PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) · PDF filepisang Saba dengan eksplan anakan...

6
ISSN 1410-1939 35 PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DARI EKSPLAN ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA [THE DEVELOPMENT OF BANANA (Musa sp.) CV. RAJA NANGKA VIA TISSUE CULTURE USING SUCKER AND FLORAL MERISTEM EXPLANTS] Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract An investigation to study the in vitro growth and development of banana cv. Raja Nangka from sucker and floral meristem explants had been conducted at the Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty the University of Jambi from April through to July 2005. This study used completely randomised design, and consisted of two trials: shoot multiplication using BAP (3, 4, and 5 mg L -1 ) in combination with IAA (0, 0.1 and 0.2 mg L -1 ), and root induction using BAP (0, 0.1 and 0.2 mg L -1 ) in combination with IBA (2, 2.5 and 3 mg L - 1 ). Each combination consisted of 10 replicates, and each experimental unit consisted of one explant per culture flask. The results indicated that explant from sucker regenerated shoots within 2 weeks after culture initiation, while explant from floral meristem took longer time to regenerate shoots, i.e. Two months after culture initiation. Key words: in vitro culture, plant biotechnology, plant growth regulator, auxin, cytokinin. PENDAHULUAN Tanaman pisang komersil yang dibudidayakan hingga saat ini adalah triploid (3n) dan tidak mam- pu menghasilkan biji atau partenokarpi, walaupun ada juga yang diploid dan tidak berbiji seperti pi- sang mas. Oleh karena itu pengembangbiakan pi- sang hanya dilakukan secara vegetatif (tanpa per- kawinan) dengan anakan dan kultur jaringan (Sunarjono, 2002). Kultur jaringan merupakan cara pembiakan ve- getatif yang cepat dan secara genetik sifat-sifat ta- naman anak yan gdihasilkan akan sama atau iden- tik dengan induknya. Dalam teknik kultur jaringan yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi media kultur dan zat pengatur tumbuh yang tepat serta sumber eksplan yang digunakan untuk meng- hasilkan plantlet di samping faktor lainnya yaitu cahaya, suhu dan kelembaban. Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan eksplan di dalam kultur. Pertum- buhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh pada media dengan hormon en- dogen yang terdapat dalam eksplan (George dan Sherrington, 1984). Menurut Gunawan (1987) pe- nambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Perimbangan zat pengatur tumbuh auksin dan sito- kinin yang sesuai akan sangat besar pengaruhnya untuk menghasilkan plantlet. Auksin umumnya berpengaruh terhadap pe- manjangan sel, pembentukan kalus dan akar ad- ventif serta menghambat pembentukan tunas aksi- lar. Dalam konsentrasi rendah auksin akan mema- cu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi tinggi mendorong pembentukan kalus (Pierik, 1997). Auksin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah IAA (Indoleacetic Acid), 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid), IBA (Indolebutyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic Acid) (George dan Sherrington, 1984). Sitokinin berperan dalam pengaturan pembe- lahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sito- kinin adalah mendorong pembelahan sel, mengin- duksi pembentukan tunas adventif dan dalam kon- sentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1997). Sitokinin juga menghambat perombakan protein dan klorofil dan menghambat penuaan (senescence) (Wattimena, 1987). Sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP (Benzylamino Purine) dan kinetin (George dan Sherrington, 1984). Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada tanaman pisang telah banyak dilakukan. Damasco dan Barba (1984) melakukan penelitian terhadap pisang Saba dengan eksplan anakan diperoleh se- kitar 200.000 bibit dalam waktu 10 bulan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah 10 mg L -1

Transcript of PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) · PDF filepisang Saba dengan eksplan anakan...

ISSN 1410-1939

35

PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR

JARINGAN DARI EKSPLAN ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA

[THE DEVELOPMENT OF BANANA (Musa sp.) CV. RAJA NANGKA VIA

TISSUE CULTURE USING SUCKER AND FLORAL MERISTEM EXPLANTS]

Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni

Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361

Abstract

An investigation to study the in vitro growth and development of banana cv. Raja Nangka from sucker and

floral meristem explants had been conducted at the Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty the

University of Jambi from April through to July 2005. This study used completely randomised design, and

consisted of two trials: shoot multiplication using BAP (3, 4, and 5 mg L-1) in combination with IAA (0, 0.1 and

0.2 mg L-1), and root induction using BAP (0, 0.1 and 0.2 mg L-1) in combination with IBA (2, 2.5 and 3 mg L-

1). Each combination consisted of 10 replicates, and each experimental unit consisted of one explant per

culture flask. The results indicated that explant from sucker regenerated shoots within 2 weeks after culture

initiation, while explant from floral meristem took longer time to regenerate shoots, i.e. Two months after

culture initiation.

