Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda

40
Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC) Jejak Puisi Sejarah Indonesia Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur. Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin. Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan

description

frhgr

Transcript of Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda

Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC) Jejak Puisi Sejarah Indonesia Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur.

Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.

Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.

Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.

Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.

Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu) memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang sendiri.

Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu) memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang sendiri. Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda

Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4. Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4. Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda, tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya: Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2) Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus: Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini, Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3) Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh (1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2) Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil dikuasai diikat dengan Plakat Pendek. Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda

Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4. Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4. Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda, tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya: Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2) Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus: Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini, Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3) Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh (1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2) Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil dikuasai diikat dengan Plakat Pendek.

Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda

Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4. Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4. Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda, tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya: Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2) Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus: Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini, Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3) Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh (1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2) Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil dikuasai diikat dengan Plakat Pendek.

Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda

Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4. Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2. Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628 merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4. Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda, tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya: Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2) Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus: Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini, Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3) Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh (1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2) Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil dikuasai diikat dengan Plakat Pendek. Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC) Jejak Puisi Sejarah Indonesia Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur.

Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.

Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.

Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.

Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.

Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu) memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang sendiri.

Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu) memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang sendiri.