Perang Di Afganistan
-
Upload
muhammad-azhar-hadi -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
description
Transcript of Perang Di Afganistan
CADAS-CADAS AFGHANISTAN
Aku benci perang.
Rasanya setiap orang sependapat denganku. Perang hanya melahirkan kehancuran,
kenistaan, kemelaratan, penderitaan dan sisi negatif yang berderet-deret. Perang tidak hanya
membuat orang kehilangan tangan, kaki, suami, anak, rumah dan segala ukuran yang berbentuk
materi. Ia menghancurkan mental. Menciptakan trauma berkepanjangan. Rasa tertekan yang
makin menghimpit sehingga batas gila dan sadar menjadi amat tipis. Anak-anak yang kehilangan
masa depan. Wanita yang menjalani sisa hidup dengan keputus asaan karena sebagi korban
perang seringkali mereka kehilangan milik yang paling berharga : kehormatan.
Perang? Demi Tuhan! Aku benci perang!
Tapi percuma menceritakan pada kalian. Karena kalian tak pernah merasakannya
sebagai anak-anak yang terlahir di Afghanistan.
“Ghozi, kau terpikir untuk pulang ke Kandahar?”
Yassir menatapku tajam . Pertanyaan apa itu?
“Apa kau tidak baca berita bahwa pasukan Amerika telah menggempur Kandahar? Baba
sahib, pegunungan arah barat sudah dibombardir.”
“Ya, “ sahutku dingin. “Kalau begitu aku tentu tak bisa lagi ke Kandahar.”
“Dua pekan belakangan AS melakukan serangan udara. Mereka meluncurkan pesawat
AC-130s yang dilengkapi rudal anti serangan udara. Kudengar puluhan penduduk sipil tewas,
mungkin lebih. 3500 orang mengalir ke Chaman, perbatasan Afghanistan. Aku pikir….”
“Yassir!” potongku tajam. “Aku bukan orang yang tidak pernah membaca berita.”
“Aku hanya ingin diskusi.”
“Diskusi apa? Mau mengajakku kembali ke Afghanistan? TIDAK!”
“Dengar, Ghozi….”
“Kalau kau ingin ke sana , silakan. Tapi bukankah ada ayat yang mengatakan janganlah
kalian semua berangkat ke medan perang. Sebagian tinggal untuk menimba ilmu. Kutegaskan,
aku ingin konsentrasi di universitas Punjab ini. Please, jangan ganggu aku lagi….”
“Aku tidak mengerti bagaimana kau tidak memahami penderitaan bangsamu,” Yassir
makin bersiteguh.
“Puluhan tahun berperang apa belum cukup?” hardikku menggelegar. Beberapa orang
menoleh ingin tahu ke arah kami. Tak peduli ini perpustakaan, isi dadaku ingin muntah keluar.
“Afghanistan habis-habisan melawan Soviet. Kami menang, tapi jangan tanya berapa jumlah
kerugian. Setelah itu perang masih menggema antar sesama saudara. Suku Pashtun, Aliansi
utara, jenderal Rasyid Dustum, Burhanuddin Robbani; tidakkah mereka lelah? Kau orang Arab,
Yassir, jaulahmu hanya ke Baitullah. Aku tahu semangat mudamu ingin sesuatu yang lebih
menantang. Tapi haruskah itu perang?’
Yassir terdiam. Mungkin ia berpikir.
“Usai perang melawan Uni Soviet, tanah Afghanistan penuh ranjau,” jelasku perlahan.
“Buth waktu dua puluh dua tahun atau lebih untuk bisa membersihkan tanah itu dari ancaman
bahaya.Kau belum pernah melihat sepasang kakak beradik asyik bermain lalu tiba-
tiba…..bummm!”1”
Yassir menahan nafas. Mataku seperti berapi.
“Satu tewas tercacah, satu lagi kehilangan kaki nyaris sampai pangkal paha. Dilain waktu
sewaktu segerombolan anak-anak bermain, mereka menemukan sebentuk bola kecil.
Dimeparnya. Tahu kamu, apa itu?”
Yassir menelan ludah.
“Gr….granat?” bisiknya tak percaya. Aku tertawa sedih.
“Apakah itu suatu tragedi atau komedi, aku tak tahu lagi.”
Yassir temenung menekuri buku-buku literatur di hadapannya. Ia memang lahir dan
besar di Jeddah, Arab Saudi. Negeri petro dollar yang nyaris tak pernah terlibat sengketa fisik
yang memprihatinkan. Negeri yang diberkahi Allah karena adanya al Haramain, Mekkah dan
Madinah. Ketika Yassir ingin menimba ilmu di universitas Punjab, Pakistan, semata-mata hanya
ingin sedikit warna dalam hidupnya. Berbatasan langsung dengan negara sekaliber Afghanistan
membuatnya banyak berpikir. Berdiskusi. Menimbang sekaligus menilai kadar ke-Islamannya.
