Fatimah jua tak
memiliki sumber untuk ditanyai kemana Japri
pergi sehingga tak berkunjung sore ini ke sungai
Biru.
Ia juga tak mungkin menanyakan kepada warga
kampung dimana rumah Japri dan lalu
menyambanginya. Itu karena ia sangat sadar
bahwa seluruh warga mengetahui bahwa Fatimah
puteri Haji Jamran sudah di lamar orang dan
sebentar lagi akan menikah. Maka tak pantas
rasanya untuk bertamu ke rumah orang lain,
apalagi ke rumah seorang pemuda.
Hari itu, Fatimah hanya bisa terdiam seorang diri
di tepian sungai biru. Kali ini ia sudah tak
memiliki teman bicara lagi. Tanpa ia ketahui,
rupanya Japri ketahuan Haji Jamran telah
bertemu dengan Fatimah di sungai Biru, berdua
saja. Itu adalah hal yang tak seharusnya mereka
lakukan. Tapi karena sama-sama memiliki
ketertarikan rasa, akhirnya keduanya tak mampu
lagi untuk menahan gejolak rasa itu, hingga akal
sehatpun kadang terabaikan.
Setelah mendapat teguran itu, Japripun sadar
kalau yang ia lakukan itu memang keliru. Iapun
tak berani lagi menemui Fatimah. Apalagi jika
Hafiez Sofyani
52
teringat cacian dan makian yang keluar dari mulut
Haji Jamran. Rasanya tak terbesit lagi secuilpun
niat untuk menemui siapapun orang dari anggota
keluarga Haji Jamran. Ia sudah tak peduli lagi
dengan Fatimah. Apalagi Japri merasa ia jua tak
ada hubungan keluarga ataupun utang piutang
dengan keluarga itu. Jadi lebih baik ia menjauh
dan tak ingin lagi berurusan dengan kelurga Haji
Jamran.
Japri memang pemuda yang sedikit takut
mengambil risiko dan berupaya untuk menjauhi
risiko itu sejauh-jauhnya. Meski tanpa ia ketahui,
seorang gadis tengah duduk manis di tepi sungai
biru dan tengah lama menunggu kehadiran
dirinya.
****
Kakamban Habang
53
Bagian 4
Muhammad Japri
Pemuda yang tempo lalu menolong Fatimah itu
bernama lengkap Muhammad Japri. Namun warga
kampung sini lebih sering memanggilnya Iconk,
panggilan masa kecilnya dulu. Jika pembaca
pernah membaca novel Bulan Sabit di Langit
Burniau (Novel terdahulu penulis), tentu akan
kenal dengan tokoh Novel itu yang bernama
Rasyid. Japri, pemuda berusia dua puluh tiga
tahun itu adalah tetangga jauh yang masih
terhitung satu kampung dengan Rasyid. Mereka
sama-sama alumni Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Darul Huda (Setingkat Sekola Dasar) di desa Kayu
Bawang.
Jika Rasyid kuliah ke Malang, maka Japri saat ini
tercatat sebagai mahasiswa akhir yang hanya
tinggal menyelesaikan skripsi untuk meraih
sarjana. Ia kuliah di salah satu perguruan tinggi
islam di Banjarmasin. Namun, saat ini ia fakum
kuliah karena harus bating tulang demi
menghidupi ibunya yang sudah sangat renta di
rumah. Ia satu-satu tulang punggung dari
keluarga kecil, ia dan ibunya.
Hafiez Sofyani
54
Abahnya meninggal ketika ia masih Madrasah
Ibtidaiyah karena penyakit jantung. Untuk
menghidupi keluarga, ia bekerja sebagai buruh
tani dan penarik gerobak. Sesungguhnya ia adalah
anak yang pandai. Namun, karena masalah
ekonomi dan permasalahan hidup lainnya,
sekolahnya kerap terbengkalai. Salah satu
prestasinya dulu adalah juara lomba pidato bahasa
arab sekabupaten Banjar. Dulu ia pernah akan
dikirim untuk kuliah ke Timur Tengah. Namun
karena tak ada orang yang akan menemani dan
menghidupi ibunya sendiri di rumah, iapun
mengurungkan niatnya untuk mengambil
kesempatan itu.
Di kampung ini hampir tak ada yang tak
kenal dengan Japri. Selain karena warga sering
meminta bantuannya untuk menggiling padi, Japri
juga terkenal agamis dan hampir selalu hadir saat
salat berjamaah di masjid. Selain itu, ia juga
sangat pandai melantunkan ayat suci al-quran
sehingga ia diminta para warga untuk menjadi
guru ngaji anak-anak desa muara durian di Taman
Pendidikan Alquran (TPA) Al-Muhajirin.
Pemuda kurus itu sebenarnya bukan anak
kandung dari emmak yang tinggal bersamanya.
Emmak adalah pasangan suami istri bersama
Kakamban Habang
55
almarhum abahnya yang tidak dikaruniai seorang
anak. Karena sudah lebih dua puluh tahun
menikah namun tidak berketurunan, akhirnya
emmak dan abahnya mengangkat ia sebagai anak.
Sampai saat ini Japri tak tahu dimana dan siapa
orang tua kandungnya. Yang ia tahu hanyalah
bahwa ia sebenarnya adalah anak angkat.
Ketika abahnya meninggal, Japri dan emmak tidak
serta merta mendapat warisan sang abah. Yang
mendapat harta hanya emmak dan itupun hanya
sedikit. Itu karena mereka memang bukan orang
berada. Sisa warisan lainnya diambil oleh keluarga
almarhum abahnya yang datang tak lama setelah
abahnya meninggal.
Selain dari itu, tak ada yang lebih dari Japri.
Penampilannya, perawakannya, dan wajahnya
sangat biasa-biasa saja. Namun semenjak kabar
burung yang beredar mengenai dimarahinya Japri
oleh haji Jamran karena ada yang melaporkan
bahwa dua muda-mudi itu berduaan di sungai
biru, kini orang kampung banyak yang
membicarakan nama Japri.
Sebagaimana masyarakat kebanyakan, entah
kenapa urusan hidup orang lain itu begitu menarik
untuk dijadikan konsumsi publik dan bahan
berbincangan. Begitu pula yang terjadi di kampung
Hafiez Sofyani
56
Muara Durian. Ada yang menyimpulkan Japri tak
tahu diri dan tidak mengaca dengan kehidupannya
dan Fatimah. Ada pula yang tetap berprasangka
baik bahwa semua itu hanya salah paham.
Bagaimanapun isu itu beredar, yang jelas,
sejatinya yang tahu duduk persoalan adalah Japri
dan Fatimah.
Kita memang suka menyimpulkan tanpa
kecukupan bukti yang memadai. Begitulah kita
kini. Sebenarnya ada perih di hati Japri
mendengar perbincangan orang kampungnya yang
menyebut bahwa ia mencoba mendekati Fatimah
yang sudah di lamar orang. Meski tak terima, Ia
tak tahu harus berbuat apa. Yang kini ia lakukan
hanyalah diam dan menjauh dari kehidupan
keluarga haji Jamran. Ia ingin membuktikan
bahwa apa yang diomongkan orang adalah keliru.
Ia adalah orang yang mawas diri untuk berani-
berani mencintai putri haji Jamran. Ia bukan
pungguk yang merindukan bulan, tegasnya dalam
hati.
Dalam beberapa kesempatan dimana momen ia
harus bertemu Fatimah, Japri memilih untuk diam
dan mengambil jalan yang berbeda. Ada sebesit
kekecewaan di dalam hati Fatimah. Tapi ia takut
jua jika harus menyapa lebih dulu dan meminta
Kakamban Habang
57
perlakuan yang ramah dari Japri. Kala mereka
hampir bertemu di Masjid, Japri memilih
menunduk dan berlalu dengan cepat.
Fatimah, hanya dapat memantau sosok Japri dari
balik tirai yang memisahkan jamaah laki-laki dan
perempuan di masjid saat mereka berdua sama-
sama salat maghrib berjamaah di masjid
kampungnya.
Bagi Fatimah, perlakuan dari Japri yang demikian
kian membuat hubungan mereka semakin
berjarak. Muda-mudi itu seolah dua orang yang
tak saling kenal dan tak pernah bertemu.
Pertemuan mereka di sungai biru yang pernah
akrab dalam serangkaian cerita curahan hati,
seolah kejadian di alam lain yang tidak benar-
benar terjadi. Japri benar-benar bersikap
sebagaimana seharusnya meski Fatimah memiliki
keinginan sekedar bertegur sapa dengannya.
***
Hafiez Sofyani
58
Bagian 5
Fakta sebelum pernikahan
Sore itu tak sengaja ia melihat Fatimah berlari dari
balik pintu taksi yang mengantarkannya hingga ke
depan rumah. Meski hanya sekilas, ia yakin
Fatimah sedang berada di puncak amarah. Tak
lama berselang, sebuah mobil Fortuner hitam
datang menyambangi rumah Fatimah. Rupanya
mobil itu sudah mengikuti taksi yang Fatimah
tumpangi dari tadi. Dari balik pintu mobil hitam
itu keluar seorang pemuda tinggi, berbadan cukup
tegap, dan berwajah rupawan. Gerai bajunya yang
parlente menegaskan bahwa pemuda itu dari
kalangan berada.
Lelaki itu berjalan agak cepat dan segera masuk ke
dalam rumah Fatimah dengan gelagat tak sabar.
Karena penasaran sekaligus khawatir sesuatu
akan terjadi, Japri menghentikan langkah kakinya
yang tengah menarik gerobak. Sesaat lamanya,
pemuda yang mengikuti langkah Fatimah itu
keluar dengan wajah kecewanya. Saat itu Fatimah
sudah berdiri di depan pintu dan siap mengusir
pemuda itu dengan sebilah sapu lidi di tangan
kanannya. Melihat sosok Fatimah, Japri segera
Kakamban Habang
59
membenarkan letak topinya dan menunduk sambil
mengambil langkah cepat untuk berlalu.
Tak sengaja Fatimah mendapati Japri. Gadis itu
segera diselimuti perasaan malu karena Japri telah
melihat kejelakan yang ada di dirinya. Tapi
emosinya memang sudah tak dapat di kontrol lagi.
Bagaimana tidak. Lelaki yang satu bulan lalu
datang ke rumahnya bersama rombongan keluarga
terhormatnya itu ia dapati tengah makan siang
dengan perempuan lain di sebuah rumah makan
yang tak sengaja ia sambangi di kota Banjarmasin.
Awalnya ia mengira Riduan adalah lelaki kurang
ajar yang mempermainkan perasaan perempuan.
Tetapi setelah ia mendengar penjelasan Riduan,
berbaliklah rasa kecewa itu tertuju pada abahnya
sendiri. Pasalnya, gadis yang saat itu bersama
Riduan memang istri dari pemuda itu. Dan
pinangan Riduan untuk Fatimah itu memang
pinangan sebagai istri kedua bagi Riduan.
