ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. “D” DENGAN DIAGNOSA MEDIS PEMFIGUS VULGARIS
Psoriasis Vulgaris
-
Upload
nur-ramadani -
Category
Documents
-
view
53 -
download
4
description
Transcript of Psoriasis Vulgaris
BAB I
PENDAHULUAN
Psoriasis merupakan suatu penyakit kulit yang bersifat kronik residif
dengan gambaran klinik bervariasi. Kelainan ini dikelompokkan dalam penyakit
eritroskuamosa dan ditandai bercak-bercak eritema berbatas tegas, ditutupi oleh
skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih mengkilat seperti mika disertai
fenomena tetesan lilin, tanda auspitz dan fenomena kobner.(1)
Ada beberapa tipe psoriasis yaitu meliputi psoriasis vulgaris (psoriasis
plak), psoriasis pustular, psoriasis guttata, psoriasis eritroderma, dan pada lokasi
tertentu seperti psoriasis scalp, psoriasis fleksular, psoriasis pada mukosa oral,
psoriasis kuku, dan psoriasis arthritis. Psoriasis plak atau dikenal juga sebagai
psoriasis vulgaris merupakan tipe yang paling sering dijumpai, ditemukan sekitar
80-90% dari penderita psoriasis.(2)
ETIOLOGI
Penyebab psoriasis tidak diketahui, tetapi faktor genetik dapat
mempengaruhi timbulnya penyakit ini. Beberapa faktor dapat memicu timbulnya
psoriasis, yaitu stress, konsumsi alkohol, merokok, sinar matahari, adanya
penyakit sistemik seperti infeksi streptococcus dan HIV serta faktor endokrin.
Pada psoriasis vulgaris terjadi percepatan proliferasi sel-sel epidermis
dibandingkan sel-sel pada kulit normal. Pergantian epidermis hanya terjadi dalam
3-4 hari sedangkan turn over epidermis normalnya adalah 28-56 hari. Psoriasis
juga sering dikatakan sebagai penyakit kelainan sel imun dimana sel T menjadi
aktif, bermigrasi ke dermis dan memicu pelepasan sitokin (TNF-α, pada
umumnya) menyebabkan terjadinya inflamasi dan produksi sel kulit yang cepat.(3)
Psoriasis merupakan penyakit yang diturunkan, meskipun cara penurunan
penyakit ini belum dimengerti sepenuhnya. Riwayat keluarga dapat ditemukan
pada 66% pasien psoriasis. Antigen leukosit manusia histokompabilitas HLA-
B13,HLA-B17 dan HLA Cw6 meningkat empat kali lipat pada pasien psoriasis.(4)
EPIDEMIOLOGI
1
Kasus psoriasis sering dijumpai secara universal di berbagai belahan
dunia. Prevalensi kasus psoriasis pada berbagai populasi bervariasi dari 0,1%
hingga 11,8% berdasarkan laporan yang dipublikasikan. Di Eropa insiden
tertinggi yang dilaporkan, yaitu Denmark (2,9%) dan Faeroe Island (2,8%),
dengan prevalensi rata-rata dari Eropa Utara sekitar 2%. Di Amerika Serikat
prevalensinya berkisar dari 2,2% sampai 2,6% dengan hampir 150.000 kasus baru
yang didiagnosis setiap tahunnya. Pada bangsa berkulit hitam misalnya di Afrika
jarang dilaporkan demikian pula bangsa Indian di Amerika. Sementara insiden
psoriasis di Asia hanya 0,4%.(3)
Dalam sebuah survey besar USA, usia rata-rata penderita adalah 28 tahun,
sedangkan di Cina dilaporkan rata-rata usia penderita adalah 36 tahun. Telah
dilaporkan bahwa 35% dari kasus penyakit onset sebelum usia 20 tahun dan 58%
sebelum 30 tahun. Dalam sebuah penelitian di Jerman, psoriasis memiliki dua
puncak onset yaitu puncak onset pertama pada masa remaja dan dewasa muda (16
hingga 22 tahun) dan puncak onset kedua pada usia lanjut (57 hingga 60 tahun).(2)
Laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama untuk terjadinya
