Perbahasan Hutang Kepada Allah
-
Upload
syarifah-nur-azirah -
Category
Documents
-
view
257 -
download
1
description
Transcript of Perbahasan Hutang Kepada Allah
BAB II
PERBAHASAN
A. Hutang Pewaris Kepada Allah
Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban dan
tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah hutang. Terutama ketika
kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan atau kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang
tersebut terkait dengan hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah.
Utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu
tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai dari imbalan yang telah diterima oleh si
berutang. Hutang-hutang yang ditinggalkan oleh si mati terbahagi kepada dua jenis.
Hutang kepada Allah s.w.t Hutang kepada manusia
- Zakat
- Kaffarah
- Nazar
- Fardhu Haji
- Al-duyun al-Ainiyyah :
Hutang yang berkaitan denga barang-
barang perninggalan sebelum berlaku
kematian seperti barang gadaian dan
barang jualan yang belum diserahkan
sehingga diterima bayaran.
- Al-duyun al-mutlaqah : hutang yang
tidak berkaitan dengan barang dari
barang-barang perninggalan. Seperti
hutang piutang
Hutang kepada Allah s.w.t lebih berhak untuk ditunaikan
بي صلي س رضي الله عنهما قال : جء رجل ال : جاء رجل إلى الن عن ابن عبم فقال يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه الله عليه وسل
عنها قال نعم قال فدين الله أحق أن يقضى
(صحيح البخاري)
Terjemahan:
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhumaa: “Datang seseorang pada Nabi s.a.w. dan berkata :
“Wahai Rasulullah s.a.w., sesungguhnya ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu
bulan, apakah aku membayarkan untuknya?”, sabda Rasulullah s.a.w. : “Betul, dan hutang
pada Allah s.w.t. lebih berhak untu ditunaikan” (Sahih Bukhari)
B. Hutang kepada Allah menurut 4 mazhab
Hanafiyyah
Utang-utang untuk Allah seperti zakat, kaffarah dan nazar gugur dengan
kematian. Para ahli waris tidak berkewajiban membayarkannya untuk mayit
kecuali dengan perwakilan dari si mayit. Yaitu, si mayit berwasiat agar utang-
utang kepada Allah itu dibayarkan untuknya dari peninggalannya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal
dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai
dengan niat dan keikhlasan dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh
orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut
dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan
dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban
ketika masih hidup.
Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah s.w.t.. Pendapat madzhab
ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk
membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris
untuk menunaikannya. Oleh karena itu, dibayarkan dari sepertiga hartanya
saja.
Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah
Utang-utang untuk Allah wajib dibayarkan dan berkaitan dengan
peninggalan mayit, dibayarkan meskipun mayit tidak berwasiat. Pendapat ini
lebih sahih, sebab di dalamnya ada unsur pembebasan tanggungan.
Malikiyyah: Madzhab Maliki berpendapat bahwa hak yang
berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti
mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan
hak sesama hamba. Hanya saja madzhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang
kepada Allah.
Syafi’iyyah: Menurut pandangan ulama madzhab Syafi'i hal tersebut
wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama
hamba.
Hanabilah: Ulama madzhab Hambali menyamakan antara utang
kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan
secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan
kepada setiap ahli waris.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk
menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama
saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini
merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah
mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris.
Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.