Sebagai seorang muslimah, ia tidak
mengharamkan ada laki-laki yang memiliki istri
lebih dari satu. Tapi sebagai seorang perempuan,
ia tidak bisa menerima jika ternyata calon
suaminya itu sudah beristri. Ia kecewa karena
abahnya tidak menceritakan hal itu sebelumnya.
Hatinya terasayat. Ia sangat kecewa. Ia bukan
Hafiez Sofyani
60
seorang perempuan berhati baja yang mampu
menerima kenyataan dengan ikhlas dan tulus
seperti para nabi dan rasul. Ia merasa bahwa
dirinya hanyalah gadis biasa yang memiliki
perasaan sangat halus.
Fatimah segera menemui abahnya. Ia mencoba
membicarakan duduk permasalahan yang dihadapi
secara baik-baik. Dari pengungkapan abahnya,
rupanya Haji Jamran juga tidak mengetahui
perihal bahwa Riduan sudah beristri itu. Namun,
keputusan yang lebih pahit harus diterima
Fatimah. Karena merasa malu kalau anaknya batal
menikah sedang kabar meriahnya pesta
perkawinan sudah terlanjur tersebar ke sepenjuru
kampung dan kecamatan, mahalnya jujuran dan
mahar juga sudah diketahui semua orang,
undangan pula sudah disebar, Haji Jamran
mencoba mencari pembenaran diri.
“Memangnya apa salahnya kalau Riduan
sudah beristri?. Bukankah agama kita juga
membolehkan seorang lelaki beristri lebih dari
satu, bahkan empat? Tak ada yang salah Fatimah.”
Ucap abahnya.
Mendengar ucapan abahnya itu Fatimah tak kuasa
menahan tangisnya. Kakinya terasa lunglai. Ia
benar-benar mengerti sekarang bahwa abahnya
Kakamban Habang
61
memang tak pernah memedulikan perasaan anak-
anaknya. Pantas saja abangnya pergi dan tak
kembali. Mungkin abangnya Hadri itu sudah
bahagia dengan perempuan yang kini menjadi
istrinya, walaupun hidup dengan rezeki yang
seadanya, pikirnya.
Wajah Fatimah mulai basah. Air matanya tak
kuasa ia bendung. Ia lari ke dalam kamar. Dari
belakang ibunya mengkuti langkahnya. Sebelum
masuk kamar tadi pekikan tangisnya sempat
pecah walau terdengar samar.
Fatimah membenamkan wajahnya ke dalam
bantal. Ibunya mencoba untuk memberikan
pengertian kepada Fatimah kalau tidak ada yang
salah dan harus di anggap malu jika menjadi istri
kedua. Apalagi orang-orang kampung juga tidak
bakal tahu kalau dirinya akan menjadi istri kedua
Riduan. Orang kampung tak ada yang tahu siapa
Riduan. Dan setelah menikah, Fatimah juga tak
akan lagi terlihat di kampung Muara Durian. Ia
akan dibawa ke kediaman keluarga Riduan. Jadi
semuanya akan baik-baik saja, ucap ibunya
mencoba memberi penjelasan meski sejatinya
ibunya juga tak sependapat dengan keinginan
suaminya, Haji Jamran. Tapi sebagai seorang istri,
ia tak berani menentang kehendak suaminya.
Hafiez Sofyani
62
“Ibu tak mengerti perasaan Fatimah…” lirih
Fatimah, wajahnya masih berkucuran air mata.
“Ibu tak tahu bagaimana sakitnya menjadi
manusia yang diperlakukan seperti barang
investasi, yangmana setiap rupiah yang
dikeluarkan abah harus diganti dengan jujuran
bagi siapa yang ingin menikahi Fatimah. “
“Harta kekayaan tak kan mampu
membahagiakan Fatimah, Ibu... Lihatlah Bang
Hadri, harusnya abah sudah belajar dari
kesalahannya di tempo lalu. Abah harusnya
mengerti bahwa cinta tak dapat dibeli dengan emas
setumpuk gunung. Kebahagian tidak dapat ditukar
dengan istana sebesar pulau.
“Fatimah juga heran, kenapa abah mematok
jujuran yang begitu mahal bagi siapa yang ingin
mempersunting puterinya?. Apakah jujuran
menurut urang bahari13 itu seperti yang ada dalam
pikiran abah?, Fatimah tidak begitu faham tentang
itu, tapi Fatimah yakin hakikat jujuran tidak
seperti itu ibu.”
“Pantaslah jika kawan-kawan Fatimah di
Jogja dulu selalu mempertanyakan kepada
13 Orang zaman dulu
Kakamban Habang
63
Fatimah “apa benar di Banjarmasin itu anak
perempuannya dihargai dengan harga tertentu jika
ingin dilamar?”
“Fatimah tidak faham tentang pertanyaan
itu. Tapi apa yang Fatimah alami sekarang barulah
Fatimah mengerti makna pertanyaan itu. Anak
perempuan memang dinilai dengan harga mahal
jika ia sekolah tinggi dan berbudi baik.”
“Fatimah tidak mau menikah dengan Riduan
Ibu….” Tegas Fatimah. Kalimat terakhirnya itu
bernada sedikit keras beriring suara parau payat.
Sejatinya ia adalah gadis yang sangat halus dan
selalu berbicara lebih pelan dari orang yang lebih
tua. Tapi kali ini amarahnya sudah menguasai
dirinya. Ia tak mampu lagi untuk mengontrol
emosinya.
Ibunya nampak begitu terharu. Ibunya hanya bisa
diam. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan
Fatimah. Itu karena dulu ia juga pernah
menghadapi saat-saat ibu kandungnya sendiri,
nenek Fatimah dimadu oleh abahnya. Ia begitu
jelas melihat kesedihan dan ketidak kuasaan
ibunya kala itu menahan sakit hatinya yang
mendalam. Ia hanya bisa terdiam. Bersama dengan
Haji Jamran, suaminya, ia hanya bisa berkata
Hafiez Sofyani
64
“iya”. Di kampung ini, Haji Jamran terkenal
dengan orang yang tak mau kalah. Padahal, ketika
dulu ia bertemu dengan Jamran muda, perangai
Jamran kala itu sangat baik. Sifatnya lembut.
Hampir setiap salat Fardhu ia menjadi muadzin di
masjid Muara Durian.
Dan perubahan itu datang ketika ia mendapatkan
warisan dan kesuksesan bisnis. Perilakunya
menjadi berubah drastis. Bahkan hari ini, Jamran
bukanlah sebagaimana Jamran yang ia kenal dulu.
Ia tak tahu rupanya harta dan kekayaan yang
melimpah telah menjadikan Jamran berhati batu
dan buta mana yang baik dan buruk.
Tiba-tiba, Haji Jamran ikut masuk ke dalam kamar
Fatimah. Barusan ia mendengar ucapan Fatimah
yang mengatakan kalau dirinya tidak mau
menikah dengan Riduan. Wajah Haji Jamran
geram.
“Fatimah, apa maksudmu berkata demikian?
Apa maksudmu berkata tidak ingin menikah
dengan Riduan?” Wajah Haji Jamran geram.
Ibunya Fatimah semakin tak kuasa menahan air
matanya. Ia memegangi pundak Fatimah yang dari
tadi terkulai tak berdaya di atas tempat tidur
sambil memeluk bantal.
Kakamban Habang
65
“Hari pernikahan tinggal satu minggu. Kau
akan mempermalukan keluarga ini jika
membatalkan pernikahan dengan Riduan. Apalagi
orang kampung sudah menerima undangan dan
mengetahui kemeriahan dan kemewahan
pernikahanmu kelak.
“Abah tidak akan mengizinkanmu
membatalkan menikah dengan Riduan. Meskipun
kau lari seperti Hadri, kau tidak akan bisa lari dari
tali pernikahan. Karena kau adalah perempuan.
Jadi meski kau tak mau, abah berhak
menikahkanmu dengan siapapun.” Tegas Haji
Jamran.
Fatimah semakin menangis. Hati gadis itu rasanya
bagai ditusuk oleh jarum beracun. Ia tak menduga
abahnya akan bersikap demikian. Mungkin
amarah haji Jamran pecah akibat tumpukan
amarah, yakni pertemuannya dengan Japri di
sungai biru yang belum terlampiaskan kemudian
ditambah tingkah Fatimah yang berani
menentangnya.
Fatimah jadi teringat, dulu, ketika ia berangkat
untuk menempuh kuliah di Jogja, abahnya tidak
pernah bersikap demikian. Ia heran kenapa setelah
tujuh tahun ia sekolah di Jogja, abahnya tiba-tiba
berubah sangat jauh berbeda.
Hafiez Sofyani
66
Fatimah semakin tertekan. Ibunya hanya bisa
membelai pundak Fatimah dengan lembut,
berusaha membesarkan hati puterinya. Ia juga
sudah tak tahu harus berucap apa. Ia berada
dalam keadaan bak buah simalakama.
Kepala Fatimah terasa pusing. Perutnya menjadi
mual seketika. Pandangannya kabur dan tak
karuan. Seketika Fatimah lunglai dan tak
sadarkan diri. Gadis itu benar-benar menahan
tekanan yang begitu dahsyat atas kehendak dari
orang tua kandungnya sendiri.
***
Kakamban Habang
67
Bagian 6
Sepucuk Surat
Pagi itu seorang perempuan, mungkin berusia
lebih tua darinya, datang ke rumahnya. Wajah
perempuan itu memang terasa tak asing baginya,
tapi ia tak tahu nama perempuan itu. Yang ia tahu
hanyalah bahwa perempuan itu orang yang sering
ia lihat bantu-bantu di warung pagi Julak Sulai.
Kalau kedatangan perempuan itu untuk menagih
hutang kepadanya, maka ia merasa kalau dirinya
tak punya hutang di warung Julak Sulai, ucap isi
hatinya menyambut kedatangan perempuan yang
hanya mengenakan dastar dan kerudung coklat
lusuhnya itu. Lalu, apa gerangan hal yang
membawa perempuan itu datang ke kediamannya
yang terpencil ini? Gumamnya menanya.
Tanpa mengucap salam sebagaimana kebiasaan
orang sini ketika bertamu, perempuan itupun
menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Wajah
perempuan itu begitu dingin serta memperlihatkan
raut khawatir.
Japri terbingung-bingung. Tak seperti biasanya ia
menerima surat.
Hafiez Sofyani
68
“Surat dari siapa?” tanyanya kepada
perempuan itu.
Perempuan itu menolah-noleh ke kanan dan ke
kiri. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah Japri,
sambil berbisik pelan “ surat itu dari Fatimah...”.
“Fatimah???” gumam Japri. Ia menghela
nafasnya. Wajah bingungnya berubah menjadi
wajah penasaran yang teramat sangat. Namun,
setengah rasa khawatir menelisik masuk ke dalam
hatinya. Ia takut kalau harus berurusan macam-
macam lagi dengan Haji Jamran.
Memorinya tergugah. Ia teringat kejadian sore
seminggu yang lalu.