Key words: in vitro culture, plant biotechnology, plant growth regulator, auxin, cytokinin.

PENDAHULUAN

Tanaman pisang komersil yang dibudidayakan

hingga saat ini adalah triploid (3n) dan tidak mam-

pu menghasilkan biji atau partenokarpi, walaupun

ada juga yang diploid dan tidak berbiji seperti pi-

sang mas. Oleh karena itu pengembangbiakan pi-

sang hanya dilakukan secara vegetatif (tanpa per-

kawinan) dengan anakan dan kultur jaringan

(Sunarjono, 2002).

Kultur jaringan merupakan cara pembiakan ve-

getatif yang cepat dan secara genetik sifat-sifat ta-

naman anak yan gdihasilkan akan sama atau iden-

tik dengan induknya. Dalam teknik kultur jaringan

yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi

media kultur dan zat pengatur tumbuh yang tepat

serta sumber eksplan yang digunakan untuk meng-

hasilkan plantlet di samping faktor lainnya yaitu

cahaya, suhu dan kelembaban.

Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang

sangat penting dalam mengatur pertumbuhan dan

perkembangan eksplan di dalam kultur. Pertum-

buhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in

vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan zat

pengatur tumbuh pada media dengan hormon en-

dogen yang terdapat dalam eksplan (George dan

Sherrington, 1984). Menurut Gunawan (1987) pe-

nambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan

mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel.

Perimbangan zat pengatur tumbuh auksin dan sito-

kinin yang sesuai akan sangat besar pengaruhnya

untuk menghasilkan plantlet.

Auksin umumnya berpengaruh terhadap pe-

manjangan sel, pembentukan kalus dan akar ad-

ventif serta menghambat pembentukan tunas aksi-

lar. Dalam konsentrasi rendah auksin akan mema-

cu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam

konsentrasi tinggi mendorong pembentukan kalus

(Pierik, 1997). Auksin yang sering dipakai dalam

kultur jaringan adalah IAA (Indoleacetic Acid),

2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid), IBA

(Indolebutyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic

Acid) (George dan Sherrington, 1984).

Sitokinin berperan dalam pengaturan pembe-

lahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sito-

kinin adalah mendorong pembelahan sel, mengin-

duksi pembentukan tunas adventif dan dalam kon-

sentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik,

1997). Sitokinin juga menghambat perombakan

protein dan klorofil dan menghambat penuaan

(senescence) (Wattimena, 1987). Sitokinin yang

sering dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP

(Benzylamino Purine) dan kinetin (George dan

Sherrington, 1984).

Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada

tanaman pisang telah banyak dilakukan. Damasco

dan Barba (1984) melakukan penelitian terhadap

pisang Saba dengan eksplan anakan diperoleh se-

kitar 200.000 bibit dalam waktu 10 bulan. Zat

pengatur tumbuh yang digunakan adalah 10 mg L-1

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

36

BAP dan 10 mg L-1

kinetin. Selanjutnya Hwang

(1984) memperoleh 5 - 10 tunas pisang Cavendish

dalam waktu 6 - 8 minggu pada media dengan 2

mg L-1

IAA + 2 mg L-1

kinetin dan 160 mg L-1

adenin sulfat.

Respon dari beberapa jenis pisang pada media

yang sama memberikan hasil yang berbeda-beda

(Damasco dan Barba, 1984; Banerjee dan de

Langhe, 1985). Vuylsteke dan de Langhe (1984)

menyatakan tipe genom pisang mempengaruhi laju

perbanyakan. Dari empat genom yang ditanam pa-

da media MS yang mengandung 10 mg L-1

BAP,

daya multiplikasi tertinggi terjadi pada genom

ABB kemudian diikuti AAB, AAA dan AA. Hasil

penelitian Sukma (1994) menunjukkan daya multi-

plikasi pisang tertinggi diperoleh pada pisang Am-

bon (AAA), diikuti oleh pisang barangan (AAA),

pisang raja bulu (AAB dan pisang mas (AA) pada

media yang mengandung 10,5 mg L-1

BAP + 3 mg

L-1

IAA.