psoriasis vulgaris. Sebuah penelitian di Jerman menunjukkan awal penyakit
psoriasis puncaknya terjadi pada onset usia 22 tahun pada pria dan 16 tahun pada
wanita.(2)
MANIFESTASI KLINIS
Psoriasis vulgaris adalah bentuk paling umum dari psoriasis, terlihat pada
sekitar 90% pasien. Merah, bersisik, plak terdistribusis secara simetris yang khas
dan jelas terlihat di aspek ekstensor dari ekstremitas terutama pada siku dan lutut,
kulit kepala, lumbosakral bawah, bokong dan daerah genital. Tempat lain untuk
daereh predileksi psoriasis vulgaris termasuk celah umbilikus dan celah
intergluteal.(3)
2
Gambar 1. Psoriasis vulgaris, plak berwarna merah berbatas tegas serta bersisik pada lutut.(5)
Gambar 2. Plak psoriasis kronik(3)
Pada psoriasis terdapat fenomena yang khas yaitu fenomena tetesan lilin
dimana bila lesi yang berbentuk skuama dikerok maka skuama akan berubah
warna menjadi putih yang disebabkan oleh karena perubahan indeks bias. Auspitz
sign ialah bila skuama yang berlapis-lapis dikerok akan timbul bintik-bintik
pendarahan yang disebabkan papilomatosis yaitu papilla dermis yang memanjang
tetapi bila kerokan tersebut diteruskan maka akan tampak pendarahan yang
merata. Fenomena kobner ialah bila kulit penderita psoriasis terkena trauma
misalnya garukan maka akan muncul kelainan yang sama dengan kelainan
psoriasis.(1-3)
Gambar 3. Autspitz’s sign. A. Sebelum skuama dikerok. B. Sesudah skuama dikerok.(3)
3
Gambar 4. Fenomena koebner(2)
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak kira-kira
50% kasus. Yang agak khas ialah pitting nail berupa lekukan-lekukan miliar.
Kelainan yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian distalnya terangkat
karena terdapat lapisan tanduk dibawahnya (hiperkeratosis subungual) dan
onilokolisis.(1)
Gambar 5. Pitting nail(2) Gambar 6. Hiperkeratosis subungual. (2)
BAB II
4
DIAGNOSIS
Diagnosis psoriasis biasanya langsung berdasarkan gambaran klinisnya,
dan dapat pula berdasarkan gambaran histologis bila perlu. Sebelum pengobatan
untuk psoriasis diberikan, perlu ditentukan tingkat keparahan psoriasisnya.(6)
Gambaran khas dari psoriasis vulgaris adalah merah, bersisik, plak
terdistribusis secara simetris yang khas dan jelas terlihat di aspek ekstensor dari
ekstremitas terutama pada siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bawah,
bokong dan daerah genital. Tempat lain untuk daereh predileksi psoriasis vulgaris
termasuk celah umbilikus dan celah intergluteal.(3)
Tabel 1. Diagnosis psoriasis.(6)
Presentasi Gambaran Predileksi
Plak
(Sering di psoriasis
vulgaris)
Papul atau plak yang berbatas
tegas dengan skuama yang
berwarna perak dan mudah
berdarah bila terkupas
(Auspitz’s sign)
Lutut, siku, batang tubuh,
leher, postauricular,
lumbosakral, kulit kepala,
kaki, tangan
Eritroderma Akut: Timbul setelah beberapa
hari, bisa memberat dan dapat
mengancam hidup.
Kronik: Muncul secara perlahan-
lahan setelah beberapa bulan dan
tahun.
Tersebar
Pustular Eritem dan pustul yang steril,
kadang-kadang muncul pada
plak yang sudah ada
sebelumnya.
Tersebar pada daerah
lipatan-lipatan
Palmar/plantar
pustular
Vesikel yang menimbulkan rasa
sakit ada rasa gatal pada tempat
Tangan/kaki.
5
yang terkena.
Gutata Erupsi yang terjadi tiba-tiba
pada psoriasis yang
karekteristiknya adalah bentuk
tear drop ukuran 2-5 mm.
Batang tubuh dan
ekstremitas.