“Apa Fatimah marah karena aku melihat
dirinya tengah bersama calon suaminya itu?”
Tanya japri dalam hati.
Setelah Japri mengucapkan terima kasih
kepadanya, perempuan itu cepat-cepat menjauh
dari kediaman Japri dengan setengah baerlari
sambil menyingsing dastar merah kusam yang
dikenakannya.
Setelah menutup pintu, Japri cepat-cepat
membuka dan membaca isi surat itu.
Kakamban Habang
69
Assalamu’alaikum Japri,
Aku yakin kau pasti terkejut menerima surat ini
dariku…
Japri,... aku tak tahu kenapa kau tak lagi muncul
di sungai biru. Aku tak tahu apa kau benci
kepadaku atau kepada keluargaku. Aku juga tak
mengerti kenapa kau begitu dingin bersikap
denganku. Seolah kita tak pernah sekalipun jumpa.
Aku memang tak memiliki hak untuk memaksamu
beramah-ramah kepadaku. Tapi, karena ketidak
munculanmu itu, dan karena dinginnya sikapmu
padaku, aku tak lagi memiliki teman untuk diajak
berbicara dan bersenda gurau.
Japri,... aku ingin mengatakan kalau entah
mengapa setiap aku bersamamu aku merasa senang
dan tenang. Satu hal yang tak pernah kualami
dengan siapapun bahkan dengan orang tuaku
sendiri...
Aku merasa terhibur jika ada kamu.. Aku merasa
ceria kembali jika melihat dirimu yang apa adanya
itu. Aku suka dengan kepribadian yang kamu
miliki...
Hafiez Sofyani
70
Japri, sesungguhnya aku ingin menceritakan apa
yang terjadi tempo hari saat kau mendapatiku
tengah dikuasai amarah atas lelaki itu.
Tak perlu ku jelaskan, aku yakin kau pun sudah
mengetahui perihal rencana pernikahanku minggu
depan. Undangan sudah di sebar dan kabar juga
sudah tersiar tentang mewahnya pernikahan itu.
Meski dengan cara seperti itu, aku merasa semua
itu bukanlah hal yang membahagiakan. Apalagi
belakangan aku tahu kalau ternyata calon suamiku
itu sudah beristri. Pinangan kepadaku adalah untuk
menjadikanku sebagai istri kedua.
Yang lebih memilukan lagi, ternyata abah juga tak
tahu kalau pinangan kepadaku itu adalah untuk
menjadikanku sebagai istri yang kedua. Tapi abah
sudah terlanjur setuju dengan pernikahan ini. Ia
gengsi dan malu jika harus membatalkan pernikahan
mewah yang disertai jujuran dan mahar mahal itu.
Aku tak tahu apa yang ada di dalam benak abah
sehingga ia tetap memaksaku untuk menikah minggu
depan.
Japri,.... saat kau membaca surat ini, aku sudah
tak lagi tidur di rumah. Aku kabur ke rumah
temanku di kayu Tangi. Jika kau bersedia, aku
Kakamban Habang
71
ingin bertemu denganmu. Aku ingin menyampaikan
satu hal penting kepada dirimu. Mudah-mudahan
kamu bersedia menerima permintaanku ini.
Kutunggu kau jum’at sore di sungai Biru...
Tertanda,
Siti Fatimah
***
Dan sebagaimana permintaan Fatimah, Japri
memenuhi untuk datang menemui Fatimah hari
ini di Sungai Biru. Sebelumnya, pemuda itu
mengalami pergolakan batin apakah memenuhi
permintaan pertemuan ini atau tidak. Namun, ia
tak memungkiri hati kecilnya yang seakan berkata
iya pada permintaan puteri Haji Jamran itu.
bisikan tulus yang akhirnya tak kuasa untuk
menolak gerak langkah kakinya berjalan menuju
sungai biru.
Pemuda itu berjalan dengan mengendap-endap.
Hatinya masih setengah yakin. Ia takut hal ini
ketahuan Haji Jamran. Ia merasa bahwa ini adalah
hal aneh baginya. Ia merasa tak ada urusan
dengan anggota keluarga Haji Jamran terkait
masalah pernikahan Fatimah. Tapi entah kenapa
Hafiez Sofyani
72
setiap permintaan gadis anggun bernama Fatimah
itu, ia selalu tak kuasa untuk menolaknya.
Dan seorang gadis mengenakan kakamban habang
sudah duduk menanti dirinya di ujung batang
sambil membiarkan kakinya masuk ke dalam
sungai biru.
Japri datang dari belakang. Kedatangan japri
rupanya sudah diketahui oleh Fatimah. Seketika
gadis itu menoleh ke arah Japri. Japri hanya diam
dengan memasang wajah heran kenapa ia diminta
untuk menemui Fatimah di tempat ini. Gelagat
Japri mengisyaratkan kalau ia tak ingin berlama-
lama.
Tanpa basa-basi dan tanpa kalimat pembuka,
Fatimah langsung melontarkan sebuah
permintaan.
“Japri, maukah kau menikah denganku???”
tandas Fatimah, matanya berbinar.
Mendengar permintaan Fatimah barusan seketika
Japri memperlihatkan wajah keterkejutannya.
Wajahnya melongo. Alisnya mengangkat sebelah.
Jari telunjuk kanannya menempel ke dadanya
sendiri.
Kakamban Habang
73
“A..apa? kau mau menikah denganku?”
balas Japri terbata-bata.
“Ya Japri…” mata Fatimah semakin berkaca-
kaca. “Ya, aku ingin kau menikahiku, Japri…”
lanjut Fatimah sambil mencoba tersenyum.
Ucapan Fatimah barusan itupun semakin
menguatkan kebingungan Japri.
Setelah lama terdiam, Japri membuka suara.
“Ti.. tidak Fatimah… ja.. jangan.. aku tak
pernah berpikir menikah denganmu… apa yang
kau pikirkan Fatimah?. Kau sudah di pinang orang
dan keluargamu menerimanya. Sebentar lagi kau
akan menikah dengan orang lain dan tak ada lagi
yang berhak meminangmu secara agama.” Balas
Japri.
Baginya, baru kali ini Fatimah mendengar pemuda
itu berbicara tegas. Fatimah membuang
pandangannya dari wajah Japri. Ia kecewa dengan
jawaban Japri. Ia kira Japri adalah salah seorang
pemuda yang diam-diam menyimpan rasa kepada
dirinya seperti kebanyakan pemuda kampung ini.
Tapi rupanya firasat Fatimah itu salah. Fatimah
mulai merasa bahwa Japri memang bukan seperti
Hafiez Sofyani
74
pemuda kebanyakan. Ia rasa Japri memang tidak
mencintai dirinya.
“Tapi aku tidak mencintainya Japri… aku
tak mau menikah dengannya…” Fatimah
tertunduk.
Japri hanya diam. Ia tak berani menatap ke arah
Fatimah. Ada hening yang panjang. Mereka berdua
terdiam membiarkan angin musim kemarau itu
terus berhembus mengibarkan halungan
kakamban habang yang Fatimah kenakan
seadanya. Tak sengaja kakamban Fatimah jatuh
menghalung ke lehernya. Kini rambutnya sudah
tak tertutup apa-apa lagi. Fatimah hanya diam
membiarkan.
Tak sengaja Japri melirik ke wajah Fatimah yang
sudah ditinggal pergi kerudungnya. Bekas air
matanya yang setengah kering nampak cukup jelas
di mata Japri. Tak ia pungkiri, gadis di
hadapannya itu memang begitu memesona bahkan
saat kerudung gadis itu terlepas dari tempat
seharusnya. Fatimah beberapa kali menghapus air
matanya dengan tangannya sendiri. Japri
menjauhkan pandangannya. Ia khawatir ada
perasaan lain yang datang.
Kakamban Habang
75
“Lalu, apa kau mencintaiku?” lirih Japri
sekenanya. Lirih yang masih terdengar oleh telinga
Fatimah itu menghentikan isak tangis yang dari
tadi menghiasi wajah ranum Fatimah. Fatimah
hanya diam. Dalam hatinya iya menjawab,
“Mungkin… mungkin aku jatuh hati padamu
Japri.”.
Tapi sayang, Japri bukan manusia kasyaf yang
mendengar isi hati seseorang. Ia tak tahu kalau
Fatimah memiliki perasaan yang berbeda kepada
dirinya.
Di tengah pembicaraan antara Japri dan Fatimah
itu, rupanya seseorang telah membuntuti mereka.
Dan tak lama kemudian, beberapa warga kampung
datang menghampiri mereka lengkap di sertai
kedatangan Haji Jamran.
Japri dan Fatimah sama-sama terkejut. Fatimah
tak menduga kalau pertemuannya dengan Japri di
Sungai Biru akan diketahui oleh orang lain.
Sedangkan Japri, berpikir apa yang ia takutkan
akhirnya terjadi juga, yakni pertemuannya dengan
Fatimah diketahui oleh Haji Jamran. Padahal, ia
sudah berjanji dengan Haji Jamran dan diri sendiri
untuk tidak menemui Fatimah lagi.
Hafiez Sofyani
76
Haji Jamran, abah Fatimah nampak
memperlihatkan raut kemarahannya. Ia segera
menyuruh orang kampung menangkap Fatimah
dan membawanya pulang ke rumah. Kini tatapan
Haji Jamran hanya tertuju kepada satu wajah,
yaitu Japri.
“Ooo.. jadi kau rupanya yang menjadi
penyebab Fatimah lari dari rumah, ya!!!!???.”
Ungkap Haji Jamran.
Japri bingung. Ia tak mengerti maksud ucapan
Haji Jamran. Ia mengira bukankah Fatimah lari
dari rumah karena tak tahan dengan sikap Haji
Jamran selaku abah kandungnya sendiri?.
“Japri… bukankah sudah aku peringatkan
kau untuk tidak menemui Fatimah lagi di tempat
ini.... berduaan pula?. Bukankah itu tidak boleh
menurut agama kita ada laki-laki dan perempuan
berduaan di tempat sepi, Japri?.” Bentak Haji
Jamran, tangannya mengepal geram.
Japri tertunduk. Ia tak bisa berkata apapun. Itu
karena ia merasa dirinya memang bersalah.
Pertama, karena ia berduaan dengan bukan
muhrim di tempat sepi. Dan yang kedua, karena ia
telah menemui Fatimah padahal ia telah berjanji
Kakamban Habang
77
kepada Haji Jamran untuk tidak menemui
Fatimah lagi.
“Dulu aku begitu memercaimu Japri. Dulu
aku menyukaimu sebagai pemuda kampung sini
yang saleh dan taat. Tetapi sekarang, semua itu
telah sirna. Tuhan telah memperlihatkanku betapa
busuknya dirimu, Japri…” Ucap Haji Jamran.
Sekali lagi Japri tak berkutik. Perasaannya campur
aduk. Ia benar-benar menyesal telah memenuhi
permintaan Fatimah tanpa memikirkan risiko yang
akan ia terima. Sayang, itu semua telah terlambat.