Penelitian yang dilakukan Rubbyanto (1992)

pada pisang mas menunjukkan bahwa perangsang-

an multiplikasi lebih baik pada perlakuan BAP

5mg L-1

+ IBA 1 mg L-1

dengan menghasilkan 5,2

tunas dalam waktu 5 minggu. Wijayanti (1995)

mendapatkan 4,4 tunas pisang Ambon dalam wak-

tu 8 minggu pada perlakukan 10 mg L-1

BAP dan

perlakuan 5 mg L-1

BAP + 5 mg L-1

2-IP, di mana

masing-masing perlakuan ditambahkan 0 mg L-1

NAA.

Kebutuhan zat pengatur tumbuh bagi pertum-

buhan dan perkembangan tanaman pisang sangat

tergantung dari sifat genetik dan tingkat konsentra-

si auksin dan sitokinin yang diberikan. Jenis pisang

yang berbeda akan memberikan respon pertum-

buhan yang berbeda tanggapannya terhadap kese-

imbangan auksin dan sitokinin yang diberikan pa-

da media. Untuk itu perlu dicari metoda perba-

nyakan pisang raja nangka yang efektif dengan ca-

ra mencoba kombinasi beberapa konsentrasi auk-

sin dan sitokinin berdasarkan hasil penelitian yang

sudah ada.

Hasil yang diharapkan dari percobaan ini ada-

lah didapatkan metoda perbanyakan pisang raja

nangka yang efektif dengan ditemukannya kombi-

nasi auksin dan sitokinin yang terbaik untuk meng-

hasilkan plantlet pisang raja nangka yang berasal

dari dua sumber eksplan anakan dan meristem bu-

nga.

BAHAN DAN METODA

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bio-

teknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Jambi selama 7 bulan, mulai bulan April sampai

dengan bulan Oktober 2005.

Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan ada-

lah tunas in vitro pisang Raja Nangka yang diini-

siasi dari anakan muda yang sehat dan segar de-

ngan tinggi 5 - 20 cm dan meristem bunga pisang.

Tunas ditanam berukuran lebih-kurang 1,5 cm. Se-

tiap botol kultur berisi 1 eksplan.

Bahan kimia yang digunakan adalah bahan da-

sar media MS yang dimodifikasi dan bahan-bahan

tambahan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan

adalah BAP, kinetin, NAA dan IAA yang konsen-

trasinya sesuai dengan perlakuan. Sebagai bahan

pemadat digunakan agar 7 g L-1

, sedangkan untuk

sterilisasi alat digunakan alkohol 95%.

Alat-alat yang digunakan adalah peralatan un-

tuk pembuatan media, yaitu timbangan analitik, pi-

pet, labu takar, pengaduk gelas (sudip), pH meter

dan otoklaf. Untuk tempat media digunakan botol

biakan berukuran 100-mL dengan penutup alumi-

nium foil. Peralatan yang digunakan pada saat pe-

nanaman adalah kotak pindah (laminar air flow

cabinet), petridish, alat diseksi (pinset, skalpel dan

gunting) hand sprayer, lampu spiritus, rak kultur

dan lampu neon.

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap percobaan.

Percobaan pertama bertujuan untuk multiplikasi

tunas, sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk

perakaran. Percobaan pertama adalah percobaan

faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak

Lengkap yang terdiri dari tiga faktor. Faktor perta-

ma adalah sumber eksplan: anakan 1 dan anakan 2,

faktor ke-dua adalah beberapa konsentrasi BAP (3,

4 dan 5 mg L-1

) dan faktor ketiga adalah beberapa

konsentrasi IAA (0, 0,1 dan 0,2 mg L-1

). Percobaan

tahap ke-dua adalah lanjutan tahap pertama juga

percobaan faktorial yang disusun dalam Rancang-

an Acak Lengkap yang terdiri dari tiga faktor. Fak-

tor pertama adalah sumber eksplan: anakan 1 dan

anakan 2, faktor ke-dua adalah beberapa konsen-

trasi BAP (0, 0,1, 0.2 mg L-1

) dan faktor ketiga

adalah beberapa konsentrasi IBA (2, 2,5 dan 3 mg

L-1

). Masing-masing set percobaan terdiri dari 24

kombinasi perlakuan dengan masing-masing unit

percobaan ini terdiri dari 1 eksplan per botol di

mana setiap unit percobaan dilakukan 10 ulangan.