Tanpa disadari sedikit banyak hal itu mencerahkan keimanannya.
************
Jinnah Park digelar aksi demonstrasi.
Gelombang pengunjung rasa tak henti-henti meneriakkan aspirasi mereka selama dua
puluh empat jam bergiliran. Apabila mahasiswa lelah, pelajar maju. Pelajar mundur, buruh
menggantikan.
“Allahu Akbar!!!!!” teriak Abdullah Abid, koordinator acara.
“Allahu Akbar!!!!!” ribuan tangan terkepal tinggi ke udara.
“Bisakah kalian makan daging sementara saudara-saudara kita di Afghanistan tak bisa
makan roti? Bisakah kalian tidur sementara saudara-saudara kita di sana sedang ribath? Bisakah
kalian tertawa sementara anak-anak muslim di sana menangis? Menangis! Tanahnya banjir
darah oleh serbuan biadab tentara Amerika!!!”
Takbir kembali berkumandang.
“Kehancuran bagi Amerika!” teriak Hafidz, orator lain. “Bahkan Richard Barnet dari
Institute for Policy Studies, Washington DC mengecam presiden. Jika seseorang menyandera
pesawat dan menghancurkannya, itu teroris! Jiika sebuah negara menganeksasi dengan rudal ke
negara lain, itu strategi!”
Aku memilih mematung di depan markas besar North West Frontier. Kampus sepi,
bahkan Mr. Ali Burhanuddin tak tampak sosoknya untuk membawakan teori ekonomi makro.
Gelombang demonstran bergerak menuju Soekarno Square . Qazi Hussein Ahmad
menyampaikan kritikan tajam terhadap presiden Pervez Musharraf yang lebih memilih Amerika
dibanding saudaranya sendiri. Aku tersenyum dingin. Apakah semangat mereka cukup untuk
mengatasi setiap kengerian yang ditimbulkan oleh perang? Ayah dan abangku meninggal dalam
keadaan mengenaskan. Ibu dihinggapi trauma. Setiap mendengar deru kendaraan bermotor
akan menjerit dan lari ke bawah meja. Rayhan? Bagimana kabar si bungsu sekarang? Ia
seharusnya lebih baik mati daripada hidup tergantung pada kateter dan kantong air seni karena
peluru Soviet menembus perut, menyerempet limpa dan ginjalnya. Adikku sayang, kelak andai
aku jadi orang akan kuobati dirimu dan ibu sebaik mungkin.
“Tanah Islam tak akan terjual sejengkalpun pada musuh-musuhnya. Palestina, Bosnia,
Chechnya, Azerbaijan, Turmekistan juga Afghanistan tak akan tergadai hanya karena kekayaan
minyak dan uraniumnya. Tidak!!!”
Terdengar suara menggelegar memecah angkasa. Tajam dan jernih. Aku menoleh ke
arahnya. Sosok laki-laki separuh baya yang terlihat tegap dengan cambang rapi dan baju khas
Pakistan. Pak tua, kau belum pernah kehilangan keluarga.
**********
Apa yang bisa kita lakukan?
Sekarang berlipat orang yang telah jatuh menjadi korban. Di pasar, di asrama, di
kampus dan jalan raya, perpustakaan dan supermarket, orang ramai membahas aksi Amerika
dan sekutunya. Aku jenuh mendengarnya. Lelah. Kupikir, semua telah lama berakhir. Perang?
Mengapa manusia tak bosan menumpahkan darah?
“Apa pendapatmu kalau aku pergi ke Afghanistan?” tanya Yassir. Mata kami beradu
sejenak.
“Untuk apa?”
“Untuk apa?” ia menatapku heran. “Untuk … ya, supaya aku bisa melihat dari dekat
penderitaan saudara-saudaraku. Turut merasakan perjuangan mereka membela tanah air dan
aqidah.”
Aku terdiam.
“Apakah itu terdengar mustahil bagi dirimu?” tanyanya.
“Tampaknya kau terjangkiti penyakit necrophilia, kata Eric Fromm. Sebutan orang yang
gandrung akan kematian.”
Yassir menahan nafas.
“Kau benar-benar apatis. Masa bodoh,” ujarnya.
“Tidak,” gelengku. “Aku hanya ingin memberi nasihat agar kau tidak menyesal nanti.
Pernahkah kau khayalkan andai bom cluster meledak dan jarumnya menerjang mata lalu
perutmu, bagaimana rasanya? Atau bagaimana ngerinya andai tertangkap lawan dan kau bukan
prioritas sandera yang harus dibebaskan?”