“Kali ini kau kembali ku maafkan Japri. Tapi
kalau suatu saat kau berulah lagi, aku tidak akan
mengampunimu… ” ancam Haji Jamran.
“Dan satu hal. Ini adalah sesuatu yang
sebenarnya tak ingin aku ucapkan. Tapi hari ini
aku harus mengatakannya, wahai Japri.” Ucap
Haji Jamran dengan senyum sinis menatap Japri
yang tengah tertunduk dengan penyesalan
perbuatannya.
“Japri... jika kau mencintai Fatimah, maka
bercerminlah siapa dirimu dan siapa Fatimah.
Bukankah kau sudah tahu Fatimah akan segera
Hafiez Sofyani
78
menikah dan kau juga tahu berapa jujuran serta
maharnya nanti?” Lanjut Haji Jamran mengejek.
Japri hanya tertunduk sambil membenarkan letak
topi butunya. Rasanya keberaniannya tak bersisa
secuilpun di hadapan Haji Jamran. Tatap mata
warga kampung yang yang hadir saat itu semakin
menenggelamkan Japri dalam kesalahannya
sendiri.
Pikirannya semakin campur aduk. Kalimat terakhir
yang diucapkan Haji Jamran benar-benar
menginjak-injak harga dirinya, meskipun apa yang
dikatakan Haji Jamran itu benar.
Dan ketika itu pula, keberanian hati dari pemuda
kurus itupun muncul.
Dengan lantang, iapun berkata,
“Pak Haji Jamran yang terhormat..!!??!!...”
Haji Jamran yang tadinya sudah berbalik dan akan
meninggalkan Japri bersama warga kampungpun
tersentak dan kembali berbalik.
“Saya katakan satu hal kepada Anda di sini
dengan saksi semua yang hadir di tempat ini....
Saya Japri, seorang penarik gerobak di kampung
ini memang benar adalah pemuda dari keluarga
Kakamban Habang
79
miskin yang hina di mata orang kaya seperti
Anda... Tetapi saya..... tidak pernah bermimpi
apalagi berniat.... untuk mencintai puteri Anda,
Fatimah. Apalagi bermaksud menikahinya. Ingat
baik-baik itu Pak Haji Jamran….” Balas Japri yang
sudah terlanjur berada di puncak amarah kepada
Haji Jamran, sebelum akhirnya ia berbalik dan
meninggalkan Haji Jamran di tempat itu.
Haji Jamran membalas ucapan Japri dengan
tersenyum sinis. Sepanjang jalan ia mengumpat
Japri dan membicarakan kejelekan Japri kepada
warga kampung. Ia berjanji, dalam pesta
perkawinan puterinya nanti semua warga
kampung akan ia undang, kecuali Japri dan
ibunya.
Japri masih dengan amarahnya. Penyesalan,
kekecewaan, dan kemarahan bergumul di dalam
benaknya menjadi satu. Air matanya menetes
seketika. Bibir dan hatinya berulang kali
mengucapkan istighfar... dalam keterpojokannya
dengan perasaan, setengah sadar bibirnya berucap
lirih...” Ya Allah, apakah yang sebenarnya engkau
hendaki dari hambamu yang hina ni...???”
***
Hafiez Sofyani
80
Bagian 7
Sebuah Tragedi
Semenjak pertemuan terakhirnya dengan Japri di
sungai Biru, Fatimah tak lagi diberi izin oleh
abahnya untuk keluar rumah. Sudah beberapa
hari ini ia “dikurung”. Fatimah merasa benar-
benar seperti burung dalam sangkar yang tak bisa
pergi kemana-mana. Ditambah lagi, perasaannya
kini kian sedih. Ia serasa sudah patah arang.
Kemarin sore ia mencoba memberanikan diri
untuk mengutarakan perasaannya terhadap Japri
kepada abahnya. Ia berkata sejujur-jujurnya kalau
ia menyukai Japri dan jatuh cinta kepada Japri.
Namun mendengar ucapan Fatimah itu, Haji
Jamran membentak Fatimah dan berkata tegas
kalau Japri tidak mencintainya. Fatimah balas
tidak percaya. Tetapi abahnya itu memang tak
pernah bohong kepada dirinya.
“Kalau kau tidak percaya, tanyalah kepada
Saiful yang kemarin juga mendengar perkataan
Japri yang megatakan bahwa ia tidak mencintaimu
dan tak ada sedikitpun rasa kepadamu apalagi
ingin menikahimu..!!” Tegas Haji Jamran.
Kakamban Habang
81
“Lupakan pemuda miskin itu...!! sebentar
lagi kau menjadi istri pengusaha Fatimah…!!”
lanjut abahnya.
Beberapa hari ini Fatimah hanya duduk melamun
di depan jendela berterali kayu. Air matanya terus
membasahi pipinya. Ia tak kuasa untuk pergi
kemanapun. Ia benar-benar dikurung dan dikunci
di dalam kamarnya seorang diri.
Beberapa hari terasa berat baginya. Badannya
kurus. Matanya lembab karena sering menangis. Ia
jarang sekalimakan. Raut wajah muram. Garis
matanya menandakan kalau ia dalam
ketertekanan yang teramat sangat. Girah hidupnya
telah redup. Hari-hari hanya ia lalui dengan
murung tanpa semangat.
***
Malam itu, seluruh warga berlarian ke sana kemari
sambil berteriak-teriak panik.
“Kebakaraaaaannn…kebakaraaaannn…keba
karaannnn… !!!??!!!”
Sebuah kebakaran telah terjadi. Sontak Japri yang
juga selaku warga kampung merasa bertanggung-
jawab atas yang menimpa warga kampungnya itu.
Hafiez Sofyani
82
Sejurus, ia berangkat dari rumah, berlari menuju
cahaya terang yang digumuli asap hitam nan
nampak di langit utara kampung malam itu.
“Rumah siapa yang kebakaran?” tanya Japri
kepada lelaki separuh baya dengan wajah panik
layaknya kebanyakan warga yang ditemuinya di
persimpangan jalan.
“Haji Jamran… seluruh orang rumahnya
pergi ke Banjarmasin sejak tadi sore dan belum
pulang sampai sekarang...” Balas lelaki paruh baya
yang tak lama ia kenali si Julak Sulai sambil terus
melangkahkan kaki, cepat menuju tempat
kebakaran terjadi.
Dan,... kaki Japri terhenti seketika. Perasaan
bimbangpun sejurus menyelimuti hatinya. Ia
bingung apa harus menolong rumah Haji Jamran
yang tengah terbakar itu atau tidak. Julak Sulai
yang menyadari Japri menghentikan langkah
kakinya segera berbalik ke arah Japri.
“Ada apa denganmu, Japri?” tanya Julak
Sulai.
Wajah Japri bingung, ragu. Ia tak tahu harus
berkata apa.
Kakamban Habang
83
“Jika kau enggan menolong rumah Haji
Jamran yang terbakar karena kau membencinya
dan karena kau telah merasa dihinakan olehnya….
Jika karena itu kau enggan menolong, maka kau
tidak lebih baik dari Haji Jamran, Japri...” tukas
Julak Sulai sambil berteriak melawan keramaian
warga yang dari tadi berlarian di sekitar mereka
menuju kebakaran terjadi.
Japripun tergugah. Ia melanjutkan langkahnya. Ia
berlari dan meninggalkan Julak Sulai yang
berjalan terpincang-pincang karena kakinya
memang sudah rapuh.
Para warga terus berteriak minta tolong. Suasana
malam di kampung itu menjadi ramai dan gaduh
oleh kebakaran. Semuanya berteriak,
“Kebakaraaaaan… kebakaraaaannn….
tolong…..,toloooong........, aiiiirrr …. Aiiiirrrr....!!!”
Sayang, di kampung kecil seperti Muara Durian
perangkat desa tak memiliki mesin air besar yang
dapat digunakan sebagai penyemprot api seperti
yang dimiliki pemadam kebakaran. Ditambah lagi
kala itu musim kering yang cukup parah sehingga
air susah didapat.
Hafiez Sofyani
84
Di tengah sibuknya orang-orang menyirami rumah
itu dengan ember kecil padahal api sangat besar,
sayup-sayup Japri mendengar ada suara minta
tolong dari dalam rumah yang beradu dengan
suara teriakan warga. Ia sadari, sepertinya tak ada
satupun warga yang mendengar suara minta
tolong perempuan dari dalam rumah yang terbakar
itu. Tanpa pikir panjang, Japri nekat dan
memberanikan diri untuk masuk dan mencari
suara teriakan minta tolong.
“Allaaaaauakbaaarrr...!!!” teriaknya
menggugah semangat diri, berlari ke tengah
kobaran api yang terus membara.
Sesampainya di teras rumah yang sudah nampak
tak karuan, ia dapati pintu rumah terkunci. Japri
mendobraknya sekuat tenaga. Hawa panas api
yang melahap rumah kian terasa membakar
kulitnya. Ia masuk. Di dalam rumah ia berusaha
mencari asal suara. Ia sudah tak menghiraukan
lagi panasnya hawa api yang mengelilingi
tempatnya berdiri. Semuanya tertutup oleh
semangat membaranya untuk menolong.
Seketika, ia mendobrak satu kamar yang terkunci
dari luar. Di dalam kamar itu tergeletak seorang
gadis dengan badan hitam penuh arang. Gadis itu
nampak sudah lemah terkulai, tak berdaya. Gadis
Kakamban Habang
85
itu mengalami hiper dehedrasi. Ia memapah gadis
itu untuk berusaha keluar dari dalam rumah yang
sudah separuh dilalap api. Tapi, kaki gadis itu tak
bisa melangkah. Kaki kirinya patah akibat tertimpa
tiang kayu kamarnya yang jatuh dimakan api.
Japri segera menggendong sang gadis, yang tak
lain Fatimah, kepangkuannya.
Dengan mengucap basmallah dan takbir, Japri
berlari keluar dari kerumunan api yang
mengurungnya. Beberapa kali kakinya tersandung
kayu yang telah menjadi arang. Tapi semangatnya
untuk hidup membuat kakinya yang begitu payah
itu tetap tegar bertahan. Beberapa saat kemudian,
Japri berhasil menyelamtkan diri dari kobaran api
yang kian membesar.
Beberapa warga segera menghampiri Japri dan
Fatimah yang sudah tak berdaya itu. Julak Sulai
menyarankan agar mereka dibawa ke rumah tabib
kampung, Haji Sam’an, untuk segera di rawat.
Setelah lebih dari tiga jam, akhirnya apipun dapat
dipadamkan. Pemadam kebakaran dari kecamatan
terlambat datang ke tempat kebakaran karena
jalanan yang terjal dan tak beraspal menghambat
perjalanan mereka. Rumah Haji Jamranpun
selamat meski sudah sebagian besar rumah dan
isinya hangus terbakar.
Hafiez Sofyani
86
Tak lama, keluarga Haji Jamranpun datang. Wajah
lelaki separuh baya itu nampak sangat terkejut.