HISTOPATOLOGI
Psoriasis memberikan gambaran histopatologik yang khas yakni
parakeratosis dan akantosis. Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit
yang disebut abses Munro. Selain itu terdapat pula papilomatosis dan vasodilatasi
subepidermis.(1)
Pemeriksaan histopatologis pada biopsi kulit pasien psoriasis
menunjukkan adanya penebalan epidermis dan stratum korneum dan pelebaran
pembuluh-pembuluh darah dermis bagian atas. Penebalan ini terjadi karena
mitosis dari sel basal yang meningkat. Sel-sel yang membelah dengan cepat
bermigrasi ke permukaan epidermis yang menebal. Proliferasi dan migrasi sel-sel
epidermis yang cepat ini menyebabkan epidermis menjadi tebal dan diliputi
keratin yang tebal.(4)
Gambar 7. Pustul spongiosum intraepidermal(2) Gambar 8. Parakeratosis
dan mikro abses munro(2)
BAB III
PENATALAKSANAAN
6
Terapi topikal umumnya cocok untuk plak yang terbatas. Lokal terapi
seperti laser eximer atau bentuk lain dari pemberian cahaya secara intens
kemungkinan cocok untuk plak dalam jumlah terbatas. Fototerapi merupakan
terapi efektif dengan biaya tinggi untuk perluasan luas dari psoriasis. Siklosporin
bekerja dalam onset cepat namun tidak cocok untuk terapi berkelanjutan.
Metotrexat merupakan terapi sistemik dari penyakit ini dibanding terapi lainnya.
Agen biologis dapat memberikan respon yang dramatis pada beban yang dramatis.
Merotasi agen terapi yang memiliki berbagai macam toksisitas yang dimiliki tiap
agen dan mengkombinasi terapi dapat mengurangi toksisitas agen seperti
infliximab. Perhatian penuh pada komorbiditas termasuk sindrom metabolik,
resiko jantung dan sendi.(5)
TOPIKAL
a. Kortikosteroid
Aplikasi topikal dari kortikosteroid krim, ointments, lotion, foam, dan spray
paling sering digunakan. Steroid kelas 1 satu cocok digunakan untuk pemakaian 2
minggu terapi awal untuk hampir seluruh area tubuh. Terapi dapat dilanjutkan
dengan cara mengurangi intensitas pemberian terapi dengan bertujuan untuk
menghindari reaksi terapi yang merugikan. Injeksi pada intralesi of triamcinolone
diberikan pada plak yang susah disembuhkan. Triamcolone acetonide (kenalog)
diberikan dalam dosisi 10 mg/mL yang dilarutkan dalam larutan dalin sehingga
konsentrainya 2,5-5 mg/mL. (5)
b. Tar
Tar batu bara mentah atau ekstrak dari tar seperti cairan detergen karbonis
dapat digunakan sebagai terapi topikal. Tar oil tersedia dalam sabun dan sampo. (5)
c. Antrhalin
Anthralin efektif dalam pengobatan meski memberikan noda dikulit, pakaian,
seprei tempat tidur. Untuk menghindari kekurangan dari anthralin ini digunakan
metode kontak singkat anthralin treatment dengan mebilan anthralin setelah
pemakaian 15-30 menit. Anthralin memberikan efek langsung pada keratinosit
7
dan leukosit dengan mensupresi neutrofil generasi superoksida dan menginhibisi
derivat monosit IL-6 dan TNF-alfa. (5)
d. Calcipotriene
Vitamin D3 ini memberikan efek pada differensiasi keratinosit dengan cara
meregulasi respon epidermal terhadap kalsium. Pengobatan dengan vitamin D
analog calcipotriene (dovonex) dalam bentuk ointment, krim, dan solution
memberikan hasil edektif pada pengobatan. Kombinasi terapi calcipotriene
dengan steroid berpotensi tinggi memberikan hasil yang memuaskan dengan efek
samping steroid yang rendah. (5)
e. Tazarotene
Tazarotene adalah nonisomerasi asam retinoik spesifik asam retinoik.
Memodulasi diferensiasi keratinosit dan hiperoliferasi juga mensupresi inflamasi.