Yassir menerawang. Kami berdua duduk di bawah pohon di halaman kampus. Siang itu
angin bertiup lembut mempermainkan helai dedaunan dan rerumputan.
“Aku tahu, perang akan menyeretku dalam kepedihan,” gumamnya pelan. “Tapi sebagai
laki-laki perasaan dosa selalu menghantui. Aku tak bisa terus-menerus berpura-pura bahwa di
luar sana sedang tak terjadi apa-apa.”
“Bagaiman ayah dan ibumu?”
“Alhamdulillah, ketika kujelaskan bahwa sebagai calon dokter aku ingin terjun langsung
ke sana mereka mengijinkan. Tentu, setelah melewati diskusi sengit dan doa yang terus
menerus.”
“Kau … berdoa, Yassir? Untuk bisa berangkat ke Afghanistan?”
Yassir menoleh ke arahku lalu tersenyum.
“Aku orang kaya, Ghozi,” ujarnya tanpa nada menyombong. “Makanan, pakaian, rumah,
kendaraan yang serba ada telah kunikmati. Tapi makin kurasa itu bukan puncak kebahagiaan.
Apa yang Mush’ab bin Umair cari ketika dunia sudah berada dalam genggamannya? Sesuatu
yang terus mengusikku dan makin lama makin terlihat jelas jawabannya.”
Aku tercenung. Kutarik nafas dalam-dalam.
“Kumaklumi segala trauma dan kebencianmu terhadap perang,” lanjutnya tulus.
“Karenanya, aku tak memaksamu ke sana. Sembuhkan luka hatimu dulu.”
Yassir mengemasi buku dan tasnya. Nada suaranya terdengar bergetar ketika menjabat
tanganku. Ia berjalan dengan kepala tegak. Aku tertegun menatap punggungnya yang kemudian
menghilang di balik tembok kampus. Hingga kini tak kumengerti mengapa ada orang yang begitu
bersemangat datang ke Afghanistan sementara di sana rakyat berdesakan untuk mengungsi.
Sia-sia kugambarkan pada Yassir belantara peperangan yang sangat sangat berbeda jauh dari
apa yang kita temui di film-film Hollywood. Orang tidak langsung mati ketika sebutir peluru
menerjang tubuhnya. Terlebih jika peluru itu buatan Yahudi, dum-dum misalnya. Sekalipun
Konvensi Geneva sudah melarang tetapi barang itu tetap beredar di pasaran. Jika peluru itu
menembus daging, ujungnya mengembang. Merobek organ tubuh yang dilalui sehingga luka
yang ditimbulkan lebih mematikan. Yassir, sanggupkah kau bersabar dan bertahan jika kau
menderita seperti Rayhan?
**********
Sepekan berlalu semenjak Yassir pergi menuju Dashti Kola.
Ia kawanku, tak lebih. Meski berulang kali berusaha mengakrabi namun perasaanku
sudah terlanjur berkarat. Perang membuatku mencurigai semua orang, bahwa manusia akan
selalu punya sisi kekejian untuk suka menghancurkan dan menyakiti pihak lain. Tapi sekarang
aku kesepian. Kehilangan. Sosok Yasir yang kerap megajak berdebat membayang-bayang.
Jum’at kemarin kuharap ada sebuah tangan yang menepuk punggungku seperti biasa.
Membangunkanku dari timbunan literetur di perpustakaan untuk bersegera menuju Mahabad
Mosque.
Khotib Jum’at berteriak lantang tentang dunia Islam. Aku termenung. Sedang apa kau,
Yassir? Setetes kebeningan merembesi ulu hati. Andai ia mati tentulah kedudukannya sangat
mulia. Atau konyol? Kutepis pikiran buruk itu. Aku sendiri tak yakin bahwa pengorbanannya tak
bernilai sama sekali.
“Ada surat,” seorang teman mengulurkan amplop di pintu masuk kamar.
Kusobek sampulnya tergesa.
……….
Ghozi, aku takut. Sebutir peluru menyerempet bahu saat aku mengevakuasi prajurit yang
terluka. Sakitnya masya Allah. Bukan cuma ketakutan akan kematian yang menghantui tapi juga
takut bahwa amal ini tidak ikhlash dan aku tak kuat bersabar.
Ghozi, aku butuh doamu. Doa kaum muslimin bagi kami yang tengah berjuang di sini.
Tanah ini harus dipertahankan. Cadas-cadas di sini lambang keimanan. Kau akan rasakan
dadamu bergemuruh tiap kali takbir berkumandang. Ini bukan necrophilia. Prajurit Afghanistan
berharap penyelesaian yang terbaik bagi akhir hidupnya. Tak seluruhnya lurus, ada yang
berjuang demi kejantanan. Tapi tidak semua. Sebagian besar … ya, sebagian besar berjuang
karena ingin menegakkan Kalimatullah.