Tanpa menghiraukan siapapun, ia segera berlari
menuju reruntuhan kamar Fatimah yang sudah
habis di lalap api. Hatinya langsung sedih ketika ia
tak melihat satu puing pun di kamar Fatimah. Ia
langsung menangis menyesali dirinya yang telah
meninggalkan Fatimah di rumah dan terkurung di
dalam kamar. Istri Haji Jamran yang juga memiliki
firasat yang sama segera beranjak untuk
mendekati suaminya. Istri Haji Jamran ikut
menangis. Haji Jamran tak kuasa menahan gejolak
jiwanya. Ia berteriak-teriak menanyakan,
“Kemana puteriku!!??!! Kemana
puterikuuu...??!!” berulang-ulang.
Di tengah kesedihan suami istri itu, seorang warga
desa mengabarkan bahwa anak mereka selamat
dan sekarang sedang dirawat darurat di rumah
tabib kampung, Haji Sam’an.
Perasaan Haji Jamran dan istrinya segera lega.
Mereka tak memedulikan sedikitpun rumah besar
yang mereka tinggali itu hangus terbakar. Bagi
Haji Jamran yang memiliki tabungan banyak di
bank, rumah itu tak berarti apa-apa. Yang penting,
puterinya Fatimah selamat dari kejadian itu. Ya,
puteri sekaligus anak yang kini hanya satu-
Kakamban Habang
87
satunya ia miliki sebab Hadri telah pergi entah
kemana.
Karena kejadian yang tak terduga itu, Haji Jamran
memutuskan agar pernikahan Fatimahpun
ditunda sampai batas waktu menunggu Fatimah
pulih dari cedera patah tulangnya, dan ketika
gadis itu sudah benar-benar siap untuk menikah.
***
Sebelum subuh, Japri terbangun dari pingsannya.
Badannya terasa remuk. Beberapa luka bakar
nampak menghiasi sekujur tubuhnya. Tangan
kirinya sudah dalam keadaan diperban dengan
kain putih. Kepalanya terasa berat. Pelipis sebelah
kanannya terasa perih, robek akibat kejatuhan
beling kaca dan benda tumpul. Japri mencoba
bangkit. Nafasnya berat karena paru-parunya telah
banyak menghirup asap hitam kebakaran.
Kepalanya terasa begitu berat. Ia hampir tak ingat
beberapa hal yang telah terjadi.
Setelah dapat benar-benar bangun, tanpa mau
merepotkan banyak hal, Japri segera minta izin
kepada Haji Sam’an untuk pulang ke rumah. Haji
Sam’an sempat mencegah tapi Japri tetap dengan
keinginannya pulang. Haji Sam’an lalu bertanya
perihal Fatimah. Seketika Japri teringat bahwa
Hafiez Sofyani
88
keberadaannya di rumah tabib Sam’an akibat
dirinya yang pingsan setelah menyelamatkan
Fatimah.
“Biar nanti keluarganya yang akan
menjemputnya ke sini.” Tukas Japri.
Sekilas Japri melihat Fatimah yang masih tak
sadarkan diri di tempat tidur sebuah kamar tak
berpintu yang hanya berlampukan sebuah
semprong. Karena takut ia terbawa perasaan, Japri
mengalihkan pandangannya. Ia segera pergi dan
meninggalkan rumah Haji Sam’an.
Tanpa Japri sadari, Haji Jamran dan ibu Fatimah
telah lama berada di rumah haji Sam’an menunggu
keadaan Fatimah membaik. Dua suami istri itu
setengah terlelap. Hati haji Jamran terenyuh
ketika mendapati Japri yang melangkah ringkih
keluar dari pintu rumah Haji Sam’an. Haji Jamran
merasa bersalah pada dirinya sendiri. Dalam
perasaan itu, haji Jamran dan ibu Fatimah terdiam
dan membiarkan Japri berlalu. Haji Jamran
terpana dengan kebaikan hati pemuda yang
pernah ia hina itu.
***
Kakamban Habang
89
Subuh telah berlalu. Fatimah mulai dapat
membuka mata. Perasaannya langsung
menyambut suasana asing tempat dirinya
terbaring dengan sebuah kebingungan. Fatimah
berusaha bangkit. Kaki kirinya yang patah itu
langsung merespon dengan sakit yang teramat
sangat. Fatimah merintih. Suara rintihan Fatimah
itu langsung terdengar Haji Sam’an dan istrinya
yang jua sudah sama-sama tua. Istri Haji Sam’an
segera memapah Fatimah untuk membantunya ke
posisi setengah duduk.
Fatimah mencoba mengenali dua wajah tua
dengan uban memutih di kedua orang yang
menolongnya itu. Beberapa saat baru ia ingat itu
adalah tabib kampungnya, Haji Sam’an da sang
istri.
“Tadi malam Ucu di bawa kesini oleh Julak
Sulai, Amad, dan si Dilah. Alhamdulillah Ucu
selamat…” ucap Istri Haji Sam’an sambil
mengembulkan senyum penuh kerutan di
wajahnya. Sesaat istri Haji Sam’an memberi
segelas air putih kepada fatimah.
Fatimah diam sambil menyambut air dari tangan
istri Haji Sam’an. Ia tak begitu bisa mengingat apa-
apa. Sejenak ia minum segelas air putih dingin di
tangannya. Setelah berusaha untuk menelaah apa
Hafiez Sofyani
90
yang telah terjadi pada dirinya, seketika itu
mulutnya langsung menyebut sebuah nama,
“Japri”.
“Dimana Japri, Nek?” tanya Fatimah resah.
“Japri kah????. Dia sudah pulang sebelum
kau bangun tadi, Cu.”. jawab Haji Sam’an.
Entah mengapa seketika hati Fatimah terasa sedih.
Ia langsung teringat ucapan abahnya yang
menyatakan bahwa Japri tak mencintai dirinya.
Ditambah lagi sikap Japri yang meninggalkan
dirinya begitu saja di rumah Haji Sam’an dalam
keadaan pingsan, semakin menguatkan
keyakinannya bahwa Japri memang tak ada
perasaan apapun kepada dirinya. Meskipun
pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya dari
maut sekalipun.
Fatimah meringis menahan sakit kakinya. Sejenak,
ia menghela nafasnya sambil menahan
kekecewaannya.
Haji Sam’an dan istrinya nampak beingung melihat
raut wajah Fatimah yang seolah mengisyaratkan
sebuah kesedihan. Haji Sam’an mencoba
menghibur Fatimah dengan mengajaknya
bercerita.
Kakamban Habang
91
“Japri itu pemuda yang baik ya Fatimah?”
Ucap Haji Sam’an membuka wacana. Seketika
Fatimah menatap wajah Haji sam’an yang nampak
tengah tersenyum dengan beribu kerutan di
wajahnya.
“Terlepas dari tuduhan abahmu kepada
pemuda itu, aku mengenal Japri sebagai pemuda
yang baik. Ia pemuda yang jujur, saleh, dan
bertanggungjawab, serta bijak....” ucap Haji
Sam’an yang kemudian diiringi hela nafas panjang
kebijaksanaan seorang sepuh.
“Kenapa aku katakana bijak?. Itu karena jika
bukan karena kebijaksanaan dan kebesaran hati
yang ia miliki, tak kan mungkin ia mau ikut
menolong musibah yang menimpa orang yang telah
menghina dan mencaci maki dirinya...” ucap Haji
Sam’an lirih dengan raut muka yang penuh
kepolosan.
“Aku tidak bermaksud merendahkan
abahmu... Tapi aku sangat memuji sifat dan sikap
yang dimiliki oleh Japri. Bahkan ia telah
menyelamatkan dirimu dari maut...
Subhanallah....” Tukas Haji Sam’an dengan
polosnya tanpa ia mengetahui bagaimana perasaan
hati Fatimah.
Hafiez Sofyani
92
Sebenarnya Haji Sam’an hanya bermaksud
menghibur Fatimah. Tapi rupanya cerita Haji
Sam’an barusan benar-benar semakin membuat
Fatimah kecewa.
Tanpa sadar Fatimah meneteskan air matanya. Ia
tak kuasa untuk berucap apapun. Dihadapan Haji
Sam’an, Fatimah mencoba untuk menutupi
kesedihannya dengan berusaha tersenyum.
Dan tak lama dari pembicaraan itu, keluarga
Fatimah masuk ke kamar tempat Fatimah dirawat.
Rupanya istri Haji Sam’an mengabari abah dan ibu
Fatimah yang sejak tadi malam menunggu
keadaan Fatimah membaik di ruang tamu rumah
sederhana haji Sam’an.
Di dalam kamar itu, Haji Jamran hanya berdua
dengan Fatimah. Ia ingin bicara empat mata
dengan puterinya tanpa seorangpun yang
mengganggu. Ibu Fatimah diminta suaminya, haji
Jamran, untuk menunggu dengan sabar di luar.
Di dalam kamar tak berpintu itu, Haji Jamran
meminta maaf sebesar-besarnya kepada puteri
kandungnya itu. Ia mengaku salah telah
mengurung Fatimah di kamar sehingga ketika
kebakaran terjadi Fatimah tidak bisa keluar dan
akhirnya semua jadi begini. Haji Jamran juga
Kakamban Habang
93
menyebutkan kekeliruannya yang telah menutup
kebebasan Fatimah untuk memilih. Hari itu Haji
Jamran mengakui semua kesalahan dan
kebodohannya. Ia menyerahkan sepenuhnya
masalah pernikahan puterinya itu. Seandainya
Fatimah ingin membatalkan pernikahan dengan
Riduan, Haji Jamran jua tak keberatan. Lagipula
pernikahan tak mungkin dilaksanakan dalam
keadaan Fatimah sedang patah kakinya.
Dengan kebesaran hatinya, Fatimah memaafkan
semua kekhilafan abahnya. Tak mungkin juga ia
murka kepada abah kandungnya sendiri. Haji
Jamran memeluk puteri kesayangannya itu dengan
penuh cinta. Kejadian itu benar-benar telah
membuka mata hatinya yang lama tertutup. Haji
Jamran jadi teringat Hadri, abang kandung
Fatimah. Dalam lirih hatinya, iapun meminta maaf
kepada putera semata wayangnya itu.
***
Hafiez Sofyani
94
Bagian 8
Pernikahan
Baginya, siapapun yang kelak menjadi pasangan
hidupnya sudah tak begitu penting lagi. Siapapun
yang akan menikahi dirinya, asalkan lelaki itu tak
pernah meninggalkan salat fardhunya, maka ia tak
masalah untuk menerima pinangannya. Itulah
yang saat ini menjadi pemikiran Fatimah yang kian
hari kian di rundung pilu.
Ia sudah payah untuk menghibur hatinya sendiri.
Pemuda yang ia pikir mencintainya memang tak
pernah sedikitpun memiliki rasa kepadanya. Itu ia
yakini dari ucapan abahnya yang tak mungkin
bohong dan sikap pemuda itu yang meninggalkan
dirinya begitu saja di rumah Haji Sam’an tanpa
mau menunggu dirinya sadarkan diri terlebih
dahulu.