Peubah yang diamati dalam 2 tahap percobaan

ini adalah persentase tunas yang terbentuk, persen-

tase tunas yang berakar, jumlah tunas, jumlah daun

dan jumlah akar. Pengamatan dilakukan dengan

cara menghitung jumlah tunas, daun dan akar yang

terbentuk setiap minggu. Data yang dikumpulkan

selama penelitian berlangsung dianalisis menggu-

nakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Dun-

can (DNMRT) pada taraf α = 5%.

Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka.

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan

menghasilkan tunas dua minggu setelah ditanam

pada media perlakuan. Tunas yang terbentuk akan

terus bertambah baik ukuran maupun jumlahnya.

Menurut Taji et al. (2002) bilamana pertumbuhan

diukur secara terus-menerus berdasarkan waktu,

maka akan diperoleh kurva berbentuk huruf S.

Bentuk kurva pertumbuhan demikian dapat diper-

oleh dari pertumbuhan sel-sel tunggal, organ ta-

naman atau keseluruhan tanaman. Pada penelitian

ini pembentukan tunas pada masing-masing eks-

plan berbeda-beda, baik dilihat dari waktu terben-

tuknya dan jumlah tunas yang terbentuk. Adanya

perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan

konsentrasi dari masing-masing kombinasi zat

pengatur tumbuh yang diberikan. Untuk lebih jelas

entuk kurva dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari Gambar 1 terlihat pertambahan jumlah tu-

nas setiap dua minggu pada perlakuan tanpa IAA

dan pemberian BAP 4 mg L-1

menghasilkan jum-

lah tunas rata-rata setiap minggunya semakin me-

ningkat sampai pada minggu ke-12 adalah 9,7 ber-

beda dengan perlakuan lainnya. Tetapi jumlah akar

yang terbentuk sampai akhir penelitian hanya 1,3

(Tabel 1). Pemberian sitokinin (BAP) dari luar di-

duga hanya mampu meningkatkan jumlah tunas

tetapi tidak mampu untuk mengaktifkan auksin en-

dogen dari eksplan sehingga akar yang terbentuk

hanya sedikit. Sementara perlakuan pemberian

IAA 0,1 mg L-1

dan pemberian BAP 4,0 mg L-1

menghasilkan jumlah tunas 7,0 dan jumlah akar

11,3. Adanya penambahan auksin sebesar 0,1 mg

L-1

maka ausin total meningkat demikian juga auk-

sin endogen pada eksplan, sehingga mampu meng-

atasi pengaruh BAP yang tinggi. Menurut Watti-

mena (1987) auksin disintesis pada bagian meris-

tem apikal, sehingga peningkatan jumlah tunas

meningkatkan sintesis auksin endogen. Sedangkan

pada perlakuan pemberian IAA 0,2 mg L-1

dan

BAP 5 mg L-1

menghasilkan jumlah tunas dan akar

hanya 1 sampai akhir pengamatan. Hal ini menun-

jukkan bahwa pemberian auksin dan sitokinin kon-

sentrasi tinggi akan menekan laju pembentukan

tunas atau akar pada eksplan.

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6

Pengukuran ke-

Pert

am

bah

an

ju

mla

h

tun

as

I1B1

I2B1

I3B1

I1B2

I2B2

I3B2

I1B3

I2B3

I3B3

Gambar 1. Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada eksplan pisang yang ditanam pada media dengan

berbagai konsentrasi IAA dan BAP.

Tabel 1. Rata-rata jumlah tunas dan jumlah akar pada eksplan pisang yang di tanam pada media

perlakuan setelah berumur 3 bulan.

Kombinasi perlakuan Jumlah tunas Kombinasi perlakuan Jumlah akar

IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

1,0 a IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

1,3 a

IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

1,3 a IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

3,3 a

IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

2,0 a IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

3,7 a

IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

2,3 a IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

3,7 a

IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

3,3 a IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 5,0 mg L-1

4,0 a

IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

3,7 ab IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

5,7 ab

IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

6,3 b IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

7,3 b

IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

7,0 bc IAA 0,2 mg L-1

+ BAP 3,0 mg L-1

11,0 c

IAA 0,0 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

9,7 c IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 4,0 mg L-1

11,3 c Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf α = 5%.