Jihad, Syahid. Adakah kata-kata itu begitu asing di telingamu?
……….
Kuhabiskan sisa hari itu dengan merenung.
Berbondong-bondong kaum muslimin dari penjuru dunia meminta izin untuk turut
mengangkat senjata di Afghanistan. Sementara aku sebagai bagian dari suku Tajik, Usbek dan
Pashtun hanya berdiam diri. Ada apakah Ghozi? Apakah kematian itu begitu menakutkan?
Apakah terluka di medan perang itu begitu mengerikan? Dan apakah Allah tak akan mengulurkan
tangan-Nya?
Para sahabat dulu berperang dan tak pernah kubaca mereka mengalami trauma.
Padahal perang di mana-mana tentunya sama. Kejam. Mungkinkah karena mereka senantiasa
ikhlash dan terus menerus bergantung pada Allah? Aku memang orang Afghanistan. Tapi
keimananku tidak lebih baik dari kaum muslimin lainnya padahal kesempatan untuk melihat
kebesaran Allah lebih besar. Lihatlah. Betapa modernnya Uni Sovyet ketika menginjak-injak
tanah Afghan. berseteru dengan rakyat yang delapan puluh persen buta huruf dan hanya
berbekal keimanan. Tapi mereka terusir. Dengan kekalahan teramat dahsyat hingga negeri
mereka sendiri porak poranda dilanda krisis. Sekarang, haruskah aku takut?
Sepertiga malam ini kuhabiskan di atas sajadah. Hal yang sudah lama kutinggalkan. Ibu
dan Rayhan, bagaimana kabar kalian di Quetta, Baluchistan? Semoga paman Karim dan bibi
Wafa dikaruniai kesabaran merawat kalian berdua sampai aku selesai kuliah nanti.
Kubuka jendela kamar menatap langit malam.
Bau tanah berembun mengusik penciuman. Kalau Dia memelihara bermilyar bintang di
langit, apakah berat untuk sekedar menjaga ibu dan Rayhan? Menjagaku?
“Aku ambil cuti sementara waktu,” ujarku pada Abdul Hakim temanku, keesokan hari.
“Demonstrasi?”
“Tidak. Aku mau ke Dashti Kola. Lalu ke Balgram, menuju Kabul.”
Mata Abdul Hakim terbelalak.
“Kau mau perang?”
“Tidak juga. Mau rihlah, jalan-jalan.” Bukankah kata Rasulullah rihlah yang paling baik
adalah berjihad?
Abdul Hakim terlihat makin bingung.
“Sudahlah,” aku tersenyum. “Tak usah terlalu dipikirkan. Aku hanya minta tolong
menguruskan administrasi cuti dan bea siswa. Cuma beberapa bulan, mungkin. Insya Allah aku
akan kembali.”
Kembali? Darahku berdesir cepat. Tak ada yang pasti di medan laga. Wajah ibu,
Rayhan, silih berganti muncul di benak bersama khayalan-khayalan kengerian. Kehilangan
tangan dan kaki adalah hal biasa. Tapi jika yang rusak adalah susunan syaraf sehingga lumpuh
seluruh badan, sanggupkah? Dengan hanya kepala dan leher yang bergerak bahkan buang
kotoran harus ditampung di kantung, masihkah seorang pemuda sepertiku memiliki hari depan?
Aku mendesah, berusaha menepis galau. Janji Allah itu pasti. Tetapi benar kata Yassir, pejuang
Afghanistan butuh dukungan doa yang mengalir tak putus-putus. Agar keikhlasan dan kesabaran
ini tetap terjaga.
Langit biru.
Jinnah Park bergelora dalam aksi demonstrasi. Saudaraku di Pakistan berjuang
mengumpulkan dana dan senantiasa membangkitkan kesadaran akan adanya perang jihad di
cadas-cadas Kabul, Jalalabad, Herat, Mazar-e-Sharif hingga perbatasan Iran dan Pakistan. Berat
hatiku melangkah tetapi pegunungan Kandahar seolah memanggil. Dulu, dari balik batu satu
dengan lainnya orang berteriak mengingatkan waktu sholat telah tiba. Sekarang aku,
Ghozirrahman, pemuda penakut ini harus kembali ke sana demi menyelamatkan tanah berbatu
yang senantiasa dipakai untuk beribadah itu dari gempuran orang-orang pongah. Adakah kau
saudaraku yang jauh di sana, teringat padaku dan tulus mengirim doa? Agar aku sabar berjihad
di jalan yang panjang.Agar aku tak su’uzhon pada-Nya ketika peluru-peluru merajam tubuhku.
Sungguh, apakah kau ingat padaku dalam sujudmu?
****************
Keterangan : Telah dimuat di majalah Annida