Tiga bulan semenjak kejadian kebakaran yang
melanda kediaman Haji Jamran, keluarga Fatimah
kini membangun kembali rumah barunya. Untuk
sementara iapun tinggal di rumah milik Haji
Jamran yang lain di daerah Kecamatan.
Fatimah sudah memutus pertunangan dirinya
dengan Riduan melalui abahnya sendiri, Haji
Kakamban Habang
95
Jamran. Segala pemberian dari Riduan mulai dari
cincin, kalung dan baju-baju mahal sudah pula ia
kembalikan, diganti dengan barang sejenis dan
seharga sama, karena pemberian asli sudah hilang
akibat kejadian kebakaran. Ia tak ingin satupun
merasa terutang budi kepada pemuda yang ingin
menjadikan dirinya sebagai istri kedua itu.
Dalam masa kesendirian, hampir setiap hari
Fatimah mendirikan salat tahajud untuk
mengirimkan hajatnya, keinginan untuk memiliki
seorang imam yang saleh dan bijak. Meski seakan
ia menghindari untuk berkata bahwa pemuda
impiannya itu adalah “Japri”, tapi semua sifat yang
diutarakannya saat berdo’a tak bisa dipungkiri
bahwa itu tertuju kepada sosok pemuda kurus itu.
Sudah hampir tiga bulan ia memohon, tak juapun
datang sebuah kabar gembira tentang kedatangan
Japri. Bahkan selama tiga bulan ini ia tak pernah
lagi melihat Japri yang biasanya kerap melintas
sambil menarik gerobaknya berjalan menuju pasar
kecamatan. Tanpa ia utarakan, ada sebesit rasa
rindu yang menelisik di dalam relung hatinya.
Saat dimana Fatimah termenung di jendela teras
rumahnya, sebuah pinangan dari seorang pemuda
dari Martapura itupun datang. Tapi sayang, itu
bukan pinangan dari Japri, melainkan dari
Hafiez Sofyani
96
seorang pemuda yang meski jauh tetapi masih
memiliki hubungan nasab keluarga dengan
dirinya. Pemuda itu juga merupakan teman
sekolahnya ketika masih duduk di bangku
Madrasah Aliyah di Martapura dulu. Ia adalah Haji
muda bernama Abdul.
Abdul adalah seorang pemuda yang dulu ia kenal
baik. Baik dalam hal akhlak maupun prestasi
sekolah. Meski dengan jujuran tak semahal yang
diberikan oleh Riduan, tapi Haji Jamran
menerimanya dengan senang hati. Itu karena
Fatimah juga menerima pinangan itu tanpa
berpikir panjang dan banyak pertimbangan. Haji
Jamran berharap lekasnya Fatimah dalam
menimbang adalah bukti Fatimah memliki rasa
kepada Abdul. Meskipun, sejatinya bukan karena
itu adanya. Melainkan, karena Fatimah sudah
setengah putus asa menanti orang yang
sesungguhnya ia idamkan. Haji Jamran berfikir
Abdul adalah orang yang tepat untuk menjadi
pendamping Fatimah sekaligus menjadi penerus
bisnis keluarga Haji Jamran.
Dan tak perlu waktu lama, pernikahan
Fatimahpun segera berlangsung dengan cukup
meriah khas adat budaya Banjar. Akad nikah
Kakamban Habang
97
dilaksanakan pagi hari di masjid kampung Muara
Durian.
Pagi itu, Fatimah tampil dengan pakaian pengantin
khas Banjar. Gaun pengantin tradisional kuning
berenda benang emas, bermahkota melati dan
bergaya bak ratu Banjar jaman dulu. Di dalam
kamar, Fatimah ditemani ibunya. Semua penghias
pengantin diminta Fatimah untuk menunggu di
luar.
Dengan senyum bahagia, ibunya mengatakan
bahwa puterinya itu sangat cantik hari ini.
“Abdul adalah pemuda yang baik. Ibu yakin
dia akan mampu menjadi imam yang baik dan
membahagiakanmu, saying...” bisik ibunya dengan
senyum riang. Fatimah membalas senyum ibunya
dengan kemanjaan.
Meski sesungguhnya terbesit sedikit harapan
bahwa pemuda yang akan menikahi dirinya adalah
Japri, ia berusaha untuk menepis harapan itu dan
menampakkan kepada kedua orang tuanya bahwa
hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi
dirinya. Ia meyakinkan dirinya bahwa Japri
memang tak mencintainya. Jadi untuk apa ia
bermurung murai tentang pemuda yang tak
mencintai dirinya itu.
Hafiez Sofyani
98
Fatimah berusaha membesarkan hati. Ia berdiri
tegap dan bangkit untuk berjalan menuju
pelaminan.
Setelah beberapa lama menunggu di pelaminan,
sang pangeran hari itupun datang dengan diiringi
dayang di samping kiri kanannya. Salah seorang
menghamburkan beras kuning sambil
mengumandangkan salawat nabi agar kedatangan
sang pengantin pria mendapat sambutan pula oleh
malaikat rahmat yang membawa berkah.
Dimatanya, wajah Abdul begitu tampan dan
memesona. Tapi entah kenapa, sekali lagi hatinya
tak bisa jua berdusta, ia merasa kebahagiannya
hari ini semu. Ketika dirinya dan Abdul duduk
bersanding, tak sedikitpun ia merasakan sesuatu
yang menggelora dihatinya. Denyut nadinya biasa
saja. Desir darah yang menjalar di sekujur
tubuhpun tak memberikan isyarat sebagaimana
biasa orang sedang jatuh cinta.
Dalam keadaan itu, Fatimah terus berusaha untuk
membuang jauh-jauh wajah pemuda bernama
Japri dari benaknya. Ia senantiasa berusaha
memperlihatkan wajah ceria di depan para tamu
undangan yang silih berganti memberikan ucapan
selamat dan meminta foto bersama dengan dirinya
dan Abdul selaku pengantin.
Kakamban Habang
99
Meski senyum berkembang, mata tetap tak
mendusta. Dari deretan para tamu, tak sengaja ia
dapati wajah seorang pemuda berpakaian
sederhana dan mengenakan sangkok hitam lusuh
dengan rona wajah biasa. Ia tak tahu bagaimana
pemuda itu bisa berada di hari pernikahannya.
Bukankah beberapa kali ia mendengar bahwa
abahnya tak kan mengundang pemuda itu di hari
pernikahannya?”.
Rupanya, tanpa sepengatahuan Fatimah, beberapa
hari silam Haji Jamran datang sendirian bertamu
ke rumah Japri untuk meminta maaf dan
sekaligus mengundang pemuda itu untuk datang
dalam acara pernikahan Fatimah. Haji Jamran
ingin membuktikan bahwa Japri memang tak
mencintai Fatimah sehingga dalam pernikahan
puterinya itu pemuda kurus itu tak keberatan
untuk hadir.
Memang tempo hari abahnya itu pernah berucap,
jika Japri mencintai Fatimah maka ia tidak akan
datang pada acara pernikahan Fatimah karena
sakit hati melihat pujaan hati diambil orang. Dan
ketika Fatimah teringat ucapan abahnya itu, hal
itupun semakin menguatkan bahwa Japri memang
tak mencintainya.
Hafiez Sofyani
100
Tapi, entah mengapa perasaannya berbalik. Ia
merasa kalau Japri tidak sebagaimana yang
dikatakan abahnya. Jika Japri memang tak
mencintai dirinya, tak mungkin pemuda itu mau
menemuinya di sungai biru saat ia melarikan diri
dari rumah tempo silam. Tak mungkin pula Japri
mau menyelamatkan dirinya ketika kebakaran itu
terjadi.
Konflik bathin yang dialami Fatimah kian
berkecamuk. Diujung puncaknya, ia tak bisa
mendustai diri jua bahwa ia benar-benar jatuh hati
kepada pemuda biasa bernama Japri itu. Ketika
Japri berada tepat dihadapannya untuk
bersalaman dan mengucapkan selamat kepada
Fatimah dan Abdul yang kini sudah menjadi
suaminya, Fatimah tak mampu untuk mengontrol
emosi dan akal rasionalnya. Seketika Fatimah
nekat memeluk Japri di atas pelaminan pengantin
dan di depan mata semua yang hadir di sana.
Melihat apa yang tengah terjadi Abdul langsung
naik pitam. Namun, karena tak sempat melihat
dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi,
Abdul langsung mendorong dada Japri hingga
jatuh tersungkur. Para tamu yang hadir sempat
kaget. Beberapa orang tamu perempuan bahkan
sempat berteriak karena begitu terkejut. Abdul
Kakamban Habang
101
langsung menarik Fatimah kepelukannya.
Mulutnya beberapa kali mengumpat Japri dengan
cacian karena emosi istri yang baru dinikahinya
itu dipeluk oleh orang yang tak dikenalnya.
Japri diam. Ia merasa sangat bingung harus
berbuat apa dan berkata apa. Japri salah tingkah,
malu karena kejadian itu ditonton banyak orang
yang hadir. Ia benar-benar tak tahu apa-apa. Yang
ia tahun hanyalah “tiba-tiba saja ia dipeluk oleh
Fatimah dan lalu di dorong hingga jatuh
tersungkur oleh Abdul” pikirnya. Japri benar-benar
bingung dengan apa yang menimpanya.
“Laki-laki kurang ajar. Berani-beraninya kau
memeluk istriku yang baru saja menikah
denganku, bahkan di hadapan umum. Benar-
benar pemuda tak ber-adat, tidak tahu malu..!!!”
Bentak Abdul penuh emosi.
Melihat peristiwa yang tak begitu jelas terjadinya
karena sangat cepat itu, Haji Jamran ikut emosi.
Beberapa hari yang lalu ia telah minta maaf
kepada Japri dan bahkan mengundang pemuda itu
datang dihari pernikahan puterinya. Tapi ternyata
pemuda itu malah membuat ulah. Namun, haji
Jamran bingung harus bersikap apa. Ia
memutuskan untuk diam melihat situasi yang
terjadi.
Hafiez Sofyani
102
Abdul memberi isyarat kepada keluarganya untuk
membawa Japri ke kantor polisi dengan tuduhan
telah berbuat tindakan asusila kepada istrinya,
terlebih di hadapan khalayak ramai. Dan tanpa
ada seorangpun yang membela dirinya, Japripun
dibawa ke kantor Polisi kecamatan agar ditahan
karena melakukan kasus pelecehan di depan
umum.
Melihat Japri yang diseret oleh beberapa pemuda
dari kalangan keluarga Abdul, Fatimah hanya bisa
diam. Tiba-tiba ia merasa sangat bersalah telah
melakukan hal yang menjadikan Japri kena
getahnya. Tapi, untuk mengaku kalau sebenarnya
dirinyalah yang berbuat, ia tak berani. Karena hal
itu akan menurunkan derajat dirinya dan juga
keluarganya dimata orang kampong. Ia takut akan
di cap bukan perempuan baik-baik.