Jurnal Agronomi 11(1):

38

Rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada

kombinasi perlakuan tanpa IAA dan pemberian

BAP 4 mg L-1

dua minggu setelah tanam adalah 3

tunas sedangkan pada perlakuan lainnya 1 - 1,3 tu-

nas. Pertambahan jumlah tunas semakin meningkat

setiap minggunya sehingga terbentuk multiplikasi

tunas setelah minggu ke-12. Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian sitokinin dengan konsentrasi 4

mg L-1

pada media sudah cukup untuk pembentuk-

an multiplikasi tunas namun akar tidak terbentuk.

Sitokinin biasanya tidak digunakan pada tahap

perakaran karena aktifitasnya dapat menghambat

pembentukan akar dan menghalangi pertumbuhan

akar, serta menghambat pengaruh auksin terhadap

inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies

tertentu (George dan Sherrington, 1984). Menurut

Bhojwani dan Rhazdan (1983), sitokinin (BAP) sa-

ngat efektif dalam merangsang pembentukan tu-

nas. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin, jumlah

tunas yang terbentuk semakin bertambah tetapi

pembentukan masing-masing tunas terhambat. Pa-

da penelitian ini peningkatan jumlah sitokinin

menjadi 5 mg L-1

setelah minggu ke-12 tidak terja-

di penambahan jumlah tunas. Perkembangan jum-

lah tunas pada perlakuan tanpa IAA dan BAP 4 mg

L-1

dari umur 1 minggu setelah tanam sampai ter-

bentuk multiplikasi tunas seperti yang terlihat pada

Gambar 2.

Multiplikasi tunas mulai terbentuk setelah dua

minggu tanaman dipindahkan ke media pertunas-

an. Multiplikasi tunas terbentuk karena beberapa

faktor yang mendukung yaitu eksplan dan ling-

kungan tumbuh (suhu, cahaya dan zat pengatur

tumbuh). Sedangkan nodul yang terbentuk dari

eksplan bunga akan memperlihatkan terjadinya

multiplikasi nodul setelah 4 bulan pada medium

pertunasan. Tunas yang telah terbentuk dari eks-

plan anakan setelah berumur 2 bulan dipindahkan

ke media perakaran untuk membentuk plantlet.

Perakaran terbentuk setelah 2 minggu tunas dipin-

dahkan ke media perakaran dan dipelihara sampai

plantlet siap untuk diaklimatisasi. Pembentukan

akar ini dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur

tumbuh auksin dengan konsentrasi tinggi yaitu

IBA 2 mg L-1

dan sitokinin dengan konsentrasi

rendah yaitu 0,5 mg L-1

BAP. Adanya perimbang-

an zat pengatur tumbuh ini pada media menghasil-

kan sistem perakaran yang baik pada kultur yang

berasal dari anakan

Untuk melihat lebih jauh pengaruh kombinasi

perlakuan terhadap jumlah tunas dan akar dapat

terlihat pada Tabel 1. Di sini jelas terlihat bahwa

perimbangan pemberian auksin dan sitokinin pada

eksplan pisang sangatlah menentukan. Kecende-

rungan pemberian auksin yang tinggi (IAA 0,2 mg

L-1) dan sitokinin yang rendah (BAP 3 mg

L-1) eks-

plan akan menghasilkan tunas sedikit dan akar

yang banyak, namun peningkatan sitokinin yang

tinggi 5 mg L-1

bahkan menekan pembentukan tu-

nas. Pada penelitian ini kombinasi perlakuan yang

terbaik untuk menghasilkan plantlet pisang adalah

pemberian IAA 0,1 mg L-1

+ BAP 4 mg L-1

yang

menghasilkan jumlah tunas 7 dan jumlah akar

11,3.

Pemberian BA dengan konsentrasi tinggi (5 mg L-1

) pada media memacu sitokinin endogen dari

eksplan dalam merangsang pembentukan tunas dan

memacu pembentukan multiplikasi tunas. Menurut

Bhojwani dan Rhazdan (1983), sitokinin (BAP) sa-

ngat efektif dalam merangsang pembentukan tu-

nas, semakin tinggi konsentrasi sitokinin jumlah

tunas yang terbentuk semakin bertambah tetapi

pembentukan masing-masing tunas terhambat.