Kombinasi tazarotene dan topikal kortikosteroid yang digunakan secara berkala
tiap akhir minggu dapat menurunkan iritasi. (5)
f. Makrolaktam
Makrolaktam topikal seperti takrolimus dan primekrolimus ini dikuhususkan
untuk terapi poada lesi-lesi yang tipis, daerah rawan atrofi atau pada akne steroid.
Reaksi terbakar menjadi masalah maka terapi ini dihindari pemberiannya dengan
kortikosteroid atau hindari pemakaian pada kulit yang dalam keaadaan kering
sehabis mandi. (5)
g. Asam salisilat
Asam salisilat adalah agen keratolitik dalam bentuk krim, sampo dan gel.
Dapat membantu absorpsi dari agen topikal lainnya. Penggunaan pengaplikasian
asam salisilat yang luas dapat memberikan efek seperti tinnitus, kebingungan
akut, dan hipoglikemia. Utamanya pada pasien diabetes yang membahayakan
ginjal. (5)
SISTEMIK
8
a. Metotreksat
Antagonis asam folat ini tetap dijadikan standar pengobatan sistemik.
Metotreksat memiliki afinitas lebih besar pada asam reduktase dihidrofolik
daripada asam folat. Sisntesis DNA dihambat ketika asam reduktase dihidrofolik
terikat dan pembelahan sel berkurang. Metotreksat dapat juga mempengaruhi
unsur inflamasi dari psoriasis. (5)
b. Siklosporin
Efektifitas dari terapi ini ialah efek penurunan modulasi proinflamasi sitokin
epidermal. Dosis 2-5 mg/kgBB/hari dapat secara cepat mengatasi psoriasis. Akan
tetapi rekurensinya juga cepat sehingga obat ini perlu terapi kombinasi.
Pemakaian selama 6 bulan dengan memonitor tekanan darah dan kadar kreatinin
perlu diperhatikan. (5)
FOTOTERAPI
Sinar ultravioet mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan
untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara
alamiah, tetapi sayang tidak dapat diukur dan jika berlebihan maka akan
memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar ultraviolet artifisial,
diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat digunakan
secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen,
metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang
dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman.(1)
BAB IV
9
KESIMPULAN
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis lapis dan transparan, disertai dengan fenomena
tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Gejala klinis psoriasis umumnya tidak
mempengaruhi keadaan umum pasien, kecuali pada psoriasis yang menjadi
eritroderma, sebagian pasien mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada kulit
kepala, perbatasan kulit kepala dengan wajah, ekstremitas terutama bagian
ekstensor dibagian siku dan lutut serta daerah lumbosakral.
Diagnosis psoriasis vulgaris berdasarkan gambaran klinisnya, namun bisa
juga menggunakan gambaran histopatologis bila perlu karena psoriasis
memberikan gambaran histopatologik yang khas yakni parakeratosis dan
akantosis.
Pengobatan psoriasis terbagi tiga, terdiri dari pengobatan topikal, sistemik
dan fototerapi. Prognosis psoriasis adalah baik. Meskipun tidak dapat
disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan pengobatan yang rutin dan teratur.
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat residif. Sehingga
diperlukan pemberian edukasi kepada penderita tentang bagaimana psoriasis itu
dan bagaimana menghindari faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya
psoriasis.
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 191-
6.
2. Barker JNWN, Griffiths CEM. Psoriasis. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8 ed. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010. p. 20.1-.18.
3. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 8 ed. New York: Mc Graw-Hill; 2012. p. 309-50.
4. Stawiski MA. Psoriasis dan Pitiriasis Rosea. In: Price SA, Wilson LM,
editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6 ed. Jakarta: EGC;
2005. p. 1439-42.
5. James WD, Berger TG, Elston. DM. Seborrheic Dermatitis, Psoriasis,
Recalcitrant
Palmoplantar Eruptions, Pustular Dermatitis,
and Erythroderma. Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 11 ed.
Canada: Elsevier Inc; 2011. p. 187-202.
6. Kupetsky EA, Keller M. Psoriasis Vulgaris: An Evidence-Based Guide for
Primary Care. The Journal of the American Board of Family Medicine. 2013:787-
801.
11