Fatimah menutup mulutnya dengan tangan
menahan sedih bercampur malu. Setelah Japri
dibawa masuk ke dalam mobil untuk dibawa
menuju kantor kepolisian di kecamatan, Seketika
kerumunan undangan yang sempat menonton
peristiwa itu bubar. Acara pernikahan itu berjalan
seperti semula. Senyum para tamu yang
memberikan dirinya selamat seolah
mengisyaratkan bahwa peristiwa terkait Japri
Kakamban Habang
103
barusan hanya angin lalu belaka. Tapi di hati
Fatimah, sebuah perasaan bersalah yang sangat
besar terus berkecamuk. Ia tak mampu mendustai
dirinya. Ia telah jatuh cinta kepada pemuda lugu
berwatak pendiam itu, Japri.
***
Hafiez Sofyani
104
Bagian 9
Sidang dan Pengakuan
Kehidupan di sel tahanan kantor polisi kecamatan
menjadi hari-hari yang kelam bagi Japri. Ia
ditempatkan bersama beberapa orang tahanan
yang juga menunggu vonis pengadilan di sebuah
sel gelap dan berbau tak sedap. Japri merasa ini
bukan tempat yang pantas untuk dirinya. Ia
merasa tak bersalah. Meski ia pemuda miskin, tapi
ia merasa tak pantas berada di sel itu seharusnya.
Namun kenyataan berkata lain. Ia tak memiliki
cukup bukti untuk dapat mengeluarkan dirinya
dari tahanan itu. Jika kebanyakan orang mampu
membayar sekian rupiah untuk dapat
mempercepat proses penahanan, maka baginya
yang hidup serba pas-pasan itu tak punya
sedikitpun uang untuk dapat membayar petugas
berwenang agar kasusnya segera dituntaskan.
Ia hanya bisa berpasrah diri dan berdo’a agar ia
bisa segera dilepaskan. Ia yakin tuhan maha adil
dan akan membebaskan dirinya yang tak bersalah
itu.
Satu hari sebelum sidang atas dirinya diadakan,
diam-diam Abdul yang merasa telah diinjak harga
Kakamban Habang
105
dirinya oleh Japri dengan memeluk Fatimah di
atas pelaminan, rupanya masih merasa dendam
terhadap Japri.
Rupanya Abdul yang kini bukanlah Abdul yang
dulu Fatimah kenal. Pemuda yang dulu baik dan
santun itu rupanya berubah menjadi pemuda
arogan, sombong, dan ringan tangan. Perubahan
itu terjadi semenjak Abdul menjadi salah satu
pengusaha kaya di Martapura. Kemewahan telah
membawanya kepada kekufuran. Dan malam itu,
tanpa seorangpun yang tahu, Abdul menitipkan
sejumlah uang untuk hakim pengadilan agar ia
bisa mendatangkan dua orang saksi palsu supaya
Japri bisa dihukum dengan hukuman seberat-
beratnya.
Dan benar. Semua mata iba langsung tertuju
kepada Japri ketika vonis dibacakan. Japri
dihukum penjara selama lima tahun atas
perbuatan yang dilakukannya, yakni melakukan
pelecehan kepada seorang wanita yang baru saja
dinikahi dan dilakukan di tempat umum.
Mendengar vonis yang sangat tak adil dan tak
manusiawi itu, jantung Japri terasa kaku dan
berhenti berdetak. Pemuda kurus nan pendiam itu
jatuh pingsan. Rupanya batinnya masih belum
dapat menerima beban mental yang ditimpakan
Hafiez Sofyani
106
kepadanya dengan hukuman lima tahun penjara.
Abdul tersenyum puas. Ia merasa menang telah
dapat menghukum orang yang telah berani
memeluk istrinya mendahului dirinya.
Berita Japri dihukum penjara itupun rupanya
telah sampai ke telinga Fatimah yang kala itu
memang tidak ikut hadir di pengadilan saat vonis
atas Japri dijatuhkan.
Fatimah terkejut. Ia segera mendatangi pengadilan
untuk minta naik banding. Rupanya hatinya
terketuk. Ia berencana ingin membeberkan apa
yang sebenarnya telah terjadi.
Selang dua minggu, vonis banding Fatimah
dikabulkan. Dengan kebesaran hatinya dan
pengakuan dirinya yang tulus, Fatimah
menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi
kala itu di acara pernikahannya. Ia juga
menyerahkan sebuah bukti bahwa telah terjadi
manipulasi peradilan yang dilakukan oleh hakim
yang telah memutuskan perkara vonis Japri
dengan lelaki yang tak lain adalah suaminya
sendiri.
Fatimah menyerahkan HP suaminya yang diam-
diam ia curi dari suaminya sendiri. Di pesan
masuk HP milik Abdul terdapat beberapa
Kakamban Habang
107
percakapan mengenai vonis dan bayaran uang
yang akan diserahkan Abdul kepada sang hakim.
Abdul terkejut. Ia tak menduga diam-diam Fatimah
membaca semua isi pesan di HP-nya yang lupa ia
hapus itu. Akhirnya proses pengadilan semakin
rumit. Tidak hanya itu. Hubungan keluarga
Fatimah dan Abdul yang tidak lain adalah
suaminya sendiri menjadi bersitegang.
Keharmonisan keluargapun tak tampak lagi dari
kedua belah pihak.
Puncaknya, berkat keadilan Allah, hakimpun
membebaskan Japri dan memutuskan Haji Abdul
dan hakim yang menerima suap itu untuk
dipenjarakan. Tak lama setelah itu, Abdul
menceraikan Fatimah. Dan jadilah Fatimah
sebagai janda kembang di kampung Muara Durian.
Janda yang tak pernah barang sekali di sentuh
oleh mantan suaminya.
***
Hafiez Sofyani
108
Bagian 10
Kabar
Hari itu ia berharap Japri menemuinya di sungai
biru tempat mereka dulu sering bertemu. Tetapi
bukan Japri yang datang di depan mata,
melainkan sebuah gedang pisang yang hanyut
bersamaan dengan arus air di sungai biru yang
mengalir deras. Bagi adat kampungnya, hanyutnya
gedang pisang pertanda ada seseorang yang telah
meninggal dunia. Hati kecilnyapun langsung
bertanya, siapa gerangan yang telah meninggal
duia di kampungnya?.
Fatimah bangkit dari duduknya yang sudah
hampir dua jam lamanya. Ia berjalan menuju
pulang. Hari kian petang. Matahari sudah
memancarkan rona kejinggaan, pertanda adzan
maghrib akan segera berkumandang.
Tak sengaja, di persimpangan jalan ia menemui
beberapa warga yang sepertinya baru saja datang
dari layatan kematian. Fatimah langsung teringat
gedang pisang hanyut yang beberapa menit lalu ia
lihat. Firasatnya benar, ada orang yang meninggal
hari ini.
Kakamban Habang
109
“Siapa yang meninggal?” tanya Fatimah
kepada salah seorang gadis perempuan yang ia
kenal, Inah.
Pertanyaan dari Fatimah dibalas dengan raut
heran oleh wajah Inah.
“Kau benar-benar tidak tahu Fatimah kalau
Japri meninggal tadi pagi dan baru saja di
makamkan di belakang masjid Muhajirin kampung
kita?. Balas Inah dengan wajah teramat bingung.
Rupanya ketidaktahuan Fatimah akan kabar
kematian Japri membuat Inah bertanya-tanya
bagaimana bisa Fatimah yang tempo lalu
membebaskan Japri tidak tahu kabar kematian
Japri?.
Mendengar kabar dari Inah barusan, denyut nadi
Fatimah serasa terhenti. Dadanya langsung panas.
Detak jantungnya beradu cepat. Fatimah
terhuyung dan pingsan seketika. Inah dan kawan-
kawannya langsung membawa Fatimah ke
rumahnya.
Sudah hampir dua jam Fatimah pingsan. Dalam
ketidaksadarannya, mulutnya tanpa sadar
mengucap nama Japri berulang-ulang kali.
Hafiez Sofyani
110
Beberapa saat, Fatimah mulai tersadar dan
membuka mata.
Tiba-tiba saja pikirannya langsung teringat tentang
kematian Japri. Tanpa menghiraukan ibu dan
abahnya yang sedari tadi menunggui dirinya saat
pingsan, Fatimah bangkit dan bergegas berlari
menuju rumah Japri. Ibu dan abahnya terkejut
dan tak sempat mencegah kepergian Fatimah.
Dan di rumah itu, acara mendo’akan almarhum
Japri telah selesai. Para tamu nampak berjalan
meninggalkan rumah Japri satu per satu. Fatimah
duduk di bawah pohon nangka di depan rumah
Japri sambil meneteskan air mata.
Setelah para tamu bubar, Fatimah bergegas
menuju rumah Japri dan menemui ibunya Japri.
Ia langsung memeluk ibu Japri yang nampak
sudah sangat tua itu. Ia merasa bersalah telah
menjadikan perempuan tua itu hidup sebatang
kara.
Sesaat lamanya, Fatimahpun melepas pelukannya.
Ibunya Japri nampak tersenyum. Dari mulutnya
terucap sebuah pertanyaan,
“Ananda ini siapa? Temannya Japri, ya? Kok
malam-malam begini baru sempat melayat ke sini?
Kakamban Habang
111
Sendirian pula?” suara ibu Japri terdengar begitu
payau.
Fatimah masih dengan air matanya. Ia tak bisa
berucap satu katapun. Ia hanya bisa tersenyum
dan tak kuasa untuk menahan tangisnya.
Sesaat kemudian,
“Ini semua karena perempuan itu…” lirih
Ibunya Japri. Fatimah tersentak mendengar lirih
ibunya Japri yang menyebut s “perempuan”.
Hatinya langsung penasaran tentang apa yang
akan dikisahkan oleh ibunya Japri.
“Perempuan siapa? Dan apa yang diperbuat
perempuan itu?” tanya Fatimah tak sabar sembari
membenarkan kakamban habangnya yang jatuh ke
kalungan lehernya.
“Ini semua karena perempuan yang bernama
Fatimah itu, anak Haji Jamran....” ucap Ibu Japri
dengan raut nista. Suaranya semakin parau, binar
bening dari matanya bercucuran.
“Seandainya saja gadis itu tak memasukkan
putraku ke penjara, ia tak akan sakit dan tak akan
meninggal. Padahal Japri masih muda. Ia masih
aku perlukan. Setelah ini aku tak tahu harus
Hafiez Sofyani
112
dengan cara apa dapat menyambung hidup jika
anakku satu-satunya itu telah meninggal dunia.”
Ungkap ibunya Japri dengan histeris.
Mendengar apa yang dikatakan ibunya Japri, jelas
menghantam perasaan Fatimah. Hatinya kian
merasa bersalah. Ia tak tahu kalau ternyata Japri
meninggal dunia karena sakit. Ia memang tahu
kalau Japri jatuh sakit ketika divonis dengan
hukuman penjara. Tapi ia tak tahu bahwa akan
berujung seperti ini.