Pemberian konsentrasi BAP tinggi ini mengham-

bat terbentuknya akar. Terbentuknya akar maka

pada media perakaran diberikan auksin (IBA) de-

ngan konsentrasi tinggi 2,5 mg L-1

, sehingga jum-

lah auksin total eksplan meningkat dengan penam-

bahan tersebut. Auksin endogen hasil sintesis tunas

juga meningkat sehingga mampu mengatasi penga-

ruh BAP. Wattimena (1987) menyatakan auksin

disintesis pada bagian meristem apikal, sehingga

peningkatan jumlah tunas meningkatkan sintesis

auksin endogen. Pengaruh kombinasi perlakuan

pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Tunas yang terbentuk dari anakan umur

1 minggu (A), 2 minggu (B) dan 3 bu-

lan (C) setelah dipindahkan ke media

perlakuan.

Eksplan yang berasal dari bunga pisang pada

awalnya membentuk nodul-nodul yang embrioge-

nik, setelah 6 bulan pada media perakaran terjadi

multiplikasi nodul, pembentukan tunas yang kemu-

dian diikuti pembentukan akar (Gambar 4). Menu-

rut Wattimena et al. (1992). Nodul merupakan se-

kelompok sel pada tempat tertentu dalam kalus

yang menyerupai kambium, yang sering juga dise-

but meristemoid. Hal ini menungkinkan sel aktif

membelah. Multiplikasi diduga berasal dari sel

peri-peri yang membelah membentuk nodul baru,

namun secara pasti belum dipelajari lebih jauh asal

multiplikasi.

Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka.

39

Tunas tersebut muncul dari nodul-nodul yang

embriogenik. Lamanya waktu yang dibutuhkan un-

tuk membentuk tunas pada nodul tersebut diduga

karena perimbangan zat pengatur tumbuh yang ada

pada media belum tepat sehingga belum mampu

untuk memacu pertumbuhan tunas dengan cepat.

Gambar 3. Tunas yang terbentuk dari anakan 2 bu-

lan setelah dipindahkan ke media per-

lakuan.

Gambar 4. Tunas yang terbentuk pada eksplan bu-

nga pisang setelah 4 bulan pada medi-

um pertunasan (A) dan 6 bulan (B) pa-

da medium pengakaran.

KESIMPULAN

1. Eksplan yang berasal dari anakan membentuk

tunas setelah 2 minggu dipindahkan ke media

MS, sedangkan eksplan yang berasal dari me-

ristem bunga pisang tidak langsung menghasil-

kan tunas tetapi membentuk nodul-nodul yang

embriogenik

2. Multiplikasi tunas pada eksplan yang berasal

dari anakan akan terjadi setelah tanaman 2 bu-

lan dipindahkan ke media pertunasan. Multi-

plikasi nodul pada eksplan yang berasal dari

bunga terjadi 4 bulan setelah dipindahkan ke

media pertunasan, sedangkan tunas baru mun-

cul setelah tanaman berumur 6 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, N. dan E. de Langhe. 1985. A tissue culture

technique for rapid clonal propagation and storage

under minimal growth condition of Musa (banana

and plantain). Plant Cell Reports 4: 351-354.

Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue

Culture: Theory and Practice. Development in Crop

Science 5. Elsevier Press, Amsterdam.

Damasco, O. P. dan R. C. Barba. 1984. In vitro culture

of Saba Banana (Musa sp. cv. Saba (BBB)).

Philosophy of Agriculture 67: 351-358.

George, E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant

Propagation by Tissue Culture. Exegetics Limited,

England.

Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur jaringan. Pusat

Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hwang, S. C. 1984. Cultivation of banana using plantlet

from meristem culture. Horticultural Science 19:

231-233.

Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants.

Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The

Netherlands.

Rubbyanto. 1992. Pengaruh Beberapa Macam Sitokinin

terhadap Pertumbuhan Pucuk Pisang Mas dalam

Kultur In Vitro. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sukma, D. 1994. Pengaruh IAA dan BAP terhadap

Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Mas (Musa

accuminata L. AA Group), Ambon dan Barangan

(Musa accuminata L. AAA Group), dan Raja Bulu

(Musa accuminata L. AAB Group) secara in vitro.

Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit

Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro

Plant Breeding. Haworth Press, Inc., New York.

Vuylsteke, D. dan E. de Langhe. 1984. Feasibility of in

vitro propagation of bananas and plantains. Tropical

Agriculture 62: 323-328.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman.

Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E.

Sjamsudin, N. M. A. Wiendi dan Ernawati. 1992.

Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Wijayanti, N. 1995. Pengaruh Kombinasi BAP dan 2-iP

terhadap Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning

[Musa acuminata (AAA grup)] melalui Kultur In

Vitro. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

40