Selang beberapa saat, suasan menjadi hening.
Fatimah masih dengan penyesalannya yang
mendalam.
“siapa namamu, Nak? Dari mana asalmu?
Apa kau temannya Japri?” tanya ibunya Japri. Kini
air matanya sudah tiada. Perempuan tua itu
nampak berusaha tersenyum tipis.
Fatimah mencoba membalas senyum itu meski
dengan perasaan sakit di hatinya. Sakit karena ia
merasa bertanggungjawab atas kematian Japri dan
keberlangsungan kehidupan ibunya Japri yang
ditinggal pergi Japri.
Kakamban Habang
113
Sakit hati karena dirinya telah menjadikan
pemuda baik yang ia jatuh hati kepadanya itu kini
telah meniggalkan semuanya untuk selamanya.
“Mmm… saya Siti Bu... Teman Japri dari
kampung sebelah.” Balas Fatimah mencoba jujur.
Ia berusaha untuk tidak berbohong. Memang
benar namanya “Siti”, kependekan dari “Siti
Fatimah”.
Entah kenapa ia takut untuk mengatakan bahwa
perempuan yang telah menyebabkan putra dari
perempuan tua yang kini tengah berada
bersamanya itu adalah dirinya.
Fatimah menyadari bahwa ibunya Japri hanya
tahu nama perempuan yang telah memasukkan
Japri ke penjara, tapi tak tahu yang mana
orangnya.
“Oya, jika ananda nanti pulang, tolong
berikan surat ini kepada Fatimah yang telah
membunuh putra kesayanganku itu... Ini surat
dari Japri... Aku tak pandai membaca. Jadi aku
tak tahu apa isinya... Aku juga tak ingin sekalipun
melihat wajah keluarga Haji Jamran itu di sisa
hidupku. Aku takut jika aku bertemu keluarga itu
aku akan mengutuk mereka dan jadilah aku
berdosa dan menutup usiaku yang tak lama ini
Hafiez Sofyani
114
dengan kejelekan...” Tukas ibunya Japri yang
beberapa saat sempat pergi ke dapur untuk
membuatkan Fatimah segelas teh hangat.
Fatimah mengangguk. Setelah meminum teh
buatan ibunya Japri, Fatimah meraih tangan
ibunya Japri dan lalu menciumnya dengan
perasaan haru. Dan tak berselang lama,
Fatimahpun pamit meninggalkan perempuan tua
itu seorang diri di gubuk tua kediamannya
berteman gelapnya senja yang datang.
***
Kakamban Habang
115
Bagian 11
Sepucuk surat dari Japri
Assalamu’alaikum wr wb.
Fatimah, ketika aku menulis surat ini yang penuh
dengan susah payah, aku merasa bahwa umurku tak
kan kunjung lama lagi...Tapi, aku merasa ingin
berucap beberapa hal kepadamu sebelum aku benar-
benar meninggalkan semuanya.
Aku yakin kau sudah tahu bahwa ibuku adalah
seorang yang tua renta dan hidup dengan hanya
berpangku kepada tenagaku. Kami tidak mempunyai
keluarga dekat di sini. Aku tidak tahu bagaimana
nantinya jika aku telah tiada... oleh karenanya, aku
hanya ingin kau berbaik budi kepada beliau untuk
menjaga beliau hingga beliau menyusulku, meski kau
akan mengetahui bahwa beliau membencimu... itu
karena beliau tidak tahu pasti duduk permasalahan
semua ini....
Hafiez Sofyani
116
Permintaan ini bukan aku tuntutkan karena aku
menganggap takdir ini adalah kau yang membuatnya.
Melainkan, aku yakin kau adalah wanita baik yang
luhur dan mengasihi setiap tetangga.
Fatimah, jauh sebelum ini aku sudah mengikhlaskan
hidupku kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Jika
memang ini garis hidup yang harus ku jalani, aku
tak berat sedikitpun.... tapi dalam kesedihan selalu
ada pertanyaan yang ingin dipastikan...
Aku mendengar masyarakat menyebutku pencinta buta
hingga melakukan kebodohan padamu di hari
pernikahan itu. Tapi aku yakin, Tuhan, malaikat,
aku dan kau mengetahui yang sesungguhnya. Hingga
di hari-hari selanjutnya, aku kerap menemui
pertanyaan dari masyarakat tentang bagaimana
perasaanku kepadamu... mereka bilang kau butuh
kepastian hati untuk ketenangan...
Dan melalui surat ini, aku ingin menyampaikan
bahwa kau memang wanita yang begitu memesona
bagiku. Wanita yang ramah dan santun. Dari balik
matamu yang teduh, aku merasakan ketulusan yang
Kakamban Habang
117
tersimpan. Dari garis wajahmu yang keruh, aku
melihat berbagai pengekangan...
Hari itu, di sungai biru, saat pertama kau dan aku
bertemu untuk benar-benar berbicara... bagiku itu
waktu yang sangat membahagiakan, meski sulit
bagiku untuk mengungkapkan... aku sadar dan
faham siapa aku dan dirimu... tapi cinta itu
membuat pemuda ini tak sanggup untuk menolak
setiap permintaan yang keluar dari mulutmu...
Aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai kaum
seagamaku, awalnya.... tapi kekaguman akan
sosokmu menjadikan aku lancang untuk benar-benar
mencintaimu, meski aku tahu kita bagai bumi dan
langit, siang dan malam, panas dan hujan... Aku
mengakhiri keinginanku akan dirimu dengan penuh
kesadaran.... meski hingga saat ini aku tak dapat
mendusta bahwa kau benar-benar gadis yang aku
cinta...
Aku yakin kau ingin tahu kepastian ini... Dan kini
kau sudah mengetahuinya langsung dariku...
Hafiez Sofyani
118
Muhammad Japri
***
Fatimah duduk termenung di keheningan malam
di dalam kamarnya. Jendela kayu yang langsung
berhadapan dengan ladang persawahan sengaja ia
buka. Ia membaca surat itu dengan hati yang
campur aduk, antara sedih, senang, dan haru.
Sedih karena surat itu adalah surat yang ditulis
oleh pemuda yang dicintainya, namun kini telah
tiada. Dan senang karena ia telah mengetahui
bahwa sesungguhnya pemuda itupun mempunyai
perasaan cinta kepada dirinya.
Takdir berbicara. Ketika garis hidup itu telah
ditetapkan oleh Sang Empunya, maka tak ada
satupun makhluk yang dapat merubah dari
kehendakNya. Begitu juga kisah cinta Fatimah dan
Japri. Meski keharuan begitu dalam ada di dalam
sana, kesedihan teramat sangat silih berganti,
namun itulah sudah kehendak yang Kuasa. Semua
manusia akan sadar bahwa mereka tak punya
daya dan upaya, kecuali karena kehendakNya.
Embun pagi menghiasi setiap rumpun dari padi
yang masih hijau di tengah sana..... dunia terus
berputar dengan segala kesibukannya. Namun
cerita, akan terus mengalir seiring kehendak Sang
Kakamban Habang
119
Pembuat Skenario kehidupan itu sendiri... Satu
yang kiranya harus selalu kita ingat sebagai
manusia... bahwa hidup yang berawal dariNya
harus diserahkan kembali hanya kepadaNya.
***
Setiap kali aku melewati kediaman ibu Japri,
setiap kali itu pula aku dapati Fatimah menemani
ibu Japri ditemani seorang lelaki yang belakangan
aku kenal dengan nama Salam. Ya, itu bukan
nama yang asing bagi kehidupan Fatimah. Lelaki
itu adalah Salam yang ia kenal di Yogyakarta dan
yang sempat mengisi hatinya jua. Aku tak tahu
persis bagaimana ceritanya hingga akhirnya
Fatimah menikah dengan Salam. Yang jelas, ketika
acara pernikahan itu dilakukan, aku hadir dan
turut menjadi saksi saat Salam menyatakan ijab
qabul akad nikah.
Hampir lima tahun Fatimah menyanggupi
keperluan hidup ibu Japri (almarhum). Selama itu
pula rahasia tetap rahasia. Ibu Japri tidak pernah
tahu kalau perempuan yang menjamin
kehidupannya adalah Fatimah, perempuan yang
mungkin dimurkainya. Yang beliau kenal hanyalah
bahwa gadis yang baik hati dan selalu
Hafiez Sofyani
120
membawakan keperluan hidup sehari-harinya itu
bernama Siti.
Hingga, kini Fatimah tak lagi menanggung nasib
ibu itu. Ibu Japri telah meninggal. Seminggu yang
lalu ibu Japri dikebumikan tepat di samping
kuburan Japri, di belakang masjid Al-Muhajirin
kampung Muara Durian.
Kinipun Fatimah tak lagi ku dapati di kampung
ini. Kabar yang ku dengar dari perbincangan warga
di warung subuh, ia kini menetap di Banjarmasin
bersama suami dan anaknya, Salim dan Salma.
Mungkin ia ingin meninggalkan dan mengubur
kenangan itu di kampung ini. Kampung yang
membesarkannya dengan sebuah cerita yang
cukup haru untuk kembali di kenang. Tentang
kasihnya yang tak sampai, dan tentang pergulatan
hati yang tak berujung usai.
Setiap orang adalah pemeran utama dari
kehidupannya dan selalu menghadirkan rasa ingin
tahu yang mendalam jika terus diikuti alur
kisahnya. Setiap orang punya peran, kesan, dan
ceritra panjang yang menunjukkan siapa jati
dirinya. Dan Tuhan, senantiasa memberikan
dukungan dengan Rahmatnya yang melimpah bagi
hambanya yang ingin menjadi terdepan di
MataNya. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk
Kakamban Habang
121
menjadi orang biasa yang dinilai tak berarti. Kita
bukan pemeran pendukung. Kita adalah pemeran
utama kehidupan.
Yogyakarta, 24 Juni 2015 M 9 Ramadhan 1436 H
***ALHAMDULILLAH***
Hafiez Sofyani
122
Tentang Penulis…
Hafiez Sofyani Lahir di Desa Muara Durian (sekarang bernama Desa Malintang Baru) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masa kecilnya dihabiskan dengan bermain, turun ke sawah, berenang, memancing, dan mencari ikan. Ia merupakan alumni dari Jurusan S1 Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Malang dan juga alumni jurusan S2 Akuntansi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Selagi kuliah, ia aktif sebagai penulis majalah kampus, peneliti, asisten laboratorium Akuntansi, dan aktivis mahasiswa Kalsel di Malang. Sebelum menulis novel “Kakamban Habang”, ia pernah meluncurkan Novel berjudul “Bulan Sabit di Langit Burniau” pada tahun 2012 dan muncul dengan nama pena Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Saat ini ia bekerja sebagai dosen program studi akuntansi di salah satu perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Kontak kepada penulis dapat dilakukan via E_mail: [email protected].